Anda di halaman 1dari 257

BAB IV PEMBANGUNAN EKONOMI

1.

UMUM

Dalam Bab ini diuraikan hasil pelaksanaan sampai dengan pertengahan 2004 berbagai kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi menurut Propenas 20002004. Sebagaimana tercantum di dalam Prioritas Pembangunan Nasional, kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi tersebut adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan agenda ketiga Propenas, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Rumusan agenda ketiga tersebut mengambil referensi dari amanat GBHN 19992004 untuk pembangunan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka menengah. Di dalam koordinasi penyelenggaraan Kabinet, agenda ketiga tersebut selanjutnya diterjemahkan kedalam satu program pokok bernama normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat.

Secara umum, pelaksanaan pembangunan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi telah berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi makro yang cukup kuat bagi landasan kebangkitan ekonomi ke depan. Namun demikian, berbagai upaya pembangunan dalam rangka mewujudkan kebangkitan ekonomi masih tersendat karena beratnya permasalahan yang dihadapi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagaimana disadari, krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter tahun 1997 tersebut menampakkan kelemahan fundamental di dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Kelemahan tersebut mengakibatkan banyak distorsi ekonomi yang memperburuk ketahanan ekonomi nasional di saat menghadapi krisis, menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial yang rentan terhadap gejolak, serta menghambat penyebaran pemerataan pembangunan ke berbagai daerah. Sebagai akibatnya, upaya pembangunan ekonomi untuk bangkit dari kondisi krisis menjadi jauh lebih sulit karena dimensi permasalahannya yang cukup kompleks. Selain itu, dengan keterbatasan sumberdaya yang ada, upaya pembangunan ekonomi masih harus berbagi dengan kepentingan program-program pembangunan bidang sosial yang secara tidak langsung juga memiliki keterkaitan seperti program pengentasan kemiskinan dan berbagai bentuk kesenjangan sosial, berbagai program pemeliharaan infrastruktur yang jauh tertinggal sejak timbulnya krisis, penataan kelembagaan pemerintahan untuk penerapan kepemerintahan yang baik (good governance), serta pelaksanaan berbagai program di bidang pembangunan politik yang dewasa ini sangat dinamis. Langkah untuk menciptakan normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat dapat dipandang sebagai satu arah sekaligus komitmen untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi sebagaimana diuraikan di atas. Dalam jangka menengah kali ini (2000 2004), langkah tersebut berkenaan dengan tujuan yang titikberatnya adalah pada upaya: (1) menanggulangi kemiskinan dan berbagai bentuk kesenjangan sosial serta memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, (2) mengembangkan basis perekonomian bagi kelompok usaha skala kecil dan menengah, dan (3) menciptakan serta mempertahankan stabilitas ekonomi dan IV 2

keuangan. Ketiga hal di atas selanjutnya menjadi spirit bagi penyelenggaraan berbagai upaya di dalam rangka membangun sekaligus memperkuat landasan pembangunan ekonomi jangka panjang ke arah peningkatan kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan, yang lebih berdaya tahan dan lebih berkeadilan. Dalam rangka melaksanakan agenda ketiga Propenas, diselenggarakan sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang pada prinsipnya menterjemahkan kebutuhan penyelesaian permasalahan jangka pendek dan jangka menengahpanjang sebagaimana diuraikan terdahulu. Kebijakan dan programprogram pembangunan tersebut dikategorikan ke dalam 7 (tujuh) kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menanggulangi kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Mengembangkan usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi Menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan Memacu peningkatan daya saing Meningkatkan investasi Menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara berkelanjutan

Keseluruhan jumlah programnya sendiri adalah 39 program. Masing-masing kelompok program diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan jangka pendek (1-2 tahun), yang prioritaskan pada program-program percepatan pemulihan ekonomi, mengatasi masalahmasalah kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat, serta permasalahan jangka menengah-panjang yaitu membangun kerangka dasar pembangunan ekonomi yang berkeadilan, berdaya tahan dan berdaya saing tinggi. Pertama: menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah telah secara tegas menetapkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan merupakan IV 3

salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa sasaran yang akan dicapai dalam lima tahun adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin absolut sebesar 4% dari tingkat kemiskinan tahun 1999. Upaya penurunan tersebut dilaksanakan melalui: (1) peningkatan pendapatan masyarakat miskin sehingga masyarakat miskin memperoleh peluang, kemampuan pengelolaan, dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, social budaya, politik dan hokum, (2) pengurangan pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi. Realisasi untuk mewujudkan agenda pemerintah tersebut dalam tahun anggaran 2003, ditangani melalui berbagai sektor yaitu: pendidikan, kesehatan, kemampuan usaha, perlindungan sosial, dan perbaikan kebijakan yang menyangkut kepentingan penduduk miskin. Oleh karena itu, pemerintah tidak akan mampu menangani sendiri maslah kemiskinan tersebut maka pemerintah tetap harus mendorong sektor swasta untuk turut serta dalam penanganan kemiskinan seperti perbankan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat miskin, usaha besar untuk dapat menarik tenaga kerja masyarakat miskin atau melalui kemitraan usaha. Disamping itu pemerintah juga harus memberikan peluang kepada keterlibatan masyarakat luas untuk memberikan perhatian kepada masyarakat miskin seperti jalur perlindungan sosial yang selama ini telah berjalan seperti dompet dhuafa, dll. Dalam pelaksanaannya, berbagai program penanggulangan kemiskinan dihadapkan pada tantangan yang terkait dengan beberapa permasalahan operasional seperti belum adanya sistem pendataan yang akurat dan terintegrasi, ketidaktepatan sasaran, belum berjalannya sistem pemantauan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap berbagai program, lemahnya keterpaduan antar program, masih tersendatnya desentralisasi urusan penanggulangan kemiskinan dan kurang memadainya strategi keberlanjutan yang konkrit. Hal ini terkait dengan belum terpenuhinya prasarat yang ada dalam kebijakan IV 4

penanggulangan kemiskinan yang holistik dan terpadu, yakni: mekanisme koordinasi pengelolaan berbagai program penanggulangan kemiskinan antar sektor maupun antara perdesaan dengan perkotaan, prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dalam perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan, sistem data yang akurat dan terintegrasi serta mudah diakses berbagai pihak terkait, dan sistem pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan. Rencana tindak lanjut untuk mempercepat pengurangan kemiskinan adalah (i) optimalisasi pemanfaatan APBN dan APBD, (ii) penajaman program, (iii) sinkronisasi kegiatan perencanaan, sasaran program, pelaksanaan program, dan pemantauan program langsung penanggulangan kemiskinan, (iv) pelibatan ornop dan perguruan tinggi dalam kegiatan pemantauan, dan (v) percepatan pelaksanaan penyediaan kredit mikro, kecil dan menengah oleh bank atau lembaga keuangan lainnya, serta penyediaan bantuan teknis/program pendampingan dan penguatan kelembagaan, sebagai hasil dari kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia. Ketahanan pangan merupakan hal yang paling esensial untuk menjamin ketahanan nasional. Berkenaan dengan itu, kebijakan pokok pembangunan pertanian adalah kebijakan promosi dan proteksi, yang diarahkan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional yang terutama disandarkan pada produksi pangan dalam negeri, meningkatkan daya saing produk pertanian serta kesejahteraan petani. Kebijakan promosi dilaksanakan melalui berbagai dukungan dan fasilitasi Pemerintah kepada masyarakat untuk mendorong peningkatan produktivitas dan produksi padi dan bahan pangan lainnya, sehingga efisiensi dan daya saing beras di pasar dalam negeri meningkat sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan konsumsi pangan dari produk impor. Dalam jangka pendek, upaya tersebut telah berhasil meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya. Produksi padi dalam tahun 2004 mencapai 53,67 juta ton gabah, yang merupakan angka produksi tertinggi dalam sejarah pertanian Indonesia. Di samping itu, kebijakan proteksi diterapkan untuk melindungi petani dari dampak negatif atas produk impor yang merugikan IV 5

produsen. Dalam hal ini Pemerintah menerapkan kebijakan tarif bea masuk bagi impor beras sebesar Rp 430/kg, dan dalam tahun 2004 telah diterapkan instrumen kebijakan pelarangan impor beras selama periode sebulan sebelum dan dua bulan sesudah masa panen raya, atau dari Januari hingga Agustus 2004. Upaya membatasi impor gula juga dilakukan guna memberikan perlindungan bagi petani tebu karena masih adanya impor gula terutama pada saat musim giling. Kebijakan yang diambil untuk membatasi impor gula tersebut sebagai berikut. Pertama, hanya importir produsen (IP) gula yang boleh mengimpor gula kristal mentah atau gula kasar (raw sugar) dan gula kristal rafinasi (refined sugar). Kedua jenis gula tersebut hanya boleh dipergunakan sebagai bahan baku proses industri yang dimiliki oleh importir produsen gula dan gula impor tersebut dilarang diperjual-belikan ataupun dipindahtangankan. Kedua, impor hanya diperbolehkan jika harga gula di tingkat petani sudah mencapai Rp3.100 per kilogram dan importir yang diperbolehkan adalah perusahaan yang 75 persen bahan bakunya diperoleh dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasamanya dengan petani setempat. Walaupun perekonomian tumbuh sebesar 4,1 persen pada tahun 2003, namun pertumbuhan ekonomi ini masih belum mampu mengurangi jumlah penganggur terbuka sebagaimana yang diharapkan. Pada tahun 2003, jumlah penganggur terbuka yang tidak dapat diserap dalam pasar kerja sebanyak 9,5 juta orang, dengan tingkat pengangguran sebesar 9,5 persen. Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu pada tahun 2003 berjumlah 28,5 juta orang atau sekitar 31,4 persen dari jumlah pekerja keseluruhan. Salah satu upaya untuk perluasan kesempatan kerja adalah pengiriman Tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Namun, pengiriman TKI ini cenderung menimbulkan dilema karena disatu sisi dapat memberikan manfaat bukan hanya dalam bentuk penerimaan devisa saja dan dapat mengurangi jumlah pengangguran, tetapi disisi lain pengiriman TKI ke luar negeri masih banyak mengalami hambatan, bahkan menimbulkan persoalan. Persoalan yang sering IV 6

terjadi karena lemahnya sistem informasi lowongan pekerjaan, kurang berjalannya koordinasi antar instansi, dan lemahnya perangkat hukum menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan lain yang masih mewarnai situasi ketenagakerjaan saat ini adalah suasana hubungan industrial yang belum berjalan secara harmonis. Meningkatnya gejolak unjuk rasa, mulai dari tuntutan terhadap kenaikan upah dan peningkatan kesejahteraan, hingga penolakan terhadap peraturan perundang-undangan, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan belum memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Untuk mengurangi dampak negatif yang timbul, pemerintah berupaya mengerahkan segala potensi yang ada dalam rangka menciptakan kesempatan kerja baru seluas-luasnya. Dalam kaitan itu, setidaknya terdapat 3 aspek kebijakan penting yang dilakukan pemerintah. Pertama, mengupayakan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh permintaan domestik serta ekspor, merupakan sumber perluasan kesempatan kerja. Kedua, percepatan penyelesaian restrukturisasi perusahaan sangat mempengaruhi terhadap pulihnya kegiatan di sektor formal, yang akan mendorong perbaikan upah di sektor informal, yang hingga saat ini masih menyerap sebagian besar angkatan kerja. Ketiga, mendorong perbaikan kegiatan ekonomi dan produktivitas di sektor pertanian, usaha kecil menengah (UKM), serta industri berorientasi ekspor yang menyerap tenaga kerja melalui berbagai kebijakan yang dapat mengurangi hambatan investasi dan perdagangan. Untuk mengurangi permasalahan dalam pengiriman TKI, pemerintah melakukan evaluasi dan menyempurnakan mekanisme pengiriman dengan memberikan pengawasan dan perlindungan bagi TKI yang dilakukan secara lebih optimal. Disamping itu, perbaikan sistim pelayanan dan meningkatkan kerjasama antar instansi terkait dengan pengiriman TKI, terus dilakukan. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004 Propenas 2000-2004 menyatakan perlu dikembangkan suatu sistem dana jaminan sosial untuk mencapai kehidupan yang layak bagi masyarakat, terutama untuk fakir miskin dan anak terlantar. Sistem ini dikembangkan secara IV 7

bertahap untuk menggantikan kegiatan Sistem Jaring Pengaman Sosial yang lebih bersifat darurat selama masa krisis. Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial bertujuan untuk memberikan perlindungan masa depan bagi keluarga dan kelompok masyarakat yang miskin, terkena musibah bencana alam, pemutusan hubungan kerja, serta yang menderita akibat perubahan sosial ekonomi, kecelakaan dan korban kejahatan. Berdasarkan arahan kebijakan tersebut dilaksanakan dua program pokok, yaitu program pengembangan sistem jaminan sosial dan program asuransi sosial. Selama beberapa tahun pelaksanaan Propenas, disimpulkan bahwa dua program pokok di atas, memerlukan penyesuaian, oleh karena suatu sistem perlindungan sosial diperlukan untuk memenuhi amanat UUD 1945 dan HAM, sementara suatu sistem jaminan sosial nasional diperlukan sebagai suatu payung pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan, tanpa menghilangkan sama sekali skema-skema asuransi yang telah ada. Kekuatan sistem ini justru pada kemantapan skema asuransi sosial yang telah ada baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun berdasarkan kearifan lokal. Selama terjadinya krisis di Indonesia, kondisi prasarana pengairan mengalami penurunan fungsi pelayanan. Kondisi ini disebabkan kurangnya perhatian terhadap pengoperasian dan pemeliharaan sehingga banyak terjadi kerusakan pada saluran irigasi, saluran penyediaan air baku, serta bangunan irigasi dan penyediaan air baku lainnya yang berakibat terganggunya pasokan air termasuk untuk pertanian dalam mendukung program ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu hal ini juga diakibatkan oleh tekanan penduduk yang semakin besar sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan masyarakat. Alih fungsi lahan yang terus cenderung meningkat telah pula mengakibatkan berkurangnya lahan sawah beririgasi teknis. Implementasi kebijakan pemerintah tentang desentralisasi kewenangan dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang belum tuntas telah menambah kurangnya perhatian terhadap pengembangan dan pengelolaan pengairan baik untuk kebutuhan irigasi maupun kebutuhan air baku bagi masyarakat dan industri di perkotaan dan perdesaan. Sebagian instansi pusat belum siap menyerahkan IV 8

kewenangannya kepada daerah. Demikian pula, sebagian besar pemerintah daerah masih banyak mengharapkan pendanaan dari pusat untuk membiayai pembangunan yang telah menjadi kewenangan dan tanggungjawabnya terutama kegiatan yang tidak dapat meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini berlawanan dengan kecenderungan yang berkembang di mana alokasi dana pusat semakin berkurang dan alokasi dana kepada daerah semakin meningkat. Sejak tahun 1999, pemerintah mulai memperkenalkan kebijakan di bidang sumber daya air di mana petani diberi kesempatan untuk mengelola irigasi sesuai dengan kewenangnnya. Namun, perubahan paradigma yang cukup besar ini masih belum dapat dipahami secara baik oleh sebagian stakeholder baik pemerintah, pemerintah daerah legislatif maupun masyarakat petani. Kondisi ini menyebabkan adanya beberapa keraguan dan hambatan dalam pengelolaan irigasi sehingga secara umum fungsi pelayanan prasarana irigasi khususnya menurun. Upaya memperbaharui peraturan perundangan telah mulai memperoleh kejelasan dan kepastian setelah terbitnya UU. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Agar implementasi terhadap undang-undang dimaksud dapat segera dilaksanakan, maka diperlukan penyelesaian dengan segera berbagai peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan pelayanan keirigasian dan penyediaan air baku. Dengan demikian, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab masingmasing pihak menjadi semakin jelas sehingga kegiatan pembangunan, operasi dan pemeliharaan, serta rehabilitasi prasarana yang rusak dapat dilanjutkan. Selain itu, keterlibatan masyarakat pada setiap proses pembangunan dapat ditingkatkan dengan memperhatikan kondisi dan budaya setempat. Kedua: pemberdayaan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK). Kebijakan ini merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia. Kebijakan umum yang dilaksanakan untuk memberdayakan UKMK meliputi: (1) kebijakan penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, menjamin adanya kepastian usaha, dan meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai prasyarat utama IV 9

untuk berkembangnya UKMK; (2) kebijakan peningkatan akses kepada sumberdaya produktif untuk meningkatkan kemampuan pengusaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (PKMK) dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; serta (3) kebijakan pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif, dalam rangka mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UKMK. Hasil yang dicapai atas pelaksanaan kebijakan tersebut telah ditunjukkan oleh peranan usaha kecil dan menengah (UKM) yang besar dan menunjukkan peningkatan ditinjau dari jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, serta penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, jumlah UKM sebanyak 42,4 juta unit usaha, yang bagian terbesarnya berupa usaha skala mikro, dan menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja. Jumlah unit usaha dan tenaga kerja ini rata-rata per tahunnya meningkat masing-masing 3,15 persen dan 3,1 persen per tahun dari tahun 2000. Kontribusi UKM dalam PDB pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen total PDB nasional. Pada tahun 2000 kontribusinya baru mencapai 54,5 persen PDB nasional. Sementara itu sampai dengan tahun 2003, jumlah koperasi meningkat 11.8 persen dibandingkan akhir tahun 2001 yang berjumlah 110 ribu unit, dengan jumlah anggota bertambah 15.4 persen menjadi 27.283 ribu orang dari 23.644 ribu orang pada akhir tahun 2001. Jumlah koperasi yang aktif bertambah 4.800 unit dari 89 ribu unit atau sekitar 80,9 persen dari jumlah koperasi pada tahun 2001 menjadi 93.8 ribu unit atau sekitar 76,3 persen dari jumlah koperasi pada tahun 2003. Perkembangan kuantitas tersebut belum diimbangi oleh perkembangan kualitas UKMK yang masih menghadapi permasalahan klasik yaitu rendahnya produktivitas. Produktivitas tenaga kerja usaha kecil baru mencapai Rp2,6 juta per tenaga kerja pada tahun 2003, sedangkan usaha menengah sebesar Rp8,7 juta per tenaga kerja. Angka tersebut sangat jauh tertinggal dibandingkan produktivitas tenaga kerja usaha besar yang mencapai Rp1,8 miliar per tenaga kerja. Tingkat produktivitas ini berkaitan erat dengan: (a) rendahnya kualitas SDM terutama dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan IV 10

pemasaran; (b) lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan (c) terbatasnya kapasitas UKMK untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, terdapat beberapa masalah eksternal UKMK, terutama: (a) besarnya biaya transaksi akibat kurang kondusifnya iklim usaha; (b) praktik persaingan usaha yang tidak sehat; dan (c) keterbatasan informasi dan jaringan pendukung usaha. Kemampuan UKMK untuk bersaing di era perdagangan bebas, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor, sangat ditentukan oleh dua kondisi utama yang perlu dipenuhi. Pertama, lingkungan internal UKMK mesti kondusif, yang mencakup aspek kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal, jaringan bisnis dengan pihak luar, dan tingkat kewirausahaan (entrepreneurship). Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, aspek hukum, kondisi persaingan pasar, kondisi ekonomi-sosial-kemasyarakatan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan perubahan ekonomi global. Di samping itu, otonomi daerah yang diharapkan mampu menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi UKMK, pelaksanaannya ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Sejumlah daerah telah berusaha meningkatkan pelayanan kepada UKMK, sementara di beberapa daerah lain memandang UKMK sebagai sumber pendapatan asli daerah melalui pengenaan pungutanpungutan baru sehingga biaya usaha UKMK meningkat. Pada tahun 2003 tercatat laju pertumbuhan PDB UKM menyumbang 60 persen dari laju PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1 persen. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional ke depan serta mengurangi pengangguran dan sekaligus untuk mampu bersaing dalam pasar global dan dinamika perubahan situasi dalam negeri, maka pengembangan UKM perlu mempertimbangkan aspek potensial yang ada, yaitu: (1) pengembangan UKM yang secara proporsional menerapkan pengembangan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi; (2) IV 11

UKM di sektor agribisnis dan agroindustri, yang karena prospeknya sangat strategis perlu didukung peningkatan akses dalam pengelolaan usaha, seperti status kepemilikan tanah, teknologi, informasi pasar dan sumberdaya manusia serta oleh berkembangnya wadah organisasi usaha bersama yang sesuai dengan kebutuhan; (3) perluasan sumber permodalan UKM yang memiliki kapasitas dukungan lebih besar seperti perbankan; (4) pengembangan usaha menengah yang kuat, yang merupakan pilihan strategis yang dapat diandalkan untuk mendukung proses industrialisasi, perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Peran ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan industri besar nasional terhadap impor input antara; (5) penyederhanaan prosedur pendaftaran usaha dan penyediaan insentif bagi usaha informal, khususnya yang berskala mikro, yang diprioritaskan dalam rangka perlindungan, kesetaraan berusaha dan kontinuitas peningkatan pendapatan; dan (6) pengintegrasian pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional. Ketiga: menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan. Program ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi dan ekspor yang sangat penting bagi percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Koordinasi dan sinkronisasi dari program-program ekonomi telah berperan pada menguatnya nilai Rupiah dan menurunnya laju inflasi. Pada periode tahun 2001 2003, nilai Rupiah menguat dari rata-rata tahunan sebesar Rp 10.210 (tahun 2001) menjadi Rp 8.572/US$ (2003). Pada periode yang sama, menguatnya nilai Rupiah telah membantu menurunkan laju inflasi dari 11,9% menjadi 5,06%. Seiring dengan itu, tingkat suku bunga juga menurun. Tingkat suku bunga SBI (3 bulan) menurun sekitar separuh dari 17,6% (2001) menjadi 8,3%(2003). Adapun tingkat suku bunga kredit modal kerja dan investasi juga menurun, meskipun dengan laju yang lebih lambat, yaitu masing-masing dari 19,2% dan 17,9% (2001) menjadi 15,1% dan 15,7% (2003). Stabilitas makro telah memberikan pondasi bagi pemulihan ekonomi. Namun di samping itu diperlukan restrukturisasi perbankan, IV 12

guna menyehatkan kembali perbankan dan penyelesaian utang perusahaan agar kegiatan usaha perusahaan-perusahaan tersebut dapat bergerak kembali. Dengan demikian akan terjadi sinergi antara sektor keuangan dengan sektor riil dalam mendorong perekonomian. Restrukturisasi utang swasta antara lain ditempuh melalui Prakarsa Jakarta dan restrukturisasi yang dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Prakarsa Jakarta bertugas sampai dengan akhir Desember 2003 dan berhasil melakukan restrukturisasi sebanyak 96 kasus dengan nilai utang US$ 20,5 miliar dari 102 kasus yang terdaftar dengan total utang sebesar US$ 26,9 miliar. Dari 96 kasus yang dapat diselesaikan tersebut, perinciannya adalah 20 kasus senilai US$ 4,2 miliar mencapai tahap MOU dan 76 kasus senilai US$ 16,3 miliar mencapai perjanjian restrukturisasi hutang yang legally bindding (kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah perjanjian yang berkekuatan hukum). Sementara itu, jumlah kredit yang dialihkan dan harus direstrukturisasi oleh BPPN adalah sebanyak lebih dari 370.000 ribu rekening milik lebih dari 200.000 debitur. Dalam pelaksanaannya, gejolak iklim politik dan ekonomi makro sepanjang 1999 2001 menyebabkan restrukturisasi berjalan tersendat. Oleh karena itu, pada tahun 2002 melalui SK Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) no. Kep.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002. Terobosan BPPN menekankan pada perlunya diberikan fokus penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat strategis, yaitu pinjaman yang memiliki dampak nasional yang cukup besar. Pencapaian penyelesaian asset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003 mencapai total penerimaan sebesar Rp77,09 triliun dengan total pengalihan awal sebesar Rp270,43 triliun. Khusus untuk penyelesaian kredit Usaha Kecil dan Menegah (UKM) hingga tahun 2003 mencapai 98% meliputi 239.440 debitur dengan nilai ATK sebesar Rp29,02 triliun. Dengan membaiknya stabilitas makro dan kemajuan dalam penyelesaian utang perusahaan, telah memungkinkan laju pertumbuhan kredit mencapai 11,9% (2001), 14,4%(2002), dan 15,9% (2003). Seiring dengan itu, loan to deposit ratio (LDR) meningkat IV 13

meskipun belum mencapai tingkat pra krisis, yaitu dari 33,0% (2001) menjadi 43,2% (2003). Secara lebih menyeluruh, melalui program restrukturisasi perbankan, kondisi bank telah menjadi lebih sehat. Rasio kecukupan modal selama 2001-2003 (capital adequacy ratio/CAR) mencapai sekitar 20% dengan non-performing loans (NPL-gross) menurun dari 12,1% 2001 menjadi 6,8%. Kinerja lembaga keuangan bukan bank, seperti asuransi dan lembaga pembiayaan juga menunjukkan perbaikan, antara lain tercermin dari meningkatnya premi bruto untuk asuransi dari 1,6% PDB (2001) menjadi 1,9% PDB (2002), naiknya kegiatan usaha lembaga pembiayaan dari Rp30,8 triliun (2001) menjadi Rp 40,4 triliun (2003) serta omzet perum pergadian dari Rp6,0 triliun (2001) menjadi Rp8,8 triliun (2003). Kedepan, perlu dilakukan langkah untuk memperkokoh kinerja dan ketahanan sektor keuangan melalui berbagai penyempurnaan pengaturan dan kelembagaan yang diperlukan guna mencapai tujuan tersebut. Sementara itu, stabilitas makro harus tetap terjaga agar iklim usaha lebih kondusif. Untuk itu, di samping melalui koordinasi dan sinkronisasi program-program ekonomi seperti diuraikan di atas, konsolidasi fiskal juga perlu dilanjutkan. Selama 3 tahun terakhir, melalui konsolidasi fiskal telah diturunkan defisit anggaran secara bertahap dari 2,8% PDB (2001) menjadi 2,1% PDB (2003) dan direncanakan menjadi 1,2% PDB pada tahun 2004. Sementara itu, rasio stok hutang pemerintah terhadap PDB (tidak termasuk pinjaman kepada IMF) dapat diturunkan dari sekitar 87% pada akhir 2001 menjadi sekitar 69% PDB (2003) dan direncanakan menjadi sekitar 60% PDB (2004). Dalam kaitan ini, pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah perlu dikelola agar di satu sisi meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan kewenangannya namun di sisi lain tetap selaras dengan upaya menjaga ketahanan fiskal. Keempat: memacu peningkatan daya saing. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan ekspor nonmigas, termasuk pariwisata, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Untuk itu dalam jangka pendek dilakukan langkah-langkah untuk memacu pemanfaatan IV 14

kapasitas industri yang menganggur melalui pengurangan hambatan perdagangan dalam dan luar negeri serta peningkatan pembiayaan perdagangan. Dalam jangka menengah dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing, antara lain, dengan terus memperkuat institusi pasar, serta mengembangkan industri berkeunggulan kompetitif berlandaskan keunggulan komparatif didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sampai dengan pelaksanaan tahun ke-4 Propenas 2000-2004, diperoleh indikasi pemanfaatan kapasitas industri nasional terpasang belum optimal, walaupun terdapat peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan utilisasi kapasitas produksi yang masih sekitar 61,7 persen pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 2003 kondisinya relatif membaik karena terdapat peningkatan menjadi sebesar 65,3 persen. Sedangkan utilisasi pada industri kimia, agro dan hasil hutan pada tahun 2003 mencapai 75,5 persen, dengan rata-rata perumbuhan dalam emapat tahun terkhir mencapai 1,9 persen per tahun. Pada industri logam, mesin, elektronika dan aneka tingkat utilisasinya pada tahun 2003 mencapai 55,2 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata hanya mencapai 0,4 persen per tahun dalam empat tahun terakhir. Sementara itu, bila dibandingkan dengan target dalam indikator kinerja yang diharapkan meningkat 11,9 persen pertahun, kinerja ekspor non migas dalam empat tahun terakhir belumlah optimal untuk mendukung perekonomian nasional. Dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 pertumbuhan rata-rata ekspor non migas hanya mencapai 5,67 persen. Tidak tercapainya target ekspor nonmigas dalam Propenas 2000-2004 merupakan implikasi dari penurunan ekonomi global terutama akibat kejadian 11 September 2001. Di samping itu, beberapa faktor penghambat di dalam negeri telah pula memberikan kontribusi yang kurang menguntungkan. Faktor penghambat tersebut antara lain: meningkatnya ekonomi biaya tinggi dalam pengurusan dokumen ekspor dan impor, beberapa jenis perda di beberapa daerah, serta maraknya kegiatan illegal penyelundupan barang-barang impor yang tentunya akan pula menghambat pemulihan daya saing produk ekspor.

IV 15

Dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing, guna mendorong penataan perangkat hukum dan instrumen kebijakan yang lebih adil maka fokus dalam lima tahun terakhir lebih kepada membangun kapasitas kelembagaan yaitu penyusunan berbagai peraturan pemerintah pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diikuti kemudian terbentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada tahun 2002. Selanjutnya, untuk memperkuat kelembagaan yang mampu mendorong berlangsungnya mekanisme pasar yang berkeadilan, mengurangi berbagai hambatan usaha, dan memberikan perlindungan terhadap konsumen maka sejak didirikan tahun 2000 sampai dengan saat ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga independen telah berhasil menyelesaikan 19 kasus persaingan usaha tidak sehat dari 134 kasus yang masuk. Pembangunan pariwisata, sebagai salah satu andalan penghasil devisa, terus dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk memperluas pasar baik melalui pengembangan produk maupun promosi di lingkungan dalam dan luar negeri. Namun upaya-upaya yang dilakukan tersebut belum mampu meningkatkan penerimaan devisa yang diperolah dari pariwisata, yang mengalami penurunan, dari USD 5,7 miliar pada tahun 2000 menjadi USD 4,0 miliar pada tahun 2003, atau turun rata-rata pertahun sekitar 10,9 persen. Penurunan ini terkait dengan terjadinya tragedi bom Bali pada bulan Oktober 2002, yang mengakibatkan kondisi pariwisata Indonesia secara keseluruhan menjadi terpuruk. Pembangunan iptek bidang ekonomi diarahkan untuk mendorong difusi dan pemanfaatan hasil iptek bagi dunia usaha serta meningkatkan kemudahan akses terhadap fasilitas penyedia iptek. Namun sejauh ini disadari bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) belum sepenuhnya dapat berkontribusi dalam pembentukan keunggulan dan ketahanan ekonomi nasional. Gambaran keadaan iptek nasional masih memperlihatkan bahwa selama ini penerapan iptek masih belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Kalangan dunia usaha serta masyarakat luas masih belum merasakan manfaat langsung dari IV 16

berbagai penelitian dan pengembangan yang telah ada. Padahal disisi lain dunia usaha memerlukan dukungan iptek yang memadai dan handal dalam menghadapi pasar global. Selanjutnya negara juga dihadapkan pada persaingan maupun tantangan ke depan yang semakin ketat, yang memerlukan upaya peningkatan daya saing. Kemajuan Iptek mendorong terjadinya globalisasi karena manusia semakin mampu mengatasi dimensi jarak dan waktu dalam kehidupannya. Upaya menumbuhkembangkan kemampuan iptek memerlukan keseriusan segenap pihak, khususnya dalam mensinergikan perkembangan kelembagaan dan sumber daya Iptek yang dimiliki dengan berbagai faktor lain. Kekayaan sumber daya alam melimpah yang merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia semakin lama akan semakin berkurang, sehingga tidak akan dapat dipertahankan dalam jangka panjang sesuai dengan perkembangan kebutuhan penduduk dan tuntutan persaingan global. Kondisi yang ada tersebut menunjukkan bahwa perkembangan sumber daya Iptek (S&T resource advantage) belum memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembentukan keunggulan posisi (positional advantage) Indonesia di dalam meningkatkan daya saing. Sementara itu kondisi pasar global yang lebih didominasi oleh produk-produk berbasis teknologi mengakibatkan posisi perdagangan negara kita semakin lemah. Tanpa adanya investasi yang terarah untuk memperkuat keterkaitan antara pembentukan kemampuan Iptek dengan pembentukan keunggulan kompetitif, akan sukar bagi Indonesia untuk memperbaiki posisi perdagangannya di dunia internasional. Secara umum beberapa hasil pembangunan iptek di bidang ekonomi yang telah berhasil dicapai adalah pengembangan dan sosialisasi berbagai program insentif untuk mendorong percepatan proses adopsi, inovasi dan difusi teknologi. Berbagai program insentif yang telah dilakukan antara lain Riset Unggulan Kemitraan (RUK), Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas), Insentif Asuransi Teknologi, Start-up Capital, Sistem Insentif Penguatan Teknologi dan Manajemen UKM (SIPTekMan) dan Insentif Sentra Promptek. Peningkatan kegiatan diseminasi teknologi ke daerah, pelatihan dan IV 17

pengembangan berbagai model promosi iptek serta perbaikan pelayanan jasa teknologi. Pengembangan G-online architecture, edocument management system serta Technical Standard & Security System. Disamping itu, telah diselesaikannya model Ipteknet, egovernment, sistem informasi daerah (Simda), Komura (Komputer murah), dan Winbi (Winword bahasa Indonesia). Selain itu juga telah dilakukan program Warung Informasi Teknologi (Warintek) yang dimaksudkan untuk menjawab tantangan menghadapi era informasi dan mengantisipasi deklarasi Information for All yang dicanangkan oleh UNESCO, diversifikasi model diseminasi teknologi, melalui Puspa Iptek Daerah, pengembangan perpustakaan digital, dan peningkatan pelayanan jasa informasi iptek. Beberapa faktor penghambat antara lain adalah masih rendahnya insentif yang diberikan kepada peneliti, terbatasnya sarana dan prasarana dan mekanisme pembiayaan yang belum kondusif serta belum terbentuknya mekanisme intermediasi yang dapat memperlancar proses transaksi peneliti dengan dunia usaha. Selain itu, jumlah pembiayaan yang kurang memadai dan tersebar secara luas di berbagai kegiatan mengakibatkan tidak maksimalnya hasil riset karena tidak tercapainya skala ekonomi riset. Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, kebijakan pembangunan Iptek akan diarahkan pada upaya (1) Perumusan kebijakan pembangunan iptek selaras dengan kebijakan industri dan kebijakan lainnya, (2) Penyempurnaan pola insentif dan pembiayaan litbang; (3) pembentukan mekanisme intermediasi untuk mempercepat difusi hasil riset ke dalam kegiatan ekonomi (4) Pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan kapasitas lembaga litbang dan memperlancar transaksi hasil litbang, dan (5) Pengembangan Instrumen Analisis Pencapaian Teknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator Iptek. Kelima: meningkatkan investasi. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 menurunkan investasi. Dalam tahun 1998, investasi, berupa pembentukan modal tetap bruto, turun 33 persen dan menyumbang sekitar 80 persen bagi penurunan pertumbuhan ekonomi. IV 18

