Anda di halaman 1dari 39

Berkebudayaan Malu (Shame Culture)

KEBERHASILAN Negara Korea Selatan merupakan satu bukti nyata bahwa


rasa “malu dan dendam” dapat dijadikan motivasi kemajuan. Pemerintah
dan Masyarakat Korsel berhasil mengeksplorasi rasa malu dan dendam
menjadi sebuah motivasi untuk mengungguli negara dan bangsa lain,
termasuk negara yang selama puluhan tahun pernah menjajahnya.
Tulisan ini pada akhirnya ingin mempertanyakan, “Mengapa rasa “siri”
dan “pacce” tidak bisa kita jadikan motivasi, spirit atau energi untuk
melakukan kerja keras, perubahan positif, percepatan pembangunan dan
lompatan kemajuan ? Padahal kita semua tahu, “siri na pacce”
merupakan bagian dari kebudayaan kita.
Korea merupakan negara yang pernah dijajah Bangsa Jepang sejak akhir
Abad XVI. Selama enam tahun tentara Jepang dengan dipimpin Hideyoshi
Toyotomi, untuk pertama kalinya menjajah Korea, yang ketika itu masih
berupa Kerajaan Joseon Lama. Namun, penjajahan selama enam tahun
itu belumlah menabur dendam bagi Korea, karena ketika itu Korea praktis
belum terbentuk. Penjajahan Jepang yang menyakitkan bagi Korea adalah
penjajahan yang terbentang antara tahun 1910 – 1945. Ketika itu,
Jepang kembali ingin menunjukkan dominasinya dalam hal aneksasi,
sekaligus eksploitasi ekonomi.
Bangsa Korea harus tunduk pada Kaisar Jepang. Menggunakan bahasa
Korea dalam kehidupan sehari-hari, termasuk merupakan larangan keras.
Sekolah-sekolah diwajibkan menggunakan Bahasa Jepang, dan orang
Korea harus mengadopsi nama Jepang. Invasi Jepang selama 35 tahun di
Semenanjung Korea itu mengakibatkan kehancuran dan porak poranda
yang luar biasa, di segenap aspek kehidupan Bangsa Korea. Standar
hidup Bangsa Korea menurun drastis. Tidak ada angka resmi berapa ribu
korban jiwa yang jatuh dipihak Korea, tetapi disebut-sebut selama 35
tahun penjajahan itu, lebih dari 100.000 perempuan Korea dipaksa
melayani nafsu seksual tentara Jepang.
Selain kehancuran sosial, ekonomi dan fisik, invasi Jepang itu juga
mengakibatkan perebutan kepemimpinan antar Bangsa Korea sendiri
setelah hengkangnya Jepang dari “Daratan Pagi yang Tenang” itu.
Koreapun terbagi menjadi dua, Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan
(Korsel). Selama tiga tahun, antara tahun 1950 – 1953, Korut dan Korsel
terlibat perang saudara memperebutkan kepemimpinan. Barulah selepas
tahun 1953, Korsel bisa mulai membenahi puing – puing perekonomian,
pendidikan, sosial serta aspek-aspek lainnya, serta bangkit sebagai
bangsa yang memiliki kedaulatan.
Berlalunya tahun – tahun itu, tidak sedikitpun mengikis dendam Korea
Selatan terhadap Jepang, walaupun secara diplomatis kedua negara
mencanangkan berbagai perjanjian dan kerjasama. Dendam yang besar
itu menjadi energi luar biasa bagi Korsel untuk menyaingi Jepang yang
pernah menjajah dan mendzaliminya. Kini setelah lebih dari setengah
abad merdeka, Korsel mulai memetik buah dari jerih payahnya
membangun kembali bangsa yang pernah diporak-porandakan penjajah.
Hasil paling nyata dapat dilihat pada industri manufaktur yang berbasis
teknologi.
Pada dekade tahun 1960 dan 1970, Korsel hanya dapat meniru produk-
produk Jepang. Pada tahun 1972 Pemerintah Korsel melancarkan gerakan
“Sae Maul Undong” sebagai upaya menggenjot percepatan pembangunan
dan kemajuan Korea. Gerakan mobilitas nilai budaya untuk kemajuan
yang disebut “Sae Maul Undong” (sae = desa, maul = baru, Undong =
gerakan) yang dilancarkan para pemimpin yang mengutamakan ‘learning
by doing’, yaitu langsung bekerja ditengah-tengah rakyat dan memberi
contoh hidup sederhana dan disiplin. Pemerintahnya menyadari bahwa
mereka tidak mempunyai kekayaan alam yang bisa diandalkan,
penduduknya padat, wilayahnya bergunung – gunung, musim dingin yang
panjang, serta cuaca buruk.
Pembangunannya berhasilnya merubah desa menjadi kota, berhasil
merubah kegiatan pertanian yang seadanya menjadi raksasa industri
yang patut diperhitungkan. Hanya dalam waktu satu dekade, Korsel
sudah menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Revolusi mental dan
sikap untuk maju itu telah menunjukkan bukti nyata menjadikan Korsel
sebagai salah satu raksasa negara industri di Asia. Dimulai pada era
tahun 1980-an, Korsel mulai memfokuskan diri pada penelitian dan
pengembangan (research and development). Pada tahun 1982 dicapailah
hasil gemilang. Dalam waktu selama 10 tahun pendapatan perkapita
rakyat melejit dari US $ 82 naik menjadi US $ 2.000,- yang 4 tahun
kemudian mencapai lebih dari US $ 5.000,- (T.Hutagalung Simanungkalit,
1983). Bisa dibayangkan, berapa besar pendapatan perkapita rakyat
Korsel saat ini. Diliputi dendam besar yang memanivestasi menjadi
motivasi, masyarakat Korsel rata-rata menjalani 10 jam kerja setiap hari
kerja, dari pukul 8.00 hingga pukul 18.00. Selanjutnya, mulai era tahun
1990-an Korsel mulai menjadi ancaman serius bagi industri Jepang.
Pesatnya kemajuan industri Korea tidak lepas dari sikap mental
masyarakat Korsel dalam bekerja yang mengacu kepada tiga tujuan.
Tujuan pertama, mereka bekerja untuk bangsa dan negara. Tujuan
kedua, mereka bekerja untuk perusahaan yang menggaji mereka. Tujuan
ketiga, setelah tujuan pertama dan kedua terpenuhi, barulah mereka
bekerja untuk diri mereka sendiri. Mereka merasa malu jika sebagai
warga negara belum memberikan sumbangsih dan kontribusi positif bagi
kemajuan negaranya. Sebaliknya kita di Indonesia, justru yang
menamakan dirinya abdi negara dan abdi masyarakat, yang
menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi dengan praktek
KKN yang merajalela. Masyarakat yang berharap dapat diperjuangkan
oleh Anggota DPR yang telah dipilihnya, malahan “sibuk dengan gayanya
sendiri”.
Nasionalisme orang Korea memang amat tinggi. Semua orang di Negara
“Daratan Pagi Yang Tenang” itu memakai produk dalam negeri, dari
makanan, sepatu, produk-produk elektronik, hingga produk-produk
otomotif. Tidak ada paksaan dari pemerintah, tetapi kalau tidak memakai
produk Korea, mereka akan malu sendiri. Restoran Mc Donalds terseok-
seok bersaing dengan restoran lokal, Lotteria. Empat pemuda tampan
asal Taiwan yang tergabung dalam kelompok F4, sama sekali tidak
dikenal disana. Yang nama dan gambarnya ada dimana-mana adalah artis
remaja Wun Bin. Di Indonesia, justru menjadi bangga jika sudah
memakai produk-produk luar negeri. Remaja-remaja kita justru merasa
hebat jika sudah dapat menyanyikan lagu-lagu barat dan setiap saat bisa
gonta-ganti HP (buatan Jepang dan Korea). Jangan heran, karena
perilaku itu memang dicontohkan oleh para pemimpin dan wakil rakyat di
negeri ini.
Di rumah – rumah orang Korea tidak ada produk elektronik bermerek
Sony, Toshiba, Elektrolux, ataupun Philips. Yang ada hanya dua merek,
yakni LG dan Samsung. Di jalan-jalan dan subway, tidak ada satupun
telepon genggam Nokia yang menggantung di dada anak-anak muda
yang doyan menguyah permen karet itu, melainkan berbagai merek lokal.
Dari 100 mobil yang anda jumpai di jalan-jalan, belum tentu ada satu
mobil merk Toyota atau Honda, atau mobil-mobil Erofah. Yang akan anda
lihat, dari bus sampai mobil sport dan sedan mewah, hanyalah melulu
merk KIA, Hyundai, Daewoo dan Ssangyong. (Laporan Kompas).
Korea sangat dendam pada Jepang, dan dendam kepada Jepang itulah
yang juga menjadi pemicu semangat untuk bisa menyaingi dan melebihi
Jepang dalam segala hal. Dilandasi kesadaran tinggi dulunya tidak
memiliki produk unggulan berorientasi ekspor, dipicu pula oleh dendam
terhadap Jepang yang harus diakui telah mendominasi Asia dalam hal
ekonomi dan industri, Korsel bergerak amat dinamis dengan
semboyannya “Dynamic Korea”. Bidang industri dianggap sebagai
indikator utama keberhasilan Korea menyaingi Jepang. Masyarakat Korsel
menyadari, tidak semua industri negara tersebut unggul atas Negara
Jepang. Namun, beberapa raksasa industri Korsel sudah membuktikan hal
itu.
Korselpun mampu mempermalukan Jepang dalam bidang Olahraga. Sejak
tahun 1986, Pada Asian Games X di Seoul hingga saat ini, Korsel sudah
berhasil membungkam Jepang. Sejak Asian Games X hingga Asian Games
XIII Bangkok 1998, Korsel langganan menempati urutan kedua dalam
perolehan medali keseluruhan, sedangkan Jepang selalu berada di urutan
ketiga. Sebelumnya, dari Asian Games I New Delhi 1951 sampai Asian
Games VIII Bangkok 1978 Jepang selalu menempati urutan teratas dalam
perolehan medali. Selanjutnya, mulai Asian Games IX New Delhi 1982
hingga saat ini posisi juara umum diambil oleh China, yang juga punya
dendam sejarah berdarah terhadap Jepang. Pada Asian Games IX itu
Jepang masih berada di urutan kedua, sebelum tergusur oleh Korsel sejak
Asian Games X Seoul 1986 hingga saat ini. (Kompas).
***
Ratusan ribu kilometer di barat daya Semenanjung Korea ada sebuah
Negara yang 350 tahun dijajah oleh Belanda dan tiga setengah tahun
dijajah oleh Jepang. Negara tersebut mengalami kerusakan akibat
penjajahan yang tidak kalah hebat dengan Korea, dan merdeka dua hari
saja setelah Korea merdeka. Namun terhadap Negara tersebut, Indonesia
tercinta kita ini, mengeksplorasi rasa malu dan dendam menjadi motivasi
adalah hal yang amat futuristis.
Malu dalam terminologi Bugis Makassar berarti siri’. Dalam ukuran nilai,
siri’ banyak dipahami sebagai “kehormatan atau harga diri”. “Appaenteng
siri’ dapat diartikan menegakkan harga diri. Andai saja, masyarakat dan
pemerintah dapat mengeksplorasi rasa malu (menegakkan kehormatan
dan harga diri) menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang untuk
mengejar kemajuan sebagaimana yang telah dicapai oleh negara dan
bangsa lain, tak mustahil Indonesia bisa menjadi lebih maju dibandingkan
Korsel. Hanya orang yang tidak punya rasa malu, tidak punya harga diri
yang dapat melakukan korupsi. Sayangnya, Rezim berganti rezim tidak
pernah membawa perubahan kemapanan sosial dan kemandirian
ekonomi. Salah satu sebabnya mungkin karena pejabat pemerintahnya
terlalu doyan korup dan wakil rakyatnya di parlemen doyan berantem
sendiri.
Rasa nasionalisme kita, nanti bangkit kalau wilayah negara diusik dan
akan direbut, baru bersorak-sorai menyatakan perang dan ganyang.
Sementara, yang terjadi sebenarnya setiap hari kita diserang melalui
serbuan kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi, perang pemikiran,
sekularisme pendidikan, budaya “westlife” dan industri media, hiburan,
seni dan mode (fashion). Masyarakat dan Pemerintah Indonesia seperti
lupa bercermin dari Sejarah dan melupakan nilai-nilai luhur budayanya.
Kalau Siri’ merupakan taruhan harga diri, maka harga diri tersebut harus
diangkat melalui kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor, dan senantiasa
berorientasi keberhasilan. Harga diri terangkat atas dukungan rasa Pesse
(Bugis) atau Pacce (Makassar), yaitu solidaritas terhadap orang lain
sebagai partisipasi sosial. (kepedulian sosial/kesetiakawanan sosial).
Sayangnya, rakyat dan pemerintah Indonesia hanya bisa
melaksanakannya hanya sebatas jargon dan slogan. Mari membenahi diri
untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Kalau kita tidak bisa
menjadi lebih baik dibandingkan hari kemarin, maka tidak hanya bisa
menjadi “malu”, tapi bisa menjadi malu-maluin. Tabe’. Mariki di ’ .

