Berkebudayaan Malu
Berkebudayaan Malu
Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2005. Berkebudayaan Malu (Shame Culture). Surat
Kabar Umum (SKU) Pangkep Post, Edisi Agustus 2005.
KONSEP SIRI’ NA PACCE
A. Latar Belakang
Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan sendiri. Kebudayaan
dapat menjadi ciri khas yang membedakan antara satu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Perbedaan kelompok tersebut dapat
pula berdasarkan etnik, sehingga di dalam kebudayaan itulah akan terlihat pola
tingkah laku dari kelompok etnik masyarakat tersebut.
Sistem nilai budaya mengandung konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-
ide yang paling dalam dan sistem budaya masyarakat, karena konsepsi-konsepsi,
gagasan-gagasan, ide-ide tersebut merupakan kandungan nilai-nilai yang paling
dalam dipelajari, serta lebih dahulu diinternalisasi para warga dalam kehidpan
mereka. Sistem nilai budaya menjiwai seluruh kebudayaan dan kehidupan suatu
masyarakat.
Kesadaran tentang kemajemukan budaya di Indonesia oleh setiap
komponen sosial dan kelompok, dimulai dari “pengetahuan” mengenai seluk beluk
tradisi budaya (culture tradision) mereka, tanpa prasangka atau curiga
memandang rendah satu dari pada yang lainnya. Kita harus mengetahui mereka,
tanpa membanggakan budaya sendiri.
Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis-Makasar, terdapat
sejumlah nilai dan konsep yang sangat besar pengaruhnya dalam perilaku dan
pergaulan sosial etnis. Makna nilai tersebut antara lain adalah : (1) makna
nilai “tau/tau” (orang), (2) makna nilai “siri’/siri” (harga diri), (3) makna
nilai “pacce/pec” (iba) dan (4) makna nilai “pangadakkang/pGdk” (adat isitadat).
Agama orang Bugis-Makassar adalah agama Islam, tanpa mengeksplisitkan
kemayoritasannya, mengingat sejarah orang Bugis-Makassar sejak masuknya agama
Islam sampai sekarang ini, menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan
Bugis-Makassar dan agama Islam. Orang Bugis-Makassar malah menjadikan agama
Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.
Orang Bugis-Makassar, yang dalam kehidupan sehari-harinya terikat oleh
sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral yang
keseluruhannya disebut Pangngaderreng/pGeder (Pangngadakkan/pGdk dalam
bahasa Makassar). (Kata Pangngadereng atau Panngadakkang) berasal
dari ade’/adE atau ada’/ad yang bersumber dari bahasa Arab ‘adah). Unsur pokok
dalam Pangngadereng/pGeder atau Pangngadakkan/pGdk tersebut terintegrasi
satu sama lain sebagai suatu kesatuan organis dalam pikiran orang Bugis-Makassar,
demikian pula martabat dan harga diri yang terkandung semuanya dalam
konsep Siri’/siri.
Orang Bugis-Makassar dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat
menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, mempertahankan kehormatan, mereka
bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu,
orang Bugis-Makassar juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat
menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.
Sifat dan karakter yang melekat merupakan cerminan sekaligus budaya
yang tertanam yang salah satunya disebut dengan budaya Siri’ dalam masyarakat
Bugis-Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang timbul adalah sebagai
berikut:
Bagaimana Konsep Siri’ na Pacce (siri n pec) dalam Budaya Suku Bugis-
Makassar?
C. Falsafah/Pedoman Hidup
Setiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah
menghadapi lawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi
setiap cobaan-cobaan yang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-
Makassar berorientasi kearah delapan penjuru (persegi), yakni: mampu
menghadapi apapun, berani melawan tantangan hidup.
Dasar filsafat hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang
Bugis-Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan.
Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang
Bugis-Makassar yang tersimpul dengan:
[8]Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 260-261.
[9]Pemencilan dalam artian ini yaitu tidak ada orang bergaul atau
membantunya jika ditimpa kesusahan atau berupa pengusiran keluar kampung.
Sanksi pembunuhan sering terjadi kalau orang yang melanggar itu berkisar pada
masalah Siri’. Abu Hamid, ibid., h. 30.
A. Prolog
Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini senantiasa
akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis-
Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan
berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran
tentang nilai Siri’ na Pacce ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan
eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah
satu kekhawatiran banyak pihak termasuk penulis sendiri, sehingga harus dikaji
kembali agar kedepannya nilai falsafah ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan
serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar.
Sebuah dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat
Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang
lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap
manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang
menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka
setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis-Makassar memiliki
orientasi yang mampu menghadapi apapun (Moein, 1990: 12).
Jika nilai ini kemudian dilihat dari sudut pandang filsafat sejarah, maka akan
ditemukan bahwa hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat
Bugis-Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang”
(dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan). Artinya
bahwa nilai ini sejatinya telah dirumuskan di masa lalu oleh para tetua dan kaum
adat masyarakat Bugis-Makassar.
Siri’ sendiri merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam
masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral. Begitu sakralnya kata itu,
sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau de’ni gaga siri’na, maka tak
ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-
Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang).
Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup). Untuk orang
Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada
menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’)
mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari
pada hidup tanpa Siri’.
Sedangkan Pacce sendiri merupakan sebuah nilai falsafah yang dapat dipandang
sebagai rasa kebersamaan (kolektifitas), simpati dan empati yang melandasi
kehidupan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat jika ada seorang
kerabat atau tetangga atau sorang anggota komunitas dalam masyarakat Bugis-
Makassar yang mendapatkan sebuah musibah, maka dengan serta merta para
kerabat atau tetangga yang lain dengan senang hati membantu demi meringankan
beban yang terkena musibah tadi, seolah bagi keseluruhan komunitas tersebut,
merekalah yang sejatinya terkena musibah secara kolektif.
