Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

REGULASI TENTANG HUKUM ADAT


PERLINDUNGAN HUTAN ATAU TANAH ADAT DI KALIMANTAN
TENGAH

DOSEN : Dr. Rollys Suriani, S.H,.M.Si.

Disusun Oleh :

Sevita
NIM 2340306110031

KEMENTERIAN PENDIDIKAN,
KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER ILMU
HUKUM 2023
PERLINDUNGAN HUTAN ATAU TANAH ADAT DI KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK

Peraturan Daerah No.16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat dan Peraturan
Gubernur No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di
Provinsi Kalteng belum cukup memadai dalam menjamin kepastian hukum perlindungan
hak atas tanah adat (HAT), kenyataan sampai sekarang masih banyaknya terjadi konflik
antara masyarakat adat Dayak dengan pengusaha yang melakukan investasi di daerah
tersebut. Untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap tanah adat, semua stakeholder
seharusnya mempunyai pandangan dan pemahaman yang sama dalam melindungi HAT
yang ada di daerah.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan
penelitian secara yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukan bahwa belum adanya
regulasi yang secara jelas dan komprehensif mengatur tentang perlindungan HAT secara
Nasional atau khusus Kalteng. Untuk kedepannya perlu mendapat pengakuan dan
penguatan oleh negara dalam bentuk hukum yang lex specialis dengan mengintegrasikan
kedua sistem hukum tersebut, sehingga HAT memiliki kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang ada. Saran Pemda Kalteng perlu
memperluas aspek/spektrum/dimensi pengaturan dalam Peraturan Gubernur No.13 tahun
2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat diatas tanah serta Peraturan Gubernur
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009
tentang Tanah Adat dan Hak–Hak Adat di Atas Tanah, ke dalam bentuk Perda.
Kata kunci : perlindungan hukum atas hak tanah adat atau hutan adat

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK i
DAFTAR ISI ii
KATA PENGANTAR iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1. LATAR BELAKANG MASALAH 1
2. RUMUSAN MASALAH 1
3. TUJUAN 2
BAB II PEMBAHASAN 3
1. LANDASAN TEORI 3
a. Pengertian Hutan Adat 3
b. Pengertian Tanah adat 3
2. URAIAN MATERI 4
a. Hak Atas Tanah Adat Di Kalimantan Tengah 4
b. Factor Yang Mempengaruhi Perlindungan Hukum
Hak Atas Tanah Adat 7
c. Keberadaan Peraturan Daerah Dalam Perlindungan
Hak Atas Tanah Adat 9
d. Pengaturan Mengenai Hak Atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat 11
e. Prinsip-Prinsip Pengaturan Hutan Adat Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/Puu-Ix/2011 12
3. SOLUSI DARI PENULIS 14
BAB III PENUTUP 15
1. KESIMPULAN 15
2. SARAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
dengan Berkat dan Kasih karunia serta hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
ini dengan tepat waktu, makalah ini ditulis supaya menambah ilmu dan pengetahuan bagi
penulis dan pembaca mengenai Regulasi tentang Hukum Adat di Kalimantan Tengah.
Dan saya juga berterimakasih kepada ibu Dr. Rollys Suriani, S.H,.M.Si selaku
Dosen Pengampu Matakuliah Hukum Tanah Adat yang telah memberikan tugas ini
kepada saya.
Masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya memiliki adat dalam hal
pengaturan tanah adat atau kawasan hutan adat. Pada dasarnya, wilayah dari suatu
kampung dinamakan tanah adat, yang ada didalamnya terkait dengan aktivitas di atas
tanah adat, maka dapat dipertanyakan berdasarkan kepemilikan desa pribadi dan
kepemilikan keluarga. Hutan adat adalah seluruh hutan rimba yang bukan milik pribadi
atau keluarga.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu
dan memberi saran dalam pembuatan makalah ini, Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi saya sendiri, maupun bagi orang yang membacanya, saya menyadari
masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu saya mohon maaf
apabila ada penulisan yang salah atau kurang tepat, dan saya juga berharap adanya kritik
dan saran untuk perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Palangkaraya,07 Desember 2023

