Anda di halaman 1dari 18

1

JURNAL KARYA ILMIAH

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT


HAK MILIK ATAS TANAH DI WILAYAH HUTAN LINDUNG
(STUDI DI HUTAN LINDUNG DESA SEKAROH)

Oleh :
SEPTIYA HIDAYATUN NUR
D1A011323

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2015

HALAMAN PENGESAHAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT


HAK MILIK ATAS TANAH DI WILAYAH HUTAN LINDUNG
(STUDI DI HUTAN LINDUNG DESA SEKAROH)

Oleh :
SEPTIYA HIDAYATUN NUR
D1A011323

Menyetujui:
Pembimbing Pertama,

Dr. H. M. Arba, SH., M.Hum


NIP. 19621231 198903 1 018

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT


HAK MILIK ATAS TANAH DI WILAYAH HUTAN LINDUNG
(STUDI DI HUTAN LINDUNG DESA SEKAROH)
SEPTIYA HIDAYATUN NUR
D1A011323
Fakultas Hukum
Universitas Mataram
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pemberian hak milik
atas tanah di kawasan hutan lindung Sekaroh dan bagaimana perlindungan hukum
bagi pemegang sertifikat hak milik di kawasan hutan lindung, karena saat ini
sedang dalam upaya pembatalan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
empiris dengan metode pendekatan Perundang-undangan, pendekatan Konseptual
dan pendekatan Sosiologi. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa perolehan hak
milik atas tanah di kawasan hutan lindung didasarkan atas penguasaan secara
terus menerus oleh pemilik hak lalu didaftarkan melalui PRONA tahun 2001. Jika
melihat status hutan Sekaroh, maka sertifikat yang terbit tahun 2001 tersebut tidak
memiliki perlindungan hukum karena terbit setelah hutan Sekaroh ditunjuk
menjadi hutan lindung pada tahun 1982, sehingga sertifikat tersebut secara hukum
dapat dibatalkan
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pemegang Hak Milik Atas Tanah.
THE LEGAL PROTECTION OF FREEHOLD TITLE OWNER IN THE
PROTECTED FOREST AREA
(STUDY AT THE SEKAROH PROTECTED FOREST)

ABSTRACT
This research aims to know how the procedure of acquiring freehold titlle
in the Sekaroh protected forest area and how the legal protection of the freehold
titlle because for now the government was attempt cancellation. The method uses
empirical legal research with a statute approach, conceptual approach and
sociological approach. From the research we can know that people get a freehold
titlle with a continuous control and then registration in PRONA 2001.If we look
the legal status of the Sekaroh protected forest, the freehold tiltle can be cancelled
because it was imprint after the forest appointed to the protected forest when 1982
with the Ministry of Agriculture Decree, and than the legal protection of the
freehold titlle is nothing.
Keywords: Legal Protection, Freehold Title Owner.

I.

PENDAHULUAN

Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, untuk memberikan


Kepastian Hukum terhadap hak atas tanah milik masyarakat maka pemerintah
di wajibkan untuk melaksanakan pendaftaran tanah. Suatu bidang tanah yang
sudah didaftarkan di kantor pertanahan akan mendapatkan sertifkat yang
merupakan alat bukti kepemilikan yang sah. Sertifikat sebagai alat bukti
kepemilikan yang kuat, pada saat ini sering kali menimbulkan kekhawatiran
bagi masyarakat karena meski sudah memiliki sertifikat yang sah namun
jaminan perlindungan hukum bagi pemegangnya masih kurang. Hal seperti
ini bisa kita lihat pada permasalahan yang terjadi di Desa Sekaroh,
Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur saat ini telah
mengupayakan untuk membatalkan sertifikat Hak Milik masyarakat di
wilayah hutan Sekaroh tersebut, dikarenakan bahwa Hutan Sekaroh
merupakan wilayah Hutan Lindung yang mana hutan tersebut tidak boleh
diterbitkan alas hak apapun. Namun jika mengacu kepada Surat Keputusan
Mentri Kehutanan Nomor 8214/kpts-II/2002 yang menetapkan Kelompok
Hutan Sekaroh (RTK 15) dengan luas 2834,20 Hektar adalah Kawasan Hutan
Tetap atau Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK),1 dan sertifikat milik
masyarakat tersebut terbit pada tahun 2001 Hal ini berarti bahwa Sertifikat
Hak Milik masyarakat lebih dulu lahir dibandingkan dengan Surat Keputusan
1