Dalam kaitan itu ditempuh beberapa kebijakan pokok untuk meningkatkan kembali iklim investasi. Pertama adalah meningkatkan kepastian hukum yang memberi kepastian usaha. Dalam kaitan itu diupayakan penyelesaian RUU Penanaman Modal yang dimaksudkan untuk meningkatkan iklim investasi yang semakin baik dengan memberi perlakuan yang sama antara penanam modal dalam dan luar negeri. Selain itu, diberikan kemudahan bagi PMA untuk membeli saham perusahaan yang sudah berdiri atau beroperasi di Indonesia melalui PP No. 83 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP No. 20 Tahun 1994 Kepastian hukum yang terkait dengan iklim investasi juga ditingkatkan dengan melakukan harmonisasi peraturan-peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum. Sampai dengan bulan Juli 2004 telah dilakukan evaluasi terhadap sekitar 3.600 Perda. Sebagai hasilnya, 267 Perda dibatalkan langsung dan 44 Perda dibatalkan sendiri oleh daerah yang bersangkutan. Selain itu, kepastian hukum juga ditingkatkan dalam penyelesaian konflik pertambangan dan kehutanan. Pada pertengahan bulan Juli 2004 telah disetujui Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ijin penambangan yang diberikan tetap mempertimbangkan ekologi dengan pemberian ijin yang terbatas. Kedua adalah menyederhanakan prosedur perijinan investasi. Dalam kaitan itu ditetapkan Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Langkah ini dimaksudkan untuk memperjelas kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelayanan investasi. Ketiga adalah meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam penanganan berbagai hambatan yang dihadapi oleh penanam modal termasuk masalah-masalah yang bersifat lintas sektor dan lintas daerah seperti keamanan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur. Selain melalui koordinasi antara BKPM baik dengan instansi pusat maupun dengan instansi penanaman modal daerah, kemampuan kelembagaan IV 19

dalam penanganan masalah-masalah investasi ditingkatkan dengan pembentukan Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Keempat adalah meningkatkan kerjasama internasional baik bilateral, regional maupun multilateral di bidang penanaman modal, dalam bentuk kegiatan promosi dan pameran investasi dengan penyelenggaraan Tahun Investasi 2003 dan 2004 serta penempatan pejabat promosi investasi di luar negeri, yaitu di Osaka, Los Angeles, Taipei, London, Amsterdam, dan Melbourne yang bertugas untuk melakukan kontak langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan para calon investor; Berbagai upaya tersebut secara bertahap mulai meningkatkan minat penanaman modal dalam dan luar negeri. Pada kurun waktu 2001 Juni 2004 angka persetujuan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai 720 proyek dengan nilai rencana investasi sebesar Rp 149,9 triliun; sedangkan angka persetujuan penanaman modal asing (PMA) mencapai 4.085 proyek dengan nilai rencana investasi sebesar US$ 41,5 miliar. Selanjutnya, Izin Usaha Tetap PMDN periode 2001 - Juni 2004 mencapai 409 proyek dengan nilai realisasi investasi sebesar Rp 41,4 triliun dan Izin Usaha Tetap PMA sebanyak 1.650 proyek dengan nilai realisasi investasi sebesar US$ 13,9 miliar. Angka persetujuan dan realisasi di atas tidak termasuk investasi di sektor migas, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan, investasi portofolio, dan investasi rumah tangga. Meskipun kegiatan investasi secara bertahap mulai meningkat sejak tahun 2003, namun kenaikannya kurang memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam harga konstan tahun 1993, investasi dalam tahun 2003 baru mencapai 69,2 persen dari tingkat investasi tahun 1997. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya faktor eksternal berupa melambatnya arus investasi global dan meningkatnya daya tarik investasi pada beberapa negara Asia, antara lain RRC, Vietnam, dan negara-negara yang Asia lain yang mengalami krisis serupa dengan Indonesia. Penyebab lainnya adalah masih besarnya hambatan dan kendala di dalam negeri dan belum

IV 20

tersusunnya sistem insentif bagi kegiatan investasi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain. Dengan tantangan-tantangan tersebut di atas, rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan guna meningkatkan investasi adalah: (a) meningkatkan kepastian hukum dan kepastian berusaha dengan mempercepat penyelesaian RUU Penanaman Modal serta meningkatkan konsistensi peraturan perundangan di bidang penanaman modal baik antar sektor maupun antara pusat dan daerah; (b) menciptakan sistem insentif bagi kegiatan investasi agar mampu bersaing dengan negara lain antara lain dengan penyempurnaan sistem perpajakan dan kepabeanan; (c) menindaklanjuti pelayanan satu atap secara terkoordinasi baik dengan instansi pusat maupun daerah; (d) meningkatkan perlindungan keamanan dan membantu penanam modal dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi antara lain melalui pendayagunaan Tim Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi yang sudah dibentuk; serta (e)meningkatkan infrastruktur secara memadai dengan mendorong peranan swasta dalam penyediaan infrastruktur. Iklim investasi juga ditingkatkan melalui pasar modal. Beberapa kegiatan pokok berhasil dilaksanakan, meliputi: (a) Penyusunan dan penyempurnaan berbagai peraturan pelaksanaan di bidang pasar modal, antara lain untuk meningkatkan efisiensi industri efek dan mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang; (b) Telah diselesaikannya rancangan perubahan UUPM yang berisi berbagai aspek guna meningkatkan peran pasar modal, termasuk pengaturan mengenai kewajiban Emiten/ Perusahaan Publik untuk memiliki komisaris independen dan komite audit; (c) Telah dihasilkannya rekomendasi pelaksanaan demutualisasi bursa dan telah dibentuknya Komite Restrukturisasi Lembaga Bursa; (d) Telah disusunnya Grand Strategy Pengembangan Reksa Dana; (e) Telah diterapkannya sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) dan perdagangan tanpa warkat (Scripless trading) di pasar modal Indonesia; (f) Telah diterbitkannya ijin kepada Perhimpunan Pedagang Surat Utang Negara (HIMDASUN) untuk berperan serta dalam perdagangan surat utang negara; dan (g) Telah dibentuknya Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). IV 21

Di samping mendorong investasi swasta dengan menciptakan iklim yang kondusif dan memperkuat pasar modal, juga diupayakan untuk meningkatkan kinerja BUMN sebagai bentuk investasi pemerintah di samping yang melalui APBN. Dengan perkembangan/dinamika sistem persaingan usaha, pemerintahan, perdagangan, hukum, teknologi serta pengelolaan perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance maka BUMN harus tetap berkembang dan tumbuh sehat. Diharapkan dalam jangka panjang BUMN dapat menjadi perusahaan yang tangguh dan mandiri. Dalam situasi yang demikian sudah seharusnya BUMN meningkatkan daya saing dan kemampuan usahanya melalui berbagai macam program efisiensi alokasi sumber daya, maupun program restrukturisasi yang berkelanjutan sehingga langkah-langkah strategis yang harus ditempuh dapat menjadi lebih efektif. Pencapaian target penerimaan negara yang berkesinambungan, penciptaan lapangan kerja dan penciptaan iklim persaingan yang sehat merupakan sasaran yang strategis dan konkrit dari pengelolaan BUMN. Secara umum trend pencapaian penjualan dan laba bersih dari tahun 2000 masing-masing sebesar Rp173 triliun dan Rp14 triliun sedangkan pencapaian penjualan dan laba bersih pada tahun 2003 masing-masing sebesar Rp282 triliun dan Rp28 triliun, hal ini menggambarkan bahwa selama kurun waktu tersebut terjadi peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2004 BUMN diharapkan akan mampu memberikan kontribusi kepada negara sebesar Rp27 triliun yang berasal dari dividen 6 triliun, pajak sebesar Rp16 triliun dan privatisasi sebesar Rp5 triliun. Meskipun demikian kondisi BUMN saat ini masih belum seperti yang diharapkan dan masih terjadinya penggunaan sumber daya yang kurang efektif dan efisien. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kebijakan baru atau akselerasi penyehatan BUMN. Untuk itu, pemerintah telah membuat suatu masterplan yang mengarahkan agar perseroan harus mampu mempertahankan kinerja komersial yang sehat dan bahkan juga mampu menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas bagi para konsumen serta memberikan kontribusi yang optimal bagi keuangan negara. IV 22

Berkaitan dengan masalah legislasi telah dikeluarkan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Tindak lanjut yang perlu diselesaikan antara lain adalah: Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan perubahan bentuk badan hukum BUMN; RPP tentang Tatacara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero); RPP tentang pengurusan dan pengawasan BUMN; RPP tentang Pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran BUMN. Dalam rangka restrukturisasi korporat BUMN tentunya perlu dilakukan evaluasi dan audit terhadap BUMN, khususnya terhadap BUMN yang akan diprivatisasi. Sementara untuk pelaksanaan privatisasi diperlukan konsultan baik di bidang hukum maupun dibidang keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi dari program restrukturisasi dan privatisasi tersebut. Keenam: menyediakan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi. Konstitusi kita telah mengamanatkan bahwa bumi, air dan tanah serta kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan energi dalam jumlah dan mutu yang memadai serta harga yang terjangkau merupakan tugas pemerintah sebagai bentuk pelayanan publik. Selain merupakan salah satu sumber devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan sektor lainnya. Pada dasarnya, kebijakan pembangunan energi diarahkan untuk terpenuhinya kemandirian dalam bidang energi, baik untuk kepentingan konsumsi dalam negeri maupun kepentingan ekspor. Sasaran yang hendak dicapai adalah menurunnya pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi dan meningkatnya pangsa energi non minyak bumi, khususnya gas bumi dan batubara, serta berkembangnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan pembangunan energi, termasuk ketenagalistrikan, difokuskan untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya energi; meningkatkan sarana dan prasarana; meningkatkan fungsi kelembagaan; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi; serta meningkatkan IV 23

partisipasi masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan dalam pemanfaatan energi. Di bidang ketenagalistrikan, sampai dengan akhir tahun 2003, cadangan kapasitas tenaga listrik untuk Sistem Jawa Madura Bali (Jamali) telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan yaitu hanya sekitar 7% sedangkan beberapa daerah di Sistem Luar Jamali sejak tahun 2001 telah mengalami krisis tenaga listrik karena beban puncak lebih besar dari kapasitas terpasang dan cadangan listrik (reserved margin). Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut melalui peningkatan kapasitas pembangkit yang ada, pembangunan pembangkit baru serta jaringan distribusi dan transmisi, dan pengembangan pembangkit skala kecil dengan memanfaatkan potensi energi setempat/lokal terutama untuk daerah terpencil, terisolasi dan perbatasan (remote area) yang belum terinterkoneksi jaringan listrik (off-grid). Upaya peningkatan kapasitas pembangkit dan pembangunan pembangkit baru dilakukan melalui upaya penyelesaian pembangunan pembangkit baru baik di Sistem Jamali yaitu PLTA Wonorejo maupun di Sistem Luar Jamali yaitu PLTA Besai (2x14 MW), PLTA Sipansihaporas Unit I, PLTA Renun, PLTU Tarahan dan PLTP Lahendong serta pembangkit skala kecil untuk daerah perdesaan seperti pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH). Terkait dengan restrukturisasi dan reformasi di bidang ketenagalistrikan telah dikeluarkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti undang-undang yang lama serta penyusunan 8 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk mendukung pelaksanaan UU Ketenagalistrikan tersebut. Hasil lain yang tampak adalah penyelesaian re-negosiasi 26 proyek listrik swasta Adapun hasil dari program peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap infrastruktur ketenagalistrikan tampak dengan bertambahnya jaringan listrik untuk daerah perdesaan sehingga rasio desa terlistriki telah mencapai 78,5% pada tahun 2003.

IV 24

Selama tahun 2000-2003, pada subsektor pos, telekomunikasi, informatika dan penyiaran, upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 4-5% serta mengembalikan kemampuan penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana yang sempat terganggu akibat krisis ekonomi dilaksanakan diantaranya melalui rehabilitasi serta pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang pertumbuhan permintaan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitas (bottleneck) seperti pembangunan 1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon tetap, 3.016 ribu ss telepon di daerah pedesaan, dan 6 stasiun pemancar radio. Disamping itu, pemerintah juga melakukan restrukturisasi penyelenggaraan usaha pelayanan jasa sarana dan prasarana. Kebijakan ini dilakukan diantaranya melalui pembukaan pasar secara terbatas (duopoli) dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap yang sekaligus menterminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 2002 dan 2003, perkuatan kelembagaan TVRI dan RRI, serta penyempurnaan dan penyusun berbagai peraturan terkait dengan pelaksanaan restrukturisasi sektor. Sedangkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan pos, telekomunikasi dan penyiaran, pemerintah melakukan peningkatan kapasitas dan perluasan jangkauan wilayah hingga ke daerah-daerah yang secara ekonomi kurang memadai, termasuk daerah-daerah terpencil dan perbatasan, melalui program kewajiban pelayanan umum (Public/Universal Service Obligation). Sektor transportasi, meterologi dan geofisika sangat penting dan stretegis bagi perekonomian nasional karena sektor ini memungkinkan terjadinya perdagangan baik nasional maupun internasional, kegiatan industri, serta pariwisata. Sarana dan prasarana transportasi juga sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan, serta meningkatkan mobilitas penumpang dan barang antarwilayah, antarperkotaan dan antarperdesaan. Selain itu, semakin banyaknya permasalahan sosial politik yang timbul di wilayah perbatasan, memerlukan tindakan pencegahan dan pemecahan segera. Oleh sebab itu, ketersediaan prasarana dan sarana transportasi di wilayah perbatasan dan wilayah IV 25

terisolasi sangat diperlukan untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan orang serta mempercepat pengembangan wilayah dan mempererat hubungan antarwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu faktor keamanan dan keselamatan operasional transportasi merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian tidak saja oleh regulator dan operator tetapi juga pengguna jasa transportasi. Ketujuh: memanfaatkan kekayaan sumber daya alam nasional dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) dan kelestarian lingkungan. Dalam jangka pendek, antara lain dilakukan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam, peningkatan pengawasan dan pengamanan pemanfaatannya, serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan penegakannya untuk menjamin kepastian hukum bagi investor dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Dalam jangka menengah dilakukan upaya rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, peningkatan akses informasi sumber daya alam, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dalam Bab Pembangunan Ekonomi ini sangat terkait erat dengan programprogram yang ada di dalam Bab Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Sementara itu, pembangunan bidang kelautan dan perikanan dalam tiga tahun terakhir telah menunjukkan kemampuannya dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 2000-2001, Produk Domestik Bruto (PDB) sub-sektor perikanan, mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,65 persen per tahun. Pada tahun 2001, PDB sub-sektor perikanan mencapai sekitar Rp34,67 triliun atau sekitar 2,33 persen terhadap PDB nasional, dan pada tahun 2002 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp46,61 triliun atau sekitar 2,89 persen dari PDB nasional, dan pada tahun 2003 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp44,79 triliun atau sekitar 3,1 persen dari PDB nasional. Sementara itu dalam bidang pembangunan kehutanan, beberapa hasil penting adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, IV 26

khususnya dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, tersusunnya rencana dan sistem pengelolaan hutan dan lahan yang efisien dan lestari, peningkatan dalam ketersediaan dan keterbukaan data dan informasi, serta peningkatan koordinasi dalam penyusunan dan penyempurnaan peraturan-peraturan di bidang kehutanan. Dalam pengelolaan sumber daya air, pelaksanaan pembangunan ditekankan pada upaya mengembalikan fungsi pelayanan sumbersumber air yang menurun akibat kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan dan rehabilitasi sumber-sumber air; serta meningkatkan efisiensi kelembagaan. Di samping itu juga ditekankan pada upaya mengurangi dampak bencana banjir dan kekeringan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air diprioritaskan pada kegiatan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, serta pengembangan waduk, danau, embung, situ dan bendungan; penyusunan peraturan perundangan di bidang sumber daya air, penataan kelembagaan dengan memperhatikan kearifan dan budaya setempat, serta kegiatan yang sifatnya non fisik dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi sehingga dapat memperkecil dampak sosial. Selanjutnya, dalam pemanfaatan sumberdaya mineral, agar diperoleh hasil yang optimal dan meminimalkan dampak buruk yang terjadi dengan menekankan pada manajemen eksploitasi ataupun pengelolaan sumberdaya mineral secara tepat dan sesuai dengan kaidah good mining practices. Penerapan kaidah ini akan menunjang upaya konservasi pertambangan dan meningkatkan/menambah umur tambang secara nyata. Dengan demikian, sumberdaya mineral dan pertambangan akan memberikan kemanfaatan secara berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional.

IV 27

2. PEMBANGUNAN i.

PROGRAM-PROGRAM Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi Kebutuhan Pokok Masyarakat 1.1.1 a. Sasaran dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan membantu penyediaan bahan pokok pangan, pelayanan dasar dibidang kesehatan, pendidikan dan perumahan bagi keluarga dan kelompok masyarakat miskin secara merata dan harga yang terjangkau. Sasaran program ini adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi keluarga miskin secara terus menerus dan harga yang terjangkau, tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga miskin, dan tersedianya perumahan bagi keluarga miskin. Arah kebijakannya adalah mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mengembangkan system dana jaminan social melalui program pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta ditetapkan dengan undang-undang. b. i. 1) Pelaksanaan Hasil Yang Dicapai Hasil yang dicapai selama periode 20002004 adalah: Pemberdayaan keluarga miskin dan komunitas adat terpencil 44.570 kk; Program Penyediaan Kebutuhan Pokok untuk Keluarga Miskin Tujuan,

IV 28

2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)

pemberian bantuan tanggap darurat berupa beras dan lauk pauk bagi 1.337.503 pengungsi; pemberian bantuan bagi korban akibat bencana 2.935 kk; bantuan untuk rehabilitasi rumah kumuh di desa/keluarahan sebanyak 1000 RT; prasarasana dan sarana air bersih, sanitasi, jalan, perbaikan rumah di 30 kawasan kumuh berat; penyediaan prasarana dan sarana air bersih dan sanitasi lingkungan untuk 750.000 jiwa; pembinaan dan pengendalian pelaksanaan P2D di 280 kecamatan; memberikan bantuan beras bersubsidi kepada masyarakat miskin di 30 propinsi Permasalahan dan Tantangan

ii.

Penurunan daya beli telah membawa dampak ganda terhadap perubahan pola kehidupan keluarga seperti pergeseran pekerjaan dari sektor formal ke sektor informal, penurunan porsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan, serta peningkatan keresahan sosial baik di tingkat keluarga maupun masyarakat. Masalah kemiskinan merupakan masalah multi dimensi, faktor-faktor utama penyebab kemiskinan antara lain adalah: (1) rendahnya kemampuan dasar rumah tangga (keluarga), antara lain adanya ketidakcukupan pangan, taraf pendidikan dan derajat kesehatan yang kurang memadai, serta sikap hidup yang tidak produktif, (2) lemahnya struktur kegiatan ekonomi yang mendukung, antara lain tidak tersedianya lapangan kerja, ketidakmampuan masyarakat meningkatkan produksi dan pendapatan, tidak tersedianya informasi pasar, IV 29

adanya biaya tinggi, dan adanya persaingan usaha, (3) terbatasnya daya dukung wilayah, antara lain rendahnya daya dukung sumber daya alam (ketersediaan air, lahan tidak subur, iklim kering), dan terbatasnya ketersediaan prasarana dan sarana sosial-ekonomi, (4) terbatasnya kelembagaan yang mendukung, a.l. lemahnya organisasi sosial-ekonomi masyarakat, organisasi pelayanan umum yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin, dan peraturan yang menghambat. Tantangan utama yang perlu dihadapi dalam jangka pendek dalam penangulangan kemiskinan adalah bagaimana menstrukturkan intervensi pemerintah dan penentuan kegiatan/program yang diperlukan untuk dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dengan memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhinya, kemampuan pemerintah dan masyarakat, dan dukungan politik yang memadai. iii. Tindak Lanjut Untuk menjawab berbagai permasalahan sebagaimana yang tersebut di atas maka pemerintah perlu melaksanakan berbagai program penangulangan kemiskinan yang berkaitan dengan 3 agenda penanggulangan kemiskinan, namun demikian program kusus yang bersifat langsung dalam rangka penanggulangan kemiskinan meliputi: (i) review terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kemiskinan, dalam rangka meningkatkan efektivitas pelayanan kepada masyarakat miskin dan penanganan kemiskinan dilakukan pengarusutamaan program-program penanggulangan kemiskinan. (ii) pemberdayaan masyarakat, berkaitan dengan sasaran penyediaan akses masyarakat miskin ke sumberdaya eknomi dan keterlibatan masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan; (iii) peningkatan kemampuan, berkaitan dengan sasaran peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan agar masyarakat memiliki produktivitas, dan (iv) perlindungan sosial, berkaitan dengan sasaran pemberian jaminan IV 30

kehidupan bagi masyarakat yang mengalami kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, kehilangan pekerjaan sehingga berpotensi menjadi miskin.

IV 31

1.1.2 b.

Program Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk mengembangkan budaya usaha yang lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan meningkatkan ketrampilan keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha-usaha ekonomi rakyat yang produktif atas dasar sikap demokratis dan mandiri. Sasaran program ini adalah terselenggaranya pendidikan dan pelatihan ketrampilan usaha, berkembangnya perilaku keluarga miskin yang berorientasi pada usaha produktif, dan terwujudnya usaha produktif yang menguntungkan dan berkelanjutan bagi keluarga miskin. Arah kebijakannnya adalah melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran yang merupakan dampak krisis ekonomi. c. i. Pelaksanaan Hasil yang Dicapai

(1) menyelenggarakan advokasi, komunikasi, informasi, edukasi, dan konseling bagi keluarga Pra KS dan KS I mengenai pengasuhan dan penumbuhkembangan anak, kebutuhan dasar keluarga, dan akses terhadap sumber daya ekonomi., (2) mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan kewirausahaan melalui pemberian kredit modal usaha, fasilitas pelatihan teknis, pendayagunaan modal usaha dan pemasaran kepada keluarga terutama keluarga prasejahtera I melalui kelompok UPPKS. Sedangkan pelaksanaan tabungan dan kredit pinjaman dilakukan melalui perbankan, jenis skim kredit mikro yang meliputi (a) pinjaman kukesra 584.577 kelompok, (b) kukesra mandiri 1.985 kelompok, (c) kredit pengembangan kemitraan usaha 13.150 kelompok dan (d) melakukan pemberdayaan bina keluarga balita, remaja dan IV 32

lanjut usia 20.000 kelompok, (3) pemberdayaan petani kecil melalui pengembangan usaha kelompok dalam kawasan pengembangan dengan fasilitas kredit usaha kelompok, (4) pinjaman bergulir di 1.300 kelurahan, (5) memberikan bimbingan/pelatihan kemitraan dan penumbuhan wira usaha baru, (6) penyelenggaraan klinik bisnis di 25 propinsi, (7) penyaluran dana kepada usaha mikro melalui lembaga keuangan mikro/KSP-USP di tingkat local di 30 propinsi, (8) pemberdayaan masyarakat pesisir melalui penyediaan dana usaha produktif di 90 kabupaten/kota dengan 10.000 kk, (9) pemberdayaan masyarakat pesisir melalui peningkatan akses pasar dan teknologi di 7 kabupaten ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan pokok dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah rendahnya tingkat ketrampilan dan pengetahuan masyarakat yang menyebabkan kemampuan yang rendah untuk memperoleh dan memanfaatkan akses sumberdaya yang disediakan oleh pemerintah. Sumberdaya yang penting bagi masyarakat yang lemah posisinya dan miskin adalah sumberdaya ekonomi berupa modal, lokasi usaha, lahan, informasi pasar, dan teknologi, dan terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana produktif, sehingga mempersempit peluang bagi masyarakat untuk memperoleh lapangan kerja dengan penghasilan yang layak. Masalah peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat terkait dengan rendahnya kemampuan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat dalam manajerial dan sumberdaya untuk meningkatkan kompetensinya. iii. Tindak Lanjut Untuk menjawab berbagai permasalahan dan tantangan ke depan maka yang akan datang dilakukan penajaman program/kegiatan di seluruh sektor terkait dalam rangka penciptaan kesempatan, berkaitan dengan sasaran pemulihan ekonomi makro, perwujudan kepemerintahan yang baik, dan IV 33

peningkatan pelayanan umum, dalam rangka (1) percepatan pelaksanaan penyediaan kredit mikro, kecil dan menengah oleh bank atau lembaga keuangan lainnya, (2) penyediaan bantuan teknis/program pendampingan dan penguatan kelembagaan sebagai hasil dari kesepakatan pemerintah dan bank indonesia Salah satu sumber dana yang dapat dioptimalkan untuk mendukung penanggulangan kemiskinan adalah dana perbankan yang dapat dimanfaatkan melalui skim kredit kepada pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan cara skim kredit perbankan ini memang tidak secara langsung di rasakan oleh masyarakat yang tergolong miskin, karena persyaratan perbankan yang kecil kemungkinannya dapat dipenuhi oleh kelompok masyarakat miskin. Namun melalui aktivitas UMKM diharapkan dapat menarik kelompok masyarakat miskin untuk menjadi tenaga kerja dalam aktivitas usaha tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung UMKM ini dapat mendukung penanggulangan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja. Untuk itu pemerintah telah memperluas kerjasama dengan Bank Indonesia melalui MOU antara BI/ Perbankan Nasional dengan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK), mengenai (1) penyediaan portofolio kreditnya kepada usaha mikro dan kecil dan, (2) pendampingan melalui Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). 1.1.3 Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja

a. Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk mengurangi pengangguran dan setengah pengangguran melalui peningkatan jam kerja, di berbagai bidang usaha baik di perkotaan maupun di perdesaan, dan meningkatnya penerimaan devisa dari pengiriman tenaga kerja Indonesia.

IV 34

Sasaran program ini adalah memperluas kesempatan kerja dalam berbagai bidang usaha dan menciptakan tenaga kerja mandiri serta tersedianya sistem informasi dan perencanaan tenaga kerja. Arah kebijakan dan kegiatan pokok meliputi: (1) meningkatkan pelatihan yang berkaitan dengan pengenalan terhadap teknologi tepat guna, pengembangan kewirausahaan, serta berbagai keterampilan pendukung lainnya, sehingga tenaga kerja mampu menciptakan lapangan kerja; (2) menginventarisasi dan mengkaji potensi kesempatan kerja serta karakteristik pencari kerja dalam rangka mempertemukan pencari kerja dan penyedia kesempatan kerja. Kegiatan ini termasuk menyiapkan dan menyebarluaskan informasi pasar kerja; (3) membangun permukiman transmigrasi baru beserta pembinaannya untuk meningkatkan kesempatan kerja utamanya bagi pekerja di sektor pertanian. Selain itu dalam rangka memperluas dan mengembangkan kesempatan kerja, akan dilakukan upaya percepatan proses inovasi teknologi, intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pertanian; dan (4) menyempurnakan mekanisme pengiriman, pembinaan, bimbingan, dan seleksi yang lebih ketat, serta mengupayakan perlindungan yang memadai bagi pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dengan demikian, baik kuantitas maupun kualitas, tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri akan semakin meningkat. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai pada tahun 2001 adalah: (1) penempatan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP)/ Tenaga Kerja Sukarela (TKS) sebanyak 1.106 orang; (2) penempatan TKMT sebanyak 1.416 orang; (3) penerapan teknologi tepat guna/padat karya sebanyak 5.450 orang; (4) perluasan kerja sistem padat karya sebanyak 3.765 orang; (5) pembinaan anak jalanan, grameen bank dan wirausaha baru sebanyak 700 orang; (6) penempatan tenaga IV 35

kerja Antar Kerja Lokal (AKL)/Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)/Antar Kerja Khusus (AKSUS) sebanyak 20.533 orang; (7) penempatan TKI ke luar negeri sebanyak 338.963 orang. Hasil yang telah dicapai pada tahun 2002 adalah: (1) penempatan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP)/ Tenaga Kerja Sukarela (TKS) sebanyak 1.081 orang; (2) penempatan Tenaga Kerja Mandiri Terdidik (TKMT) sebanyak 993 orang; (3) penerapan teknologi tepat guna/padat karya sebanyak 4.123 orang; (4) perluasan kerja sistem padat karya sebanyak 2.526 orang; (5) pembinaan anak jalanan, grameen bank dan wirausaha baru sebanyak 700 orang; (6) penempatan AKL/AKAD/AKSUS sebanyak 95.592 orang; (7) penempatan TKI ke luar negeri sebanyak 480.393 orang. Hasil yang telah dicapai pada tahun 2003 adalah: (1) penempatan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP)/ Tenaga Kerja Sukarela (TKS) sebanyak 4.344 orang; (2) penempatan Tenaga Kerja Mandiri Terdidik (TKMT) sebanyak 4.930 orang; (3) penerapan teknologi tepat guna/padat karya sebanyak 4.855 orang; (4) perluasan kerja sistem padat karya sebanyak 8.419 orang; (5) pembinaan anak jalanan, grameen bank dan wirausaha baru sebanyak 945 orang; (6) penempatan AKL/AKAD/AKSUS sebanyak 98.602 orang; (7) penempatan TKI ke luar negeri sebanyak 293.865 orang. Hasil yang telah dicapai sampai bulai Mei tahun 2004 adalah: (1) penempatan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP)/ Tenaga Kerja Sukarela (TKS) sebanyak 210 orang; (2) penempatan Tenaga Kerja Mandiri Terdidik (TKMT) sebanyak 248 orang; (3) penerapan teknologi tepat guna/padat karya sebanyak 457 orang; (4) perluasan kerja sistem padat karya sebanyak 1.300 orang; (5) pembinaan anak jalanan, grameen bank dan wirausaha baru sebanyak 242 orang; (6) penempatan AKL/AKAD/AKSUS IV 36

sebanyak 9.883 orang; (7) penempatan TKI ke luar negeri sebanyak 18.753 orang. ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi selama periode 2000-2004 adalah: a) Adanya Bursa Kerja Swasta sebagai mitra Depnakertrans sehingga mempermudah pencari kerja untuk mendapatkan informasi lowongan dan mendapatkan bimbingan jabatan. b) Adanya modul-modul dan model pelatihan kewirausahaan, baik untuk teknologi tepat guna maupun teknologi padat karya. c) Terbukanya informasi kesempatan kerja melalui media elektronik, cetak dan internet d) Lemahnya koordinasi proses pelayanan penempatan TKI ke luar negeri e) Antusiasme calon TKI yang tinggi untuk segera dikirim ke luar negeri, sehingga memilih jalur sebagai TKI ilegal f) Maraknya mafia TKI mulai pemberangkatan sampai kepulangan g) Pelatihan kewirausahaan tidak dibarengi dengan pemberian modal kerja iii. Tindak lanjut Tindak lanjut yang diperlukan adalah: Meningkatkan koordinasi antara Depnakertrans dengan Pemerintah Daerah di tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota. b) Pelatihan calon instruktur dan pelatihan instruktur untuk peningkatan kualitas c) Rekruitmen instruktur baru dari pegawai pusat dan daerah a)

IV 37

1.1.4

Program Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja

Kualitas

dan

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk mendorong, memasyarakatkan, dan meningkatkan kegiatan pelatihan kerja dan aspek-aspek yang mempengaruhi peningkatan produktivitas tenaga kerja. Sasaran program ini adalah tersedianya tenaga kerja yang berkualitas, produktif, dan berdaya saing tinggi, baik di pasar kerja dalam negeri maupun luar negeri. Arah kebijakan yang dituangkan dalam kegiatan pokok yang dilakukan adalah: (1) mengembangkan standardisasi dan sertifikasi kompetensi yang dilakukan melalui pembentukan lembaga standardisasi dan sertifikasi kompetensi. Kegiatan ini melibatkan peran aktif asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, serikat pekerja, instansi pemerintah terkait, serta para pakar di bidangnya; (2) meningkatkan relevansi, kualitas, dan efisiensi pelatihan kerja melalui pembinaan dan pemberdayaan lembaga pelatihan kerja, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta, maupun perusahaan; dan (3) memasyarakatkan nilai dan budaya produktif, mengembangkan sistem dan metoda peningkatan produktivitas, serta mengembangkan kader dan tenaga ahli produktivitas. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai pada tahun 2001 adalah: (1) pengembangan standarisasi dan sertifikasi kompetensi; (2) pembinaan dan pemberdayaan lembaga pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta ataupun perusahaan; (3) pemasyarakatan nilai dan budaya produktif, pengembangan sistem dan metoda peningkatan produktivitas IV 38

serta pelatihan kader dan tenaga ahli produktivitas; (4) penyelenggaraan pelatihan institusional di 30 propinsi sebanyak 12.084 orang dan pelatihan non-institusional/MTU di 30 propinsi sebanyak 22.320 orang, baik untuk melatih pencari kerja, pekerja, assosiasi profesi, tokoh masyarakat ataupun LSM di perkotaan dan pedesaan; (5) pelatihan pemagangan dalam negeri sebanyak 1.680 orang tenaga kerja dan pelatihan pemagangan luar negeri sebanyak 2.094 orang; (6) pengembangan pendidikan dan pelatihan instruktur jasa dan manufaktur serta tenaga pelatih 1.256 orang; (7) pelatihan kewirausahaan sebanyak 3.285 orang; (8) pengembangan kelembagaan produktivitas di 941 perusahaan; dan (9) peningkatan sarana prasarana pelatihan BLK; serta (10) bimbingan, sosialisasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. Hasil yang telah dicapai pada tahun 2002 adalah: (1) pengembangan standarisasi dan sertifikasi kompetensi; (2) pembinaan dan pemberdayaan lembaga pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta ataupun perusahaan; (3) pemasyarakatan nilai dan budaya produktif, pengembangan sistem dan metoda peningkatan produktivitas serta pelatihan kader dan tenaga ahli produktivitas; (4) penyelenggaraan pelatihan institusional di 30 propinsi sebanyak 14.834 orang dan pelatihan non-institusional/MTU (Mobile Training unit) di 30 propinsi sebanyak 28.740 orang, baik untuk melatih pencari kerja, pekerja, assosiasi profesi, tokoh masyarakat ataupun LSM di perkotaan dan pedesaan; (5 pelatihan pemagangan dalam negeri sebanyak 2.497 orang tenaga kerja dan pelatihan pemagangan luar negeri sebanyak 1.697 orang; (6 pengembangan pendidikan dan pelatihan instruktur jasa dan manufaktur serta tenaga pelatih 2.573 orang; (7) pelatihan kewirausahaan sebanyak 2.865 orang; (8) pengembangan kelembagaan produktivitas di 533 perusahaan; dan (9) peningkatan sarana prasarana pelatihan BLK (Balai Latihan Kerja); serta (10) bimbingan, sosialisasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program.