Sevita
NIM 2340306110031

iii
BAB I
PENDAHULUA
N

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Tokoh adat di Kalimantan Tengah Suwandi Asmin mengatakan dalam
hukum adat di kalteng tidak mengenal hutan adat, yang ada selama ini tanah adat.
Ini ditegaskan dalam UUD RI 1945 pada Pasal 18b Angka 2 (dua) yang menyatakan
bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang- undang. Konstitusi yang mengatur tentang hak masyarakat adat
atas hutan hanyalah berposisi sebagai panduan secara umum. Untuk pelaksanaannya
diserahkan kepada peraturan di bawahnya.
Masyarakat hukum adat merupakan subjek dari hak ulayat yang mendiami
suatu wilayah tertentu, dan hutan adalah salah satu sumber kehidupannya yang
merupakan objek dari hak ulayat. Hutan yang merupakan objek dari hak ulayat di
kenal sebagai hutan adat. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat, Pengelolaan hutan yang bersifat perlindungan dan
pemanfaatan merupakan tindakan pengelolaan kawasan dimana kawasan hutan
diproteksi namun sumberdaya yang terdapat di dalamnya baik berupa kayu maupun
non kayu bisa dimanfaatkan secara langsung dan terbatas selama tidak melakukan
perubahan atas fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersial hanya
diperbolehkan kalau sifatnya untuk memenuhi kebutuhan desa atau kebutuhan
bersama (menyangkut kebutuhan masyarakat seperti pengadaan fasilitas umum dan
sebagainya).

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Hak atas tanah adat di Kalimantan Tengah?
b. Factor yang mempengaruhi perlindungan hukum hak atas tanah adat?
c. Keberadaan peraturan daerah dalam perlindungan hak atas tanah adat?
d. Pengaturan mengenai hak atas tanah masyarakat hukum adat ?

1
e. Prinsip-prinsip pengaturan hutan adat berdasarkan putusan mahkamah
konstitusi no. 35/puu-ix/2011 ?

1.3 TUJUAN MASALAH


Untuk mengetahui apa saja cara Negara untuk meyakinkan masyarakat adat
atas hak-hak tanah adat yang mereka miliki tanpa ada campur tangan pemerintah
dalam pengelolaan tanah pribadi.
Untuk mengetahui cara perlindungan dan pengelolaan pemerintah dan
masyarakat dalam menjaga dan mengelola hasil alam atau hutan agar tetap
terlindungi dan terjaga hasil sumber daya alamnya.

2
BAB II
PEMBAHASA
N

2.1 LANDASAN TEORI


A. Pengertian Hutan Adat
Hutan adat bagi sebagian masyarakat hukum adat Indonesia merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam Undang- undang Kehutanan Nomor 41
Tahun 1999 tentang kehutanan dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35
Tahun 2012 telah memberikan pengertian hutan adat yaitu “Hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Dalam buku Hutan Adat Wujud
Masyarakat Berdaulat Bangsa Bermartabat yang ditulis oleh Yuli Prasetyo dkk,
adalah sebuah sejarah baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang ditandai
dengan SK hutan adat di Istana pada tanggal 30 Desember 2016. Hutan adat
adalah bagian penting dari upaya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat
di Indonesia tidak saja hanya hutan adatnya tetapi juga kearifan local sekaligus
juga jatu diri keindonesiaan yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa.
B. Pengertian Tanah Adat
Tanah adat atau tanah ulayat adalah bidang tanah yang atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat adalah
kewenangan, yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat
atas wilayah tertentu yang merupakan warganya, dimana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat
dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah
turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.