Jika dipandang dari sudut pandang kesejarahan, hal ini sejatinya telah ada
dimasa lampau. Hal tersebut terlihat dari apa yang telah digambarkan dalam
lontara yang berisi petuah-petuah orang terdahulu, bahwa sikap siri’ na pacce ini
merupakan sikap yang menjadi penyangga bagi keberlangsungan kehidupan
masyarakat Bugis-Makassar (Pelras, 2006: 32).
Kemudian jika dibawa ke dalam ranah kajian filsafat sejarah, maka sejatinya
akan ditemui bagaimana nilai-nilai dari Siri’ na Pacce itu sendiri menggambarkan
kehidupan ketika hal tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian masa
kini dan rencana masa depan yang lebih baik dengan berpedoman pada nilai
falsafah tersebut. Artinya bahwa dalam konsep nilai tersebut ada hal yang biasa
disebut sebagi filsafat sejarah spekulatif. Dimana dalam filsafat sepkulatif
sendiri terdapat suatu perenungan filsafati mengenai tabiat dan sifat-sifat
proses sebuah sejarah (Ankersmit, 1987: 17).
Salah satu yang menarik ketika melihat nilai falsafah yang ada dalam masyarakat
Bugis-Makassar ini dan secara umum dalam konteks kehidupan masyarakat
Sulawesi Selatan ke dalam kacamata filsafat sejarah, maka akan ditemukan
unsur etika atau moralitas yang mengisi perjalanan kehidupan masyarakat
tersebut. Sebab, nilai yang terkandung dalam nilai falsafah ini, sejatinya selain
berbicara tentang pola hidup yang seharusnya dalam perjalanan sejarah
masyarakat Bugis-Makassar, juga mengandung unsur etika dan estetika atau seni
dalam kehidupan yang harus dipraktekkan oleh masyarakat Bugis-Makassar dari
generasi ke generasi.
Menariknya lagi, bukannya ingin mempersamakan, jika hal ini dilihat dari
kacamata kebudayaan, nilai falsafah yang ada dalam kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar ini hampir mirip dengan semangat bushido yang dimiliki oleh para
samurai Jepang secara khusus dan masyarakat Jepang secara umum. Nilai
bushido sendiri dalam kerangka pikir masyarakat Jepang merupakan sebuah kode
etik atau sistem etika yang telah menyatu dalam segala aspek kehidupan dan
budaya masyarakat Jepang (samurai Jepang), mulai dari sistem filsafat dan
kepercayaan spiritual, tatacara hidup, kehidupan keluarga, pakaian, pekerjaan,
selera estetika, hingga cara mereka mereka mengibur diri atau berekreasi (Boye
de Monte, 2009:17).
Untuk itu, sebagai sebuah prolog dalam makalah ini, sejatinya kedua nilai ini yang
sebelumnya telah dikatakan sebagai dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga
bagian yang tak terceraikan, jika dilihat dalam kacamata filsafat sejarah,
utamanya sudut pandang filsafat sejarah spekulatif, maka akan ditemui beberapa
hal yang menyangkut kedua nilai falsafah ini yang telah ada di masa lalu dan
menggambarkan masa depan yang telah menjadi masa kini, yang selanjutnya bagi
penulis sendiri dicoba untuk menganalisa dan melihat atau lebih tepatnya
meramalkan masa depan, utamanya kehidupan masyarakat Bugis-Makassar,
dengan menggunakan kedua nilai ini sebagai sebuah pijakan dasar dalam melihat
perkembangan masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawsei Selatan secara umum.
B. Beberapa Persoalan Pokok Dalam Falsafah Hidup Siri’ Na Pacce
Jika ditinjau dari aspek harfiahnya, siri’ dalam masyarakat Bugis-Makassar
dapat diartikan sebagai rasa malu. Namun jika ditinjau dari sisi makna sejatinya,
sebagaimana telah diungkapkan dalam lontara La Toa yang berisi petuah-petuah,
siri’ dapat dimaknai sebagai harga diri atau kehormatan, juga dapat diartikan
sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah terhadap kehidupan duniawi (Andi
Moein MG, 1990: 10). Sedangkan makna pacce dapat diartikan sebagai rasa
simpati yang dalam konsep masyarakat Bugis-Makassar merupakan rasa atau
perasaan empati terhadap sesama dan seluruh anggota komunitas yang terdapat
dalam masyarakat tersebut (Andaya, 2004: xv).
Artinya bahwa, kedua nilai yang mendasari perwatakan masyarakat Bugis-
Makassar ini, sejatinya merupakan sebuah cerminan hidup dan etika hidup dalam
bermasyarakat. Sehingga dapat pula dikatakan, kedua nilai ini merupakan
kerangka teori hidup yang dipegangi sebagai sebuah falsafah dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat, yang dalam perjalan sejarah masyarakat Bugis-
Makassar penuh dengan berbagai intrik kehidupan sosial politik di dalamnya, yang
mau tak mau menjadikan nilai ini sebagai sebuah sandaran atau pegangan hidup
dalam hal norma atau tatakrama kehidupan masyarakatnya.
Sejatinya, kedua falsafah ini memiliki nilai-nilai turunan tersendiri yang
kemudian bagi generasi pelanjut, memiliki peran dan pengaruh yang penting dalam
menjalani kehidupannya. Namun ada baiknya pertama-tama dilihat dulu nilai yang
terkadung dalam kedua nilai tersebut, dimana telah dikatakan sebagai dua hal
yang meski berbeda namun tidak dapat dipisahkan.
