ABSTRACT
Management of natural resources especially for conservation area is still under control of central government, although
provincial and regent governments have limited role/authority in the decentralization era. The research aims to analyze the historical
evolution of Bali Barat National Park (TNBB) and its management. The results show that the TNBB was originally from wildlife
reserve and management of TNBB conservation under the authority of the Ministry of Forestry (MoF) at central government. In the
desentralization era, provincial and regent government have role/authority such as in national park planning. Also in that era, people
can utilize resources in conservation areas for tourism development, and provide traditional zone for fishermen. For fishermen, the
TNBB zoning in 2010 is far better than the previous zoning.
ABSTRAK
Tata kelola sumber daya alam terutama kawasan konservasi masih berada di bawah kontrol pemerintah
pusat, meskipun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) juga memiliki peran/kewenangan tertentu di era
desentralisasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis sejarah Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dan pengelolaan-
nya. Hasilnya menunjukkan bahwa TNBB berasal dari kawasan suaka margasatwa dan pengelolaannya di bawah
kewenangan Kementerian Kehutanan di pusat. Di era desentralisasi, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten)
memiliki peran seperti dalam perencanaan taman nasional. Pada era ini pula masyarakat dapat memanfaatkan
sumber daya melalui pengembangan pariwisata dan tersedianya zona tradisional bagi nelayan. Bagi nelayan,
zonasi 2010 lebih baik daripada zonasi sebelumnya.
159
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 159 - 172
160
Analisis Sejarah dan Pendekatan Sentralisasi dalam Pengelolaan…
Amir Mahmud et al.
161
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 159 - 172
TNBB terhadap kawasan SM dan sekitarnya pada an spesies jalak bali. Gangguan ini berlangsung
paruh pertama tahun 1980; kedua pada paruh sampai sekitar tahun 1990-an. Sementara itu,
terakhir 1980 semakin meluasnya hasil teknologi sebagian penyotok nener mulai menghentikan
pengembangbiakan bibit ikan bandeng disertai aktivitasnya sekitar 1987 karena tidak ekonomis,
tidak ekonomisnya harga bibit ikan bandeng alam. dan di awal tahun 1990-an tidak ditemukan lagi.
Sejak tahun 1985 Balai Besar Riset Perikanan Untuk penangkapan ikan konsumsi oleh nelayan
Budidaya Laut Gondol (dulu bernama Loka masih tetap berlangsung sekalipun pada zona
Penelitian Perikanan Pantai) menemukan terlarang dengan risiko tertangkap oleh petugas
teknologi bibit ikan bandeng yang relatif lebih TNBB.
murah.
3. Fase Reformasi (1999-sekarang)
Kawasan SM Bali Barat dan sekitarnya
termasuk Registrasi Tanah Kehutanan (RTK) 19 Menjelang akhir masa Orde Baru dan awal
seluas 77.727 ha ditetapkan sebagai calon TNBB masa Reformasi, perusahaan di bidang pariwisata
tahun 1982. Untuk kawasan perairan laut Bali masuk di kawasan TNBB. Dalam rentang waktu
Barat dan Pulau Menjangan serta laut sekitarnya yang singkat, tiga perusahaan mendapatkan Izin
direncanakan sebagai cagar alam laut (marine nature Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) pada tahun
reserves) atau taman nasional laut (marine national 1998 dan 2003 berjangka waktu 30 tahun. Selain
park) (Polunin et al., 1983; Robinson et al., 1981). ketiga perusahaan tersebut, pada awal 2000-an di
Dua tahun kemudian, TNBB berdiri dan dikelola kawasan penyangga TNBB (Pejarakan) juga ber-
oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) TNBB di diri resor atau hotel di pinggir laut. Pemanfaatan
bawah kewenangan Departemen Kehutanan wisata alam di dalam kawasan konservasi ini
(pusat). Wilayah kerja UPT TNBB meliputi SM karena keduanya masih bertalian erat. Begitu juga,
Bali Barat, SM Pulau Menjangan dan sekitarnya dua kelompok masyarakat mengembangkan wisa-
(laut) dan Hutan Lindung (HL) Bali Barat. Untuk ta tirta, yaitu Badan Pengelola (BP) Adat (Sumber-
melindungi kawasan TNBB (darat/hutan 71.507 klampok) tahun 2001 dan Kelompok Nelayan
ha dan laut 6.220 ha), dibuat zonasi atau mintakat Banyumandi (Pejarakan) sekitar awal tahun 2000.
pada tahun 1987. Namun perubahan zonasi tak Munculnya dua kelompok ini akibat dari per-
terhindarkan pada tahun 1996 menyusul soalan kecemburuan sosial dan semakin sempit-
penetapan definitif TNBB dengan perubahan nya daerah penambatan dan penangkapan nelayan
fungsi hutan lindung 265,30 ha, SM 15.322,59 ha, di laut meskipun sebagian masyarakat direkrut
dan perairan laut di sekitarnya 3.415 ha menjadi menjadi karyawan di perusahaan itu.
