Anda di halaman 1dari 14

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA KOLABORATIF

(Studi Kasus Di Taman Nasional Bukit Duabelas)


COLLABORATIVE MANAGEMENT OF NATIONAL PARK
Case Study in Bukit Duabelas National Park
Oleh: Waldemar Hasiholan *

Abstract
Bukit Duabelas National Park is representing to specific and unique Conservation Area because in this
area live the traditional tribe "Orang Rimba”. The traditional knowledge Orang Rimba in managing
forest as live place and subsistence source require to be defended and preserve.
The Changing of status of production forest to the status of the conservation forest has led to conflict
of forest management and access to natural resources in the National Park. This situation led to
management of Bukit Duabelas National Park is not operating effectively. The changing of
Management system should be done in participative by involving stakeholders, so it’s not magnify
differences park management. Therefore the collaborative management of national parks with the
community as a solution to resolve the conflict in the management of national parks.
Key word: Collaborative management

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum tujuan pembangunan suatu Taman Nasional adalah untuk melindungi proses
ekologis yang menunjang kehidupan, mengawetkan keanekaragaman ekosistem, spesies dan
genetik yang terdapat di dalam taman nasional serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistem yang ada untuk kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan
alam, rekreasi, wisata alam dan jasa lingkungan serta kegiatan penunjang budi daya. Demikian
pula dengan penunjukan Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas seluas 60.500 ha yang
ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 258/Kpts‐
II/2000 Tanggal 23 Agustus 2003.
Penunjukan Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan perubahan fungsi hutan yang berasal
dari sebagian Hutan Produksi Terbatas Serengam Hulu (20.700 ha) dan sebagian Hutan
Produksi Tetap Serengam Hilir (11.400 ha) serta Areal Penggunaan Lain (1.200 ha) dan Suaka
Alam Bukit Duabelas (27.200 ha). Perubahan Fungsi Hutan Produksi dan Fungsi Hutan Suaka
Alam menjadi Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas tentunya juga merubah sistem
pengelolaannya dari sistem pengelolaan hutan produksi menjadi sistem pengelolaan taman
nasional.

*Widyaiswara Pusat Diklat Kehutanan


Perubahan sistem pengelolaan hutan tersebut telah menimbulkan konflik pengelolaan dan
akses terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya antara pengelola kawasan dengan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan taman nasional. Masyarakat Orang Rimba yang telah
hidup dan mencari penghidupan di dalam kawasan hutan tersebut jauh sebelum ditunjuk
sebagai taman nasional merasa terancam kehidupannya akibat wilayahnya ditetapkan sebagai
kawasan taman nasional. Konflik yang terjadi sudah pada tingkat konflik terbuka sehingga
dalam mengelola taman nasional seringkali menghadapi penolakan dari masyarakat. Hal ini
menyebabkan pengelolaan taman nasional menjadi kurang efektif.

Dalam rangka mewujudkan pengelolaan taman nasional yang efektif diperlukan upaya‐upaya
penanganan konflik sehingga kehadiran taman nasional dapat diterima dan didukung oleh
masyarakat. Salah satu langkah awal dalam penyelesaian konflik adalah melakukan identifikasi
konflik dan sumber konflik. Selanjutnya dilakukan analisis atas konflik guna memperoleh
solusi penagananan konflik yang terjadi.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan dan sharing informasi kepada para
pihak dalam mewujudkan pengelolaan taman nasional yang efektif dan diterima oleh
masyarakat.
METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini menggunakan teknik
pendekatan dan perpaduan sebagai berikut:
1. Studi pustaka karya tulis ilmiah terkait taman nasional.
2. Kajian Peraturan dan Perundang‐undangan terkait hutan dan kawasan konservasi.
3. Pengalaman dalam mengelola taman nasional.

Selanjutnya data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis dan dirumuskan untuk
menghasilkan rekomendasi bagi penyelesaian konflik sehingga pengelolaan taman nasional
dapat efektif dan diterima oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

II. KONSEP PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

A. Pengertian Taman Nasional


Menurut Pasal 1 angka 14 Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dimaksud dengan taman nasioanl adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

2
pariwisata, dan rekreasi. Lebih lanjut dsalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun
2011 dijelaskan bahwa Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan
taman nasional haruslah memenuhi:
1. Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan
alami serta gejala alam yang unik;
2. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
3. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
dan
4. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba,
dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.