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2005. Berkebudayaan Malu (Shame Culture). Surat
Kabar Umum (SKU) Pangkep Post, Edisi Agustus 2005.
KONSEP SIRI’ NA PACCE

A. Latar Belakang
Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan sendiri. Kebudayaan
dapat menjadi ciri khas yang membedakan antara satu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Perbedaan kelompok tersebut dapat
pula berdasarkan etnik, sehingga di dalam kebudayaan itulah akan terlihat pola
tingkah laku dari kelompok etnik masyarakat tersebut.
Sistem nilai budaya mengandung konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-
ide yang paling dalam dan sistem budaya masyarakat, karena konsepsi-konsepsi,
gagasan-gagasan, ide-ide tersebut merupakan kandungan nilai-nilai yang paling
dalam dipelajari, serta lebih dahulu diinternalisasi para warga dalam kehidpan
mereka. Sistem nilai budaya menjiwai seluruh kebudayaan dan kehidupan suatu
masyarakat.
Kesadaran tentang kemajemukan budaya di Indonesia oleh setiap
komponen sosial dan kelompok, dimulai dari “pengetahuan” mengenai seluk beluk
tradisi budaya (culture tradision) mereka, tanpa prasangka atau curiga
memandang rendah satu dari pada yang lainnya. Kita harus mengetahui mereka,
tanpa membanggakan budaya sendiri.
Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis-Makasar, terdapat
sejumlah nilai dan konsep yang sangat besar pengaruhnya dalam perilaku dan
pergaulan sosial etnis. Makna nilai tersebut antara lain adalah : (1) makna
nilai “tau/tau” (orang), (2) makna nilai “siri’/siri” (harga diri), (3) makna
nilai “pacce/pec” (iba) dan (4) makna nilai “pangadakkang/pGdk” (adat isitadat).
Agama orang Bugis-Makassar adalah agama Islam, tanpa mengeksplisitkan
kemayoritasannya, mengingat sejarah orang Bugis-Makassar sejak masuknya agama
Islam sampai sekarang ini, menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan
Bugis-Makassar dan agama Islam. Orang Bugis-Makassar malah menjadikan agama
Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.
Orang Bugis-Makassar, yang dalam kehidupan sehari-harinya terikat oleh
sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral yang
keseluruhannya disebut Pangngaderreng/pGeder (Pangngadakkan/pGdk dalam
bahasa Makassar). (Kata Pangngadereng atau Panngadakkang) berasal
dari ade’/adE atau ada’/ad yang bersumber dari bahasa Arab ‘adah). Unsur pokok
dalam Pangngadereng/pGeder atau Pangngadakkan/pGdk tersebut terintegrasi
satu sama lain sebagai suatu kesatuan organis dalam pikiran orang Bugis-Makassar,
demikian pula martabat dan harga diri yang terkandung semuanya dalam
konsep Siri’/siri.
Orang Bugis-Makassar dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat
menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, mempertahankan kehormatan, mereka
bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu,
orang Bugis-Makassar juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat
menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.
Sifat dan karakter yang melekat merupakan cerminan sekaligus budaya
yang tertanam yang salah satunya disebut dengan budaya Siri’ dalam masyarakat
Bugis-Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang timbul adalah sebagai
berikut:
Bagaimana Konsep Siri’ na Pacce (siri n pec) dalam Budaya Suku Bugis-
Makassar?
C. Falsafah/Pedoman Hidup
Setiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah
menghadapi lawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi
setiap cobaan-cobaan yang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-
Makassar berorientasi kearah delapan penjuru (persegi), yakni: mampu
menghadapi apapun, berani melawan tantangan hidup.
Dasar filsafat hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang
Bugis-Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan.
Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang
Bugis-Makassar yang tersimpul dengan:

Duai temmallaiseng, tellui temmasarang atau duaai etmlies etluai etmsr.


Artinya:
Dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tidak terceraikan.

Falsafah Duai temmallaiseng, tellui temmasarang atau duaai etmlies


etluai etmsr. berarti Tuhan, Nabi Muhammad, Manusia sebagai hamba Allah yang
tidak terpisahkan) antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula dengan badaniah
dan batiniah tidak terpisahkan.
Falsafah untuk segala bentuk yang menyangkut manusia (yang dianggap
merupakan suatu bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal) dengan jagad raya,
terbagi pula atas tiga bagian:
1) Botting Langi/boti lGi artinya sumber segala yang mulia, yang mulia dalam
kebenaran.
2) Alekawa/aelkw artinya permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahkluk
dengan segala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain. Suci sebagai
perlambangan “Putih”, dan perlambangan merah (Api) yakni “Ale” atau ael artinya
badan dan “Kawa” atau kw artinya yang dapat dicapai.
3) Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi (Bugis), melambangkan keabadian,
kesabaran, yaitu sifat manusia itu sendiri, perlambangannya hitam.

Pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu terbagi atas tiga bagian, yaitu:


a. Raja Sombaya/soby (yang disembah)
b. Tomarilaleng/tomrilel (yang mewakili raja berbicara)
c. Tomarilaleng Lolo/tomrilel lolo (yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang
merupakan perantara rakyat dengan raja).
Rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong
rumah, watampole/wtpoel dan bagian loteng
disebut “Rakkeang”/reka atau “Rangkiang” (Mel.). Adapun ruangan terbagi lagi:
tempat tunggu tamu “Lontang ri Saliweng”/lot ri sliew, bagian tengah “Lontang ri
Tengnga”/lot ri etG, ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua,
ruangan khusus untuk anak gadis disebut “Lontang ri Laleng”/lot ri
lel dan “Tamping”/tpi ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur.
Empat dan delapan juga punya arti. Demikian, maka tiang-
tiang “Aliri”/aliri rumah adat Bugis-Makassar berbentuk persegi empat dan persegi
delapan.
Tiang persegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Balla”/posi
bl (Soko Guru), ini menjadi pertanda (perlambangan) bahwa laki-laki hendaklah
bersegi empat (melebihi tiga) atau “Woroane sulapa eppa”/woroanE sulp
aEp berarti laki-laki yang serba bisa.
Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atau semesta,
melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan
tantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna
kelangsungan hidupnya dan masyarakatnya.
Falsafah inilah yang membuat nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan
menjadi berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru. Falsafah ini pula yang
dijadikan azimat[1] untuk berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk
manifestasi pengertian masalah siri’/siri yang dalam istilah Bugis disebut Siri’ na
Ranrengi/siri n rer artinya tegakkan kehormatan, bila perlu nyawa dipertaruhkan.
Malu kalau tidak sukses dalam perjuangan hidup ini.
D. Sumber Siri’ na Pacce
Kata Siri’ na Pacce/siri n pec (Pesse//epsE: Bugis) sudah sangat sering kita
dengar, khususnya yang tinggal di Sulawesi Selatan.
Siri’ na Pacce/siri n pec (Makassar) atau Siri’ na Pesse/siri n epsE (Bugis)
merupakan sikap mental dan falsafah hidup orang Bugis-Makassar itu, yang mana
menurut buku Lontara (lotr) tergambarkan dengan karakter sebagai berikut:
1. “Aja mupakasiriwi, matei-tu” atau aj mupkasiri metaitu.
Artinya:
Jangan permalukan dia, sebab dia akan memilih lebih baik mati dari pada
dipermalukan.
2. “Aja mellebbaiwwi, nabokoiko-tu” atau aj emelbaiwi nbokoaikotu.
Artinya:
Jangan membuat dia kecewa, sebab dia pasti akan meninggalkan anda.[2]
Hal ini sejalan dengan sebuah ungkapan Bugis yang mengatakan:
“Iyamua na sirappa warangparange nasaba rialai pallawa siri’, narekko siri’ ba’na
lao, sungena-tu na ranreng” atau aiymua na sirp wrpreG nsb rialai plw siri nerko
siri bn lao sueGntu n rer.
Artinya:
Sesungguhnya harta benda itu dicari dan disediakan untuk menjadi penutup malu,
jika kita dipermalukan maka harta benda sudah tidak ada artinya lagi, maka yang
akan bicara adalah mayat-nyawa.[3]
Buku La Toa/ltoa artinya Yang Tua. Tetapi, arti sebenarnya ialah Petuah-
Petuah. Berisi sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hampir semua isi La Toa/ltoa ini
erat hubungannya dengan peranan siri’/siri dalam pola hidup atau adat istiadat
Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup). Misalnya:
1) Mate Siri’/met siri (Orang yang sudah hilang harga dirinya atau
kehormatannya)
2) Siri’/siri sebagai harga diri atau kehormatan
3) Mappakasiri’/mpksiri (dinodai kehormatannya)
4) Ritaroang Siri’/ritroaGi (ditegakkan kehormatannya)
5) Siri’ Emmi ri Onroang ri Lino/siri eami ri aoroa ri lino (hanya jika ada
nilai siri’, maka hidup ini memiliki makna)
6) Pa’sampo Siri’/psopo siri (penutup malu)
7) Tomasiri’na/tomsirina (keluarga pihak yang dinodai kehormatannya)
8) Parakai Siri’nu/prkai sirinu (jaga kehormatanmu)
9) Mase’di Siri’/msEdi (bersatu dalam siri’/siri)
10) Mate ri Siri’na/met siri (mati dalam siri’/sir atau mati dalam kehormatan)
Siri’/sir dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap tidak serakah
(Mangowa/mGow) dan Siri’/sir sebagai prinsip hidup (pendirian) di daerah Bugis-
Makassar.
E. Sikap Mental Suku Bugis-Makassar
Sikap mental atau pandangan hidup orang Bugis-Makassar pada umumnya,
sama dan serasi atau sejalan dan tali-temali dengan sikap mental orang-orang
Makassar, karena berdasarkan kisah awal mula kelahiran kedua suku ini (Bugis-
Makassar), adalah satu. Yakni berasal usul dari satu sumber rumpun (leluhur).
Dikisahkan dalam Lontara/lotr, bahwa di Sulawesi-Selatan ada tiga buah
kerajaan besar. Yakni Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Pandangan orang-orang Bugis-Makassar terhadap siri’/siri dan masalah
penyelesaian siri’/siri itu, hakekatnya sama saja. Begitu pula masalah-masalah
adat-istiadat sebagai warisan leluhur yang bersumber dari satu rumpun.
Orang-orang suku Bugis-Makassar yang pada umumnya berwatak keras dan
konsekuen dijiwai oleh manifestasi sikap-sikap yang berpolakan semboyan:
a) Eja tompi na doang atau eaj topi n doa.

Arti hafiahnya “merah baru disebut udang”.


