Anda di halaman 1dari 74

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, Naskah Akademik dan Rancangan


Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat, telah selesai sesuai
dengan pendekatan interdisipliner berupa pengkajian bidang-bidang hukum terkait
dengan tanah ulayat sebagaimana yang diatur didalam UUD 1945, Pasal 18 B ayat (2)
yang berbicara tentang masyarakat hukum adat dan Pasal 28 I ayat (1) yang
berbicara tentang masyarakat tradisional. Begitu juga didalam UU Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada Pasal 3 yang berbicara
mengenai pelaksanaan hak-hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat. Kemudian pada Pasal 5 UUPA yang berbicara bahwa hukum agraria
nasional bersumber dari hukum adat.

Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan landasan ilmiah dan akademis dalam
rangka pembuatan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tentang
Tanah Ulayat sesuai dengan UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kami dari Pusat Kajian Hukum Agraria dan
Adat (PAgA) Fakultas Hukum Universitas Andalas, tentu saja berterima kasih banyak
atas kepercayaan yang diberikan kepada kami oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat dalam menyusun Naskah Akademik ini.

Demikianlah Naskah Akademik ini dibuat sebagaimana mestinya, Penetapan


Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat ini hendaknya dapat dilakukan dalam
waktu yang tidak terlalu lama. Diharapkan masukan dan saran dari Bapak dan Ibu
terutama dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Atas kerjasamanya kami
mengucapkan terimakasih.

Padang, 6 Desember 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 4

1.1. Latar Belakang 4

1.2. Identifikasi Masalah 11

1.3. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik 11

1.4. Metode Penelitian 12

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN ASAS PERUMUSAN NORMA 14

2.1. Konstitusionalitas Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 14

2.2. Hak Ulayat dalam Hukum Agraria Nasional 16

2.2.1. Konsep Hak Menguasai Negara 17

2.2.2. Pengakuan Hak Ulayat dengan Hukum Agraria 20

2.2.3. Konsep Hak Ulayat dalam Hukum Agraria 24

2.3. Konsep Hak Ulayat dalam Hukum Adat Minangkabau 29

2.4. Prinsip dan Asas Perlindungan dan Pengelolaan Tanah Ulayat 31

BAB III ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 33

3.1. UUD 1945 33

3.2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:


IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. 34

3.3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria. 34

3.4. Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan


Dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. 35

3.5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 36

3.6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil 37

3.7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 38

3.8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang 40

3.9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup. 41

3.10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. 41

ii
3.11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah............................43

3.11. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Nagari
45

BAB IV JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP PENGATURAN 47

5.1. BAB tentang Ketentuan umum 47

5.2. BAB tentang Asas, Tujuan dan Manfaat 49

5.3. BAB tentang Jenis-jenis hak ulayat; hubungan hukum, kewajiban dan larangan 51

5.4. BAB tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat 53

5.5. BAB tentang Penyelesaian konflik; tata cara penyelesaian konflik; pemulihan hak
ulayat 57

5.5.1. Penerapan FPIC 57

5.5.2. Mekanisme Penyelesaian Konflik 61

5.5.3. Pemulihan Hak Ulayat 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 64

6.1. Kesimpulan 64

6.2. Saran-Saran 64

Daftar Pustaka 65

LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat adat telah dikonstruksikan sebagai subjek hukum. Konstitusi kita
mengkonstruksikan masyarakat adat tersebut dalam Pasal 18 b ayat (2), 28 i dan 32
ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan; “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya.” Namun, Pengakuan keberadaan masyarakat adat tersebut
mempunyai persyaratan pemberlakuan (conditionalities), yaitu; pertama, masyarakat
adat bisa dibuktikan masih hidup (actual existing); kedua, keberadaan masyarakat
adat berkesesuian dengan perkembangan masyarakat; dan ketiga, masyarakat adat
berkesesuaian dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, Pasal 28 i dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menjelaskan
aspek hak masyarakat adat secara spesifik. Pasal 28 i menyebutkan bahwa ikatan
masyarakat adat dengan tanah dan sumber daya alamnya adalah salah satu unsur
pembentuk ‘identitas budaya’ masyarakat adat. Ikatan masyarakat adat dengan
tanah dan sumber daya alamnya itu dirumuskan lebih lanjut sebagai bagian dari hak
asasi manusia. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 6 (2) UU No.39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; “Identitas masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”

Dalam konteks ini, konstitusi kita secara gamblang menempatkan hak


masyarakat adat bersifat khusus, karena terkait dengan identitas dan kebutuhan
khusus masyarakat adat sebagai suatu kelompok sosial organik berbasis tradisi.
Istilah yang digunakan konstitusi kita untuk mengidentifikasi hak masyarakat adat
itu disebut dengan ‘hak tradisional’ atau ‘hak asal usul.’ Hak masyarakat adat ini
sendiri bersifat “hak bawaan” yang melekat dan tak terpisahkan dengan identitas
masyarakat adat.

Selanjutnya dalam peraturan lebih operasional, hukum kita telah menjabarkan


masyarakat adat sebagai subjek hukum penyandang hak. Hal ini terlihat pada

4
penyebutan secara eksplisit di dalam pelbagai peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan, khususnya Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan
masyarakat adat sebagai subjek hukum (Arizona;2103,Firmansyah;2012, Savitri;
2014, Simarmata; 2015, Rachman; 2014, Zakaria;2016 ).

Dari penjabaran diatas, bisa kita disimpulkan bahwa komunitas masyarakat


adat beserta hak-haknya hidup secara sosial dan diakui secara hukum. Persoalannya
kemudian adalah bagaimana pengakuan hak itu bisa dijalankan secara konkrit ?

Salah satu persoalan pelaksanaan hak masyarakat adat adalah adanya


fragmentasi pengakuan hak masyarakat adat. pengakuan hak masyarakat adat
diatur dalam rezim-rezim hukum, ada di rezim hukum kehutanan, agraria, desa dan
seterusnya. Masing-masing pengaturan pengakuan ini dilaksanakan secara sektoral
yang saling bertumpang tindih, dan pada derajat tertentu saling meniadakan,
sehingga menghambat pengakuan hak secara meyeluruh.

Dalam konteks ini, persoalan implementasi pengakuan hak masyarakat adat


adalah persoalan teknis hukum, bukan persoalan filosofis, karena konstitusi kita
telah menyebutkan secara tegas tentang perlindungan, penghormatan dan
pengakuan hak. Sebenarnya, Untuk mengatasi persoalan ini, telah ada pelbagai
inisiatif kebijakan untuk mengurai persoalan pelaksanaan hak masyarakat adat,
misal TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan RUU masyarakat
adat.

Pada lapangan sosiologis, adalah sebuah kenyataan bahwa sebelum negara


ada sebagai suatu bentuk kekuasaan, telah terlebih dahulu terbentuk kelompok-
kelompok masyarakat yang mendiami sebuah wilayah dan tata kelola atas wilayah
tersebut secara utuh. Tatanan mereka terbentuk dan berkembang secara alamiah
dalam rentang sejarah panjang, sampai akhirnya menjadi sebuah komunitas yang
lengkap. Hal demikian juga yang terjadi dengan masyarakat adat Minangkabau yang
merupakan salah satu suku bangsa atau komunitas masyarakat adat di nusantara
dengan ciri khas dan keunikan budaya jika dibandingkan dengan suku bangsa atau
komunitas masyarakat adat lainya. Salah satu ciri khas budaya masyarakat adat
Minangkabau adalah tatanan kehidupan yang dibangun atas dasar komunalisme,

5
egaliter dan memiliki sistem aturan dan konsep pemerintahan demokratis serta
struktur masyarakatnya yang terbentuk berdasarkan kesamaan geneologis dan
teritorial.

Dalam melihat hubungan masyarakat hukum adat dengan wilayahnya (ulayat)


atau dengan kata lain, masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum hak ulayat,
penggolongan masyarakat hukum adat oleh Van Vollenhoven dalam bukunya,“Het
Adatrecht van Nederland Indie, jilid I, menggolongkan masyarakat hukum adat
berdasarkan genealogis dan teritorial Secara genealogis berarti masyarakat hukum
adat terikat dalam hubungan keluarga, suku atau famili. Sedangkan secara
teritorial berarti masyarakat hukum adat terikat dalam suatu wilayah. Meskipun
penggolongan tersebut kemungkinan tidak lagi semuanya masih dapat dijadikan
contoh saat ini, namun penggolongan ini cukup dapat membantu untuk melihat
karakter penguasaan atas wilayah atau ulayat oleh masyarakat hukum adat.
Penggolongan tersebut adalah:

1) Persekutuan hukum yang berupa genealogis seperti dalam masyarakat


hukum adat Mentawai (Uma) dan Dayak.

2) Persekutuan hukum berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya


terdapat kesatuan-kesatuan genealogis seperti nagari di Sumatera Barat.

3) Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa kesatuan


genealogis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan kesatuan
teritorial yang lebih kecil, seperti marga dan dusun di Sumatera Selatan
atau kuria dan huta di Tapanuli.

4) Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya


terdapat persekutuan/badan hukum yang sengaja didirikan oleh
warganya,seperti desa dengan subak-subak di Bali.

Empat penggolongan masyarakat hukum adat di atas memberikan


penjelasan untuk melihat hubungan antara struktur masyarakat hukum adat
dengan pola/model hak ulayatnya. Artinya, penggolongan tersebut melahirkan
pola/model penguasaan sumberdaya alam yang berbeda- beda dalam masyarakat

6
hukum adat. Dalam garis besarnya pola/mmodel penguasaan ersebut adalah:

1) Pada golongan pertama adalah pemilik sawah/ladang dengan pekarangan.

2) Pada golongan kedua dalah pemilik pekarangan saja.

3) Pada golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak memiliki tanah atau
pekarangan.

Dari penggolongan diatas, masyarakat hukum adat di Minangkabau adalah


nagari maka dapat dilihat pola/ model penguasaan sumberdaya alam masyarakat
adatnya yang bersifat teritorial sekaligus terdapat di dalamnya sifat genealogis.

Untuk melihat konsep hak ulayat dalam UUPA relevan dengan konsep-konsep
hak ulayat dalam artian beschikkingsrecht, yang pernah dikemukakan oleh
beberapa penulis terkemuka di bidang itu, dan juga pengembangan-
pengembangannya. Beschikkingsrecht pertama kali diperkenalkan oleh Van
Vollenhoven sebagai salah satu ahli hukum adat yang pernah ada. Van vollenhoven
dalam bukunya berjudul “De Indonesier en zijn Grond ” yang dikutip dalam Sjahmunir
(2006), hak ulayat disebut sebagai beschikkingsrecht. Beschikkingrechts dalam
kepustakaan hukum adat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hak yang melekat
pada suatu masyarakat hukum adat yang pada dasarnya terarah kepada tanah
dalam teritorialnya.1 Hubungan antara hak ulayat ersebut tidak dapat dipisahkan
dari: 2

1) Masyarakat hukum adat sebagai subyek hak ulayat.

2) Tanah (termasuk air dan udara) yang berada dalam wilayah kekuasaan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan beserta apa-apa yang tumbuh dan
hidup di tas tanah itu, sebagai obyek dari hak ulayat.

3) Daya berlakunya hak ulayat, baik kedalam maupun keluar, sebagai ciri hak
ulayat.

Selain itu, Boedi Harsono (2003) menyebutkan bahwa hak ulayat terdiri

1
Kurnia Warman, 006, Op it ., al 4.
2
Sjahmunir, 2006, Eksistensi Tanah Ulayat Dalam Perundang-Undangan Indonesia, PIM, Padang, hal,
30.

7
atas tiga sifat, yaitu; pertama, sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak
bersama para anggota masyarakat hukum adat. Kepunyaan bersama ini
merupakan bagian dari keyakinan atas karunia suatu kekuatan gaib atau
peninggalan nenek moyang dalam masyarakat hukum adat. Kedua, sifat individual
menunjuk pada hak anggota masyarakat hukum adat untuk menguasai dan
menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi
dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara sampai dengan hak yang
tanpa batas waktu, yang lazim disebut hak milik. Ketiga, sifat teritorial dan
genealogisnya yaitu kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat
yang teritorial dalam artian wilayah, seperti desa, marga, nagari, huta dan lain-lain,
serta bisa juga merupakan masyarakat hukum adat genealogis atau keluarga, seperti
suku dan kaum di Minangkabau.3

Selanjutnya, Boedi Harsono membagi hak ulayat atas tiga aspek, yaitu:
pertama, hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus
publik, kedua, hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber dari hak ulayat
yang bersifat publik,ddan ketiga,hak-hak atas tanah individual (hak milik)yang baik
langsung maupun tidak langsung berasal dari hak ulayat.4 Kemudian, Muhammad
Bakri (2007) mempertegas hak ulayat tersebut dalam dua aspek, yaitu; pertama ,
aspek keperdataan yang berarti mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah
bersama para anggota atau warga masyarakatnya, dan kedua, aspek publik yang
berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama.5

Aspek-aspek tersebut merupakan bentuk hierarki hak penguasaan atas tanah


dalam masyarakat hukum adat. Selain itu, anggota masyarakat hukum adat juga
dapat leluasa tanpa diharuskan meminta izin untuk mengambil atau memungut
hasil hutan, sungai atau rawa- rawa, berburu dan lain sebagainya, dengan ukuran
hasilnya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sendiri dan keluarganya.

3
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-UUndang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid I, Edisi Revisi, Djambatan,Jakarta,hal.181.
4
Ibid
5
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru untuk Reformasii
Agraria,citra Media, yogyakarta, hal. 1.