3
2.2 URAIAN MATERI
A. HAK ATAS TANAH ADAT DI KALIMANTAN TENGAH
Menurut Yul Ernis (2019: P 439) Masyarakat hukum Adat Dayak sebagai
masyarakat asli (indigenous peoples), mengalami banyak kesulitan bertahan
hidup dalam konstelasi modernisasi yang cenderung ekstraktif. Masyarakat adat
pun menjadi termarjinalkan (marginalised people), baik secara ekonomi, politik
dan juga budaya. Selain itu modernisasi dan pembangunan ekstratif juga
membawa konsekuensi hilangnya Sumber Daya Alam (SDA) komunal
masyarakat hukum adat.
Pemerintah daerah merespon dengan membiayai survei kawasan hutan adat dan
melakukan pengukuran kartografi terhadap wilayah adat Kalawa.
Berpedoman pada falsafah negara, Pancasila dan UUD 1945, maka
kemudian disusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak merupakan wujud ikhtiar
hadirnya negara (pemerintah) dalam merespon isu-isu sosial-kontemporer
dimasyarakat, khususnya di wilayah masyarakat adat. Apabila Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perlindungan Hukum Hak atas Adat telah disahkan
sebagai Peraturan Daerah tentang Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat,
maka ruang lingkup dan jangkauannya hanya terbatas pada wilayah hukum
Daerah Kalimantan Tengah. Kejadian ini (dan beberapa kejadian-kejadian lain
yang terjadi di Kabupaten lain di Kalimantan Tengah) Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah merespon dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor
13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat atas Tanah di Provinsi
Kalimantan Tengah.
Menurut Dewan Adat Dayak (DAD) bahwa hak ulayat/hak atas tanah
adat secara spesifik tidak populer di masyarakat, masyarakat lebih mengenalnya
tanah adat saja. Tanah adat merupakan tanah yang diperoleh berdasarkan
pembukaan lahan atau hutan oleh masyarakat adat untuk dimanfaatkan sebagai
lahan perkebunan dan tempat tinggal secara turun temurun. Dalam Pasal 1 angka
12 Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak
Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa tanah
adat

4
adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di
wilayah desa/ kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa
hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik
perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang
Kepala Adat. Hak Atas Tanah Adat terdiri dari hak bersama dan hak perorangan :
1. Tanah adat milik bersama merupakan tanah warisan leluhur turun temurun
yang di kelola dan dimanfaatkan bersama oleh para ahli waris sebagai
sebuah komunitas.
2. Tanah milik adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh
dari membuka hutan, jual beli, hibah, warisan dapat berupa kebun atau tanah
yang ada maupun tanah kosong berdasar pengkaplingan musyawarah
masyarakat adat dengan tokoh adat dan pemerintah Desa.
Menurut Yul Ernis (2019: P 440) Hak atas tanah adat, baik yg dimiliki
secara perseorangan atau secara kelompok berdasarkan garis keturunan, dapat
mendaftarkan kepemilikan tanah dan mendapat sertifikasi, itu merujuk kepada
Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat. Atas Putusan MK tsb,
maka hutan adat hak ulayat dapat dilakukan sertifikasi sebagai bentuk penguatan
hukum adat dan hak adat. Pengaturan hak atas tanah adat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang antara lain adalah:
a. Belum sinergisnya hak adat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
b. Datangnya investor yang mengandalkan kekuasaan.
c. Mental penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat dan adat.
d. Investor memanfaatkan aparat.
Dalam hal ini Provinsi Kalteng telah mempunyai Peraturan Daerah
Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Provinsi
Kalimantan Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13
Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas tanah di Provinsi
Kalteng Peraturan Gubenur No. 4 Tahun 2012. Ketentuan tanah adat yang dibuat
oleh pemerintah daerah setempat belum cukup memadai dikarenakan masih
mengandung beberapa hal