KPW STN Nusa Tenggara Barat, Peluang Menyelesaikan Konplik Hutan Sekaroh
didukung Undang-Undang,http://tanintbbergerak.blogspot.com/2010/12/peluang-menyelesaikankonplik-hutan.html, diakses 20 Oktober 2014 pukul 14.45 WITA.

ii

Mentri Kehutanan Nomor 8214/kpts-II/2002 tersebut. Jika memang demikian


yang terjadi maka keputusan pemerintah untuk melakukan pembatalan
sertifikat Hak Milik masyarakat di kawasan hutan Lindung Sekaroh, akan
sangat bijaksana jika melihat sejarah perolehan dari Hak Milik tanah tersebut,
dan berbagai pertimbangan-pertimbangan lain. Karena jika pemerintah
membatalkan sertifikat secara sepihak, tentu saja akan menimbulkan konflik
antara masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan permasalahan yang akan
dibahas adalah: 1. Bagaimana prosedur pemberian Hak Milik atas tanah di
wilayah Hutan Lindung Desa Sekaroh? 2. Bagaimana Perlindungan Hukum
terhadap pemegang sertifikat Hak Milik atas tanah di wilayah Hutan Lindung
Desa Sekaroh?
Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui prosedur
pemberian hak milik atas tanah di wilayah Hutan Lindung Desa Sekaroh. b.
Untuk mengetahui bagaimana Perlindungan Hukum bagi pemegang Sertifikat
hak milik atas tanah di wilayah Hutan Lindung Desa Sekaroh.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: a. Secara teoritis,
dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

pengembangan wawasan

kepada mahasiswa/kalangan akademis mengenai kepastian hukum dan


perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat hak milik atas tanah di wilayah
hutan lindung desa Sekaroh dan untuk memberikan pengetahuan bagi
masyarakat yang memiliki sertifikat hak milik atas tanah di wilayah hutan

iii

lindung desa Sekaroh. b. Secara Praktis, dapat memberikan pedoman atau


masukan pada pemerintah khususnya Pemerintah Daerah dalam membuat
peraturan dan kebijakan dalam bidang pertanahan dengan mempertimbangkan
segala aspek untuk mencapai keamanan, keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat.
Penelitian

ini

menggunakan

metode

penelitian

hukum

empiris/sosiologis yaitu penelitian yang dikonsepkan sebagai pranata sosial


yang secara rill dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain,
sedangkan untuk metode Pendekatan menggunakan: a. pendekatan peraturan
perundang-undangan (statute approach) yaitu, pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah, serta meneliti suatu peraturan perundang-undangan, asasasas, maupun norma-norma yang hidup di masyarakat, terutama peraturanperaturan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) yaitu, pendekatan yang
dilakukan dengan mengacu pada konsep-konsep hukum, yaitu melalui
pandangan para sarjana, doktrin-doktrin hukum, yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. c. Pendekatan Sosiologis (sociological approach) yaitu,
pendekatan dengan melakukan kajian-kajian berdasarkan kenyataan yang ada
di lapangan.

iv

II. PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Sekaroh
Desa Sekaroh merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, dan pada tanggal 1 Desember 2009
desa Sekaroh resmi menjadi sebuah desa setelah mengalami pemekaran
karena sebelumnya merupakan bagian dari desa Pemongkong, kecamatan
Jerowaru.
Luas desa Sekaroh adalah 5100,2 H atau 83,96 KM 2 dengan bentang
wilayah berupa dataran dan perbukitan yang terbagi menjadi 7 (tujuh) dusun
yaitu: Dusun Pengoros, Dusun Aroinak, Dusun Transmigrasi, Dusun Ujung
Gol, Dusun Ujung Ketangge, Dusun Telone, dan Dusun Sunut.
Menurut data iklim yang tercatat dalam stasiun Meteorologi dari
Selaparang, Mataram selama 10 tahun (2000 2009) Hutan Lindung Sekaroh
memiliki curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.539,3 mm dengan 4 bulan
kering, dan bulan kering bisa lebih lama (sampai 6 bulan). Suhu rata-rata di
desa sekaroh sekitar 20-35 C.2
Status Hutan Lindung Desa Sekaroh.
Apabila ditinjau dari sejarah, pada awalnya Hutan Sekaroh
merupakan tanah negara bebas (GG/Ground Goverment) yang karena
kondisinya berupa belukar, hutan rusak, bekas ladang berpindah, maka daerah