IV 39

Hasil yang telah dicapai pada tahun 2003 adalah: (1) pengembangan standarisasi dan sertifikasi kompetensi; (2) pembinaan dan pemberdayaan lembaga pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta ataupun perusahaan; (3) pemasyarakatan nilai dan budaya produktif, pengembangan sistem dan metoda peningkatan produktivitas serta pelatihan kader dan tenaga ahli produktivitas; (4) penyelenggaraan pelatihan institusional di 30 propinsi sebanyak 14.800 orang dan pelatihan non-institusional/MTU di 30 propinsi sebanyak 20.485 orang, baik untuk melatih pencari kerja, pekerja, assosiasi profesi, tokoh masyarakat ataupun LSM di perkotaan dan pedesaan; (5) pelatihan pemagangan dalam negeri sebanyak 1.088 orang tenaga kerja dan pelatihan pemagangan luar negeri sebanyak 2.183 orang; (6) pengembangan pendidikan dan pelatihan instruktur jasa dan manufaktur serta tenaga pelatih 1.225 orang; (7) pelatihan kewirausahaan sebanyak 2.764 orang; (8) pengembangan kelembagaan produktivitas di 347 perusahaan; dan (9) peningkatan sarana prasarana pelatihan BLK; serta (10) bimbingan, sosialisasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. Hasil yang telah dicapai sampai bulan Mei tahun 2004 adalah: (1) pengembangan standarisasi dan sertifikasi kompetensi; (2) pembinaan dan pemberdayaan lembaga pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta ataupun perusahaan; (3) pemasyarakatan nilai dan budaya produktif, pengembangan sistem dan metoda peningkatan produktivitas serta pelatihan kader dan tenaga ahli produktivitas; (4) penyelenggaraan pelatihan institusional di 30 propinsi sebanyak 1.993 orang dan pelatihan noninstitusional/MTU di 30 propinsi sebanyak 2.521 orang, baik untuk melatih pencari kerja, pekerja, assosiasi profesi, tokoh masyarakat ataupun LSM di perkotaan dan pedesaan; (5) pelatihan pemagangan dalam negeri sebanyak 171 orang tenaga kerja dan pelatihan pemagangan luar negeri sebanyak 171 orang; (6) pengembangan pendidikan dan pelatihan instruktur jasa dan manufaktur serta tenaga pelatih 258 IV 40

orang; (7) pelatihan kewirausahaan sebanyak 820 orang; (8) pengembangan kelembagaan produktivitas di 123 perusahaan; dan (9) peningkatan sarana prasarana pelatihan BLK; serta (10) bimbingan, sosialisasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. ii. a) Permasalahan dan Tantangan

Faktor yang menunjang pencapaian indikator kinerja: Terdapat BLK sebanyak 6 unit yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat; b) Tersedia program dan dana APBN untuk mendukung pelaksanaan program tersebut; c) Tersedianya sarana pelatihan (instruktur, kurikulum dan peralatan praktek, dan asrama bagi peserta); d) Dengan berkembangnya Balai Latihan Swasta maka dimungkinkan adanya kerja sama antara Balai Latihan Swasta tersebut dengan BLK. Faktor yang menghambat pencapaian indikator kinerja: Terdapat BLK dan LLK (Loka Latihan Kerja) yang bukan merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat, dan pembinaan berada di bawah wewenang Pemerintah Daerah sehingga dimungkinkan adanya perbedaan kurikulum; b) Kurangnya sarana pelatihan di BLK dan LLK, sedangkan yang ada sudah tertinggal zaman, kurang sesuai dengan kebutuhan; c) Kurang instruktur baik dari segi kualitas maupun kuantitas; d) Terdapat beberapa instruktur karena proses Otonomi Daerah, berubah jabatan dan tugasnya; e) Dengan otonomi daerah, instruktur latihan sebagai jabatan fungsional belum diakui oleh Pemerintah Daerah sehingga tunjangan jabatan tidak lagi dapat dibayarkan; a)

IV 41

f) fungsi.

Terdapat beberapa BLK/LLK yang beralih

IV 42

iii. Tindak Lanjut Agar kinerja pelaksanaan program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja dapat mencapai kinerja yang diharapkan, maka tindak lanjut yang harus segera dilaksanakan adalah: a) Meningkatkan koordinasi antara Departemen dengan Pemerintah Daerah Propinsi, dan Kabupaten/Kota; b) Pelatihan calon instruktur dan pelatihan instruktur untuk peningkatan kualitas; c) Rekruitmen instruktur baru dari pegawai Pusat dan Daerah yang sudah ada; d) Penambahan sarana peralatan BLK/LLK yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. 1.1.5 a. Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program ini adalah untuk mewujudkan ketenangan bekerja dan berusaha sehingga tercipta hubungan yang serasi antara pekerja dan pengusaha yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Sasaran program ini adalah meningkatnya peran kelembagaan tenaga kerja di perusahaan, perbaikan kondisi kerja, serta jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Arah kebijakan program ini adalah: (1) melakukan pembinaan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja yang mencakup pelaksanaan sosialisasi, fasilitasi, dan pengembangan kebebasan berserikat di Indonesia, serta melakukan upaya-upaya yang dapat mendorong terbentuknya kelembagaan tenaga kerja di perusahaan; (2) meningkatkan pengawasan norma kerja, keselamatan dan kesehatan kerja serta IV 43 Program Perlindungan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja Tujuan, dan

jaminan sosial bagi perbaikan kesejahteraan agar pekerja dapat hidup dengan layak; (3) meningkatkan perlindungan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap peraturan yang diberlakukan bagi tenaga kerja, termasuk tenaga kerja yang bekerja di luar negeri dan bagi anak yang terpaksa bekerja, serta tenaga kerja penyandang cacat; (4) meningkatkan pembinaan syarat-syarat kerja dan penegakan terhadap pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan, termasuk jaminan kerja, untuk mencegah praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan dan memastikan agar perempuan mendapatkan haknya, baik hak ekonomi langsung seperti upah yang layak sesuai dengan kebutuhan hidup para pekerja dan jenjang karier, maupun hak ekonomi tak langsung seperti cuti haid, melahirkan dan menyusui; dan (5) menindaklanjuti berbagai ketentuan dari konvensi International Labour Organization (ILO) yang sudah diratifikasi mengenai perlindungan tenaga kerja. b. Perlaksanaan i. Hasil yang Dicapai Hasil yang telah dicapai pada tahun 2001 adalah (1) komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pendidikan dan penyuluhan sebanyak 2.000 orang; (2) pengembangan kelembagaan ketenagakerjaan sebanyak 1.500 orang; (3) pembinaan syarat kerja dan kesejahteraan pekerja sebanyak 2.000 orang; (4) perlindungan tenaga kerja, pengawasan/pemeriksaan hubungan industrial dan norma kerja sebanyak 718 perusahaan; (5) penyelesaian kasus perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja sebanyak 2.166 orang; (6) penanganan pemogokan dan unjuk rasa para pekerja sebanyak 174 kasus; (7) membantu penyusunan peraturan perusahaan sebanyak 36.030 peraturan perusahaan; (8) membantu dalam penyusunan kesepakatan kerja bersama (KKB) sebanyak 8.997 KKB; (9) meningkatnya UMR (Upah Minimum Regional) sebanyak 33,29 persen dan (10) mengembangkan jaminan sosial tenaga IV 44

kerja (Jamsostek) sebanyak 19,76 juta tenaga kerja di 99.184 perusahaan. Hasil yang telah dicapai pada tahun 2002 adalah (1) komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pendidikan dan penyuluhan sebanyak 3.192 orang; (2) pengembangan kelembagaan ketenagakerjaan sebanyak 1.564 orang; (3) pembinaan syarat kerja dan kesejahteraan pekerja sebanyak 1.956 orang; (4) perlindungan tenaga kerja, pengawasan/pemeriksaan hubungan industrial dan norma kerja sebanyak 5.392 perusahaan; (5) penyelesaian kasus perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja sebanyak 6.982 orang; (6) penanganan pemogokan dan unjuk rasa para pekerja sebanyak 220 kasus; (7) membantu penyusunan peraturan perusahaan sebanyak 36.252 peraturan perusahaan; (8) membantu dalam penyusunan kesepakatan kerja bersama (KKB) sebanyak 9.081 KKB; (9) meningkatnya UMR sebanyak 27,96 persen dan (10) mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebanyak 20,61 juta tenaga kerja di 102.821 perusahaan. Hasil yang telah dicapai pada tahun 2003 adalah (1) komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pendidikan dan penyuluhan sebanyak 14.630 orang; (2) pengembangan kelembagaan ketenagakerjaan sebanyak 3.200 orang; (3) pembinaan syarat kerja dan kesejahteraan pekerja sebanyak 2.530 orang; (4) perlindungan tenaga kerja, pengawasan/pemeriksaan hubungan industrial dan norma kerja sebanyak 1.745 perusahaan; (5) penyelesaian kasus perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja sebanyak 2.977 orang; (6) penanganan pemogokan dan unjuk rasa para pekerja sebanyak 160 kasus; (7) membantu penyusunan peraturan perusahaan sebanyak 36.210 peraturan perusahaan; (8) membantu dalam penyusunan kesepakatan kerja bersama (KKB) sebanyak 9.102 KKB; (9) meningkatnya UMR sebanyak 14,76 persen dan (10) mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebanyak 20,61 juta tenaga kerja di 102.821 perusahaan. IV 45

Hasil yang telah dicapai sampai bulan Mei tahun 2004 adalah (1) komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pendidikan dan penyuluhan sebanyak 866 orang; (2) pengembangan kelembagaan ketenagakerjaan sebanyak 1.876 orang; (3) pembinaan syarat kerja dan kesejahteraan pekerja sebanyak 285 orang; (4) perlindungan tenaga kerja, pengawasan/pemeriksaan hubungan industrial dan norma kerja sebanyak keselamatan, dan kesehatan kerja; (5) penyelesaian kasus perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja sebanyak 1.207 orang; (6) penanganan pemogokan dan unjuk rasa para pekerja sebanyak 63 kasus; (7) membantu penyusunan peraturan perusahaan sebanyak 36.269 peraturan perusahaan; (8) membantu dalam penyusunan kesepakatan kerja bersama (KKB) sebanyak 9.118 KKB; (9) meningkatnya UMR sebanyak 10,8 persen dan (10) mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebanyak 20,61 juta tenaga kerja di 102.821 perusahaan. ii. Permasalahan dan Tantangan

Faktor yang menunjang pencapaian kinerja adalah: (1) terdapat Balai Pelayanan Hygiene Perusahaan Ergonomi Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebanyak 5 unit yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat; (2) tersedia program dan dana APBN untuk mendukung pelaksanaan program tersebut; (3) tersedianya pegawai teknis bidang ketenagakerjaan, yaitu pegawai perantara ketenagakerjaan dan pengawas ketenagakerjaan. Faktor yang menghambat pencapaian indikator kinerja adalah: (1) tidak terpantaunya kegiatan Hubungan Industrial Pancasila akibat otonomi daerah; (2) belum tercapainya konsensus mengenai aturan main penetapan upah minimum; (3) belum ada persepsi yang sama antara Depnakertrans dengan Pemerintah Daerah dalam hal penanganan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; (4) banyaknya Serikat IV 46

Pekerja/Buruh sehingga menyulitkan dalam penetapan wakil pekerja/buruh; (5) kurangnya koordinasi pengawasan K3 dengan instansi teknis terkait dalam bidang pembuatan peraturan perundangan; (6) pengusaha tidak memberikan hak-hak normatif kepada pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga mengakibatkan pekerja melakukan tindakan melawan hukum; (7) terdapat Balai Pelayanan Hygiene Perusahaan Ergonomi Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang bukan merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat, sehingga pembinaan berada di bawah wewenang Pemerintah Daerah; (8) kurangnya tenaga ahli ergonomi baik dari segi kualitas maupun kuantitas; (9) terdapat beberapa instruktur karena proses otonomi daerah, berubah jabatan dan tugasnya. iii. Tindak lanjut Tindak lanjut yang diperlukan: a) ngkatkan koordinasi antara Departemen Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. b) Meni dengan

Meni ngkatkan peran dan fungsi lembaga ketenagakerjaan c) Sosi alisasi/penyuluhan tentang mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja kepada para pengusaha, pekerja dan LSM secara periodik d) Pend idikan dan pelatihan teknis hubungan industrial dan syarat kerja atau dibuat Kepaniteraan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) secara periodik e) Kons ultasi/pembinaan teknis antara ketua, anggota, Kepaniteraan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) seluruh Indonesia dengan P4P

IV 47

dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta serta Mahkamah Agung secara periodik f) Men goptimalkan penyelesaian kasus-kasus PHI dan PHK g) Peny elesaian secara tuntas kasus-kasus yang bersifat normatif di tiap-tiap dinas bidang ketenagakerjaan di seluruh Indonesia. h) Mem banguan link antara pusat dan daerah sehingga sistem pelaporan dapat berjalan dengan baik dan lancar sehingga data lebih akurat i) Men yosialisasikan dan memasyarakatkan sistem hubungan industrial melalui elektronik dan media cetak. j) Men yusun aturan main dalam rangka penetapan upah minimum. 1.1.6 Sosial a. Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk melindungi keluarga dan kelompok masyarakat dari keadaan darurat yang dapat menimbulkan terganggunya pendapatan atau konsumsi seperti bahaya kelaparan, musibah bencana alam, kecelakaan, dan kerusuhan sosial. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Program Pengembangan Sistem Jaminan

Sampai dengan tahun 2004, sesuai dengan arahan Propenas 2000-2004 dan kemampuan pemerintah, peralihan kegiatan dari sistem Jaring Pengaman Sosial telah dilakukan meskipun belum melalui suatu Sistem Jaminan dan IV 48

Perlindungan Sosial Nasional yang secara terstruktur mencakup kewajiban dan share pemerintah pusat dan daerah. Namun demikian dalam berbagai kegiatan di beberapa sektor pembangunan telah dilaksanakan upaya-upaya pemenuhan kebutuhan pelayanan sosial dasar yang juga merupakan kegiatan perlindungan sosial dan dilaksanakan secara sektoral seperti antara lain di sektor kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Hasil pembangunan lain yang telah dicapai sejauh ini dapat dilihat dari telah terbentuknya suatu Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tahun 2001 yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Pada akhir tahun 2002, sesuai dengan jadwal kegiatan Tim SJSN, suatu naskah akademik tentang SJSN telah selesai disusun dan disempurnakan. Pada pertengahan tahun 2003, Naskah Akademik tentang SJSN telah diserahkan kepada DPR untuk keperluan pengajuan RUU SJSN. Diharapkan UU SJSN dapat memayungi upaya perlindungan sosial melalui suatu sistem jaminan sosial yang pendanaannya dipenuhi oleh penduduk yang mempunyai pekerjaan (subsidi silang) dan dunia usaha. Di samping itu, telah pula dilakukan berbagai kajian mengenai sistem perlindungan dan jaminan sosial, yang pada intinya berupaya untuk menuju kearah pembentukkan suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional (SPJSN) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia dan pendanaannya dipenuhi oleh masyarakat yang bekerja, dunia usaha dan pemerintah. Salah satu kajian menyatakan perlunya suatu SPJSN yang dikaitkan dengan sistem administrasi penduduk yang mantap. Dengan demikian identifikasi penduduk yang layak memperoleh perlindungan dan jaminan sosial akan lebih tepat, aman, dan praktis. Disadari bahwa pembentukkan suatu SPJSN memerlukan waktu yang panjang dan lama, oleh karena itu, intervensi dalam jangka pendek adalah mengutamakan SPJSN untuk masyarakat miskin dan rentan. IV 49

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Hambatan dan kendala yang membutuhkan perhatian dan penanganan lebih lanjut adalah keterkaitan dan keserasian antara kegiatan perlindungan sosial dalam bentuk kegiatan-kegiatan sektoral yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Belum adanya suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial merupakan suatu maslah yang mengaburkan kepentingan hubungan pusat dan daerah dalam rangka pemenuhan pelayanan sosial dasar. iii. Tindak Lanjut Upaya tindak lanjut adalah diperlukannya suatu kerangka pemikiran tentang SJSN walaupun masih dalam bentuk yang sangat umum. Di samping itu, penguatan tatanan kegiatan antar sektor dalam upaya penanggulangan kemiskinan perlu dimantapkan sebagai dasar pijakan untuk memilah kegiatan-kegiatan yang sudah ada dalam kerangka perlindungan sosial bagi rakyat miskin dan rentan. Sementara itu, tindak lanjut penting pada tahun selanjutnyua adalah dikeluarkannya UU SJSN yang diharapkan akan memayungi upaya-upaya perlindungan sosial melalui suatu sistem perlindungan sosial nasional yang pendanaannya dipenuhi oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sendiri. 1.1.7 Program Asuransi Sosial

a. Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan Program asuransi sosial bertujuan untuk melindungi peserta asuransi dan anggota keluarganya dari keadaan-keadaan yang tidak diinginkan, seperti pemutusan hubungan kerja, kecelakaan kerja, sakit, dan kematian. Program asuransi sosial ini dibiayai oleh masyarakat dan dunia usaha. Sasaran program ini adalah meningkatnya jumlah penduduk dan keluarga yang terlindungi oleh Asuransi Sosial. IV 50

b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Sampai dengan tahun 2004 telah dikembangkan beberapa skema asuransi yang pelaksanaannya merupakan kegiatan yang didanai pemerintah maupun bantuan luar negeri. Pada asuransi sosial di bidang kesehatan, telah dikembangkan skema Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang khusus ditujukan kepada para pekerja di sektor informal mengingat skema yang ada hanya mencakup para pekerja di sektor formal. Selain itu, langkah awal juga telah dibicarakan untuk pembentukan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional. Disamping itu, skema asuransi sosial yang sudah mantap seperti Askes telah mengembangkan pelayanan hingga mencapai asuransi swasta. Perkembangan pada asuransi sosial untuk jaminan tenaga kerja, Jamsostek, ditandai dengan perluasan skemanya yang mecakup pelayanan asuransi kesehatan. Sedangkan asuransi sosial dana pensiun, Astek, telah berupaya meningkatkan jaminan bagi para pesertanya, walaupun masih sangat terbatas. Sementara itu, skema asuransi kesejahteraan sosial yang telah dirintis sejak beberapa waktu lalu juga semakin dikembangkan dan diupayakan untuk lebih mantap melalui telaah dan kajian sehingga mampu mencakup para pekerja di sektor informal termasuk para penyandang cacat yang bekerja. ii. Permasalahan dan Tantangan

Kendala utama yang masih dihadapi dalam rangka melindungi para peserta asuransi adalah masih belum memadainya sistem perlindungan hukum dan perundangundangan yang ada. Sehingga upaya untuk memperkuat sistem asuransi sosial yang sudah ada akan menjadi semakin mantap. Meskipun kemajuan dalam hal perluasan jenis IV 51

asuransi yang dicakup telah berkembang seperti yang dialami oleh Askes dan Jamsostek, namun besarnya premi dan nilai pertanggungan yang pantas masih menjadi kendala bagi para pekerja karena struktur pembayaran premi, terutama yang menjadi beban dunia usaha atau pihak pemberi kerja, masih dirasakan belum memadai. Hal lain yang menjadi perhatian adalah pemikiran bahwa asuransi yang demikian bervariasi dan dilaksanakan secara sektoral, sebenarnya dapat dikemas dalam bentuk perlindungan sosial dan bukan asuransi sosial. Namun hal ini masih memerlukan kajian, telaah, dan formulasi yang lebih kompleks dan secara rinci. Sistem asuransi sosial yang telah ada, perlu dimantapkan melalui pengembangan kegiatan dan cakupan asuransi. Kendala utama yang dihadapi dalam rangka melindungi para peserta asuransi adalah masih belum memadainya sistem perlindungan hukum dan perundang-undangan yang ada. Sehingga upaya untuk memperkuat sistem asuransi sosial yang sudah ada semakin mantap. Meskipun kemajuan dalam hal perluasan jenis asuransi yang dicakup telah berkembang seperti yang dialami oleh ASKES dan Jamsostek, namun besarnya premi dan nilai pertanggungan yang pantas masih menjadi kendala bagi para pekerja karena struktur pembayaran premi, terutama yang menjadi beban dunia usaha atau pihak pemberi kerja, masih dirasakan belum memadai. iii. Tindak Lanjut Dengan peraturan yang ada, dan perbaikan struktur asuransi sosial yang ada, maka peran dunia usaha dalam memenuhi kewajibannya masih perlu ditingkatkan agar besarnya nilai pertanggungan yang diterima anggota menjadi cukup memadai dibandingkan dengan keadaan sekarang ini. Advokasi dan sosialisasi terhadap dunia usaha termasuk usaha kecil dan menengah masih perlu ditingkatkan guna memicu kesadaran untuk mengikut sertakan pekerja dalam skema asuransi sosial. Disamping itu, perlu juga dipertajam IV 52

peran pemerintah dalam upaya untuk ikut menanggung beban kewajiban bagi para pekerja sipil dan ABRI.

IV 53

1.1.8

Program Pengembangan Agribisnis

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program Pengembangan Agribisnis bertujuan utuk menciptakan peluang usaha dan memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis yang mencakup usaha di bidang agribisnis hulu, on-farm, agribisnis hilir, dan usaha jasa pendukungnya. Program ini mempunyai tiga sasaran yang ingin dicapai, yaitu (1) meningkatnya kualitas usaha agribisnis sehingga dapat mencapai pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) pertanian, (2) meningkatnya pendapatan masyarakat pertanian, dan (3) meningkatnya ekspor hasil pertanian primer dan agroindustri. Arah kebijakan program ini didasarkan pada arah kebijakan yang telah diamanatkan dalam GBHN 1999-2004 butir 1 bidang Ekonomi, yaitu mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, pelindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Produksi komoditi tanaman pangan pada tahun 2003 meningkat dan mencatat rekor produksi tertinggi sepanjang sejarah untuk empat komoditas utama tanaman pangan. Peningkatan produktivitas ini merupakan hasil berbagai cara yang dilakukan yaitu (1) inovasi teknologi seperti penemuan bibit unggul baru, (2) inovasi teknologi budidaya dan (3) perbaikan infrastruktur maupun kelembagaan. IV 54

Trend produksi tanaman hortikultura, khususnya sayuran secara umum juga mengalami peningkatan. Disamping meningkatnya permintaan pasar dan harga, peningkatan produktivitas merupakan penyumbang terbesar terhadap peningkatan produksi tanaman hortikultura. Selain itu, peningkatan luas panen yang terjadi pada beberapa komoditas hortikultura tertentu juga merupakan faktor penyumbang terhadap peningkatan produksi tanaman hortikultura. Secara umum, pada masa pemulihan ekonomi (20002003) produksi komoditas perkebunan meningkat. Peningkatan produksi pada masa pemulihan ekonomi setelah krisis, terutama disebabkan oleh pertumbuhan luas panen pada masa pemulihan ekonomi yang merupakan upaya pemerintah dalam peningkatan produksi perkebunan, Namun demikian, hasil dari perkebunan teh menurun 1,09 persen. Hal ini diduga disamping karena ekstensifikasi perkebunan teh sudah tidak memungkinkan lagi, juga perkebunan yang sudah ada justru semakin berkurang (karena konversi lahan perkebunan teh atau ada beberapa perkebunan teh yang tidak memperpanjang HGUnya). Pada sub sektor peternakan, khususnya pada masa pemulihan ekonomi (2000-2003) secara umum baik populasi ternak maupun daging terjadi peningkatan. Selain itu, periode 1999-2003 terjadi peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Ini menunjukkan keberhasilan program sistem dan usaha agribisnis dalam meningkatkan pendapatan petani. Kinerja neraca perdagangan komoditas pertanian juga mengalami peningkatan secara konsisten. Bahkan pada saat krisis ini nilai ekspor komoditas pertanian mengalami peningkatan. Sebaliknya nilai impor komoditas pertanian sebelum krisis ekonomi tidak banyak mengalami perubahan berarti dibanding masa pemulihan ekonomi. Hal tersebut

IV 55

menyebabkan neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami surplus dan cenderung meningkat. ii. Permasalahan dan Tantangan

Tantangan terbesar produksi pangan nasional adalah kemandirian nasional dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Di satu pihak, peningkatan jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat akan terus meningkatkan kebutuhan pangan nasional. Di lain pihak, terjadi penurunan kapasitas nasional dalam memproduksi pangan yang disebabkan oleh menurunnya luas baku lahan pertanian akibat semakin meningkatnya konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian, yang sifatnya irreversible. Guna menjamin peningkatan produksi pangan yang cukup untuk memenuhi peningkatan kebutuhan nasional, maka upaya peningkatan luas panen melalui perluasan areal, pengendalian konversi lahan dan perbaikan sistem irigasi mutlak diperlukan. Salah satu kendala terbesar dalam peningkatan produksi padi di Indonesia, saat ini antara lain adalah semakin memburuknya kualitas dan kuantitas jaringan irigasi. Perubahan lingkungan yang semakin buruk telah mengakibatkan kualitas dan kuantitas air yang dapat ditampung dalam bendungan-bendungan semakin terbatas yang berakibat banjir pada saat musim hujan dan kekeringan ada saat musim kemarau. Perbaikan lingkungan khususnya mencegah terjadinya penggundulan dan perambahan hutan merupakan hal yang sangat strategis dan mendesak. Kejadian banjir pada awal tahun 2003 dan datangnya musim kemarau yang lebih awal, sempat membuat kekhawatiran pencapaian produksi padi. Sesuai dengan hasil investigasi sebagai upaya antisipasi untuk merespon situasi tersebut ternyata daerah-daerah yang dilaporkan mengalami kekeringan memang merupakan daerah yang rawan kekeringan untuk musim tanam padi kedua karena

IV 56

terbatasnya ketersediaan air irigasi, areal persawahan beririgasi teknis masih dapat berproduksi secara normal. Selain itu, adanya gempuran impor produk pangan terutama impor ilegal juga sangat memukul upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri dan disamping merugikan perekonomian nasional. Diperlukan koordinasi dan dukungan sektor terkait untuk menanggulangi impor ilegal. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang diperlukan antara lain adalah: Koordinasi antara instansi dalam pengambilan kebijakan makro terutama dalam kaitannya dengan peningkatan ekspor komoditas pertanian dan perlindungan produk pertanian; b) Peningkatan upaya pengembangan sarana dan prasarana dasar dalam upaya mendukung upaya pengembangan agribisnis seperti peningkatan ketersediaan air di lahan irigasi dan lahan kering, tersedianya saprodi di tingkat usahatani, pengawasan pupuk dan pestisida; c) Pengembangan sistem dan usaha perbenihan (industri perbenihan) melalui pengembangan industri benih (swasta dan penangkar benih), peningkatan ketersediaan benih, dan peningkatan kapasitas industri benih; d) Peningkatan produktivitas melalui menyebaran varietas unggul dan benih unggul, optimalisasi pemanfaatan air, penyebarluasan teknologi spesifik lokasi dan efisiensi usahatani, peningkatan areal tanam; e) Pengamanan produksi dan pengembangan sistem pengamanan produksi berupa peningkatan mutu/ kesehatan produk, menurunnya angka kerusakan tanaman, meningkatnya nisbah luas panen terhadap luas tanam, dst; a) IV 57

f)

Pengembangan sistem pengamanan harga dan sistem pemasaran melalui analisa model pasar, penetapan kebijakan impor yang serasi, standardisasi komoditas impor, analisis model pemasaran dan lain-lain. g) Peningkatan upaya pengawasan terhadap jalur masuk produk impor, dalam hal ini produksi pangan. h) Peningkatan pengamanan berusaha di bidang pertanian 1.1.9 Program Peningkatan Ketahanan Pangan

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk: (1) Menciptakan iklim yang kondusif bagi berfungsinya sub sistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi, (2) Meningkatkan ketersediaan pangan dalam jumlah, mutu, dan keragaman, (3) Mengembangkan sistem distribusi dengan tingkat harga yang terjangkau, (4) Meningkatkan penganekaragaman hasil pangan olahan, (5) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan, dan (6) Meningkatkan kewaspadaan pangan masyarakat. Sasaran program ini adalah: (1) Dicapainya tingkat ketersediaan pangan tingkat nasional dan masyarakat yang cukup, (2) Mengembangkan kemitraan usaha para pelaku agribisnis untuk meningkatkan ketahanan pangan, dan (3) Meningkatnya keaneragaman konsumsi dan menurunnya ketergantungan pada pangan pokok beras, dan (4) menurunnya tingkat kerawanan pangan masyarakat. Arah kebijakan program ini berdasarkan pada arah kebijakan yang telah diamanatkan dalam GBHN 1999-2004 butir 14 bidang Ekonomi, yaitu mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin IV 58

tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan, serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang.

IV 59

b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Kemandirian pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Oleh karena itu, salah satu indikator untuk mengukur kemandirian pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Hasil pemantauan mengenai rasio impor beberapa bahan pangan penting terhadap total penyediaan pangan dalam kalori/kapita/hari menunjukkan, bahwa ketergantungan impor, dalam bentuk kalori per jenis bahan pangan terhadap total penyediaan kalori, secara umum relatif kecil. Adapun perkembangan ketergantungan terhadap impor berfluktuasi, namun secara umum turun. Situasi konsumsi pangan penduduk di tingkat rumah tangga yang memburuk sejak terjadinya krisis ekonomi nasional telah semakin membaik dan hampir pulih kembali pada tingkat konsumsi sebelum krisis. Hal ini mengindikasikan, bahwa berbagai usaha pemulihan ekonomi yang sudah dan sedang dijalankan telah membawa dampak positif terhadap perbaikan konsumsi pangan penduduk, baik kualitas maupun kuantitas. Kebijakan perberasan yang dituangkan dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2001, yang kemudian disempurnakan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2002, dinilai cukup efektif untuk meningkatkan ekonomi perberasan nasional. Kebijakan operasional sesuai dengan Inpres tersebut termasuk tarif bea masuk beras serta larangan impor beras pada masa-masa panen raya merupakan instrumen kebijakan yang cukup efektif dalam menjaga Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP). IV 60

Tingkat upah merupakan salah satu indikator ketahanan pangan, karena besaran dan kecenderungan perubahan tingkat upah menunjukkan perubahan kemampuan daya beli rumah tangga. Perbedaan perkembangan dan fluktuasi upah riil antara sektor industri dan pertanian menunjukkan bahwa upah riil buruh sektor industri lebih baik dari sektor pertanian, karena adanya upaya pemulihan ekonomi dan pemberlakuan upah minimum regional pada sektor industri. Hal ini juga menyebabkan perbedaan upah riil antara sektor industri, bangunan, dan sektor informal lainnya cenderung melebar.

ii. Permasalahan dan Tantangan


Perkembangan ketersediaan energi dan protein selama lima tahun terakhir cenderung turun, karena pertumbuhan produksi yang relatif lambat, dan impor yang semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan impor yang sangat besar pada awal reformasi merupakan dampak dari dibukanya pasar domestik (efek psikologis), sehingga volume yang diimpor sesungguhnya lebih banyak dari kebutuhan. Penurunan impor pada tahun-tahun berikutnya merupakan rasionalisasi dari tindakan excessive import pada tahun-tahun awal. Penurunan volume impor pangan ini menjelaskan penurunan tingkat ketersediaan energi selama lima tahun terakhir. Perhitungan pencapaian Pola Pangan Harapan (PPH) juga menunjukkan bahwa kualitas konsumsi tahun 2002 lebih baik dari kualitas konsumsi tahun 1999, meskipun konsumsi energi penduduk baru mencapai 90,3 persen dari AKG yang dianjurkan (2200 Kkal). Hal ini mengindikasikan bahwa kecukupan gizi dan mutu pangan penduduk masih belum sesuai anjuran PPH, belum beragam, bergizi, dan berimbang. Selisih harga antara Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dengan harga rata-rata di tingkat petani memberikan insentif yang cukup besar bagi pedagang untuk mengimpor IV 61

beras, baik secara legal maupun ilegal. Volume impor beras bisa tidak "sesuai" dengan pola panen padi, sehingga pada saat panen raya volume impor beras justru meningkat. Kondisi ini terus menekan harga beras dalam negeri dan memperparah jatuhnya harga gabah di tingkat petani pada saat panen raya. Kaitan antara upah buruh dengan ketahanan pangan terletak pada keseimbangan nilai upah yang diterima buruh saat ini dalam mengakses pangan bagi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan 2200 kalori per hari per orang. Atas dasar perkiraan tersebut, maka kondisi ketahanan pangan rumah tangga buruh tani belum memenuhi standar PPH dan masih cukup memprihatinkan. iii. Tindak Lanjut Program peningkatan ketahanan pangan masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain: (1) masih berlanjutnya dampak krisis, terjadinya bencana alam, dan konflik sosial sehingga kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok belum pulih; (2) stagnasi dan tekanan terhadap produksi dan produktivitas komoditas pangan domestik; (3) belum berkembangnya keanekaragaman produksi dan konsumsi bahan pangan; (4) tantangan yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralisasi; dan (5) tekanan akibat arus globalisasi. Tindak lanjut yang masih terus dilakukan untuk menangani permasalahan dan menghadapi tantangan di atas, antara lain: (1) Koordinasi antara sektor dan instansi dalam merumuskan sistem ketahanan pangan dan pengambilan kebijakan makro dalam kaitannya penanganan permasalahan pangan nasional; (2) Koordinasi antara sektor dan instansi dalam mengupayakan jaminan terhadap pemenuhan produksi komoditas pangan domestik; (3) Pengembangan sistem penanganan dini dan penanganan rawan pangan, termasuk dalam kerangka jaminan sosial dan mekanisme bantuan IV 62

pangan dari pihak luar; (4) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap penganekaragaman produksi dan konsumsi bahan pangan, termasuk pengembangan produk pangan olahan dan sistem kelembagaan distribusi pangan; (5) Pengembangan kebijakan dan langkah koordinasi dalam menghadapi arus globalisasi, terutama untuk memberikan perlindungan bagi produsen dan konsumen domestik yang terkait dengan bahan pangan; (6) Pengembangan sistem ketahanan pangan nasional, terutama dalam menghadapi pelaksanaan desentralisasi pembangunan. 1.1.10 Pengairan a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk menunjang tercapainya pemantapan dan peningkatan ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis, serta penyediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan permukiman baik di perkotaan maupun perdesaan, industri, dan kebutuhan non pertanian lainnya, yang dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan produktivitas pengelolaan jaringan irigasi serta meningkatkan aksesbilitas masyarakat terhadap ketersediaan air baku terutama bagi masyarakat perdesaan dan masyarakat perkotaan berpenghasilan rendah agar tercipta keadilan dan pemerataan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengelolaan jaringan irigasi dilaksanakan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat pengelola air bersama pemerintah provinsi/kabupaten/kota sesuai prinsip-prinsip partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, yang menjamin terselenggaranya alokasi air melalui penegakan hak guna air yang adil sehingga tercipta tatanan kelembagaan pengelolaan irigasi yang handal. Adapun sasaran program ini adalah: (1) terselenggaranya pengaturan kembali tugas, peran, dan tanggung jawab pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan jaringan irigasi; IV 63 Program Pengembangan dan Pengelolaan

(2) meningkatnya pemberdayaan organisasi masyarakat pengelola air melalui peningkatan kemampuan berorganisasi dan teknik pengoperasian tata air sehingga mampu melaksanakan tugas, dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan irigasi; (3) meningkatnya pelaksanaan pengelolaan jaringan irigasi secara demokratis kepada organisasi masyarakat pengelola air; (4) terwujudnya pola pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi; (5) berkembangnya kegiatan pertanian, agribisnis, dan perdesaan serta tercapainya ketahanan pangan melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi serta rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi, termasuk jaringan reklamasi rawa untuk mendukung peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani; (6) terselenggaranya perlindungan lahan beririgasi dari konversi lahan melalui penegakan hukum dan peraturan termasuk penerapan rencana tata ruang; (7) meningkatnya penyediaan dan aksesibilitas air baku untuk memenuhi kebutuhan permukiman, perkotaan, industri, dan keperluan nonpertanian lainnya. Untuk itu, beberapa kebijakan yang ditempuh adalah: 1) keterpaduan pelaksanaan pengelolaan serta meningkatkan peran stakeholder untuk memenuhi kebutuhan air irigasi agar tingkat layanan dan fungsi infrastruktur irigasi dapat dipertahankan sehingga dapat menunjang ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 2) pengembangan irigasi diarahkan untuk meningkatkan fungsi jaringan irigasi yang dapat meningkatkan jaminan ketersediaan air irigasi, dan meningkatkan produksi padi nasional terutama di wilayah lumbung padi nasional, 3) penyediaan dan pengelolaan air baku diarahkan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, dan industri baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan secara adil dan merata agar masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang sehat, bersih, dan lebih produktif; 5) mengatur fungsi, tugas, dan wewenang, dan tanggung jawab lembaga pengelola sumber daya air, serta wadah koordinasi pengelola sumber daya air yang mampu mengkoordinasikan kepentingan berbagai stakeholder, serta 4) meningkatkan partisipasi masyarakat dengan prinsip pemberdayaan.