Menurut Clawson, 1972 (dalam Waldemar 1986) kriteria untuk suatu taman nasional adalah
sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan untuk menunjang kebutuhan masyarakat kini dan akan datang
dalam hal aktifitas, kegemaran dan sifat‐sifatnya.
2. Kebutuhan akan macam areal tergantung pada faktor sosial ekonomi masyarakat setempat,
sebab perkembangan ekonomi masyarakat menentukan perubahan sasial dan berpengaruh
pada taman nasional dan konsep ini dapat berubah dinamis.
3. Keberadaan taman nasional harus dimengerti oleh seluruh masyarakat dan didukung oleh
pemerintah.
Selanjutnya Harroy (dalam Waldemar 1986), menyatakan bahwa untuk membangun taman
nasional yang efektif ada empat hal utama yang wajib diperhatikan, yaitu:
1. Harus ada kehendak politis yang kuat dari para pimpinan negara yang bersangkutan.
2. Diperlukan pula adanya pendapat masyarakat yang menunjang atau menerima kehendak
resmi pemerintah ini.
3. Harus disediakan cukup dana untuk menjadikan kehendak itu berhasil.
4. Administrasi taman nasional harus cukup efektif dan kompeten dalam menggerakan
kehendak ini menuju kegiatan nyata.

Dari uraian tersebut di atas kehadiran suatu taman nasional selain harus mendapat dukungan
pemerintah tertinggi tetapi juga harus dapat diterima oleh masyarakat serta mendapat
dukungan dari masyarakat dalam pengelolaannya.

B. Zonasi Taman Nasional


Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi
zona‐zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data,

3
penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan,
dengan mempertimbangkan kajian‐kajian dari aspek‐aspek ekologis, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat.

Berdasarkan Pasal 8 huruf (d) PP 23 Tahun 2011 zonasi yang terdapat di taman nasional
meliputi zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan
keperluan. Menurut Clawson (1972) Kebutuhan akan macam zonasi tergantung pada faktor
sosial ekonomi masyarakat setempat, sebab perkembangan ekonomi masyarakat menentukan
perubahan spasial dan berpengaruh pada taman nasional dan konsep ini dapat berubah
dinamis.
Lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Permenhut‐II/2007 ditetapkan
bahwa kawasan taman nasional sekurang‐kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona
pemanfaatan. Namun demikian di dalam taman nasional sesuai dengan kondisi kawasan,
potensi kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional, dapat dibuat
zona lain secara variatif, seperti: Zona tradisional; Zona rehabilitasi; Zona religi, budaya dan
sejarah serta Zona khusus.

Dari uraian tersebut diatas dapat dirumuskan bahwa zonasi taman nasional bersifat dinamis
dan penetapannya bergantung pada sejarah kawasan, sosial ekonomi masyarakat setempat,
budaya masyarakat, tingkat kebergantungan masyarakat atas kawasan taman nasional dan
perkembangan kesejahteraan masyarakat.

C. Dasar Hukum Pengelolaan Taman Nasional Bersama Masyarakat


1. Undang‐undang Nomor 5 Tahun 1990
Dalam undang‐undang nomor 5 Tahun 1990 dinyatakan bahwa tujuan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya adalah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya
alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selanjutnya
dinyatakan pula bahwa pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh Pemerintah, oleh
karenanya peran serta masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang
berdaya guna dan berhasil guna.

2. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999


Sebagai kawasan hutan maka pengelolaan Taman Nasional harus memperhatikan hal
berikut ini:

4
a. Menjaga keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta
ekonomi.;
b. Memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai
dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat;
c. Menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling
ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD,
dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan
koperasi;
d. Mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat;
e. Dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain,
dan masyarakat setempat;
f. Bertujuan untuk sebesar‐besar kemakmuran masyarakat yang berkeadilan dan
berkelanjutan, diantaranya dengan:
1) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya,
dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
2) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap
akibat perubahan eksternal;
3) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

g. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha yang


memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
(dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan
dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut
memiliki)
h. Dalam kerjasama dengan masyarakat kearifan tradisional dan nilai‐nilai keutamaan, yang
terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang
disepakati bersama.
i. Masyarakat berhak:
1) Menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
2) Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang‐undangan
yang berlaku;

5
3) Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi
kehutanan;
4) Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan;
5) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik
langsung maupun tidak langsung.
j. Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari
gangguan dan perusakan.
k. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di
bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
l. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena
hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
m. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya
sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‐undangan yang berlaku.

3. Undang‐Undang Hak Asasi Manusia


Dalam Undang‐undang Hak Asasi Manusia telah diatur hubungan antara masyarakat
tempatan khususnya masyarakat adat dengan lingkungannya, diantaranya adalah:
a. Perlindungan dan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat;
b. Hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan, perumusan dan implementasi kebijakan
taman nasional, khususnya atas penyusunan rencana pengelolaan;
c. Hak atas kepemilikan taman nasional;
d. Hak atas pengembangan diri;
e. Hak atas informasi, dimana pemerintah harus memberikan dan menyediakan informasi
yang cukup, adil dan transparan dalam kebijakan taman nasional dan kebijakan
pemerintah secara umum.
f. Hak untuk hidup secara bermartabat di Taman nasional;
g. Hak atas tanah ulayat di Taman Nasional;
h. Hak kelompok khusus, dimana pemerintah secara umum harus memberikan perlakuan
dan perlindungan lebih terhadap masyarakat sebagai kelompok khusus dalam
kebijakan pembangunan.

Dari uraian tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa pengelolaan taman nasional haruslah
melibatkan masyarakat secara aktif mulai dari perencanaan taman nasional, pelaksanaan

6
kegiatan dan monitoring serta evaluasi kegiatan taman nasional. Dalam penerapannya
pengelolaan taman nasional bersama masyarakat mencakup tiga fungsi yaitu fungsi
perlindungan, fungsi pengawetan dan fungsi pemanfaatan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kawasan taman nasional merupakan
perpaduan antara pengelolaan cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung, hutan wisata
alam dan hutan produksi.

III. KONFLIK DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS

A. Gambaran Umum
Taman Nasional Bukit Duabelas yang terletak di Dataran Pulau Sumatera Bagian Tengah, secara
administratif terletak di tiga kabupaten. dengan rincian luas menurut kabupaten, masing‐
masing :
1. Kabupaten Batanghari  65% (37.000 Ha)
2. Kabupaten Sarolangun  15% (9.000 Ha)
3. Kabupaten Tebo  20%. (11.500 Ha)
Kawasan ini merupakan Hutan Alam sekunder tua, sebagian lagi merupakan hutan primer,
kebun karet, belukar dan ladang. Secara ekologis Taman Nasional Bukit Duabelas Termasuk
dalam Tipe Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah. Dengan tipe ekosistem yang demikian
Taman Nasional ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hampir sebagian
besar spesies tumbuhan dan satwa liar yang terdapat di Sumatera dapat dijumpai di kawasan
ini diantaranya adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan Tapir (Tapirus
indicus) masih sering ditemukan di areal ini. Selain itu Kawasan ini juga telah menjadi tempat
hidup dan mencari penghidupan bagi Masyarakat Adat ”Orang Rimba” . Sudah sejak lama
Orang Rimba hidup di belantara hutan yang tersebar di Provinsi Jambi. Namun hanya Taman
Nasional Bukit Duabelas yang lebih menjamin kelestarian habitatnya.