Chairil Anwar Siregar. Muhammad Ridwan, Rehabilitasi Lahan Di Zona


Ekstrim.Belajar Dari AIR CDM Lombok Timur,(Jakarta: KOICA.Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kehutanan. CER Indonesia.RA. Visindo,2013), hlm.11

ini perlu dipertahankan menjadi kawasan hutan. 3 Suatu hutan apabila akan
ditetapkan menjadi kawasan hutan maka perlu dilakukan kegiatan
pengukuhan, yang mana kegiatan pengukuhan ini bertujuan untuk
mendapatkan kepastian mengenai status, fungsi, letak, batas, dan luas
kawasan hutan seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 UU No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: (1) Berdasarkan inventarisasi hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan
pengukuhan kawasan hutan. (2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum atas kawasan hutan.
Pengukuhan hutan dilakukan oleh Panitia Tata Batas. Tugas panitia
Tata Batas ini adalah membantu pelaksanaan pengukuhan hutan, yang
meliputi:4 1. Memberi saran/pertimbangan persiapan pelaksanaan penataan
batas dan pekerjaan pelaksanaan di lapangan; 2. Membantu menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi dalam menentukan trayek batas pelaksanaan
pemancangan batas dan lain-lainnya; 3. Memeriksa pekerjaan dan hasil-hasil
pelaksanaan

pekerjaan

tata

batas

di

lapangan;

4.

Membuat

dan

menandatangani Berita Acara Tata Batas beserta peta tata batas.


Panitia Tata Batas Hutan Sekaroh dibentuk Berdasarkan Surat
Keputusan Mentri Kehutanan Nomor 400/kpts-II/1990 tanggal 6 Agustus

3
4

Ibid, hlm.17
Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), hlm. 49

vi

1990 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Nusa Tenggara
Barat Nomor 497 Tahun 1990 tanggal 24 September 1990.
Proses pengukuhan hutan Sekaroh dimulai pada tahun 1982, dimulai
dengan tahap Penunjukan hutan Sekaroh seluas 3.000 Ha menjadi hutan
Lindung berdasarkan SK Mentri Pertanian No. 756/Kpts/Um/10/1982 yang
ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1982. Selanjutnya pada tahun
1992 dilakukan Penataan Batas kawasan hutan. Proses penataan batas ini
berkaitan dengan penataan batas luar kawasan hutan, penataan batas fungsi
kawasan hutan, dan penataan batas kawasan konservasi perairan. Terhitung
sejak bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 1992 dilakukan
pengumuman terhadap hasil pemancangan batas sementara (tahap I) hutan
Sekaroh dibeberapa tempat. Pada saat pengumuman batas-batas hutan
Sekaroh ini telah diberikan kesepakatan kepada penduduk untuk memeriksa
batas-batas hutan Sekaroh tersebut, dan telah dipastikan bahwa di dalam
kawasan hutan yang dimaksud sudah tidak ada lagi tanah-tanah penduduk
maupun pihak ketiga lainnya. Pada tanggal 14 Maret tahun 1992 Panitia Tata
Batas kemudian berkumpul dan memeriksa trayek batas serta sepakat untuk
menetapkan batas sementara sebagian kelompok hutan Sekaroh (tahap I)
sebagai batas tetap kawasan hutan dan selanjutnya pada tanggal 28 Maret
tahun 1994 dibuatlah Berita Acara Tata Batas dengan melampirkan sebuah
peta kemudian ditanda tangani oleh Panitia Tata Batas. Setelah itu tahun 2002
Hutan Sekaroh kemudian ditetapkan menjadi Hutan Tetap dengan fungsi