TNBB tahun 1995 (sesuai Keputusan Menteri Untuk mengakomodasi kepentingan peman-
Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995) sehingga faatan wisata alam dilakukan perubahan zonasi
jumlah kawasan menyusut menjadi 19.002,89 ha. tahun 1999. Perbedaan menonjol dari zonasi ini,
Pembentukan TNBB ini melalui persetujuan selain kecenderungan untuk pemanfaatan wisata
tokoh masyarakat, tetapi masyarakat tidak alam (zona pemanfaatan intensif) bagi perusahaan
mendapatkan informasi yang cukup termasuk ber-IPPA tapi juga untuk ritual keagamaan (zona
dalam pembuatan dan fungsi zonasi. pemanfaatan budaya). Sementara itu, hal menon-
Pada awal berdirinya TNBB dan zonasi 1987, jol dari zonasi tahun 2010 terutama mengakomo-
diberlakukan Surat Izin Masuk Kawasan TNBB dasi kepentingan nelayan di perairan laut dengan
bagi nelayan nyotok nener di laut dan pencari lebah zona tradisional di Teluk Gilimanuk (Kelurahan
di hutan. Secara umum, di dalamnya berisi aturan Gilimanuk) dan Teluk Terima (Desa Sumber-
dan sanksi. Misalnya, gubug nyotok nener didirikan klampok). Konflik akses dan akumulasinya ikut
bersifat sementara dan tidak permanen/semi per- mewarnai sebelum perubahan zonasi, seperti la-
manen, serta dibuat dari bahan/alat yang dibawa rangan budi daya (rumput laut dan ikan). Berbeda
dari kampung (bukan dari hutan). Pada awal pen- dengan sebelumnya yang di level informatif saja,
calonan TNBB terjadi pembakaran gubuk salah pada zonasi 2010 masyarakat (tokoh) ikut serta di
satu penyotok nener. Peristiwa tersebut ditanggapi level konsultasi publik, sekalipun sebagian masya-
dengan melakukan gangguan berbentuk pencuri- rakat masih kekurangan informasi terkait zonasi.
162
Analisis Sejarah dan Pendekatan Sentralisasi dalam Pengelolaan…
Amir Mahmud et al.
Zonasi 2010 lebih baik daripada zonasi sebe- manusia dan kekurangan pendanaan. Begitu juga,
lumnya sebab nelayan dapat memanfaatkan laut berdirinya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pok-
TNBB, khususnya di zona tradisional. maswas) secara independen pada tahun 2006
Berdasarkan aturan legal-formal TNBB, sebelum mengalami penurunan jumlah dan intensitas
adanya zona tradisional nelayan hanya diperboleh- patroli laut sejak tahun 2010 akibat minimnya
kan melintas dan dilarang memanfaatkan laut dana. Selain kerja sama di atas, TNBB juga
(seperti menangkap ikan). bekerja-sama dengan beberapa pihak di antaranya
Untuk membangun kerja sama antara bebe- Lembaga Swadaya Masyarakat Pilang, City of
rapa pihak di TNBB, dibentuk Forum Komu- Yokohama/JICA, Asosiasi Pecinta Curik Bali
nikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) tahun (APCB), serta kerja sama dengan Kelompok
2001. Dalam forum yang diinisiasi World Wild Burung Jalak Bali. Kelompok Burung Jalak Bali
Fund for Nature (WWF) ini terdapat 13 lembaga merupakan penangkaran jalak bali berbasis
atau kelompok yang bergabung, di antaranya masyarakat.
kelompok nelayan, desa adat, Dinas Kelautan dan Alur sejarah TNBB di atas secara umum di-
Perikanan Kabupaten Buleleng dan pengusaha jelaskan berdasarkan fase-fase secara periodik.
wisata (paguyuban dan perusahaan swasta). Da- Tonggak-tonggak penting dalam alur sejarah
lam kegiatannya, FKMPP melakukan patroli laut TNBB mengenai perubahan-perubahan kawasan
bermitra dengan TNBB. Sekitar tahun 2012 TNBB dapat diringkas dalam Gambar 1 dan
FKMPP mati suri karena minimnya sumber daya Tabel 1.