B. Permasalahan Taman Nasional


Berdasarkan perbandingan antara kriteria, persyaratan dan peraturan yang berkaitan dalam
penetapan taman nasional dengan realisasi penetapan taman nasional akan ditemui
permasalahan yang berpotensi menjadi sumber konflik dalam pengelolaan taman nasional.
Potensi konflik dalam pengelolaan taman nasional dimaksud diantaranya adalah sebagaimana
disajikan pada tabel berikut ini:

7
Tabel 1. Identifikasi Potensi Konflik di Taman Nasional
No Penetapan Taman Nasional Permasalahan Potensi
Konflik
Kriteria Realisasi
1. Harus didasari Umumnya dilakukan Terjadinya Terjadi konflik
pada hasil dengan penunjukan perbedaan persepsi kepentingan
inventarisasi kawasan hutan atau dan kepentingan penggunaan
sumber daya perubahan fungsi antara dalam dan
alam/hutan pemanfaatan
kawasan
2. Harus diterima Dalam penunjukan Terjadinya Penolakan atau
oleh masyarakat taman nasional perbedaan dan resistensi
umumnya belum kepentingan dalam terhadap
mendengarkan pemanfaatan atau keberadaan
aspirasi masyarakat penggunaan taman nasional
yang bermukim di kawasan
dalam/sekitar
kawasan
3. Masyarakat berhak Masyarakat belum Terjadinya Penolakan atau
mengetahui banyak tahu rencana perbedaan dan resistensi
rencana pembangunan kepentingan dalam terhadap
pembangunan kehutanan di pemanfaatan atau keberadaan
kehutanan wilayahnya penggunaan taman nasional
kawasan
4. Masyarakat berhak Belum ada Terjadinya Penolakan atau
mendapatkan mekanisme ketidakpuasan dan resistensi
kompensasi atas pemberian tuntutan untuk terhadap
tertutupnya akses kompensasi kepada tetap keberadaan
dalam masyarakat atas mempertahankan taman nasional
pemanfaatan hilangnya akses kawasan
kawasan hutan dalam pemanfaatan
hutan
5. Peran serta Peranserta Terjadinya Lemahnya
masyarakat dalam masyarakat belum ketidakpuasan dan dukungan
pengelolaan taman menjadi kebutuhan kekecewaan dalam masyarakat
nasional menjadi utama dalam pengelolaan taman dalam
kebutuhan utama pengelolaan taman nasional pengelolaan
nasionak taman nasional
6. Adanya program Program partisipatif Terjadinya Lemahnya
peningkatan masyarakat dalam ketidakpuasan dan dukungan
kemampuan SDM pengelolaan taman kekecewaan dalam masyarakat
masyarakat di nasional masih pengelolaan taman dalam
dalam/sekitar terbatas nasional pengelolaan
hutan untuk taman nasional
berpartisipasi
dalam pengelolaan
kawasan
8
7. nilai‐nilai kearifan Aturan pengelolaan Terjadinya Lemahnya
tradisional dalam taman nasional lebih ketidakpuasan dan dukungan
budaya mengutamakan kekecewaan dalam masyarakat
masyarakat dapat aturan formal atau pengelolaan taman dalam
dijadikan aturan hukum positif nasional pengelolaan
kesepakatan dalam taman nasional
pengelolaan
kawasan
8. Masyarakat Pemerintah jarang Terjadinya Lemahnya
melakukan melibatkan inefisiensi dalam dukungan
pengawasan masyarakat dalam pengelolaan taman masyarakat
terhadap melakukan nasional dalam
pelaksanaan pengawasan secara pengelolaan
pembangunan aktif taman nasional
kehutanan
9. Perlindungan dan Masih sedikit Terjadinya Lemahnya
pengakuan atas Peraturan Daerah inefisiensi dalam dukungan
keberadaan yang mengakui pengelolaan taman masyarakat
masyarakat adat. keberadaan nasional dalam
masyarakat adat pengelolaan
taman nasional
10. hak atas Taman Nasional Terjadinya kegiatan Konflik
kepemilikan taman dikuasai oleh Negara illegal di dalam kepentingan
nasional dan belum mengakui taman nasional
kepemilikan
masyarakat adat atas
kawasan taman
nasional
11 Taman Nasional Unsur‐unsur Manajemen taman Program dan
dikelola dengan manajemen taman nasional kuarng kegiatan
dana yang cukup nasional dalam efektif pengelolaan
dan mendapat keadaan terbatas dan taman nasional
dukungan dari belum mendapatkan kurang optimal
pemerintah pusat dukungan penuh dari dan kurang
dan daerah pemerintah pusat mendapat
maupun daerah dukungan
masyarakat

Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan taman nasional, konflik antara masyarakat dengan
pengelola kawasan yang sering muncul dipermukaan adalah:
1. Konflik dalam penggunaan lahan, seperti:
a. Pemukiman di dalam kawasan taman nasional yang keberadannya telah ada sebelum
penetapan taman nasional
b. Perladangan masyarakat yang dilakukan secara tetap yang keberadaannya sudah ada
sebelum penetapan taman nasional
9
c. Perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat tradisional
2. Konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati, diantaranya:
a. Pemungutan hasil hutan kayu untuk kepentingan ekonomi keluarga, kepentingan sendiri
dan lainnya.
b. Pemungutan hasil hutan bukan kayu untuk kepentingan ekonomi keluarga, kepentingan
sendiri dan lainnya.
c. Perburuan tradisional
3. Konflik sosial, diantaranya:
a. Kesempatan mendapatkan pendidikan
b. Kesempatan mendapatkan kesehatan
c. Kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan
d. Kesempatan dalam menjalankan tatanan budaya

Akibat terjadinya perubahan status fungsi hutan dari fungsi hutan produksi menjadi fungsi
hutan konservasi di Taman Nasional Bukit Duabelas, permasalahan umum yang teridentifikasi,
adalah sebagai berikut:
1. Belum mantapnya batas kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas
2. Belum terakomodasinya tata ruang kehidupan Orang Rimba dalam sistem Zonasi Taman
Nasional Bukit Duabelas
3. Manfaat ekonomi atas eksistensi kawasan belum dirasakan oleh masyarakat;
4. Belum terlibatnya secara aktif masyarakat ”Orang Rimba” dalam pengelolaan Taman
Nasional Bukit Duabelas
5. Kondisi sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan Orang Rimba masih rendah
6. Pergeseran‐pergeseran nilai yang berkonotasi negatif di kalangan komunitas Orang Rimba.
7. Belum terbangunnya Sistem Pengelolaan Multi Pihak yang berbasis konservasi sumberdaya
alam dan Community Development.
8. Terbatasnya komunikasi dan informasi para pihak.
9. Adanya potensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.

IV. SOLUSI KONFLIK

Mengacu pada permasalahan tersebut, maka strategi yang dilakukan adalah mengembangkan 7
(tujuh) prinsip pengelolaan hutan modern, yaitu:
1. Mengembangkan Multi‐Purpose Forest Used Management
2. Mengembangkan Multi‐Porpose Trees Species Management
3. Mengembangkan Multi Stakeholder of Forest Management;

10
4. Mengembangkan Intensive Forest Management Base On Research and Science;
5. Mengembangkan Resort Base Forest Management;
6. Mengembangkan Multi Product of Forest Management;
7. Mengembangkan Multi Impact of Forest Management.
Adapun langkah‐langkah pendekatan yang dilakukan dalam pemecahan masalah tersebut
didasarkan pada:
1. Pengembangan Zonasi Taman Nasional
2. Konservasi Kawasan
3. Perkuatan Keberdayaan Komunitas Orang Rimba
4. Penggalangan Aliansi Mitra Strategis Lintas Pihak.

A. Pengembangan Zonasi
Salah satu upaya penyelesaian konflik sumber daya alam hayati di Taman Nasional adalah
dengan mengembangkan sistem zonasi partisipatif sesuai kebutuhan masyarakat dan
kelestarian ekosistem. Dengan demikian Sistem Zonasi yang dikembangkan di Taman Nasional
Bukit Duabelas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ruang dan penghidupan Orang Rimba
serta konservasi ekosistem, spesies dan genetik yang terancam punah.