8
Berbeda halnya apabila hasil pemungutan tersebut diperdagangkan, maka ia
diperlakukan sebagai orang asing dan diharuskan menyerahkan sepersepuluhnya
kepada masyarakat hukum adat melalui penguasa adat.6

Konsep hak ulayat di Minangkabau secara prinsip tidak berbeda dengan


konsep hak ulayat seperti yang disebut sebelumnya. Selain itu, dengan melihat
penggolongan masyarakat hukum adat oleh Van Vollenhoven seperti disebut
sebelumnya, maka masyarakat hukum adat di Minangkabau masuk dalam golongan
persekutuan hukum dari kesatuan teritorial sekaligus di dalamnya terdapat kesatuan
genealogis. Kesatuan teritorial adalah wilayah nagari-nagari yang tersebar di wilayah
masyarakat hukum adat di Minangkabau, atau lazim disebut dengan Alam
Minangkabau.7

Praptodihardjo, seperti dikutip oleh Abdurrahman (1996), mengatakan bahwa


tanah ulayat menurut orang Minangkabau adalah warisan dari mereka yang
mendirikan nagari. Tanah tersebut bukan saja kepunyaan umat yang ada sekarang,
akan tetapi juga menjadi hak generasi yang akan datang. Dari hal tersebut, maka hak
ulayat mengandung tiga dimensi: pertama, hak ulayat merupakan hak atas tanah
yang mereka terima turun temurun dari para leluhurnya yang mendirikan nagari.
Kedua, hak ulayat merupakan hak yang sama dari seluruh warga nagari secara
keseluruhan, dan ketiga, hak ulayat bukan saja hak dari yang hidup sekarang tetapi
juga hak dari generasi yang akan datang (suistainable development).8

Pendapat serupa disampaikan oleh M. Nasroen (1971) yang menyatakan hak


yang tertinggi adalah hak ulayat. Hak ulayat ini hanya dimiliki secara bersama, tidak
boleh dimiliki oleh perseorangan, sehingga yang mempunyai hak ulayat adalah
nagari, federasi dari nagari-nagari, kaum dan sebagainya. Oleh A.A. Navis (1984)
pendapat tersebut dipertegas, bahwa setiap nagari di Minangkabau mempunyai hak
ulayat dengan batas-batas yang sesuai dengan keadaan alam di sekitarnya, seperti
puncak bukit atau sungai. Luas wilayah nagari tidak sama, tergantung pada posisi

6
Boedi Harsono, Op. it., hal. 87.
7
Alam Minangkabau menyebutkan wilayah masyarakat adat Minangkabau, yang terdiri dari wilayah
darek dan rantau, kemudian wilayah darek dibagi lagi dalam luhak-luhak yaitu; Luhak Tanah Datar, Agam dan
Limapuluh Kota
8
Kurnia Warman, (2006), op.cit, hal 57.

9
nagari tetangganya. Jika tidak ada nagari tetangga maka luasnya ditentukan dengan
batas kemampuan berjalan sesorang, mungkin sampai puncak bukit, tebing yang
curam, sungai yang deras, hutan lebat yang tidak tertembus manusia.9

Kemudian Sjahmunir (2006) menjelaskan bahwa pengertian hak ulayat oleh


masyarakat hukum adat di Minangkabau belum begitu jelas, namun dihayati sebagai
sesuatu realitas yang ada, terutama dalam hal hak dan kewajiban masyarakat
hukum adat atas hak ulayat, baik itu dari pemangku adat maupun anggota
10
masyarakat hukum adat. Berdasarkan kenyataan itu, maka terdapat tiga kelompok
hak ulayat, yaitu;

1. hak ulayat kaum.

2. hak ulayat suku

3. hak ulayat nagari.

Disamping tiga bentuk hak ulayat di atas, Sjahmunir juga menyebutkan


tentang hak ulayat rajo (raja), yang pada hari ini hampir-hampir tidak ada dan
walaupun ada dapat digolongkan kedalam pengertian ulayat nagari. Pengertian hak
ulayat juga dijabarkan oleh L.C. Westenenck (1918) dalam Sjahmunir yang
menjelaskan bahwa hak ulayat adalah kekuasaan, hak untuk mengurus, mengawas
dan juga menguasai. Pengertian ini relevan dengan makna hak ulayat dalam Hukum
Adat Minangkabau sebagai hak yang tertinggi, yang menyebutkan seseorang pemilik
bukanlah yang mempunyai hak ulayat namun bersifat hak sementara terhadap tanah
dan apabila ia meninggalkan tanah itu maka kembali kepada masyarakat hukum
adat, sebagaimana ditegaskan dalam petitih: kabau pai kubangan tingga (kerbau
pergi tanah kubangan tinggal).11

Untuk mendapatkan pandangan yang jelas tentang hal tersebut maka


Westenenck membagi hak ulayat atas:

1. Rimbo rayo-tanah yang belum diolah (het cerwoud).


9
Ibid
10
Sjahmunir, (2006), op.cit, hal 33.
11
Ibid

10
2. Tanah yang pernah diolah dan ditinggalkan kembali.

3. Tanah yang ditanami, diolah dan ditanami.

Pendapat Westenenck di atas membagi hak ulayat dalam situasi tanah yang
sudah digarap dan belum digarap. Kemudian oleh AA. Navis (1984) dalam Kurnia
Warman membagi hak ulayat dalam dua macam, yaitu; hak ulayat nagari dan hak
ulayat kaum. Ulayat nagari berupa hutan yang menjadi cagar alam dan tanah
cadangan nagari, sedangkan ulayat kaum adalah tanah yang dapat dimanfaatkan
tetapi belum diolah penduduk atau anggota masyarakat hukum adat (hutan
rendah).12 Kurnia Warman (2006) menyebutkan hal berbeda dengan AA. Navis,
dalam hal ulayat kaum karena ulayat kaum yang disebutkan oleh AA. Navis berada
pada penguasaan penghulu suku yang menjadi pucuk atau tuanya sehingga tidak
relevan dengan kenyataan yang ada dalam ulayat kaum, sehingga kategori ulayat
kaum menurut Kurnia Warman masuk dalam kategori ulayat suku.13 Sedangkan
ulayat kaum adalah tanah yang dimiliki oleh suatu kaum yang dikuasai oleh Mamak
Kepala waris (kemudian disebut MKW) sebagai kepala kaum. Artinya pembagian hak
ulayat di Minangkabau adalah; pertama, ulayat nagari, kedua, ulayat suku, dan ketiga
ulayat kaum.14 Namun dalam kenyataannya, tidak semua nagari mempunyai hak
ulayat suku, sehingga hak ulayat dalam kondisi nagari tersebut dibagi atas dua, yaitu
hak ulayat nagari dan hak ulayat kaum.15

Berdasarkan hal tersebut diatas, naskah akademik ini dibuat dalam rangka
merumuskan secara akademik tentang bagaimana pengaturan, pengakuan dan
perlindungan tanah ulayat (hak ulayat) di Provinsi Sumatera Barat. Naskah akademik
ini akan menjadi acuan untuk menyusun Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
tentang Tanah Ulayat, baik dilihat dari aspek filosofis, yuridis maupun sosiologis.

12
Kurnia Warman, (2006), op. cit, hal 58.
13
Ibid
14
Ibid
15
Ibid

11
1.2. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam Naskah Akademik ini mencakup 3 (tiga)
permasalahan, yaitu sebagai berikut:

1. Masalah pelaksanaan pengakuan dan perlindungan Tanah ulayat

2. Landasan Filosofis-Yuridis dan Kedudukan Peraturan Daerah tentang Tanah


Ulayat.

3. Sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan


arah pengaturan Perda Tanah Ulayat

1.3. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik


Naskah akademik rancangan Peraturan Daerah Kota Solok tentang Ketertiban
dan Ketenteraman Umum bertujuan untuk:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pengakuan dan
perlindungan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat.
2. Merumuskan kedudukan rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar
pemecahan masalah berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan tanah
ulayat di Provinsi Sumatera Barat.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan rancangan Peraturan Daerah berkaitan dengan pengakuan dan
perlindungan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah berkaitan
pengakuan dan perlindungan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat.

1.4. Metode Penelitian


Penyusunan Naskah Akademik menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian atau pengkajian hukum,
sehinga metode dalam penyusunan Naskah Akademik menggunakan metode
penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui

12
metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris
dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan
melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau
dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi
lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat.
Selanjutnya, metode penelitian lainnya adalah metode yuridis empiris atau
sosiolegal yakni penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau
penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan
dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk
mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap
Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.
Penyusunan Naskah Akademik rancangan Peraturan Provinsi Sumatera Barat
tentang Tanah Ulayat ini pada prinsipnya menggunakan metode penelitian yuridis
empiris. Penelitian hukum yuridis empiris sangat berguna untuk menemukan
bagaimana suatu aturan hukum berlaku di tengah masyarakat atau bagaimana
masyarakat memberlakukan suatu aturan hukum16.
Penyusunan naskah akademik ini diawali dengan penelitian secara normatif
terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan Ketertiban
dan Ketenteraman Umum, hal ini juga diikuti dengan penelitian terhadap data hukum
sekunder dan tersier. Data hukum sekunder, yaitu berupa bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-
hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum dan data hukum tersier, yaitu bahan
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), eksiklopedia.
Setelah dilakukan pengumpulan data melalui studi dokumen dan kebijakan
hukum lainnya, kegiatan penelitian dilanjutkan dengan “diskusi publik” yang
melibatkan beberapa pihak dari berbagai unsur masyarakat dan instansi terkait.
Diskusi publik ini bertujuan untuk mendengar aspirasi dan mengumpulkan pendapat,
saran serta masukan dari stakeholders sehingga diperoleh informasi yang akurat
16
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

13
tentang kondisi dan kebutuhan masyarakat Kota Solok terkait dengan ketertiban dan
ketenteraman umum.
Kemudian penelitian naskah akademik dilanjutkan dengan observasi yang
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor non-
hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap pembangunan
kepariwisataan. Setelah melewati tahapan penelitian tersebut kemudian naskah
akademik dirumuskan secara final sebagai kerangka acauan dalam pembentukan
rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat.

14
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN ASAS PERUMUSAN NORMA

2.1. Konstitusionalitas Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

UUD 1945 telah menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat, khususnya


dalam konteks penguasaan atas tanah dan sumber daya alam. Hal ini terdapat pada
pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I UUD 1945. Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan
bahwa; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya.”17 Selanjutnya, UUD 1945 mempertegas
penghormatan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat itu di dalam BAB X
(Perubahan kedua) tentang Hak Asasi Manusia di pasal 28 i. Pasal 28 i mengatur
tentang ‘identitas budaya’ masyarakat hukum adat, yang salah satu unsur
pembentuk identitas budaya tersebut adalah hubungan masyarakat hukum adat
dengan tanah dan sumber-sumber alamnya (hak ulayat).18

Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan
sumber daya alam ini kemudian dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan MK No.35/PUU-X/2012 menyebutkan dua hal penting
tentang hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam, yakni;
Pertama, Masyarakat hukum adat adalah subjek hukum yang merupakan
penyandang hak (hak tradisional) dan pemangku kewajiban; masyarakat hukum adat,
mempunyai kedudukan hukum, sama seperti subjek hukum lainnya; seperti individu
dan badan hukum. Dalam konteks ini adalah subjek hukum [hak] atas tanah dan
sumber daya alam.

Kedua, Mempertegas hubungan hukum atas hutan yang melekat di dalamnya

17
Hak-hak khusus masyarakat adat terkait dengan identitas dan kebutuhan khusus
masyarakat hukum adat, yang juga disebut dengan hak tradisional dalam UUD 1945 paska perubahan
atau hak asal usul dalam UUD 1945. Hak asal usul kemudian digunakan kembali untuk menjelaskan
hak tradisional masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat dalam UU No.6 tahun 2014 tentang
Desa. Hak tradisional atau hak asal usul adalah hak yang bersifat “hak bawaan” yang melekat karena
identitas khusus masyarakat adat tersebut.
18
Relasi (penguasaan) masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya
sebagai salah satu pilar identitas masyarakat hukum adat diperkuat lagi rumusan pasal 6 (2) UU
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; “Identitas masyarakat hukum
adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”

15
adalah hubungan-hubungan hukum atas tanah. Dalam konteks ini, maka tidak dapat
dipisahkan antara hak tanah dengan hak atas hutan (status hutan).19 Hubungan
antara hak tanah dengan status hutan bisa dilihat pada tabel di bawah ini;

Status Hutan Hutan Negara Hutan Adat Hutan Hak


(Perseorangan atau
Badan Hukum)

Hak Tanah Tanah Negara Tanah Ulayat Tanah Hak


(Wilayah Adat) (Perseorangan atau
Badan Hukum)

Dalam hal hak ulayat, maka Putusan MK 35/2012 mempertegas hubungan


hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat yang menjadi dasar
dalam menentukan status hutan (hutan adat).

Putusan MK 35/2012 sejatinya tidak dalam posisi menetapkan masyarakat


adat sebagai subjek hukum, melainkan menegaskan masyarakat adat telah
berstatus sebagai subjek hukum. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi mengingatkan
kembali tentang subjek hukum masyarakat adat dalam dua perspektif, yaitu;
pertama, perspektif konstitusionalisme, yakni mendasarkan diri bahwa semua
individu dan kelompok dalam negara berkedudukan setara sebagai subjek hukum
dan melarang tindakan diskriminatif (prinsip non deskriminasi). Putusan MK
35/2012 berupaya memulihkan kebebasan masyarakat adat sebagai subjek hukum
tersebut dalam kaitannya dengan hutan adat (hak ulayat). Kedua, perspektif teori
hukum, yakni menjelaskan masyarakat adat masuk dalam kategori subjek hukum
penyandang hak dan kewajiban.20

Selanjutnya, pengakuan hak ulayat di dalam konstitusi adalah pengakuan


bersyarat. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 35/2012 mempertegas

19
Yance Arizona et all (2014) Kembalikan Hutan Adat Kepada Masyarakat Hukum Adat;
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-
Undang Kehutanan, HuMa-Epistema-AMAN, Jakarta.
20
ibid

16
pengakuan bersyarat tersebut. Pengakuan bersyarat itu dilakukan sepanjang: (i)
masih ada atau hidup; (ii) sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, (iii) tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan (iv)
selaras dengan perkembangan masyarakat atau zaman atau peradaban.
Persyaratan “sepanjang masih hidup” paling berkembang pengaturannya di dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, dibandingkan dengan tiga
syarat lainnya. Secara substantif, syarat ini memerlukan pembuktian mengenai
keberadaan subjek hukum masyarakat adat, dan secara prosedural sebagai
prakondisi bagi tahapan berikutnya, yaitu penetapan hak atau kewenangan. Untuk
membuktikan keberadaan masyarakat adat, maka ditetapkanlah sejumlah kriteria. 21

Pada konteks hutan adat, pembuktian keberadaan masyarakat hukum adat


menjadi kendala, disebabkan kriteria-kriteria keberadaan masyarakat hukum adat
yang memberatkan yang terdapat dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUK. Maria
SW Sumardjono (2008) menilai bahwa aturan syarat keberadaan masyarakat hukum
adat yang ada pada penjelasan pasal 67 ayat (1) UUK yang menyebutkan kriteria
keberadaan masyarakat adat sebagai berikut: a) masyarakat masih dalam bentuk
paguyuban; b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, c) ada
wilayah hukum adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat yang masih ditaati; e) masih mengadakan pungutan hasil hutan di
wilayah hutan sekitarnya. Dengan pengaturan yang ketat itu, maka di lapangan akan
sulit menemukan keberadaan hak ulayat dan masyarakat hukum adatnya.22

Selanjutnya, Maria SW Soemardjono menegaskan bahwa pengaturan tentang


eksistensi hak ulayat (termasuk masyarakat adat) lebih tepat dilakukan oleh instansi
pertanahan (baca; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN) atau berada di dalam
domain hukum agraria, karena hak ulayat itu utamanya berkenaan dengan hubungan
hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya
(tanah “plus”).23

Pada penjelasan selanjutnya akan dijabarkan posisi hak ulayat dalam hukum

21
ibid
22
Maria SW Sumardjono (2009), Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya,
Kompas, Jakarta.
23
Ibid

17
agraria, terutama tentang hubungan antara hak ulayat dengan hak menguasasi
negara dan hak bangsa serta bentuk pengakuan hak ulayat dalam lapangan hukum
agraria.