Manifestasi dari sikap Eja tompi na doang atau eaj topi n doa yakni watak
yang keras (konsekwen pada pendirian atau sikap), bertindak lebih dahulu resiko
itu “soal belakang”. Menggambarkan bahwa “emosi” lebih menonjol ketimbang
rasionya. Hal ini erat kaitannya dengan masalah sendi-sendi siri’/siri yakni
manakalah rasa ketersinggungan kehormatan, maka hal tersebut berarti siri’/siri.
Siri’/siri adalah kebanggaan atau keagungan harga diri. Bagi orang suku Bugis-
Makasar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk menjunjung tinggi adat
istiadatnya yang di dalamnya terpatri sendi-sendi siri’/siri. Manakalah harga diri
tersebut disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek siri’/siri, maka
diwajibkan bagi yang tertimpa siri’/siri itu untuk melakukan aksi (perlawanan),
baik berupa aksi seseorang maupu aksi kelompok masing-masing.

b) Kualleanga tallanga na towalia atau kuaela tlG n toalia.


Artinya:
1. Lebih ku pilih tenggelam dari pada kembali ke pangkalan.
2. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup menanggung malu.
Orang-orang Makassar dalam hal mencapai tujuan berpegang pada
semboyan “Kualleanga tallanga na towalia” atau kuaela tlG n
toalia memanifestasikan bahwa orang-orang Bugis-Makassar itu tabah menghadapi
tantangan hidup, cobaan yang datang bertubi-tubi menimpa.
c) Punna tena Siri’nu panaiki Paccenu.
Artinya:
Jika anda kehilangan kehormatan atau harga diri, maka pertahankanlah rasa
kemanusiaan dan kesetiakawananmu, tunjukkanlah kesetiaan untuk itu.
Memanifestasikan bahwa orang-orang Makassar itu mempunyai sikap loyalitas
yang mendalam, memiliki sikap setia kawan yang sukar dihianati dan memiliki
sifat-sifat tahu membalas budi, yakni berbudi luhur.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang-orang suku Bugis-Makassar itu
memiliki sifat-sifat:
1) Berwatak keras (konsekwen pada sikap pendirian)
2) Tabah menghadapi tantangan perjuangan hidup dan tawakkal menerima
permasalahan yang timbul.
3) Setia kawan dan loyalitas.
Namun untuk permasalahan siri’/siri orang Bugis-Makassar tidak pernah
mengenal kompromi, seperti kata orang Makassar, “Bawaku-ji akkaraeng, badikku
tena nakkaraeng” atau bwkuji akrea bdiku etn nkrea artinya “hanya untuk Mulutku
yang mengucapkan tuan, member penghormatan, tapi kerisku tak kenal siapa
kau”, yakni dalam perkara siri’. Karena apabila nipakasirika /nipksirik yakni na
pelakkanga siri’ku/neplkG siriku artinya menyinggung kehormatanku, membuat
aku kehilangan malu/harga diri dan martabat, maka “badikku tidak mengenal
tuan” artinya senjata tidak mengenal merek, atau tidak pandang bulu.
Contoh kasus:
Di kabupaten Jeneponto sebuah Bus Mini (bus umum) sedang lewat di jalan
raya. Seorang laki-laki tiba-tiba muncul di tepi jalan raya dan menahan oto (mobil)
tersebut dengan harapan bahwa keluarganya dua orang wanita dapat di beri
tempat di bus mini itu. Tetapi karena bus mini itu ternyata penuh sesak
penumpang, maka penumpang dari Jeneponto itu … sangat menyesal tidak dapat
dilayani oleh sang sopir bus mini itu. Kenyataannya sang sopir itu berselang
beberapa hari kemudian dikeroyok berdarah, dengan alasan mappakasiri’/mpksiri,
terjadilah penebusan siri’/siri dengan darah pula.
F. Makna Siri’ na Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar
1. Siri’ atau siri
a. Menurut Bahasa
Kata Siri’/siri, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”.
Sedangkan Pacce/pec (Bugis: Pesse/epsE) dapat berarti “tidak tega” atau
“kasihan” atau “iba”.
Andi Rasdiyanah mengutip Shelly Errington berpendapat bahwa Siri’/siri pada
orang Bugis mengandung unsur penting, yaitu harga diri dan malu.[4]
Jadi malu dan harga diri tidak dapat dipisahkan yang terdapat pada diri
seseorang.
b. Menurut Istilah
Istilah (terminologi) Siri’/siri dapat didekati dari sudut makna menurut
bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural. Dari hasil penelitian ahli-
ahli ilmu sosial dapat diketahui bahwa konsep Siri’/siri itu telah diberi interpretasi
yang bermacam-macam menurut lapangan keahlian dari para ahli masing-masing.
[5]
1) Menurut Koentjaraningrat mengutip Salam Basjah memberi tiga pengertian
kepada konsep Siri’/siri itu ialah; malu, daya pendorong untuk membinasakan
siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, atau daya
pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin.
2) Christian Pelras mengutip Hamid Abdullah dalam bukunya “Manusia Bugis-
Makassar” bahwa dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, Siri’/siri merupakan
unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu pun nilai yang paling
berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari pada Siri’/siri.
Bagi manusia Bugis-Makassar, Siri’/siri adalah jiwa mereka, harga diri dan
martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan membela Siri’/siri yang
dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar
akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwa yang paling berharga demi
tegakknya Siri’/siri dalam kehidupan mereka.[6]
3) Siri’/siri adalah rasa malu yang mendorong sifat untuk memberi hukuman moril
atau membinasakan bagi yang melakukan pelanggaran adat terutama dalam soal
atau masalah perkawinan.
c. Makna Kultural
Menurut makna kultural, dalam seminar tentang Siri’/siri yang
diselegarakan oleh Universitas Hasanuddin tahun 1977 telah dirumuskan
definisi Siri’/siri yaitu sebagai sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang
merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu
dan sebagai anggota masyarakat.[7] Makna kultural kata Siri’/siri baru dapat
dihayati secara komprehensif manakala diamati dari sisi keberadannya sebagai
sistem nilai budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan
yaitu Bugis, Makassar, Tator dan Mandar.
Menurut Abu Hamid orang Bugis-Makassar di pedesaaan menekankan sikap
moral yang sangat tinggi, perilaku seseorang dinilai mengandung moral bilamana
memiliki enam sifat, seperti, Malempu/melpu (jujur), ada tongeng/ad
toeG (berkata benar), getteng/eget (keteguhan hati), Siri’/siri (rasa
malu), amaccang /amc (kepintaran), dan makkareso/mkerso (berusaha). Sikap
kehendak yang merupakan etos dibarengi dengan sikap mental dan prilaku yang
baik menjadi jembatan bagi anugerah Tuhan.[8]
Nilai-nilai tersebut terangkum dalam adat istiadat yang dianggapnya luhur
dan suci mempengaruhi keseluruhan perilakunya. Apabila ada diantaranya yang
mencoba melanggar salah satu adat, maka ia akan memperoleh sangksi sosial yaitu
berupa pemencilan.[9]
Dari berbagai pandangan tersebut di atas tentang makna Siri’/siri maka
dapat disimpulkan bahwa Siri’/siri adalah etos kultur, prinsip hidup atau pendirian
masyarakat yang melekat pada sistem nilai yang berimplikasi dalam sistem budaya,
sosial dan kepribadian seseorang atau suatu masyarakat. Bagi masyarakat Bugis-
Makassar, Siri'/siri mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran,
larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga
dan mempertahankan diri dan kehormatannya.
Struktur Siri’/siri dalam Budaya Bugis-Makassar mempunyai empat
kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’/siri ripksiri, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’/siri
mpksiri siri, (3) Siri’ Tappela’ Siri/siri tepl siri (Bugis: Teddeng Siri’/tEed sirii), dan
(4) Siri’ Mate Siri’/met siri.
Keempat struktur Siri’ tersebut
maka Pacce/pec (Makassar) atau Pesse/epsE (Bugis) menduduki satu tempat,
sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ na
Pacce/siri n pec.
1) Siri’ Ripakasiri’/siri nipksiri.
Siri’ Ripakasiri’/siri melp adalah Siri’/siri yang berhubungan dengan harga
diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’/siri jenis ini
adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah
nyawa.
Contoh:
a. Membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki
maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan
(gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
b. Kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau
keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na/sirin) wajib untuk
menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah
harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Keyakinan orang Bugis-Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena
menegakkan Siri’/siri, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut
sebagai Mate Risantangi/met ristGii atau Mate Rigollai/met rigolai, yang artinya
bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Itulah
sejatinya kesatria.
Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman penjajahan dahulu tidak
bisa mengerti mengapa orang Bugis-Makassar begitu bangga dan secara kesatria
mengakui di depan persidangan pidana bahwa dia telah melakukan pembunuhan
berencana, meski diketahuinya bahwa ancaman pidananya sangat berat jika
dibandingkan dengan pembunuhan biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan
sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP). Secara logika, memang orang lain
tidak dapat mengerti hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan
maknaSiri’/siri yang sesungguhnya.
Pentingnya menjaga Siri’/siri untuk kategori Siri’ Ripakasiri’/siri ripksiriii,
simaklah falsafah berikut ini:
“Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako
kaniakkangngami angga’na olo-oloka”. atau sirikji nnimt atls ri linoa pun etn sirinu
metmko kniakGmi agn aolo aolok.
Artinya:
Hanya karena Siri’/siri kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada
maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada
binatang.
2) Siri’ Mappakasiri’siri’ atau siri mpksiri siri.
Siri’/siri jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis
disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’” atau nerko dEgg sirimu
aiREKo siri artinya kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang
masih memiliki rasa malu (Siri’/siri). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka
siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri” atau nerko aEK sirimu aj mupksiri siri artinya,
kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat.
Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-malu
atau malu hati.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri serta
hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang
keberhasilan orang-orang Bugis-Makassar di perantauan.
Motivasi oleh semangat siri’/siri sebagaimana ungkapan orang Makassar:
“Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi tallanga na
towaliya” atau tkujuG bGu turu nku guciri guliku kuaelaGGi tlG n towliy.
Artinya:
Begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke
mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik
haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar
terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.
Siri’ Mappakasiri’siri’/siri mpksiri siri juga dapat mencegah seseorang
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama,
adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan
kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat yaitu:
“Mali’ siparampe, malilu sipakainga” atau mli siprPE, “Pada idi’ pada elo’ sipatuo
sipatokkong” atau pd aidi pd ealo siptuao siptoko dan “Pada idi pada elo’ sipatuo
sipatottong” atau pd aidi pd ealo siptoto.
Artinya:
Ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah
maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung
terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib
untuk memperingatkan dan meluruskannya.
3) Siri’ Tappela’ Siri’/siri tepl siri (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’/siri tEEed
siri (Bugis)
Siri’ Tappela’ Siri’/siri tepl siri (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’/siri
tEEed siri (Bugis) artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu
hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk
membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk
menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah
ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si
berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan
dirinya sendiri.
Orang Bugis-Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’/siri,
ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri
untuk membayarnya.
4) Siri’ Mate Siri’ atau siri met siri.
Siri’/siri yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang
Bugis-Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya
sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak
akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang
hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat.
Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di
Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat.
Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak
serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap
harinya.
2. Pacce atau pec (Bugis: Pesse atau epsE)
Pacce/pec atau Pesse/epsE adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut
oleh masyarakat Bugis-Makassar. Pacce lahir dan dimotivasi oleh nilai
budaya Siri’/siri (malu).
Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat
malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’/siri) tersebut dibuang
dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu saat, manakala orangtuanya
mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak
pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat anaknya menderita.
Punna tena siri’nu pa’niaki paccenu atau pun etn sirinu pniaki pecnu.
Artinya
meski anda marah karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika
melihat anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu
(Paccenu/pecnu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.
Pacce/pec dalam pengertian harfiahnya berarti “pedih”, dalam makna
kulturalnya pacce/pec berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut
prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce/pec adalah
perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dapat
merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-
Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce/ pec diarahkan keluar dari dirinya,
sedangkan siri’/siri diarahkan ke dalam dirinya. Siri’/siri dan pacce/pec inilah yang
mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai
“motor” penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem
sosialnya.[10]
F. Kesimpulan
"Inti budaya siri' na pacce/siri n pec itu bukan cuma berkaitan pernikahan.
Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri' na
pacce/siri n pec itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar".
Siri' na pacce atau siri n pec, juga berfungsi mencipatakan hubungan
harmonis serta melahirkan kerukunan antar sesama, baik dalam relasi antar-
individu, kelompok maupun kemasyarakatan. Konsep itu, berkaitan erat dengan
saling menghargai atau sipakatau/sipktau atau sipakalabbiri/sipklbiri (Makassar).
Intinya, budaya siri' na pacce/siri n pec mengarahkan manusia untuk saling
menghargai dan menghormati harga diri masing-masing, serta saling mengasihi dan
menyayangi.
G. Saran
Mengingat urgensi konsep siri’ na pacce/siri n pec dalam kontruksi
Sulawesi Selatan, khususnya pada masyarakat Bugis-Makassar, maka perlu untuk
ditelusuri dan dikaji ulang secara mendetail khazanah tersebut dengan
memanfaatkan pendekatan emik (orang dalam) untuk mengkaji secara proporsional
dan obyektif aspek-aspek historis yang melekat pada konsep tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anshoriy, Nasruddin, Anregurutta Ambo Dalle Maha Guru dari Bumi Bugis. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2009.
Hamid, Abu, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1994.
http://maulanusantara.wordpress.com/Friskawini«Imbasa, Makna Siri’ Na
Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar…...htm, 3 Desember 2012.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2010.
Moen MG, A. Menggali Nilai-Nilai Budaya Siri’ na Pacce Bugis Makassar. Ujung Pandang:
Yayasan Makassar Press, 1994.
Pelras, Christian, Manusia Bugis, Oxford Inggris: Blackwell Publisher Limited, terj. Abdul
Rahman Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok. Jakarta: Penerbit Nalar, 2006.
Rasdiyanah, Andi, Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem Syari’at sebagai
Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa. Yogyakarta: Disertasi IAIN
Sunan Kalijaga, 1995.