1941 1947 1957 1978 1982 1984 1987 1995 199 6 1997 -‘98 1999 2006 2010
163
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 159 - 172
Tabel 2. Mintakat atau zonasi TNBB tahun 1987, tahun 1996, tahun 1999 dan tahun 2010
Table 2. Mintakat or zones of TNBB 1987, 1996, 1999 and 2010
Mintakat 1987 dan luas Zonasi 1996 dan luas Zonasi 1999 dan luas Zonasi 2010 dan luas
No
(Zoning in 1987 and area) (Zoning in 1996 and area) (Zoning in 1999 and area) (Zoning in 2010 and area)
1 Inti: darat 40.650 ha, laut Inti: total 970 ha Inti: darat 7.567,85 ha, Inti: darat + 7.567,850
3.670 ha laut + 455,37 ha ha, laut + 455,370 ha.
2 Rimba: 25.732 ha Rimba: darat 6.281 ha, Rimba: darat + 6.099,46 Rimba: + 6.174,756 ha
laut 515 ha ha, laut 243,96 ha
3 Pemanfaatan: darat 1.125 Pemanfaatan: darat 1.613 Pemanfaatan intensif : Perlindungan bahari: +
ha, laut 850 ha ha, laut 1.960 ha darat + 1.645,33 ha, laut 221,741 ha
+ 2.745,66 ha
4 Penyangga: darat 4.000 - Pemanfaatan budaya: Pemanfaatan: darat +
ha, laut 1.700 ha darat 245,26 ha 1.800,682 ha, laut +
2.417,011 ha
5 - - - Budaya, religi dan sejarah:
+ 50,570 ha
6 - - - Khusus: + 3,967 ha
7 - - - Tradisional: + 310,943 ha
Sumber (Source): SK Dirjen PHPA No. 49/Kpts/DJ-VI/1987, SK Dirjen PHPA No. 38/Kpts/DJ-VI/1996, Keputusan
Dirjen PKA No. 186/Kpts/DJ-V/1999, Keputusan Dirjen PHKA No. SK. 143/VI-KK/2010.
164
Analisis Sejarah dan Pendekatan Sentralisasi dalam Pengelolaan…
Amir Mahmud et al.
Sumber (Source): Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK. 143/VI-KK/2010.
memiliki dampak positif bagi nelayan dalam Zonasi 2010 mengklasifikasikan kawasan
memanfaatkan laut sebab di zona tradisional menjadi tujuh zona untuk menentukan daerah
nelayan terjamin untuk beraktivitas seperti terlarang dan pemanfaatan. Aturan lainnya adalah
menangkap ikan. juknis tahun 2005 yang dibuat untuk menjadi
acuan bagi semua pihak dalam menangani tindak
2. Aturan
pidana sesuai dengan jenis pelanggarannya. Juknis
Ketentuan aturan di kawasan TNBB ini bertujuan selain memberi shock therapy (efek
terutama mengacu pada zonasi tahun 2010; jera) tapi juga terselesaikannya penanganan kasus
Petunjuk Teknis (Juknis) Penanganan Terpadu tindak pidana dan menekan/menyelamatkan
Tindak Pidana Kehutanan dan Perairan TNBB sumber daya kehutanan dan perairan TNBB dari
(TNBB, 2005b) dan code of conduct tahun 2002. tindakan destruktif. Jenis-jenis pelanggaran
Secara umum, dalam ketiga aturan tersebut berdasarkan juknis adalah: a) memberi makan ikan
setidaknya mengandung aturan yang mengarah oleh pelaku wisata; b) membuang sampah semba-
pada perlindungan konservasi dan pengemba- rangan maupun limbah domestik; c) menjaring
ngan pariwisata meskipun sebagian aturan dalam ikan konsumsi di atas karang; d) menaruh jangkar
zonasi mengakomodasi kebutuhan umat Hindu di atas karang untuk menambatkan perahu; e)
dan nelayan seperti dalam zona budaya, religi, dan mencari ikan hias; f) mencari ikan dengan meng-
sejarah serta zona tradisional. gunakan panah (speargun); g) penggunaan racun
165
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 159 - 172
(potasium) untuk mencari ikan dan h) menangkap jasa pariwisata maupun penangkapan ikan.
ikan secara destruktif (dinamit/bom). Authorized user nelayan di zona tradisional tapi
Aturan yang tertuang dalam code of conduct authorized entrant pada zona yang lain.