2.2. Hak Ulayat dalam Hukum Agraria Nasional

Untuk melihat posisi hak ulayat di dalam hukum agrarian nasional, terutama
yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
-Pokok Agraria (Kemudian disebut UUPA), maka akan dijabarkan dua hal penting,
yakni; konsep hak menguasai negara; pengakuan hak ulayat dalam hukum agraria
nasional; dan konsep hak ulayat di dalam hukum agraria.

2.2.1. Konsep Hak Menguasai Negara


Hak Menguasai Negara (Kemudian disebut HMN) adalah dasar yuridis
penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam. Pengaturan HMN terdapat di
dalam Pasal 33 UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA,
yang menyatakan;

“bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang


terkandung di dalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”.

Perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, namun


memberikan kewenangan kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi;

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan, dan pemeliharaannya.

2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas


(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.

3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara


orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.

18
Kewenangan negara di bidang pertanahan ini merupakan bentuk pelimpahan
tugas bangsa sebagai bagian dari “fungsi publik” dari negara. Oleh sebab itu,
penguasaan tanah oleh negara dalam pengertian HMN berbeda dengan hubungan
hukum yang bersifat kepemilikan, antara negara dengan tanah sebagaimana
terdapat di dalam konsep Domein Verklaring pada hukum agraria sebelum
berlakunya UUPA, atau pada masa pemberlakuan Undang-Undang Agraria kolonial
Belanda (Agrarische Wet 1870).

Konsep Domein Verklaring sendiri berisi pernyataan bahwa semua tanah yang
tidak dapat dibuktikan diatasnya ada hak eigendom masuk ke domein negara.
Akibatnya, tanah-tanah tanpa ada pembuktiaan sertipikat akan dinyatakan sebagai
domein negara. Selanjutnya, tanah-tanah yang diatasnya ada hak adat disebut
dengan onfrije domein. Begitupun sebaliknya bagi tanah-tanah yang diatasnya tidak
ada hak adat disebut dengan frije domein. Sedangkan tanah-tanah masyarakat
hukum adat yang tidak digarap secara langsung, seperti hutan, tanah yang tidak
produktif, gunung, sungai, danau, laut, dan sebagainya dinyatakan sebagai frije
domein. Wilayah itu sejatinya merupakan wilayah [ruang hidup] dari warga
masyarakat hukum adat, seperti tempat manangkap ikan, memungut hasil hutan,
berburu, dan seterusnya.

Meskipun domein verklaring telah dihapus oleh hukum nasional, namun


masih terdapat kerancuan di dalam istilah “dikuasai oleh negara” pada pasal 33 ayat
2 dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Menurut pasal 33 ayat (2) menyebutkan cabang
- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara. Istilah dikuasai oleh negara dalam pasal ini berarti
memiliki dan dikelola oleh negara secara langsung, umumnya oleh Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Sementara makna “dikuasai oleh negara” di dalam pasal 33
ayat (3) UUD 1945, yang kemudian oleh pasal 2 dan penjelasan umum UUPA dikenal
dengan istilah “Hak Menguasai Negara,” menegaskan istilah “dikuasai” tidak berarti
“dimiliki.” “Dikuasai oleh negara” mengandung pengertian memberikan wewenang
kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa indonesia. Kerancuan
makna “dikuasai oleh negara” tersebut berakibat pada timbulnya kesalahpahaman
dari para penyelenggara negara yang memandang bahwa hak menguasai negara

19
atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi yang diurus oleh BUMN,
dalam artian dikelola langsung oleh negara.

Selaras dengan itu, perlu juga ditegaskan bahwa Konsep hak menguasai
negara di dalam pasal 33 (3) UUD 1945, pasal 2 dan penjelasan umum UUPA
ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tidak
melanggar hak orang lain. Memang, pengertian ‘bagi kemakmuran rakyat’ itu tidak
dijelaskan secara rinci, namun kita bisa merujuk pada pendapat para sarjana.
Misalnya A. Sodiki dalam Muhammmad Bakri (2007) menjelaskan kemakmuran
rakyat sebagai:

“Kemakmuran sebagai terminologi ekonomi, suatu masyarakat


dikatakan makmur apabila masyarakat yang bersangkutan dapat
memenuhi dan dipenuhi kebutuhannya baik pisik maupun non pisik
secara terus menerus. Indikasi terdapatnya kemakmuran apabila
terpenuhi “basic need” (sandang, pangan, papan, harga diri,
kenyamanan, ketenteraman hidup, aktualisasi diri), terjamin lapangan
kerja dalam arti luas, adanya pemerintah negara yang bersih,
berwibawa dan efektif, serta dirasakannya hukum sebagai bagian
penting dari kehidupan”.

Selanjutnya, Abdurrahman (1995) menjelaskan klausula kemakmuran rakyat


bukan hanya pada aspek ekonomi belaka, namun juga pada aspek politik, sehingga
penggunaan sumber daya alam oleh negara harus seimbang, sehingga hak rakyat
atas tanah harus selalu diperjuangkan untuk menikmati kemakmuran dan
menjadikan tanah sebagai sumber kemakmuran hidupnya. Hal ini tidak terlepas dari
semangat UUPA yang (Neo) populis, sehingga prinsip Hak Menguasai Negara
dipergunakan untuk mengatur tanah-tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Penerapan (Neo) populis oleh UUPA mendasarkan diri pada asumsi manusia
yang monodualis, yakni sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itu,
UUPA tidak menganut salah satu dari dua ekstrim sistem penguasaan tanah
(sumber daya alam), antara sistem kapitalis dengan sistem sosialis, namun berada

20
di tengahnya.24

Dalam hal sifat dan asasnya, kewenangan negara yang bersumber dari Hak
Menguasai Negara terhadap tanah berada di tangan pemerintah pusat, yang
kemudian bisa dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra (sekarang pemerintah
daerah) dan masyarakat hukum adat dalam rangka tugas perbantuan (madebewind).
Adapun penjelasan tentang penguasaan negara terhadap semua tanah yang ada di
wilayah Indonesaia itu dapat diperoleh dalam Penjelasan Umum Nomor II/2 UUPA
yang menyebutkan;

“….. kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air
dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang
maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah
dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya
sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai
untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara
tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasan
dinyatakan dalam Pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya dalam Bab II.”

2.2.2. Pengakuan Hak Ulayat dengan Hukum Agraria


UUPA berfungsi menghapus dualisme hukum tanah yang lama, yakni hukum
tanah adat dan hukum tanah barat, dan menciptakan unifikasi hukum tanah nasional.
Unifikasi hukum ini memperkuat keberadaan hukum adat dan atau hak ulayat

24
Sistem kapitalis sendiri berpijak pada konsep dimana sarana produksi yang utama (tanah)
dikuasai oleh individu-individu non-penggarap (orang dan atau badan hukum). Penggarap yang
langsung mengerjakan tanah adalah pekerja upahan “bebas”, diupah oleh penguasa/pemilik tanah
sehingga penguasaan/kepemilikan atas tanah dengan penggarap terpisah. Hubungan dua kelompok
tersebut adalah hubungan kerja antara pemilik/penguasa atas tanah dengan para penggarap. Dalam
sistem ini, hak individu atas tanah menduduki peran sentral dalam sistem penguasaan/pemilikan
tanah (sumber daya alam). Sebaliknya dalam sistem sosialis berpijak pada konsep dimana sarana
produksi utama (tanah) dikuasai oleh organisasi (biasanya adalah negara) atas nama kelompok
pekerja. Tenaga kerja merupakan tenaga yang memperoleh imbalan dari hasil kerjanya yang
diputuskan oleh organisasi yang mengatasnamakan organisasi para pekerja. Dengan demikian,
tanggung jawab atau pengambilan keputusan atas produksi, akumulasi dan investasi terletak di
tangan organisasi yang mengatasnamakan para pekerja (biasanya adalah negara) sehingga hak
organisasi (negara) merupakan sentral dalam sistem penguasaan/pemilikan tanahnya (sumber daya
alam).

21
menjadi hukum yang tertulis.25 Hal ini dapat dijumpai di dalam UUPA, baik pada
konsideran maupun di dalam batang tubuh, sebagai berikut;26

a. Konsideran;

Berpendapat, huruf a, yang menyatakan bahwa berhubungan denga napa


yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya
hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah,
yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak mengabaiakan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama;

b. Batang Tubuh;

Pasal 5 menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan
ruang angkasa ialah hukum adat. Sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama. Dalam penjelasan pasal 5 ini
dipertegas juga bahwa; “….hukum pertanahan nasional itu berdasarkan
hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah didasarkan atas
sistematika hukum adat….”

Dari penjelasan di atas, UUPA menjadikan hukum adat memiliki hubungan


fungsional dengan hukum agraria nasional, yakni, pertama, hukum adat sebagai
sumber utama hukum tanah nasional; kedua, hukum adat sebagai sumber pelengkap
hukum tanah nasional.27 Hukum Adat sebagai sumber hukum tanah nasional

25
Ketut Oka Setiawan, (2020), Hukum Agraria, Pustaka Reka Cipta, Bandung
26
Ibid
27
Ibid

22
bermakna bahwa norma hukum adat berfungsi sebagai sumber hukum utama yang
meliputi konsepsi, system, asas-asas dan Lembaga hukumnya. Sedangkan hukum
adat sebagai pelengkap hukum tanah nasional bermakna bahwa jika ada masalah
yang belum mendapat pengaturan dalam hukum tanah tertulis, yang berlaku adalah
28
ketentuan hukum adat yang bersangkutan.

Pengakuan hukum adat dan hak ulayat di dalam UUPA memiliki syarat
pemberlakuan, yakni bahwa pengakuan hak ulayat dalam pasal 3 UUPA tersebut
terikat dengan syarat ketentuan pada Pasal 1 dan 2 UUPA, sehingga ketentuan Pasal
3 merupakan pengakuan yang didasari akan kedudukannya tidak lagi sebagai hak
tertinggi dalam suatu masyarakat hukum adat, karena hak itu telah melebur menjadi
hak bangsa Indonesia. Dengan arti lain bahwa hak ulayat yang dimaksud di dalam
Pasal 3 UUPA berada dalam hak bangsa dan bila memperhatiakan syarat berikutnya
yakni tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, maka hak ulayat
kedudukaknnya menjadi di bawah hak bangsa.29

Hubungan hak ulayat dengan hak bangsa sendiri dapat ditemukan dalam
Pasal 1 Ayat (1), (2), dan (3) UUPA, yang berbunyi;

1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh


rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termaksud dalam Ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat
abadi.

Selanjutnya, Penjelasan Umum Nomor II/1 UUPA menjelaskan hak bangsa

28
Ibid
29
Ibid

23
sebagai; hak bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang angkasa bukanlah hak milik
tetapi semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas,
yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Indonesia.30 Boedi Harsono
menyebutkan hak bangsa adalah hak tertinggi di samping hak penguasaan tanah
lainnya yang berada di bawahnya. Artinya ada tata urutan (hierarkhi) dalam
31
penguasan tanah menurut UUPA, yaitu:

1) Hak bangsa Indonesia (Pasal 1).

2) Hak menguasai oleh negara atas tanah (Pasal 2)

3) Hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 3)

4) Hak-hak perorangan :

a) Hak-hak atas tanah (Pasal 4).

 Primer: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang
diberikan oleh negara, dan hak pakai yang diberikan oleh negara
(Pasal 16).

 Sekunder: hak guna dan hak pakai yang diberikan oleh pemilik
tanah, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak
sewa (Pasal 37, 41 dan 53)

b) Wakaf (Pasal 49).

c) Hak tanggungan atas tanah

Keberadaan hak bangsa memberi ruang [masih dimungkinkan] adanya hak


milik perorangan atas tanah, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Nomor
I/2 yang berbunyi: adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang
angkasa tersebut di atas tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian
dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa
hubungan itu semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berati hubungan milik.32

30
Muhammad Bakri, (2007), op.cit, hal 40-41.
31
Boedi Harsono (2003), op.cit, hal 267.
32
Muhammad Bakri, (2007), op.cit, hal 46.

24
Pasal ini juga menyimpulkan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan
bumi, air dan ruang angkasa bersifat abadi, dan tidak dapat dihilangkan oleh
siapapun.
Di samping itu, di dalam UUPA terdapat Hak menguasai Negara (Pasal 2) dan
hak ulayat (Pasal 3) yang mempunyai aspek publik yang sama. Aspek publik dari hak
menguasai negara memberi wewenang kepada negara untuk mengatur 3 (tiga)
kewenangan atau hak yang termuat dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA, sedangkan hak
ulayat memberi wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola,
mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan
tanah ulayat.33 Jika kedua hak itu dihubungkan, maka hak menguasai negara
terhadap tanah semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi
yaitu, meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia, sedangkan hak ulayat berlaku
terbatas hanya pada suatu wilayah masyarakat hukum adat tertentu. Hal tersebut
didukung oleh persamaan konsep hak ulayat dengan konsep hak menguasai negara
terhadap tanah, yaitu:34
1) Baik hak ulayat maupun hak menguasai tanah oleh negara merupakan
“induk” dari hak-hak atas tanah lainnya. Di atas tanah hak ulayat dapat
muncul hak-hak perorangan atas tanah, demikian pula dengan hak
menguasai negara oleh negara dapat muncul hak-hak perorangan atas
tanah.

2) Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam yang sama dengan


kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai oleh negara
atas tanah.

3) Tanah-tanah yang telah dibuka dan dipunyai dengan suatu hak oleh
suatu subyek hukum, jika ditelantarkan menyebabkan hilangnya hak-
hak atas tanah tersebut dan tanahnya kembali menjadi tanah ulayat
yang dikuasai secara penuh oleh masyarakat hukum adat setempat.
Hal ini sama dengan hak menguasai tanah oleh negara yaitu, jika
sebidang tanah hak ditelantarkan oleh pemegang haknya (Pasal 27

33
Ibid
34
Ibid

25
Huruf a Nomor 4, Pasal 34 Huruf e dan Pasal 40 Huruf e ),
menyebabkan hilangnya hak-hak atas tanahnya menjadi tanah negara
(tanah yang dikuasai langsung oleh negara).