[1]Azimat berarti barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan


dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit dan
sebagainya.
[2]A. Moen MG, Menggali Nilai-Nilai Budaya Siri’ na Pacce Bugis
Makassar (Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press, 1994), h. 9.

[3]Mustari Idris Mannahao, The Secret Of Siri’ na Pesse (Makassar: Pustaka


Refleksi, 2010), h. 2.
[4]Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem
Syari’at sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa (Yogyakarta:
Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, 1995), h.147.

[5]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:


Djambatan, 2010), h.279.
[6]Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Penerbit Nalar, 2006), h.251

[7]Nasruddin, Anregurutta Ambo Dalle Maha Guru daru Bumi


Bugis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), h. XXII.

[8]Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 260-261.
[9]Pemencilan dalam artian ini yaitu tidak ada orang bergaul atau
membantunya jika ditimpa kesusahan atau berupa pengusiran keluar kampung.
Sanksi pembunuhan sering terjadi kalau orang yang melanggar itu berkisar pada
masalah Siri’. Abu Hamid, ibid., h. 30.

[10] http://maulanusantara.wordpress.com/ Friskawini « Imbasa, Makna


Siri’ Na Pacce’ di Masyarakat Bugis-Makassar…...htm, 3 Desember 2012.
Sobat sedang membaca artikel tentang Konsep Siri' Na Pacce dan sobat bisa
menemukan artikel Konsep Siri' Na Pacce ini dengan url http://irwan-
adab.blogspot.com/2013/12/konsep-siri-na-pacce_2.html, sobat boleh menyebar
luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Konsep Siri' Na Pacce ini sangat
bermanfaat bagi teman-teman sobat, namun jangan lupa untuk meletakkan
link Konsep Siri' Na Pacce sebagai sumbernya. Trims
POSTED IN: MAKALAH,SEJARAH
- See more at: http://irwan-adab.blogspot.com/2013/12/konsep-siri-na-
pacce_2.html#sthash.MexAm7dP.dpuf
LEARN TO LOVE
Senin, 04 Maret 2013
SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR:
Perspektif Filsafat Sejarah