1. Zona Inti
Zona Inti adalah sebagai ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
kawasan dan merupakan areal yang dilindungi ketat. Kegiatan yang diperbolehkan pada
zona ini hanya yang bersifat penelitian terbatas, atau yang berkaitan dengan kehidupan
budaya komunitas Orang Rimba.
2. Zona Rimba
Zona Rimba melingkari areal Zona Inti sampai ke sisi batas luar kawasan, kecuali bagian‐
bagian ruang yang diperuntukkan untuk tipe zona lainnya. Fungsi utama Zona Rimba
adalah sebagai :
a. Ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
b. Ruang kehidupan dan penghidupan komunitas Orang Rimba.
c. Ruang kegiatan penelitian dan pendidikan.
d. Ruang kegiatan pariwisata terbatas / penyelenggaraan program interpretasi.
3. Zona Pemanfaatan
Untuk memfasilitasi kegiatan pemanfaatan, dirancang 4 (empat) tipe zona pemanfaatan,
masing‐masing :
a. Zona Pemanfaatan Tradisional: Zona ini diperuntukkan untuk memfasilitasi kebutuhan
kehidupan dan penghidupan komunitas Orang Rimba. Fungsi utama Zona Pemanfaatan

11
Tradisional adalah sebagai : Ruang budidaya tanaman pangan, komoditi jual dan biota
obat hutan (agroforestry), Ruang Interaksi komunitas Orang Rimba dengan masyarakat
luar, Ruang penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan komunitas Orang Rimba. Di zona
ini akan dikembangkan agroforestry dan fasilitas untuk menunjang program
pendidikan dan kegiatan‐kegiatan pemberdayaan lainnya (Orang Rimba Community
Center) termasuk introduksi program interpretasi berikut sarana dan prasarana wisata
untuk di kelola oleh komunitas itu sendiri.
b. Zona Pemanfaatan Terbatas : Fungsi utama Zona Pemanfaatan Terbatas adalah untuk
mengakomodasi pemanfaatan areal kawasan TNBD (ex Cagar Biosfer) yang dirambah
pada masa‐masa lalu dan sudah dijadikan lahan perkebunan rakyat oleh warga
masyarakat desa interaksi. Dan, areal ex PT INHUTANI V dan PT Sumber Hutan Lestari
yang sudah terlanjur dijadikan perkebunan rakyat sebelum terbentuk TNBD.
c. Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam. Fungsi utama Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam
adalah untuk : Pengembangan sarana dan prasarana ekowisata dan penyelengaraan
program interpretasi, Pengembangan laboratorium alam terbuka, Pengembangan budi
daya biota obat hutan dan tanaman hias, Pengembangan Pusat Penyelamatan Satwa
Endemik Sumatera, Sebagai wadah penampungan satwa liar endemik Sumatera
bermasalah dan hasil sitaan dari masyarakat, Pengembangan Penangkaran Satwa
(endemik Sumatera), Sebagai wadah pengadaan stok untuk 1) Kebutuhan masyarakat
yang berminat mengembangkan kegiatan usaha penangkaran, dan 2) Keperluan
intervensi jenis satwa yang terancam, baik untuk kawasan TNBD maupun kawasan
lainnya.
d. Zona Khusus: adalah areal‐areal di TNBD yang diperuntukan secara khusus bagi
pengembangan komoditi kehutanan dan pertanian serta perikanan yang dikelola secara
intensif untuk peningkatan ekonomi masyarakat Orang Rimba yang telah bermukim di
kawasan jauh sebelum Taman Nasional Bukit Duabelas ditetapkan.
4. Zona Rehabilitasi. Zona ini tertutup untuk semua kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan
program pemulihan lingkungan. Setelah proses intervensi berakhir, tipe zona untuk ex
areal rehabilitasi akan disesuaikan dengan keperluan konservasi kawasan.

B. Konservasi Kawasan
1. Pemantapan batas kawasan
a. Pembuatan kesepakatan dengan Masyarakat Desa untuk rasionalisasi dan pemantapan
batas kawasan
b. Mengusulkan rekonstruksi batas TNBD secara partisipatif

12
c. Melakukan Pemeliharaan Batas TNBD dengan penanaman pohon kehidupan bersama‐
sama dengan masyarakat
d. Pemetaan Pal Batas Kawasan TNBD dalam Peta GIS
e. Pembentukan Team Kerja Zonasi TNBD yang terdiri atas Kelompok Orang Rimba, NGO,
Pemerintahan Desa dan Taman Nasional
f. Mengembangkan sistem zonasi TNBD yang mampu mengakomodasi kebutuhan ruang
dan sumber penghidupan Orang Rimba
g. Melakukan survey identifikasi dan penentuan zonasi
2. Perlindungan dan pengamanan kawasan
a. Penjagaan: melakukan penjagaan pada lokasi strategis
b. Patroli: Melakukan patroli ditempat‐tempat rawan gangguan keamanan hutan
c. Operasi Pengamanan Hutan: Berupa operasi preentih, preventif dan represif.
d. Pengendalian kebakaran hutan: Diutamakan kegiatan pencegahan terjadinya kebakaran
hutan.