IV 64

b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Dalam pelaksanaan Program Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan telah dicapai hal-hal sebagai berikut: (1) meningkatnya luas lahan beririgasi teknis dan produktivitas lahan sehingga tercapai peningkatan indeks pertanaman (IP) hingga menjadi rata-rata sebesar 150 persen; (2) meningkatnya kinerja organisasi masyarakat petani pengelola air irigasi yang telah diberdayakan sehingga pengelolaan jaringan irigasi menjadi lebih optimal; (3) mulai dikenalnya beberapa alternatif pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi; (4) meningkatnya keterpaduan penggunaan air tanah dan air permukaan serta keterpaduan pengendalian pencemaran air tanah dan air permukaan; (5) terselenggaranya perlindungan lahan beririgasi dari konversi lahan melalui penegakan hukum dan peraturan termasuk rencana tata ruang; dan (6) disahkannya Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, serta diselesaikannya konsep beberapa peraturan pemerintah sebagai pedoman pelaksanaannya yang menempatkan pemerintah sebagai penanggung jawab pengembangan dan pengelolaan irigasi primer dan sekunder dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Dengan disahkannya UU. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air di mana tidak diamanatkan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi kepada petani, maka saat ini tidak lagi dilakukan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi kepada petani. Pengelolaan irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai dengan kewenangannya, dan irigasi tersier merupakan tanggung jawab petani. Namun demikian, masyarakat petani diberi kesempatan seluas-luasnya untuk ikut berpartisipasi. Selain itu, dalam rangka menunjang peningkatan produksi padi nasional untuk menunjang ketahanan pangan IV 65

dan memenuhi kebutuhan air baku bagi kebutuhan rumah tangga, permukiman, industri baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, maka pada tahun 2001 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi seluas 187,60 ribu hektar, pembangunan jaringan irigasi baru yang mencakup 97,65 ribu hektar, rehabilitasi 10 bendung, pencetakan sawah 2.500 hektar, pembangunan jaringan irigasi air tanah seluas 26,02 ribu hektar. Upaya memanfaatkan potensi rawa juga telah dilakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan rawa seluas 96,78 ribu hektar, dan pembangunan jaringan rawa seluas 25.000 hektar. Untuk penyediaan air baku, telah dilakukan rehabilitasi 21 bangunan penyediaan air baku, pembangunan 31 bangunan penyediaan air baku, serta pembangunan 2 embung untuk memenuhi pasokan air baku. Di samping itu, untuk menanggulangi banjir dan abrasi pantai juga dilakukan pemeliharaan dan normalisasi 595 kilometer alur sungai, pembangunan 266 kilometer tanggul, dan pembangunan bangunan pengaman pantai sepanjang 4 kilometer. Tahun 2002 dilakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi seluas 287,85 ribu hektar, pembangunan jaringan irigasi baru yang mencakup 137,45 ribu hektar, pencetakan sawah 2.115 hektar, rehabilitasi 6 bendung, pembangunan jaringan irigasi air tanah seluas 1.000 hektar. Upaya memanfaatkan potensi rawa juga telah dilakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan rawa seluas 125,50 ribu hektar, dan pembangunan jaringan rawa seluas 15.000 hektar. Untuk penyediaan air baku, telah dilakukan rehabilitasi 2 bangunan penyediaan air baku, pembangunan 64 bangunan penyediaan air baku, pembangunan 2 embung untuk memenuhi pasokan air baku, rehabilitasi 3 kilometer saluran pembawa, dan pembangunan 4 kilometer saluran pembawa. Di samping itu, untuk menanggulangi banjir dan abrasi pantai juga dilakukan pemeliharaan dan normalisasi 462 kilometer alur sungai, rehabilitasi 327 kilometer prasarana pengendali banjir, pembangunan 324 kilometer tanggul,

IV 66

pembangunan bangunan pengaman pantai sepanjang 22 kilometer, dan pembangunan 6 chekdam. Tahun 2003 dilakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi seluas 421,21 ribu hektar, pembangunan jaringan irigasi baru yang mencakup 80,75 ribu hektar, pencetakan sawah 510 hektar, rehabilitasi 20 bendung, pembangunan 19 bendung, dan pembangunan jaringan irigasi air tanah seluas 1.546 hektar. Upaya memanfaatkan potensi rawa juga telah dilakukan pembangunan saluran primer jaringan rawa sepanjang 24,04 kilometer. Untuk penyediaan air baku, telah dilakukan rehabilitasi 13 bangunan penyediaan air baku, pembangunan 50 bangunan penyediaan air baku, rehabilitasi 21 kilometer saluran pembawa, dan pembangunan 38 kilometer saluran pembawa. Untuk menanggulangi banjir dan abrasi pantai juga dilakukan pemeliharaan 494 kilometer sungai, normalisasi 198 kilometer alur sungai, rehabilitasi 954 kilometer tanggul, pembangunan bangunan pengaman pantai sepanjang 17 kilometer, dan pembangunan 27 chekdam. Tahun 2004 sedang dilakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi seluas 662,51 ribu hektar, pembangunan jaringan irigasi baru yang mencakup 138,85 ribu hektar, pencetakan sawah 4.570 hektar, rehabilitasi 56 bendung, pembangunan 2 bendung, dan peningkatan jaringan irigasi air tanah seluas 10.593 hektar. Selain itu juga dilakukan peningkatan jaringan rawa seluas 99,786 hektar. Untuk penyediaan air baku, juga sedang dilakukan rehabilitasi 7 bangunan penyediaan air baku, pembangunan 37 bangunan penyediaan air baku, rehabilitasi 2 kilometer saluran pembawa, dan pembangunan 7 kilometer saluran pembawa. Untuk menanggulangi banjir dan abrasi pantai juga dilakukan pemeliharaan 6 kilometer sungai, normalisasi 326 kilometer alur sungai, pembangunan 427 kilometer tanggul, pembangunan bangunan pengaman pantai sepanjang 10,1 kilometer, dan pembangunan 4 chekdam.

IV 67

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Untuk melaksanakan berbagai kebijakan di atas masih dihadapi beberapa permasalahan, yaitu: (1) kondisi lingkungan yang semakin buruk; (2) belum efektifnya peraturan perundangan terkait dengan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air antara lain masih banyaknya persepsi dan pemahaman yang berbeda terhadap produk hukum yang baru dikaitkan dengan produk perundangan yang lain, (2) belum ditetapkannya peraturan pelaksanaan UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, (3) paradigma baru pada kebijakan sumber daya air yang menuntut keterbukaan memerlukan waktu lama agar dapat dipahami dan diterima semua pihak; (4) adanya keengganan pihak-pihak terkait untuk melaksanakan kebijakan pembangunan sebagaimana ketentuan yang baru sebagai akibat pengalaman masa lalu; (5) belum mantapnya mekanisme pendanaan pengelolaan dan pembangunan sarana dan parasarana sumber daya air terkait dengan implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU. No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; (6) masih adanya trauma kegagalan pengembangan lahan gambut sejuta hektar di Pulau Kalimantan sehingga menghambat pengembangan daerah rawa di wilayah lainnya; dan (7) belum mantapnya koordinasi semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan. Tantangan dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, adalah: (1) telah meningkatnya peran serta masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan pengairan serta makin aktifnya lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi dalam pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi; (2) meningkatnya perhatian Pemerintah Daerah dan instansi Pemerintah terkait terhadap permasalahanpermasalahan pengelolaan sumber daya air di masing-masing IV 68

daerah; serta (3) komitmen para pelaku (stakeholder) dalam upaya melakukan perubahan dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya air. iii. Tindak Lanjut Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka masih perlu dilaksanakan tindak lanjut: (1) peningkatan sosialisasi peraturan perundangan terkait dengan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air; (2) penyusunan dan penetapan peraturan pelaksanaan UU. No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, (3) penerapan mekanisme insentif bagi instansi terkait untuk melaksanakan pembaruan kebijakan pengelolaan sumber daya air; (4) menyelesaikan penataan kelembagaan yang mencakup kewenangan, tanggung jawab, pendanaan pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana sumber daya air terkait dengan implementasi otonomi daerah dan produk hukum yang baru; (5) pemantapan persiapan rencana proyek sehingga tidak dihadapi kendala pelaksanaan seperti pembebasan tanah; (6) meningkatkan kesamaan persepsi tentang strategi pengembangan wilayah rawa; (7) meningkatkan koordinasi dan sosialisasi kepada semua pihak yang berkentingan dalam pembangunan sumber daya air. 2. Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi 2.1 2.1.1 Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif

a. Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai prasyarat utama IV 69

untuk berkembangnya pengusaha kecil/menengah dan koperasi (PKMK). Sasaran yang ingin dicapai adalah menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala usaha PKMK dalam kegiatan ekonomi. Kebijakan dan langkah-langkah yang ditempuh selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 adalah: (1) penyempurnaan peraturan perundang-undangan, penyederhanaan perijinan, birokrasi, peraturan daerah dan retribusi; serta peningkatan upaya penegakan hukum dan perlindungan usaha terhadap persaingan yang tidak sehat; (2) pengembangan kebijakan fiskal, perpajakan, sektoral termasuk perdagangan dan jasa antardaerah dan antarnegara, dan investasi UKMK; (3) pemberian insentif dan kemudahan untuk mengembangkan sistem dan jaringan lembaga pendukung PKMK yang lebih meluas di daerah, seperti lembaga keuangan masyarakat/tradisional (LKM), lembaga penjaminan kredit, dan lembaga-lembaga penyedia jasa pengembangan usaha, pelatihan, teknologi, informasi, dan jasa advokasi. Sistem insentif diberikan pada tahap awal bersamaan dengan upaya penguatan institusi; dan (4) peningkatan kemampuan dan pelibatan unsur lintas pelaku (stakeholder) dalam pengembangan UKMK di tingkat pusat dan daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan dan program pembangunan, termasuk pengembangan mekanisme koordinasinya, serta pengembangan etika dan budaya usaha. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Pencapaian sasaran dari program penciptaan iklim usaha yang kondusif dapat didekati oleh beberapa indikator yang mencerminkan outcome dari sinergitas pelaksanaan kebijakan program, yaitu antara lain adalah (1) meningkatnya efektivitas kebijakan dan peraturan; (2) menurunnya biaya transaksi UKMK; dan (3) bertambahnya keragaman lapangan usaha.

IV 70

Peningkatan efektivitas kebijakan dan peraturan merupakan prasyarat tercapainya sasaran penurunan biaya transaksi yang selanjutnya memberi dampak pada meningkatnya kesempatan berusaha dan berkembangnya aktivitas usaha PKMK. Indikasi tersebut dapat ditunjukkan oleh berbagai upaya dan inisiatif yang telah dilaksanakan dalam periode 2000-2004 dalam rangka menata kembali landasan hukum dan kelembagaan pendukung lainnya bagi pengembangan UKMK, di antaranya telah menghasilkan (1) Rancangan Perubahan Undang-undang mengenai perkoperasian serta Rancangan PP pendukungnya untuk menyempurnakan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Koperasi; (2) Rancangan UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk menyempurnakan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; (3) Rancangan UU Subkontrak; (4) naskah akademis Rancangan UU Usaha Simpan Pinjam; (5) naskah akademis Rancangan UU penjaminan kredit; dan (6) beberapa rancangan kebijakan/peraturan yang terkait dengan penyederhanaan perijinan, perjanjian waralaba, standar pelayanan wajib minimal kab/kota di bidang UKMK, dan advokasi untuk perlindungan UKMK terhadap praktek curang. Sejalan dengan itu proses harmonisasi peraturan di beberapa daerah selama periode 2000 - 2004 dilakukan melalui identifikasi terhadap peraturan daerah yang menghambat pengembangan UKMK agar kebijakan dan peraturan tersebut lebih efektif dalam memfasilitasi UKMK. Selain itu, kegiatan sosialisasi UU No. 5 Tahun 1999 mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kebijakan/peraturan selain untuk meningkatkan aspek penegakan hukumnya. Biaya transaksi UKMK ditandai oleh biaya yang harus dikeluarkan UKMK terkait dengan retribusi, perijinan, pungutan, biaya transfer, serta biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan ketersediaan dukungan infrastruktur di sekitar lokasi usaha dan pemasaran. Meskipun data-data terkait dari hasil survey/pengukuran sampel secara langsung IV 71

belum tersedia, biaya transaksi UKMK dalam periode 2000 2004 diperkirakan berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan pelaksanaan beberapa langkah strategis yang mendukung penyederhanaan prosedur dan peraturan, serta perlindungan UKMK terhadap praktek curang. Langkah-langkah tersebut di antaranya (1) perbaikan peraturan daerah yang menghambat pengembangan UKMK dalam tahun 2000 2004; (2) penyempurnaan kebijakan peran UKMK dalam mekanisme distribusi barang dan jasa dalam negeri; (3) fasilitasi pendirian pelayanan satu atap di tingkat kab/kota; (4) kebijakan tentang penyederhanaan prosedur dan perijinan, penataan ruang/lokasi usaha perdagangan, perjanjian waralaba, standar pelayanan wajib minimal kab/kota di bidang UKMK, dan larangan penarikan penerimaan negara bukan pajak di bidang perkoperasian; serta (5) sosialisasi UU No. 5 Tahun 1999 dan penyediaan advokasi untuk perlindungan UKMK terhadap praktek curang. Adanya kebijakan dan peraturan yang lebih efektif dan biaya transaksi UKMK yang berkurang dapat memberikan indikasi bertambahnya kesempatan yang lebih luas bagi PKMK untuk beraktivitas dalam berbagai jenis lapangan usaha. Hal ini juga didukung oleh pelaksanaan langkahlangkah pokok dalam periode tahun 2000 2004, di antaranya melalui (1) identifikasi peraturan daerah yang menghambat pengembangan UKMK disertai dengan langkah-langkah perbaikannya; (2) kebijakan penataan ruang/lokasi usaha perdagangan; (3) kebijakan pengembangan asuransi risiko kerugian koperasi; (4) kebijakan sektoral tentang agrowisata, jasa konvensi, kemitraan usaha pariwisata, dan jasa konstruksi oleh PKMK; serta (5) penyempurnaan dan sosialisasikan kebijakan di bidang bisnis dan eceran; (6) pengembangan jaringan penyedia jasa pengembangan usaha (business development service - BDS Provider); (7) pengembangan sentra UKMK; (8) penyediaan dana penjaminan kredit; dan (9) pengembangan kerjasama sentra usaha UKMK. IV 72

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif masih ditemukan adanya masalah penting, yang terkait dengan keterbatasan kapasitas institusi dan kualitas sumberdaya manusia. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya ketidakselarasan antara kebijakan dan langkah-langkah dengan pelaksanaan program di lapangan termasuk kelambanan pelaksanaannya, serta masih lemahnya koordinasi pelaksanaan dan pemantauan program. Di samping itu beberapa perangkat perundangan penting beserta produk turunannya belum bisa diterapkan secara efektif Tantangan yang masih akan dihadapi dalam penciptaan iklim usaha yang kondusif adalah membangun motivasi dan komitmen diantara pihak-pihak yang terkait (lintas pelaku) di tingkat nasional dan daerah. Motivasi dan komitmen diperlukan mengingat peran UKMK sangat strategis dan bersifat lintas sektor dan lintas daerah. Tantangan selanjutnya adalah memperluas dan menyelenggarakan forum-forum partisipasi dan koordinasi lintas pelaku UKMK secara efektif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, pengawasan dan pengendalian kebijakan program pengembangan UKMK. iii. Tindak Lanjut Berdasarkan hasil pelaksanaan program penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam tahun 2000 - 2004, maka untuk pelaksanaan program selanjutnya masih diperlukan tindak lanjut antara lain: (1) menuntaskan penyempurnaan peraturan perundangan dan ketentuan pelaksanaannya dalam rangka membangun landasan legalitas usaha yang kuat, penyederhanaan birokrasi, perijinan, lokasi, dan peninjauan terhadap pemberlakuan berbagai pungutan biaya usaha baik yang sektoral maupun spesifik daerah; (2) memfasilitasi formalisasi badan usaha UKMK; (3) meningkatkan IV 73

kelancaran arus barang, baik bahan baku maupun produk, dan jasa yang diperlukan seperti kemudahan perdagangan dan pengangkutan antardaerah; (4) meningkatkan kemampuan aparat dalam melakukan perencanaan dan penilaian regulasi, kebijakan dan program; (5) memperluas praktik-praktik terbaik dalam pelayanan perijinan usaha yang mudah, murah dan cepat ke berbagai daerah; (6) melaksanakan asesmen dampak regulasi/kebijakan nasional dan daerah yang berpengaruh terhadap kinerja UKMK, dan pemantauan pelaksanaan kebijakan/regulasi; dan (7) meningkatkan kualitas peranserta para pelaku dan instansi terkait dalam perencanaan kebijakan dan program UKMK yang partisipatif dan koordinatif. 2.2 Produktif 2.2.1 Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif Peningkatan Akses kepada Sumber Daya

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan PKMK dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia. Adapun sasaran program ini adalah tersedianya lembaga pendukung untuk meningkatkan akses PKMK terhadap sumber daya produktif, seperti sumber daya manusia, modal, pasar, teknologi, dan informasi. Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, kebijakan yang dilakukan adalah: (1) peningkatan kualitas layanan lembaga keuangan mikro (LKM) serta lembaga keuangan sekunder terutama untuk mendukung usaha mikro di tingkat lokal melalui dukungan: (a) perlindungan status badan hukum, kemudahan perijinan serta penyediaan sistem insentif; (b) peningkatan kemampuan manajemen dan penguatan permodalan yang didukung penjaminan secara selektif; dan (c) pembentukan IV 74

sistem jaringan antar-LKM, dan antara LKM dan Bank agar terjalin kerjasama keuangan; (2) perluasan sumber pembiayaan PKMK, antara lain melalui perluasan layanan penjaminan kredit, perluasan peran modal ventura, dukungan sistem insentif bagi investor asing yang melakukan penyertaan modal (equity financing) pada usaha modal ventura, dan pengembangan industri sewa beli (leasing industry) sebagai salah satu lembaga pembiayaan modal tetap bagi PKMK. Upaya akses pendanaan kepada PKMK disertai pengembangan sistem penilaian kredit dan jaringan informasinya; (3) peningkatan kemampuan lembaga penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi dan informasi bagi PKMK di tingkat lokal serta penciptaan sistem jaringannya melalui dukungan penguatan manajemen secara partisipatif dan kompetitif. Langkah tersebut disertai dengan pengembangan sistem akreditasi lembaga dan sertifikasi jasa pengembangan usaha; (4) pengembangan sistem insentif dan perkuatan lembagalembaga pelatihan bagi PKMK, pengelola dan anggota koperasi beserta jaringan kerjasama antar lembaga pelatihan; (5) reorientasi dan restrukturisasi balai atau unit pelatihan dan penelitian dan pengembangan (litbang) milik berbagai instansi pemerintah menjadi lembaga pengembangan usaha PKMK yang mandiri. Langkah tersebut disertai dengan peningkatan dan reposisi tenaga-tenaga penyuluh/pendamping untuk menjadi konsultan PKMK yang profesional mandiri; dan (6) penguatan organisasi dan modernisasi manajemen koperasi yang menjadi wadah bagi UKMK untuk meningkatkan skala usaha yang ekonomis dan efisien secara bersama. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Selama periode tahun 2000-2004, pencapaian sasaran program ini dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, antara lain adalah (1) meningkatnya jangkauan dan kualitas layanan lembaga pendukung, (2) meningkatnya jaringan pendukung usaha, (3) berkembangnya kemitraan usaha, dan (4) meningkatnya kemanfaatan ekonomis koperasi IV 75

bagi anggota. Indikator tersebut merupakan outcome dari sinergitas pelaksanaan kebijakan program ini. Meningkatnya jangkauan lembaga pendukung bagi UKMK tidak hanya ditinjau dari segi jangkauan fisik, kedekatan lokasi, dan jenis pelayanannya tetapi juga bahwa layanan yang disediakan lembaga pendukung tersebut dapat dijangkau secara ekonomi oleh UKMK. Kualitas layanan yang disediakan juga diharapkan meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan UKMK untuk berkembang. Perkembangan lembaga pendukung di bidang pendanaan sejak tahun 2001 ditandai dengan kegiatan perkuatan lembaga pendanaan bagi UKMK seperti BPR/KBPR, KSP/USP dan LKM. Upaya tersebut juga didukung oleh langkah-langkah pengembangan sistem penjaminan kredit bagi UKMK terutama di tingkat lokal dan pengembangan usaha simpan pinjam melalui sistem jaringan. Kegiatan tersebut terus dilanjutkan dan ditingkatkan dengan fokus pada peningkatan koordinasi pengembangan kebijakan dan sistem penjaminan kredit dan permodalan bagi UKMK, serta peraturan mengenai mekanisme dan prosedur perolehan kredit ekspor bagi UKMK. Untuk lebih meningkatkan fungsi intermediasi perbankan dalam penyaluran kredit kepada usaha skala mikro dan kecil, telah dimulai langkah-langkah pendirian kredit biro. Koordinasi juga dilakukan dalam rangka program dana bergulir pemerintah melalui pengembangan jaringan antar lembaga mikro sekunder. Sementara itu, peningkatan jangkauan dan kualitas layanan lembaga pendukung aspek non-finansial diindikasikan oleh pengembangan lembaga layanan pengembangan usaha (BDS) yang didukung dengan kebijakan pengembangan lembaga jasa informasi bisnis UKMK dan perintisan aplikasi e-commerce.Untuk meningkatkan efektivitas fasilitasi yang diberikan permerintah dan mendekatkan lembaga BDS dan pendanaan kepada UKMK, telah dilaksanakan pengembangan 806 sentra bisnis UKMK di 30 propinsi yang didukung oleh jaringan multimedia yang melibatkan 798 BDS. Kemampuan UKMK juga ditingkatkan dalam IV 76

mengakses, memanfaatkan dan menguasai teknologi tepat guna. Meningkatnya jangkauan lembaga pendukung usaha bagi UKMK juga difasilitasi oleh berkembangnya jejaring di antara lembaga-lembaga tersebut yang meliputi kerjasama/keterkaitan usaha antar lembaga-lembaga pendukung usaha yang sejenis atau antara lembaga layanan usaha dengan lembaga pendanaan, lembaga layanan teknologi/informasi, dan lembaga diklat. Sejak tahun 2000 telah tersusun mekanisme kemitraan dengan Lembaga Pembiayaan UKMK, serta telah dirintis jaringan konsultasi manajemen dan hukum bagi UKMK bersama klinik konsultasi profesional. Upaya-upaya tersebut juga menjadi bagian yang terintegrasi dengan pengembangan 806 sentra bisnis UKMK di 30 propinsi. Kemitraan usaha baik antara UKMK dengan usaha besar maupun antar UKMK juga makin berkembang dengan dukungan kelembagaan yang makin mantap. Sejak tahun 2000 telah tersusun kebijakan sektoral tentang kemitraan usaha pariwisata, serta pengembangan bursa kemitraan dalam berbagai jenis produk di bidang sub-kontrak, waralaba dan keagenan. Sejak tahun 2002 telah pula dirintis pembentukan jaringan pemasaran produk UKMK dan kemitraan PMA dengan UKMK, telah pula disusun rancangan ketentuan dan pedoman bagi UKMK tentang pengembangan permodalan usaha kecil dan koperasi dengan pola kemitraan waralaba. Meskipun masih banyak menghadapi kendala, upaya peningkatan peran koperasi dalam memenuhi kebutuhan anggotanya masih menunjukkan kemajuan. Dari aspek kelembagaan, kemajuan tersebut ditandai oleh tersedianya (1) sistem dan prosedur klasifikasi koperasi, (2) standar akuntansi, akuntabilitas dan pengendalian internal koperasi, (3) sistem dan prosedur pengesahan badan hukum koperasi, (4) standarisasi akte pendirian dan pembubaran koperasi, (5) laporan kinerja kesehatan finansial koperasi, (6) rancangan IV 77

peraturan tentang pemanfaatan bagian laba BUMN untuk pemberdayaan usaha kecil dan koperasi, (7) rancangan pedoman penyertaan simpanan pokok anggota koperasi, dan (8) pedoman audit koperasi. ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan mendasar yang belum terselesaikan selama kurun waktu 2000-2004 adalah (1) kesulitan UKMK dalam penyediaan agunan fisik untuk memperoleh pinjaman perbankan; dan (2) pola pelaksanaan/penyaluran bantuan pendanaan yang bersumber dari pemerintah masih berpotensi menimbulkan ketergantungan dari sisi UKMK dan potensi moral hazard dari sisi aparat pelaksana karena pemantauan dan pengawasan pelaksanaannya masih lemah. Disamping masalah yang perlu diatasi, maka tantangan yang dihadapi untuk mencapai sasaran secara berhasil guna adalah (1) mengembangkan klaster/sentra dengan cara memfasilitasi berbagai skema dukungan baik finansial maupun nonfinansial yang lebih terpadu sehingga fasilitasi pembinaan lebih efisien; (2) mengembangkan sistem insentif yang sesuai dalam rangka pengembangan penyedia BDS yang profesional dan lebih meluas sebagai usaha masyarakat yang layak; dan (3) pengembangan penyedia BDS dengan spesialisasi di bidang teknologi untuk mendukung pengembangan UKM berbasis teknologi. iii. Tindak Lanjut Meskipun telah cukup banyak hasil yang dicapai selama kurun waktu 2000-2004, upaya peningkatan akses kepada sumberdaya produktif masih perlu dilanjutkan terutama terkait dengan aspek kelembagaan. Upayanya perlu difokuskan pada (1) penyediaan fasilitasi dan peraturan untuk mengurangi hambatan akses UKMK terhadap sumber daya produktif, termasuk sumber daya alam; (2) peningkatan peranserta dunia usaha/masyarakat dalam menyediakan layanan teknologi, manajemen, pemasaran, informasi dan IV 78

konsultansi usaha melalui penyediaan sistem intensif dan kemudahan usaha; (3) peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas layanan LKM dan KSP/ USP antara lain melalui perlindungan status badan hukum, kemudahan perijinan dan pembentukan sistem jaringan antarLKM, dan peningkatan kualitas dan akreditasi KSP/USP/LKM sekunder; (4) pembentukan biro informasi kredit disertai dengan pengembangan sistem penilaian kredit (credit scoring system) dan jaringan informasinya; (5) peningkatan kemampuan dan perluasan lembaga penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi dan informasi bagi UKMK di tingkat lokal serta pengembangan sistem jaringannya; (6) pengembangan sistem insentif, akreditasi, sertifikasi dan perkuatan lembagalembaga pelatihan serta jaringan kerjasama antarlembaga pelatihan; (7) pengembangan unit pelatihan dan penelitian dan pengembangan milik berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah menjadi lembaga pengembangan usaha UKMK; (8) penataan dan perkuatan organisasi dan modernisasi manajemen koperasi; (9) penguatan jaringan pasar produk UKMK, termasuk pasar ekspor, melalui pengembangan lembaga pemasaran, jaringan usaha termasuk kemitraan usaha; dan (10) peningkatan diseminasi dan pelayanan informasi kepada UKMK dan masyarakat. 2.3 Pengembangan Kewirausahaan Berkeunggulan Kompetitif 2.3.1 dan PKMK

Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UKMK. Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya pengetahuan serta sikap wirausaha dan meningkatnya produktivitas PKMK.

IV 79

Arah kebijakan selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 adalah: (1) pemasyarakatan kewirausahaan dan pengembangan sistem insentif bagi wirausaha baru (business start-up); (2) pengembangan inkubator bisnis dan teknologi terutama yang dikelola oleh dunia usaha/masyarakat untuk mendukung pengembangan UKMK dan wirausaha baru berbasis teknologi. Hal ini disertai dengan pengembangan modal ventura dan penyediaan pinjaman berjangka panjang; (3) penyediaan sistem insentif dan pembinaan untuk memacu pengembangan UKMK berbasis teknologi antara lain untuk mendukung pengembangan dan pemanfaatan inovasi/ teknologi lokal; komersialisasi hasil inovasi teknologi; pengembangan kemitraan usaha antara UKMK dengan perusahaan asing yang menerapkan alih teknologi atau manajemen modern kepada UKMK mitranya; dan pengadaan fasilitas usaha bersama dalam rangka modernisasi atau peningkatan nilai tambah usaha; (4) pengembangan jaringan produksi dan distribusi melalui pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan usaha kelompok dan jaringan antar PKMK dalam wadah koperasi melalui integrasi usaha secara vertikal dan horisontal, serta jaringan antara UKMK dan usaha besar melalui kemitraan usaha; (5) peningkatan kualitas PKMK, termasuk wanita PKMK, menjadi wirausaha yang dijiwai semangat kooperatif untuk mampu memanfaatkan potensi, keterampilan, dan keahliannya untuk berinovasi dan menciptakan lapangan kerja. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Pencapaian sasaran program pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif dapat diukur antara lain melalui indikator (1) meningkatnya kewirausahaan, dan (2) berkembangnya produk-produk UKMK bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor. Indikator tersebut diharapkan cukup mewakili hasil keluaran dari sinergitas pelaksanaan kebijakan dan langkah-langkah pokok dalam program ini. IV 80

Kewirausahaan dilaksanakan baik dalam upaya menumbuhkan wirausaha baru maupun menerapkan prinsipprinsip wirausaha pada PKMK yang sudah ada. Upayanya mencakup identifikasi peraturan yang menghambat pengembangan UKMK dan yang menghambat kesempatan masyarakat untuk memulai usaha baru. Insentif bagi pendirian usaha baru didukung antara lain oleh kebijakan sektoral tentang agrowisata, jasa konvensi, kemitraan usaha pariwisata, pengelolaan jasa angkutan darat, dan jasa konstruksi. Dalam rangka meningkatkan penerapan dan kualitas kewirausahaan oleh PKM, telah disusun program induk pengembangan kewirausahaan dan model pemberdayaan sumber daya manusia UKM dan pelaksanaan pelatihan kewirausahaan di sektor industri pada tahun 2001. Kegiatan tersebut dilanjutkan pada tahun 2002 melalui pendidikan 540 wirausaha termasuk wirausaha baru dan pemuda; serta 60 orang tenaga motivator kewirausahaan. Di samping itu, pelatihan teknis usaha diselenggarakan bagi 290 PKM untuk memperkuat aspek pengelolaan usaha secara profesional. Dalam rangka mendukung pengembangan produkproduk UKMK bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor dilaksanakan pemetaan komoditas ekspor UKMK dan penyusunan direktori UKMK yang berorientasi ekspor di 9 (sembilan) sektor ekonomi pada tahun 2002. Bertambahnya potensi produk-produk unggulan UKMK juga ditandai dengan adanya hasil-hasil pengembangan dan perkuatan jaringan pendukung usaha dan pemasaran bagi UKMK yang berorientasi ekspor., termasuk yang diperoleh sebagai hasil pengalihan pengetahuan dan teknis produksi melalui kemitraan usaha. Dikembangkannya pola trading house yang berorientasi ekspor pada tahun 2001 telah membuka peluang lebih besar kepada UKMK untuk terlibat sebagai pemasok bahan baku, produk antara, dan/atau produk jatdi untuk diekspor. Langkah tersebut juga didukung oleh upaya-upaya peningkatan ketersediaan dan kualitas layanan IV 81

pengembangan usaha bagi UKMK yang terkait kegiatan ekspor malalui (1) penyusunan konsep dan rekomendasi kebijakan lembaga perantara ekspor; (2) pembentukan sistem dan kelembagaan akreditasi diklat UKMK; (3) penyusunan program dan evaluasi diklat bagi UKMK; serta (4) perumusan rancangan kebijakan tentang pola kemitraan produk unggulan UKMK yang berorientasi ekspor. Melalui perkuatan lembaga dan jaringan pendukung pengembangan usaha bagi UKMK, diharapkan kemampuan sumber daya manusia UKMK di bidang manajemen bisnis dan ekspor dapat meningkat. Sementara untuk memberikan peluang yang lebih luas bagi UKM dalam rangka meningkatkan nilai tambah barbagai produk telah dilaksanakan kegiatan perintisan melalui pengembangan pengelolaan pabrik gula, pabrik kelapa sawit, hutan rakyat, HPH, industri kertas, pengolahan kakao, agro industri serat rami, dan bisnis ritel dalam wadah koperasi. ii. Permasalahan dan Tantangan

Masalah yang menghambat pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif, adalah terbatasnya ketersediaan dan kualitas jasa pengembangan usaha bagi UKM. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan produk-produk UKM yang cukup besar tidak dapat dipenuhi karena sulit untuk meningkatkan kapasitas usaha maupun untuk meningkatkan daya saingnya. Keadaan tersebut menyebabkan ekspor hasil UKM selama ini lebih banyak diperoleh dari adanya perubahan nilai tukar dan belum diperoleh dari hasil peningkatan kapasitasnya. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor non-migas dari produk UKM dalam periode 1997-1998 mengalami pertumbuhan lebih dari 207 persen, tetapi dalam periode 2000-2002 pertumbuhannya hanya berkisar 19 persen. Tantangan ke depan dalam upaya meningkatkan kapasitas PKMK untuk berperan lebih besar dalam kegiatan perekonomian nasional dan daerah adalah melalui penyediaan insentif bagi

IV 82

pertumbuhan wirausaha baru skala kecil dan menengah, maupun berkembangnya UKM berbasis teknologi. iii. Tindak Lanjut Hasil pelaksanaan program pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif selama tahun 2000 2004 membutuhkan tindak lanjut antara lain berupa: (1) penyediaan sistem insentif dan pembinaan untuk memacu pengembangan UKMK berbasis teknologi; (2) pemasyarakatan kewirausahaan dan mengembangkan sistem insentif bagi wirausaha baru, termasuk yang berkenaan dengan aspek pendaftaran/ijin usaha, lokasi usaha, akses pendanaan, perpajakan dan informasi pasar; (3) pengembangan inkubator teknologi dan bisnis, termasuk melalui kemitraan publik, swasta dan masyarakat; (4) penyediaan insentif dan dukungan bagi pengembangan inovasi dan teknologi untuk mendukung UKMK dan wirausaha baru berbasis teknologi, utamanya UKMK berorientasi ekspor, subkontrak/penunjang, agribisnis/agroindustri dan yang memanfaatkan sumberdaya lokal; dan (5) pengembangan jaringan produksi dan distribusi melalui pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan usaha kelompok dan jaringan antar UKMK dalam wadah koperasi serta jaringan antara UKMK dan usaha besar melalui kemitraan usaha.