bertujuan pemanfaatan kawasan laut TNBB,
4. Pemegang otoritas
khususnya Pulau Menjangan dan sekitarnya untuk
wisata alam. Tujuh poin aturan ini lebih Balai Taman Nasional Bali Barat (BTNBB)
mengutamakan kepentingan wisata laut. Untuk merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dalam
tujuan wisata, disebutkan pada poin empat dalam mengelola kawasan konservasi TNBB. BTNBB
code of conduct mengenai larangan memancing ikan berada di bawah Dirjen PHKA Kementerian
di areal penyelaman radius + 500 m dari garis Kehutanan (Kemenhut). Negara melalui Kemen-
pantai Pulau Menjangan. Secara keseluruhan, hut sebagai pemegang otoritas TNBB sehingga
aturan di TNBB bercorak perlindungan terhadap dapat mengontrol dan mengatur mekanisme pe-
kawasan konservasi dan pengembangan pari- ngelolaan, membuat aturan, merevisi aturan serta
wisata meskipun juga diakomodasi kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Di bawah
nelayan dan umat Hindu dengan zona masing- otoritas terpusat tersebut, masyarakat juga diikut-
masing. sertakan dalam perubahan aturan seperti peruba-
han zonasi meskipun peran negara masih domi-
3. Hak nan. Dalam revisi zonasi tahun 2010, masyarakat
Merujuk pada Schlager & Ostrom (1992), terlibat dalam kegiatan konsultasi publik. Bagi
status (dan tipe) hak kepemilikan sebagai berikut: nelayan, hasil dari perubahan zonasi ini adalah
authorized entrant (akses), authorized user (peman- munculnya zona tradisional.
faatan), claimant (pengelolaan), proprietor (eksklusi)
5. Sanksi
dan owner (pengalihan). Mengenai status hak
kepemilikan, kawasan laut TNBB dipegang oleh Agar berjalan efektif, sebuah aturan yang
pemerintah sebagai owner. Berdasarkan pada dibuat harus disertai dengan sanksi yang berlaku
aturan legal formal, pemerintah sebagai owner untuk ditegakkan. Berdasarkan aturan dalam
mempunyai kontrol yang kuat, sehingga dapat juknis 2005, jenis-jenis pelanggaran di perairan
memberi izin atau menyingkirkan pihak lain dari TNBB memiliki tiga sanksi sebagaimana disajikan
sumberdaya laut. Status hak kepemilikan para pada Tabel 4.
pihak dan tujuannya masing-masing disajikan Di laut TNBB masih dijumpai pelanggaran-
pada Tabel 3. pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dikenakan
Perusahaan pariwisata berstatus sebagai sanksi. Dalam delapan dan enam kali patroli peng-
authorized user. Begitu juga, authorized user yang lain amanan laut selama 2011 dan 2012 ditemukan se-
dimiliki oleh Badan Pengelola (BP) Adat (Desa jumlah pelanggaran seperti mencari dan menang-
Sumberklampok), Kelompok Nelayan Banyu- kap biota laut (gurita, ikan hias dan karang hidup)
mandi (Desa Pejarakan) dan nelayan. Status autho- dan dengan penggunaan potasium. Pelanggaran-
rized user berhak memanfaatkan sumber daya atau pelanggaran selama 2011-2012 beserta sanksinya
untuk berproduksi, baik untuk mengembangkan dapat dilihat pada Tabel 5.
166
Analisis Sejarah dan Pendekatan Sentralisasi dalam Pengelolaan…
Amir Mahmud et al.
Tabel 5. Jumlah pelanggaran di laut dan sanksi tahun 2011 dan 2012
Table 5. Number of marine violations and sanctions in 2011 and 2012
Jumlah Pelanggaran (Violation)
Tahun Patroli
Jumlah Sanksi (Sanction)
(Year) (Number of Jenis (Types)
(Number)
patrol)
2011 8 - Ditemukan orang menyelam Pengarahan, pembinaan dan pembuatan
sambil menembak ikan surat pernyataan
- Ditemukan orang sedang Pengarahan, pembinaan dan pembuatan
memancing dan menjala ikan surat pernyataan
1 orang Menangkap ikan hias dengan Vonis 4 bulan penjara dan denda Rp 300.000
(alat menggunakan cairan potasium dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar
bukti) diganti dengan hukum kurungan selama satu
bulan
2012 6 14 orang Mencari dan menangkap biota Penahanan untuk sementara, pembuatan
(alat laut seperti gurita, ikan hias dan surat pernyataan, wajib lapor selama minimal
bukti) karang hidup satu minggu semenjak tertangkap tangan
Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi sesuai sebagai barang bukti. Berlakunya aturan dan
jenis pelanggarannya. Selama kurun waktu 2011- sanksi menunjukkan bahwa aturan TNBB
2012, sebagian besar pelanggaran berbentuk pe- ditegakkan meskipun jumlah patroli 6-8 kali
nangkapan biota laut dan satu orang divonis setahun di laut dan pelanggaran masih ditemukan.