Dengan adanya persamaan antara konsep hak ulayat dengan hak menguasai
negara terhadap tanah, maka hak menguasai negara terhadap tanah berasal dari
konsep hak ulayat yang diangkat pada tingkatan tertinggi, yaitu meliputi seluruh
wilayah Indonesia.35 Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 memberi kewenangan kepada
masyarakat hukum adat untuk menguasai semua tanah seisinya yang ada di wilayah
kekuasaannya, pada tingkatan tertinggi (secara nasional) kewenangan tersebut
diserahkan kepada negara dalam hak menguasai negara. Konsep ini kemudian
diterjemahkan lagi dalam Pasal 2 UUPA, yaitu; hak menguasai tanah oleh negara
semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu meliputi
seluruh wilayah indonesia.36 Konsep tersebut diterima sepanjang hak ulayat yang
ditarik pada tingkatan yang tertinggi itu tidak mematikan/meniadakan hak ulayat
masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya benar-benar masih ada. Kedua
hak itu hidup secara berdampingan, dan hak menguasai tanah oleh negara tidak
boleh mematikan/meniadakan hak ulayat, bahkan sebaliknya ia harus mengayomi
dan melindungi hak ulayat.37

Jika negara tidak lagi memegang konsep ini sebagai konsep dasar hak
menguasai negara, maka negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat yang telah diangkat dari hak ulayat itu sendiri. Prinsip
keadilan dalam penguasaan hak ulayat tidak akan tercipta kalau negara mempunyai
kuasa penuh terhadap objek hak ulayat tanpa memperhatikan masyarakat hukum
adat.

2.2.3. Konsep Hak Ulayat dalam Hukum Agraria

Dalam melihat hubungan antara masyarakat hukum adat dengan ulayatnya

35
Ibid
36
Ibid
37
Ibid

26
maka akan dilihat posisi masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum atas hak
ulayat. Dalam konteks memahami masyarakat hukum adat sebagai subjek, kita bisa
merujuk pada literatur hukum adat yang ada. Van Vollenhoven dalam bukunya,“Het
Adatrecht van Nederland Indie, jilid I telah menjelaskan dua penggolongan
masyarakat hukum adat, yakni masyarakat hukum adat berdasarkan genealogis dan
teritorial. Penggolongan secara genealogis berarti masyarakat hukum adat terikat
dalam hubungan keluarga, suku atau famili. Sedangkan secara teritorial berarti
masyarakat hukum adat terikat dalam suatu wilayah. Penggolongan tersebut adalah:

1) Persekutuan hukum yang berupa genealogis seperti dalam


masyarakat hukum adat Mentawai (Uma) dan Dayak.

2) Persekutuan hukum berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya


terdapat kesatuan-kesatuan genealogis seperti nagari di Sumatera
Barat.

3) Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa kesatuan


genealogis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan
kesatuan teritorial yang lebih kecil, seperti marga dan dusun di
Sumatera Selatan atau kuria dan huta di Tapanuli.

4) Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di


dalamnya terdapat persekutuan/badan hukum yang sengaja didirikan
oleh warganya,seperti desa dengan subak-subak di Bali.

Empat penggolongan masyarakat hukum adat di atas memberikan


penjelasan untuk melihat hubungan antara struktur masyarakat hukum adat
dengan pola/model hak ulayatnya. Artinya, penggolongan tersebut melahirkan
pola/model penguasaan sumberdaya alam yang berbeda- beda dalam masyarakat
hukum adat. Dalam garis besarnya pola/mmodel penguasaan tersebut adalah:

1) Pada golongan pertama adalah pemilik sawah/lladang dengan


pekarangan.

2) Pada golongan edua dalah pemilik pekarangan saja.

27
3) Pada golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak memiliki tanah
atau pekarangan.

Dari penggolongan diatas, masyarakat hukum adat di Minangkabau adalah


nagari maka dapat dilihat pola/ model penguasaan sumberdaya alam masyarakat
adatnya yang bersifat teritorial sekaligus terdapat di dalamnya sifat genealogis.

Untuk melihat konsep hak ulayat dalam UUPA relevan dengan konsep-konsep
hak ulayat dalam artian beschikkingsrecht, yang pernah dikemukakan oleh
beberapa penulis terkemuka di bidang itu, dan juga pengembangan-
pengembangannya. Beschikkingsrecht pertama kali diperkenalkan oleh Van
Vollenhoven sebagai salah satu ahli hukum adat yang pernah ada. Van vollenhoven
dalam bukunya berjudul “De Indonesier en zijn Grond ” yang dikutip dalam Sjahmunir
(2006), hak ulayat disebut sebagai beschikkingsrecht. Beschikkingrechts dalam
kepustakaan hukum adat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hak yang melekat
pada suatu masyarakat hukum adat yang pada dasarnya terarah kepada tanah
dalam teritorialnya.38 Hubungan antara hak ulayat ersebut tidak dapat dipisahkan
dari: 39

1) Masyarakat hukum adat sebagai subyek hak ulayat.

2) Tanah (termasuk air dan udara) yang berada dalam wilayah


kekuasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan beserta apa-
apa yang tumbuh dan hidup di tas tanah itu, sebagai obyek dari hak
ulayat.

3) Daya berlakunya hak ulayat, baik kedalam maupun keluar, sebagai ciri
hak ulayat.

Selain itu, Boedi Harsono (2003) menyebutkan bahwa hak ulayat terdiri
atas tiga sifat, yaitu; pertama, sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak
bersama para anggota masyarakat hukum adat. Kepunyaan bersama ini
38
Kurnia Warman, 006, Op it ., al 4.
39
Sjahmunir, 2006, Eksistensi Tanah Ulayat Dalam Perundang-Undangan Indonesia, PIM, Padang, hal,
30.

28
merupakan bagian dari keyakinan atas karunia suatu kekuatan gaib atau
peninggalan nenek moyang dalam masyarakat hukum adat. Kedua, sifat individual
menunjuk pada hak anggota masyarakat hukum adat untuk menguasai dan
menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi
dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara sampai dengan hak yang
tanpa batas waktu, yang lazim disebut hak milik. Ketiga, sifat teritorial dan
genealogisnya yaitu kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat
yang teritorial dalam artian wilayah, seperti desa, marga, nagari, huta dan lain-lain,
serta bisa juga merupakan masyarakat hukum adat genealogis atau keluarga, seperti
suku dan kaum di Minangkabau.40

Selanjutnya, Boedi Harsono membagi hak ulayat atas tiga aspek, yaitu:
pertama, hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus
publik, kedua, hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber dari hak ulayat
yang bersifat publik, dan ketiga, hak-hak atas tanah individual (hak milik)yang baik
langsung maupun tidak langsung berasal dari hak ulayat.41 Kemudian, Muhammad
Bakri (2007) mempertegas hak ulayat tersebut dalam dua aspek, yaitu; pertama ,
aspek keperdataan yang berarti mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah
bersama para anggota atau warga masyarakatnya, dan kedua, aspek publik yang
berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama.42

Aspek-aspek tersebut merupakan bentuk hierarki hak penguasaan atas tanah


dalam masyarakat hukum adat. Selain itu, anggota masyarakat hukum adat juga
dapat leluasa tanpa diharuskan meminta izin untuk mengambil atau memungut
hasil hutan, sungai atau rawa- rawa, berburu dan lain sebagainya, dengan ukuran
hasilnya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Berbeda halnya apabila hasil pemungutan tersebut diperdagangkan, maka ia
diperlakukan sebagai orang asing dan diharuskan menyerahkan sepersepuluhnya
40
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-UUndang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid I, Edisi Revisi, Djambatan,Jakarta,hal.181.
41
Ibid
42
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru untuk
Reformasii Agraria, Citra Media, yogyakarta, hal. 1.

29
kepada masyarakat hukum adat melalui penguasa adat.43

Untuk melihat secara ringkas tentang posisi hak ulayat dan hubungannya
dengan hak bangsa dan hak menguasai negara di dalam hukum agraria nasional,
44
dapat dilihat pada gambar dibawah ini;

43
Boedi Harsono, Op. it., hal. 87.
44
Kurnia Warman, et al (2009), Pemulihan Hak Ulayat; Perspektif Pemangku Kepentingan di
Sumatera Barat, Perkumpulan HuMa dan Perkumpulan Qbar, Jakarta.

30
Gambar 1
Posisi Hak Ulayat dan Hubungannya dengan Hak Bangsa dan Hak Menguasai
Negara di dalam Hukum Agraria Nasional

Masyarakat Hukum Adat Negara

Aspek Privat/Perdata: Aspek


hak setiap orang privat/Perdata: hak
dalam masyarakat bagi warga negara
Hak ulayat h k d Hak Bangsa

Aspek Publik: hak


Hak
yang ada pada Aspek publik Menguasai
pemimpin adat
Negara

Pasal 2 (2) UUPA:


1. mengatur tata ruang dan tata guna
tanah
2. mengatur hak atas bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam.
3. mengatur perbuatan hukum orang-
orang mengenai BAR

Pelaksanaan HMN oleh


pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan
masyarakat hukum adat
(Pasal 2 [4])

Gambar ini menjelaskan secara ringkas bahwa: Pasal 33 Ayat (3) UUD
1945 memberi kewenangan kepada masyarakat hukum adat untuk
menguasai semua tanah seisinya yang ada di wilayah kekuasaannya.

31
Pada tingkatan tertinggi (secara nasional) kewenangan tersebut
diserahkan kepada negara dalam hak menguasai negara. Konsep ini
kemudian diterjemahkan lagi dalam UUPA Pasal 2, yaitu hak
menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat pada
45
tingkatan yang tertinggi yaitu meliputi seluruh wilayah indonesia.
Konsep tersebut diterima sepanjang hak ulayat yang ditarik pada
tingkatan yang tertinggi itu tidak mematikan/meniadakan hak ulayat
masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada.
Kedua hak itu hidup secara berdampingan, dan hak menguasai tanah
oleh negara tidak boleh mematikan/meniadakan hak ulayat, bahkan
sebaliknya ia harus mengayomi dan melindungi hak ulayat.46

2.3. Konsep Hak Ulayat dalam Hukum Adat Minangkabau


Konsep hak ulayat di Minangkabau secara prinsip tidak berbeda dengan
konsep hak ulayat seperti yang disebut sebelumnya. Selain itu, dengan melihat
penggolongan masyarakat hukum adat oleh Van Vollenhoven, maka masyarakat
hukum adat di Minangkabau masuk ke dalam golongan persekutuan hukum dari
kesatuan teritorial sekaligus di dalamnya terdapat kesatuan genealogis. Kesatuan
teritorial adalah wilayah nagari-nagari yang tersebar di wilayah Alam Minangkabau.47

Praptodihardjo, seperti dikutip oleh Abdurrahman (1996) mengatakan bahwa


tanah ulayat menurut orang Minangkabau adalah warisan dari mereka yang
mendirikan nagari. Tanah tersebut bukan saja kepunyaan umat yang ada sekarang,
akan tetapi juga menjadi hak generasi yang akan datang. Dari hal tersebut, maka hak
ulayat mengandung tiga dimensi: pertama, hak ulayat merupakan hak atas tanah
yang mereka terima turun temurun dari para leluhurnya yang mendirikan nagari.
Kedua, hak ulayat merupakan hak yang sama dari seluruh warga nagari secara
keseluruhan, dan ketiga, hak ulayat bukan saja hak dari yang hidup sekarang tetapi

45
Ibid.
46
Ibid.
47
Alam Minangkabau menyebutkan wilayah masyarakat adat Minangkabau, yang terdiri dari
wilayah darek dan rantau, kemudian wilayah darek dibagi lagi dalam luhak-luhak yaitu; Luhak Tanah
Datar, Agam dan Limapuluh Kota

32
juga hak dari generasi yang akan datang (suistainable development).48

Pendapat serupa disampaikan oleh M. Nasroen (1971) yang menyatakan hak


yang tertinggi adalah hak ulayat. Hak ulayat ini hanya dimiliki secara bersama, tidak
boleh dimiliki oleh perseorangan, sehingga yang mempunyai hak ulayat adalah
nagari, federasi dari nagari-nagari, kaum dan sebagainya. Oleh A.A. Navis (1984)
pendapat tersebut dipertegas, bahwa setiap nagari di Minangkabau mempunyai hak
ulayat dengan batas-batas yang sesuai dengan keadaan alam di sekitarnya, seperti
puncak bukit atau sungai. Luas wilayah nagari tidak sama, tergantung pada posisi
nagari tetangganya. Jika tidak ada nagari tetangga maka luasnya ditentukan dengan
batas kemampuan berjalan sesorang, mungkin sampai puncak bukit, tebing yang
curam, sungai yang deras, hutan lebat yang tidak tertembus manusia.49

Kemudian Sjahmunir (2006) menjelaskan bahwa pengertian hak ulayat oleh


masyarakat Minangkabau belum begitu jelas, namun dihayati sebagai sesuatu
realitas yang ada, terutama dalam hal hak dan kewajiban masyarakat hukum adat
atas hak ulayat, baik itu dari pemangku adat maupun anggota masyarakat hukum
adat.50 Berdasarkan kenyataan itu, maka terdapat tiga kelompok hak ulayat, yaitu;

1) hak ulayat kaum.

2) hak ulayat suku

3) hak ulayat nagari.

Disamping tiga bentuk hak ulayat di atas, Sjahmunir juga menyebutkan


tentang hak ulayat rajo (raja), yang pada hari ini hampir-hampir tidak ada dan
walaupun ada dapat digolongkan ke dalam pengertian ulayat nagari. Pengertian hak
ulayat juga dijabarkan oleh L.C. Westenenck (1918) dalam Sjahmunir yang
menjelaskan bahwa hak ulayat adalah kekuasaan, hak untuk mengurus, mengawas
dan juga menguasai. Pengertian ini relevan dengan makna hak ulayat dalam Hukum
Adat Minangkabau sebagai hak yang tertinggi, yang menyebutkan seseorang pemilik
bukanlah yang mempunyai hak ulayat namun bersifat hak sementara terhadap tanah

48
Kurnia Warman, (2006), op.cit, hal 57.
49
Ibid
50
Sjahmunir, (2006), op.cit, hal 33.

33
dan apabila ia meninggalkan tanah itu maka kembali kepada masyarakat hukum
adat, sebagaimana ditegaskan dalam petitih: kabau pai kubangan tingga (kerbau
pergi tanah kubangan tinggal).51 Untuk mendapatkan pandangan yang jelas tentang
hal tersebut, maka Westenenck membagi hak ulayat atas:

1) Rimbo rayo-tanah yang belum diolah (het cerwoud).

2) Tanah yang pernah diolah dan ditinggalkan kembali.

3) Tanah yang ditanami, diolah dan ditanami.

