Anda di halaman 1dari 4

Belajar dari Sejarah Perjuangan

Bangsa

Susanto Zuhdi
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

DIDIE SW

Separah apakah sesungguhnya keindonesiaan telah terkoyak


sehingga tak kurang Ketua MPR Zulkifli Hasan mengajak kita
untuk ”menjahit kembali” tenun bernama Indonesia?
Dalam perspektif historis, keindonesiaan merupakan nilai
sekaligus karakter yang berproses dan dibentuk oleh dinamika
sejarah perjuangan bangsa dalam membebaskan diri dari
belenggu penjajahan asing. Meskipun tidak benar bangsa
Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, untuk mencapai
kemerdekaan memang perlu waktu lama dan penuh derita
dengan pengorbanan jiwa dan raga para pahlawan bangsa.
Untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa
Indonesia, harus melalui revolusi dan perang menghadapi
beberapa bangsa asing. Dalam catatan sejarah pasca-Perang
Dunia II, hanya sedikit bangsa yang merebut kemerdekaannya
dari kekuasaan asing melalui perang, termasuk Indonesia. Di
Asia Tenggara hanya dapat dibandingkan dengan Vietnam. Tak
hanya menghadapi Belanda yang telah lebih lama
mencengkeramkan kolonialismenya, juga terhadap pemerintah
militer Jepang dan bahkan pasukan Inggris, yang ditugasi
Sekutu melucuti Jepang.
Di beberapa tempat, tidak sedikit perlawanan pemuda dalam
merebut persenjataan dari tangan tentara Jepang. Berkaitan
dengan perlawanan terhadap Inggris, tidak hanya tercatat
dalam pertempuran di Bojongkokosan, Sukabumi, pada 19
Desember 1945, bahkan bulan sebelumnya terjadi ”Pertempuran
Surabaya” yang meletus 10 November. Peristiwa ini yang justru
dijadikan ”Hari Pahlawan”. Ini menarik karena yang diambil
bukan dari peristiwa pertempuran melawan Belanda, yang telah
bercokol lama sebagai penjajah.
Pelajaran Sangat Berharga
Meskipun penjajahan Belanda di Indonesia dimulai pada abad
ke-19, ketika suatu pemerintahan kolonial Hindia Belanda
dijalankan, akar-akar penjajahan sesungguhnya sudah ada pada
masa VOC. Kongsi dagang bangsa Belanda yang berdiri pada
awal abad ke-17 dan beraktivitas di Nusantara ini bertujuan
mendapat keuntungan yang sebesar-be- sarnya dengan berbagai
cara.
Ingatan kolektif bangsa agaknya akan sulit untuk melupakan
hongie-tochten, suatu pelayaran pembakaran pohon cengkeh di
Kepulauan Maluku dan genosida di Banda. VOC merupakan
kongsi dagang yang diberi hak octrooi, yaitu hak sebuah
organisasi pemerintahan, seperti hak untuk membuat kontrak
atau perjanjian dengan penguasa setempat, memiliki angkatan
perang, dan mengeluarkan mata uang sendiri.
Gemuruh perlawanan dari sejumlah daerah dalam abad ke-17
dan ke-18 sesungguhnya menunjukkan tekad masyarakat untuk
menghapus penindasan akibat praktik monopoli perdagangan
VOC. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dalam abad ke-
19 memberi pelajaran sangat berharga bahwa sifat kedaerahan
dan bergerak secara sendiri-sendiri hanya akan berujung pada
kegagalan. Pengalaman itulah yang mendorong anak bangsa
berjuang dengan cara-cara berorganisasi secara modern,
dilandasi kecerdasan intelektual dan kecerahan nurani.
Pentingnya nilai dan semangat persatuan kemudian terungkap
dari ikrar para pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan
pada 28 Oktober 1928, dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Tak berlebihan jika dikatakan keindonesiaan merupakan
karakter bangsa yang luluh dalam sejarah perjuangan untuk
melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Begitulah seperti
tertera pada alinea ke-2 Pembukaan UUD 1945: ”Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur”. Kata ”bersatu” setelah kata
”merdeka” menunjukkan betapa penting makna ”persatuan”
bagi bangsa Indonesia untuk membentuk negara berdaulat,
sehingga mampu melindungi segenap tumpah darah Indonesia
dan bangsa Indonesia guna mewujudkan keadilan dan
kemakmuran.
Kini setelah lebih dari tujuh dekade bangsa Indonesia
menghirup alam kemerdekaan, sesungguhnya itu barulah secara
politik dan belum sepenuhnya tampak dalam bidang kehidupan
yang lain, seperti aspek-aspek ekonomi dan sosial-budaya.