Nilai yang paling utama yang terkandung dalam falsafah siri’ sebagai uraian yang
pertama adalah rasa malu dan harga diri. Dimana ketika konsep nilai falsafah ini
disebutkan, maka serangkaian kesan akan timbul dalam pikiran masyarakat yang
berasal dari alam bawah sadar ke-nalar-an mereka, yang berhubungan dengan
sebab, akibat, serta sanksi-sanksi sosial yang bersifat tradisional yang
terkandung dalam nilai dari konsep tersebut (Andaya, 2004: 8). Sehingga tanpa
mengatahui secara mendalam mengenai persoalan ini, terkadang orang yang
berasal dari luar komunitas masyarakat Bugis-Makassar atau bahkan anggota
komunitas masyarakat tersebut yang tak memahami konsep tersebut secara
utuh, apalagi tidak memahami konsekuensi yang dihasilkan dari konsep nilai ini,
maka akan timbul sebuah anggapan yang biasa saja atau bahkan menyepelekan
persoalan tersebut.
Sejatinya, pengetahuan masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawesi Selatan secara
umum atas sumber-sumber ajaran dari konsep nilai ini, telah ada dan tertuang
dalam lontar-lontar Bugis-Makassar yang berisi tentang petuah-petuah (paseng)
tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya. Diantara hal-hal
yang tertuang dalam lontar (lontara’) masyarakat Bugis-Makassar tersebut, ada
lima perkara atau pesan penting yang disebutkan didalamnya yang diperuntukkan
bagi generasi pada saat itu dan generasi yang selanjutnya dan sangat diharapkan
untuk senantiasa dipegangi dan ditegakkan dalam kehidupan. Kelima hal tersebut,
sebagaimana yang dicatat oleh Andi Moein MG (1990: 17-18) adalah:
- Manusia harus senantiasa berkata yang benar (ada’ tongeng).
- Harus senantiasa menjaga kejujuran (lempu’)
- Berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian (getteng)
- Hormat-menghormati sesama manusia (sipakatau)
- Pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae)
Jika melihat pesan-pesan diatas, maka sejatinya yang sangat dituntut dari nilai
falsafah siri’ ini adalah menyangkut etika atau tata krama dalam pergaulan dan
menyangkut persoalan kedirian (jatidiri) seseorang. Sebab jika dilihat lagi lebih
dalam, maka sejatinya harga diri dan rasa malu seseorang akan senantiasa
terjaga jikalau senantiasa menjaga dan memegangi kelima pesan diatas, utamanya
dalam pola pergaulan dan komunikasi dengan sesama manusia. Untuk itu, para
tetua masyarakat Bugis-Makassar terdahulu sangat menekankan pesan-pesan
tersebut guna tetap menjaga kelangsungan atau eksistensi masyarakat Bugis-
Makassar agar apa yang disebutkan dalam epos Lagaligo maupun dalam lontara’
yang lain sebagai zaman sianre-anre bale taue (yang dalam masyarakat barat
dikenal sebagi homo homini lupus), itu dapat dihindarkan.
Mengenai persoalan sianre-anre bale taue ini, yang dalam lontara’ masyarakat
Bugis-Makasssar merupakan dampak yang paling buruk dari ketidakterjagaaan
prinsip dari nilai siri’ tersebut, secara harfiah dapat diartikan sebagai ketika
orang-orang mulai bertindak seperti ikan yang saling memakan sesamanya.
Artinya bahwa, sebagaimana persoalan seperti ini juga ada dalam masyarakat
Indian kuno yang berupa kata-kata metafor yang bagi mereka disebut sebagai
matsyanyaya atau logika ikan (Lingat dalam Andaya, 2004: 390), ketika zaman itu
datang, maka manusia akan turun derajatnya tak lebih rendah lagi dari derajat
binatang, sehingga manusia sendiri akan seperti berada pada sebuah penghujung
zaman yang dengan serta merta telah kehilangan perasaan terhadap tugas
alaminya sebagai seorang manusia.
Dari pemaparan diatas, jika menggunakan sedikit pendekatan relasional, maka
sejatinya terdapat unsur filsafat sejarah spekulatif dalam permasalahan
tersebut. Dimana telah dikatakan bahwa dalam lontara’ masyarakat Bugis-
Makassar telah disebutkan hal-hal tersebut, yang bukan hanya sebagai sebuah
ramalan namun dapat menjadi sebuah kenyataan, jika manusia telah kehilangan
pegangan terhadap petuah-petuah (paseng) tetua terdahulu yang merupakan
unsur pegangan dalam menjaga nilai falsafah siri’ tersebut sebagai sebuah harga
diri dan rasa malu itu sendiri.
Intinya bahwa, dengan menaati kelima petuah-petuah (paseng) tersebut, yang
dalam hal ini merupakan sendi dari falsafah siri’ tersebut, maka masyarakat
Bugis-Makassar diharapkan akan dapat menjadi manusia yang berguna dari
generasi ke generasi. Sehingga tercipta suatu hal yang disebut sebagai sebuah
pembangunan manusia seutuhnya. Sebagaimana telah diwasiatkan dalam petuah-
petuah tersebut bahwa senantiasa mengutamakan kejujuran, tidak munafik,
perkataan sesuai dengan apa yang dilakukan, tidak menipu atau memperbodoh
sesama manusia dan setia pada keyakinan yang dimilikinya. Namun yang
terpenting, utamanya dalam konteks kekinian dan masa yang akan datang, adalah
tidak tergiring oleh pengaruh-pengaruh negatif dari situasi yang timbul kemudian
seiring dengan perkembangan zaman, saling menghormati dan menghargai sesama
manusia atau masyarakat yang terdapat dalam lingkungan dimana ia hidup.