Pendapat Westenenck di atas membagi hak ulayat dalam situasi tanah yang
sudah digarap dan belum digarap. Kemudian oleh AA. Navis (1984) dalam Kurnia
Warman membagi hak ulayat dalam dua macam, yaitu; hak ulayat nagari dan hak
ulayat kaum. Ulayat nagari berupa hutan yang menjadi cagar alam dan tanah
cadangan nagari, sedangkan ulayat kaum adalah tanah yang dapat dimanfaatkan
tetapi belum diolah penduduk atau anggota masyarakat hukum adat (hutan
rendah).52 Kurnia Warman (2006) menyebutkan hal berbeda dengan AA. Navis,
dalam hal ulayat kaum karena ulayat kaum yang disebutkan oleh AA. Navis berada
pada penguasaan penghulu suku yang menjadi pucuk atau tuanya, sehingga tidak
relevan dengan kenyataan yang ada dalam ulayat kaum, sehingga kategori ulayat
kaum menurut Kurnia Warman masuk dalam kategori ulayat suku.53 Sedangkan
ulayat kaum adalah tanah yang dimiliki oleh suatu kaum yang dikuasai oleh Mamak
Kepala waris (kemudian disebut MKW) sebagai kepala kaum. Artinya pembagian hak
ulayat di Minangkabau adalah; pertama, ulayat nagari, kedua, ulayat suku, dan ketiga
ulayat kaum.54 Namun dalam kenyataannya, tidak semua nagari mempunyai hak
ulayat suku, sehingga hak ulayat dalam kondisi nagari tersebut dibagi atas dua, yaitu
hak ulayat nagari dan hak ulayat kaum.55

Kurnia Warman menyebutkan bahwa secara teknis yuridis hak ulayat adalah
hak ulayat nagari dan ulayat suku apabila ada, sedangkan hak ulayat kaum
merupakan tanah milik komunal yang membedakannya dengan tanah milik pribadi,

51
Ibid
52
Kurnia Warman, (2006), op. cit, hal 58.
53
Ibid
54
Ibid
55
Ibid

34
sehingga hak ulayat kaum disebut sebagai tanah milik kaum.56 Artinya, konteks
beschikkingsrechts (hak pertuanan) sebagai pemaknaan hak ulayat berada pada hak
ulayat nagari dan hak ulayat suku bila ada, sedangkan hak ulayat kaum atau tanah
milik kaum adalah hak yang bersifat kepemilikan komunal. Hal ini disebutkan oleh
Kurnia Warman berhubungan dengan kepemilikan tanah dari persekutuan kepada
perorangan yang terjadi di Minangkabau.

2.4. Prinsip dan Asas Perlindungan dan Pengelolaan Tanah Ulayat


Penguasaan dan pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah
penguasaan dan pengelolaan wilayah adat dan kewenangannya yang terintegrasi
antar sektor, baik itu sektor kehutanan maupun tanah dan sektor-sektor lainnya,
disebabkan dalam sistem ulayat yang di anut nagari tidak mengenal pembagian
sektor pengelolaan sumber daya alam tersebut. Di sisi lain, pengelolaan sumber
daya alam oleh negara terbagi atas sektor-setor, terutama sektor tanah dan hutan di
samping pemerintah daerah yang kekuasaan administratif atas wilayah-wilayah itu.

Dalam konteks tersebut, perlindungan dan pengelolaan tanah dan atau hak
ulayat masyarakat hukum adat itu dituntut senantiasa untuk holistik sehingga
integrasinya dengan sektor-sektor penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam
oleh negara juga dilakukan dengan holistik. Maka sektor-sektor tersebut perlu
melakukan koordinasi yang terpadu.

Posisi Pemerintah Provinsi dalam konteks ini merupakan leading sector


perlindungan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan kewenangan
dekonsentrasinya. Sehingga proses devolusi pengelolaan sumber daya alam dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat berjalan dengan baik. Proses
devolusi pengelolaan sumber daya alam sendiri adalah proses desentralisasi
pengelolaan sumber daya alam. Peter vandergeest dan Chusak Wittayapak
menyebutkan57 : “in the particular context of natural resource management,
decentralization often operates in two arenas; administratve and political.” Kemudian
56
Ibid
57
Peter Vandergeest and Chusak Wittayapak, dalam “The political of Decentralization Natural
Resource Management In Asia,” Mekong Press, Bangkok

35
mereka menjelaskan desentralisasi administratif sebagai : “ administrative
decentralization usually involves a transfer of decision making powers from central
state to regional or local bureaucracies, which remain upwaidly accountable to
central headquarters.”

Sedangkan desentralisasi politik sebagai: “ political decentralization occurs


when power and resource rights are shifted to authorithies, who are representatives
of, and downwardly accountable to local people.”

Prinsip tersebut relevan dengan sistem tata pemerintahan dan pengelolaan


sumber daya alam di Indonesia, sehingga Desentralisasi administratif
merupakan bentuk lain dari dekonsentrasi yang melingkupi kewenangan BPN
Propinsi dan Dinas Kehutanan Propinsi, yaitu pelimpahan urusan pemerintahan
pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan Desentralisasi politik merupakan
sistem pemerintahan daerah yang saat ini di anut, yaitu otonomi pemerintahan
terutama pengambilan keputusan politik. Artinya koordinasi antara
pemerintahan daerah dengan BPN dan Dinas Kehutanan merupakan
keterpaduan desentralisasi administrasi dan politik dalam perlindungan dan
pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat.

BAB III
ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

3.1. UUD 1945


Dalam UUD 1945 pasca amandemen, ada beberapa ketentuan tentang
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat, yakni;

Pertama, Pasal 18 B Ayat (2), yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

36
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Kedua, Pasal 28 I Ayat (3) yang menyatakan bahwa:

”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras


dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Pasal 18 B Ayat (2) merupakan bentuk pengakuan negara terhadap


masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Penyebutan hak tradisional menunjukkan
bahwa hak itu merupakan sesuatu yang melekat secara historis dengan masyarakat
hukum adat. Pengakuan yang diberikan oleh negara ini merupakan dasar
konstitusional bagi masyarakat hukum adat dalam memanfaatkan dan mengelola
sumber daya alam milikinya atau lazim disebut dengan hak ulayat.

Pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat dipertegas


oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.35/PUU-X/2012 yang
menyebutkan dua hal penting, yakni; Pertama, Masyarakat hukum adat adalah
subjek hukum yang merupakan penyandang hak (hak tradisional) dan pemangku
kewajiban; masyarakat hukum adat, mempunyai kedudukan hukum, sama seperti
subjek hukum lainnya; seperti individu dan badan hukum. Dalam konteks ini adalah
subjek hukum [hak] atas tanah dan sumber daya alam.

Kedua, Mempertegas hubungan hukum antara masyarakat hukum adat


dengan tanah ulayat dan sumber daya alam diatasnya (hutan). Dalam konteks hutan
adat, maka tidak dapat dipisahkan antara hak ulayat dengan hak atas hutan (status
hutan)

3.2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:


IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
Salah satu prinsip dari pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam
adalah pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum

37
adat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5 huruf j yang berbunyi:

“Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus


dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip; …. (J) mengakui dan
menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam….”

3.3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) ada beberapa ketentuan yang juga berhubungan dengan
pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, walaupun masih ada syarat yang
ditetapkan bagi masyarakat hukum adat.

Pertama, Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :

”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2


pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.”

Kedua, Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut :

”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang-Undang ini dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.”

Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme antara

38
hak – hak tanah berdasarkan hukum adat dengan hak-hak tanah menurut hukum
barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia. Secara sadar, UUPA hendak mengadakan kesatuan
hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai yang satu dan sesuai dengan
kepentingan perekonomian.

Dengan sendirinya UUPA harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada


rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum
adat, maka hukum agraria akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum
adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya
dengan dunia Internasional, serta sesuai dengan sosialisme Indonesia.

Dalam konteks perlindungan hak ulayat ini, tidak terlepas dari membangun
hukum agraria nasional dari prinsip-prinsip dasar hukum agraria nasional dan
penghormatan dan perlindungan atas masyarakat hukum adat atas penguasaan
ulayatnya (hak ulayat) dalam skala masyarakat hukum adat di Sumatera Barat.

3.4. Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan


Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Undang-Undang Nomor 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan Dan
Pembangunan Keluarga Sejatera (UU PKPKS) menegaskan hak masyarakat hukum
adat untuk hidup dengan identitas budaya dan pengakuan hak ulayat sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6 huruf b sebagai berikut:

“hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk


mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk mengembangkan
kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan
wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau
mengembangkan perilaku kehidupan budayanya.”

Penjelasan Pasal 6 mempertegas bahwa hak untuk melestarikan dan


mengembangkan perilaku kehidupan budaya meliputi aspek fisik (hubungan dengan
tanah), maupun aspek nonfisik, termasuk sosial budaya seperti kekhasan cara hidup.
Dengan demikian, dalam Pasal 6 huruf b beserta penjelasannya memberikan

39
kedudukan kuat kepada masyarakat hukum adat untuk mempertahankan hak ulayat,
termasuk di dalamnya tentang tata cara pengelolaan dan pemanfaatannya.

3.5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
ini adalah undang-undang pertama yang mengatur tentang hak asasi manusia. UU ini
lahir dari tuntutan untuk penguatan kewajiban negara dalam menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM warga negara. Adapun sejumlah ketentun terkait
dengan keberadaan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ada dalam Pasal 5
ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU HAM yang berbunyi:

1) Pasal 5 ayat (3):

“Setiap orang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak


memperoleh pengakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.”

Pasal 5 ayat (3) UU HAM mengatur lebih luas bagi kelompok yang
memiliki kekhususan. Masyarakat adat hanya salah satu kelompok
yang memiliki kekhususan karena berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Perbedaan itu antara lain soal hubungan sosial, politik dan
ekologis dengan alam. Selain masyarakat adat, kelompok masyarakat
rentan yang memiliki kekhususan misalkan perempuan, anak-anak,
kelompok difabel dan lain-lainnya.

40
2) Pasal 6 ayat (1):

“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan


kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.”

Pasal 6 ayat (1) UU HAM mulai masuk mengidentifikasi masyarakat


adat. Ketentuan ini menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan
yang berbeda dari masyarakat adat yang harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.

3) Pasal 6 ayat (2):

“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah


ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”

Pasal 6 ayat (2) UU HAM lebih spesfik menyebutkan jenis hak-hak


masyarakat adat yang harus dilindungi oleh negera antara lain identitas
budaya dan hak atas tanah ulayat.

3.6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil mengadopsi beberapa konsep Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal
Tanpa Paksaan (Padiatapa) atau Free Prior Informed Consent (FPIC). Prinsip ini
mengacu pada bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memberikan atau tidak
memberikan persetujuan untuk tindakan yang akan mempengaruhi mereka,
terutama tindakan yang mempengaruhi tanah, wilayah, dan sumber daya alam
tradisional mereka.58 Adopsi prinsip Padiatapa bisa kita lihat dalam Pasal 60 yang

58
Prinsip FPIC telah juga tercantum dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat

41
menyatakan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
masyarakat berhak:

a) Memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;

b) Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk
memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;

c) Melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;

d) Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil;

e) Memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-Pulau Kecil;

f) Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas


kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

g) Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah


diumumkan dalam jangka waktu tertentu;

h) Melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau

(United Nations Declaration on The Rights of The Indigenous Peoples/UNDRIP) yang telah juga
Pemerintah Indonesia ikut menandatangani deklarasi tersebut. Adapun prinsip FPIC terdapat dalam
Pasal 32 yang menyatakan sebagai berikut: 1. Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan
mengembangkan prioritas dan strategi untuk pengembangan atau penggunaan tanah atau wilayah
dan sumber daya lainnya. 2. Negara harus berkonsultasi dan bekerja sama dengan itikad baik dengan
masyarakat adat tersebut melalui institusi perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan
tanpa paksaan dari mereka sebelum menyetujui proyek apapun yang berdampak kepada tanah
mereka atau wilayah dan sumber daya lainnya, terutama yang berhubungan dengan pembangunan,
pemanfaatan atau eksploitasi mineral, air, atau sumber daya lainnya. 3. Negara harus menyediakan
mekanisme ganti rugi yang efektif dan adil untuk setiap kegiatan seperti itu, dan tindakan-tindakan
yang tepat harus diambil untuk mengurangi dampak lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, atau
spiritual yang merugikan.

42
perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan
kehidupannya;

i) Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta

j) Memperoleh ganti kerugian.

3.7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan


Ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan (UUK) terkait masyarakat adat dan hak-haknya dalam
pengelolaan hutan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35/2012) seperti
dapat dilihat dalam table dibawah ini:

Pasal yang Kalimat Awal Ralat yang dilakukan oleh


Berubah Mahkamah Konstitusi
Pasal 1 angka 6 Hutan adat adalah hutan Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam yang berada dalam wilayah
wilayah masyarakat hukum masyarakat hukum adat
adat
Pasal 4 ayat (3) Penguasaan hutan oleh Penguasaan hutan oleh
negara tetap memperhatikan negara tetap memperhatikan
hak masyarakat hukum adat. hak masyarakat hukum adat,
Sepanjang kenyataannya sepanjang masih hidup dan
masih ada dan diakui sesuai dengan
keberadaannya. Serta tidak perkembangan masyarakat
bertentangan dengan dan prinsip negara kesatuan
kepentingan nasional. republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang
Pasal 5 ayat (1) Hutan berdasarkan Hutan negara sebagaimana
statusnya terdiri dari; a. dimaksud pada ayat (1)
hutan negara, dan b. hutan huruf a, tidak termasuk hutan

43
hak. adat.
Pasal 5 ayat (2) Hutan negara sebagaimana (dihapus)
dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat berupa hutan
adat.
Pasal 5 ayat (3) Pemerintah menetapkan Pemerintah menetapkan
status hutan sebagaimana status hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan dimaksud pada ayat (1); dan
ayat (2); dan hutan adat hutan adat ditetapkan
ditetapkan sepanjang sepanjang menurut
menurut kenaytaannya kenyataannya masyarakat
masyarakat hukum adat hukum adat yang
yang bersangkutan masih bersangkutan masih ada dan
ada dan diakui diakui keberadannya.
keberadannya.

Putusan MK 35/2012 yang meralat pasal 1 angka 6 dan beberapa pasal UUK
seperti yang ada pada table diatas adalah bentuk pemulihan hak masyarakat adat
atas pengelolaan hutan (hutan adat) berdasarkan hukum adat yang sebelumnya
tumpang tindih dengan status hutan negara, sehingga rentan mengalami
kriminnalisasi dan pembatasan akses. Putusan MK 35/2012 sendiri melakukan
perpindahan kategori dari hutan adat, dari hutan negara menjadi hutan hak yang
berkonsekuensi pada penegasan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai
penyandang hak (hak ulayat), subjek hukum tersendiri, dan pemilik wilayah adatnya.

3.8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang


Menurut penjelasan undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang ini bahwa dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan ruang
tersebut, Undang-Undang ini, memuat ketentuan pokok sebagai berikut, antara lain:
hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk

44
menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses
penyelenggaraan penataan ruang.

Selain itu, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat


juga dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat (5) yang berbunyi:

“Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas


penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan
strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.”

Dalam penjelasan Pasal 5 ayat 5 tersebut memasukan kawasan adat tertentu


sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya.

Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 7 ayat (3) yang berbunyi:

“Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan dengan tetap


menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”

Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa hak yang dimiliki orang
mencakup pula hak yang dimiliki oleh masyarakat adat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3.9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 63 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan pembagian
tugas dan wewenang terkait perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak-
hanya dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagai berikut:

a. Pemerintah, menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan


keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

45
b. Pemerintah Provinsi, menetapkan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi.

c. Pemerintah Kabupaten/Kota, melaksanakan kebijakan mengenai tata


cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

3.10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.


Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan
nomenklatur desa adat yang bertujuan untuk memperkuat desa-desa yang berakar
pada adat atau kata lain persekutuan hukum masyarakat adat (masyarakat hukum
adat) untuk menjadi subjek hak yang memiliki kewenangan berdasarkan hak asal
usul, termasuk di dalamnya hak atas wilayah adat/hak ulayat. Hal ini bisa dilihat
dalam Pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan;

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”

Adapun asas pengakuan masyarakat adat dan atau desa adat di dalam UU
Desa, yakni asas rekognisi. Asas ini berbeda dengan asas otonomi daerah
(dekonsemtrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan), dimana asas otonomi
daerah tersebut adalah prinsip penyerahan wewenang dari Pemerintah kepada
daerah otonom, maka asas rekognisi merupakan pengakuan dan penghormatan

46
negara terhadap kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya (otonomi
komunitas). Pengakuan masyarakat adat dan penerapan asas rekognisi membawa
konsekuensi pada; [1] pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum; [2]
pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan adat; [3] pengakuan terhadap
59
hak-hak atas harta benda adat termasuk hak ulayat.

Secara prosedur, pengakuan desa adat ini dalam bentuk penetapan status
desa adat yang merupakan bagian dari proses penataan desa. UU Desa telah
mengatur prosedur penetapan desa adat tersebut di dalam Pasal 14, Pasal 101 (2),
Pasal 109, Pasal 116 ayat (2). Pasal 14, Pasal 101 (2), Pasal 116 ayat (2). Tiga pasal
ini menjelaskan bahwa;

1) Penetapan desa adat dilaksanakan melalui Peraturan Daerah


Kabupaten/Kota;

2) Penetapan desa adat merupakan bagian dari penataan desa,


dimana memungkinkan untuk melaksanakan pembentukan,
penggabungan dan atau perubahaan desa, termasuk
perubahaan status kelurahan menjadi desa adat.

Selanjutnya, Pasal 109 menjelaskan tentang aspek susunan kelembagaan,


pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala Desa Adat ditetapkan dalam Peraturan
Provinsi. Dalam konteks Sumatera Barat telah terakomodir di dalam Peraturan
Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Nagari.

3.11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor


23 tahun 2014, pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat
dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Berdasarkan prinsip ini, kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi adalah:

59
Mulyanto (2015), Keberlakuan UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa di Bali dalam Perspektif
Sosiologi Hukum, Jogjakarta, Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
https://doi.org/10.22146/jmh.15880

47
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah


kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien


apabila dilakukan oleh Daerah provinsi.

Kemudian berkaitan dengan pengaturan suatu ketentuan dalam Peraturan


Daerah, diatur dalam Pasal 236 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa :

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,


Daerah membentuk Perda.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan


yang lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.

Berdasarkan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah tersebut, maka dapat disimpulkan materi muatan dari
Peraturan Daerah yaitu:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang


lebih tinggi;

c. muatan lokal yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

48
undangan.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 250 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014


tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Peraturan Daerah dimaksud
dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Bertentangan dengan kepentingan
umum meliputi:

a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;

b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;

c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;

d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan


masyarakat; dan/atau

e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan,


dan gender.

Sesuai dengan lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah, dimana terdapat 8 (delapan) sub urusan pemerintah provinsi
dibidang pertanahan, diantaranya mencakup :

1. Pemberian izin lokasi lintah Daerah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Daerah


provinsi.
2. Penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum provinsi.
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1
(satu) Daerah provinsi.
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan untuk pembangunan oleh
Pemerintah Daerah provinsi.
5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee lintas Daerah kabupaten/kota dala 1
(satu) Daerah provinsi.
6. Penetapan tanah ulayat yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1
(satu) Daerah provinsi.
7. Penyelesaian masalah tanah kosong lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1

49
(satu) Daerah provinsi.
8. Inventarisasi dan pemanfaatan tanah kosong lintas Daerah kabupaten/kota
dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
9. Perencanaan penggunaan tanah yang hamparannya lintas Daerah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

3.12. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 Tentang
Nagari
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 Tentang
Nagari membuka peluang kepada masyarakat hukum adat dan atau dalam bentuk
nigari adat (desa adat) dalam memperkuat hak ulayat dan pengelolaan tanah dan
sumber daya alam. Pengaturannya bisa dilihat pada:

Pasal 1 Angka (2) yang menyatakan bahwa:

“Nagari adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat secara geneologis


dan historis, memiliki batas-batas dalam wilayah tertentu, memiliki
harta kekayaan sendiri, berwenang memilih pemimpinnya secara
musyawarah serta mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan filosofi dan sandi adat, Adat Basandi Syara’ –
Syara’ Basandi Kitabullah dan/atau berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.”

Pasal 3 yang menyatakan bahwa:

“Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah agar Nagari,


sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat secara geneologis dan
historis, memiliki batas-batas dalam wilayah tertentu, memiliki harta
kekayaan sendiri, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat serta memilih atau mengangkat pemimpinnya,
mampu menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan hak asal usul
dan Hukum Adat.”

50
Perda Nagari mempertegas nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
yang memiliki hak asal usul, termasuk didalamnya hak ulayat, sekaligus unit
Pemerintahan desa dalam kerangka desa adat yang ada dalam UU Desa.
Selanjutnya, Perda Nagari memperkuat fungsi peradilan adat nagari yang
selama ini tidak terakomodir di dalam hukum nasional, terutama dalam hal
penyelesaian sengketa hak ulayat (sako pusako). Pengakuan peradilan (desa) adat
tersebut selaras dengan pengakuan hak asal usul yang ada di dalam UU Desa. Hal ini
bisa kita lihat pada Pasal 15 yang menyebutkan;
(1) Pada setiap Nagari, Kerapatan Adat Nagari membentuk Peradilan Adat
Nagari sebagai lembaga penyelesaian sengketa masyarakat tertinggi di
Nagari sesuai adat salingka Nagari.
(2) Sebelum sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan
oleh Peradilan Adat Nagari, harus diselesaikan terlebih dahulu pada
tingkat keluarga, paruik, kaum dan/atau suku secara bajanjang naiak
batanggo turun.
(3) Peradilan Adat Nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas sebagai berikut:

a. menyelesaikan sengketa sako dan pusako secara bajanjang


naiak batanggo turun melalui proses perdamaian;
b. penyelesaian perkara perdata adat melalui musyawarah dan
mufakat berdasarkan kesepakatan dalam sidang majelis
Kerapatan Adat Nagari yang merupakan “kato putuih” untuk
dipedomani oleh lembaga peradilan ; dan
c. memberi sanksi adat kepada anggota masyarakat yang
melanggar Hukum Adat sesuai dengan ketentuan Adat Salingka
Nagari.

51
BAB IV
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP PENGATURAN

Lingkup Materi Muatan Dari Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat
Tentang Tanah Ulayat

5.1. BAB tentang Ketentuan umum


Bab ini menjelaskan tentang batasan-batasan yang akan dilihat dalam Naskah
Akademik, sehingga jelas kerangka yang akan diatur. Untuk itu diperlukan beberapa
pengertian-pengertian kunci yang dikutip dari literatur dan peraturan perundang-
undangan. Pengertian-pengertian kunci tersebut adalah:

1) Nagari adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat secara geneologis dan


historis, memiliki batas-batas dalam wilayah tertentu, memiliki harta
kekayaan sendiri, berwenang memilih pemimpinnya secara musyawarah
serta mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan filosofi dan sandi adat, Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi
Kitabullah dan/atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat
dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat

2) Pemerintahan Nagari adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan


kepentingan masyarakat Nagari dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

3) Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disingkat KAN atau yang disebut
dengan nama lain adalah lembaga yang merupakan perwujudan
permusyawaratan perwakilan tertinggi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan ninik
mamak dan unsur alim ulama Nagari, unsur cadiak pandai, unsur Bundo
Kanduang, dan unsur parik paga dalam Nagari yang bersangkutan sesuai
dengan adat salingka Nagari.

52
4) Peradilan Adat Nagari atau yang disebut dengan nama lain adalah
lembaga penyelesaian sengketa masyarakat di Nagari berdasarkan adat
salingka Nagari yang bersifat mediasi.

5) Hukum Adat adalah hukum asli masyarakat yang bersumber dari


peraturan peraturan hukum tidak tertulis, tumbuh dan berkembang serta
dipertahankan dengan kesadaran hukum dalam memberikan keadilan bagi
masyarakatnya secara turun-temurun, elastis dan dapat menyesuaikan diri
dalam berbagai pertimbangan hukum.

6) Hak ulayat adalah hak penguasaan dan hak milik atas bidang tanah
beserta kekayaan alam yang ada diatas dan didalamnya dikuasai secara
kolektif oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.

7) Tanah ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang
ada di atasnya dan didalamnya diperoleh secara turun menurun
merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.

8) Ulayat Nagari adalah harta benda dan kekayaan nagari diluar ulayat kaum
dan suku yang dimanfaatkan untuk kepentingan anak nagari.

9) Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang
ada diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak
kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak
sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya.

10) Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah berserta sumber
daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik
kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan
pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.

11) Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber
daya alam yang ada di atas dan didalamnya merupakan hak milik semua
anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan
pemanfaatanya diatur oleh ninik mamak jurai/mamak kepala waris.

53
12) Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber
daya alam yang ada di atas dan di dalamnya yangg penguasaan dan
pemanfaatanya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang
saat ini masih hidup disebagian nagari di Propinsi Sumatera Barat.

13) Pemulihan hak ulayat adalah; pengembalian hak ulayat kepada


masyarakat hukum adat setelah terjadinya peralihan penguasaan kepada
pihak luar

14) Penyerahan hak ulayat adalah, proses pengalihan hak penguasaan dan hak
milik atas sebidang tanah ulayat dari ninik mamak, penghulu-penghulu
suku dan mamak kepala waris berdasarkan musyawarah dan mufakat
dengan anak kemenakan kepada pihak lain untuk dikelola dengan sistem
bagi hasil sesuai dengan ketentuan hukum adat yang dituangkan dalam
perjanjian yang dibuat oleh pejabat negara pembuat akta tanah.

15) Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu 25 tahun guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

16) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap.

17) Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
hak atas tanah.

18) Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat.

19) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.

20) Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.

54
21) Tanah Negara yang dimaksud adalah berdasarkan pengertian dalam UUPA
yang disebutkan sebagai hak menguasai negara yang meliputi semua
tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik itu tanah-tanah yang tidak
atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan oleh
UUPA di sebut oleh UUPA sebagai tanah-tanah yang dikuasai langsung
oleh negara (pasal 28, 37, 41, 43, 49). Kemudian untuk menyingkat
pemakaian kata-kata, dalam praktik administartif digunakan sebutan
“Tanah Negara.”

5.2. BAB tentang Asas, Tujuan dan Manfaat


1) Asas:

a) Asas utama tanah ulayat bersifat tetap berdasarkan filosofi adat


Minangkabau “jua ndak makan bali, gadai ndak makan sando”;

b) Asas pemulihan hak ulayat berdasarkan filosofi adat Minangkabau


adalah “anau tatap sigai baranjak”;

c) Asas pemanfaatan tanah ulayat adalah manfaat yang sebesar-besarnya


untuk kepentingan masyarakat adat, berkeadilan dan bertanggung jawab
sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syara’Syara’ Basandi Kitabullah.
Azas unilateral yang merupakan hak pewarisan tanah ulayat yang
berlaku dalam suatu kekerabatan menurut garis keturunan ibu

d) Asas pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak ketiga [luar]; dilakukan


dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi resiko dengan kaidah
“adat diisi limbago dituang” melalui musyawarah mufakat. Adat diisi
limbago dituang maksudnya adalah pengakuan dan penundukan pihak
luar terhadap hukum adat yang berlaku di masyarakat.

2) Tujuan: Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa tujuan pengaturan tanah ulayat
dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat
menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah

55
termasuk sumberdaya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannnya
secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
dengan wilayah yang bersangkutan. Pada penjelasan umum disebutkan selain
untuk kepentingan masyarakat adat, Perda TUP juga hadir untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan yang berskala nasional maupun regional dan lokal.
Dengan demikian, disamping berorientasi ke dalam masyarakat adat, juga
berorientasi ke luar untuk membuka akses bagi program pembangunan dan
investasi. Meskipun demikian Perda TUP bukan merupakan Perda yang terkait
langsung dengan investasi atau dunia usaha.

3) Manfaat, Peraturan daerah ini menjadi landasan hukum bagi Pemerintah


Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melindungi dan
memulihkan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat dan sumber
daya alam.

5.3. BAB tentang Jenis-jenis hak ulayat; hubungan hukum, kewajiban dan
larangan
Menurut Budi Harsono, hak ulayat di dalam UUPA dibagi menjadi tiga, yaitu: (a)
hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus publik; (b) hak
kepala adat dan para tetua adat yang bersumber dari hak ulayat yang beraspek
publik, serta (c) hak-hak atas tanah individual yang baik secara langsung maupun
tidak langsung berasal dari hak ulayat.

Dilihat dari aspek kewenangan dan kedudukan sebagai subjek hak terhadap
objek hak, nagari sebagai subjek hak adalah berlapis dan masing-masing
mempunyai pemimpin, maka kedudukan dan kewenangan subjek terhadap objek hak
atas sumber daya agraria (tanah) di nagari memiliki dua jenis kedudukan subjek hak
yang paling penting dijelaskan karena perbedaan kedudukan tersebut akan
mempengaruhi kewenangan yang dimilikinya yaitu kedudukan sebagai pemilik dan
kedudukan sebagai penguasa, (Kurniawarman, 2010). Secara teknis yuridis relevan
disebut dengan hak ulayat hanyalah ulayat nagari, juga ulayat suku (pada kelarasan

56
Bodi Caniago), sedangkan ulayat kaum lebih tepat dikatakan sebagai tanah milik
komunal, yang membedakannya dari hak milik pribadi. (Kurniawarman, 1998).