A. Prolog
Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini senantiasa
akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis-
Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan
berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran
tentang nilai Siri’ na Pacce ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan
eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah
satu kekhawatiran banyak pihak termasuk penulis sendiri, sehingga harus dikaji
kembali agar kedepannya nilai falsafah ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan
serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar.
Sebuah dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat
Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang
lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap
manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang
menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka
setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis-Makassar memiliki
orientasi yang mampu menghadapi apapun (Moein, 1990: 12).
Jika nilai ini kemudian dilihat dari sudut pandang filsafat sejarah, maka akan
ditemukan bahwa hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat
Bugis-Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang”
(dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan). Artinya
bahwa nilai ini sejatinya telah dirumuskan di masa lalu oleh para tetua dan kaum
adat masyarakat Bugis-Makassar.
Siri’ sendiri merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam
masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral. Begitu sakralnya kata itu,
sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau de’ni gaga siri’na, maka tak
ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-
Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang).
Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup). Untuk orang
Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada
menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’)
mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari
pada hidup tanpa Siri’.
Sedangkan Pacce sendiri merupakan sebuah nilai falsafah yang dapat dipandang
sebagai rasa kebersamaan (kolektifitas), simpati dan empati yang melandasi
kehidupan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat jika ada seorang
kerabat atau tetangga atau sorang anggota komunitas dalam masyarakat Bugis-
Makassar yang mendapatkan sebuah musibah, maka dengan serta merta para
kerabat atau tetangga yang lain dengan senang hati membantu demi meringankan
beban yang terkena musibah tadi, seolah bagi keseluruhan komunitas tersebut,
merekalah yang sejatinya terkena musibah secara kolektif.
Jika dipandang dari sudut pandang kesejarahan, hal ini sejatinya telah ada
dimasa lampau. Hal tersebut terlihat dari apa yang telah digambarkan dalam
lontara yang berisi petuah-petuah orang terdahulu, bahwa sikap siri’ na pacce ini
merupakan sikap yang menjadi penyangga bagi keberlangsungan kehidupan
masyarakat Bugis-Makassar (Pelras, 2006: 32).
Kemudian jika dibawa ke dalam ranah kajian filsafat sejarah, maka sejatinya
akan ditemui bagaimana nilai-nilai dari Siri’ na Pacce itu sendiri menggambarkan
kehidupan ketika hal tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian masa
kini dan rencana masa depan yang lebih baik dengan berpedoman pada nilai
falsafah tersebut. Artinya bahwa dalam konsep nilai tersebut ada hal yang biasa
disebut sebagi filsafat sejarah spekulatif. Dimana dalam filsafat sepkulatif
sendiri terdapat suatu perenungan filsafati mengenai tabiat dan sifat-sifat
proses sebuah sejarah (Ankersmit, 1987: 17).
Salah satu yang menarik ketika melihat nilai falsafah yang ada dalam masyarakat
Bugis-Makassar ini dan secara umum dalam konteks kehidupan masyarakat
Sulawesi Selatan ke dalam kacamata filsafat sejarah, maka akan ditemukan
unsur etika atau moralitas yang mengisi perjalanan kehidupan masyarakat
tersebut. Sebab, nilai yang terkandung dalam nilai falsafah ini, sejatinya selain
berbicara tentang pola hidup yang seharusnya dalam perjalanan sejarah
masyarakat Bugis-Makassar, juga mengandung unsur etika dan estetika atau seni
dalam kehidupan yang harus dipraktekkan oleh masyarakat Bugis-Makassar dari
generasi ke generasi.
Menariknya lagi, bukannya ingin mempersamakan, jika hal ini dilihat dari
kacamata kebudayaan, nilai falsafah yang ada dalam kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar ini hampir mirip dengan semangat bushido yang dimiliki oleh para
samurai Jepang secara khusus dan masyarakat Jepang secara umum. Nilai
bushido sendiri dalam kerangka pikir masyarakat Jepang merupakan sebuah kode
etik atau sistem etika yang telah menyatu dalam segala aspek kehidupan dan
budaya masyarakat Jepang (samurai Jepang), mulai dari sistem filsafat dan
kepercayaan spiritual, tatacara hidup, kehidupan keluarga, pakaian, pekerjaan,
selera estetika, hingga cara mereka mereka mengibur diri atau berekreasi (Boye
de Monte, 2009:17).
Untuk itu, sebagai sebuah prolog dalam makalah ini, sejatinya kedua nilai ini yang
sebelumnya telah dikatakan sebagai dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga
bagian yang tak terceraikan, jika dilihat dalam kacamata filsafat sejarah,
utamanya sudut pandang filsafat sejarah spekulatif, maka akan ditemui beberapa
hal yang menyangkut kedua nilai falsafah ini yang telah ada di masa lalu dan
menggambarkan masa depan yang telah menjadi masa kini, yang selanjutnya bagi
penulis sendiri dicoba untuk menganalisa dan melihat atau lebih tepatnya
meramalkan masa depan, utamanya kehidupan masyarakat Bugis-Makassar,
dengan menggunakan kedua nilai ini sebagai sebuah pijakan dasar dalam melihat
perkembangan masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawsei Selatan secara umum.
B. Beberapa Persoalan Pokok Dalam Falsafah Hidup Siri’ Na Pacce
Jika ditinjau dari aspek harfiahnya, siri’ dalam masyarakat Bugis-Makassar
dapat diartikan sebagai rasa malu. Namun jika ditinjau dari sisi makna sejatinya,
sebagaimana telah diungkapkan dalam lontara La Toa yang berisi petuah-petuah,
siri’ dapat dimaknai sebagai harga diri atau kehormatan, juga dapat diartikan
sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah terhadap kehidupan duniawi (Andi
Moein MG, 1990: 10). Sedangkan makna pacce dapat diartikan sebagai rasa
simpati yang dalam konsep masyarakat Bugis-Makassar merupakan rasa atau
perasaan empati terhadap sesama dan seluruh anggota komunitas yang terdapat
dalam masyarakat tersebut (Andaya, 2004: xv).
Artinya bahwa, kedua nilai yang mendasari perwatakan masyarakat Bugis-
Makassar ini, sejatinya merupakan sebuah cerminan hidup dan etika hidup dalam
bermasyarakat. Sehingga dapat pula dikatakan, kedua nilai ini merupakan
kerangka teori hidup yang dipegangi sebagai sebuah falsafah dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat, yang dalam perjalan sejarah masyarakat Bugis-
Makassar penuh dengan berbagai intrik kehidupan sosial politik di dalamnya, yang
mau tak mau menjadikan nilai ini sebagai sebuah sandaran atau pegangan hidup
dalam hal norma atau tatakrama kehidupan masyarakatnya.
Sejatinya, kedua falsafah ini memiliki nilai-nilai turunan tersendiri yang
kemudian bagi generasi pelanjut, memiliki peran dan pengaruh yang penting dalam
menjalani kehidupannya. Namun ada baiknya pertama-tama dilihat dulu nilai yang
terkadung dalam kedua nilai tersebut, dimana telah dikatakan sebagai dua hal
yang meski berbeda namun tidak dapat dipisahkan.
Nilai yang paling utama yang terkandung dalam falsafah siri’ sebagai uraian yang
pertama adalah rasa malu dan harga diri. Dimana ketika konsep nilai falsafah ini
disebutkan, maka serangkaian kesan akan timbul dalam pikiran masyarakat yang
berasal dari alam bawah sadar ke-nalar-an mereka, yang berhubungan dengan
sebab, akibat, serta sanksi-sanksi sosial yang bersifat tradisional yang
terkandung dalam nilai dari konsep tersebut (Andaya, 2004: 8). Sehingga tanpa
mengatahui secara mendalam mengenai persoalan ini, terkadang orang yang
berasal dari luar komunitas masyarakat Bugis-Makassar atau bahkan anggota
komunitas masyarakat tersebut yang tak memahami konsep tersebut secara
utuh, apalagi tidak memahami konsekuensi yang dihasilkan dari konsep nilai ini,
maka akan timbul sebuah anggapan yang biasa saja atau bahkan menyepelekan
persoalan tersebut.
Sejatinya, pengetahuan masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawesi Selatan secara
umum atas sumber-sumber ajaran dari konsep nilai ini, telah ada dan tertuang
dalam lontar-lontar Bugis-Makassar yang berisi tentang petuah-petuah (paseng)
tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya. Diantara hal-hal
yang tertuang dalam lontar (lontara’) masyarakat Bugis-Makassar tersebut, ada
lima perkara atau pesan penting yang disebutkan didalamnya yang diperuntukkan
bagi generasi pada saat itu dan generasi yang selanjutnya dan sangat diharapkan
untuk senantiasa dipegangi dan ditegakkan dalam kehidupan. Kelima hal tersebut,
sebagaimana yang dicatat oleh Andi Moein MG (1990: 17-18) adalah:
- Manusia harus senantiasa berkata yang benar (ada’ tongeng).
- Harus senantiasa menjaga kejujuran (lempu’)
- Berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian (getteng)
- Hormat-menghormati sesama manusia (sipakatau)
- Pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae)
Jika melihat pesan-pesan diatas, maka sejatinya yang sangat dituntut dari nilai
falsafah siri’ ini adalah menyangkut etika atau tata krama dalam pergaulan dan
menyangkut persoalan kedirian (jatidiri) seseorang. Sebab jika dilihat lagi lebih
dalam, maka sejatinya harga diri dan rasa malu seseorang akan senantiasa
terjaga jikalau senantiasa menjaga dan memegangi kelima pesan diatas, utamanya
dalam pola pergaulan dan komunikasi dengan sesama manusia. Untuk itu, para
tetua masyarakat Bugis-Makassar terdahulu sangat menekankan pesan-pesan
tersebut guna tetap menjaga kelangsungan atau eksistensi masyarakat Bugis-
Makassar agar apa yang disebutkan dalam epos Lagaligo maupun dalam lontara’
yang lain sebagai zaman sianre-anre bale taue (yang dalam masyarakat barat
dikenal sebagi homo homini lupus), itu dapat dihindarkan.
Mengenai persoalan sianre-anre bale taue ini, yang dalam lontara’ masyarakat
Bugis-Makasssar merupakan dampak yang paling buruk dari ketidakterjagaaan
prinsip dari nilai siri’ tersebut, secara harfiah dapat diartikan sebagai ketika
orang-orang mulai bertindak seperti ikan yang saling memakan sesamanya.
Artinya bahwa, sebagaimana persoalan seperti ini juga ada dalam masyarakat
Indian kuno yang berupa kata-kata metafor yang bagi mereka disebut sebagai
matsyanyaya atau logika ikan (Lingat dalam Andaya, 2004: 390), ketika zaman itu
datang, maka manusia akan turun derajatnya tak lebih rendah lagi dari derajat
binatang, sehingga manusia sendiri akan seperti berada pada sebuah penghujung
zaman yang dengan serta merta telah kehilangan perasaan terhadap tugas
alaminya sebagai seorang manusia.
Dari pemaparan diatas, jika menggunakan sedikit pendekatan relasional, maka
sejatinya terdapat unsur filsafat sejarah spekulatif dalam permasalahan
tersebut. Dimana telah dikatakan bahwa dalam lontara’ masyarakat Bugis-
Makassar telah disebutkan hal-hal tersebut, yang bukan hanya sebagai sebuah
ramalan namun dapat menjadi sebuah kenyataan, jika manusia telah kehilangan
pegangan terhadap petuah-petuah (paseng) tetua terdahulu yang merupakan
unsur pegangan dalam menjaga nilai falsafah siri’ tersebut sebagai sebuah harga
diri dan rasa malu itu sendiri.
Intinya bahwa, dengan menaati kelima petuah-petuah (paseng) tersebut, yang
dalam hal ini merupakan sendi dari falsafah siri’ tersebut, maka masyarakat
Bugis-Makassar diharapkan akan dapat menjadi manusia yang berguna dari
generasi ke generasi. Sehingga tercipta suatu hal yang disebut sebagai sebuah
pembangunan manusia seutuhnya. Sebagaimana telah diwasiatkan dalam petuah-
petuah tersebut bahwa senantiasa mengutamakan kejujuran, tidak munafik,
perkataan sesuai dengan apa yang dilakukan, tidak menipu atau memperbodoh
sesama manusia dan setia pada keyakinan yang dimilikinya. Namun yang
terpenting, utamanya dalam konteks kekinian dan masa yang akan datang, adalah
tidak tergiring oleh pengaruh-pengaruh negatif dari situasi yang timbul kemudian
seiring dengan perkembangan zaman, saling menghormati dan menghargai sesama
manusia atau masyarakat yang terdapat dalam lingkungan dimana ia hidup.
Jadi, jelaslah bahwa kelima pesan tersebut yang dijadikan pegangan oleh
masyarakat Bugis-Makassar merupakan ciri tersendiri, terutama dalam hal
penilaian antar sesama manusia, bagi manusia yang memiliki harga diri dan rasa
malu (siri’). Sehingga jikalau kelima sendi pembangun dari nilai falsafah tersebut
kemudian hilang dalam kehidupan, maka sejatinya dalam perspektif masyarakat
Bugis-Makassar, manusia tersebut telah kehilangan harga dirinya (de’ gaga
siri’na) yang menjadikannya ibarat bukan lagi sebagai seorang manusia. Sebab
dalam kehidupan manusia, yang menjadi tolak ukur kemanusiaannya adalah
perbuatan atau perangainya. Sehingga jika hal tersebut telah mencapai pada
titik yang dimaksud sebagai kehilangan kediriannya maka dalam masyarakat
Bugis-Makassar, manusia tersebut dinamakan rapang-rapang tau atau tau-tau
(orang-orangan atau boneka).
Kemudian yang terpenting juga untuk digarisbawahi adalah nilai dari falsafah siri’
ini sejatinya (sekali lagi) mengandung ajaran budi pekerti dalam arti yang sangat
mendalam. Sebab hal tersebut merupakan hakekat kehidupan yang sangat
prinsipil bagi masyarakat Bugis-Makassar yang notabene sebagai pewaris dari
falsafah siri’ tersebut. Sehingga dengan demikian manusia tersebut dapat dinilai
sebagai seorang manusia yang sejati jika telah memahami dan mempraktekkan
falsafah ini dengan berbagai unsur pembentuk di dalamnya atau dengan kata lain
manusia tersebut memiliki siri’ (harga diri dan rasa malu).
Kemudian, uraian yang kedua dari falsafah ini adalah menyangkut tentang nilai
yang terkandung falsafah pacce atau pesse. Secara harfiah dapat diartikan
sebagai rasa solidaritas yang dimiliki masyarakat Bugis-Makassar dalam berbagai
hal, baik suka maupun duka. Lebih luas lagi, dalam Andaya (2004:xv) yang
menyadurnya dari berbagai naskah lontara’ Bugis-Makassar bahwa pacce/pesse
adalah rasa simpati yang dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar juga
mencakup perasaan empati terhadap sesama anggota kelompok komunitas
masyarakatnya.
Artinya, dapat dikatakan bahwa unsur nilai yang terdapat dalam falsafah pacce
ini adalah menyangkut rasa kebersamaan yang tinggi. Dimana dalam komunitas
masyarakat Bugis-Makassar yang paling diutamakan adalah rasa kebersamaan
atau kolektifitas dalam berbagai hal.
Unsur nilai yang lain yang diturunkan dari falasafah pacce ini adalah nilai
semangat kesetiakawanan dan loyalitas atau kesetiaan terhadap sesama manusia.
Hal ini terlihat jelas dalam pepatah Bugis-Makassar yang berbunyi taro ada’ taro
gau’ (satu kata satu perbuatan), yang dimaksudkan sebagai sebuah simbol
loyalitas terhadap apa yang menjiwai masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri
dalam bertindak.
Unsur ini juga terlihat dalam ungkapan lontara’ masyarakat Bugis-Makassar yang
tercatat dalam Pelras (2006: 58) bahwa jika anda telah kehilangan harga diri
atau kehormatan, maka pertahankanlah rasa kemanusiaan yang anda miliki dengan
menegakkan kesetiakawanan dan menunjukkan kesetiaan (loyalitas) yang ada
dalam dirimu (punna tena nia’ siri’nu panaiki paccenu). Sekali lagi hal ini
memperlihatkan bagaimana dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar tersebut
senantiasa mendahulukan hal-hal kolektif (umum) daripada persoalan pribadi yang
dimilikinya.
Selain itu, pernyataan diatas juga mengandung makna bahwa masyarakat Bugis-
Makassar itu sendiri memiliki sikap loyalitas dan solidaritas yang sangat
mendalam, memiliki sikap setia kawan yang sukar untuk dikhianati atau ditukar
dengan apa pun, semisal dalam sebuah persoalan yang mengandung ekses-ekses
dalam persoalan ini, yang dengan serta merta dapat menimbulkan unsur-unsur ini
kemudian. Lebih konkritnya ialah hal ini merupakan manifestasi dari wujud
kehidupan masyarakat Bugis-Makassar yang senantiasa tahu untuk membalas
kepercayaan seseornag yang diberikan kepadanya atau bentuk dari balas budinya
terhadap apa yang telah diberikan kepadanya, sehingga hal ini secara tidak
langsung juga menyentuh sendi-sendi kehidupan yang mengutamakan budi yang
luhur dalam segenap persoalan yang dilakoni dalam kehidupan.
Yang menarik dalam persoalan pacce ini, dalam kesehariannya, terkadang sering
ditemui dalam masyarakat Bugis-Makassar, sejak zaman dahulu sampai sekarang,
perasaan untuk senantiasa tolong menolong antar sesama manusia yang tanpa
disadari oleh masyarakat itu sendiri. Apalagi jika dalam konteks tersebut atau
orang yang ditolong kemudian adalah orang yang pernah menolong orang tersebut
sebelumnya, maka bagi masyarakat Bugis-Makassar, hal tersebut telah menjadi
kewajiban baginya untuk menolong orang tersebut, sebagai bentuk dari
kesetiakawanan dan ucapan terima kasihnya terhadap orang tersebut yang
pernah menolongnya sebelumnya. Hal ini sejatinya dalam lingkup kehidupan
manusia secara umum adalah sebuah kewajaran sebagai seorang manusia
menolong manusia lainnya karena dia masih memiliki rasa kemanusiaan itu sendiri,
atau dengan kata lain, salah satu sisi dari kehidupan manusia, dari sudut pandang
etika, adalah tahu berterima kasih dan membalas budi terhadap orang yang telah
berbuat baik terhadap dirinya.
Dalam pengertian lain juga, nilai falsafah pacce ini mengadung unsur rasa sakit
yang mendalam yang akan dialami oleh masyarakat Bugis-Makassar jikalau ada
anggota dalam kelompok komunitasnya yang mengalami sebuah musibah, yang bagi
orang yang terkena musibah tersebut merupakan sebuah hal yang tidak dapat
dipikulnya lagi. Sehingga bagi masyarakat lain yang ada dalam komunitas
masyarakat tersebut akan merasakan hal yang sama, ibaratnya dialah yang
terkena musibah itu, yang dengan serta merta memunculkan sebuah pemahaman
untuk tidak bersenang-senang ketika ada yang terkena musibah semacam itu
(Moein, 1990: 36). Bahkan lebih jauh, hal itu juga merupakan bentuk siri’ dari
masyarakat tersebut yang senantiasa harus dijaga agar konsep memanusiakan
manusia itu tetap ada.
Persolan seperti ini, dapat dilihat dalam sebuah syair dalam lontara’ masyarakat
Bugis-Makassar (Dinas pariwisata dan kebudayaan kab. Gowa, 2010: 11) yang
berbunyi: angngasseng tonja labba boyo; pacce tanaebba lading; tena garringku;
namalantang pa’risikku (aku nikmati tawarnya labu; pedis tak tergores pisau; aku
tak merasakan atau menderita sakit; namun betapa pedihnya terasa menusuk
jauh ke dalam lubuk hati). Secara umum, syair ini menunjukkan rasa pedih yang
mendalam (pacce) yang dirasakan oleh masyarakat secara kolektif ketika ada
seorang anggota kelompok komunitasnya menderita atau mengalami sebuah
musibah, apalagi musibah yang dimaksud adalah menyangkut persoalan siri’ yang
sebelumnya telah diterangkan dengan panjang lebar.
Intinya bahwa, persoalan pacce ini mengandung semangat kebersamaan yang
tercermin dari kesetiakawanan (solider) dan sikap yang setia (loyalitas) yang
digambarkan dalam berbagi aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Lebih
jauh lagi, falsafah pacce ini juga sejatinya memberikan pemaknaan bahwa dalam
kehidupan manusia yang harus selalu diutamakan adalah persoalan kolektifitas,
dimana dalam persoalan ini, hal-hal yang berbau pribadi harus terlebih dahulu
disingkirkan.
Kemudian, falsafah pacce ini juga mengandung unsur nilai yang dapat diartikan
sebagai sesuatu yang memilukan atau menyakitkan, dimana ketika ada anggota
komunitas masyarakatnya mengalami sebuah musibah, apalagi musibah yang
dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut persoalan siri’, maka dengan serta
merta masyarakat tersebut akan merasakan juga kepedihan yang dirasakan oleh
orang tersebut sebagai bentuk daripada semangat kolektifitasnya dalam
kehidupan bermasyarakat. Tapi yang paling terpenting dari hal itu adalah adanya
rasa simpati dan empati yang diwujudkan dalam perilaku yang senantiasa
menjunjung tinggi rasa kebersamaan yang ada sebagai sebuah bentuk kehidupan
masyarakat yang berbudi dan beretika yang tinggi, guna mencerminkan sebuah
kehidupan yang nyata bagi orang yang ada di luar komunitas mereka dan yang
terpenting dapat dicontoh oleh orang lain, sebagaimana pesan-pesan yang
diberikan oleh para tetua terdahulu masyarakat Bugis-Makassar ini.
C. Historisitas Dalam Falsafah Siri’ na Pacce
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dalam persoalan siri’ na pacce
ini, terdapat unsur kesejarahan atau lebih tepatnya unsur filsafat sejarah di
dalamnya yang menyangkut filsafat sejarah spekulatif. Dimana telah diterangkan
sebelumnya bahwa nilai dari falsafah ini semuanya berasal dari petuah-petuah
masa lalu (paseng) yang menggambarkan bagaimana sejatinya dan seharusnya
masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri dalam menjalani kehidupannya.
Filsafat sejarah spekulatif sendiri, dalam instrumennya, mencari struktur dalam
yang terkandung dalam proses sejarah secara keseluruhan. Dimana filsafat
sejarah spekulatif merupakan suatu perenungan filsafati mengenai tabiat atau
sifat-sifat proses sejarah (Ankersmit, 1987: 17). Untuk itu, dalam melihat
historisitas dalam falsafah siri’ na pacce yang terdapat dalam masyarakat Bugis-
Makassar ini, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang telah direnungkan oleh para
pendahulu masyarakat Bugis-Makassar dalam melihat sejarah kehidupan setelah
mereka kelak. Hal tersebut juga dimaksudkan agar keberlangsungan dari sejarah
hidup masyarakat ini tetap terjaga.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para tetua masyarakat Bugis-Makassar
tersebut memberikan rambu-rambu terhadap manusia-manusia yang hidup
setelah mereka, utamanya dalam menjalani kehidupannya sebagai sebuah
masyarakat yang kolektif. Telah dikatakan sebelumnya bahwa dalam pola
kehidupan individu maupun kelompok masyarakat tersebut, yang mesti
diutamakan adalah mengenai etika dan akal budi serta semangat kebersamaan
yang di dalamnya mencakup tentang kesetiakawanan dan kesetiaan (loyalitas).
Sebab tanpa hal-hal tersebut, mustahil sebuah kehidupan yang baik dan maju
akan dicapai dengan mudah. Yang terpenting juga adalah apa yang diramalkan
dalam berbagi lontara’ yang terdapat dalam masyarakat Bugis-Makassar sebagai
zaman sianre-anre bale taue itu terhindarkan. Utamanya dalam konteks
kehidupan yang akan datang, ketika manusia tak lagi memiliki kesadaran kolektif
yang dibangun atas asas dari falsafah siri’ na pacce itu sendiri.
Yang menarik adalah ketika mengkaji persoalan siri’ na pacce ini melalui ruang
historisitas, akan ditemukan berbagai pesan-pesan tentang masa depan yang
mesti dialami oleh masyarakat Bugis-Makassar jika tak lagi memegangi falsafah
siri’ na pacce tersebut sebagai laku hidup atau magnum opus dalam kehidupannya.
Hal ini terlihat dari pesan Kajaolalido (La Mellong) yang merupakan seorang
pemikir dan negarawan di masanya bahkan semasa dengan Machiavelli menurut
W.S Rendra, bahwa senjata terkuat apapun tidak akan pernah mengalahkan
kekuatan persatuan dan kesatuan yang kokoh dalam sebuah masyarakat. Apalagi
jika hal tersebut senantiasa didasari dari nilai pangedereng dan nilai siri’ na
pacce/pesse, maka semuanya pasti dapat dihadapi dengan mudah (Moein, 1990:
26).
Begitupun ketika melihat dan menelaah apa yang terdapat dalam potongan atau
kepingan lontara’ berikut yang berpesan tentang aturan yang mesti ditegakkan
dalam masyarakat Bugis-Makassar yang hidup dalam sebuah negeri, mulai hari ini
dan seterusnya. Bunyi dari kepingan lontara’ tersebut adalah: “eppa’i solangi
wanuae: ngowae, napadde’i siri’e; gau’ mawatangnge, allajangngi assi sarromase-
mase rilaleng wanuwa; mabelle peru’e, belaiwi gau’ tongetongengnge ri wanuae iya
ngowae riala modala’ sapuripale’ cappa’na; iya cekoe riala modala’ sukkara wale’na.
Naita lempu’e riala modala’ atuwong wale’na, alampereng sungae cappa’na; naiya
gau’ sitanajaya riala modala’ cenning rara wale’na, naddimunriwi deceng, nacappaki
assalamakeng”, artinya bahwa empat hal yang dapat merusak kampung atau
daerah: keserakahan, menghilangkan rasa malu; kekerasan, melenyapkan perasaan
kasih mengasihi di dalam kampung; kecurangan, memutuskan hubungan
kekeluargaan sekeluarga; tega hati, menjauhkan perbuatan benar di dalam
kampung. Kalau keserakahan dijadikan modal, kesulitan akibatnya; kalau
kejujuran dijadikan modal, kehidupan akibatnya panjang umur; dan kalau sikap
kewajaran (kepantasan) yang dijadikan modal, kecemerlangan diiringi kebaikan
dan diakhiri dengan keselamatan (Moein.1990: 27-28).
Hal diatas, jelas merupakan sebuah gambaran untuk generasi hari ini dan
generasi yang akan datang dalam menjalani kehidupannya. Segala hal tersebut
harus dijadikan sebagai panglima dalam melakukan setiap hal, agar kerusakan dan
kehancuran dalam masyarakat dapat dihindarkan. Selain itu, hal ini juga
menunjukkan, bahwa betapa para pendahulu tersebut, memiliki semacam sasmita
(pandangan tentang masa depan) dan visi ke depan tentang kehidupan manusia
setelah mereka, yang dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan
zaman yang terus maju sebagaimana hakikat zaman itu sendiri yang senantiasa
berproses ibarat sebuah roda, kadang di atas dan kadang di bawah.
Selain itu, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengenai hal spiritualitas
dalam kerangka masyarakat Bugis-Makassar, bahwa senantiasa pasrah pada
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae), yang berarti
bahwa dalam hal keyakinan, masyarakat Bugis-Makassar dan Sulawasei Selatan
secara umum, harus senantiasa berpegang teguh pada prinsip atau keyakinan
terhadap Yang Maha Kuasa, yang tak memiliki tandingan dan Maha Penentu
segala-galanya. Sehingga selanjutnya menimbulkan sebuah implikiasi dasar dalam
praktek keagamaan atau spritualitas masyarakat Bugis-Makassar untuk
senantiasa patuh dan taat kepada Tuhan yang telah menciptakan manusia sebagai
bentuk rasa syukur atas karunia kehidupan yang telah diberikan oleh-Nya.
Terakhir, sebagai sebuah acuan dasar dalam melihat aspek historisitas dalam
permasalahan siri’ na pacce yang terdapat dalam masyarakat Bugis-Makassar ini,
penulis ingin menyampaikan sebuah amanah yang diamanahkan oleh Puang ri
Manggalatung, seorang cendekiawan pada zaman kerajaan Bugis-Wajo, yang juga
sezaman dengan Kajaolalido (La Mellong) dan Machiavelli , terhadap seluruh
generasi masyarakat Sulawesi Selatan agar senantiasa eksis atau terwujud dalam
sejarah kehidupannya. Pesan tersebut, sebagaimana yang dikutip oleh Moein
(1990: xiii), yang arti dalam bahasa Indonesianya berbunyi: “kejujuran dan
kepandaian adalah hal yang paling baik ditanamkan pada diri setiap masyarakat,
sebab hal itulah juga yang tak pernah akan bercerai dengan Dewata Yang
Tunggal. Yang disebut pandai adalah kemampuan untuk melihat akhir atau akibat
dari perbuatan, dan yang dikerjakannya adalah kebaikan, bilamana dapat
mendatangkan keburukan, maka janganlah pernah untuk dilakukan. Bilamana tidak
baik janganlah hendaknya engkau kerjakan, karena nantinya akan kembali juga
keburukan tersebut kepada dirimu”.