pidana karena menggunakan potasium. Peralatan Dilihat dari sanksi kedua dan ketiga, tidak
untuk menangkap biota laut di antaranya umpan, dijumpai orang dari desa Sumberklampok dan
pinmasker dan kompresor disita oleh Polhut desa Pejarakan tapi berasal dari luar dua desa itu.
167
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 159 - 172
168
Analisis Sejarah dan Pendekatan Sentralisasi dalam Pengelolaan…
Amir Mahmud et al.
otoritas dan tanggung jawab langsung di TNBB bentuk protes masyarakat dan tidak terlepas dari
kecuali hanya saling koordinasi dan membantu euforia 'kebebasan' sebagai efek tak langsung
masyarakat pesisir melalui program. Oleh sebab perubahan rezim di era reformasi. Ke depan,
itu, pada tahun 2011 DKP mencadangkan Taman diperlukan peningkatan level partisipasi agar
Wisata Perairan Buleleng yaitu: di Buleleng Timur kepentingan para pihak terutama nelayan di laut
seluas 6.661,68 ha, Buleleng Tengah seluas tidak tersingkirkan dalam pengelolaan TNBB.
6.727,91 ha, dan Buleleng Barat seluas 651,24 ha.
Kedua, agar kawasan konservasi laut tetap ter- D. Diskusi
lindungi sekaligus mengembangkan wisata tirta,
Kawasan TNBB terdiri dari tipe ekosistem
kelompok masyarakat ikut serta menjaganya.
terrestrial (darat) dan peraian laut yang tidak dapat
Sebagai kelompok usaha wisata tirta di TNBB,
dipisahkan. Sekalipun luas laut (3.415 ha) lebih
Badan Pengelola Adat dan Kelompok Nelayan
sedikit daripada darat/hutan (15.587,89 ha) tetapi
Banyumandi menyumbangkan dana konservasi
keberadaan dua tipe ekosistem ini saling men-
masing-masing sekitar Rp 9.000.000/tahun dan
dukung dalam menjaga keberlanjutan sumber
20% dari Sisa Hasil Usaha (untuk pengembangan
daya di kawasan konservasi TNBB. Misalnya,
wilayah termasuk kegiatan konservasi). Dana ini
hutan mangrove dapat mencegah erosi di darat
dipergunakan untuk kegiatan di antaranya clean-up
akibat ombak dari laut ke pantai. Di TNBB, tipe
dan pembersihan penyakit karang.
eko-sistem darat terdiri dari hutan mangrove,
Ketiga, perubahan zonasi 2010 merupakan
hutan pantai, hutan musim, hutan hujan dataran
hasil dari negosiasi ulang terhadap zonasi 1999.
rendah, evergreen, savanna dan river rain forest
Zonasi 2010 mengakomodasi kepentingan nela-
sedangkan tipe ekosistem laut meliputi terumbu
yan melalui zona tradisional. Zonasi 2010, selain
karang, padang lamun, pantai berpasir, perairan
menjamin lokasi pemanfaatan nelayan di dalam
laut dangkal dan perairan laut dalam (TNBB,
rezim state property TNBB, juga akan berpengaruh
2005a). Selain flora tersebut, TNBB juga memiliki
positif terhadap mata pencaharian nelayan jika
fauna di antaranya tujuh jenis mamalia, dua jenis
dimanfaatkan dengan baik. Perubahan zonasi
reptilia, 105 jenis aves dan 120 jenis ikan.