Pertama, tanah ulayat nagari. Seperti disebutkan diatas, secara teknis yuridis
tanah ulayat nagari (ulayat nagari) relevan disebut dengan hak ulayat. UUPA telah
memberikan apresiasi khusus terhadap hak ulayat. Bahkan, penjelasan umum II
angka 1 menyatakan hubungan bangsa indonesia dengan bumi, air dan ruang
angkasa indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada
tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah
negara. Dalam konteks kebangsaan, konsep hubungan semacam ini melahirkan apa
yang dikenal ”hak bangsa” sebagai hak tertinggi dalam sistem penguasaan sumber
daya agraria di Indonesia yang merupakan “sublimasi dari hak ulayat (Sumardjono
1982:10-3). Secara umum, unsur-unsur yang membangun adanya suatu hak ada tiga,
yakni; (1) adanya masyarakat hukum adat sebagai subjek hak ulayat; (2) adanya
tanah dan sumber daya alam lainnya yang melekat dengan tanah ulayat sebagai
Lebensraum yang merupakan objek hak ulayat; (3) adanya kewenangan yang jelas
dari subjek terhadap objek hak ulayat itu untuk mengelola dan memanfaatkannya.
Pakar hukum menyebutkan tentang unsur-unsur hak ulayat ini telah ada sebagai ide,
dan bukan sesuatu yang baru, misalnya Sumardjono (1993). Dalam konteks
Sumatera Barat, ketiga unsur hak ulayat ini masih dipenuhi. Pernyataan ini juga
didukung oleh beberapa hasil penelitian terkait dengan sumber daya alam di
Sumatera Barat, antara lain misalnya yang relatif baru antara lain Sjahmunir (2001)
dan Benda - Beckmann (2004).

Kedua, Tanah Ulayat Suku yaitu hak milik atas tanah berserta sumberdaya
alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota
suku tertentu yang penguasaan dan pengaturannya diatur oleh penghulu-penghulu
suku. Tanah ulayat suku berkedudukan sebagai tanah cadangan bagi anggota suku
tertentu di nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh penghulu suku
berdasarkan musyawarah mufakat dengan anggota suku sesuai dengan hukum adat
Minangkabau.

57
Tanah ulayat suku sebagai tanah cadangan bagi kepentingan anggota suku, berarti
tanah ulayat nagari bukanlah sebagai sandaran atau sasaran utama untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat, baik bagi kepentingan anggota maupun
dikerjasamakan dengan pihak lain. Sebagai cadangan, maka tanah ulayat suku baru
dimanfaatkan jika ditemukan situasi-situasi yang mengharuskan tanah ulayat suku
tersebut harus dimanfaatkan oleh anggota-anggota suku, dalam hal ini adalah kaum-
kaum.

Ketiga, Tanah Ulayat Kaum yaitu Tanah Ulayat Kaum adalah hak milik atas
sebidang tanah beserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya
merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang
penguasaannya dan pemanfaatannya diatur oleh ninik mamak jurai/mamak kepala
waris. Tanah ulayat kaum berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status
ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota kaum yang pengaturannya
dilakukan oleh Mamak Kepala Waris sesuai dengan hukum adat Minangkabau.

Ulayat kaum berasal dari taruko anggota kaum pada ulayat nagari yang
dijadikan sebagai lahan garapan dan pemukiman. Sehingga tanah ulayat kaum benar
-benar diperuntukkan sebagai lahan produksi, terutama pertanian bagi masyarakat
suatu kaum. Penguasaan atas tanah ulayat kaum adalah mamak kepala waris.
Tanah ulayat kaum merupakan pusako tinggi yang tidak boleh dipindahtangankan
secara permanen. Satu-satunya transaksi yang boleh atas tanah ulayat kaum adalah
Gadai untuk menghadapi 4 (empat) situasi yaitu: (a) Rumah Gadang katirisan, yaitu
membangun/memperbaiki rumah adat; (b) Maik tabujua tangah rumah, yaitu mayat
terlantar di atas rumah; (c) Gadih gadang indak balaki, yaitu gadis yang sudah
dewasa belum bersuami; (d) Mambangkik batang tarandam, yaitu, mengangkat
kembali penghulu kaum pemegang sako.

Keempat, Tanah Ulayat Rajo yaitu Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas
sebidang tanah berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya yang
penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu
yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Sumatera Barat. Tanah ulayat rajo
berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang
bamansiang oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo yang pengaturannya dilakukan

58
oleh laki-laki tertua pewaris rajo sesuai hukum adat Minangkabau.

No Jenis Hak Ulayat Sifat Pengemban / Pengurusan


Pemilik
1 Tanah Ulayat Penguasaan/Publik Nagari sebagai Pengaturan dan
Nagari dan penguasaan Masyarakat pemanfaatan oleh
Perdata Hukum Adat Pemerintah Nagari dan
Kerapatan Nagari
2 Tanah Ulayat Kepemilikan/Perdat Milik Kolektif Pengaturan dan
Suku a (Hak milik anggota suatu pemanfaatan oleh penghulu-
bersama) suku penghulu suku
3 Tanah Ulayat Kepemilikan/Perdat Milik kolektif Pengaturan dan
Kaum a (Hak milik anggota suatu pemanfaatan oleh mamak
bersama) kaum jurai/ mamak kepala waris
4 Tanah Ulayat Kepemilikan/perdat Laki-laki tertua Laki-laki tertua dari garis
Rajo a dari garis keturunan ibu
keturunan ibu

5.4. BAB tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat


1) Pengelolaan dan Pemanfaatan oleh Anggota Masyarakat

Pasal 9 ayat (1) Perda TUP menyatakan bahwa pemanfaatan tanah ulayat
oleh anggota masyarakat dapat dilakukan atas sepengetahuan dan seizin penguasa
ulayat yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang
berlaku. Artinya, pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat adat yang
bersangkutan, dilakukan berdasarkan hukum adat, yang dapat berbeda-beda antar
nagari.

Izin pemanfaatan tanah ulayat diberikan penguasa ulayat. Untuk ulayat nagari,
izin diberikan oleh KAN. Untuk tanah ulayat kaum, izin tersebut bernama ganggam

59
bauntuak, yang merupakan metode pembagian tanah milik kaum kepada anggota
atau kelompok anggotanya (paruik/jurai), baik untuk pertanian (sawah dan ladang)
maupun sebagai tempat tinggal. Pembagian ini bukan untuk dimiliki secara individu,
tetapi hanya untuk dipakai dan dimanfaatkan demi kelangsungan hidup para
anggotanya. Ganggam bauntuak hanya diperuntukkan bagi si perempuan atau jurai,
sesuai dengan sistem matrilineal. Laki-laki tidak berhak atas tanah ganggam
bauntuak. Ninik mamak, Mamak Kepala Waris dan laki-laki lainnya, bertugas
mengawasi penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut demi kelangsungan hidup
saudara-saudara perempuan dan anak kemenakan dari saudara perempuan itu.

2) Pemanfaatan untuk Kepentingan Umum

Pasal 9 ayat (2) Perda TUP menyebutkan pemanfaatan tanah ulayat untuk
kepentingan umum dapat dilakukan dengan cara penyerahan tanah oleh penguasa
dan pemilik ulayat berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat adat yang
bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Belum ada pengertian yang final tentang frasa “sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.” Apakah ketentuan berdasarkan hukum adat atau berdasarkan hukum
nasional yang secara khirarkis lebih tinggi dari Perda TUP. Bila merujuk pada
ketentuan hukum nasional, mekanisme penyerahan tanah ulayat bagi kepentingan
umum mengacu kepada Perpres No. 36/2005 yang diperbarui dengan Perpres No.
65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Demi
Kepentingan Umum. Menurut perpres tersebut pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan demi kepentingan umum, dilakukan melalui musyawarah antara
pemegang hak dengan panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah atau
pemerintah daerah yang memerlukan tanah, untuk menyepakati penyerahan tanah
dan jumlah ganti rugi. Jika musyawarah tidak memperoleh kesepakatan, panitia
pengadaan tanah menetapkan besaran ganti rugi dan menitipkan uang tersebut di
Pengadilan Negeri setempat. Kedudukan Perpres yang lebih tinggi, dapat membuat
norma kesepakatan yang diharuskan oleh perda, menjadi tidak bermakna apa-apa.

Apa yang dimaksud dengan kepentingan umum, juga bukan hal yang

60
gampang untuk didefenisikan. Beberapa jenis kepentingan umum yang diatur oleh
perpres, tidak bisa lagi dilihat murni sebagai kepentingan umum. Memang jenis-jenis
kepentingan tersebut merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh publik, tetapi
kebutuhan tersebut sudah mengalami komoditisasi dan komersialisasi, yang
pengadaannya menguntungkan secar ekonomis bagi pemodal swasta. Bila
kepentingan umum masih dimaknai sebagai program yang datang dari pemerintah
dan pemerintah daerah, maka masyarakat adat akan tetap terpinggirkan. Sebab apa
yang dimaksud dengan kepentingan umum oleh pemerintah, sangat mungkin bukan
merupakan kebutuhan umum menurut keyakinan masyarakat. Rumusan pengaturan
penggunaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur oleh Perda TUP, tidak
cukup untuk melindungi dan memperkuat tanah ulayat.

3) Pemanfaatan untuk Kepentingan Investasi

Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan investasi (Badan Hukum dan


perorangan) dapat dilakukan melalui Perjanjian pengusahaan dan pengelolaan
antara penguasa dan pemilik tanah ulayat dengan badan hukum atau perorangan
dalam jangka waktu tertentu. Artinya Investor dapat memanfaatan tanah ulayat
dengan mengikutsertakan penguasa tanah ulayat sebagai pemegang saham, atau
bagi hasil atau dengan cara lain dalam waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Untuk ulayat nagari maka musyawarah mufakat dilakukan di KAN dan diketahui oleh
pemerintah nagari. Perjanjian kerjasama tersebut baru dapat dilakukan setelah
badan hukum atau perorangan yang memerlukan tanah ulayat, memperoleh Izin
Lokasi guna kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah.
Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Notaris. Jika masa perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik
untuk pengusahaan dan pengelolaan berakhir, status penguasaan dan atau
kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula.

Ketentuan pemanfaatan tanah ulayat oleh investor di dalam Perda TUP tidak
mempertimbangkan karakteristik dari jenis-jenis hak atas tanah ulayat yang sudah
dibedakan sebelumnya. Aklibatnya tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, yang

61
kedudukannya dalam Perda ini disebut sebagai cadangan bagi kepentingan
masyarakat nagari atau anggota suku, tetap dapat dimasuki kepentingan investasi.

Penyusun Perda TUP juga tidak mempedulikan mengenai kesiapan


masyarakat adat untuk bekerjasama dengan investor. Padahal kerjasama dengan
investor tersebut pastilah banyak ranjau, yang mestinya diantisipasi lebih awal.
Kerjasama dalam bentuk penyertaan saham misalnya, perlu kemampuan untuk
memprediksi kecenderungan arus modal (capital flow), yang sangat mungkin
bergerak cepat dan tidak terbatas ruang. Jika hak ulayat merupakan harta yang
dipisahkan dari harta pemilik saham, maka hak ulayat yang menjadi saham
masyarakat adat, bisa diperjualbelikan secara cepat dalam pasar saham. Demikian
juga jika perusahaan bangkrut oleh kesalahan manajemen, saham masyarakat yang
berupa hak ulayat akan menjadi bagian harta perusahaan yang harus dilepas untuk
memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan. Pada kondisi demikian, masyarakat
adat menjadi sangat dirugika, karena satu-satunya harta berharganya akan
berpindah tangan. Padahal prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat adalah adalah
“jua indak makan bali, gadai indak makan sando”. Artinya tidak dapat
diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan. Karena itu, tanah ulayat yang
dimanfaatkan oleh pihak luar (pemerintah atau investor) bila berakhir masa
perjanjiannya, harus kembali kepada masyarakat.”Kabau tagak kubangan tingga,
pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan” adalah
pepatah adat yang tepat menggambarkan keharusan itu.

Persoalan pengembalian tanah ulayat kepada masyarakat adat setelah masa


perjanjian kerjasama berakhir, merupakan tema sentral yang didorong dalam
advokasi Ranperda TUP. Dorongan ini sebagai penolakan terhadap ketentuan dalam
Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa terhadap tanah bekas hak ulayat yang
telah diganti alas haknya menurut UUPA, dan apabila masanya berakhir, maka tanah
dimaksud menjadi tanah yang langsung dikuasai negara”. Rumusan demikian
menghilangkan status dan keberadaan tanah ulayat serta penguasaan masyarakat
terhadapnya.

Sayangnya rumusan dalam Perda TUP sangat kabur karena tidak dengan
tegas menyebutkan kembali kepada pemilik ulayat, tetapi kembali kepada bentuk

62
semula. Frasa “kembali ke bentuk semula” memberikan penafsiran yang jamak.
Aapakah tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak
Pengelolaan, setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan
kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN atau akan menjadi HGU, Hak
Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.

5.5. BAB tentang Penyelesaian konflik; tata cara penyelesaian konflik; pemulihan
hak ulayat
5.5.1. Penerapan FPIC
Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak
masyarakat adat atas sumberdaya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas
Tanpa Syarat (Free Prior Informed Consent/FPIC). Keberadaan mekanisme dalam
kaitannya dengan tanggungjawab negara dalam pemenuhan HAM, ia meliputi
penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fullfill) hak
masyarakat adat atas sumberdaya alamnya, terhadap setiap tindakan yang
dilakukan pihak luar.

Free Prior Informed Consent semula digunakan untuk melindungi kepentingan


pasien di rumah sakit, yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis
pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi, sebagai perlindungan hak individual
pasien. Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur penting yang berlaku secara
komulatif. Keempat prinsip itu dapat diartikan sebagai berikut:

a) Free: adalah keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya persetujuan


diberikan seseorang atau sekelompok orang yang tidak berada di
bawah tekanan.

b) Prior: adalah keharusan adanya ijin dari masyarakat sebelum proyek


atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah.

c) Informed: adalah informasi yang terbuka, seluas-luasnya dan


berimbang mengenai proyek yang akan dijalankan terutama dampak
baik dan dampak buruknya bagi masyarakat

d) Consent: adalah persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri

63
Konsep FPIC, sebenarnya, bukanlah konsep yang asing karena konsep ini
telah mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia (Mac
Kay dan Colchester, 2004). Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula
ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan
persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi
mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang
menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan
tertentu (Sirait, Widjarjo dan Colchester, 2003).

Pengadopsian mekanisme FPIC semakin gencar dalam sejumlah instrumen


hukum dan standarisasi yang dibangun oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB
tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of
Indigenous People) yang disahkan tahun 2006, mengatur beberapa ketentuan yang
berkaitan dengan FPIC, diantaranya sebagai berikut:

Pasal 18 berbunyi:

“Masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengembilan


keputusan tentang hal-hal yang akan berpengaruh terhadap hak-hak
mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara
dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan
mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri.”

Selanjutnya Pasal 19 berbuyi:

“Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang


saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga
perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas,
mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada mereka
untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengadopsi dan
menerapkan tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang dapat
berdampak terhadap mereka.”

UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil


juga mencoba mengadopsi beberapa konsep FPIC. Pasal 60 dinyatakan dalam

64
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat berhak:

k) Memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;

l) Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber


Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk
memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;

m) Melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;

n) Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-Pulau Kecil;

o) Memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-Pulau Kecil;

p) Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang


atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan
pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

q) Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah


diumumkan dalam jangka waktu tertentu;

r) Melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau


perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan
kehidupannya;

s) Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta

t) Memperoleh ganti kerugian.