IV 83

3.

Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan 3.1. 3.1.1 Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi Program Peningkatan Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi Koordinasi

a. Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan Program Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi ditujukan untuk mewujudkan koordinasi yang lebih baik antar pihak-pihak terkait dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah tercapainya stabilitas ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan yang berkelanjutan yang tercermin dari tingkat inflasi yang secara bertahap mendekati inflsi dunia, yaitu sekitar 3-5 persen. Dalam kaitan tersebut, arah kebijakan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan besaran moneter; terutama tingkat inflasi yang dikaitkan dengan kemandirian Bank Sentral. Kedua, mewujudkan kelancaran ketersediaan barang terutama untuk kebutuhan pokok dan usaha masyarakat. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Hingga pertengahan tahun 2004 dicapai kemajuan sebagai berikut. Pertama, semakin meningkatnya stabilitas moneter; tercermin dari menurunnya laju inflasi yang didorong oleh menguatnya nilai tukar rupiah serta meningkatnya kelancaran distribusi kebutuhan pokok masyarakat. Laju inflasi pada tahun 2000 2003 masingmasing mencapai 9,4 persen, 12,6 persen, 10,0 persen dan 5,1 persen. Dalam enam bulan pertama (Januari Juni) tahun 2004, laju inflasi mencapai 3,3 persen. IV 84

Kedua, dengan semakin terkendalinya laju inflasi, tingkat suku bunga mengalami penurunan. Suku bunga SBI 1 bulan pada akhir tahun 2003 mencapai 8,31 persen, jauh di bawah tahun 2000 yang mencapai 14,5 persen. Hingga akhir bulan Juni tahun 2004, suku bunga SBI 1 bulan mencapai 7,34 persen. Ketiga, resesi dunia dan meningkatnya ketidakpastian politik pada tahun 2001 memperlambat pertumbuhan ekonomi. Dalam tahun 2001, perekonomian tumbuh 3,5 persen, lebih lambat dibandingkan tahun 2000 yaitu sekitar 4,9 persen. Dengan membaiknya perekonomian dunia dan meningkatnya stabilitas politik di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi meningkat secara bertahap dari 3,7 persen pada tahun 2002 menjadi 4,1 persen pada tahun 2003. Dengan perubahan tahun dasar 2000, dalam triwulan I/2004, perekonomian tumbuh sebesar 4,5 persen. ii. Permasalahan dan Tantangan

Beberapa permasalahan yang masih perlu mendapat perhatian antara lain: a) Melemahnya kurs rupiah didorong oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi global terutama berasal dari perubahan kebijakan moneter AS dari kebijakan moneter yang longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat serta tingginya harga minyak mentah dengan belum menentunya situasi politik dan keamanan di Irak pada khususnya dan di Timur Tengah pada umumnya. b) Melemahnya nilai tukar rupiah akan memberi dorongan bagi meningkatnya laju inflasi dan pada gilirannya berpotensi menaikkn suku bunga. Dalam enam bulan pertama (Januari Juni) tahun 2004, laju inflasi mencapai 3,3 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 1,2 persen.

IV 85

c)

Meskipun meningkat secara bertahap, pertumbuhan ekonomi belum memadai untuk memecahkan masalahmasalah sosial seperti pengangguran karena lambatnya pemulihan investasi dan melemahnya kinerja ekspor nonmigas.

iii. Tindak Lanjut Kebijakan ekonomi makro diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar mampu memecahkan masalahmasalah sosial yang mendasar terutama pengangguran dan kemiskinan dengan tetap mempertahankan stabilitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi perlu didorong dengan meningkatkan investasi dan ekspor non-migas. Peningkatan iklim usaha untuk mendorong investasi dan dan daya saing ekspor dilakukan dengan mengurangi hambatan-hambatan yang ada yaitu dengan menyederhanakan prosedur perijinan, mengurangi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta antar sektor, meningkatkan kepastian hukum terhadap usaha, menyehatkan iklim ketenagakerjaan, meningkatkan penyediaan infrastruktur, menyederhanakan prosedur perpajakan dan kepabeanan, serta meningkatkan fungsi intermediasi perbankan dalam menyalurkan kredit kepada sektor usaha. Kualitas pertumbuhan ekonomi ditingkatkan antara lain dengan menciptakan iklim ketenagakerjaan yang mampu meningkatkan penciptaan lapangan kerja dengan mengendalikan kenaikan Upah Minimum Provinsi agar tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju inflasi, memastikan biaya-biaya non-UMP mengarah pada peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta membangun hubungan industrial yang harmonis antara perusahaan dan tenaga kerja. Kualitas pertumbuhan juga didorong dengan meningkatkan akses usaha kecil, menengah, dan koperasi terhadap sumber daya pembangunan. Upaya untuk mengurangi jumlah IV 86

penduduk miskin akan didorong oleh berbagai kebijakan lintas sektor mengarah pada penciptaan kesempatan usaha bagi masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat miskin, peningkatan kemampuan masyarakat miskin, serta pemberian perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Stabilitas ekonomi dijaga melalui pelaksanaan kebijakan moneter yang berhati-hati serta pelaksanaan kebijakan fiskal yang mengarah pada ketahanan fiskal (fiscal sustainability) dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan kegiatan ekonomi. Stabilitas ekonomi mendatang didukung dengan ketahanan sektor keuangan melalui penguatan dan pengaturan jasa keuangan, perlindungan masyarakat, serta peningkatan koordinasi berbagai otoritas keuangan melalui jaring pengaman sistem keuangan secara bertahap. 3.2 Peningkatan Penerimaan Negara 3.2.1 a. Program Peningkatan Penerimaan Negara Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Secara umum tujuan program peningkatan penerimaan negara adalah meningkatkan efektivitas perpajakan dan sumbersumber penerimaan bukan pajak. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai melalui program ini adalah meningkatkan penerimaan negara, khususnya penerimaan perpajakan. Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut diatas, ditempuh berbagai langkah kebijakan di bidang perpajakan diantaranya melakukan reformasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan penegakan hukum bagi wajib pajak dan petugas pajak yang melanggar ketentuan perundangundangan perpajakan. Sedangkan dalam mengoptimalkan penerimaan bukan pajak berbagai langkah kebijakan yang IV 87

ditempuh diantaranya mengoptimalkan kepemilikan pemerintah dalam BUMN, dengan menekan kewajiban pemerintah dan meningkatkan manfaat dari kepemilikan tersebut melalui proses privatisasi, serta menghapuskan secara bertahap pengelolaan dana-dana negara di luar anggaran negara (off-budget). b. i. Pelaksanaan Hasil yang Dicapai

Perkembangan pendapatan negara dan hibah selama 3 tahun terakhir menunjukkan kinerja yang cukup baik dan sangat besar peranannya dalam mendukung proses konsolidasi fiskal. Membaiknya kinerja tersebut tidak saja ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan secara nominal, akan tetapi juga ditunjukkan oleh komposisinya yang semakin didominasi oleh sektor perpajakan. Secara nominal, pendapatan negara dan hibah meningkat dari Rp301,1 triliun dalam tahun 2001, menjadi Rp341,1 triliun dalam tahun 2003 atau naik rata-rata 6,7 persen per tahun dan ditargetkan menjadi Rp349,9 triliun dalam tahun 2004. Peningkatan pendapatan negara dan hibah tersebut didukung terutama oleh penerimaan perpajakan sejalan dengan membaiknya perekonomian nasional basis pajak berkembang secara perlahan-lahan. Disamping itu, faktor lain yang juga turut berpengaruh pada peningkatan penerimaan perpajakan adalah berbagai langkah intensifikasi dan ekstensifikasi yang telah dilaksanakan, serta berbagai langkah yang ditempuh dalam rangka perluasan basis pajak. Dengan langkah-langkah tersebut, penerimaan perpajakan cenderung meningkat dari Rp185,5 triliun atau 12,6 persen terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi Rp241,6 triliun atau 13,5 persen terhadap PDB pada tahun 2003 dan ditargetkan Rp272,2 triliun atau 13,6 persen terhadap PDB pada tahun 2004. Dengan perkembangan tersebut, peranan penerimaan sektor perpajakan terhadap pendapatan negara dan hibah terus meningkat dari 61,6 persen pada tahun 2001, menjadi IV 88

70,8 persen pada tahun 2003 dan ditargetkan mencapai 77,8 persen pada tahun 2004. Sungguhpun demikian apabila dibandingkan dengan negara lain yang struktur perekonomiannya sebanding seperti Filiphina, Malaysia dan Thailand persentase penerimaan pajak terhadap PDB diatas masih lebih rendah. Perkembangan di atas didukung antara lain dengan: (1) Pelaksanaan lima undang-undang perpajakan yang baru, telah dilakukan oleh Ditjen pajak per tanggal 1 Januari 2001. Secara prinsip beberapa kebijakan baru yang diatur dalam UU tersebut adalah pengelompokan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dalam negeri dari 3 kelompok menjadi 5 kelompok yaitu pendapatan hingga 25 juta dikenakan tarif 5%, 25-50 juta dikenakan tarif 10%, 50-100 juta dikenakan tarif 15%, 100-200 juta dikenakan tarif 25% dan diatas 200 juta dikenakan tarif 35%. Selanjutnya juga dari kelima UU tersebut diatur sanksi terhadap petugas pajak (UU sebelumnya, belum ada sanksi bagi petugas pajak). (2) Peningkatan penegakan hukum baik terhadap wajib pajak (WP) maupun terhadap petugas pajak. Intensifikasi pajak telah dilakukan dengan meningkatkan penagihan pajak terutama penagihan terhadap penunggak pajak potensial. Sepanjang 2002 dan tahun 2003, jumlah pajak tertunggak yang dapat ditagih kembali masing-masing adalah Rp8,6 triliun dan Rp26,6 triliun. Penegakan hukum juga dilakukan pada petugas pajak, sepanjang tahun 2002 petugas pajak yang diberhentikan dengan tidak hormat mencapai 30 orang dari sejumlah 230 hukuman disiplin. Sementara itu, pada tahun 2003 jumlah petugas pajak yang diberhentikan secara tidak hormat mencapai 10 orang dari 402 hukum disiplin. (3) Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak, Ditjen Pajak telah membentuk kantor pelayanan pajak modern yang berbasis fungsi. Saat ini telah terbentuk Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar dan Kantor Pelayanan Pajak BUMN yang telah memakai IV 89

pola manajemen modern. Pada akhir tahun, seluruh kantor pelayanan pada lingkungan Kanwil Jakarta Khusus dan beberapa kantor pelayanan di lingkungan Kanwil Jakarta akan menerapkan hal yang sama. (4) Peningkatan pelayanan wajib pajak dengan membangun on-line system untuk e-registration, e-payment, e-filling, telah dijalin kerjasama antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan 80 bank nasional dan asing tentang Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3). Dengan demikian, wajib pajak dapat melakukan pembayaran melalui berbagai produk perbankan seperti ATM, phone banking, internet banking dan sebagainya, sesuai bank yang bersangkutan. (5) Dalam rangka peningkatan pelayanan terhadap WP, Ditjen Pajak melakukan restrukturisasi dan menyempurnakan struktur organisasi dengan melakukan penambahan jumlah kantor pelayanan pajak. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 443/KMK.01/2001 tentang organisasi dan tata kerja Kanwil Pajak, KPP, KP PBB, Karikpa, dan KP4 telah dibentuk 115 kantor pajak baru. Dengan demikian, jumlah keseluruhan unit kerja di Ditjen Pajak mencapai 624 unit kerja. (6) Peningkatan ekstensifikasi wajib pajak (WP) orang pribadi atau badan yang telah memenuhi syarat untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui kerja sama dengan RT/RW/Kelurahan supaya setiap kartu keluarga diberi NPWP serta melakukan kerjasama dengan pihak imigrasi dengan mewajibkan pemilik paspor memiliki NPWP. Jumlah WP orang pribadi selama tahun 2001 2004 meningkat dengan cukup signifikan. Pada tahun 2001, tahun 2002 dan tahun 2003 jumlah wajib pajak bertambah masing-masing sebanyak 315.986 orang, 330.846 orang, dan 302.776 orang serta pada tahun 2004 diperkirakan bertambah 49.969 orang. Pertambahan WP orang pribadi selama 4 tahun tersebut mencapai 999.577 orang, lebih tinggi dari pertambahan

IV 90

jumlah dalam 9 tahun sebelumnya (1992-2000) yang hanya berjumlah 549.559 orang; (7) Melaksanakan reformasi kebijakan kepabeanan dalam rangka memfasilitasi perdagangan melalui pemberlakuan sistem baru penetapan jalur (Jalur Prioritas/Gold Card), penyempurnaan sistem pembayaran, perbaikan database harga, perbaikan sistem pengeluaran barang, modernisasi sistem otomasi DJBC, penyempurnaan situs DJBC, dan pengembangan komunitas PDE kepabeanan. (8) Melaksanakan reformasi kebijakan kepabeanan dalam rangka pemberantasan penyelundupan dan under valuation melalui registrasi importir, kampanye anti penyelunduan, perbaikan fasilitas dan teknologi pemeriksaan, pengawasan pre-release, pemeriksaan mendadak (spot check), dan pengawasan post release dan penagihan tunggakan. (9) Melaksanakan reformasi kebijakan dalam rangka peningkatan integritas pegawai melalui penyempurnaan Kode Etik dan Perilaku DJBC, pembentukan Komite Kode Etik, pembentukan Unit Investigasi Khusus, pembentukan saluran telepon khusus pengaduan, pembentukan ombusdsman khusu pajak dan bea cukai, dan peningkatan insentif. (10) Melaksanakan reformasi kebijakan dalam rangka peningkatan koordinasi dengan stakeholders melalui pembentukan Komite Penasehat Kepabeanan dan Cukai. (11) Peningkatan penerimaan bea dan cukai melalui penerapan kriteria harga transaksi yang wajar dalam pengujian nilai pabean, meningkatkan kualitas data intelijen untuk akurasi Nota Hasil Intelijen (NHI) dan Nota Informasi (NI), pengembangan sistem audit yang terpadu, mengefektifkan penagihan, dan menerapkan tarif cukai yang mengacu pada sasaran penerimaan cukai. (12) Peningkatan penerimaan negara di bidang cukai dengan memberlakukan Harga Jual Eceran (HJE) secara umum sebesar kurang lebih 20% atas semua produk hasil tembakau yang ada, serta mengubah struktur kenaikan IV 91

tarif cukai hasil tembakau, telah dilaksanakan melalui Keputusan menteri Keuangan No. 144/KMK.05/2001 tanggal 27 Maret 2001 yang mulai berlaku 1 april 2001 dan diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 597/KMK.04/2001 tanggal 23 Nopember 2001. (13) Sampai tahun 2004, jumlah dana off-budget yang dapat dimasukkan ke dalam budget berjumlah Rp10.096.733.380.531,96 dan USD 10.624.749,87 (yang merupakan angka kumulatif tahun 2000, 2001, dan 2002). Sementara itu, penerimaan negara yang bersumberkan dari bukan pajak selama tahun 2001 realisasinya mencapai Rp115,1 triliun atau 7,8% PDB. Penerimaan tersebut bersumberkan dari penerimaan sumber daya alam (SDA) minyak bumi dan gas alam (migas), penerimaan SDA non migas, bagian pemerintah atas laba BUMN dan penerimaan negara bukan pajak lainnya. Tingginya penerimaan negara bukan pajak tersebut pada tahun 2001, utamanya disebabkan oleh penerimaan berupa kelebihan atas penyediaan dana cadangan subsidi PLN dan BULOG tahun 2000. Pada tahun 2002, penerimaan negara bukan pajak mencapai Rp88,4 triliun atau 5,5% PDB. Penurunan penerimaan negara tersebut utamanya sebagai akibat dari rendahnya penerimaan SDA migas yang sepenuhnya sangat tergantung pada harga pasar internasional dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Tahun 2003, realisasi penerimaan bukan pajak kembali meningkat menjadi Rp99,0 triliun atau 5,5% PDB. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh adanya kenaikan pada pos penerimaan Pemerintah atas laba BUMN dari Rp9,8 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp12,6 triliun dalam tahun 2003, dan pada pos PNBP lainnya dari Rp13,9 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp18,9 triliun pada tahun 2003. Sementara itu, pada tahun 2004, penerimaan negara

IV 92

bukan pajak diperkirakan akan mencapai Rp 77,1 triliun atau 3,9 persen PDB. ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam penerimaan negara dapat dikelompokkan atas dua bagian yaitu penerimaan yang bersumberkan dari perpajakan dan penerimaan yang bersumberkan dari bukan pajak. Permasalahan yang berkaitan dengan penerimaan perpajakan adalah adanya keterbatasan dalam meningkatkan penerimaan yang disebabkan oleh: (1) adanya kecenderungan melambatnya laju peningkatan Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai sumber-sumber utama penerimaan (keterbatasan kemampuan ekstensifikasi dan intensifikasi); (2) adanya keterbatasan menaikkan tarif PPN karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif masih rendah. Dalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini menyebabkan keterbatasan dalam menerapkan policy measures; (3) masih rendahnya kesadaran masyarakat akan peduli terhadap pajak; (4) tarif dan harga; (5) masih banyak terjadinya tindak pidana penyuludupan barang impor, under valuation and under invoicing (pembayaran bea masuk yang tidak dengan seharusnya) ikut pula menghambat perkembangan penerimaan negara. Sementara itu, permasalahan utama dalam meningkatkan penerimaan negara yang bersumberkan dari penerimaan bukan pajak adalah (1) semakin terbatasnya sumur-sumur minyak baru; dan (2) semakin berkurangnya penerimaan negara yang bersumberkan dari penerimaan atas laba BUMN sebagai akibat dari privatisasi BUMN. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang diperlukan adalah melalui berbagai upaya untuk peningkatan penerimaan negara utamanya dari pajak melalui reformasi kebijakan (policy reform) maupun IV 93

reformasi administrasi (administrative reform). Upaya yang dilakukan melalui reformasi kebijakan perpajakan dengan melakukan amandemen terhadap ketentuan perpajakan yang dibatasi pada hal-hal yang tidak menimbulkan dampak distorsi terhadap ekonomi maupun beban kepada masyarakat yang kurang mampu, bahkan dilaksanakan untuk mendorong keadilan dalam pengenaan pajak. Penyempurnaan kebijakan perpajakan (tax policy reform) dimaksudkan untuk menciptakan suatu sistem perpajakan yang sehat dan kompetitif, dalam rangka mendorong kegiatan investasi di Indonesia. Penyempurnaan kebijakan perpajakan ini mencakup penyesuaian tarif dan lapisan pajak penghasilan, penyesuaian penghasilan tidak kena pajak (PTKP), serta perluasan subjek dan objek pajak. Sementara itu, reformasi administrasi dilakukan melalui berbagai upaya untuk membentuk masyarakat sadar dan peduli akan pajak serta menerpkan sistem administrasi perpajakan yang lebih efisien dan efektif dengan memperhatikan dinamika/ perkembangan situasi perekonomian, khususnya perkembangan dunia usaha. Langkah administratif yang pertama akan dijalankan pada dasarnya adalah melanjutkan dan melakukan penajaman program-program ekstensifikasi dan intensifikasi yang telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Langkah administratif yang kedua adalah dengan melakukan konsolidasi administrasi perpajakan yang meliputi: (1) modernisasi administrasi perpajakan yaitu membangun landasan administrasi perpajakan yang modern pada bidang-bidang: (a) kelembagaan, (b) peraturan perpajakan, dan (c) teknologi informasi dengan melaksanakan penyempurnaan e-filling, e-registration serta e-payment system, termasuk digitalisasi Peta Obyek Pajak PBB dalam rangka membentuk smart mapping (peta yang dapat berbicara); (2) optimalisasi penegakan hukum melalui tindak penagihan tunggakan, peningkatan efektifitas pemeriksaan, pelaksanaan pencegahan, penyanderaan IV 94

(gizjeling) dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, (3) peningkatan koordinasi dengan instansi pemerintah lainnya. Di bidang kepabeanan dan cukai program peningkatan penerimaan negara akan diupayakan antara lain melalui: (1) Melanjutkan reformasi kebijakan kepabeanan dalam rangka memfasilitasi perdagangan, pemberantasan penyeludupan dan under valuation, dan peningkatan integritas; (2) Penerapan Excise Service System (ESS); (3) Penyempurnaan strata tarif dan harga jual eceran (HJE) barang kena cukai. Selanjutnya, peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan lainnya antara lain diupayakan melalui: (1) Meningkatkan penerimaan sumber daya alam (SDA), terutama SDA perikanan, pertambangan umum dengan memperhatikan kelestarian SDA tersebut beserta lingkungan hidup sekitarnya; (2) Meningkatkan efektivitas penyetoran penjualan migas ke rekening Departemen Keuangan melalui perencanaan penerimaan migas, monitoring pelaksanaan penyetoran, melakukan tindaklanjut penagihan kekurangan setoran penerimaan negara, dan monitoring Indonesia Crude Price (ICP), harga gas, dan lifting serta pengawasan perhitungan penerimaan Negara; (3) Melakukan inventarisasi dan penetapan tarif PNBP Departemen/Lembaga serta melakukan evaluasi atas penetapan tarif yang berlaku; (4) Meningkatkan penagihan dan post audit bersama BPKP terhadap eksportir yang belum melaksanakan pembayaran pajak ekspor; (5) Mengoptimalkan penerimaan negara dari penerimaan bukan pajak termasuk penerimaan dari pengembalian pinjaman serta mengintegrasikan Rekening Dana Investasi (RDI) ke dalam APBN secara bertahap; (6) Melanjutkan perbaikan dan pengelolaan RDI, RPD dan SLA, khususnya mengenai pengadministrasian pinjaman; serta (7) Melanjutkan komputerisasi penatausahaan pinjaman RDI, RPD dan SLA untuk memberikan kemudahan, kecepatan dan ketepatan administrasi pinjaman dan restrukturisasi

IV 95

pinjaman, serta proyeksi pengembalian pinjaman. 3.2.2

penerimaan

negara

dari

Program Peningkatan Efektivitas Pengeluaran Negara

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk mempertajam prioritas pengeluaran negara. Sasarannya adalah kemampuan APBN yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Pengeluaran negara harus disesuaikan dengan kemampuan pemerintah dalam menggali dana, terutama yang berasal dari dalam negeri. Arah kebijakannya adalah: (1) menghapuskan subsidi secara bertahap. Berbagai subsidi yang terutama disediakan untuk mengurangi dampak krisis, secara bertahap perlu dihapuskan, dimulai dengan subsidi yang bersifat umum dan tidak langsung pada kelompok sasaran seperti subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Dana yang dihemat dapat digunakan untuk pengeluaran negara yang mempunyai manfaat langsung pada masyarakat yang sangat membutuhkan, seperti pemberantasan kemiskinan; (2) mengendalikan peningkatan anggaran untuk belanja pegawai. Selama krisis, pendapatan riil pegawai negeri menurun. Namun mengingat keterbatasan keuangan negara, perbaikan kesejahteraan pegawai negeri harus disertai dengan reformasi birokrasi antara lain melalui penataan ulang sistem insentif dan perampingan. Dengan demikian, meskipun jumlah peningkatan belanja pegawai dibatasi pada tingkat yang sesuai dengan upaya menjaga kesinambungan anggaran, secara riil peningkatan pendapatan pegawai negeri dapat memadai; dan (3) mempertajam prioritas anggaran pembangunan. Anggaran pembangunan diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang memang harus dilaksanakan pemerintah.

IV 96

b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Sesuai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengeluaran rutin, realisasi pengeluaran rutin selama masa kerja Kabinet Gotong Royong menunjukkan adanya penurunan baik secara nominal maupun sebagai rasio terhadap PDB, yaitu masing-masing dari Rp218,9 triliun atau 14,9 persen PDB pada tahun 2001 menjadi Rp190,3 triliun atau 10,7 persen PDB pada tahun 2003. Penurunan tersebut dicapai antara lain dengan menekan subsidi yang tidak tepat sasaran dan beban biaya bunga utang. Pada periode yang sama subsidi BBM dan pembiayaan utang dalam dan luar negeri menurun masing-masing dari Rp68,4 triliun dan Rp87,1 triliun menjadi Rp30,0 triliun dan Rp68,9 triliun. Dengan demikian, penurunan tersebut bukan merupakan indikasi dari menurunnya kualitas pelaksanaan tugas Pemerintah. Sementara itu, dalam rangka memperbaiki kesejahteraan pegawai telah dinaikkan gaji aparatur pemerintah dalam tahun 2001 dan 2003, memberikan gaji ke13 dalam tahun 2004, meningkatkan tunjangan tenaga pendidikan untuk guru, yang berlaku sejak 1 Oktober 2002, dan untuk tenaga paramedis dan beberapa kelompok tenaga fungsional lainnya; serta meningkatkan uang makan dan lauk pauk untuk anggota TNI/Polri dalam tahun 2003 dan 2004. Namun demikian, Pemerintah menyadari bahwa upaya-upaya tersebut masih belum cukup untuk meningkatkan taraf hidup pegawai negeri sipil (PNS), TNI dan Polri. Oleh karena itu, perlu terus dikaji upaya-upaya yang lebih sistematis untuk meningkatkan kesejahteraan PNS dan TNI/Polri tanpa mengganggu ketahanan keuangan negara. Terhadap kelompok masyarakat yang perlu dibantu dan dilindungi, Pemerintah telah mengadakan, mempertahankan, atau meningkatkan pemberian subsidi. Subsidi tersebut mencakup subsidi pangan dalam bentuk penyediaan beras bagi masyarakat miskin (Raskin), subsidi listrik, subsidi IV 97

pupuk, subsidi benih, dan subsidi bunga untuk kredit pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana. Pemerintah juga memberikan subsidi bunga untuk kredit ketahanan pangan, dan kredit untuk anggota koperasi primer. Subsidi juga diberikan kepada BUMN yang menjalankan tugas pelayanan sosial. Kebijakan lainnya adalah memenuhi kewajiban berupa pembayaran bunga hutang pemerintah, baik luar maupun dalam negeri. Hal ini ditempuh untuk mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan para kreditur, yang diperlukan bagi pemantapan stabilitas ekonomi makro. Untuk sebagian hutang Pemerintah kepada Bank Indonesia yang kewajiban pembayaran bunga dan pokoknya belum bisa dipenuhi, Pemerintah telah membuat kesepakatan dengan Bank Indonesia untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di samping itu dilakukan beberapa kebijakan seperti reprofiling dan buyback untuk mengurangi menumpuknya kewajiban pembayaran bunga dan pokok hutang di tahun tertentu. Tantangan yang harus dihadapi dalam soal hutang ini adalah melaksanakan pengelolaan hutang yang tidak memberatkan anggaran negara dan tidak menciptakan distorsi terhadap iklim investasi di Indonesia. Sementara itu, perkembangan pengeluaran pembangunan yang terdiri dari pembiayaan rupiah dan proyek sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal serta kebijakan yang ditempuh dalam rangka menstimulasi perekonomian. Selain itu dalam penyerapan pinjaman proyek juga dipengaruhi oleh kendala teknis administratif dan variabel ekonomi makro, terutama nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang secara signifikan mempengaruhi besarnya pembiayaan proyek yang bersumber dari pinjaman luar negeri. Realisasi pengeluaran pembangunan dalam tahun 2002 mencapai Rp37,3 triliun, yang berarti terjadi penurunan IV 98

sebesar 10,3 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2001 sebesar Rp41,6 triliun. Penurunan tersebut disebabkan oleh menurunnya pembiayaan proyek yang mencapai sekitar 42 persen. Demikian pula rasio pengeluaran pembangunan terhadap PDB dalam tahun 2002 juga mengalami penurunan sebesar 0,5 persen menjadi 2,3 persen dibandingkan tahun 2001 sebesar 2,8 persen. Sementara itu, alokasi anggaran pembangunan yang besar utamanya ditujukan untuk (i) sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan YME, pemuda dan olahraga, (ii) sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, (iii) sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi, (iv) sektor pengairan, dan (v) sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, pemberdayaan perempuan, anak dan remaja. Dalam tahun 2003, realisasi pengeluaran pembangunan mencapai Rp67,7 triliun, naik 81,5 persen dibandingkan realisasi tahun 2002 sebesar Rp37,3 triliun. Rasio pengeluaran pembangunan terhadap PDB dalam tahun 2003 juga meningkat sebesar 1,5 persen PDB menjadi 3,8 persen PDB dibandingkan tahun 2002 sebesar 2,3 persen PDB. Peningkatan realisasi pengeluaran pembangunan yang cukup signifikan tersebut disebabkan oleh kenaikan pembiayaan rupiah, terutama pembiayaan untuk keperluan pembangunan yang dilaksanakan oleh departemen maupun lembaga pemerintah non-departemen. Pada tahun anggaran ini lima sektor yang paling besar menyerap anggaran pengeluaran pembangunan adalah (i) sektor pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olahraga, (ii) sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, (iii) sektor pertahanan dan keamanan, (iv) sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan, serta (v) sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan. Pada tahun 2003 dialokasikan dana kompensasi sosial yang bertujuan untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat IV 99

kurang mampu akibat kenaikan harga bahan bakar dan energi. Dana kompensasi sosial tersebut mencakup bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial, transportasi, sarana air bersih, usaha kecil, pemberdayaan masyarakat pesisir, penanggulangan pengangguran, pengadaan alat kontrasepsi, serta monitoring dan evaluasi unit pengaduan masyarakat. Realisasi dana kompensasi sosial pada tahun 2003 mencapai Rp3,9 triliun, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 34,5 persen dibandingkan realisasi tahun 2002 sebesar Rp2,9 triliun. Alokasi dana kompensasi sosial tersebut sebagian besar digunakan untuk bidang pendidikan dan bidang kesejahteraan sosial yaitu masing-masing sebesar 48,7 persen dan 28,2 persen. Sementara itu dalam APBN tahun 2004 pengeluaran pembangunan ditetapkan sebesar Rp70,9 triliun, yang berarti lebih tinggi 4,7 persen bila dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2003 sebesar Rp67,7 triliun. Peningkatan tersebut juga disebabkan oleh meningkatnya pembiayaan rupiah terutama pembiayaan departemen/ lembaga. Bila dilihat dari alokasi anggaran pembangunan persektor, maka dalam tahun 2004 terdapat beberapa sektor yang memperoleh anggaran pembangunan yang cukup besar guna mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional, seperti (i) sektor pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olahraga (21,6 persen), (ii) sektor pertahanan dan keamanan (15,1 persen), (iii) sektor transportasi, meteorologi dan geofisika (14,0 persen), (iv) sektor kesejahteraan sosial, kesehatan dan pemberdayaan perempuan (10,3 persen), dan (v) sektor pengairan (6,8 persen). Berdasarkan proporsi atau perbandingan antara pembiayaan rupiah dan pembiayaan proyek terhadap total pengeluaran pembangunan, maka dapat terlihat bahwa rasio antara pembiayaan rupiah dan proyek juga mengalami fluktuasi namun dengan pembiayaan rupiah yang masih sekitar 70% dari keseluruhan pengeluaran pembangunan. Dalam tahun 2002, proporsi pembiayaan rupiah terhadap IV 100

total pengeluaran pembangunan sebesar 68,6 persen dan dalam tahun 2003 meningkat menjadi 72,2 persen, selanjutnya tahun 2004 kembali menurun menjadi 71,2 persen. Sementara itu, proporsi pembiayaan proyek terhadap total pengeluaran pembangunan pada tahun 2002 sebesar 31,4 persen, kemudian pada tahun 2003 menurun menjadi 26,4 persen dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 28,8 persen. Sejalan dengan telah diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mulai tahun 2001, Pemerintah mengalokasikan dana ke daerah dalam bentuk dana perimbangan, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Uraian yang lebih rinci tentang hal ini disampaikan dalam Program Implementasi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan langkah-langkah peningkatan efektifitas dan juga efisien pengeluaran negara serta langkah-langkah peningkatan penerimaan negara seperti diuraikan dalam Program Peningkatan Penerimaan Negara, defisit APBN secara bertahap dapat di turunkan, dari Rp40,5 triliun atau 2,8 persen PDB pada tahun 2001 menjadi Rp37,7 triliun (2,1 persen PDB) pada tahun 2003, dan direncanakan menurun lebih lanjut pada tahun 2004 menjadi Rp 24,4 triliun (1,2 persen PDB). ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara adalah adanya kebutuhan alokasi anggaran pembangunan yang lebih tinggi dibandingkan selama krisis ekonomi untuk membiayai 3 agenda pembangunan. Sementara itu, adanya kebutuhan IV 101