5
yang masih belum jelas aturan tanahnya,seperti pasal 3 dan 5 Peraturan Gubernur
No. 13 Tahun 2009 yang berbunyi memerintahkan para damang untuk
menginventarisir tanah adat sampai sekarang belum ada.
Kasus pengambilan tanah adat di Kalteng oleh investor baik perusahaan
sawit maupun pertambangan izinnya banyak bermasalah seperti 1,6 juta hektare
lahan sawit di Kalteng keseluruhan lahan itu dikuasai oleh sekitar 183 perusahaan
yang telah mempunyai HGU, tapi faktanya dilapangan ribuan perusahaan
muncul, dan di Kabupaten saja ada sekitar 300 perusahaan sawit, dengan luas
lahan 1,7 juta hektare. Sementara 196 unit dengan luas area 2,8 juta hektare
belum beroperasi.
Padahal di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan mengatur ada sistem plasma, pola kemitraan, tapi itu tidak dilakukan,
tanggung jawab perusahaan benar ada memberikan lapangan pekerjaan bagi
orang/ komunitas untuk pekerja di perusahaan, tapi apabila persoalan tanah
sudah tidak ada masalah, satu persatu mereka itu diberhentikan dengan cara di
mutasi ke tempat yg jauh akhirnya yang dipertahankan hanya tenaga security.
Pemerintah melakukan upaya untuk memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat adat dengan membuat hukum
tertulis yang mengakomodasi ketentuan-ketentuan dari hukum adat mengenai
hak atas tanah masyarakat adat. mengingat hak atas tanah adat merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan budaya masyarakat adat. Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 2004 Penatagunaan Tanah, objek penataan juga
menyangkut tanah adat namun pemerintah harus memperhatikan hukum adat
yang masih hidup dalam masyarakat adat, karena sumber hukum tanah bukan
hanya hukum tertulis, namun juga hukum yang tidak tertulis. Surat Keterangan
Tanah Adat (SKTA) yang dibuat oleh Damang Kepala Adat (Pasal 10 ayat
(1) huruf d Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng dalam penjelasan pasal
tersebut bahwa SKTA di buat sebagai bukti kepemilikan dan dapat digunakan
menjadi alat bukti dalam pendaftaran hak atas tanah sebagaimana ketentuan
UUPA atau SKTA merupakan bukti awal kepemilikan hak atas tanah. Alat bukti
dalam hukum perdata ada 5 yaitu: Pengakuan; Sumpah; Surat; Saksi; dan
Persangkaan /dugaan.

6
Kantor Pertanahan Nasional seharusnya melakukan sosialisasi terhadap
peraturan yang mengatur pengakuan dan perlindungan tanah adat ke masyarakat
adat melalui lembaga adat Kedamangan agar masyarakat memetakan tanahnya.
Kewenangan persekutuan adat, adalah melestarikan tradisi adat perdamaian
dalam menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi di masyarakat adat.
Berkaitan dengan Perlindungan hak atas tanah adat/hak ulayat:
1. Lembaga Kedamangan harus memerankan tugasnya dalam pendataan tanah
adat milik masyarakat.
2. Kantor Pertanahan Nasional agar bersinergi dalam peningkatan SKTA
menjadi sertifikat tanah yang sah.

B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS


TANAH ADAT
Menurut Yul Ernis (2019: P 443) Beberapa faktor yang mempengaruhi
sulitnya masyarakat hukum adat untuk diakui hak-haknya oleh Pemerintah Daerah
setempat karena tidak adanya definisi tentang tanah-tanah adat dan hak-hak adat
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), istilah hak ulayat yang seperti
tercantum dalam UUPA di Provinsi Kalimantan Tengah disebut dengan tanah adat,
berarti tidak ada dasar hukumnya karena belum ada persepsi yang sama tentang apa
itu tanah adat di Provinsi Kalteng dengan UUPA No. 5 Tahun 1960. Selama ini
penguasaan dan kepemilikan tanah oleh masyarakat hukum adat Kalimantan Tengah
telah diusik oleh klaim lain yang mendasarkan pada otoritas formal.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah meskipun telah menerbitkan Perda
No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah
Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2010 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan
Tengah dan Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-
Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah Peraturan Gubernur No. 4
Tahun 2012, akan tetapi tidak semua bupati memahaminya, sehingga penerapan di
lapangan menjadi tidak jelas dan akibat dari kerancuan itu, dampaknya terjadi
krimininalisasi terhadap masyarakat adat, karena tidak ada pengaturan yang jelas.
Mengingat belum ada persepsi yang sama tentang apa itu tanah adat menurut
hukum adat di