C. Penguatan Keberdayaan Masyarakat


1. Penguatan Kelembagaan Adat
Nilai‐nilai Kearifan trasidional Orang Rimba dalam megelola sumberdaya alam hutan dan
isinya perlu dilestarikan. Oleh karena itu terus dilakukan penguatan atas aturan‐aturan dan
hukum adat yang bersifat positip bagi peningkatan kesejahteraan Orang Rimba dan
Pelestarian TNBD.
2. Pengembangan Community Patrol
Balai Taman Nasional Bukit Duabelas mengembangkan Community Patroll yang
beranggautakan POLHUT TNBD, Orang Rimba dan Orang Desa. Regu patroli ini bertugas
melakukan pemantauan dan monitoring keamanan kawasan TNBD di lapangan,
3. Peningkatan Ekonomi Masyarakat
Kegiatan yang dilaksanakan berupa pembangunan demonstrasi plot penangkaran anggrek,
budidaya jernang, rotan dan budidaya perikanan.

D. Pengembangan Pengelolaan Kolaboratif


1. Mengembangkan pengelolaan taman nasional bersama masyarakat
Untuk lebih mempercepat pencapaian tujuan penetapan taman nasional dikembangkan
Kelompok Kerja Pengelolaan TNBD yang terdiri atas Balai TNBD, Orang Rimba dan Stage
Holder terkait mulai dari Tingkat Resort, Subseksi, Sampai pada Tingkat Kabupaten. Ruang
lingkup kegiatan Kelompok Kerja Pengelolaan TNBD meliputi kegiatan perencanaan,
implementasi dan monitoring serta evaluasi.

13
2. Mengembangkan kerjasama kemitraan
Mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak‐pihak terkait untuk mendukung
konservasi kawasan TNBD dan keanekaragaman jenis yang terdapat di dalamnya melalui
peningkatan kwalitas SDM pengelola kawasan dan program pendanaan dan pendampingan
3. Mengembangkan Kolaborasi Multi Stakeholder
Bersama dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, Perusahaan Swasta, NGO Nasional,
NGO Internasional, Lembaga Adat dan Orang Rimba membentuk Forum Kolaborasi
Pengelolaan TNBD. Forum ini bertugas untuk merencanakan dan mengimplementasikan
program dan kegiatan secara terpadu dalam rangka pencapaian tujuan penetapan Taman
Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Orang Rimba.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas bersama masyarakat merupakan solusi
memecahkan permasahan dalam pengelolaan taman nasional, selain itu sistem pengelolaan ini
mampu meredam timbulnya konflik antara Pengelola kawasan dengan masyarakat tradisional.
B. Saran
Pengelolaan taman nasional yang berbasis masyarakat sudah saatnya dilaksanakan di
Indonesia. Selain mampu meningkatkan efektifitas pengelolaan sistem ini juga sangat sesuai
dengan salah satu persyaratan pembentukan suatu taman nasional yaitu kehadiran suatu
taman nasional harus dierima oleh masyarakat.

Daftar Bacaan
Departemen Kehutanan. 2005. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas. Direktorat
Jenderal PHKA. Bogor.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 2003. Pedoman Umum Pengembangan Social Forestry. Kelompok Kerja Social
Forestry Departemen Kehutanan. Jakarta.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1999. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1990. Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Keanekaragaman hayati dan Ekosistemnta
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Waldemar Hasiholan. 1986. Studi Kemungkinan Pengembangan Suaka Margasatwa Gunung
Palung Sebagai Taman Nasional. Pontianak.

14

Anda mungkin juga menyukai