alokasi anggaran yang lebih besar untuk sektor pendidikan. Hal ini untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) tentang kebutuhan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN diperlukan pula upaya secara bertahap. Di sisi lain, dengan belum jelasnya kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah berpotensi terhadap kurang tepatnya alokasi anggaran baik yang dikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang masih akan dilaksanakan pada tahun 2003 adalah: (1) menghapuskan subsidi secara bertahap terutama subsidi untuk barang-barang konsumsi terutama yang kurang tepat sasaran. Di samping itu, subsidi yang masih disediakan akan lebih bersifat crash program dan selektif dengan sasaran yang tepat (targeted subsidy) yaitu kelompok masyarakat miskin; (2) memperbaiki kesejahteraan pegawai negeri dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dalam batas-batas anggaran negara yang terjaga kesinambungannya; (3) meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran pembangunan antara lain melalui penciptaan standarisasi harga pengadaan barang dan jasa yang dibebankan pada APBN; dan (4) mempertajam prioritas anggaran pembangunan, baik yang dikelola pemerintah pusat maupun daerah melalui upaya pemberian pelayanan dan pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing tingkatan pemerintahan, baik yang ada di pusat maupun di daerah; (5) melakukan penyempurnaan Pengelolaan Keuangan Sektor Publik; (6) menyediakan harga satuan (unit cost) untuk pengadaan barang dan jasa yang menjadi beban APBN, serta pengembangan dan implementasi e-procurement untuk sistem pengadaan barang dan jasa instansi Pemerintah; (7) menyelesaikan RUU tentang Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) dan RUU tentang Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara; (8) melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah dalam rangka IV 102

penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah; (9) melakukan sosialisasi mengenai implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan: (a) desentralisasi ekonomi secara berkesinambungan; (b) ketentuan yang memastikan bahwa peralihan pembiayaan kepada daerah sejalan dengan peralihan fungsi; (c) penentuan prioritas implementasi standar pelayanan minimum; optimalisasi pengalokasian dana transfer; serta (d) optimalisasi pengelolaan keuangan daerah; (10) menyusun dan merumuskan revisi UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk menyelaraskan pengaturan pinjaman daerah. 3.2.3 Program Pengelolaan Utang Pemerintah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan. Selanjutnya, sasaran program ini adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk keperluan pembangunan secara optimal dan menurunnya beban pinjaman luar negeri. Adapun arah kebijakan yang ditempuh dalam periode 20002004 meliputi: (1) mengurangi secara bertahap pembiayaan luar negeri bersih, yang merupakan selisih antara pencairan pinjaman baru dan pembayaran pokok utang. Sejalan dengan peningkatan penerimaan dalam negeri, tingkat pinjaman luar negeri, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, diupayakan menurun setiap tahunnya; (2) membenahi mekanisme dan prosedur peminjaman luar negeri, termasuk perencanaan, proses seleksi, pemanfaatan dan pengawasannya. Pinjaman luar negeri pemerintah harus dikelola secara transparan dan selalu dikonsultasikan dengan DPR dan diatur dengan undang-undang. Dalam kaitan itu perlu disusun peraturan-peraturan perundangundangan yang melandasi dan memayungi berbagai pinjaman luar negeri, khususnya yang terkait dengan pinjaman pemerintah, langsung ataupun melalui jaminan, baik pemerintah pusat IV 103

maupun daerah; (3) memanfaatkan pinjaman secara optimal sesuai dengan prioritas pembangunan dan dilaksanakan secara transparan, efektif dan efisien; (4) mengkaji secara menyeluruh kemampuan setiap proyek dan mempertajam prioritas pengeluaran anggaran dengan memperkuat pengawasan yang sistemik, utamanya bagi proyek-proyek yang dibiayai dari utang luar negeri; (5) meningkatkan kemampuan diplomasi dan negosiasi pinjaman luar negeri untuk memperoleh jangka waktu dan pola persyaratan (terms and conditions) yang memudahkan proses pencairan dan memperingan beban pembayaran; (6) melakukan restrukturisasi utang, termasuk permohonan pemotongan utang dan penjadwalan kembali utang luar negeri dengan para donor secara transparan dan dikonsultasikan dengan DPR. Dalam upaya restrukturisasi utang, proyek-proyek yang sudah disetujui pendanaannya namun mengalami banyak hambatan dalam persiapan pelaksanaannya ataupun kinerja pelaksanaannya sangat buruk maka proyek-proyek tersebut akan dibatalkan; dan (7) menerbitkan obligasi pemerintah untuk kebutuhan pembangunan, di luar keperluan kebutuhan dana rekapitalisasi perbankan. Pengembangannya dilaksanakan secara bertahap agar stabilitas makro tetap terjaga dan tidak mengganggu pemulihan kegiatan ekonomi sektor swasta. Prioritas diberikan untuk menyalurkan obligasi yang telah diterbitkan bagi keperluan restrukturisasi perbankan dan mengembangkan pasar obligasi untuk fasilitas pembiayaan kembali (refinancing) sebagian obligasi tersebut bila jatuh tempo. Dalam kaitan ini perlu diperkuat Unit Manajemen Utang (debt management unit), yang melakukan pengelolaan penerbitan obligasi pemerintah; serta (8) mengurangi tambahan beban pinjaman dalam negeri melalui penuntasan restrukturisasi perbankan dan utang swasta. Penuntasan restrukturisasi perbankan dan dunia usaha akan menekan biaya pemulihan ekonomi dan meningkatkan pengembalian aset (asset recovery).

IV 104

b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Stok hutang pemerintah yang terdiri dari hutang luar negeri (LN), termasuk pinjaman IMF, dan dalam negeri (DN) dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 masing-masing secara berturut-turut adalah: (a) Hutang LN US$ 74,917 miliar, US$ 71,378 miliar, US$ 74,661 miliar, dan US$ 81,666 miliar, US$ 82,113 miliar (posisi 31 maret 2004); (b) Hutang DN Rp 643 triliun, Rp 659 triliun, Rp 650,4 triliun, Rp 623,9 triliun, dan Rp 635,3 triliun. Hutang LN mengalami kenaikan kembali sejak tahun 2002 terutama karena kenaikan kurs Yen dan Euro terhadap Dolar AS. Sehingga stok utang dalam Dollar AS meningkat pesat. Sesungguhnya pada tahun 2003 arus pinjaman luar negeri bersih pemerintah adalah negatif US$ 385 juta berarti pemerintah lebih banyak membayar dari pada meminjam. Meskipun stoknya secara absolut meningkat, prosentase hutang pemerintah terhadap PDB dari tahun 2000 sampai dengan akhir tahun 2003 terus mengalami penurunan secara berturut-turut adalah 107,7%; 95,5%; 83,3%; dan 73,6%. Ini menunjukkan perekonomian yang membaik dan meningkat, beban utang luar negeri pemerintah menurun. Pada tahun 2000, prosentase hutang pemerintah terhadap PDB yang mencapai 107,7% terdiri dari hutang luar negeri 56,8% dan hutang dalam negeri 50,8%. Pada tahun 2001 terdiri dari hutang luar negeri 50,6% dan hutang dalam negeri 44,9%. Pada tahun 2002 prosentase hutang pemerintah terhadap PDB sebesar 83,3% terdiri dari hutang luar negeri 42,9% dan hutang dalam negeri 40,4%. Pada akhir tahun 2003 terdiri dari 38,7% hutang LN dan 34,9% hutang dalam negeri. Secara menyeluruh prosentase hutang pemerintah menurun sebesar 12,2%, 12,2%, 9,7% dan 3% dari tahun 2001-Maret 2004. Prosentase hutang luar negeri menurun 6,2% pada tahun 2001; 7,7% pada tahun 2002 selanjutnya menurun 4,2% pada tahun 2003, 1,5% Maret 2004. Prosentase hutang IV 105

dalam negeri menurun berturut-turut 5,9%; 4,5%, 5,5%, dan 1,5%. Khusus pinjaman luar negeri rasio pembayaran hutang terhadap ekspor (DSR) mulai menurun sejak pada tahun 2001 sampai dengan 2003 adalah 10,6%, 10,9%, dan 9,2% karena (sampai dengan tahun 2003) masih dalam program Paris Club. Namun DSR kembali meningkat pada bulan Maret 2004 karena terjadi kenaikan pembayaran kembali mencapai 12,1%, khususnya pinjaman Yen dan Special Drawing Right (SDR) yang didominasi oleh mata uang Yen dan Dolar AS. Beberapa kebijakan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan efektivitas pengelolaan hutang pemerintah sebagaimana diuraikan di atas, secara berturut-turut dari tahun 2000 dan 2003 telah dicapai dan ditindaklanjuti dengan beberapa kegiatan antara lain: perbaikan sistem, peningkatan koordinasi antar instansi maupun antar pusat dan daerah, peningkatan transparansi, sampai dengan dipersiapkannya penyusunan peraturan-peraturan perundangan. Pada tahun 2001 dalam upaya efisiensi penggunaan dana pinjaman LN, dengan pertimbangan tidak akan mampu dimanfaatkan dalam waktu dekat akibat krisis ekonomi dan terjadinya berbagai kerusuhan di beberapa wilayah serta diberlakukannya sistem otonomi daerah, diambil kebijakan dengan melakukan pembatalan (cancelation) yang cukup besar. Hal itu berlangsung sampai dengan tahun 2002. Sedangkan untuk tahun 2003 pembatalan pinjaman LN tidak sebesar dua tahun sebelumnya. Untuk mengatasi beberapa masalah sistemik yang selama ini diidentifikasi menghambat pelaksanaan proyek pinjaman LN sejak tahun 2001 dan masih berlangsung sampai 2003, telah dilakukan beberapa upaya penyelesaiannya, antara lain dengan pemberian sejumlah dana pendamping termasuk dana pembebasan tanah yang mulai dicarikan solusinya dengan pendanaan dari Pemda setempat dan dari ABT, perbaikan proses tender dan dokumen anggaran dengan diterbitkannya Keppres 80/2003, peningkatan koordinasi antar instansi, dan percepatan proses IV 106

replenishment ke donor untuk mengurangi back-log replenishment dan dilakukan perubahan pembayaran sebagian kecil kontrak dari system Special Account menjadi Direct Payment. Dalam rangka pemrosesan pinjaman-pinjamn baru khususnya yang melalui sumber pembiayaan multilateral, telah diterapkan readiness filter criteria untuk melihat beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum pemerintah melakukan negosiasi. Readiness filter dimaksudkan agar proyek baru lebih efisien dari sisi jumlah dan dapat mencapai target yang diharapkan. Sejak tahun 2001, mulai dilakukan upaya untuk membuka informasi penyusunan proyek-proyek pinjaman LN kepada publik (disclosure of information). Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta mengurangi inefisiensi dana pinjaman LN, telah dipersiapkan peraturan pengadaan barang dan jasa (National Public Procurement Office/NPPO). Sementara itu peraturan yang berkaitan dengan rencana pengelolaan proyek pinjaman dan hibah LN sampai dengan tahun 2003 masih dalam proses penyusunan. Sehubungan dengan kebijakan pemerintah di bidang penerusan pinjaman kepada daerah, sejak tahun 2003 telah dilakukan penyusunan mekanismenya dan telah dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No 23/KMK/01/2003 tentang Perencanaan, Pslaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman LN Pemerintah Kepada Daerah. Secara umum kegiatan di tahun 2004 hingga kwartal I sebagian besar masih melanjutkan kegiatan tahun sebelumnya. Sementara itu, untuk memperkuat landasan penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka memberikan alternatif bagi pembiayaan defisit anggaran Pemerintah, pada bulan Oktober 2002 telah diterbitkan UU No. 22 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Dalam pertengahan tahun 2003 telah disusun mekanisme lelang dalam rangka penerbitan SUN yang akan menjadi IV 107

pedoman dalam melaksanakan lelang SUN di Pasar Perdana. Dalam rangka pelaksanaan mekanisme lelang tersebut telah ditetapkan Keputusan Menteri keuangan No. 66/KMK.01/2003 tentang Penunjukan BI sebagai agen untuk melaksanakan lelang SUN di pasar Perdana, dan Keputusan Menteri Keuangan No.83/KMK.01/2003 tentang Lelang SUN di pasar Perdana. Untuk mendukung pengembangan perdagangan SUN di pasar sekunder telah dibentuk Perhimpunan Pedagang SUN (HIMDASUN) yang beranggotakan 15 bank dan persatuan efek. Asosiasi ini merupakan lembaga Self Regulatory Organization (SRO). Selanjutnya dalam rangka restrukturisasi portfolio utang dalam negeri pemerintah, telah dilakukan program-program: (a) Penerbitan obligasi negara yang berjangka waktu 8 tahun melalui lelang di pasar perdana sebesar Rp 2,7 triliun; (b) Program Asset Bonds Swap sebesar Rp 1,8 triliun; (c) Pembelian kembali Obligasi dari 3 BPD, yaitu BPD Jatim, DKI, dan NTB sebesar Rp 233 miliar;(d) Program reprofiling sebesar Rp 7,8 triliun. Dari segi pengembangan SDM, telah dilakukan training di bidang financial market dan risk management dengan memanfaatkan bantuan teknis dari AusAid. ii. Permasalahan dan Tantangan

Beberapa hal yang belum diselesaikan pada tahun 2003 terutama disebabkan kegiatan tersebut masih relatif baru dan disebabkan oleh adanya berbagai kendala. Kegiatan yang masih relatif baru antara lain adalah penyusunan peraturan mengenai keterbukaan informasi proyek pinjaman LN (disclosure of information) dan persiapan pendirian suatu lembaga yang menangani pengadaan barang dan jasa (National Public Procurement Office / NPPO). Beberapa masalah yang belum sepenuhnya berhasil diselesaikan antara lain masalah dana pendamping termasuk dana pembebasan tanah, masalah proses tender yang beberapa masih dinilai mengandung unsur KKN, penyederhanaan dokumen IV 108

anggaran, dan koordinasi antar instansi yang masih lemah, pada dasarnya memang sudah menjadi masalah yang cukup lama. Untuk mengatasinya diperlukan perombakan kebijakan (grand policy) yang melibatkan seluruh instansi, baik pusat dan daerah. Hal ini memerlukan waktu dan dilaksanakan secara bertahap. iii. Tindak Lanjut Langkah selanjutnya terhadap kegiatan yang masih pending adalah: (a) Menuntaskan penyusunan peraturan keterbukaan informasi proyek pinjaman LN (disclosure of information); (b) Pembentukan secretariat sesuai dengan peraturan mengenai National Public Procurement Office (NPPO), dimana penerapannya pada tahap awal masih terbatas pada proyek-proyek yang dibiayai dari pinjaman Bank Dunia dan pada tahap selanjutnya akan diterapkan pada proyek-proyek yang dibiayai melalui pinjaman LN lainnya; (c) Pembahasan penyusunan rancangan undang-undang pengelolaan proyek pinjaman dan hibah LN. 3.3 Pengembangan Lembaga Keuangan 3.3.1 Program Pengembangan Lembaga Keuangan

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program pengembangan lembaga keuangan ditujukan untuk mendorong terbentuknya lembaga keuangan yang sehat dan kukuh. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, sasaran program difokuskan pada: (1) terjaganya tingkat kesehatan perbankan, (2) meningkatnya jumlah dan jenis pelayanan lembaga keuangan bukan bank, serta (3) semakin meratanya penyaluran dana. Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang ditempuh dalam program ini adalah: (1) Membangun lembaga pendukung sektor keuangan yang sehat, (2) IV 109

Mempersiapkan pembentukan Lembaga Penjamian Simpanan, (3) Meningkatkan akses permodalan pada usaha kecil dan menengah (UKM), serta (4) Meningkatkan kemampuan lembaga keuangan non bank. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Dewasa ini telah dirancang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tujuan untuk membangun industri keuangan yang sehat, stabil, aman, dan kompetitif. Sasaran yang hendak dicapai adalah penguatan pengawasan sektor jasa keuangan secara keseluruhan yaitu pasar modal, perbankan, perasuransian, dana pensiun, serta usaha jasa pembiayaan. Arah kebijakan yang diambil adalah dengan meningkatkan sumber-sumber pembiayaan selain dari perbankan, memperkuat kesehatan lembaga keuangan, serta membangun lembaga keuangan yang sehat didasarkan pada standar internasional yang menganut standar transparansi dan akurasi. Untuk menyesuaikan peraturan perundangan yang berlaku di bidang usaha perasuransian dengan rencana pemerintah untuk membentuk OJK, telah dilakukan penyusunan RUU tentang Amandemen UU No. 2 Tahun 1992 untuk mengakomodasi pemindahan kewenangan pengaturan dan pengawasan usaha perasuransian dari Menteri Keuangan kepada OJK dan untuk mengubah atau menambah beberapa ketentuan yang dianggap mendesak untuk segera diatur dengan UU, diantaranya ruang lingkup usaha asuransi, usaha asuransi dengan prinsip syariah, dan pembentukan Lembaga Penjamin Polis. Sementara itu, untuk perbankan, telah dirancang pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Pendirian LPS dimaksudkan untuk menunjang stabilitas sistem perbankan termasuk dengan memberikan jaminan sampai IV 110

dengan jumlah tertentu atas dana nasabah yang disimpan di Bank Umum. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Pendirian LPS ini didahului dengan pengurangan penjaminan menyeluruh Pemerintah (blanket guarantee) secara bertahap sehingga jenis dan jumlah yang dijamin sesuai dengan skim penjaminan yang lazim berlaku yang dapat dijamin melalui LPS. Selanjutnya, hasil-hasil yang dicapai dalam meningkatkan akses permodalan pada usaha kecil dan menengah termasuk usaha mikro (UMKM) serta peningkatan kemampuan lembaga keuangan non bank dapat dilaporkan sebagai berikut. Peningkatan akses permodalan, tercermin dari peningkatan kredit untuk pagu dibawah Rp5 miliar yang naik dari Rp119,7 triliun (2001) menjadi Rp167,7 triliun (2002) dan Rp210,9 triliun (2003). Dengan demikian, terhadap keseluruhan kredit yang disalurkan (tidak termasuk kredit penerusan), proporsinya terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu sekitar 38 persen di 2001, 45 persen di tahun 2002, dan 48 persen di tahun 2003. Dari nilai kredit yang berhasil disalurkan tersebut, lebih dari 50 persennya dimanfaatkan oleh UMKM sebagai kredit modal kerja dan investasi, sehingga terhadap kredit modal kerja dan investasi secara nasional, perbankan telah mampu meningkatkan proporsi kreditnya kepada UMKM, yaitu menjadi sebesar 25 persen di tahun 2001, 31 persen di tahun 2002, dan 32 persen di tahun 2003. Sementara itu, perkembangan kinerja lembaga keuangan non bank antara lain tercermin dari perkembangan industri jasa perasuransian dan perusahaan pembiayaan. Kontribusi industri perasuransian dalam perekonomian tercermin dari pertumbuhan premi bruto dan rasio antara premi bruto terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam lima tahun terakhir pertumbuhan rata-rata premi bruto IV 111

industri perasuransian adalah sekitar 25 persen. Bahkan pada tahun 2002 mencapai 29 persen (menjadi Rp 30,2 triliun dari sebesar Rp 23,5 triliun di tahun 2001). Selain itu, rasio antara premi bruto terhadap PDB juga mengalami kenaikan dari 1,6 persen pada tahun 2001 menjadi 1,9 persen pada tahun 2002 (peningkatan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan rasio tersebut di tahun 2000 yang hanya 1,3). Kinerja industri jasa perasuransian terlihat dari indikator-indikator berikut ini. Adanya pertumbuhan nilai kekayaan industri asuransi. Pada tahun 2001, total kekayaan industri asuransi mencapai Rp64,9 triliun dan pada tahun 2002 mancapai Rp77,6 triliun. Dengan demikian telah terjadi peningkatan sebesar 24 persen di tahun 2001 dan sekitar 20 persen di tahun 2002. Selanjutnya, jumlah dana investasi pada industri ini meningkat pula dari Rp52,9 triliun di tahun 2001 (terjadi peningkatan sebesar 25 persen) dan menjadi Rp63,9 triliun di tahun 2002 (terjadi peningkatan sekitar 21 persen). Selain itu, industri jasa perasuransian mulai mengarah pada upaya peningkatan efisiensi usaha yang ditunjukkan oleh terjadinya beberapa merger antar perusahaan asuransi asing yang beroperasi di Indonesia. Sebagai akibat dari merger tersebut, maka terjadi penyusutan jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi. Dari sejumlah 173 perusahaan asuransi/reasuransi di tahun 2001, telah menyusut menjadi 169 perusahaan di tahun 2003. Guna lebih meningkatkan kualitas pembinaan dan pengawasan, pemerintah telah melakukan beberapa langkah, antara lain menerapkan metode Risk Based Capital (RBC) yang telah mengadopsi standar praktek internasional di bidang asuransi untuk mengukur tingkat kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi. Dalam rumusan ini, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitasnya paling sedikit 100 persen pada akhir tahun 2003 dan menjadi paling sedikit 120 persen pada akhir tahun 2004. Bagi perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diharuskan menyampaikan IV 112

rencana penyehatan keuangan yang jangka waktunya tidak lebih dari enam bulan. Dalam rangka perlindungan kepentingan pemegang polis, Pemerintah telah melakukan berbagai pengaturan. Untuk menginformasikan mengenai tingkat solvabilitas perusahaan, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi harus menyampaikan laporan triwulanan dan tahunan yang telah diaudit. Di samping itu untuk tujuan transparansi, sejak tahun 2001 perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi juga telah diwajibkan untuk mengumumkan tingkat solvabilitasnya di surat kabar. Disamping itu, pemerintah telah mengatur mengenai deposito jaminan yang harus dimiliki oleh seluruh perusahaan asuransi. Pemerintah juga telah menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian untuk lebih menjamin kompetensi dan integritas mereka. Kemudian, sebagai komitmen untuk turut mencegah terjadinya praktek pencucian uang, telah pula diatur ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah bagi lembaga keuangan non-bank termasuk asuransi. Sama halnya dengan industri jasa perasuransian, Perusahaan Pembiayaan juga telah menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Nilai kegiatan perusahaan pembiayaan yang terdiri dari sewa guna usaha, pembiayaan anjak piutang, pembiayaan kartu kredit, pembiayaan konsumen dan pembiyaan lainnya telah meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, 2002, dan 2003 secara berturutturut mencetak nilai kegiatan sebesar Rp30.8 triliun, Rp32,9 triliun dan Rp40,4 triliun atau tumbuh rata-rata sekitar 14 persen per tahun. Pada periode yang sama, total aset meningkat dari Rp37,3 triliun (tahun 2001) menjadi Rp39,9 triliun (tahun 2002) dan Rp47,2 triliun (2003) atau naik ratarata sekitar 12 persen per tahun. ii. Permasalahan dan Tantangan IV 113

Pada industri jasa perasuransian, meskipun menunjukkan peningkatan, namun masih terdapat masalah yang dihadapi oleh industri ini, termasuk perlunya peningkatan permodalan. Pada tahun 2002 dari 173 perusahaan perasuransian (termasuk Penyelenggara Program Asuransi Sosial dan Jamsostek) hanya 26 perusahaan atau 16 persen saja yang permodalannya di atas Rp 100 miliar, sehingga secara umum perusahaan asuransi dapat menghadapi kesulitan untuk melakukan penutupan resiko berskala besar. Disamping itu, masih dirasakan perlunya penyempurnaan berbagai ketentuan perundangan berkaitan dengan pelayanan jasa perasuransian. iii. Tindak Lanjut Guna meningkatkan peran lembaga keuangan diatas, maka berbagai langkah akan dilakukan, yaitu: (1) Persiapan harmonisasi UU Pasar Modal, UU Dana Pensiun, UU Usaha Perasuransian, UU Perbankan dengan UU OJK secara bertahap; (2) Persiapan pendirian dan pelaksanaan tugas LPS; (3) Pelaksanaan restrukturisasi industri asuransi (termasuk ketentuan exit policy bagi asuransi yang tidak dapat memenuhi ketentuan prudential) seiiring dengan penerapan ketentuan Risk Based Capital (RBC) (minimal 100 persen pada akhir 2003 dan 120 persen pada akhir 2004); (4) Penyempurnaan UU Asuransi 1992 dengan menerapkan standar internasional (International Association Insurance Supervision Core Principles); (5) Peningkatan kualitas pengawasan industri asuransi dan reasuransi dengan konsep risk-based supervision; (5) Perkuatan sumber daya manusia Indonesia di bidang jasa-jasa keuangan, melalui sertifikasi profesi; dan (6) Persiapan pengalihan tugas dari berbagai lembaga yang selama ini mengelola sektor keuangan kepada OJK. 3.4 Percepatan Restrukturisasi Perbankan dan Dunia Usaha 3.4.1 Program Restrukturisasi Perbankan

IV 114

a. Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan Tujuan dari program ini adalah menyehatkan sektor perbankan. Sedangkan sasarannya adalah terlaksananya restrukturisasi sektor perbankan dan restrukturisasi utang perusahaan secara efektif. Langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mendorong terbentuknya struktur perbankan yang sehat dan memiliki daya saing, (2) mempercepat program restrukturisasi perbankan melalui langkah-langkah penegakan hukum terhadap debitor dan pemilik bank yang harus memenuhi kewajibannya, (3) divestasi aset yang berada di bawah pengawasan pemerintah akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan memaksimalkan nilai penjualan aset tersebut, dan dilakukan secara terbuka dengan mengutamakan kepentingan nasional. Langkah ini diharapkan akan meringankan beban keuangan negara b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Kebijakan sektor perbankan pada tahun 2001 adalah: (1) program penyehatan lembaga perbankan melalui program penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR, pemantauan program rekapitalisasi bank umum dan BPR, dan melanjutkan restrukturisasi kredit perbankan: serta (ii) upaya lebih meningkatkan ketahanan sistem perbankan, melalui pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan mutu pengelolaan perbankan (good corporate governance),serta penyempurnaan ketentuan perbankan dan pemantapan sistem pengawasan bank. Pada tahun berikutnya, sebagai kelanjutan kebijakan pada tahun 2001, dalam kurun waktu 2002-2003 kebijakan perbankan tetap difokuskan pada upaya untuk mempertahankan program penyehatan perbankan dan program pemantapan ketahanan sistem perbankan.

IV 115

Secara umum dalam kurun waktu 2001-2003, kondisi perbankan di Indonesia telah menunjukkan perbaikan yang ditandai dengan meningkatnya rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan secara signifikan dari 12,5 persen (2000), menjadi 20,5 persen (2001), dan 22,5 persen (2002). Untuk tahun 2003, rasio CAR sedikit menurun menjadi 19,4 persen. Dimasa mendatang, sektor perbankan nasional diharapkan mampu mengendalikan resiko terutama yang terkait dengan memburuknya kualitas kredit dengan memasukkan unsur resiko pasar di dalam perhitungan permodalannya. Pada periode yang sama, rasio non performing loans/NPLs (gross) juga turut membaik dari 12,1 persen (2001), menjadi relatif tetap sekitar 8 persen pada tahun 2002 dan 2003. Seiring dengan upaya pengoptimalan fungsi intermediasi perbankan, pertumbuhan kredit perbankan berturut-turut adalah 11,9 persen (2001), 14,4 persen (2002) dan 16,3 persen (2003). Sementara itu, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) selama tahun 2001 naik sebesar 14,1 persen dan tahun-tahun berikutnya berturut-turut 4,8 persen (2002) dan 6,3 persen (2003). Dalam kurun waktu yang sama, rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan peningkatan berturut-turut dari 33,0 persen (2001) menjadi 38,2 persen (2002) dan 43,2 persen (2003). Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa fungsi intermediasi telah membaik meskipun belum sebaik pada saat sebelum krisis. Hal ini dikarenakan penyaluran kredit masih mengalami berbagai hambatan antara lain tingginya tingkat resiko yang dihadapi oleh sektor riil dan perbankan, serta iklim usaha yang belum kondusif. Kemajuan yang telah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya, dilanjutkan pada tahun 2004. Pada bulan April 2004, rasio CAR sebesar 22,5 persen dan rasio NPLs juga membaik menjadi 7,7 persen. Membaiknya kedua rasio tersebut diikuti dengan membaiknya rasio LDR dari 43,2 persen (2003) menjadi 44,9 persen pada bulan April 2004. IV 116

Dalam rangka meningkatkan kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sekaligus untuk meningkatkan fungsi intermediasi, kebijakan yang ditempuh sektor perbankan adalah: (1) kebijakan kredit perbankan yang memberikan akses lebih luas kepada UMKM terhadap pihak perbankan umum maupun BPR, (2) melakukan pendekatan kelembagaan dimana kegiatan tersebut lebih menitikberatkan pada pertemuan dialogis antara pemerintah, perbankan dan sektor usaha yang salah satu hasil dari pertemuan dialogis tersebut adalah memandang perlunya suatu lembaga penjamin kredit untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi nasabah UMKM, serta (3) memberikan bantuan teknis yang diimplementasikan melalui peraturan bank Indonesia (PBI) No.5/18/PBI/2003 tentang pemberian bantuan teknis dalam rangka pengembangan UMK yang menekankan pada upaya mengatasi keterbatasan kemampuan aksesabilitas UMK ke lembaga keuangan, khususnya perbankan. Dengan peraturan tersebut bantuan teknis tidak hanya diberikan kepada sektor perbankan tetapi juga diperluas pada sektor riil melalui lembaga penyedia jasa pengembangan usaha (business development service provides/BDSP). Sejalan dengan upaya-upaya yang telah atau sedang dilakukan di atas, Bank Indonesia menyempurnakan pola pengawasan dan pengaturan bank yang mengacu pada 25 Basel Core Principles (BCP), yang telah berlaku secara internasional dan meningkatkan mutu pengelolaan bank (Good Governance) serta memperkuat infrastruktur perbankan. Pada tahun 2001 dan 2002, program pemantapan sistem pengawasan bank diarahkan untuk berorientasi ke depan (forward looking), dengan berdasarkan pada pengawasan berbasis risiko (risk based supervision) yang mengacu pada 25 Prinsip Dasar Pengawasan Perbankan yang Efektif. Sampai dengan akhir 2002, dari 25 Core Principles (CP) IV 117

tersebut, Indonesia sudah mematuhi dan melaksanakan (fully compliant) 2 prinsip dasar yaitu CP-1 mengenai Preconditions for Effective Banking Supervision yang mencakup Objectives, Independence and Resources, Legal Protection serta CP-2 mengenai Permissible Activities. Sementara itu, juga terdapat 10 CP lainnya yang sudah Largely Compliant. Mengingat sebagian besar dari 25 BCP tersebut belum dipenuhi, diperlukan berbagai upaya untuk peningkatan sistem pengawasan perbankan di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pengawasan perbankan di Indonesia masih terbatas kepada compliance (kepatuhan). Sedangkan pendekatan yang sudah diterapkan secara internasional dan memberikan hasil yang lebih akurat dalam merefleksikan kondisi bank adalah menggunakan risk-based approach. Menyikapi hal tersebut, pada tahun 2003, BI telah mengembangkan dan terus menyempurnakan kerangka pengawasan berdasarkan risiko dengan menerapkan manajemen resiko. Hal ini dimaksudkan agar bank dapat melakukan proyeksi dan mengambil kebijakan untuk mengantisipasi potensi kerugian yang timbul di masa mendatang. Masih dalam rangka pengawasan bank, BI juga telah mengeluarkan penyempurnaan peraturan permodalan dengan memasukkan komponen resiko pasar dalam perhitungan CAR pada pertengahan 2003 dengan masa transisi sampai dengan akhir 2004. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan ketahanan perbankan Indonesia dari pengaruh fluktuasi suku bunga dan nilai tukar. Selanjutnya, sejalan dengan upaya penyehatan perbankan nasional, BPPN telah melakukan merger terhadap 5 bank (Bank Bali, Universal, Patriot, Prima Express, dan Bank Media) setelah disetujui oleh Komisi IX DPR RI pada 2 September 2002.