7
Provinsi Kalteng dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria sehingga perlindungan hukum terhadap hak atas tanah
adat saat ini di Provinsi Kalteng dapat dikatakan masih belum memadai karena tidak
adanya pengakuan hak atas tanah adat dari pemerintah setempat, maka masyarakat
adat belum terlindungi oleh hukum.
Pembuktian sebagai persyaratan seperti yang terdapat dalam peraturan
tersebut diatas itu sulit dipenuhi oleh masyarakat adat, karena menurut Lembaga
Adat Kalteng bahwa tanah adat dari dulu tidak ada pemetaan, perlindungan hukum
atas tanah adat di masyarakat pedalaman hanya berdasarkan pengakuan pemilik dan
kesaksian dari masyarakat sekitar kepemilikan tanah tersebut serta untuk
membuktikan kepemilikan atas tanah adat cukup dengan bersumpah untuk
meyakinkan bahwa dia yang punya tanah adat tersebut.
Tanah adat sebagai satu kesatuan tidak terpisah dari masyarakat hukum adat,
maka untuk mewujudkan pengakuan perlindungan terhadap tanah adat perlu adanya
sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat adat dalam hal pendataan
kepemilikan tanah-tanah adat dan hak adat lainnya agar tertib hukum di bidang
pertanahan di Indonesia. Pasal 10 (ayat 1) huruf d Peraturan Daerah No. 16 Tahun
2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa
yang menjadi dasar kepemilikan tanah adat adalah Surat Keterangan Tanah Adat
(SKTA) yang dibuat oleh Damang Kepala Adat, dan dalam penjelasan pasal tersebut
menyebutkan bahwa SKTA di buat sebagai bukti kepemilikan dan dapat digunakan
menjadi alat bukti dalam pendaftaran hak atas tanah sebagaimana ketentuan UUPA
atau SKTA merupakan bukti awal kepemilikan hak atas tanah.
Apabila kepemilikan terhadap hak atas tanah adat telah dikuasai oleh pihak
lain, maka untuk membuktikannya adalah dengan cara :
1. Mengecek terlebih dahulu di lapangan apakah hak atas tanah adat itu jelas
kepemilikannya dan prosedur hak yang diperolehnya.
2. Melibatkan/koordinasi antara lembaga kedamangan dengan pejabat formal
(seperti ketua RT dan kepala Desa/Lurah) mengenai keabsahan

8
SKTA dalam pengesahan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanah adat dan
ditandatangani.
3. Kejelasan Rencana tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
Berdasarkan pada Pasal 4 dan 5 Peraturan Gubernur Kalteng No. 13Tahun 2009
tentangTanah adat dan Hak-Hak Adat di atas tanah di Provinsi Kalteng bahwa
jika terjadi sengketa kepemilikan tanah adat dan atau sengketa tapal batas, maka
penyelesaiannya untuk menentukan kepemilikan hak atas tanah adat tersebut,
diselesaikan oleh fungsionaris
lembaga kedemangan.

C. KEBERADAAN PERATURAN DAERAH DALAM PERLINDUNGAN HAK


ATAS TANAH ADAT
Menurut Yul Ernis (2019: P 447) Sebagaimana yang telah diuraikan diatas
Daerah Kalimantan Tengah sudah memiliki peraturan yang berkaitan dengan hukum
adat, yaitu Perda No.16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Perda No.1
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah
Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak, dan Pergub No.13 tahun
2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat diatas tanah serta Peraturan Gubernur
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun
2009 tentang Tanah Adat dan Hak–Hak Adat di Atas Tanah. Akan tetapi dalam
realitanya keberadaan Peraturan Daerah No.16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan
Adat dan Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak
Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalteng tersebut belum dapat melindungi hak-hak
masyarakat hukum ada terutama berkaitan dengan tanah adat itu tersendiri
Keberadaan Perda tersebut pada prinsipnya menimbulkan polemik, melihat
bunyi Pasal 8 huruf k Perda No 16 Tahun 2008 disebutkan bahwa Damang Kepala
Adat mempunyai tugas mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat atau harta
kekayaan Kedamangan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan dan
taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. Pasal 3 Peraturan Gubernur No. 13
Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Atas Tanah yang merupakan
turunan dari Perda No.
16 Tahun 2008 memberi tugas kepada Damang Kepala Adat beserta