1999 menjadi zonasi 2010 didahului oleh konflik
Tata kelola TNBB dalam penguasaan dan
akses sumber daya di TNBB. Menurut Satria
kontrol kewenangan Kemenhut di pusat. Dalam
(2014), perubahan dan pembuatan zonasi sebe-
pengelolaan taman nasional pada umumnya dan
narnya bukan semata-mata persoalan teknis
TNBB khususnya terdapat empat isu yang me-
instrumental tetapi sebagai arena politik para
narik diperhatikan. Pertama, kawasan TNBB deng-
pihak. Oleh karena itu tata kelola adalah mengenai
an tipe ekosistem darat/hutan dan laut memang
politik, hak dan tanggung jawab bersama dan pe-
tidak dapat dipisahkan dan dalam pengelolaannya
nentuan tujuan dan agenda kebijakan (Kooiman
tidak menimbulkan persoalan kewenangan seperti
et al., 2005 dan Jentoft, 2005 dalam Berkes, 2010).
konflik antara dua kementerian (Kemenhut dan
Para pihak seperti nelayan perlu dilibatkan
Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP). Jika
dalam proses (politik) zonasi agar kepentingan
didasarkan pada ukurannya, darat/hutan TNBB
dan akses terhadap laut terakomodasi. Proses per-
lebih luas daripada laut. Berbeda dengan taman
ubahan zonasi 2010 dilakukan dengan melibatkan
nasional laut yang menimbulkan perbedaan tafsir
masyarakat (khususnya tokoh) dan LSM Pilang
yuridis antara kewenangan Kemenhut dan KKP
dalam konsultasi publik dengan level partisipasi
(Satria, 2009a). Kemenhut yang terbentuk lebih
dari yang terendah hingga tertinggi mencakup
awal merujuk pada UU No. 5 tahun 1990 dalam
informatif, konsultatif, kolaboratif dan keputusan
pengelolaan taman nasional darat dan laut sedang-
publik. Bila mengacu pada pasal 19 (2) Permenhut
kan KKP yang terbentuk pada tahun 1999 ber-
No. P. 56/ Menhut-II/2006 bahwa peran serta
dasarkan pada UU No. 31 tahun 2004 dan UU No.
masyarakat pada tingkat memberikan saran, infor-
27 tahun 2007 untuk konservasi laut.
masi dan pertimbangan dalam perubahan zonasi.
Kedua, pengelolaan TNBB dilakukan oleh pe-
Sekalipun partisipasi masyarakat di level konsul-
merintah pusat di bawah Kemenhut berdasarkan
tatif tetapi hal itu diiringi dengan desakan ber-
169
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 159 - 172
UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998. lankan dan menjawab kepentingan pusat. Dalam
Untuk itu Kemenhut membentuk balai taman konteks pengelolaan taman nasional, institusi
nasional sebagai unit pelaksana teknis pada lokal yang dibentuk seperti balai taman nasional
masing-masing taman nasional di daerah. sebagai unit pengelola teknis. Oleh karena itu, Siry
Sekalipun pengelolaan taman nasional berada di (2013) melihat bahwa perjalanan desentralisasi
Kemenhut melalui balai taman nasional namun membekaskan pola pengawasan dan kontrol yang
mengacu pada PP No. 28 tahun 2011 terdapat kuat dari tingkatan pemerintah yang lebih tinggi.
peran masyarakat, provinsi dan/ atau kabupaten/ Namun demikian, sebuah pendekatan pengelola-
kota khususnya dalam konsultasi publik rencana an (sentralisasi, desentralisi, devolusi atau kolabo-
penyusunan zonasi taman nasional. Begitu pula rasi) sebenarnya ditentukan, seperti Jentof et al.
UU No. 32 tahun 2004 dan aturan pelaksana PP (2010) ungkapkan, jika sistem yang dikelola itu
No. 38 tahun 2007 menyebut peran pemerintah sederhana dan stabil, pendekatan sentralisasi lebih
daerah (provinsi dan kabupaten) dalam koordi- efektif tetapi jika kompleks dan tidak stabil maka
nasi perencanaan konservasi keanekaragaman pengelolaan multi pihak (seperti model bunga
hayati serta pertimbangan teknis dalam penyu- mawar) lebih diharapkan.
sunan dan pengesahan perencanaan (jangka pan-
jang, jangka menengah dan jangka pendek).
Sementara Satria et al. (2006) melihat ketidak- VI. KESIMPULAN DAN SARAN
koherensian kerangka hukum antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah ketika merujuk pada A. Kesimpulan
UU No. 5 tahun 1990 sekaligus pasal 7 dalam UU
Sejarah terbentuknya TNBB berasal dari
No. 22 tahun 1999. Dengan begitu pengelolaan
kawasan hutan suaka margasatwa. TNBB terdiri
taman nasional dilakukan oleh pemerintah pusat
atas dua tipe ekosistem: darat/hutan dan perairan
(Kemenhut) dengan melibatkan peran para pihak
laut. Dua tipe ekosistem ini saling menunjang
seperti provinsi, kabupaten dan masyarakat
dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya di
meskipun terdapat perbedaan, terutama dalam
kawasan TNBB. Kawasan TNBB selain bertujuan
level partisipasi para pihak. Perbedaan level
konservasi, juga pemanfaatan wisata alam dan
partisipasi berkaitan dengan besar-kecilnya peran
perikanan tangkap di laut. TNBB dikelola oleh
atau kewenangan dalam pengelolaan. Agrawal
pemerintah pusat melalui Unit Pengelola Teknis
dan Ostrom (2001) mengingatkan bahwa dalam
balai taman nasional yang berada di daerah. Sekali-
kewenangan pemerintah pusat yang besar,
pun dikelola secara terpusat tetapi pemerintah
pemerintah daerah dan orang lokal hanya dilihat
daerah (provinsi dan kabupaten) memiliki peran/
sebagai pengikut aturan, bukan pembuat aturan.