Perekonomian nasional yang merupakan antitesis dari ciri-ciri
kolonial yang kapitalistik-eksploitatif belum mampu mewujud
seperti yang dicitakan Bung Karno, ”berdiri di atas kaki sendiri”
(berdikari). Sesungguhnya tak hanya dalam aspek ekonomi yang
seharusnya ”berdikari”, tapi juga berdaulat di bidang politik dan
berkepribadian di bidang budaya.
Betapa pun nasionalistiknya, Bung Karno tetap mengingatkan
bahwa nasionalisme Indonesia akan tumbuh subur di taman
sarinya internasionalisme. Bagaimana bangsa Indonesia secara
konsisten dan berani untuk mampu mengamalkan Trisakti-nya
Bung Karno, merupakan tantangan besar. Apalagi di tengah
terpaan globalisasi yang menisbikan batas-batas wilayah
negara, yang notabene mengancam kedaulatan bangsa dan
teritorialnya. Isu-isu terorisme, radikalisme, naiknya air
permukaan laut adalah beberapa contoh dari masalah global
yang harus dihadapi. Ancaman dari dalam negeri sendiri yang
bersifat kelokalan atau kedaerahan menjadi masalah
kebangsaan yang tidak kalah berat untuk diatasi.
Sejarah: Guru Kehidupan ataukah Ketololan Manusia
Lalu bagaimana kini seluruh komponen bangsa ditantang
bukan hanya mampu memahami, melainkan juga menjadikan
sejarah sebagai inspirasi dan motivasi menggerakkan bangsa
untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi. Tantangan ke depan
semakin berat karena masalah ketimpangan sosial-ekonomi dan
ancaman disintegrasi bangsa. Bukankah keberhasilan
perjuangan bangsa dahulu karena dilandasi semangat persatuan
dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai ”rumah bersama”.
Pertanyaannya, bagaimana sejarah dapat jadi guru bagi
kehidupan, seperti dikatakan orang bijak, historia magistra
vitae. Atau justru sinisme Voltaire, yang mengatakan sejarah
adalah tablo ketololan manusia. Dalam kenyataannya kini,
sejarah tidak bergaung atau tidak dipelajari serius karena
bangsa tidak menganggap penting sejarah. Sejarah belum
dijadikan sebagai perspektif bangsa dalam melangkah ke depan.
Sejarah perjuangan bangsa belum dijadikan bahan pelajaran
untuk menjadikan bangsa yang berkarakter.
Ada beberapa aspek yang harus diatasi terkait masalah
bangsa dalam mempelajari sejarahnya dengan tepat. Pertama,
harus berani ”membongkar” kurikulum dan memperbaikinya.
Masih belum jelas pengertian konsep mata pelajaran ”sejarah
wajib” dan ”sejarah peminatan”, apalagi dalam
mempraktikkannya. Belum lagi masalah guru profesional yang
sangat minim, metode yang tepat, kemasan buku dan media
belajar agar menyenangkan.
Berdasarkan data di lapangan, ternyata guru yang dihasilkan
oleh universitas dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) masih jauh mutunya dibanding dari universitas umum
(Kompas, 19/1/2018). Dalam kaitan ini, lulusan pendidikan
sejarah tak menguasai materi yang diajarkan, kecuali cara
mengajar.
Kedua, mendudukkan paradigma yang salah kaprah yang
mengatakan ”bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai sejarahnya”, diganti dengan ”hanya bangsa yang
pandai mengambil pelajaran dari masa lalu patut jadi bangsa
yang besar”. Ungkapan ini memang seperti yang dikatakan
Bung Karno.
Ketiga, memperluas tema keindonesiaan dengan berbagai
aspek: sosial, ekonomi, budaya, dan dengan pendekatan sejarah
lokal untuk menangkap keragaman masyarakat sehingga dapat
memperkokoh keindonesiaan. Keempat, tantangan untuk
sejarawan agar menjadikan ilmu sejarah mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat-bangsa dalam memaknai masa lalu,
memahami masa kini, dan untuk merumuskan visi masa depan.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sebetulnya
telah memperhatikan bahkan menerapkan perspektif sejarah
dalam merumuskan visi-misinya, yakni membangun negara
maritim yang kuat dan mengembalikan bangsa jaya di laut. Kata
”mengembalikan” berarti sesuatu yang pernah terjadi di masa
lampau. Lalu, masalahnya, mengapa yang jaya di laut hanya di
masa lampau. Sebelum adagium Bung Karno dibaca secara
benar dan sebelum mengamalkan Trisakti-nya, maka bangsa ini
sesungguhnya belum mampu belajar dari sejarah.

Sumber: Kompas, 27 Januari 2018

Anda mungkin juga menyukai