9
fungsionarisnya untuk membantu masyarakat Dayak menginventarisir tanah adat dan
hak-hak adat di atas tanah di wilayahnya masing-masing, agar menjadi produktif dan
memberi nilai tambah demi peningkatan kesejahteraan bersama. Penegakan Hukum
Adat Pasal 9 ayat (1) huruf b Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2008 tentang tentang
Lembaga Adat Kedemangan disebutkan fungsi Damang adalah menegakkan hukum
adat dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum adat dan
merupakan peradilan adat tingkat terakhir.
Oleh karena tidak adanya pengaturan secara khusus mengenai hutan adat
maka permasalahan hutan di Kalimantan Tengah tidak kunjung usai. Selanjutnya
berdasarkan analisis keberadaan Perda tersebut disadari beberapa substansi belum
maksimal dapat melindungi masyarakat hukum adat dan memberikan kontribusi
terhadap penyelesaian masalah tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah justru
menimbulkan polemik baru apabila tidak segera dilakukan penyempurnaan dengan
hukum yang lebih komprehensif terutama berkaitan dengan :

a. Plurarisme Hukum Adat


Dalam menjalankan aktivitas sehari-sehari setiap suku Dayak mempunyai
adat yang berbeda begitupun masalah pengelolaan tanah adat. Tidak Mengatur
Hutan Adat secara Spesifik
b. Penyelesaian Konflik Tanah Adat Dengan Perusahaan
Menurut Sekda Kalimantan Tengah ada ± 300 kasus sengketa tanah adat
baik berupa hutan maupun tanah adat secara perorangan dilaporkan berkonflik
dengan perusahaan. Motif yang paling banyak adalah penyorobatan lahan,
pengerusakan kebun, belum adanya ganti rugi lahan dan sebagainya.
c. Tanah Komunal/Milik Bersama
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat
dan Hak-Hak Adat Atas Tanah dikemukakan bahwa tanah komunal sama
kedudukan dengan tanah ulayat maka kita harus cek dulu bentuk tanah ulayat itu
sendiri.
d. Larangan Pemindahan Hak Atas Tanah Adat.

10
Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-
Hak Adat Atas Tanah tidak mengatur secara jelas mengenai larangan
pemindahan hak atas tanah adat.
e. Tanah Adat Dan Tanah Bukan Adat
Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-
Hak Adat Atas Tanah tidak memberikan definisi secara pasti apa perbedaan tanah
adat dan tanah bukan adat.

D. PENGATURAN MENGENAI HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM


ADAT
Menurut Yusuf (2016: P 414,419) Sejak reformasi bergulir Tahun 1998
sudah banyak peraturan perundang-undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan
dan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak
dasar lainnya. Berbagai produk legislasi tersebut menyentuh semua level mulai dari
konstitusi sampai peraturan desa. Pada level konstitusi misal dipertegas dengan
keberadaan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Kebijakan hukum terhadap Peraturan
Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan
Tengah berdasarkan 2 (dua) sisi Undang-Undang sebagai berikut:
Pasal 67 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan:
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, (b)
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang, dan (c) mendapatkan pemberdayaan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagai mana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 67 menyatakan, ayat (1) masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara

11
lain:
a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemenschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih
ditaati; dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilyah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Ayat (2) Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil
penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh
masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau
pihak lain yang terkait.
Ayat (3) Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata-cara penelitian;
b. pihak-pihak yang diikutsertakan;
c. materi penelitian; dan
d. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.

E. PRINSIP-PRINSIP PENGATURAN HUTAN ADAT BERDASARKAN


PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 35/PUU-IX/2011
Menurut Safrin (2016: P 214,215,216) Melalui putusan MK No.
35/PUU-X/2012, prinsip-prinsip di atas telah dirubah secara cukup radikal.
Sehingga, prinsip pengaturan dalam UU No. 41 Tahun 1999 menyangkut eksistensi
hutan adat menjadi sebagai berikut:
a. Pertama, apa yang disebut sebagai “hutan adat” sekarang menjadi terpisah dari
hutannegara. Hal ini merujuk pada pendapat MK yang menyatakan bahwa sesuai
dengan pengaturan dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kesatuan masyarakat
hukum adat adalah suatu subyek hukum yang memiliki kapasitas untuk
menyandang hak (dan kewajiban), danoleh karenanya masyarakat hukum adat sudah
seharusnya memliki hak atas hutan(Putusan MK No. 35/PUU-X/2012).
b. Kedua, karena UU No. 41 Tahun 1999 hanya mengenal 2 (dua) jenis hutan yakni
hutannegara dan hutan hak, mendasarkan pada prinsip pertama di atas bahwa
kesatuanmasyarakat hukum adat seharusnya juga memiliki hak