kewenangan dalam rencana penyusunan zonasi
Dalam konteks desentralisasi yang berlang-
dan memberikan pertimbangan teknis lainnya.
sung di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir,
Selain itu, masyarakat juga dapat berperan dalam
transfer kewenangan dari pusat kepada daerah
konsultasi publik rencana zonasi dan untuk
atau masyarakat terutama pengelolaan taman
memperoleh manfaat dari taman nasional seperti
nasional masih terbatas. Menurut Agrawal dan
TNBB.
Ostrom (2001) dampak desentralisasi menjadi
Di era reformasi, terdapat kerja sama TNBB
terbatas jika pengguna di daerah tidak memiliki
dengan beberapa pihak (FKMPP, Pokmaswas,
kontrol signifikan di level tindakan kolektif dan
adat dan nelayan), juga kerja sama pemanfaatan
level konstitusional. Artinya dalam pembuatan
laut untuk wisata. Pemanfaatan wisata di TNBB
aturan untuk mendesain, mengelola dan mene-
dikembangkan salah satunya oleh Desa Adat dan
gakkan aturan di taman nasional. Bahkan desen-
kelompok nelayan. Sementara itu, pengaturan laut
tralisasi menjadi terbatas, seperti pernyataan
di TNBB semakin baik daripada sebelumnya
Ribot et al. (2006) yang dikutip Berkes (2010),
khususnya terakomodasinya kepentingan nelayan
ketika pemerintah pusat menggunakan dua stra-
di zona tradisional dalam zonasi 2010. Zona ini
tegi utama yaitu pembatasan kekuasaan yang di-
menjamin aktivitas nelayan dan dapat berdampak
transfer dan pemilihan institusi lokal yang menja-
170
Analisis Sejarah dan Pendekatan Sentralisasi dalam Pengelolaan…
Amir Mahmud et al.
positif pada mata pencaharian nelayan jika Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dimanfaatkan dengan baik. dan Konservasi Alam No. SK. 143/VI-KK/
2010 tentang Zonasi TNBB.
B. Rekomendasi
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
Tata kelola sumber daya alam termasuk taman dan Pelestarian Alam No. 38/Kpts/DJ-VI/
nasional seringkali diidentikkan dengan 1996 tentang Penunjukan Zonasi TNBB.
pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
Untuk itu, tata kelola perlu dimaknai ulang sejalan
dan Pelestarian Alam No. 49/Kpts/DJ-VI/
dengan munculnya para pihak se per ti
1987 tentang Penunjukan Mintakat TNBB.
kelompok/organisasi lokal, komunitas adat dan
nelayan. Peningkatan level partisipasi para pihak di Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-
tingkat lokal perlu diperhatikan agar tujuan II/ 1995 tentang Perubahan Fungsi Hutan
ekologi-biologi, sosial dan ekonomi tercapai. Ke Lindung, Suaka Margasatwa dan Perairan
depan, pengelolaan konservasi tidak hanya Laut di Sekitarnya Menjadi TNBB.
berhenti pada perlindungan dan pengawetan tapi
Ostrom, E. (1990). Governing the commons. New
juga pemanfaatan. Pemanfaatan yang lebih dapat
York: Cambridge University Pres.
dirasakan oleh masyarakat atau para pihak di
sekitar kawasan konservasi. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-
II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelesta-
Agrawal, A. & Ostrom, E. (2001). Collective
rian Alam.
action, property rights and decentralization in
resource use in India and Nepal. Politics & So- Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang
ciety, 29(4), 485-514. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Ka-
wasan Pelestarian Alam.
Berkes, F. (2009). Evolution of comanagement:
Role of knowledge generation, bridging or- Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang
ganizations and social learning. Environmental Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pe-
Management, 90, 1692-1702. merintah.