IV 118

Disamping itu, sebagai upaya untuk mendapatkan pertanggungan jawab debitur atas aset kredit bermasalah yang tidak terselesaikan, BPPN menempuh jalur hukum berdasarkan PP 17/99, penagihan, penyelesaian dan pengadilan perdata. Kasus penyelesaian hukum tahun 2000 yang ditangani oleh ligitasi adalah sebanyak 2.920 perkara dan tahun 2001 adalah sebanyak 2.570 perkara. Sedangkan sampai dengan 31 Desember 2002 adalah sebanyak 1.891 perkara. Pada tahun 2003, penanganan hukum tetap dilakukan dan terjadi penurunan kasus menjadi 1.361 kasus di bulan Desember. Pada tahun 2004, posisi per Februari 2004, jumlah perkara sebanyak 1.273 perkara dengan total nilai pokok utang Rp20,1 triliun. Dalam hal divestasi aset, langkah yang telah dilakukan BPPN sampai dengan tahun 2002 menyangkut mencakup divestasi BCA, Bank Niaga dan Bank Danamon. Adapun perkembangannya adalah: (1) untuk divestasi BCA, BPPN/Pemerintah memperoleh penerimaan sebesar Rp8,33 triliun melalui IPO (Mei 2000) sebesar Rp0,93 triliun, secondary offering (tahun 2001) sebesar Rp0,5 triliun dan strategic sale (tahun 2001) sebesar Rp6,9 triliun, (2) untuk divestasi Bank Niaga (tahun 2002), BPPN/Pemerintah mendapatkan penerimaan sebesar Rp1,08 triliun yang berasal dari strategic sale sebesar Rp1,05 triliun dan pouring to market sebesar Rp0,03 triliun dan (3) untuk divestasi Bank Danamon (tahun 2003), BPPN/Pemerintah mendapatkan Rp3,02 triliun yang berasal dari strategic sale. Pada tahun 2003, unit restrukturisasi perbankan BPPN melaksanakan 3 program divestasi saham bank kelolaan BPPN, yang memberikan perolehan total bagi BPPN sebesar Rp 7,6 triliun. Ketiga divestasi tersebut adalah penjualan 71% saham Bank Danamon dengan perolehan sebesar Rp 4,31 triliun, 71% saham BII (melalui penjualan strategis 51% dan market placement 20%) dengan perolehan Rp 2,88 triliun, dan penjualan 20% saham Bank Niaga sebesar Rp 411 miliar. Dengan terjualnya sejumlah saham bank, maka IV 119

status portofolio saham kepemilikan Pemerintah saat ini menjadi, sebagai berikut: BCA 6,55%, BII 22,49%, Bank Niaga 26,15%, Bank Danamon 8,35%, Bank Lippo 54,76%, dan Bank Permata 97,17%. Dalam rangka pemulihan aset hasil restrukturisasi utang di BPPN tercatat bahwa hasil penjualan dari Asset Transfer Kit (ATK) pada tahun 2000, 2001, 2002 dan 2003 berturutturut adalah sebesar Rp2,9 triliun dari nilai pokok sebesar Rp7,4 triliun (recovery rate 38,7 persen), Rp9,3 triliun dari nilai pokok Rp19,7 triliun (recovery rate 47,3 persen), Rp27,9 triliun dari nilai pokok Rp109,3 triliun (recovery rate 25,6 persen), dan Rp7,4 triliun dari nilai pokok Rp65,7 triliun (recovery rate 11,2 persen). Disamping itu, terdapat pula penjualan yang berasal dari program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Tahun 2001 penjualan sebesar Rp10,4 triliun dari nilai akuisisi Rp24,7 triliun (recovery rate 42 persen), tahun 2002 penjualan sebesar Rp2,3 triliun dari nilai akuisisi Rp4,2 triliun (recovery rate 55 persen), serta tahun 2003 mencatat penjualan sebesar Rp2,5 triliun dari nilai akuisisi Rp6,8 triliun (recovery rate 37 persen). ii. Permasalahan dan Tantangan

Selama kurun waktu 2001 sampai dengan 2004 terjadi beragam masalah yang terjadi di dalam upaya restrukturisasi perbankan. Namun secara garis besar permasalahannya adalah belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan yang disebabkan oleh belum pulihnya restrukturisasi sektor riil dan masih tingginya persepsi bank terhadap resiko usaha. iii. Tindak Lanjut Tahap selanjutnya dari program restrukturisasi perbankan adalah divestasi kepemilikan pemerintah pada sektor perbankan. Tahap tersebut selain untuk mengurangi beban pemerintah dalam bentuk kupon obligasi, program IV 120

divestasi juga diharapkan dapat memberikan dampak positif terutama dalam hal efisiensi dan efektifitas kinerja perbankan. Tindak lanjut utama yang dilakukan adalah: (1) memantapkan hasil restrukturisasi perbankan terutama untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan, (2) melanjutkan penyempurnaan pola pengawasan bank, (3) melanjutkan upaya penegakan hukum, dan (4) melanjutkan divestasi aset. Kedepan, arah kebijakan pengembangan industri perbankan akan dilandasi oleh visi untuk mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang diwujudkan dengan pencanangan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dicanangkan awal tahun 2004 dan selama 10 tahun ke depan, kerangka dasar API ini memiliki 6 pilar, yaitu (1) struktur perbankan yang sehat, (2) Sistem pengaturan yang efektif, (3) Sistem pengawasan yang independent dan efektif, (4) Industri perbankan yang sehat, (5) Infrastuktur pendukung yang mencukupi, dan (6) perlindungan konsumen. 3.4.2 Program Penyelesaian Perusahaan dan Pemantauan Utang

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk mengembalikan kredibilitas perusahaan swasta terhadap kreditor, investor dan konsumen di dalam dan luar negeri, serta mengurangi potensi dan risiko sistemik utang swasta yang tidak terkendali. Sasaran program ini adalah tercapainya penyelesaian masalah utang swasta secara cepat melalui proses restrukturisasi perusahaan-perusahaan; tercapainya pemulihan aset Pemerintah (asset recovery) di BPPN yang diupayakan semaksimal mungkin mencapai 70 persen sampai dengan tahun 2004; serta terciptanya sistem pelaporan utang swasta yang handal. IV 121

Adapun arah kebijakan yang ditempuh dalam rangka mempercepat restrukturisasi utang perusahaan swasta dalam periode 2000-2004 meliputi: (1) menghindarkan upaya untuk mengambil alih beban utang perusahaan swasta dalam rangka meminimumkan biaya pemulihan ekonomi dan mencegah perilaku tercela (moral hazard) dari perusahaan; (2) melaksanakan restrukturisasi utang secara transparan dan tegas, berdasarkan mekanisme pasar dan nondiskriminatif. Restrukturisasi utang terutama dilaksanakan kepada perusahaanperusahaan yang memiliki prospek baik di masa datang; (3) memperkuat kelembagaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Prakarsa Jakarta termasuk mekanisme pengawasannya dalam rangka mengoptimalkan kinerja Prakarsa Jakarta dan BPPN; (4) mengembangkan mekanisme insentif dan penalti yang tegas, transparan dan bertanggung-gugat. Debitordebitor yang melanggar hukum harus diproses secara hukum dan proses penyelesaian utangnya tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagi debitor yang kooperatif dapat diberikan insentif, sedangkan debitor yang tidak kooperatif ditetapkan penalti/sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (5) khusus terkait dengan penyelesaian MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: pertama, bagi debitor yang belum menandatangani dan akan menandatangani MSAA perlu dikembangkan mekanisme insentif; kedua, bagi debitor yang tidak menandatangani MSAA ataupun yang sudah menandatangani tetapi tidak dapat memenuhi perjanjian tersebut (cidera-janji) dapat dilakukan penyempurnaan terhadap MSAA dan/atau dikenakan penalti; dan ketiga, bagi debitor yang telah menandatangani dan telah memenuhi MSAA perlu diberikan jaminan kepastian hukum; (6) mengupayakan terciptanya proses kepailitan yang berjalan dengan cepat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi prinsip keadilan, terutama dengan memperkuat dan memperbaiki fungsi peradilan niaga; (7) menggunakan jasa lembaga lainnya (outsourcing), misalnya perbankan nasional untuk menangani pinjaman-pinjaman yang nilainya kecil, namun jumlahnya sangat IV 122

banyak. Dengan demikian BPPN dapat secara efektif memusatkan perhatiannya pada penyelesaian debitor-debitor besar dan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah; serta (8) mempercepat restrukturisasi utang usaha kecil dan menengah (UKM) melalui pemberian insentif yang memadai. Karena keterbatasan UKM, diberikan asistensi untuk penyiapan restrukturisasi utang, negosiasi dan juga pelaksanaan rencana restrukturisasi yang telah disetujui. Selanjutnya, arah kebijakan untuk mencegah terulangnya krisis yang memberikan dampak negatif yang luas dan dalam perhatian yang besar. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi: (1) memperbaiki struktur dan kualitas pasar modal serta lembaga pembiayaan lainnya, antara lain untuk mengurangi ketergantungan yang cukup besar terhadap sumber dana luar negeri; (2) meningkatkan pemantauan dan pengendalian utang swasta untuk dapat mengetahui setiap saat jumlah utang luar negeri, persyaratan dan jangka waktu serta pemanfaatannya; serta koordinasi antar instansi yang melakukan pemantauan; dan menyusun RUU Pinjaman Luar Negeri, yang juga meliputi pinjaman luar negeri swasta; serta (3) mengendalikan pinjaman luar negeri sektor swasta yang terkait, langsung ataupun tidak langsung, dengan jaminan pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan menetapkan plafon pinjaman. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan didalam propenas, maka kinerja Prakarsa Jakarta dan BPPN tahun 2000, 2001, 2002, 2003 dan 2004 dijelaskan sebagai berikut: 1) Restrukturisasi Utang melalui Prakarsa Jakarta Sampai akhir tahun 2000 Prakarsa Jakarta menerima pendaftaran 77 kasus dengan nilai utang 13,87 miliar dolar AS dan Rp 12,05 triliun atau total utang adalah 15,38 miliar dolar. Kasus aktif berjumlah 50 kasus dengan nilai utang IV 123

sebesar 8,85 miliar dolar dan Rp 9,99 tiliun dan yang behasil direstrukturisasi adalah 5,2 miliar dolar. Sampai dengan akhir tahun 2001 jumlah kasus yang berhasil dimediasi oleh Prakarsa Jakarta adalah sebanyak 69 Kasus dengan nilai US$ 14,20 miliar. Sedangkan sebanyak 53 kasus masih dalam status aktif/proses penyelesaian yaitu dengan nilai utang sebesar US$ 7,9 miliar. Pada akhir tahun 2002 jumlah kasus yang berhasil dimediasi oleh Prakarsa Jakarta meningkat menjadi sebanyak 86 Kasus dengan nilai US$ 18,87 miliar. Sedangkan sebanyak sebanyak 40 kasus masih dalam status aktif/proses penyelesaian yaitu dengan nilai utang sebesar US$ 10,1 miliar. Sampai pada akhir masa tugasnya pada bulan Desember 2003, Prakarsa Jakarta berhasil melakukan restrukturisasi sebanyak 96 kasus dengan nilai utang US$ 20,5 miliar dari 102 kasus yang terdaftar dengan total utang sebesar US$ 26,9 miliar. Dari 96 kasus yang dapat diselesaikan tersebut, perinciannya adalah 20 kasus senilai US$ 4,2 miliar mencapai tahap MOU dan 76 kasus senilai US$ 16,3 miliar mencapai perjanjian restrukturisasi hutang yang legally bindding (kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah perjanjian yang berkekuatan hukum). 2) Restrukturisasi Utang Perusahaan di BPPN Jumlah kredit yang dialihkan dan harus direstrukturisasi oleh BPPN adalah lebih dari 370.000 ribu rekening, yang merupakan milik lebih dari 200.000 debitur. Menghadapi hal tersebut, BPPN menerapkan strategi penanganan aset yang berdasarkan pengelompokkan obligor sebagai berikut: Aset kredit korporasi (di atas Rp.50 miliar): dilakukan restrukturisasi oleh BPPN dengan mengacu pada tahapan-tahapan restrukturisasi BPPN. Aset kredit komersial (antara Rp.550 miliar): dilakukan dengan metoda outsourcing yaitu

IV 124

mengalihkan pelaksanaan restrukturisasinya pada pihak ketiga. Aset kredit SME/Ritel (di bawah Rp.5 miliar): dilakukan penjualan langsung.

Strategi penanganan aset tersebut diambil dengan antara lain mempertimbangkan keterbatasan sumber daya yang ada di BPPN. Jika seluruh kredit dari 298.277 debitur tersebut harus direstrukturisasi maka untuk dapat menyelesaikan seluruh restrukturisasi dalam masa tugas BPPN (5 tahun = 1.825 hari), setiap harinya BPPN harus menyelesaikan 163 restrukturisasi debitur. Hal ini merupakan suatu target yang tidak realistik untuk dicapai. Dalam pelaksanaannya, untuk meningkatkan jumlah perusahaan yang direstrukturisasi, salah satu tolok ukurnya adalah meningkatnya debitur yang kooperatif. Di tahun 2001 terjadi peningkatan jumlah debitur yang kooperatif menjadi sebanyak 1.120 debitur dengan nilai buku Rp98.98 triliun, dibanding tahun 2000 sebanyak 1.096 debitur. Restrukturisasi yang dilakukan oleh BPPN menggunakan pendekatan melalui pengelompokan debitur terbesar yaitu Top 21 ataupun Top 50. Dengan pengelompokkan tersebut jumlah perusahaan yang telah dilakukan restrukturisasi pada kelompok 21 Obligor terbesar adalah sebesar Rp67,27 triliun dari total ATK sebesar Rp90,76 triliun (tahap MoU). Sedangkan pada Kelompok 50 Obligor Terbesar, terjadi peningkatan yang relatif signifikan, yaitu tahap finalisasi usulan restrukturisasi MoU, yaitu meningkat menjadi Rp 70,90 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 58,75 triliun, tahap terbayar penuh juga mencatat adanya peningkatan menjadi sebesar Rp 4,49 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp 2,51 triliun. Selain itu, tahap 9 disposal, juga mengalami peningkatan, yaitu menjadi sebesar Rp 4,49 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 0,48 triliun. Pada kenyataannya, strategi untuk melakukan restrukturisasi pada aset kredit korporasi dan outsourcing aset IV 125

kredit komersial tidak berjalan seperti yang diharapkan. Karena sepanjang tahun 1999 - 2001 iklim politik dan makro ekonomi Indonesia sangat tidak kondusif, sehingga di BPPN tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mengatasi stagnasi proses restrukturisasi, BPPN melakukan beberapa terobosan yang bisa mempercepat jalannya restrukturisasi agar sektor riil dapat berjalan kembali. Terobosan BPPN menekankan pada perlunya diberikan fokus penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat strategis, yaitu pinjaman yang memiliki dampak nasional yang cukup besar. Pendekatan baru tersebut dituangkan dalam SK Komite Kebijakan sektor Keuangan (KKSK) no. Kep.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002 yang menekankan bahwa restrukturisasi hanya akan dilakukan untuk kelompok debitur berikut: a) Debitur di atas Rp 750 miliar. Penandatanganan perjanjian restrukturisasi hutangnya harus sudah tercapai dalam waktu 6 bulan, terhitung sejak bulan Mei 2002. b) Debitur terkait Prakarsa Jakarta. Penandatanganan perjanjian restrukturisasi hutangnya harus sudah tercapai maksimal dalam waktu 4 bulan, terhitung sejak bulan Mei 2002. c) Debitur BUMN. Restrukturisasi akan dilanjutkan jika nilai jaminan lebih tinggi terhadap nilai kewajibannya. Untuk kewajiban yang telah direstruktur, pada porsi pinjaman dan obligasi langsung dapat dilakukan pelepasan, sedangkan untuk porsi modal dan modal kuasi tetap ditangani BPPN. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka sampai dengan 2002 BPPN melalui AMK, telah berhasil merestrukturisasi 107 debitur dengan nilai ATK pokok sebesar Rp 61,03 triliun. Pencapaian penyelesaian asset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003 mencapai total penerimaan sebesar Rp77,09 triliun dengan total pengalihan awal sebesar Rp270,43 triliun. Kinerja penyelesaian kredit tahun 2003 secara garis besar sebagai berikut: IV 126

a)

Penyelesaian kredit Usaha Kecil dan Menegah (UKM) hingga tahun 2003 mencapai 98% meliputi 239.440 debitur dengan nilai ATK sebesar Rp29,02 triliun. b) Program penjulan asset Properti (PPAP) sampai dengan tahun 2003 menghasilkan rata-rata pengembalian sebesar 151% dari 5.910 unit properti. Di tahun 2003 pelaksanaan PPAP tahap I IV menghasilkan tingkat pengembalian rata-rata 120% sebanyak 2.702 unit property dengan f sebesar Rp1.10 triliun. c) Program penjualan aset kredit di tahun 2003 dilaksanakan meliputi 83.238 debitor dengan total hutang pokok sebesar Rp105,28 triliun. d) Pelaksanaan Program Penjualan Asset Strategis (PPAS) sebanyak 2 kali dengan total penerimaan sebesar Rp2,61 triliun. 3) Pemulihan Aset hasil Restrukturisasi Utang di BPPN Dalam rangka mencapai sasaran untuk tercapainya nilai pemulihan aset hasil restrukturisasi utang di BPPN, maka kinerja tahun 2000-2004 adalah sebagai berikut: Hasil penjualan tahun 2000 adalah sebesar Rp.2,9 triliun dari Asset Transfer Kit (ATK) pokok Rp7,4 triliun atau Recovery rate tahun 2000 adalah sebesar 38,7%, dan setoran Tunai ke APBN adalah Rp19,9 triliun melebihi target sebesar Rp18,9 triliun. Sedangkan setoran tunai non APBN tahun 2000 adalah sebanyak Rp1,8 triliun. Secara total setoran ke negara adalah sebesar Rp20,7 triliun. Hasil penjualan tahun 2001 adalah sebesar Rp.9,3 triliun dari ATK pokok Rp19,7 triliun atau Recovery rate tahun 2001 adalah sebesar 47,3%, dan setoran Tunai ke APBN adalah Rp27,8 triliun melebihi target sebesar Rp27 triliun. Sedangkan setoran obligasi tahun 2001 adalah sebanyak Rp20,5 triliun melebihi target sebesar Rp10 triliun. Secara total setoran ke negara adalah sebesar Rp48,5 triliun. IV 127

Penjualan yang dilakukan pada tahun 2002 sebagai tindak lanjut penanganan atas aset kredit yang ada di BPPN meningkat sangat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya dengan adanya kebijakan KKSK No. Kep. 01/K.KKSK/05/2002 tentang restrukturisasi utang tersebut di atas. Pada tahun 2000 dan 2001, total ATK pokok yang dijual hanya sebesar Rp27,3 triliun, sedangkan di tahun 2002 meningkat menjadi Rp109.2 triliun. Dari ATK pokok Rp109,2 triliun tersebut, hasil penjualan tahun 2002 adalah sebesar Rp.27,9 triliun atau Recovery rate tahun 2002 adalah sebesar 25,6%. Setoran Tunai tahun 2002 adalah Rp35,3 triliun mencapai target sebesar Rp35,3 triliun dan setoran obligasi adalah sebesar Rp7,5 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp7,5 triliun. Disamping itu ada setoran diluar APBN sebesar Rp.5,6 triliun terdiri dari Penanaman Modal Sementara pada Bank Permata sebesar Rp2,9 triliun dan Premi Penjaminan dan Pembayaran kupon obligasi pemerintah Rp2,6 triliun Secara total setoran ke Negara tahun 2002 adalah sebesar Rp48,7 triliun. Sampai dengan tahun 2003 total penerimaan BPPN yang berasal dari penjualan asset kredit menghasilkan penerimaan sebesar Rp7,3 triliun dari total pengalihan asset kredit sebesar Rp65,7 triliun atau recovery rate tahun 2003 adalah sebesar 11,2%. Tahun 2003 setoran tunai ke APBN adalah sebesar Rp19,6 triliun dan setoran obligasi sebesar Rp6,4 triliun. Sedangkan setoran tunai non APBN sebesar Rp2,4 triliun sehingga total setoran ke Negara tahun 2003 adalah sebesar Rp28,5 triliun. Pada tahun 2004 setoran tunai BPPN adalah sebesar Rp5 triliun kepada APBN 2004 dan setoran Non APBN adalah sebesar Rp4 triliun. Pada saat BPPN mengakhiri tugasnya pada bulan Februari 2004, BPPN telah berhasil memberikan setoran di atas target yaitu sebesar sekitar Rp9 triliun. IV 128

Di samping Penjualan asset kredit tersebut diatas, penjualan yang berasal dari program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) pada tahun 2000 menunjukkan penjualan sebesar Rp5,7 triliun dari nilai akuisisi Rp.6,2 triliun atau recovery rate = 91%, tahun 2001 penjualan sebesar Rp10,38 triliun dari nilai akuisisi Rp.24,7 triliun atau recovery rate = 42%, tahun 2002, penjualan sebesar Rp2,3 triliun dari nilai akuisisi Rp.4,2 triliun atau recovery rate = 55% dan tahun 2003 penjualan sebesar Rp2,5 triliun dari nilai akuisisi Rp.6,78 triliun atau recovery rate = 37%. 4) Penanganan debitur nonkooperatif di BPPN Kasus penyelesaian hukum tahun 2000 yang telah ditangani oleh Litigasi, adalah sebanyak 2.920 perkara, tahun 2001 sebanyak 2.570 perkara, dan tahun 2002 sebanyak 1.891 perkara. Pada tahun 2003 penanganan hukum tetap dilanjutkan dan terjadi penurunan kasus menjadi 1.361 kasus di bulan Desember. Selanjutnya, pada tahun 2004 posisi per 23 Februari 2004 jumlah perkara sebesar 1.273 perkara dimana didalamnya terdapat perkara-perkara hak tagih BPPN terhadap 447 debitur dengan total nilai pokok utang senilai Rp.20,1 triliun. Penanganan terhadap penyelesaian kewajiban Pemegang Saham (PS), sebanyak 54 PS wajib melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dimana 44 PS sudah menadatangani PKPS dan 5 PS diantaranya melakukan cash settlement sedangkan 10 PS yang tidak bersedia menandatangani perjanjian. Terhadap PS yang tidak besrsedia menandatangani perjanjian tersebut selanjutnya diserahkan kepada aparat penegak hukum yang terkait. Dengan demikian jumlah perjanjian PKPS adalah sebanyak 39 PS diluar yang melakukan cash settlement.

IV 129

Status per 30 April 39 perjanjian PKPS yang penyelesaiannya dengan skema MSAA, MRNIA dan APU adalah sebagai berikut: a) Terdapat tambahan 1 PS yang menandatangani PKPS yang berasal dari 10 PS yang diserahkan kepada aparat hukum, sehingga total perjanjian PKPS adalah sebanyak 40 PS. b) 5 debitur dengan skema MSAA statusnya 5 debitur sudah selesai c) 4 debitur dengan skema MRNIA, statusnya adalah 2 debitur dengan status selesai dan 2 debitur dalam proses. d) 31 debitur dengan skema APU sattusnya adalah 17 debitur selesai, 6 debitur dalam proses dan 8 debitur non kooperatif. Untuk memberikan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya, Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 8 tahun 2002 tanggal 30 Desember 2002. Sebagai tindak lanjut Inpres tersebut, terhadap debitur yang teleh menyelesaikan PKPS tahun 2003 dikeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada 5 PS dan tahun 2004 sebanyak 17 PS sehingga total terdapat 22 PS yang menerima SKL. Sedangkan 2 PS dengan skema MRNIA yang PKPSnya sudah selesai dilakukan penjualan sehingga tidak dikeluarkan SKL. Penanganan PKPS selanjutnya terhadap yang belum selesai dan non kooperatif pasca BPPN akan dikoordinasikan oleh Tim Pemberesan BPPN, dan 8 PS yang non kooperatif selajutnya diserahkan kepada penegak hukum yang terkait.

5) Pemantauan dan Pengawasan Utang Luar Negeri Swasta

IV 130

Di samping upaya penanganan hutang bermasalah, dalam rangka tersedianya data utang swasta yang lengkap, akurat dan tepat waktu bagi keperluan pemantauan dan pengawasan utang luar negeri swasta, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan tentang kewajiban pelaporan hutang luar negeri melalui PBI No.2/22/PBI/2000 tanggal 2 Oktober 2000 dan SE No.2/20DLN tanggal 9 Oktober 2000. Bank Indonesia melakukan revisi surat edaran yang telah dikeluarkan melalui:SE No.3/12/DLN tanggal 8 Juni 2001 tentang Perubahan SE No.2/20DLN tanggal 9 Oktober 2000. Secara bulanan Bank Indonesia telah mengeluarkan laporan tentang posisi hutang Luar negeri swasta baik Lembaga Keuangan maupun Non Lembaga Keuangan. 3.5 Pelaksanaan Desentralisasi Ekonomi 3.5.1 Program Implementasi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan dari Program Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah mendorong pelaksanaan desentralisasi keuangan yang memungkinkan daerah dapat melaksanakan wewenangnya dengan tetap menjamin kestabilan ekonomi makro. Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya anggaran pemerintah daerah yang dapat menunjang tugas-tugas desentralisasinya, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, yang searah dengan upaya menurunkan defisit APBN. Arah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) Menuntaskan penyempurnaan perundang-undangan untuk meningkatkan kepastian hukum, termasuk revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya; (2) Memantapkan formulasi Dana Alokasi Umum(DAU) dengan memperbaiki kualitas data dan informasi sehingga ada kepastian bagi daerah dalam IV 131

merencanakan anggaran kedepan; (3) Menyelesaikan standar pelayanan minimal (SPM) bagi masing-masing Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), sehingga SPM dapat dimasukkan ke dalam perhitungan kebutuhan fiskal suatu daerah pada tahun yang akan datang; (4) Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem informasi keuangan daerah (SIKD) sehingga kebutuhan dan ketersediaan akan data dan informasi antara daerah menjadi terjamin; (5) Mengoptimalkan fungsi dana alokasi khusus (DAK) yang tidak hanya berupa dana reboisasi, tetapi juga sebagai sarana meningkatkan efisiensi dan efektifitas alokasi anggaran pemerintah terutama dalam peningkatan pelayanan dasar kepada masyarakat; (6) Memantapkan dan menyempurnakan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan desentralisasi; (7) Meningkatkan kapasitas daerah yang mencakup jumlah dan kemampuan aparatur daerah yang disertai dengan meningkatnya partisipasi masyarakat; (8) Melakukan penelitian dan membuat rekomendasi pembatalan/penyempurnaan Perda tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum; dan (9) Menyusun kebijakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dalam rangka penyempurnaan penyusunan alokasi dan penyaluran Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2001 bersamaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, maka sejalan dengan itu, telah terjadi perubahan yang mendasar dan signifikan dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah mengalokasikan dan kepada daerah dalam bentuk Dana Bagi IV 132

Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan yang bersifat khusus disebut dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Besarnya realisasi dana yang dialokasikan ke daerah selama tahun 2001 mencapai Rp81.054,4 miliar, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Rp20.007,7 miliar, Dana Alokasi Umum sebesar Rp60.345,8 miliar, dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp700,9 miliar. Sementara itu, dalam tahun 2002 realisasi dana yang dialokasikan ke daerah meningkat 21,2 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan yang cukup tinggi tersebut dikarenakan selain meningkatnya alokasi dana perimbangan, pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi khusus dan penyeimbang. Dana Otonomi khusus dialokasikan seiring dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Undangundang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Sedangkan dana penyeimbang dialokasikan kepada daerah agar DAU yang diterimanya minimal sama dengan DAU tahun sebelumnya. Besarnya realisasi dana perimbangan dalam tahun 2002 mencapai Rp98.204,1 miliar atau meningkat 21,2 persen dari tahun sebelumnya. Realisasi tersebut terdiri dari Dana Bagi Hasil Rp24.884,1 miliar atau naik 24,4 persen dari tahun sebelumnya, Dana Alokasi Umum sebesar Rp69.159,4 miliar atau naik 14,6 persen dari tahun sebelumnya, dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp613,1 miliar atau turun 12,5 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, realisasi dana otonomi khusus dan penyeimbang mencapai Rp3.547,4 miliar, terdiri dari dana otonomi khusus Rp1.174,9 miliar, dan dana penyeimbang Rp2. 372,5 miliar. Dalam tahun 2003, besarnya realisasi dana yang dialokasikan ke daerah mencapai Rp120.749,5 miliar atau meningkat 23,0 persen dari tahun sebelumnya. Realisasi tersebut terdiri dari dana perimbangan Rp111.484,0 miliar atau naik 17,8 persen dari tahun sebelumnya, dan dana otonomi khusus dan penyeimbang Rp9.265,5 miliar atau naik IV 133

161,2 persen dari tahun sebelumnya. Realisasi dana perimbangan dalam tahun 2003 terdiri dari Dana Bagi Hasil Rp31.823,4 miliar atau naik 27,9 persen dari tahun sebelumnya, Dana Alokasi Umum sebesar Rp76.937,5 miliar atau naik 11,2 persen dari tahun sebelumnya, dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp2.723,1 miliar. DAK terdiri dari DAK Dana Reboisasi sebesar Rp462,8 miliar, bersumber dari 40% Dana Reboisasi merupakan penerimaan negara yang disediakan kepada daerah penghasil dan DAK Non Dana Reboisasi sebesar Rp2.269,0 miliar yang ditujukan untuk kegiatan bidang Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur Jalan dan Irigasi, serta bidang Prasarana Pemerintahan. Sementara itu, realisasi dana otonomi khusus dan penyeimbang mencapai Rp9.265,5 miliar, terdiri dari dana otonomi khusus Rp1.539,6 miliar, dan dana penyeimbang Rp7.725,9 miliar. Dalam tahun anggaran 2004, alokasi anggaran belanja untuk daerah ditetapkan mencapai Rp119.042,3 miliar atau menurun 1,4 persen dari realisasi belanja untuk daerah tahun 2003. Alokasi anggaran belanja untuk daerah tahun 2004 terdiri dari dana perimbangan Rp112.186,9 miliar atau naik 0,6 persen dari tahun sebelumnya, dan dana otonomi khusus dan dana penyesuaian Rp6.855,4 miliar atau turun 26,0 persen dari tahun sebelumnya. Dalam tahun 2003, dana penyesuaian ini disebut sebagai dana penyeimbang. Alokasi dana perimbangan dalam tahun 2004 sebesar Rp112.186,9 miliar tersebut terdiri dari alokasi Dana Bagi Hasil Rp26.927,9 miliar atau turun 15,4 persen dari tahun sebelumnya, Dana Alokasi Umum sebesar Rp82.130,9 miliar atau naik 6,8 persen dari tahun sebelumnya, dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp3.128,1 miliar atau naik 14,9 persen dari tahun sebelumnya. DAK terdiri dari DAK Dana Reboisasi sebesar Rp289,6 miliar dan DAK Non Dana Reboisasi sebesar Rp2.838,5 miliar yang ditujukan untuk kegiatan bidang Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur Jalan termasuk Jembatan dan Irigasi, serta bidang Prasarana Pemerintahan dan Perikanan Kelautan. Untuk tahun-tahun selanjutnya diupayakan DAK akan ditingkatkan seiring IV 134

dengan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sementara itu, besarnya dana otonomi khusus dan penyeimbang dalam tahun 2004 terdiri dari dana otonomi khusus Rp1.642,6 miliar atau naik 6,7 persen dari tahun sebelumnya, dan dana penyesuaian Rp5.212,8 miliar atau turun 32,5 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, dari segi peraturan perundang-undangan dapat dilaporkan sebagai berikut. Dalam pertengahan tahun 2003 proses penuntasan penyusunan revisi atas UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 terus dilakukan dan dipercepat dengan memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan kebijaksanaan pelaksanaan otonomi daerah. Penyusunan revisi kedua UU tersebut melibatkan Tim Asisten Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal dan telah dihasilkan draft sementara revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sementara itu, dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, telah dirumuskan Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah dan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah. Sebagai wujud transparansi, akuntabilitas, dan bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Daerah di era otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, Pemerintah telah menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan daerah (SIKD). Berkaitan dengan penyelenggaraan SIKD tersebut, melalui PP Nomor 11 Tahun 2001, Daerah diwajibkan untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan Daerah kepada Pemerintah Pusat, termasuk pinjaman daerah. Peraturan pemerintah tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 141/KMK.07/2001 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 154/KMK.07/2001 tentang Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan IV 135

Daerah. Dalam rangka transparansi pengelolaan keuangan dan mendukung perumusan kebijakan desentralisasi fiskal juga terus dikembangkan melalui pengembangan sistem informasi keuangan daerah sehingga dapat ditampilkan aplikasi APBD on-line, peta dan Neraca BUMD. Informasi yang dimuat dalam sistem keuangan Daerah merupakan data/informasi yang berkaitan dengan keuangan daerah, seperti anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, potensi ekonomi daerah, dan akan dikembangkan lagi hingga bisa menyajikan informasi tentang pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Neraca Daerah, Dana Cadangan Daerah, Pinjaman dan Hibah Daerah, Piutang Daerah, dan Laporan Keuangan Badan Usaha milik Daerah. Dengan adanya informasi keuangan secara terbuka tersebut diharapkan bisa menjadi sarana untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan sektor publik khususnya di daerah dalam rangka meningkatkan good governance. Informasi yang ada dalam SIKD dihimpun dari data mentah (APBD dan laporan keuangan daerah lainnya) dari seluruh daerah di Indonesia. Informasi yang disampaikan dalam SIKD selanjutnya diolah dan menjadi bahan bagi pengambilan keputusan dalam berbagai kebijakan keuangan Daerah, seperti dana perimbangan, Pinjaman Daerah, ataupun kebijakan lainnya. Selain itu, SIKD juga telah menjadi jendela bagi dunia internasionalseperti IMF, World Bank, dan lembaga donor lainnya untuk keperluan analisa makro ekonomi dan kepentingan strategis lainnya. Implementasi SIKD bahkan juga dituangkan dalam Letter of Intent IMF yang merupakan tolok ukur penilaian bagi pencairan bantuan Luar Negeri Indonesia. Penyampaian informasi keuangan secara terbuka melalui SIKD pada dasarnya merupakan bagian dari transparansi fiskal, yang secara garis besar mencakup empat hal, yakni (i) IV 136

kejelasan peranan dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal; (ii) ketersediaan informasi keuangan bagi masyarakat; (iii) keterbukaan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan anggaran; dan (iv) adanya jaminan independensi atas kebijakan fiskal yang baik. Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, maka pemerintah pusat memberikan perhatian yang cukup mendalam pada pengembangan SIKD di Daerah. Tujuan utamanya adalah mempersingkat waktu penyampaian informasi keuangan Daearah kepada Pemerintah Pusat melalui penyampaian data yang terstandarisasi dan terkomputerisasi dengan baik. Sementara itu berkaitan dengan kebijakan pinjaman daerah, dikarenakan kondisi perekonomian nasional saat ini mengalami tekanan berat, dan besarnya jumlah pinjaman Pemerintah Pusat dan Daerah yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri telah mendekati angka yang dapat membahayakan perekonomian nasional, diperlukan kehatihatian dalam pengelolaan pinjaman. Sehubungan dengan itu telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 99/KMK.07/2001 tentang Penundaan Pelaksanaan Pinjaman Daerah khususnya yang bersumber dari luar negeri dan selanjutnya direvisi dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 625/KMK.07/2001. Kemudian pada tahun 2002 dan tahun 2003, penundaan pelaksanaan pinjaman daerah tersebut kembali dilakukan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 540/KMK.07/2002 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 99/KMK.07/2001 tentang Penundaan Pelaksanaan Pinjaman Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 579/KMK.07/2003 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 99/KMK.07/2001 tentang Penundaan Pelaksanaan Pinjaman Daerah. Namun demikian, dalam rangka percepatan pembangunan Daerah dan peningkatan pelayanan masyarakat, Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari luar negeri tetapi melalui Pemerintah Pusat. IV 137

Untuk itu, pada awal tahun 2003 ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 35/KMK.07/2003 mengenai Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah kepada Daerah. Dalam keputusan tersebut disebutkan Daerah mengajukan usulan proyek yang dibiayai oleh pinjaman pemerintah dengan memenuhi syarat-syarat antara lain dapat menyediakan dana pendamping, daerah pengusul tidak memiliki tunggakan hutang, jumlah kumulatif pokok pinjaman Daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan APBD tahun sebelumnya setelah dikurangi DAK, dana darurat, dana pinjaman lama dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu. Usulan pinjaman tersebut akan dinilai kelayakannya oleh Tim Penilai yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan dan Meneg. PPN/Kepala Bappenas Nomor: 151/KMK.07/2003 dan Nomor: 1893/M.PPN/04/2003 tentang Tim Penilai Usulan Proyek Daerah yang Dibiayai dari Utang Luar Negeri Pemerintah. Sementara itu, kebijakan yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah telah ditetapkan perundang-undangan yang memberikan kewenangan daerah untuk memungut 11 jenis pajak daerah dan 28 jenis retribusi daerah. Selain itu, daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis pajak (kecuali untuk Provinsi) dan retribusi lainnya sesuai kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undangundang. Namun demikian, dilakukan pula pengawasan dan penelitian atas Perda yang bermasalah untuk mengurangi adanya Perda Pajak dan Retribusi Daerah yang bertentangan dengan peraturan penundang-undangan yang lebih tinggi, dan kepentingan umum. Selama semester I tahun 2004 telah direkomendasikannya pembatalan 46 (empat puluh enam) Perda melalui Surat Menkeu No.: S-015/MK.07/2004 tanggal 7 Juni 2004 dan 10 (sepuluh) Perda melalui Surat Menkeu IV 138