vii

lindung berdasarkan Keputusan Mentri Kehutanan Nomor 8214/Kpts-II/2002


tentang Penetapan Kelompok Hutan Sekaroh (RTK.15) seluas 2.834,20 Ha.
Prosedur Pemberian Hak Milik Atas Tanah di Wilayah Hutan Lindung
Sekaroh.
Sekitar tahun 1960 masyarakat sudah mulai membuka lahan untuk
pertanian di wilayah Sekaroh. Awalnya petani yang membuka lahan di Hutan
Lindung Sekaroh hanya beberapa keluarga saja, tapi lama kelamaan semakin
bertambah, Pembukaan lahan Hutan Lindung Sekaroh oleh masyarakat untuk
pertanian yang paling banyak terjadi pada periode tahun 1981 1990
sebanyak 46%. Pembukaan lahan hutan oleh masyarakat untuk tujuan
pertanian, dilakukan karena adanya kepentingan ekonomi, Pembukaan lahan
ini tidak dikenakan biaya sepeserpun, karena pembukaan lahan dilakukan
sendiri oleh masyarakat tanpa adanya izin dan persetujuan terlebih dahulu
dari pihak manapun. 5
Untuk mempertahankan tanah yang telah dikuasai sejak dulu
kemudian banyak warga yang mendaftarkan tanahnya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan salah seorang pemilik sertifikat, bahwa hak atas tanah
yang diperolehnya beserta kedua saudaranya kemudian didaftarkan melalui
program PRONA (Proyek Oprasi Nasional Agraria) pada tahun 2001 di desa
Pemongkong, Kecamatan Keruak karena pada tahun itu desa Pemongkong
dan kecamatan Keruak belum pemekaran. 6

5
6

Chairil Anwar Siregar, Op.cit, hlm. 23


Wawancara L. Sukirman, pemilik sertifikat, tgl 14 Februari 2015 di Jerowaru.

viii

PRONA merupakan program sertifikasi tanah yang dilakukan oleh


pemerintah untuk masyarakat yang kurang mampu atau masyarakat ekonomi
lemah yang kerjanya meliputi:7 1. Mengenai sertifikat massal, 2. Memberikan
penyuluhan-penyuluhan hukum agraria, 3. Menginventarisasikan sengketasengketa tanah.
Dalam hal pengumpulan dan pengecekan data yuridis dalam
pelaksanaan PRONA 2001, dibentuk Panitia A yang terdiri dari Kepala BPN,
Kepala Desa Pemongkong, Kepala Camat Keruak, Seksi Pemetaan dan
Pengukuran tanah BPN Lombok Timur dan Seksi Sengketa Konflik dan
Perkara BPN Lombok Timur.8 Untuk melengkapi data-data yuridis syaratsyarat yang harus dikumpulkan oleh peserta adalah surat keterangan bukti
kepemilkan dari desa, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB dan
Sporadik dari Desa, Karena tanah garapan yang akan disertifikatkan itu
diperoleh melalui Hibah maka disertakan pula akta hibah tanahnya tersebut. 9
Setelah melengkapi data-data yuridis, baru kemudian dilakukan pemeriksaan
data-data fisik tanah melalui pengukuran, diterbitkannya surat ukur,
pemeriksaan tanah, pengumuman, keputusan pemberian hak atas tanah, lalu
kemudian terbit sertifikat. Dalam proses pemeriksaan data-data fisik di
lapangan tentunya peserta pendaftar tanah ikut serta dan berpartisipasi dalam
proses itu, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang
pemilik sertifikat di hutan Sekaroh sampai dengan terbitnya sertifikat ia tidak

Djoko Prakoso.Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona Sebagai Pelaksana


Mekanisme Fungsi Agraria, (Jakarta:Ghalia Indonesia,1985), hlm.66
8
Ibid.
9
Wawancara L. Sukirman, pemilik sertifikat, tgl 14 Februari 2015 di Jerowaru

ix

mengetahui fisik dari tanahnya tersebut dan baru mengetahui setelah adanya
sengketa dengan Dinas Kehutanan dan sertifikat tersebut sudah beberapa kali
berpindah tangan.
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Tanah
Di Wilayah Hutan Lindung Desa Sekaroh.
Pada zaman dahulu penguasaan masyarakat atas tanah banyak yang
tidak mempunyai surat-surat atau sertifikat sebagai bukti kepemilikan dan
hanya didasarkan dengan adanya penguasaan fisik secara terus menerus
sehingga tanah tersebut menjadi miliknya. Kepemilikan hak atas tanah oleh
masyarakat zaman dahulu sebelum lahirnya UUPA didasarkan dengan hukum
adat dan hukum barat.
Pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi pemiliknya memang sudah seharusnya dilakukan
terlebih lagi bagi tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat karena seperti
yang kita lihat belakangan bahwa sering terjadi penggusuran terhadap hakhak masyarakat adat sehingga tidak dipungkiri bahwa hal seperti ini pada
ahirnya yang dapat memicu terjadinya konflik.
Di dalam Undang- Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
juga mengakui keberadaan dari masyarakat hukum adat di dalam
penyelenggaraan kehutanan seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3)
yang berbunyi: penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia


yang diatur dalam undang-undang.
Kepemilikan tanah oleh masyarakat merupakan sebuah hak asasi
manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum nasional.
Di dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
setiap manusia memiliki hak untuk mempunyai milik untuk kesejahteraannya.
Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam DUHAM (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia), yang mana dalam pasal 17 ayat (1) dan ayat
(2) menyebutkan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda
baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain. (2) Tidak
seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang.
Merujuk

pada

peraturan-peraturan tersebut,

bahwa

segala

kegiatan

pemerintah yang dilakukan dengan mengambil tanah hak masyarakat hukum


adat tidak dapat dibenarkan karena hal tersebut termasuk ke dalam
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Seperti halnya yang terjadi di Hutan
Lindung desa Sekaroh, jika masyarakat yang memiliki sertifikat tersebut telah
memperoleh sertifikat hak miliknya berdasarkan hukum adat dan dengan
beritikad baik maka tentu pemerintah tidak boleh sewenang-wenang terhadap
masyarakat sehingga untuk membatalkan sertifikat tersebut harus didasarkan
dengan adanya bukti-bukti yang kuat.
Dalam hal pemilik sertifikat yang berada di wilayah hutan Sekaroh
merasa keberatan dan dirugikan atas tindakan dari pemerintah yang ingin
membatalkan sertifikat hak miliknya, maka pemilik sertifikat tersebut

xi

memiliki hak dalam hukum untuk menuntut agar sertifikatnya tidak


dibatalkan, karena seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa perampasan
hak milik merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia apalagi jika
tanah yang dimiliki karena adanya penguasaan yang didasarkan dengan
hukum adat.
Namun, Jika kita melihat kembali pada status hutan lindung Sekaroh,
bahwa hutan Sekaroh telah mengalami proses pengukuhan dengan tiga
tahapan yaitu: 1) Tahap penunjukan pada tahun 1982 dengan SK Mentri
Pertanian No.756/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober tahun 1982.
2)Penataan Batas

Kawasan hutan oleh Panitia Tata Batas yaitu;

a.Pengumuman pemancangan batas, dimulai dari tanggal 28 Januari sampai


tanggal 4 maret 1992. b. Pemeriksaan Trayek batas, tanggal 14 Maret 1992.
c.Penandatanganan berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas pada
tanggal 28 Maret 1994. 3)Penetapan hutan Sekaroh menjadi hutan tetap
dengan SK Mentri Kehutanan No. 8214/Kpts-II/2002 tanggal 9 September
2002.
Berdasarkan Berita Acara Tata Batas Kelompok Hutan Sekaroh
RTK.15 tanggal 28 Maret tahun 1994 bahwa pada saat pengumuman
pemancangan batas masyarakat diperkenankan untuk memeriksa batas-batas
hutan tersebut, dan berdasarkan pernyataan dari para wakil penduduk atau
persekutuan bahwa sudah tidak terdapat lagi tanah-tanah warga baik yang
didasarkan atas Hak Milik maupun hak lainnya. Sehingga di dalam hutan
Sekaroh, masyarakat yang telah membuka lahan dari tahun 1960 untuk

xii

pertanian sampai dengan dilaksanakanya tata batas kawasan hutan Sekaroh


menjadi hutan Lindung pada tahun 1992 diperbolehkan untuk memiliki tanah
garapannya tersebut, sehingga ketika pertama kali ditunjuk tahun 1982 luas
hutan Sekaroh adalah 3.000 Ha dan setelah penataan batas pada tahun 1992
berkurang menjadi 2834,20 Ha, karena ada beberapa wilayah yaitu di Temeak
dan di Segui telah menjadi tempat tinggal dan lahan garapan masyarakat,
kemudian diputuskan bahwa wilayah tersebut dikeluarkan dari wilayah Hutan
Sekaroh.
Jika kita mengacu kepada proses pengukuhan hutan Sekaroh, maka
dapat disimpulkan bahwa sertifikat yang terbit pada tahun 2001 tersebut tidak
memiliki perlindungan hukum, dan secara hukum dapat dibatalkan karena
terbit setelah adanya penunjukan hutan Sekaroh menjadi hutan lindung pada
tahun 1982. Jika seandainya sertifikat itu lebih dulu terbit sebelum
penunjukan hutan Sekaroh menjadi hutan lindung maka tentu pemerintah
tidak mempunyai hak untuk membatalkan sertifikat tersebut karena bisa
dikatakan sebagai perampasan hak dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Namun, seandainya dalam hal pemerintah ingin mengambil lahan masyarakat
untuk dijadikan suatu kawasan hutan dan tanah masyarakat tersebut diperoleh
secara sah dan itikad baik maka tentu harus ada ganti rugi dari pemerintah
kepada pemilik yang diambil lahanya, salah satu bentuk dari ganti ruginya
adalah dengan melakukan Relokasi lahan.