12
atas hutan, maka merujuk padapendapat MK, apa yang disebut sebagai hutan adat
adalah bagian dari hutan hak danbukan bagian dari hutan negara(Putusan MK No.
35/PUU-X/2012, H. 173, 179, 181).
c. Ketiga, apa yang disebut sebagai “hutan adat” pasca adanya putusan MK No.
35/PUUX/2012 ini menjadi didefinisikan sebagai “hutan yang berada dalam wilayah
masyarakathukum adat” (Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, H. 185).
d. Keempat, hutan adat sebagai hutan yang haknya dipunyai suatu kesatuan
masyarakat hukum adat akan diakui jika keberadaan kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut diakui,dan untuk dapatnya suatu kesatuan masyarakat hukum adat
diakui keberadaannya, ia harus memenuhi syarat pengakuan sebagaimana diatur oleh
UUD 1945, yakni masyarakat hukumadat tersebut senyatanya masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat danprinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Putusan MK No. 35/PUU- X/2012, H. 185-186).
Menurut Suprayitno (2019: P 215) Salah satu ciri khas dari Hukum Adat
Dayak Ngaju berdasarkan (Wawancara Dengan Damang Pahandut Marcos Tuan
Tanggal 04 Mei 2019) memiliki hakekat bukan untuk menghukum tetapi untuk
menyelesaikan masalah. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008, disebutkan jenis-jenis sanksi dapat
dikategorikan sebagai berikut: 1) Sanksi Ringan berupa: 2) Sanksi sedang. 3) Sanksi
Berat.
Berdasarkan uraian mengenai perlindungan hutan adat dan konsep dasar
tentang hukum adat Kalimantan Tengah dalam kelembagaan Adat Dayak di
Kalimantan Tengah yang sudah masuk dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah. Jelas terlihat bahwa , hukum adat adalah suatu sistem yang khas dan oleh
karenanya berbeda dengan sistem hukum yang lain, termasuk dengan sistem hukum
yang lain, termasuk dengan sistem hukum Negara sebagai bagian dari konsep Negara
hukum. Hutan adat adalah sama dengan tanah adat, masyarakat Kalimantan tengah
harus mendapatkan hak atas tanah adat mereka, disetiap tanah adat beserta isinya
kita harus mempunyai surat tanah agar tidak mudah untuk para investor mengambil
hak masyarakat hutan adat/tanah adat. Tanah adat pun memiliki dua hak yaitu hak
bersama dan hak perorangan. Meskipun

13
demikian, hak tersebut sebenarnya tidak bisa diganggu atau diambilalihkan oleh
siapapun, namun masyarakat tanah adat pun bisa tetap memiliki konflik dengan
pengusaha-pengusaha luar yang ingin menguasai tanah mereka, karena pengawasan
dan perlindungan tanah adat di Kalimantan tengah kurang dijalankan dengan baik
sehingga para pengusaha atau para investor mudah untuk mengambil alih hak tanah
adat tersebut.

2.3 SOLUSI DARI PENULIS


Perlindungan hutan adat atau tanah adat ini sangat perlu dilakukan dan
diterapkan dengan sebaik-baiknya, agar hak adat tidak selalu diambil dan dikuasai
oleh pengusaha atau investor yang diluar Kalimantan tengah. Usaha perlindungan
hutan adalah suatu usaha untuk mencegah kerusakan hutan pendudukan hutan tidak
sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan hutan
yang tidak bertanggung jawab, penambangan pembohong, penebangan kayu dan
penebangan tanpa izin, penggembalaan pertanian dan operasi, pemulihan hama, dan
penyakit serta daya alam. Solusi untuk tidak terjadinya hal seperti yang telah
diuraikan dimateri yaitu mempercepat pengakuan hutan adat,artinya pemerintah
harus segera mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang benar-benar akan
dilaksanakan dan diterapkan agar hak masyarakat atas tanah adat tidak dapat diambil
oleh siapapun atau pihak manapun. Mengelola tanah adat dengan baik dan benar,
artinya kita sebagai masayarakat adat juga harus mengelola dan melindungi tanah
adat kita agar tetap terjaga kelestarian serta sumber daya alamnya. Menetapkan
peraturan yang produktif,artinya pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang
sesuai dengan realita keadaan yang dihadapi masyarakat adat di Kalimantan tengah.
Dan menguatkan hak masyarakat adat atas hutan adat, artinya didalam
Peraturan Gubernur No 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Atas
Tanah yang ada beberapa pasal belum dijalankan dengan baik agar kedepannya
ditetapkannya peraturan yang harus diterapkan dan dijalankan sesuai peraturan yang
ada agar tidak terjadi masalah seperti yang ada di materi agar masyarakat adat juga
berhak atas tanah adatnya.