Disamping dalam peraturan perundang-undangan, penerapan FPIC juga


didorong oleh lembaga-lembaga multipihak dalam sektor hutan dan perkebunan.
Pada sektor kehutanan misalnya, terdapat Forest Stewart Council (FSC) yang
memberikan sertifikasi terhadap perusahan kayu yang memenuhi beberapa standar

65
yang mereka buat. Beberapa prinsip dan kriteria FSC mensyaratkan operasi
penebangan kayu dengan beberapa ketentuan seperti menghormati hukum adat dan
hak atas tanah; memastikan kewenangan masyarakat lokal atas pengelolaan tanah;
penguasaan atas tanah dapat didelegasikan kepada pihak lain apabila ada
persetujuan tanpa paksa dari masyarakat; memastikan adanya mekanisme yang
efektif untuk menyelesaikan konflik; melindungi tempat-tempat yang memiliki nilai-
nilai secara sosial, kultural dan ekonomi; memberikan kompensasi kepada
masyarakat adat atas pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka; dan
menghormati hak-hak pekerja sesuai dengan standar Organisasi Buruh Internasional
(ILO).

Pada sektor perkebunan kelapa sawit, terdapat lembaga internasional


multipihak yang mendorong pengelolaan kelapa sawit yang ramah terhadap
persoalan sosial dan lingkungan, dengan membangun standar-standar yang harus
dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
misalnya mendorong:

a. Penghormatan terhadap hukum, termasuk hukum internasional yang


sudah diratifikasi serta penghormatan terhadap hukum adat;

b. Tidak mengurangi atau menghilangkan hak adat tanpa adanya


persetujuan bebas, didahulukan dengan diinformasikan (FPIC);

c. Sistem untuk resolusi konflik diterima dan didokumentasi serta


kesepakatan berdasarkan FPIC dapat dicapai;

d. Tidak boleh ada penanaman baru pada lahan masyarakat adat kecuali
telah mendapatkan FPIC;

e. Adanya kompensasi yang adil untuk masyarakat adat dan komunitas


lokal terhadap setiap pengambilan lahan dan pengambilan hak sesuai
dengan FPIC dan kesepakatan.

FPIC tidak hanya diperlukan bagi pelaksanaan program-program pemerintah


terhadap tanah ulayat, tetapi juga termasuk rencana investasi terhadap tanah ulayat
masyarakat adat. Pengadopsian konsep FPIC memberikan manfaat penting, diantara:

66
(a) mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain; (b) Mewujudkan
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah
ulayatnya; (c) Menjaga keberlanjutan lingkungan, karena masyarakat yang bercorak
komunal, dapat menghadang kerusakan lingkungan dari ketamakan individu dan
korporasi.

Perda TUP, terutama pada bagian pemanfaatan tanah ulayat untuk


kepentingan pihak lain, belum mengakomodasi konsep FPIC. Ketentuan Pasal 9
sampai Pasal 11 Perda TUP memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:

a. Belum memasukkan pentingnya informasi yang berimbang tentang


dampak-dampak yang akan didapat masyarakat akibat suatu program
pembangunan dan investasi.

b. Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dilakukan dengan


penyerahan tanah kepada instansi yang memerlukan. Tidak diatur
bahwa masyarakat dapat menolak pelaksanaan program kepentingam
umum versi pemerintah bila senyatanya program tersebut bukan
merupakan hal yang penting bagi masyarakat.

c. Masyarakat tidak punya kebebasan memberikan keputusan terhadap


program pembangunan dan investasi yang dilakukan terhadap tanah
ulayat.

d. Tidak ditegaskan bahwa masyarakat dapat memperoleh sejumlah


ganti rugi atas penggunaan lahan yang tidak menguntungkan
masyarakat.

e. Tidak dirumuskan pengarusutamaan masyarakat dalam pemanfaatan


tanah ulayat, misalkan dengan mensyaratkan pola pembangunan
ekonomi nagari yang dapat dilakukan lewat badan usaha nagari atau
bentuk lain.

Pada tahap awal, penerapan konsep FPIC bisa diterapkan dalam program
sertifikasi tanah ulayat. Ini dilakukan dengan menginformasikan konsekuensi yang
diterima masyarakat dalam sertifikasi tanah ulayat dan kemudian memberikan

67
kebebasan terhadap masyarakat adat untuk memutuskan apakah akan melakukan
sertifikasi atau tidak.

5.5.2. Mekanisme Penyelesaian Konflik


Pertama tentang penyelesaian konflik dalam nagari, Penyelesaian konflik
dalam nagari adalah sebagai berikut: Penyelesaian konflik hak ulayat harus
berdasarkan pepatah minangkabau “adat salingka nagari”. Alur penyelesaian
sengketanya adalah:

a. Sengketa Tanah Ulayat di Nagari diselesaikan oleh Kerapatan Adat


Nagari (KAN) menurut ketentunan sepanjang adat yang berlaku
”bajanjang naiak batanggo turun” dan diusahakan dengan jalan
perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan
perdamaian;

b. Dan apabila di dapat kesepakatan perdamaian maka Kerapatan Adat


Nagari (KAN) bersama degan pengadilan negeri memutuskan bahwa
akta perdamaian tersebut dijadikan daading yang mempunyai kekuatan
hukum tetap atau incraht van bewij;

c. Apabila keputusan perdamaian tidak terlaksana oleh pihak yang


bersengketa sebagaimana dimaksud pada poin (a) maka pihak-pihak
yang bersengketa dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri;

d. Keputusan KAN sebagaimana dimaksud point (b) dapat menjadi bahan


pertimbangan hukum atau pedoman bagi Hakim dalam mengambil
keputusan.

Kedua penyelesaian konflik antar nagari, Sengketa Tanah Ulaya Antar Nagari,
diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) antar nagari yang bersangkutan,
menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku secara musyawarah dan mufakat
dalam bentuk perdamaian. Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)
dapat menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian konflik tanah ulayat antar

68
nagari. Apabila tidak tercapai penyelesaian sebagaimana dimaksu, maka Pemerintah
Kabupaten/Kota maupun Provinsi dapat diminta untuk menjadi mediator. Apabila
tidak tercapai penyelesaian sebagaimana dimaksud, dapat mengajukan perkara ke
Pengadilan Negeri”

5.5.3. Pemulihan Hak Ulayat


1) Ruang Lingkup Pemulihan

Pertama Objek, Objek pemulihan adalah: Tanah-tanah ulayat suku, kaum, nagari
yang telah beralih kepada Hak Guna Usaha (HGU) dan kawasan hutan.
Kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah-tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam huruf di atas. Kedua Subjek, Subjek pemulihan adalah
masyarakat hukum adat penguasa tanah ulayat.

2) Pelaksana dan Tata Cara Pemulihan

Pertama yang melakukan pemulihan, Pemerintah daerah bertanggung jawab


untuk memulihkan hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat. Kedua tata
cara pemulihan, 5 tahun menjelang masa Hak Guna Usaha (HGU) berakhir
pemerintah daerah melalui SKPD yang terkait memberitahukan kepada
Pemerintahan Nagari dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang berada dalam
wilayah Hak Guna Usaha (HGU) tentang berakhirnya masa Hak Guna Usaha
(HGU.); Pemerintahan nagari dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) melakukan
inventarisasi dan verifikasi masyarakat hukum adat pemilik atau penguasa
ulayat yag bersangkutan; Hasil inventarisasi dan verifikasi masyarakat hukum
adat pemilik tanah ulayat dituangkan kedalam berita acara yang ditanda tangani
pemeritahan nagari, Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan masyarakat hukum adat
pemilik tanah ulayat yang bersangkutan; Berita acara tersebut disampaikan
kepada Bupati untuk ditetapkan sebagai subjek penerima pemulihan tanah
ulayat.; Paling lama 1 tahun setelah menerima berita acara, Bupati
mengeluarkan keputusan tentang pemulihan hak ulayat masyarakat hukum
adat pemilik tanah ulayat yang bersangkutan.

69
3) Pengelolaan dan Pemanfaatan Hak Ulayat Pasca Pemulihan

Pertama, Pengelolaan ulayat nagari, Pengelolaan hak ulayat pasca dipulihkan


diberikan kewenanganya kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN); Kerapatan Adat
Nagari dalam pengelolaan ulayat harus bekerjasama dengan pemerintahan
nagari mulai dari segi perencanaan dan juga pemanfaatan; Pengelolaan hak
ulayat paska dipulihkan dibentuk Badan Usaha Ekonomi Anak Nagari (BUEAN)
yang berbadan hukum sebagai bentuk konkrit dalam pemanfaatan dan
pengelolaan ulayat oleh nagari. Kedua, Pengelolaan ulayat suku: Pengelolaan
tanah ulayat suku diberikan kewenanganya kepada penghulu suku; Penghulu
suku dalam pengelolaan tanah ulayat suku harus meperhatikan kepentingan
masyarakat hukum adat dengan membentuk Badan Usaha Ekonomi Anak
Nagari (BUEAN) tingkat suku. Ketiga, Pengelolaan tanah ulayat kaum,
Pengelolaan tanah ulayat kaum diserahkan kepada ninik mamak; Ninik mamak
dalam pengelolaan ulayat kaum harus memperhatikan kepentingan dan
keberlanjutan dalam kaum dengan membentuk Badan Usaha Ekonomi Anak
Nagari (BUEAN) tingkat kaum. Pengelolaan ulayat nagari, suku dan kaum oleh
Badan Usaha Ekonomi Anak Nagari (BUEAN) baik pada tingkat nagari, suku
dan kaum di bentuk dan dilaksanakan berdasarkan prinsip kesepakatan,
partisipatif dan berkeadilan.

70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.Kesimpulan

Bertolak dari paparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal
penting sebagai berikut:

1. Sebagai perwujudan pengakuan dan perlindungan konstitusi terhadap hak-hak


masyarakat adat, terutama di lapangan agraria adalah sangat jelas. Tanah
Ulayat (Hak ulayat) sebagai salah satu hak masyarakat adat dijamin
perlindungannya di dalam sistem hukum Indonesia.

2. Secara sosiologis, tanah ulayat (hak ulayat) hidup bersama dengan eksistensi
nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Pada sisi
lain, keberadaan tanah ulayat tersebut mengalami tekanan akibat belum
maksimalnya kerangka pengaturan yang ada dalam melindungi hak ulayat
tersebut, terutama pada tingkat Provinsi Sumatera Barat.

3. Untuk merealisasi perlindungan terhadap tanah ulayat yang bersifat nyata


dalam lapangan hukum agraria di Provinsi Sumatera Barat, maka diperlukan
adanya kerangka hukum yang mampu melindungi keberadaan tanah ulayat
dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi.

6.2.Saran-Saran

1. DPRD Provinsi Sumatera Barat bersama dengan Pemerintah Provinsi


Sumatera Barat perlu segera membahas Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi Tentang Tanah Ulayat.

2. Diperlukan adanya kesadaran bersama dari segenap parapihak terutama dari


masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Sumatera Barat untuk terlibat
dan berpartisipasi penuh dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi Tentang Tanah Ulayat.

71
Daftar Pustaka
Asep Yunan Firdaus dkk, 2007, “Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia”,
HuMa Bernadinus Steny, 2005, Free Prior Informed Consent Dalam
Pergulatan Hukum Lokal, Seri Pengembangan Wacana, No. 5 Oktober, HuMa,
Jakarta

Bustanul Arifin, 2001 “Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia; Perspektif


Ekonomi, Etika, dan Praksis Kebijakan, Erlangga

Boedi Harsono, 2003, “Hukum Agraria Indonesia”, Djambatan, Jakarta

Didik Suharjito, 2013, dalam Kembali Ke Jalan Lurus; Kritik Penggunaan Ilmu dan
Praktek Kehutanan Indonesia, Forci Development, Yogyakarta.
Kurnia Warman, 1998, Tesis: Konversi Hak Atas Tanah Ganggam Bauntuak Menurut
UUPA di Sumatera Barat; Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
yogjakarta.
Kurnia Warman dan Hengki Andora; Pola Hubungan Hukum Dalam Pemanfaatan
Tanah Ulayat Di Sumatera Barat, Makalah Mimbar Hukum Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta;
https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/16031
Kurnia Warman, 2010, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk; Dinamika
Interkasi Hukum Negara dengan Hukum Adat di Indonesia, Perkumpulan
HuMa, VVI dan KITLV, Jakarta
Kurnia Warman, 2008, ”Nasib Tenurial Adat Atas Kawasan Hutan (Tumpang Tindih
Klaim Adat dan Negara Pada Aras Lokal di Sumatera Barat),” HuMa dan Qbar.
KPKK (koalisi untuk perubahan kebijakan kehutanan, 2007, Analisa Teks dan
Dampak-Dampak Pemberlakukan UU no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
Jakarta
Maria SW Sumardjono (2009), Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan
Budaya, Kompas, Jakarta.
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah oleh Negara; Paradigma Baru untuk
Reformasi Agraria, Citra Media, Yogyakarta.
Myrna Safitri dan Luluk Uliyah (2015), Adat Di Tangan Pemerintah Daerah; Panduan
Penyusunan Produk Hukum Daerah Untuk Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat, Epistema Institute, Jakarta.
Myrna Safitri, 2000 “Refleksi Kebijakan dan Praktik; Desa, Institusi Lokal dan
Pengelolaan Hutan” ELSAM, Jakarta
Noer F Rachman et all (2012), Kajian Kritis Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN
Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak

72
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Epsitema Institute, Jakarta.
Nora Hidayati dkk (2020), Kertas Kebijakan: Pelambatan Hutan Adat Pada Periode
Kedua Pemerintah Joko Widodo, Perkumpulan HuMa Indonesia
Nurul Firmansyah dan Yance Arizona, 2008, Pemanfaatan Tanpa Jaminan
Perlindungan: Kajian atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No.
6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa dan Qbar, Jakarta
Ricardo Simarmata, 2006, Pengakauan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di
Indonesia, RIPP/UNDP, Jakarta
Rikardo dan Bernardinus Steny (2017), Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek
Hukum; Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum
Privat dan Publik, Samdhana Institute, Bogor
Peter Vandergeest and Chusak Wittayapak, dalam “The political of Decentralization
Natural Resource Management In Asia,” Mekong Press, Bangkok
Takdir Rahmadi, 1998, Teknik Perundingan Tradisional dalam Masyarakat Adat
Minangkabau
Yance Arizona et all (2014) Kembalikan Hutan Adat Kepada Masyarakat Hukum Adat;
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.35/PUU-X/2012 mengenai
Pengujian Undang-Undang Kehutanan, HuMa-Epistema-AMAN, Jakarta.
Yando Zakaria; https://www.mongabay.co.id/2019/06/11/terobosan-setengahhati-
peta-wilayah-adat/
Yando Zakaria et all (2020) Integrasi Hutan Adat ke dalam Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu, KARSA,Yogjakarta.

73
74

Anda mungkin juga menyukai