Daftar Pustaka
Andaya,Leonard Y, 2004, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan
Abad ke-17, terj. Nurhadi Simorok, Inninawa, Makassar.
Ankersmit, F.R, 1987, Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern
Tentang Filsafat Sejarah, diIndonesiakan oleh Dick Hartoko, Garmedia, Jakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Gowa, 2010, Transliterasi dan Terjemahan
Lontara’ Makassar (Naskah Makassar).
Mattulada, 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Bhakti
Baru-Berita Utama, Makassar.
Moein, Andi MG, 1990, Menggali Niali-nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na
Pacce, Yayasan Mapress, Makassar.
Monte, Boye de, 2009, Misteri Kode Samurai Jepang, Garailmu, Yogyakarta.
Pelras, Cristian, 2006, Manusia Bugis, terj. Abdul Rahman Abu, Hasriadi, dkk,
Nalar, Jakarta

Oleh :
Muh. Abdi Goncing

Diposkan oleh lentera hati di 20.56

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan


ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar
Posting LamaBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Free Blog Content

Arsip Blog
 ▼ 2013 (3)
o ▼ Maret (3)
 SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT B...

 UNDANG-UNDANG DASAR 1945


 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 20...
 ► 2012 (7)
Nama saya Sumardi Yusuf saya tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.

lentera hati
Lihat profil lengkapku

Sumardi.Yusuf. Template Watermark. Gambar template oleh luoman.


Diberdayakan olehBlogger.