14
BAB III
PENUTU
P

3.1 KESIMPULAN
Perlindungan hukum terhadap hak atas tanah adat di Kalimantan Tengah
selama ini belum optimal mengingat belum adanya regulasi yang secara jelas
mengatur tentang perlindungan terhadap hak atas tanah adat tersebut. Ketentuan
mengenai hak atas tanah adat yang ada saat ini belum cukup memadai dalam
menjamin kepastian hukum. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala
tersebut adalah bentuk perlindungan atas tanah adat harus berdasarkan usulan dari
bawah, bukan inisiatif pemerintah.
Upaya hukum yang dilakukan dengan tantangan bersumpah adalah upaya
hukum paling serius yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat suku Dayak Ngaju
dalam pembuktian ada tidaknya niat jahat dalam diri si pelakor. Pelakor untuk
perbuatannya berani merebut suami orang lain lebih dititik beratkan kepada
kepentingan istri sah yaitu denda pengganti baiaya yang telah dikeluarkan keluarga
istri untuk pernikahannya, denda kebutuhan sehari-hari istri, denda pemulihan nama
baik istri dan biaya pesta perdamaian bagi keluarga besar

3.2 SARAN
Perlu persamaan persepsi antara pemerintah daerah /pusat, BPN tentang
hak atas tanah adat dan perlu perubahan dalam UUPA terkait tanah ulayat karena
hak atau tanah ulayat ini berbeda Peraturan Daerah No.16 Tahun 2008 tentang
Kelembagaan Adat dan Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah
Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalteng dengan apa yang
dimaksud hak ulayat yang ada di Kalteng.

15
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Jurnal:
Yul Ernis. 2019. Perlindungan hukum Hak atas Tanah adat Kalimantan Tengah. Jurnal
Penelitian Hukum V19. http://dx.doi.org/10/30641/dejure.2019.V19.435- 454.
Teddy Anggoro. 2006. Kajian hukum masyarakat hukum adat dan HAM dalam lingkup
Negara kesatuam Republik Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan.
http://dx.doi.org/10/21143/jhp.vol36.no4.1477.

Yusuf Salamat. 2016. Pengaturan mengenai hak atas tanah masyarakat hukum adat(studi
kasus pengakuan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan
Tengah). Jurnal Legislasi Indonesia. Volume 13 Nomor 4.

Rico Septian Noor. 2018. Upaya perlindungan hukum terhadap eksistensi masyarakat
hukum adat di Kalimantan Tengah. Jurnal Morality. Volume 4 nomor 2.

Safrin Salam. 2016. Perlindungan hukum masyarakat hukum adat atas hutan adat. Jurnal
Hukum Novelty. Volume 7 nomor 2. DOI :
http://dx.doi.org/10/26555/novelty.v7i2.a5468.

Pratiwi, P.F.P., Suprayitno, S., Triyani, T. (2019). Upaya hukum untuk menjerat tindakan
pelakor dalam perspektif hukum adat dayak ngaju. Jurnal Cakrawala Hukum. 10. 209-
217. DOI: https://doi.org/10.26905/idjch.v10i2. 3469.
Sumber Internet :
http://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/88
https://www.researchgate.net/publication/338191751_Perlindungan_Hukum_Atas
_Tanah_Adat_Kalimantan_Tengah
https://jdih.kalteng.go.id/berita/baca/perlindungan-hukum-terhadap-kawasan- hutan-
adat-di-kalimantan-tengah-kesiapan-kabupatenkota-dalam-menyusun- peraturan-
daerah-tentang-kawasan-hutan-adat

16

Anda mungkin juga menyukai