Jadi, jelaslah bahwa kelima pesan tersebut yang dijadikan pegangan oleh
masyarakat Bugis-Makassar merupakan ciri tersendiri, terutama dalam hal
penilaian antar sesama manusia, bagi manusia yang memiliki harga diri dan rasa
malu (siri’). Sehingga jikalau kelima sendi pembangun dari nilai falsafah tersebut
kemudian hilang dalam kehidupan, maka sejatinya dalam perspektif masyarakat
Bugis-Makassar, manusia tersebut telah kehilangan harga dirinya (de’ gaga
siri’na) yang menjadikannya ibarat bukan lagi sebagai seorang manusia. Sebab
dalam kehidupan manusia, yang menjadi tolak ukur kemanusiaannya adalah
perbuatan atau perangainya. Sehingga jika hal tersebut telah mencapai pada
titik yang dimaksud sebagai kehilangan kediriannya maka dalam masyarakat
Bugis-Makassar, manusia tersebut dinamakan rapang-rapang tau atau tau-tau
(orang-orangan atau boneka).
Kemudian yang terpenting juga untuk digarisbawahi adalah nilai dari falsafah siri’
ini sejatinya (sekali lagi) mengandung ajaran budi pekerti dalam arti yang sangat
mendalam. Sebab hal tersebut merupakan hakekat kehidupan yang sangat
prinsipil bagi masyarakat Bugis-Makassar yang notabene sebagai pewaris dari
falsafah siri’ tersebut. Sehingga dengan demikian manusia tersebut dapat dinilai
sebagai seorang manusia yang sejati jika telah memahami dan mempraktekkan
falsafah ini dengan berbagai unsur pembentuk di dalamnya atau dengan kata lain
manusia tersebut memiliki siri’ (harga diri dan rasa malu).
Kemudian, uraian yang kedua dari falsafah ini adalah menyangkut tentang nilai
yang terkandung falsafah pacce atau pesse. Secara harfiah dapat diartikan
sebagai rasa solidaritas yang dimiliki masyarakat Bugis-Makassar dalam berbagai
hal, baik suka maupun duka. Lebih luas lagi, dalam Andaya (2004:xv) yang
menyadurnya dari berbagai naskah lontara’ Bugis-Makassar bahwa pacce/pesse
adalah rasa simpati yang dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar juga
mencakup perasaan empati terhadap sesama anggota kelompok komunitas
masyarakatnya.
Artinya, dapat dikatakan bahwa unsur nilai yang terdapat dalam falsafah pacce
ini adalah menyangkut rasa kebersamaan yang tinggi. Dimana dalam komunitas
masyarakat Bugis-Makassar yang paling diutamakan adalah rasa kebersamaan
atau kolektifitas dalam berbagai hal.
Unsur nilai yang lain yang diturunkan dari falasafah pacce ini adalah nilai
semangat kesetiakawanan dan loyalitas atau kesetiaan terhadap sesama manusia.
Hal ini terlihat jelas dalam pepatah Bugis-Makassar yang berbunyi taro ada’ taro
gau’ (satu kata satu perbuatan), yang dimaksudkan sebagai sebuah simbol
loyalitas terhadap apa yang menjiwai masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri
dalam bertindak.
Unsur ini juga terlihat dalam ungkapan lontara’ masyarakat Bugis-Makassar yang
tercatat dalam Pelras (2006: 58) bahwa jika anda telah kehilangan harga diri
atau kehormatan, maka pertahankanlah rasa kemanusiaan yang anda miliki dengan
menegakkan kesetiakawanan dan menunjukkan kesetiaan (loyalitas) yang ada
dalam dirimu (punna tena nia’ siri’nu panaiki paccenu). Sekali lagi hal ini
memperlihatkan bagaimana dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar tersebut
senantiasa mendahulukan hal-hal kolektif (umum) daripada persoalan pribadi yang
dimilikinya.
Selain itu, pernyataan diatas juga mengandung makna bahwa masyarakat Bugis-
Makassar itu sendiri memiliki sikap loyalitas dan solidaritas yang sangat
mendalam, memiliki sikap setia kawan yang sukar untuk dikhianati atau ditukar
dengan apa pun, semisal dalam sebuah persoalan yang mengandung ekses-ekses
dalam persoalan ini, yang dengan serta merta dapat menimbulkan unsur-unsur ini
kemudian. Lebih konkritnya ialah hal ini merupakan manifestasi dari wujud
kehidupan masyarakat Bugis-Makassar yang senantiasa tahu untuk membalas
kepercayaan seseornag yang diberikan kepadanya atau bentuk dari balas budinya
terhadap apa yang telah diberikan kepadanya, sehingga hal ini secara tidak
langsung juga menyentuh sendi-sendi kehidupan yang mengutamakan budi yang
luhur dalam segenap persoalan yang dilakoni dalam kehidupan.
Yang menarik dalam persoalan pacce ini, dalam kesehariannya, terkadang sering
ditemui dalam masyarakat Bugis-Makassar, sejak zaman dahulu sampai sekarang,
perasaan untuk senantiasa tolong menolong antar sesama manusia yang tanpa
disadari oleh masyarakat itu sendiri. Apalagi jika dalam konteks tersebut atau
orang yang ditolong kemudian adalah orang yang pernah menolong orang tersebut
sebelumnya, maka bagi masyarakat Bugis-Makassar, hal tersebut telah menjadi
kewajiban baginya untuk menolong orang tersebut, sebagai bentuk dari
kesetiakawanan dan ucapan terima kasihnya terhadap orang tersebut yang
pernah menolongnya sebelumnya. Hal ini sejatinya dalam lingkup kehidupan
manusia secara umum adalah sebuah kewajaran sebagai seorang manusia
menolong manusia lainnya karena dia masih memiliki rasa kemanusiaan itu sendiri,
atau dengan kata lain, salah satu sisi dari kehidupan manusia, dari sudut pandang
etika, adalah tahu berterima kasih dan membalas budi terhadap orang yang telah
berbuat baik terhadap dirinya.