Berkes, F. (2010). Devolution of environment and Polunin, N.V.C., Halim, M.K., & Kvalvtgnaes, K.
resource governance: Trends and future. En- (1983). Bali Barat: An Indonesian marine
vironmental Conservation, 37(4), 489-500. protected area and its resources. Biological
Conservation, 25, 171-191.
Christie, P. (2004). Marine protected areas as bio-
logical successes and social failures in South- Robinson, A., Polunin, N., Kvalvagnaes, K., &
east Asia. American fisheries society symposium, 42, Ha-lim, M. (1981). Progress in creating a
155-164. marine reserve system in Indonesia. Bulletin of
Marine Science, 31(3), 774-785.
Jentoft, S., Chuenpagdee, R., Bundy, A., & Mahon,
R. (2010). Pyramids and roses: Alternative Ruddle, K. & Satria, A (Eds.). (2010). Managing
images for the governance of fisheries coastal and inland waters. London: Springer.
systems. Marine Policy, 34, 1315-1321.
Santosa, A. (Ed.). (2008). Konservasi Indonesia,
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan sebuah potret pengelolaan & kebijakan. Bogor:
Konservasi Alam No. 186/Kpts/DJ-V/1999 Pokja Kebijakan Konservasi.
tentang Penunjukan Zonasi TNBB.
171
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 159 - 172
Satria, A. & Matsuda, Y. (2004). Decentralization Suryawan, W. (2005). Fakta pengelolaan Taman Na-
of fisheries management in Indonesia. Marine sional Bali Barat (Laporan). Jembrana: Taman
Policy, 28, 437-450. Nasional Bali Barat.
Satria, A. (2009a). Ekologi politik nelayan . Taman Nasional Bali Barat. (2005a). Pengembangan
Yogyakarta: LKiS. pariwisata alam di Taman Nasional Bali Barat.
Jembrana: Taman Nasional Bali Barat.
Satria, A. (2009b). Pesisir dan laut untuk rakyat. Ce-
takan ke-2. Bogor: IPB Press. Taman Nasional Bali Barat. (2005b). Petunjuk
teknis penanganan terpadu tindak pidana kehutanan
Satria, A. (2014, Januari). Politik pengelolaan
dan perairan TNBB. Jembrana: Taman
pesisir (Editorial). Majalah Samudra “Politik di
Nasional Bali Barat.
Balik Pengelololaan Pesisir” Edisi 129 Th. XII.
Taman Nasional Bali Barat. (2011). Kegiatan penyi-
Satria, A., Sano, M. & Hidenori, S. (2006). Politics
dikan dan perlindungan hutan TNBB 2011 (La-
of marine conservation area in Indonesia:
poran Tahunan). Jembrana: Taman Nasional
From a centralized to a decentralized sys-
Bali Barat.
tem”. Int. J. Environment and Sustainable De-
velopment, 5(3), 240-261. Taman Nasional Bali Barat. (2012). Kegiatan penyi-
dikan dan perlindungan hutan TNBB 2012 (La-
Schlager, E. & Ostrom, E. (1992). Property-rights
poran Tahunan). Jembrana: Taman Nasional
regimes and natural resources: A conceptual
Bali Barat.
analysis. Land Economics, 68(3), 249-262.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang
Siry, H.Y. (2013). Desentralisasi pengelolaan wila-
Pemerintah Daerah.
yah pesisir dalam konteks coral governance”.
Dalam Nikijuluw, V.P.H. (Ed.), Coral go- Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang
vernance. Bogor: IPB Press. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/
1978 tentang Penunjukan Areal Hutan Pulau Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Per-
Menjangan. Pulau Kalong, Pulau Burung, ikanan.
Pulau Gadong Seluas + 193 ha yang Terletak
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
di Daerah TK I Bali sebagai Kawasan Hutan
Pemerintahan Daerah.
dengan Fungsi sebagai Suaka Margasatwa dan
Menggabungkannya dengan Suaka Margasat- Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Kon-
wa Bali Barat. servasi Sumberdaya Alam Hayati dan Eko-
sistemnya.
Soebowo, W. (1986). Sejarah terbentuknya Taman
Na-sional Bali Barat . Jembrana: Taman van Leeuwen, J. & van Tatenhove, J. (2010). The
Nasional Bali Barat. triangle of marine governance in the envi-
ronmental governance of Dutch offshore
Soebowo, W. (1987). Tegal Bunder is a steppingstone the
platforms. Marine Policy, 34, 590-597.
evolution of the mangrove forest. Jembrana: Taman
Nasional Bali Barat.
172