xiii

III. PENUTUP

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah sebagai
berikut: 1. Sertifikat hak milik atas tanah yang dimiliki oleh beberapa warga
di kawasan hutan lindung desa Sekaroh diperoleh melalui program PRONA
tahun 2001. Dalam melakukan pendaftaran tanah melalui PRONA ini,untuk
melengkapi data-data yuridis pemilik menyerahakan bukti berupa keterangan
kepemilikan dari desa, SPPT/PBB, akta hibah karena tanah garapan yang
dimiliki diperoleh melalui Hibah, dan surat keterangan sporadik dari desa.
2. Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan oleh BPN pada tahun 2001 di dalam
kawasan hutan lindung desa Sekaroh diterbitkan pada tahun 2001, sehingga
jika melihat status hutan Sekaroh yang telah dikukuhkan sejak tahun 1982
maka tidak ada perlindungan hukum terhadap sertifikat tersebut dan secara
hukum sertifkat itu dapat dibatalkan.
SARAN
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah: 1. Perlu adanya
pembenahan dan keterbukaan oleh pihak BPN dalam pengelolaan
administrasi pertanahan, sehingga dapat mengantisipasi terjadinya berbagai
permasalahan yang mungkin akan muncul dikemudian hari; 2. Sebelum BPN
menerbitkan sertifikat di wilayah hutan lindung Sekaroh dibutuhkan adanya
koordinasi dan komunikasi yang baik antara pihak BPN dan DISHUTBUN

xiv

agar permasalahan atau konflik yang serupa tidak terjadi lagi, mengingat
bahwa dalam proses pengukuhan hutan Sekaroh pihak BPN ikut serta
menjadi panitia Tata Batas dan menyetujui batas-batas hutan Sekaroh
RTK.15 yang ditetapkan pada tahun 1992; 3. Dalam pengelolaan hutan
lindung Sekaroh perlu adanya pengawasan dari pihak Dishutbun agar semua
kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung Sekaroh dapat
terkontrol dengan baik dan perlu adanya sikap tegas dari Dishutbun untuk
menindak lanjut para pelaku kejahatan di dalam kawasan hutan lindung;
4.Kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara kawasan hutan
sangat diperlukan demi keberlangsungan hidup dan keseimbangan ekosistem
agar dapat tercapainya kemakmuran dan keserasian antara lingkungan dan
sosial masyarakat yang sesuai dengan asas penyelenggaraan kehutanan yang
berkeadilan dan berkelanjutan.

xv

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku, Makalah dan Artikel.


HS, Salim. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika. Jakarta. 2002.
Prakoso, Joko dan Budiman Adi Purwanto. Eksistensi Prona Sebagai Pelaksana
Mekanisme Fungsi Agraria. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1985.
Siregar, Chairil Anwar dan Muhammad Ridwan. Rehabilitasi Lahan Di Zona
Ekstrim, Belajar Dari AIR CDM Lombok Timur. KOICA, Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, CER Indonesia, RA.
Visindo. Jakarta. 2013.

2. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.


Indonesia, Undang-Undang No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. LN No.104 Tahun 1960 TLN No. 2043
Indonesia, Undang-Undang No. 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia.
LN No. 165 tahun 1999Indonesia,
Indonesia, Undang-Undang No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan. LN No.167
Tahun 1999 TLN No.3888
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran
Tanah. LN No. 59 Tahun 1997 TLN No.3696

3. Internet dan sumber lain


KPW STN Nusa Tenggara Barat. Peluang Menyelesaikan Konplik Hutan
Sekaroh
didukungUndang-Undang.
http://tanintbbergerak.blogspot.com/2010/12/peluang-menyelesaikankonplik-hutan.html. diakses tgl 20 Oktober 2014 pukul 14.45 WITA.

Anda mungkin juga menyukai