Dalam pengertian lain juga, nilai falsafah pacce ini mengadung unsur rasa sakit
yang mendalam yang akan dialami oleh masyarakat Bugis-Makassar jikalau ada
anggota dalam kelompok komunitasnya yang mengalami sebuah musibah, yang bagi
orang yang terkena musibah tersebut merupakan sebuah hal yang tidak dapat
dipikulnya lagi. Sehingga bagi masyarakat lain yang ada dalam komunitas
masyarakat tersebut akan merasakan hal yang sama, ibaratnya dialah yang
terkena musibah itu, yang dengan serta merta memunculkan sebuah pemahaman
untuk tidak bersenang-senang ketika ada yang terkena musibah semacam itu
(Moein, 1990: 36). Bahkan lebih jauh, hal itu juga merupakan bentuk siri’ dari
masyarakat tersebut yang senantiasa harus dijaga agar konsep memanusiakan
manusia itu tetap ada.
Persolan seperti ini, dapat dilihat dalam sebuah syair dalam lontara’ masyarakat
Bugis-Makassar (Dinas pariwisata dan kebudayaan kab. Gowa, 2010: 11) yang
berbunyi: angngasseng tonja labba boyo; pacce tanaebba lading; tena garringku;
namalantang pa’risikku (aku nikmati tawarnya labu; pedis tak tergores pisau; aku
tak merasakan atau menderita sakit; namun betapa pedihnya terasa menusuk
jauh ke dalam lubuk hati). Secara umum, syair ini menunjukkan rasa pedih yang
mendalam (pacce) yang dirasakan oleh masyarakat secara kolektif ketika ada
seorang anggota kelompok komunitasnya menderita atau mengalami sebuah
musibah, apalagi musibah yang dimaksud adalah menyangkut persoalan siri’ yang
sebelumnya telah diterangkan dengan panjang lebar.
Intinya bahwa, persoalan pacce ini mengandung semangat kebersamaan yang
tercermin dari kesetiakawanan (solider) dan sikap yang setia (loyalitas) yang
digambarkan dalam berbagi aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Lebih
jauh lagi, falsafah pacce ini juga sejatinya memberikan pemaknaan bahwa dalam
kehidupan manusia yang harus selalu diutamakan adalah persoalan kolektifitas,
dimana dalam persoalan ini, hal-hal yang berbau pribadi harus terlebih dahulu
disingkirkan.
Kemudian, falsafah pacce ini juga mengandung unsur nilai yang dapat diartikan
sebagai sesuatu yang memilukan atau menyakitkan, dimana ketika ada anggota
komunitas masyarakatnya mengalami sebuah musibah, apalagi musibah yang
dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut persoalan siri’, maka dengan serta
merta masyarakat tersebut akan merasakan juga kepedihan yang dirasakan oleh
orang tersebut sebagai bentuk daripada semangat kolektifitasnya dalam
kehidupan bermasyarakat. Tapi yang paling terpenting dari hal itu adalah adanya
rasa simpati dan empati yang diwujudkan dalam perilaku yang senantiasa
menjunjung tinggi rasa kebersamaan yang ada sebagai sebuah bentuk kehidupan
masyarakat yang berbudi dan beretika yang tinggi, guna mencerminkan sebuah
kehidupan yang nyata bagi orang yang ada di luar komunitas mereka dan yang
terpenting dapat dicontoh oleh orang lain, sebagaimana pesan-pesan yang
diberikan oleh para tetua terdahulu masyarakat Bugis-Makassar ini.
C. Historisitas Dalam Falsafah Siri’ na Pacce
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dalam persoalan siri’ na pacce
ini, terdapat unsur kesejarahan atau lebih tepatnya unsur filsafat sejarah di
dalamnya yang menyangkut filsafat sejarah spekulatif. Dimana telah diterangkan
sebelumnya bahwa nilai dari falsafah ini semuanya berasal dari petuah-petuah
masa lalu (paseng) yang menggambarkan bagaimana sejatinya dan seharusnya
masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri dalam menjalani kehidupannya.
Filsafat sejarah spekulatif sendiri, dalam instrumennya, mencari struktur dalam
yang terkandung dalam proses sejarah secara keseluruhan. Dimana filsafat
sejarah spekulatif merupakan suatu perenungan filsafati mengenai tabiat atau
sifat-sifat proses sejarah (Ankersmit, 1987: 17). Untuk itu, dalam melihat
historisitas dalam falsafah siri’ na pacce yang terdapat dalam masyarakat Bugis-
Makassar ini, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang telah direnungkan oleh para
pendahulu masyarakat Bugis-Makassar dalam melihat sejarah kehidupan setelah
mereka kelak. Hal tersebut juga dimaksudkan agar keberlangsungan dari sejarah
hidup masyarakat ini tetap terjaga.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para tetua masyarakat Bugis-Makassar
tersebut memberikan rambu-rambu terhadap manusia-manusia yang hidup
setelah mereka, utamanya dalam menjalani kehidupannya sebagai sebuah
masyarakat yang kolektif. Telah dikatakan sebelumnya bahwa dalam pola
kehidupan individu maupun kelompok masyarakat tersebut, yang mesti
diutamakan adalah mengenai etika dan akal budi serta semangat kebersamaan
yang di dalamnya mencakup tentang kesetiakawanan dan kesetiaan (loyalitas).
Sebab tanpa hal-hal tersebut, mustahil sebuah kehidupan yang baik dan maju
akan dicapai dengan mudah. Yang terpenting juga adalah apa yang diramalkan
dalam berbagi lontara’ yang terdapat dalam masyarakat Bugis-Makassar sebagai
zaman sianre-anre bale taue itu terhindarkan. Utamanya dalam konteks
kehidupan yang akan datang, ketika manusia tak lagi memiliki kesadaran kolektif
yang dibangun atas asas dari falsafah siri’ na pacce itu sendiri.