Siri’ Na Pacce
Posted: April 1, 2014 in Makassar

0
1 Vote

Halo gang blogger,,,,,,,,,,,,!!!

sahabat-sahabat blogger pasti sudah mendengar istilah siri` na pacce, siri,


adalah semboyan suku makassar (paentengi siri`nu ) apa itu siri`na pacce……..?

siri`na pacce adalah falsafah suku bugis makassar yang apabila seseorang tidak
mempunyai keduanya,maka orang itu dianggap rendah (seperti binatang)
Secara etimologi, Siri’ berarti: rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce (bahasa Bugis: Pesse)
berarti: rasa kasihan (pedih, perih). Jadi Siri’ na Pacce bisa diartikan sebagai sebuah ajaran
moral masyarakat Bugis-Makassar, yang menganjurkan untuk saling menjaga harga diri satu
sama lain, agar tidak merasa malu atau dipermalukan, serta saling menjaga rasa
kesetiakawanan dalam bermasyarakat, dan tidak mementingkan diri sendiri. Bagi masyarakat
Bugis-Makassar, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak
dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri
dan kehormatannya. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian
sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan. Pacce merupakan sifat belas kasihan
untuk ikut menanggung beban dan penderitaan orang lain. Seperti dalam pepatah: “Ringan
sama dijinjing berat sama dipikul”.
Awal Mula Siri’ na Pacce Menurut Iwata (Peneliti dari Jepang), pada mulanya, siri’ na
pacce merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kawin lari (silariang). Yakni jika sepasang
pria dan wanita kawin lari, maka mereka dianggap telah melakukan perbuatan siri’ dan
membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tunipakasiri’/mate
siri’. Yang selanjutnya berhak menuntut sang pria secara hukum adat untuk
bertanggungjawab karena keluarganya dibawa kabur (silariang). Selama belum melakukan
perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak
perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat,
dengan membawa sang perempuan kembali ke rumahnya yang selanjutnya disebut
a’baji’/battu baji’. Jika ini belum dilakukan, maka status tunipakasiri’/mate siri’ tetap melekat
bagi keluarga perempuan. Namun jika a’baji’ sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari
tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap
sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukuman adat. Tapi sesungguhnya, inti budaya siri’ na
pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang
Bugis-Makassar. Karena, siri’ na pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar.”
Dengan falsafah siri’ na pacce, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka
mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri’ na sacce bukan
hanya di kenal oleh dua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi,
seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan
falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.
Siri’ Berdasarkan jenisnya siri’ terbagi atas 2 yaitu: Siri’ Nipakasiri’ Nipakasiri’ terjadi
apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kewajaran. Maka ia atau keluarganya
harus menegakkan siri’nya (appaenteng siri’) untuk mengembalikan kehormatan yang telah
dirampas. Jika tidak, ia akan disebut “mate siri” atau kehilangan harkat dan martabatnya
sebagai manusia di mata masyarakat. Bagi orang Bugis dan Makassar, tujuan atau alasan
hidup yang tertinggi tidak lain adalah menjaga siri’nya. Mereka lebih memilih mati dari pada
hidup tanpa siri’. Mati karena mempertahankan siri’ biasa disebut “mate nigollai, mate
nisantangngi” yang berarti mati secara terhormat untuk mempertahankan harga diri. Siri’
Masiri’/Appaenteng Siri’ Masiri’/Appaenteng Siri’ yaitu pandangan hidup yang bermaksud
untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri’ itu
sendiri. Konsep inilah yang melahirkan sebuah semboyan “Takunjungang bangung turu’,
nakugunciri’ gulingku, kualleangnga…,tallanga natoalia”. (Jika layar telah terkembang,
kemudi telah terpasang, kupilih tenggelam…, daripada mundur surut ke haluan). Semboyan
tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian
yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini.

Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis)


Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika
seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang
berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya
sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah
ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah
mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’, ketika
berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri untuk
membayarnya.

Siri’ Mate Siri’


Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang
yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman)
sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa
disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma busuk akan
tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-
tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual
beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa
mewarnai pemberitaan media setiap harinya.

Pacce (Bugis: Pesse)


Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat
Bugis/Makassar. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’ (malu). Contoh, apabila
seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga) maka si anak yang telah
membuat malu (siri’) tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu
saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup
terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat anaknya
menderita. Beradasarkan nilai-nilai yang dikandungnya budaya siri’ na pacce terbagi atas 3
yaitu: Nilai Filosofis; Nilai Filosofis dari siri’ na pacce adalah gambaran dari pandangan
hidup orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan yang
meliputi watak orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal,
pemberani dan konstruktif. Nilai Etis; Pada siri’ na pacce terdapat nilai-nilai etis yang
meliputi: teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan, cinta dan
empati. Nilai Estetis; Nilai estetis dari siri’ na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani
yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda alam hewani
Penerapan Etos Siri’ na Pacce Saat Ini Penetrasi besar-besaran budaya global melalui jalur
globalisasi, telah membawa banyak perubahan di seluruh penjuru dunia. Ditambah lagi
dengan besarnya pengaruh kekuatan ekonomi (economic power) negara-negara maju. Hal ini
menempatkan negara berkembang termasuk Indonesia pada posisi yang serba sulit untuk
menghindarinya. Satu-satunya jalan adalah mengantisipasinya, Indonesia harus bisa
meminimalisir efek negatif yang ditimbulkan dari globalisasi. Untuk mewujudkan hal
tersebut, dibutuhkan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan.
Pemuda Indonesia yang notabene adalah pemimpin dan pemilik masa depan bangsa ini,
seharusnya memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka. Karena, pemuda Indonesia kini adalah
pemuda yang sudah terlalu jauh dari akar budaya mereka. Mereka sudah terlalu dalam
terkontaminasi oleh pengaruh negatif globalisasi. Dengan adanya siri’ na pacce, pemuda akan
lebih peka merasakan segala macam persoalan yang sedang melanda bangsanya. Mereka juga
akan malu melihat keadaan negaranya serta malu jika ia hanya berdiam diri dan tidak berbuat
apa-apa untuk bangsanya. Pemimpin yang memiliki siri’ na pacce dalam dirinya, akan
memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana. Pemimpin yang memegang
teguh prinsip ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik karena mereka memiliki
rasa peka terhadap lingkungan sekitar. Mereka dapat mendengarkan aspirasi orang-orang
yang mereka pimpin. Hal ini sangat sejalan dengan konsep negara kita yaitu negara
demokrasi. Meskipun etos siri’ na pacce berasal dari masyarakat Bugis-Makassar, namun
etos ini sangat bisa diterima secara nasional. Karena di berbagai daerah Indonesia juga
terdapat etos atau pandangan hidup yang hampir sama dengan konsep siri’ na pacce. Ada
wirang yang hidup di masyarakat suku Jawa, carok pada masyarakat suku Madura, pantang
pada masyarakat suku di Sumatera Barat, serta jenga pada masyarakat suku di pulau Bali.
Kesemua pandangan hidup dari berbagai daerah tersebut memiliki kesamaan konsep dengan
siri’ na pacce, yaitu malu jika keadaan suku atau bangsa mereka tidak lebih baik dari suku
atau bangsa lain. Kesemua konsep pandangan hidup tersebut menanamkan nilai-nilai luhur
tentang semangat serta keberanian tanpa melupakan rasa lembut hati sebagai
penyeimbangnya.

posting by heeryl http://heeryl.wordpress.com

Bagikan ini:

 Twitter
 Facebook
 Google

Lingkar Politika Institut


24 September 2012 ·

Korupsi dan Budaya Siri’ Pacce


Oleh : Arman Syarif
(Penanggungjawab Wacana Politik, Hukum dan HAM Pappasang Institute Makassar)
Setelah membaca Harian Fajar edisi 11, 14 dan 21 Desember 2009 tentang
penghargaan korupsi, betapa malunya penulis bersama dengan rekan-rekan guru
sebagai warga Sulsel. Bahwa menurut temuan Bappenas dan ICW, dari 86 kasus
korupsi dengan jumlah tersangka 217 orang, sebanyak 26 kasus atau 30,2 persen di
antaranya terjadi di Sulsel, sehingga Sulawesi Selatan dikategorikan sebagai provinsi
terkorup se-Nusantara. Padahal baru saja sebagian besar masyarakat Indonesia
pada umumnya dan masyarakat Sulsel pada khususnya secara massif menyatakan
perang melawan korupsi melalui peringatan hari antikorupsi se-dunia pada tanggal 9
Desember 2009 lalu.
Penghargaan ini tentu merupakan pukulan besar bagi rakyat Sulsel. Penghargaan
yang begitu memalukan ini sudah semestinya menggugah nurani para penegak
hukum untuk lebih serius menindaki para pelaku korupsi. Atau setidaknya
penghargaan ini sudah mampu membangkitkan kesadaran kritis masyarakat Sulsel
untuk senantiasa melakukan kontrol atas kinerja lembaga-lembaga publik di daerah
ini. Betapa ‘bijak’ dan ‘baiknya’ kita jika terus merelakan uang yang disetor ke
negara lewat pajak ternyata tidak digunakan untuk membangun kemaslahatan
bersama tetapi harus dinikmati oleh segelintir orang dengan cara yang melawan
hukum.
Mengutip pandangan Ikhwan Fahroji dkk (2005) bahwa salah satu faktor eksternal
penyebab terjadinya korupsi ialah lemahnya pengawasan oleh masyarakat atas
institusi publik. Sementara Ian McWalters, mengemukakan bahwa masyarakat
seharusnya tidak hanya menerima korupsi itu salah secara sosial dan merugikan
sektor ekonomi, tetapi mereka juga harus menyadari akan adanya konsekuensi
bersalah secara individual bahwa mereka sebenarnya terlibat didalamnya. Dengan
demikian akan lahir sebuah kesadaran bahwa korupsi merupakan kejahatan yang
luar biasa (extra ordinary crime) yang memiliki dampak yang luar biasa pula, baik
terhadap kemanusiaan, kemaslahatan dan kemajuan sebuah bangsa.
Budaya Siri na Pacce
Apalagi masyarakat Sulsel masih dikenal begitu kental budaya siri dan paccenya.
Selain sudah menjadi tuntunan agama dan norma hukum, semestinya dengan
budaya siri’ dan pacce itu sudah mampu menuntun dinamika pergaulan hidup Bugis-
Makassar dalam seluruh segmen kehidupan untuk selalu menampilkan sisi dan
kualitas kemanusiaan yang terbaik tanpa terkecuali di lingkup pemerintahan.
Dalam buku yang berjudul Siri’ ; Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis – Makassar
(1995), Laica Marzuki menyatakan bahwa secara harfiahnya (‘leksikal’)-dalam
bahasa Bugis-Makassar siri’ berarti rasa malu. Lebih lanjut Laica Marzuki
menjelaskan, siri’ sebagai suatu sistem nilai sosiokultural dan kepribadian yang
merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu
dan anggota masyarakat.
Sementara budayawan Ishak Ngeljaratan sering mendefinisikan pacce atau pesse
sebagai kepekaan diri (sense), rasa solidaritas, rasa perikemanusiaan yang
menuntut seseorang untuk berempati atau memiliki kepedulian sosial. Dari budaya
pacce atau pesse-lah melahirkan nilai dan konsep sipakatau (saling memanusiakan) ,
sipakala’bere’ (saling menghargai) dan sipakainga’ (saling mengingatkan).
Kini, dengan santernya pemberitaan media massa tentang penghargaan korupsi atas
provinsi Sulsel maupun maraknya perilaku korupsi di berbagai daerah, seolah-olah
telah menghancurkan seluruh bangunan tata nilai dan kearifan budaya lokal
tersebut. Menjungkirbalikkan keluhuran makna budaya siri’ dan pacce. Martabat
kedaerahan kita (Sulsel) seolah-olah telah direndahkan, dihinakan, dan
dipermalukan hanya karena ulah tangan segelintir orang yang juga adalah simbol
kedaerahan, padahal ‘mereka’ telah diberikan amanah dan kepercayaan oleh rakyat
untuk mengurusi hajat hidup orang banyak.
Khusus di daerah penulis sendiri (Jeneponto), terkadang ada rasa malu yang
muncul. Setiap saat media massa di daerah ini selalu memberitakan tentang korupsi
yang terjadi di lingkup institusi pemerintahan. Misalnya tentang temuan BPK-RI
beberapa bulan lalu akan adanya indikasi penyelewangan anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) Jeneponto untuk tahun anggaran 2008 sebesar Rp. 99 Milliar
(Fajar, 03/11/09). Atau tentang kasus korupsi pembebasan lahan pembangunan
Waduk Kareloe kecamatan Kelara yang merugikan negara sebesar Rp. 5 Milliar, yang
sampai saat ini para terpidana belum dieksekusi sekalipun telah ada keputusan
hukum yang tetap dari Mahkamah Agung.
Bias Makna Siri’ na Pacce
Semestinya kita berbangga sebagai generasi Bugis-Makassar bahwa para leluhur kita
meninggalkan sebuah ajaran atau budaya yang begitu luhur. Sekalipun demikian
pada konteks ke kinian, dalam prakteknya keluhuran nilai budaya siri’ dan pacce
tersebut banyak mengalami degradasi, pergeseran atau bias makna. Dalam amatan
penulis, setidaknya ini terjadi karena beberapa faktor eksternal.
Pertama, mengalami degradasi dan pergeseran makna disebabkan oleh arus
modernisasi dan globalisasi. Seseorang dengan mudahnya menjadi sangat
individualistik, misalnya menjadi orang kaya yang kehilangan kepedulian (pesse) di
tengah masyarakat yang masih banyak miskin. Seorang pejabat negara dengan
tanpa rasa malu (siri’) melakukan praktek korupsi di tengah kehidupan rakyatnya
yang masih dililiti kesusahan.
Kedua, seringkali seseorang yang memiliki jabatan tertentu dalam sebuah instansi
(termasuk pejabat pemerintahan) yang miskin akhlak atau kejujuran
menyalahartikan konsep siri’ dan pacce/pesse. Karena tidak mau dikucilkan dan
direndahkan ‘martabatnya’ dalam lingkungan keluarga dan kelompoknya, tak sedikit
para pemegang kuasa berpikir untuk menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya.
Misalnya dengan melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sekalipun demikian, penulis tetap berkeyakinan bahwa konsepsi budaya siri’ dan
pacce/pesse adalah bagian dari budaya Bugis-Makassar yang begitu luhur yang
senantiasa harus dirawat dan dihidupkan. Terutama di tengah gempuran arus
globalisasi yang banyak membawa nilai destruktif bagi tatanan hidup orang timur.
Dalam hal ini mencakup budaya, etika, moral, dan norma.
Yang paling penting adalah kita bisa merefleksikan ulang makna siri’ dan
pacce/pesse sebagai bagian dari budaya lokal yang mengandung nilai-nilai kebaikan
dan kebenaran universal yang tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat geografis maupun
ikatan primordial kedaerahan. Sebuah budaya (jika tidak ditafsirkan secara kaku dan
sempit) bisa mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kemaslahatan hidup, baik
bagi kehidupan pribadi seseorang maupun bagi kehidupan sosial kemasyarakatan
(temasuk dalam konteks kenegaraan).
Sebuah budaya yang mampu menuntun manusia agar senantiasa berbuat baik dan
benar pada diri dan realitas sekitarnya. Misalnya, bisa menuntun diri seorang pejabat
pemerintahan daerah untuk senantiasa berbuat yang terbaik (pacce) terhadap
rakyat dan daerahnya. Malu (siri’-siri’ki) ketika daerah yang dipimpinnya tertinggal
dari daerah lain. Malu ketika daerah yang dipimpinnya dipojokkan oleh daerah lain
sebagai daerah yang tinggi tingkat kemiskinan dan penganggurannya. Malu ketika
dikenal oleh daerah lain sebagai daerah yang paling rendah pelayanan publiknya.
Malu ketika disebut oleh daerah lain sebagai daerah yang tinggi tingkat korupsinya.
Semoga saja demikian. Wallahu a’lamu bisshawab.
Suka · Komentari
 Lingkar Politika Ins

Mengintegrasikan Kearifan Budaya Lokal Khususnya Budaya Siri’ Na Pacce dalam Dunia
Perpajakan

Penulis : Ahmad Akbar

Kebudayaan merupakan unsur penting bagi sebuah bangsa. Identitas suatu bangsa
dapat dilihat dari sejarah kebudayaannya. Ini dilihat dari berbedanya budaya antar
suatu bangsa dengan bangsa lain yang menampakkan ciri khas dan keunikan
tersendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah
kebudayaannya. Indonesia adalah suatu negara dengan kebudayaan yang sangat
kaya dan variatif. Sejarah kebudayaan bisa kita pelajari dari naskah yang diwariskan.
Dengan perjalanan waktu dan zaman banyak peninggalan bersejarah yang hilang,
rusak bahkan terlupakan.

Selain itu, dengan melihat kondisi bangsa seperti sekarang, iklim berbudaya nyaris
terlupakan dengan munculnya permasalahan bangsa di beberapa aspek kehidupan.
Apalagi dalam situasi perekonomian, masalah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kosentrasi masyarakat lebih terfokus berpolitik, supremasi hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM), perekonomian global daripada berbicara melestarikan sejarah dan
budaya bangsa. Oleh karena itu, mengintegraikan nilai budaya ke dalam pengelolaan
dan pengembangan pilar utama pembangunan ekonomi nasional, yakni perpajakan
merupakan hal yang patut diperhatikan.

Direktorat Jenderal Pajak mendapatkan perhatian yang tinggi dan sorotan tajam dari
masyarakat atas kasus korupsi yang berulang kali terjadi pada lembaga tersebut.
Contoh sejumlah kasus mafia pajak yang mencuat dalam dua tahun terakhir yang
menyita perhatian publik di antaranya:

1. Gayus Tambunan (mantan pegawai Ditjen Pajak) dengan kasus penyalahgunaan


wewenang saat menangani keberatan pajak Rp. 570,92 juta. Memiliki rekening
dengan dana Rp. 25 miliar. Jumlah dana dan transaksi tidak sesuai dengan
pekerjaannya. Gayus divonis dengan hukuman 7 tahun penjara oleh PN Jakarta
Selatan (19/1/2011).

2. Bahasyim Assifie (mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak


Jakarta VII) dengan kasus menerima Rp 1 miliar dari wajib pajak dan pencucian
uang atas harta Rp 60,82 miliar dan USD 681.000. Memiliki dana hingga Rp 70 miliar
di rekening pribadi. Jumlah dana transaksi tidak sesuai dengan pekerjaannya.
Bahasyim divonis dengan hukumanc10 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan
(3/2/2011).

3. Dhana Widyarmika (mantan pegawai Ditjen Pajak) dengan kasus menerima


gratifikasi Rp 2,75 miliar dari PT Mutiara Virgo. Dhana Widyarmika terbukti memiliki
12 rekening di 7 bank dengan aliran dana hingga Rp 97 miliar pada salah satu
rekening. Sejumlah aliran dana bersumber dari tiga wajib pajak. Dhana Divonis
dengan hukuman 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor (9/11/2012).

4. Tommy Hindratno (mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor


Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo) dengan kasus menerima Rp 280 juta terkait
restitusi pajak PT Bhakti Investama,Tbk. Transaksi dilakukan di sebuah rumah
makan di Tebet, Jakarta. Uang suap sebesar Rp 280 juta. Tommy Hindratno divonis
dengan hukuman 3,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta (18/02/2013).

5. Pargono Riyadi (Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Pajak)


dengan kasus melakukan pemerasan kepada wajib pajak dengan nilai ratusan juta
rupiah. Transaksi dilakukan di Stasiun Gambir, kurir menyerahkan uang Rp 25 juta
yang dibungkus tas plastik di lorong stasiun. Proses hukuman masih berjalan
(10/4/2013)

6. Eko Darmayanto dan Mohamad Dian Irwan (penyidik di Direktorat Jenderal pajak
pada kantor Wilayah Jakarta Timur) dengan kasus menerima uang SGD 300.000
atau sekitar Rp 2,3 miliar dari PT The Master Steel dalam operasi tangkap tangan
pegawai pajak di halaman terminal III Bandara Soekarno Hatta (15/05/2013).
Proses hukum masih berjalan.
Terakhir, penetapan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada kasus keberatan pajak PT
BCA menjadi penambah fakta empiris terkini atas asumsi bahwa patgulipat antara
wajib pajak dan aparat pajak masih banyak dipraktikkan. Kasus itu juga menegaskan
kembali modus yang sudah diyakini kebenarannya bahwa pengemplangan dan
penggelapan pajak bisa terjadi hanya karena orang dalam ikut berperan serta secara
aktif dalam membantu upaya busuk itu. Hadi Poernomo yang menjabat Dirjen Pajak
periode 2002-2004 bersama-sama dengan pihak BCA diduga merugikan negara Rp
375 miliar.
Citra pengelolaan perpajakan yang mulai memburuk diakibatkan kasus-kasus mafia
pajak dapat memengaruhi kepatuhan rakyat untuk membayar pajak. Kalau
pemimpin nomor satu pada institusi pengumpul pajak saja memiliki kinerja yang
demikian sarat dengan moral hazard, bagaimana dengan aparat pajak di bawahnya
dalam menjalankan tugas sehari-hari ? Tidaklah adil bila kita menggeneralisasi kasus
Hadi Poernomo itu dengan asumsi bahwa semua aparat pajak ialah penilap. Kita
yakin bahwa masih ada aparat pajak yang bersih dan jujur. Kita pun percaya bahwa
aparat pajak yang baik jauh lebih banyak daripada yang busuk.

Manajemen pengelolaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini hanya
sebatas pengelola. DJP tidak menerima uang pajaknya karena uang pajak langsung
disetor lewat Bank sesuai dengan nilai SPT wajib pajak, jadi dari mekanisme ini
sangat meminimalisir adanya celah pengkorupsian uang pajak oleh oknum pegawai
pajak lagi.
Jika diamati perkembangannya, berbagai tantangan dalam perkembangan
perpajakan ke depan yang akan semakin kompleks menghadapkan kita untuk
mengoptimalkan potensi kearifan budaya lokal khususnya budaya siri’ na pacce yang
terintegrasi di dalam pengelolaan dan pengembangan perpajakan. Budaya malu atau
lebih dikenal dengan budaya siri’ na pacce di Sulawesi Selatan yang sebenarnya
telah mendarah daging dan menjadi falsafah hidup Bugis Makassar. Namun pada
saat ini, masyarakat lebih cenderung mengikuti budaya modernitas yang mengarah
ke sifat pragmatis dalam berusaha termasuk juga di dalamnya melupakan
perpajakan yang memiliki visi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan umum.
Falsafah hidup siri’ na pacce ini mengandung makna yang sangat
dalam. Siri’, menurut pakar ilmu sejarah dan budaya yakni Prof. Mattulada,
mengajarkan tentang moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak, dan
kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan
mempertahankan kehormatan diri. Solusi dalam pengelolaan dan pengembangan
perpajakan yang berhubungan langsung dengan peningkatan profesionalisme dan
manajemen perpajakan ini sangat sejalan dengan kondisi masyarakat yang ada di
Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan terutama masyarakat Makassar yang
memiliki falsafah hidup, yaitu budaya siri’. Nilai budaya dan falsafah budaya siri’ ini
juga dapat menjadi suatu kearifan lokal ( local wisdom) bagi masyarakat Makassar,
karena ia mampu berfungsi sebagai problem solving dalam setiap masalah yang
muncul, salah satunya mengenai pengelolaan dan pengembangan perpajakan yang
mengandung unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dapat memperburuk citra
perpajakan.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil
sebagai konsep pembentukan hukum nasional, dimana dalam falsafah ini betapa
dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap
sesama – bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-
348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan
hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat), maka konsep lokal lebih bernilai
humanis dan universal.
Oleh karena itu, pengelolaan dan pengembangan perpajakan dengan
mengoptimalkan potensi kearifan budaya lokal khususnya budaya siri’ yang
terintegrasi akan memberikan kesadaran untuk mengatasi lunturnya nilai-nilai
budaya serta nilai-nilai dan semangat perperpajakan yang berusaha untuk
mewujudkan dan mengambangkan perekonomian nasional untuk terwujudnya
kesejahteraan sosial. Budaya siri’ ini menjadi solusi efektif untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang timbul akibat perubahan zaman yang mendera setiap
pelosok dunia. Kesadaran mengenai pentingnya membayar pajak serta pengelolaan
perpajakan yang didasari dengan falsafah hidup budaya siri’ na pacce, maka
partisipasi dan kontribusi aktif dari masyarakat dalam dunia perpajakan menjadi hal
yang akan terus digalakkan bersama.
Dengan adanya siri’ na pacce dalam diri setiap lapisan masyarakat melalui sosialisai
dan pembinaan yang berkelanjutan dari Direktorat Jenderal Pajak maupun institusi
pendidikan yang ada, maka masyarakat akan merasa malu bila tidak bisa
berkontribusi maksimal dalam terwujudnya Indonesia yang sejahtera termasuk di
dalamnya berkontribusi aktif dngan membayar pajak dalam terwujudnya cita-cita
mulia perpajakan untuk berperan serta secara aktif dalam upaya meningkatkan
distribusi pendapatan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kemajuan dunia
perpajakan akan mengokohkan perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan
ketahanan perkonomian nasional. []

Anda mungkin juga menyukai