Yang menarik adalah ketika mengkaji persoalan siri’ na pacce ini melalui ruang
historisitas, akan ditemukan berbagai pesan-pesan tentang masa depan yang
mesti dialami oleh masyarakat Bugis-Makassar jika tak lagi memegangi falsafah
siri’ na pacce tersebut sebagai laku hidup atau magnum opus dalam kehidupannya.
Hal ini terlihat dari pesan Kajaolalido (La Mellong) yang merupakan seorang
pemikir dan negarawan di masanya bahkan semasa dengan Machiavelli menurut
W.S Rendra, bahwa senjata terkuat apapun tidak akan pernah mengalahkan
kekuatan persatuan dan kesatuan yang kokoh dalam sebuah masyarakat. Apalagi
jika hal tersebut senantiasa didasari dari nilai pangedereng dan nilai siri’ na
pacce/pesse, maka semuanya pasti dapat dihadapi dengan mudah (Moein, 1990:
26).
Begitupun ketika melihat dan menelaah apa yang terdapat dalam potongan atau
kepingan lontara’ berikut yang berpesan tentang aturan yang mesti ditegakkan
dalam masyarakat Bugis-Makassar yang hidup dalam sebuah negeri, mulai hari ini
dan seterusnya. Bunyi dari kepingan lontara’ tersebut adalah: “eppa’i solangi
wanuae: ngowae, napadde’i siri’e; gau’ mawatangnge, allajangngi assi sarromase-
mase rilaleng wanuwa; mabelle peru’e, belaiwi gau’ tongetongengnge ri wanuae iya
ngowae riala modala’ sapuripale’ cappa’na; iya cekoe riala modala’ sukkara wale’na.
Naita lempu’e riala modala’ atuwong wale’na, alampereng sungae cappa’na; naiya
gau’ sitanajaya riala modala’ cenning rara wale’na, naddimunriwi deceng, nacappaki
assalamakeng”, artinya bahwa empat hal yang dapat merusak kampung atau
daerah: keserakahan, menghilangkan rasa malu; kekerasan, melenyapkan perasaan
kasih mengasihi di dalam kampung; kecurangan, memutuskan hubungan
kekeluargaan sekeluarga; tega hati, menjauhkan perbuatan benar di dalam
kampung. Kalau keserakahan dijadikan modal, kesulitan akibatnya; kalau
kejujuran dijadikan modal, kehidupan akibatnya panjang umur; dan kalau sikap
kewajaran (kepantasan) yang dijadikan modal, kecemerlangan diiringi kebaikan
dan diakhiri dengan keselamatan (Moein.1990: 27-28).
Hal diatas, jelas merupakan sebuah gambaran untuk generasi hari ini dan
generasi yang akan datang dalam menjalani kehidupannya. Segala hal tersebut
harus dijadikan sebagai panglima dalam melakukan setiap hal, agar kerusakan dan
kehancuran dalam masyarakat dapat dihindarkan. Selain itu, hal ini juga
menunjukkan, bahwa betapa para pendahulu tersebut, memiliki semacam sasmita
(pandangan tentang masa depan) dan visi ke depan tentang kehidupan manusia
setelah mereka, yang dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan
zaman yang terus maju sebagaimana hakikat zaman itu sendiri yang senantiasa
berproses ibarat sebuah roda, kadang di atas dan kadang di bawah.
Selain itu, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengenai hal spiritualitas
dalam kerangka masyarakat Bugis-Makassar, bahwa senantiasa pasrah pada
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae), yang berarti
bahwa dalam hal keyakinan, masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawasei Selatan
secara umum, harus senantiasa berpegang teguh pada prinsip atau keyakinan
terhadap Yang Maha Kuasa, yang tak memiliki tandingan dan Maha Penentu
segala-galanya. Sehingga selanjutnya menimbulkan sebuah implikiasi dasar dalam
praktek keagamaan atau spritualitas masyarakat Bugis-Makassar untuk
senantiasa patuh dan taat kepada Tuhan yang telah menciptakan manusia sebagai
bentuk rasa syukur atas karunia kehidupan yang telah diberikan oleh-Nya.
Terakhir, sebagai sebuah acuan dasar dalam melihat aspek historisitas dalam
permasalahan siri’ na pacce yang terdapat dalam masyarakat Bugis-Makassar ini,
penulis ingin menyampaikan sebuah amanah yang diamanahkan oleh Puang ri
Manggalatung, seorang cendekiawan pada zaman kerajaan Bugis-Wajo, yang juga
sezaman dengan Kajaolalido (La Mellong) dan Machiavelli , terhadap seluruh
generasi masyarakat Sulawesi Selatan agar senantiasa eksis atau terwujud dalam
sejarah kehidupannya. Pesan tersebut, sebagaimana yang dikutip oleh Moein
(1990: xiii), yang arti dalam bahasa Indonesianya berbunyi: “kejujuran dan
kepandaian adalah hal yang paling baik ditanamkan pada diri setiap masyarakat,
sebab hal itulah juga yang tak pernah akan bercerai dengan Dewata Yang
Tunggal. Yang disebut pandai adalah kemampuan untuk melihat akhir atau akibat
dari perbuatan, dan yang dikerjakannya adalah kebaikan, bilamana dapat
mendatangkan keburukan, maka janganlah pernah untuk dilakukan. Bilamana tidak
baik janganlah hendaknya engkau kerjakan, karena nantinya akan kembali juga
keburukan tersebut kepada dirimu”.
Daftar Pustaka
Andaya,Leonard Y, 2004, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan
Abad ke-17, terj. Nurhadi Simorok, Inninawa, Makassar.
Ankersmit, F.R, 1987, Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern
Tentang Filsafat Sejarah, diIndonesiakan oleh Dick Hartoko, Garmedia, Jakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Gowa, 2010, Transliterasi dan Terjemahan
Lontara’ Makassar (Naskah Makassar).
Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Bhakti
Baru-Berita Utama, Makassar.
Moein, Andi MG, 1990, Menggali Niali-nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na
Pacce, Yayasan Mapress, Makassar.
Monte, Boye de, 2009, Misteri Kode Samurai Jepang, Garailmu, Yogyakarta.
Pelras, Cristian, 2006, Manusia Bugis, terj. Abdul Rahman Abu, Hasriadi, dkk,
Nalar, Jakarta
Oleh :
Muh. Abdi Goncing
Poskan Komentar
Posting LamaBeranda
Arsip Blog
▼ 2013 (3)
o ▼ Maret (3)
SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT B...
lentera hati
Lihat profil lengkapku
Siri’ Na Pacce
Posted: April 1, 2014 in Makassar
0
1 Vote
siri`na pacce adalah falsafah suku bugis makassar yang apabila seseorang tidak
mempunyai keduanya,maka orang itu dianggap rendah (seperti binatang)
Secara etimologi, Siri’ berarti: rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce (bahasa Bugis: Pesse)
berarti: rasa kasihan (pedih, perih). Jadi Siri’ na Pacce bisa diartikan sebagai sebuah ajaran
moral masyarakat Bugis-Makassar, yang menganjurkan untuk saling menjaga harga diri satu
sama lain, agar tidak merasa malu atau dipermalukan, serta saling menjaga rasa
kesetiakawanan dalam bermasyarakat, dan tidak mementingkan diri sendiri. Bagi masyarakat
Bugis-Makassar, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak
dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri
dan kehormatannya. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian
sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan. Pacce merupakan sifat belas kasihan
untuk ikut menanggung beban dan penderitaan orang lain. Seperti dalam pepatah: “Ringan
sama dijinjing berat sama dipikul”.
Awal Mula Siri’ na Pacce Menurut Iwata (Peneliti dari Jepang), pada mulanya, siri’ na
pacce merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kawin lari (silariang). Yakni jika sepasang
pria dan wanita kawin lari, maka mereka dianggap telah melakukan perbuatan siri’ dan
membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tunipakasiri’/mate
siri’. Yang selanjutnya berhak menuntut sang pria secara hukum adat untuk
bertanggungjawab karena keluarganya dibawa kabur (silariang). Selama belum melakukan
perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak
perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat,
dengan membawa sang perempuan kembali ke rumahnya yang selanjutnya disebut
a’baji’/battu baji’. Jika ini belum dilakukan, maka status tunipakasiri’/mate siri’ tetap melekat
bagi keluarga perempuan. Namun jika a’baji’ sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari
tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap
sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukuman adat. Tapi sesungguhnya, inti budaya siri’ na
pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang
Bugis-Makassar. Karena, siri’ na pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar.”
Dengan falsafah siri’ na pacce, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka
mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri’ na sacce bukan
hanya di kenal oleh dua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi,
seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan
falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.
Siri’ Berdasarkan jenisnya siri’ terbagi atas 2 yaitu: Siri’ Nipakasiri’ Nipakasiri’ terjadi
apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kewajaran. Maka ia atau keluarganya
harus menegakkan siri’nya (appaenteng siri’) untuk mengembalikan kehormatan yang telah
dirampas. Jika tidak, ia akan disebut “mate siri” atau kehilangan harkat dan martabatnya
sebagai manusia di mata masyarakat. Bagi orang Bugis dan Makassar, tujuan atau alasan
hidup yang tertinggi tidak lain adalah menjaga siri’nya. Mereka lebih memilih mati dari pada
hidup tanpa siri’. Mati karena mempertahankan siri’ biasa disebut “mate nigollai, mate
nisantangngi” yang berarti mati secara terhormat untuk mempertahankan harga diri. Siri’
Masiri’/Appaenteng Siri’ Masiri’/Appaenteng Siri’ yaitu pandangan hidup yang bermaksud
untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri’ itu
sendiri. Konsep inilah yang melahirkan sebuah semboyan “Takunjungang bangung turu’,
nakugunciri’ gulingku, kualleangnga…,tallanga natoalia”. (Jika layar telah terkembang,
kemudi telah terpasang, kupilih tenggelam…, daripada mundur surut ke haluan). Semboyan
tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian
yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini.
Bagikan ini:
Twitter
Facebook
Google
Mengintegrasikan Kearifan Budaya Lokal Khususnya Budaya Siri’ Na Pacce dalam Dunia
Perpajakan
Kebudayaan merupakan unsur penting bagi sebuah bangsa. Identitas suatu bangsa
dapat dilihat dari sejarah kebudayaannya. Ini dilihat dari berbedanya budaya antar
suatu bangsa dengan bangsa lain yang menampakkan ciri khas dan keunikan
tersendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah
kebudayaannya. Indonesia adalah suatu negara dengan kebudayaan yang sangat
kaya dan variatif. Sejarah kebudayaan bisa kita pelajari dari naskah yang diwariskan.
Dengan perjalanan waktu dan zaman banyak peninggalan bersejarah yang hilang,
rusak bahkan terlupakan.
Selain itu, dengan melihat kondisi bangsa seperti sekarang, iklim berbudaya nyaris
terlupakan dengan munculnya permasalahan bangsa di beberapa aspek kehidupan.
Apalagi dalam situasi perekonomian, masalah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kosentrasi masyarakat lebih terfokus berpolitik, supremasi hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM), perekonomian global daripada berbicara melestarikan sejarah dan
budaya bangsa. Oleh karena itu, mengintegraikan nilai budaya ke dalam pengelolaan
dan pengembangan pilar utama pembangunan ekonomi nasional, yakni perpajakan
merupakan hal yang patut diperhatikan.
Direktorat Jenderal Pajak mendapatkan perhatian yang tinggi dan sorotan tajam dari
masyarakat atas kasus korupsi yang berulang kali terjadi pada lembaga tersebut.
Contoh sejumlah kasus mafia pajak yang mencuat dalam dua tahun terakhir yang
menyita perhatian publik di antaranya:
6. Eko Darmayanto dan Mohamad Dian Irwan (penyidik di Direktorat Jenderal pajak
pada kantor Wilayah Jakarta Timur) dengan kasus menerima uang SGD 300.000
atau sekitar Rp 2,3 miliar dari PT The Master Steel dalam operasi tangkap tangan
pegawai pajak di halaman terminal III Bandara Soekarno Hatta (15/05/2013).
Proses hukum masih berjalan.
Terakhir, penetapan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada kasus keberatan pajak PT
BCA menjadi penambah fakta empiris terkini atas asumsi bahwa patgulipat antara
wajib pajak dan aparat pajak masih banyak dipraktikkan. Kasus itu juga menegaskan
kembali modus yang sudah diyakini kebenarannya bahwa pengemplangan dan
penggelapan pajak bisa terjadi hanya karena orang dalam ikut berperan serta secara
aktif dalam membantu upaya busuk itu. Hadi Poernomo yang menjabat Dirjen Pajak
periode 2002-2004 bersama-sama dengan pihak BCA diduga merugikan negara Rp
375 miliar.
Citra pengelolaan perpajakan yang mulai memburuk diakibatkan kasus-kasus mafia
pajak dapat memengaruhi kepatuhan rakyat untuk membayar pajak. Kalau
pemimpin nomor satu pada institusi pengumpul pajak saja memiliki kinerja yang
demikian sarat dengan moral hazard, bagaimana dengan aparat pajak di bawahnya
dalam menjalankan tugas sehari-hari ? Tidaklah adil bila kita menggeneralisasi kasus
Hadi Poernomo itu dengan asumsi bahwa semua aparat pajak ialah penilap. Kita
yakin bahwa masih ada aparat pajak yang bersih dan jujur. Kita pun percaya bahwa
aparat pajak yang baik jauh lebih banyak daripada yang busuk.
Manajemen pengelolaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini hanya
sebatas pengelola. DJP tidak menerima uang pajaknya karena uang pajak langsung
disetor lewat Bank sesuai dengan nilai SPT wajib pajak, jadi dari mekanisme ini
sangat meminimalisir adanya celah pengkorupsian uang pajak oleh oknum pegawai
pajak lagi.
Jika diamati perkembangannya, berbagai tantangan dalam perkembangan
perpajakan ke depan yang akan semakin kompleks menghadapkan kita untuk
mengoptimalkan potensi kearifan budaya lokal khususnya budaya siri’ na pacce yang
terintegrasi di dalam pengelolaan dan pengembangan perpajakan. Budaya malu atau
lebih dikenal dengan budaya siri’ na pacce di Sulawesi Selatan yang sebenarnya
telah mendarah daging dan menjadi falsafah hidup Bugis Makassar. Namun pada
saat ini, masyarakat lebih cenderung mengikuti budaya modernitas yang mengarah
ke sifat pragmatis dalam berusaha termasuk juga di dalamnya melupakan
perpajakan yang memiliki visi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan umum.
Falsafah hidup siri’ na pacce ini mengandung makna yang sangat
dalam. Siri’, menurut pakar ilmu sejarah dan budaya yakni Prof. Mattulada,
mengajarkan tentang moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak, dan
kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan
mempertahankan kehormatan diri. Solusi dalam pengelolaan dan pengembangan
perpajakan yang berhubungan langsung dengan peningkatan profesionalisme dan
manajemen perpajakan ini sangat sejalan dengan kondisi masyarakat yang ada di
Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan terutama masyarakat Makassar yang
memiliki falsafah hidup, yaitu budaya siri’. Nilai budaya dan falsafah budaya siri’ ini
juga dapat menjadi suatu kearifan lokal ( local wisdom) bagi masyarakat Makassar,
karena ia mampu berfungsi sebagai problem solving dalam setiap masalah yang
muncul, salah satunya mengenai pengelolaan dan pengembangan perpajakan yang
mengandung unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dapat memperburuk citra
perpajakan.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil
sebagai konsep pembentukan hukum nasional, dimana dalam falsafah ini betapa
dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap
sesama – bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-
348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan
hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat), maka konsep lokal lebih bernilai
humanis dan universal.
Oleh karena itu, pengelolaan dan pengembangan perpajakan dengan
mengoptimalkan potensi kearifan budaya lokal khususnya budaya siri’ yang
terintegrasi akan memberikan kesadaran untuk mengatasi lunturnya nilai-nilai
budaya serta nilai-nilai dan semangat perperpajakan yang berusaha untuk
mewujudkan dan mengambangkan perekonomian nasional untuk terwujudnya
kesejahteraan sosial. Budaya siri’ ini menjadi solusi efektif untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang timbul akibat perubahan zaman yang mendera setiap
pelosok dunia. Kesadaran mengenai pentingnya membayar pajak serta pengelolaan
perpajakan yang didasari dengan falsafah hidup budaya siri’ na pacce, maka
partisipasi dan kontribusi aktif dari masyarakat dalam dunia perpajakan menjadi hal
yang akan terus digalakkan bersama.
Dengan adanya siri’ na pacce dalam diri setiap lapisan masyarakat melalui sosialisai
dan pembinaan yang berkelanjutan dari Direktorat Jenderal Pajak maupun institusi
pendidikan yang ada, maka masyarakat akan merasa malu bila tidak bisa
berkontribusi maksimal dalam terwujudnya Indonesia yang sejahtera termasuk di
dalamnya berkontribusi aktif dngan membayar pajak dalam terwujudnya cita-cita
mulia perpajakan untuk berperan serta secara aktif dalam upaya meningkatkan
distribusi pendapatan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kemajuan dunia
perpajakan akan mengokohkan perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan
ketahanan perkonomian nasional. []