No.: S-016/MK.07/2004 tanggal 7 Juni 2004. Dari 56 (lima puluh enam) Perda tersebut, 18 (delapan belas) diantaranya adalah Perda Sektor Perhubungan, 8 Perda Sektor Kehutanan, 5 Perda Sektor Pertanian dan Peternakan, 15 Perda Sektor Perindustrian dan Perdagangan, 5 Perda Sektor Ketenagakerjaan, dan masing-masing 1 Perda Sektor Kelautan dan Perikanan, Sektor Energi dan SDA, Sektor Pariwisata dan Sektor lain-lain. Berkaitan dengan penyusunan kebijakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dalam rangka penyempurnaan penyusunan alokasi dan penyaluran Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak telah ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Penetapan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak seperti: (1) Surat Dirjen Pajak Nomor; S-21/PJ/2004 tanggal 21 Januari 2004 tentang Pembagian Sementara PPh Perorangan TA. 2004; (2) Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE13/PJ.6/2004 tanggal 5 Maret 2004 tentang Rincian Rencana Penerimaan PBB dan BPHTB TA. 2004; (3) Kepmenkeu Nomor: 275/KMK.06/2004 tanggal 31 Mei 2004 Tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari SDA Minyak Bumi dan Gas Alam TA. 2004; (4) Kepmenkeu Nomor: 306/KMK.06/2004 tanggal 25 Juni 2004 Tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari SDA Sektor Kehutanan TA. 2004. Selain itu dalam rangka penyediaan data potensi daerah untuk perhitungan DAU tahun 2004, saat ini masih dilakukan entry data Rincian Prognosa Penerimaan PPh Perorangan per Propinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan Surat Keputusan Gubernur masing-masing daerah; dan entry data atas SE Dirjen pajak dan Kepmenkeu yang berkaitan dengan Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Penerimaan SDA. ii. Permasalahan dan Tantangan

IV 139

Permasalah dan tantangan yang masih dihadapi dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah: (1) belum tersedianya standar pelayanan minimum (SPM) yang baku atas setiap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat; (2) masih terbatasnya alokasi anggaran untuk Dana Alokasi Khusus (DAK); (3) masih belum optimalnya pengelolaan kapasitas daerah untuk mencapai tujuan desentralisasi; mekanisme dan aturan yang perlu diperjelas bagi kebijakan pinjaman bagi daerah khususnya yang bersumber dari luar negeri; (4) masih lemahnya pengelolaan keuangan di daerah; serta (5) masih lemahnya sistem pengawasan dari pelaksanaan desentralisasi. iii. Tindak Lanjut Beberapa tindak lanjut yang diperlukan mencakup: (1) Perlunya penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 kepada masing-masing tingkat pemerintahan, sehingga tidak lagi terdapat pengertian ganda terhadap perundang-undangan tersebut berkaitan dengan kewenangan dan kewajiban meliputi: (a) Kewenangan bidang Pertanahan untuk Pemerintah Pusat dengan Kabupaten/Kota, (b) Kewenangan atas ijin HPH, penambangan hasil laut dan kewenangan lain untuk Pemerintah Propinsi dengan kabupaten/kota, (c) Kewenangan atas batas laut untuk antar Propinsi atau antar Kabupaten/Kota; (2) Pengawasan yang reprensif terhadap Perda-perda yang dikeluarkan oleh Pemda sehingga tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang telah diterbitkan sebelumnya; (3) Alokasi DAU sebagai proporsi terbesar dari dana perimbangan perlu terus disempurnakan agar dapat mencapai suatu ukuran yang lebih optimal; (4) Penggunaan DAK yang bersumber Dana Reboisasi dipertegas dan hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan reboisasi dan konservasi hutan. Sedangkan DAK Non Dana Reboisasi yang ditujukan untuk membantu daerah dalam meningkatkan pelayanan publik pemanfaatannya lebih diarahkan untuk program peningkatan kapasitas daerah dan pengentasan kemiskinan, selain itu alokasi biaya yang IV 140

dianggarkan dalam APBN diperbesar dengan penambahan jumlah sektor yang dapat dibiayai oleh DAK Non Dana Reboisasi; (5) Identifikasi posisi pinjaman dan tunggakan Propinsi serta Kabupaten/Kota dengan menyusun mapping kapasitas fiskal daerah. Melakukan penjadwalan pembayaran kembali berdasarkan kapasitas fiskal dan mencari solusi pada daerah yang belum dapat membayar; (6) Ditetapkannya Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang baku bagi setiap Departemen/LPND yang sudah sedemikian mendesak sehingga kualitas dan akuntabilitas pelayanan semakin meningkat dan dapat diukur; (7) Pelaksanaan evaluasi dan audit atas realisasi pengeluaran APBD yang dilakukan oleh institusi yang bertanggungjawab dan dilaksanakan secara transparan dengan partisipasi masyarakat. 4. Memacu Peningkatan Daya Saing 4.1.1 Program Pengembangan Ekspor

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan dari program ini adalah mendukung upaya peningkatan daya saing global produk Indonesia serta meningkatkan peranan ekspor dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek, sasaran bagi program ini adalah menurunnya hambatan prosedural dan permasalahan likuiditas dan memperluas pasar ekspor dalam rangka mendorong ekspor. Untuk jangka menengah-panjang, sasaran dari program ini adalah meningkatnya kualitas prasarana dan sarana pengembangan ekspor untuk mendukung kegiatan produksi dan distribusi dalam negeri ke sistem perdagangan bebas internasional. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Sampai dengan tahun 2003, perluasan pasar ekspor ke kawasan/negara non kuota telah dilakukan melalui selling IV 141

mission, trade exhibition dan trade diplomacy serta pembukaan 6 (enam) kantor promosi dagang, yaitu di Osaka, Los Angeles, Dubai, Budapest, Johannesburg, dan Sao Paulo. Pada tahun 2002 telah didirikan pusat promosi regional di Surabaya, untuk Makassar dan Medan dilaksanakan tahun 2003, sedangkan di Banjarmasin telah diprogramkan pada tahun 2004. Pencapaian kinerja ekspor non migas dalam empat tahun terakhir belum menunjukkan hasil yang optimal. Sejak paska krisis ekonomi pada tahun 1998, kinerja ekspor non migas secara bertahap telah menunjukkan kearah yang posistif, dimana pada tahun 2000 perolehan ekspor non migas telah mecapai USD 47,76 miliar. Namun karena dampak penurunan ekonomi global dan terjadinya peristiwa 11 september 2001 serta terjadinya instabilitas regional yang kemudian diikuti pula berjangkitnya virus SARS pada tahun 2002, maka dampaknya cukup berarti terhadap kinerja ekspor non migas yang dalam empat tahun terakhir hanya mampu mencapai pertumbuhan rata-rata sebesar 6,8 persen per tahun dari target sebesar 11,9 persen per tahun. Pada tahun 2002 ekspor non migas sebesar US$ 45,1 miliar atau meningkat 3,1 persen dibanding tahun 2001 dan pada tahun 2003 meningkat sebesar 5,2 persen atau menjadi USD 47,4 miliar bila dibandingkan dengan tahun 2002. Kontribusi UKM dalam ekspor non migas menunjukkan kenaikan yang berarti yaitu sebesar 19 persen atau sebesar Rp80,9 triliun pada tahun 2001, yang meningkat menjadi sebesar Rp89,8 triliun atau sekitar 21,3 persen dari total ekspor non migas pada tahun 2002. Mulai tahun 2001 sudah terbentuk sistem pembinaan mutu kepada usaha kecil menengah (UKM) yang berorientasi ekspor. Hasil lainnya yang dicapai sampai dengan tahun 2003 antara lain yaitu: (1) terwujudnya kerjasama luar negeri melalui berbagai pelatihan bagi para pengrajin; (2) berkembangnya industri yang berdaya saing global dengan IV 142

berbasis sumber daya alam potensial; (3) meningkatnya kemampuan pengrajin di bidang proses, disain, dan finishing produk kerajinan; (4) terwujudnya efisiensi dan kemitraan di penyediaan bahan baku dan pemasaran produk industri kecil dan menengah (IKM). ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan selama kurun waktu 2000 sampai dengan tahun 2004 adalah: (1) ketergantungan impor bahan baku dan komponen masih tinggi, serta terbatasnya kemampuan SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha; (2) masih terdapatnya hambatan akses pasar diberbagai negara mitra dagang utama; (3) adanya penurunan konsumsi tekstil dan produk tekstil (TPT) dunia, serta adanya penurunan ekspor yang cukup signifikan dari seluruh negara; (4) terbatasnya kuota tekstil yang ditetapkan oleh negara tujuan untuk jenis katagori tertentu; (5) kondisi permesinan umumnya sudah cukup tua, sehingga terjadi in efisiensi produksi yang berakibat pada melemahnya daya saing produk; (6) masih belum efektifnya peran mediasi perbankan dengan masih tingginya suku bunga yang ditawarkan; (7) belum optimalnya jalinan koordinasi baik internal maupun eksternal yaitu dengan instansi terkait baik di dalam maupun di luar negeri dalam penyusunan posisi negosiasi dan perundingan Indonesia, serta dalam pemanfaatan secara penuh hasil kesepakatan internasional; (8) munculnya blokblok perdagangan seperti North America Free Trade Agreement (NAFTA) dan Uni Eropa serta meningkatnya proteksi dari beberapa negara maju, baik dalam bentuk tarif maupun non tarif, termasuk pengkaitan masalah non perdagangan (misalnya masalah politik, lingkungan hidup dan masalah Hak Asasi Manusia) yang seringkali menjadi hambatan dalam hubungan perdagangan antar negara; (9) masih belum optimalnya pemanfaatan preferensi perdagangan, antara lain: GSP, CEPT-AFTA, GSTP dan kemudahan-kemudahan ekspor dalam rangka OKI dan kerjasama komoditi internasional; (10) dengan berakhirnya IV 143

perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay dan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), akan menimbulkan tantangan dalam pengembangan perdagangan internasional; dan (11) masih mengalami kesulitan di dalam pengumpulan database perdagangan bidang jasa dan dalam pengumpulan data mengenai realisasi implementasi AICO. iii. Tindak Lanjut

IV 144

IV 145

Dalam menyikapi pencapaian hasil-hasil kegiatan dan beberapa faktor penghambat, maka diperlukan tindak lanjut sebagai berikut: (1) meningkatkan upaya-upaya yang proaktif dalam lobby, pengiriman misi dagang dan investasi (selling mission), partisipasi pada pameran dagang internasional (international trade fairs), menyelenggarakan katalog display dan advertensi produk ekspor di luar negeri, dan mengembangkan kerjasama dengan lembaga promosi internasional di luar negeri; (2) mengoptimalkan peran Pameran Produk Ekspor (PPE) dalam mendorong kunjungan buyer ke Indonesia, sarana kontak dagang, dan membantu promosi produk-produk UKM termasuk pontren; (3) mengembangkan pengamatan pasar dalam rangka optimalisasi penerobosan pasar dengan melakukan analisa dan kajian pasar untuk menetapkan dan memilih sasaran pasar (target pasar) yang tepat, produk-produk yang memiliki peluang pasar, serta strategi memasuki pasar yang tepat; (4) mengembangkan sistim informasi dan jaringan untuk dapat mempercepat arus informasi kepada dunia usaha di dalam dan di luar negeri dengan mengintegrasikan database pusat dan daerah, mengembangkan e-commerce dan home page, penerbitan dan penyebaran publikasi, data statistik, mengembangkan perpustakaan ekspor, desiminasi informasi melalui forum ekspor dan workshop regional; (5) memberikan informasi pasar luar negeri kepada eksportir tentang peluang dan strategi memasuki pasar melalui kegiatan Advokasi/Pemantapan Program dan Penetrasi Pasar; (6) meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional seperti GTZ (Jerman), JETRO (Jepang), KOTRA (Korea Selatan), ASEAN center (Jepang) dan UNCTAD, ITC dan lain-lain, dalam rangka membantu keikut sertaan dunia usaha (UKM) dalam pameran internasional, pengiriman missi dagang, desiminasi informasi dan pengembangan produk; (7) mendorong pendirian Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) di luar negeri yaitu untuk meningkatkan intensitas dan frekuensi kegiatan promosi di luar negeri; (8) mengoptimalkan dan memperluas jangkauan pelatihan ekspor untuk dapat meningkatkan jumlah eksportir IV 146

yang handal di berbagai daerah, dan profesionalisme eksportir yang mampu bersaing dipasar global serta mengembangkan kemitraan antara pengusaha besar dengan UKM dibidang pemasaran ekspor; (9) mengupayakan penyelesaian hambatan-hambatan ekspor dan impor secara lebih pro-aktif serta perlu diupayakan dalam negosiasi internasional agar kegiatan imbal dagang dibebaskan dari berbagai pembebanan dan hambatan akses pasar, seperti tindakan anti dumping, imbalan subsidi, safeguard, pembatasan kuantitatif, dan pembebanan bea masuk, dengan alasan bahwa program imbal dagang bersifat non ordinary course of trade; (10) pemasyarakatan imbal dagang, surat keterangan asal (SKA), jasa penunjang perdagangan, pembiayaan perdagangan, peraturan peraturan di bidang ekspor dan impor, transportasi dan kepelabuhanan, ketentuan-ketentuan internasional seperti dumping, subsidi, safeguard perlu dilakukan secara terus menerus; (11) meningkatkan penyuluhan dan temu wicara/usaha komoditi kepada dunia usaha/eksportir terutama UKM bidang industri dan perdagangan dalam rangka pemasyarakatan kebijakan ekspor dan ketentuan impor di negara tujuan ekspor; (12) meningkatkan kerjasama dengan badan/lembaga promosi internasional untuk membantu UKM dalam pengembangan dan pemasaran produknya serta meningkatkan kerjasama dengan pemerintah propinsi dalam pengembangan ekspor dan promosi bersama; (13) mengembangkan marketing point di lintas batas strategis dalam rangka mendorong pengembangan ekspor daerah dan kerjasama bilateral serta mengembangkan pelayanan publik berupa pelayanan informasi pasar, pengembangan virtual exhibition untuk membantu promosi produk-produk UKM melalui internet dan lain-lain; dan (14) meningkatkan kemampuan UKM dalam manajemen perdagangan, pengetahuan mutu barang dagangan dan pemanfatan informasi pasar.

4.2.1 Program Penataan dan Penguatan Basis Produksi dan


Distribusi

IV 147

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk membangun struktur industri dalam negeri yang kukuh dan berdaya saing global, didukung oleh seluruh basis kegiatan produksi dan distribusi. Dalam rangka mewujudkannya, proses restrukturisasi kegiatan produksi dan distribusi diarahkan untuk (1) meningkatkan produktivitas dan tumbuhnya spesialisasi usaha; (2) meningkatkan kemampuan daya saing serta keterkaitan usaha antara kegiatan produksi dan distribusi untuk mendukung penguatan daya saing dan struktur industri dalam negeri; (3) memperluas basis kegiatan produksi dan distribusi yang berdaya saing ke wilayah-wilayah potensial; (4) mempertajam sasaran pengembangan usaha sesuai potensi sumber daya lokal dan dayadukung lingkungan serta keterbatasan kemampuan pengelolaan; dan (5) mendorong percepatan pemerataan pendapatan masyarakat. Sasaran program ini adalah (1) terwujudnya proses industrialisasi yang mantap dengan dasar sistem keterkaitan yang terintegrasi antara kegiatan industri dengan kegiatan-kegiatan produksi lain terkait dan distribusi; (2) makin kukuhnya upaya pengembangan klaster industri yang kompetitif berbasis sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya potensial lainnya, termasuk keragaman budaya; dan (3) makin tingginya keragaman basis produksi dan distribusi yang berdaya saing global. b. Pelaksanaan i. Hasil-hasil yang Dicapai

Selama periode 2000-2004, upaya penguatan daya saing produksi dan peningkatan efisiensi distribusi dilakukan secara bertahap untuk mengembalikan kinerja utilisasi kapasitas produksi dan pekerja di sektor industri yang mengalami penurunan, antara lain meliputi: (a) pelaksanaan sosialisasi dan ujicoba strategi peningkatan daya saing IV 148

dengan pendekatan klaster industri; (b) peningkatan kemampuan lembaga layanan teknologi, serta percepatan alih teknologi (proses dan produk) untuk kebutuhan industri; (c) pengembangan jaringan informasi usaha; (d) penyempurnaan pedoman pelaksanaan implementasi sistem distribusi barang dan jasa; (e) pembentukan jaringan sediaan bahan baku bagi industri manufaktur; dan (f) pengembangan pusat distribusi regional. Dalam periode yang sama, peran industri kecil dalam mendukung penguatan basis produksi juga terus didorong dan ditingkatkan, melalui: (a) penerapan teknologi informasi; (b) pengembangan kemitraan dan kemandirian; (c) peningkatan diversifikasi dan disain produk; dan (d) peningkatan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan. Selanjutnya juga diupayakan perluasan penerapan sistem mutu dan standarisasi (nasional dan internasional) produk barang dan jasa untuk mendorong penciptaan produk nasional yang memiliki daya saing tinggi di pasar. Bersamaan dengan itu penataan sistem dan penguatan kelembagaan standarisasi dan kemetrologian terus dibenahi dalam mendukung akreditasi dan sertifikasi barang dan jasa. Untuk mendukung itu semua, peningkatan kualitas dan ketersediaan sumber daya manusia yang terampil secara bertahap juga didorong, melalui: (a) penguatan lembaga penyedia jasa pendidikan dan pelatihan terapan untuk kebutuhan industri; dan (b) pengembangan pola pelatihan keterampilan ekonomi produktif. Upaya yang dilakukan tersebut membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Nilai investasi terus meningkat. Bila pada tahun 2001, nilai investasi mencapai US$ 59.629,1 maka pada tahun 2003 telah meningkat menjadi US$ 68.570,0. Demikian pula dengan utilisasi kapasitas produksi, dalam periode yang sama, meningkat rata-rata sebesar 62,0 persen. ii. Permasalahan dan Tantangan IV 149

Krisis ekonomi yang bersifat multidimensi secara perlahan memang mengakibatkan penurunan kinerja di sektor produksi dan distribusi. Salah satu indikatornya terlihat pada utilisasi kapasitas produksi dan pekerja di sektor industri yang mengalami penurunan. Berbagai langkah strategis untuk mendorong pemulihan kinerja melalui revitalisasi dan pengembangan industri prioritas yang berdaya saing tinggi telah diupayakan agar mampu mengembalikan kondisi sebelum krisis terutama dalam aspek penyerapan tenaga kerja dan perolehan devisa negara. Di sisi lain, upaya pemulihan juga ditempuh melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan penataan jalur distribusi barang dan jasa di dalam negeri yang efisien. Namun demikian upaya tersebut belum mencapai hasil optimal karena masih harus menghadapi beberapa kendala, antara lain: (1) masih terbatasnya kemampuan industri dalam negeri, seperti kontinuitas suplai, mutu dan desain yang penting untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di dunia bisnis; (2) belum optimalnya pemanfaatan pasar dalam negeri; (3) rendahnya pertumbuhan ekonomi dunia, terutama negara-negara tujuan ekspor Indonesia seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan Eropa serta semakin ketatnya kompetisi global, baik dalam memasarkan produk maupun dalam menarik investasi asing; (4) ketergantungan produk industri nasional terhadap komponen impor relatif tinggi; dan (5) perkembangan teknologi yang sangat cepat yang berpotensi merubah karakteristik pasar terhadap permintaan produk dan jasa. Selain kendala tersebut di atas, sektor industri masih menghadapi tantangan di dalam negeri seperti: (1) meningkatnya pungutan/restribusi terhadap produksi dan perdagangan barang dan jasa sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah; (2) tidak berkembangnya industri pendukung karena belum ada upaya yang serius untuk meningkatkan kemampuan dalam menguasai teknologi serta masih rendahnya kemampuan melakukan perbaikan dan inovasi IV 150

pada hampir semua strata industri; (3) masih kurangnya kemampuan memanfaatkan fungsi sentra-sentra yang potensial secara penuh; (4) kurang sesuainya jasa layanan yang diberikan pemerintah dengan kebutuhan masing-masing industri dan dagang kecil dan menengah; dan (5) masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap produksi dalam negeri. iii.Tindak Lanjut Rendahnya kepercayaan dunia usaha luar negeri terhadap iklim usaha dan investasi di Indonesia terutama yang terkait dengan faktor keamanan, mendorong perlunya segera ditempuh langkah-langkah terpadu untuk membenahinya. Diantaranya ditempuh melalui Ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/2002 yang mengamanatkan suatu Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional untuk menjadi pedoman penyelenggara negara dan seluruh masyarakat, dengan sasaran utama pengurangan laju inflasi, penurunan suku bunga, peningkatan investasi, peningkatan produksi dalam negeri, peningkatan ekspor, pengurangan beban utang dalam dan luar negeri yang akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga tercapai sasaran terciptanya lapangan kerja yang lebih luas, pengurangan pengangguran, peningkatan daya beli masyarakat, dan berkurangnya kemiskinan. Untuk mendukung pelaksanaannya khususnya di sektor industri dan perdagangan, dicanangkan Kebijakan Revitalisasi dan Pengembangan Industri dan Perdagangan, yang diarahkan pada upaya mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan upaya mengatasi masalah pengangguran dan meningkatkan kinerja ekspor. Kebijakan ini dalam jangka panjang telah mendukung program penguatan basis produksi dan distribusi. Khusus di sektor industri, tindak lanjut yang perlu ditempuh antara lain adalah: (1) mengembangkan industri hilir yang menghasilkan nilai tambah tinggi dan menumbuhkan industri substitusi bahan baku dari bahan IV 151

lokal serta mengolah bahan baku baru; (2) mengembangkan industri kimia, agro, dan hasil hutan yang berdaya saing kuat, berbasis sumber daya alam lokal berdasar kluster industri; (3) merumuskan strategi peningkatan daya saing global dengan prioritas pada klaster industri berbasis sumber daya alam pertanian dalam arti luas; (4) memperkuat unsur-unsur pokok pendukung penguatan daya saing industri kimia, agro, dan hasil hutan di beberapa wilayah potensial; (5) mengembangkan agroindustri untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam menjamin ketersediaan kebutuhan pangan; (6) mengembangkan penerapan standardisasi produk industri kimia, agro, dan hasil hutan; (7) mengembangkan industri kimia, agro, dan hasil hutan yang berdaya saing kuat, berbasis sumber daya alam lokal berdasar klaster industri; (8) mendorong kemitraan antara produsen bahan baku dan pengusaha industri hilir serta mengembangkan industri hilir yang menghasilkan nilai tambah tinggi; (9) menumbuhkan industri substitusi bahan baku dari bahan lokal serta mengolah bahan baku baru; (10) mengintensifkan pembinaan dunia usaha dalam rangka mempersiapkan mereka memasuki dan bersaing di pasar global; (11) menciptakan berbagai bentuk bantuan usaha, kemitraan melalui kegiatan temu usaha antara pedagang besar, kecil dan sentra-sentra produksi potensial termasuk pasar tradisional; (12) meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi yang berorientasi pada ketepatgunaan, efisiensi, hemat energi, ramah lingkungan dan berkelanjutan; (13) mengembangkan pusat data dan SIG potensi industri serta prasarana dan sarana penunjang dalam rangka percepatan pertumbuhan investasi industri dan di daerah; (14) meningkatkan kegiatan sosialisasi informasi teknologi tepat guna; (15) menyusun peraturan-peraturan yang mendukung pemberian teknologi tepat guna secara global; (16) meningkatkan sinkronisasi program kerja instansi terkait dalam bidang iptek khususnya teknologi tepat guna termasuk implementasinya; dan (17) mengembangkan jaringan informasi ke daerah.

IV 152

4.2.2 a.

Program Penguatan Pranata Iklim Kompetitif dan Non-diskriminatif

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah untuk mendorong penataan perangkat hukum dan instrumen kebijakan yang lebih adil sesuai dengan tuntutan pasar yang memungkinkan dunia usaha dan masyarakat luas berperanserta aktif dalam mewujudkan pengembangan industri berdasarkan keunggulan kompetitif. Guna mengantisipasi tantangan di masa mendatang, program ini diarahkan untuk (1) meningkatkan kepastian hukum bagi pengembangan usaha-usaha komersial; (2) memperluas wahana bagi peningkatan kapasitas dan kesempatan berusaha; (3) meningkatkan minat usaha sekaligus menumbuh-kembangkan prakarsa dan kesadaran pelaku usaha terhadap peningkatan mutu dan standarisasi produk barang dan jasa yang berdaya saing global; dan (4) meningkatkan efisiensi nasional sesuai dengan semangat perluasan otonomi daerah dan desentralisasi. Sasaran programnya adalah (1) terwujudnya kepastian hukum di dalam pengembangan usaha produksi dan distribusi; (2) terciptanya penguatan iklim kompetisi dalam negeri; (3) makin efektifnya pengembangan layanan publik dan fasilitasi pemerintah dalam rangka pengembangan, pemanfaatan, dan akses pada usaha produksi dan distribusi; dan (4) terbangunnya komitmen nasional yang kuat dan konsisten dari para pelaku ekonomi baik pemerintah maupun swasta. b. Pelaksanaan i. Hasil-hasil yang Dicapai

Pada tahun 2000 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) didirikan sebagai lembaga independen. Pada tahun 2001 KPPU telah berhasil menyelesaikan 2 kasus persaingan usaha tidak sehat. Pada tahun 2002 menyelesaikan 7 kasus, sedangkan pada tahun 2003 telah diselesaikan 10 kasus. IV 153

Hasil-hasil lainnya yang dicapai selama periode tahun 20002004 adalah: (1) kerjasama perlindungan konsumen tingkat nasional dan internasional; (2) diterbitkannya 3 (tiga) PP, 1 (satu) Keppres, dan 3 (tiga) Keputusan Menperindag dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen; (3) terciptanya kepastian hukum dan kepastian berusaha; (4) terciptanya tertib usaha dan iklim usaha yang sehat; (5) tersedianya informasi tematik lokasi dan distribusi beberapa komoditi; (6) tersusunnya rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); dan (7) penyederhanaan prosedur dan tata cara perizinan. ii. Permasalahan dan Tantangan

Faktor-faktor yang menjadi penghambat adalah: (1) masih adanya pengusaha (menengah dan besar) yang menguasai pasar dengan sistem perdagangan yang tidak wajar seperti monopoli, mengandalkan subsidi pemerintah, kartel serta yang menghambat sistem pasar yang mengutamakan demand dan supply; (2) masih belum kondusifnya iklim usaha untuk investasi dan kepastian usaha seperti stabilitas sosial dan keamanan, belum teratasinya masalah penyelundupan, dan masih adanya peraturan yang membebani industri; dan (3) belum terlindunginya industri dalam negeri terhadap persaingan yang tidak sehat. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang diperlukan adalah: (1) membangun komitmen dengan semua pihak terkait untuk menerapkan secara konsisten agar melindungi industri dari penyelundupan, menegakkan hukum, persaingan tidak sehat; (2) peninjauan ulang terhadap peraturan yang tidak mendukung perbaikan iklim investasi dan kepastian berusaha; (3) mempersiapkan dan menerapkan perangkat hukum dalam rangka penerapan standar yang lebih efektif serta mengevaluasi dan merevisi peraturan-peraturan yang IV 154

membebani industri; dan (4) meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait yang menangani fiskal dan moneter dalam bentuk usulan-usulan kebijaksanaan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan dalam upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif dan memberikan kepastian berusaha bagi para pelaku ekonomi. 4.3.1 Program Penguatan Institusi Pasar

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha yang kompetitif sehingga meningkatkan daya saing nasional berbasis efisiensi. Sasaran dari program ini adalah memperkuat kelembagaan yang mampu mendorong berlangsungnya mekanisme pasar yang berkeadilan, mengurangi berbagai hambatan usaha, dan memberikan perlindungan terhadap konsumen.

b. Pelaksanaan i. Hasil-hasil yang Dicapai

Pada tahun 2001 telah tersusun berbagai peraturan pemerintah pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diikuti kemudian terbentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada tahun 2002. Pencapaian hasil-hasil lainnya pada tahun selama periode 2000-2004, adalah: (1) terciptanya jaringan dagang guna peningkatan ekspor non-migas; (2) memperkuat kelembagaan perlindungan konsumen dan pengawasan barang yang beredar dan jasa; (3) diterbitkannya IV 155

peraturan perundang-undangan Kemetrologian; (4) tersusunnya naskah akademis RUU perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam; (5) tersusunnya inventarisasi dan kajian perundang-undangan sektor industri dan perdagangan; (6) tersusunnya kajian penyempurnaan RUU Perdagangan; (8) tersusunnya naskah akademis RUU perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam; (9) tersusunnya inventarisasi dan kajian perundang-undangan sektor indag; (10) uji coba percontohan resi gudang di Makassar untuk komoditi kakao dan Bandar Lampung untuk kopi dan lada. ii. Permasalahan dan Tantangan

Faktor-faktor penghambat yang dihadapi adalah: (1) masih adanya image masyarakat yang kurang baik terhadap kegiatan perdagangan berjangka, sebagai akibat dari adanya kegiatan perdagangan berjangka ilegal yang cukup menimbulkan keresahan dan kerugian bagi masyarakat; (2) masih kurang dan lemahnya produk undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi; (3) belum adanya persamaan persepsi aparat penegak hukum (Kepolisan, Kejaksaan dan Kehakiman) menjabarkan peraturan dan perundangan dalam menangani pelanggaran di bidang perdagangan berjangka komoditi; (4) masih belum optimalnya pemberantasan penyelundupan, masih beredarnya produk-produk impor dengan harga murah dengan standar negara asal, dan masih belum efektifnya penerapan standar; (5) terbatasnya kemampuan institusional dalam menyebarkan berbagai informasi penting di bidang kerjasama perdagangan internasional kepada dunia usaha, khususnya masyarakat usaha kecil dan menengah (UKM), dan mengembangkan program serta instrumen pemantauan sekaligus instrumen penangkalan, terhadap praktek dagang internasional yang curang; (5) budaya dan kesadaran hukum di kalangan masyarakat mengenai hak dan kewajiban konsumen belum meluas sampai pelosok Indonesia; dan (6) kepedulian dan pemahaman masyarakat terhadap perlindungan konsumen terutama kalangan masyarakat IV 156

menengah/ke bawah di daerah masih rendah, pada umumnya masyarakat tidak mempunyai akses kemampuan dan keberanian untuk mengadukan permasalahan yang dihadapi. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang diperlukan dalam penguatan institusi pasar adalah: (1) melakukan pembinaan kepada dunia usaha dan menjalin kerjasama dengan instansi teknis terkait baik didalam maupun di luar negeri dalam rangka (Mutual Recognition Agreement MRA), serta meningkatkan pengawasan terhadap barang-barang yang berkaitan dengan perlindungan dan kepuasan konsumen dari segi keamanan, keselamatan, kesehatan, lingkungan; (2) memantapkan dan mengembangkan penerapan sistem mutu sesuai ketentuan nasional dan internasional dan meningkatkan kerjasama/koordinasi antar laboratorium penguji/kalibrasi dan unit/lembaga nasional maupun internasional, serta mempertahankan dan mengembangkan ruang lingkup akreditasi nasional maupun internasional; (3) meningkatkan berbagai peraturan pelaksanaan di bidang perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama kegiatan pembangunan di bidang perlindungan konsumen di tahuntahun mendatang; (4) meningkatkan frekuensi penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan; (5) membentuk organisasi niaga atau asosiasi yang akan memperkuat posisi pedagang kecil sebagai peran ujung tombak rantai distribusi; (6) Dengan telah dilaksanakan kegiatan sosialiasi Undangundang Perlindungan Konsumen (UU-PK) tahun 2002, maka dipandang perlu untuk dilakukan penyempurnaan dan perubahan sistem dan sarana media sosialisasi yang digunakan, hal ini berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian cepatnya dan menimbulkan pengaruh yang besar terhadap penyebaran informasi oleh masyarakat luas; dan (7) pengawasan oleh instansi pemerintah diharapkan lebih proaktif di lapangan termasuk penegakan hukumnya misalnya banyaknya pelanggaran (produk-produk ilegal) yang dapat merugikan konsumen IV 157

maupun pelaku usaha, banyaknya produk-produk yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia.

4.5
a.

Pengembangan Pariwisata Tujuan, Sasaran, dan Arah kebijakan

Program ini bertujuan mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan daerah tujuan wisata (DTW) dan kualitas produk pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan kebudayaan, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah: (1) Meningkatnya efektivitas kegiatan pariwisata sebagai wahana promosi seni, budaya tradisional, dan alam (pesona alam) secara global; (2) Terwujudnya kegiatan pariwisata yang mendukung pemahaman dan penghargaan masyarakat terhadap seni dan budaya masyarakat lain; (3) Terwujudnya kegiatan pariwisata sebagai wahana pendukung upaya berkreasi di bidang kesenian serta wahana yang mendukung pengembangan dan pengkayaan budaya baru sesuai tantangan masa depan; (4) Meningkatnya sumbangan pariwisata dalam mendorong peningkatan devisa dan kesejahteraan masyarakat lokal; (5) Meningkatnya peran aktif masyarakat dan usaha kecil menengah (UKM) dalam pengembangan pariwisata; (6) Meningkatnya kualitas manajerial pengembangan produk pariwisata dan keterpaduannya dengan upaya pemasaran pariwisata; (7) Meningkatnya nilai daya tarik produk/DTW; (8) Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pelestarian lingkungan; (9) Meningkatnya jumlah dan jenis produk yang bersertifikasi lingkungan; dan (10) Meningkatnya arus dan penyebaran wisatawan nusantara, khususnya di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali.

IV 158

Arah kebijakan yang telah ditetapkan pada Repeta 2001 2004 meliputi: (1) Merumuskan strategi nasional pariwisata dan strategi pembangunan industri pariwisata nasional; (2) Memantapkan strategi dan kebijakan pembangunan pariwisata nasional yang berwawasan lingkungan dan berbasis kerakyatan; (3) Mengembangkan kelembagaan dan sistem informasi yang dikelola secara mandiri dan professional; (4) Meningkatkan diversifikasi dan kualitas produk pariwisata yang berbasis seni, budaya dan alam; (5) Mengembangkan dan memantapkan strategi pemasaran pariwisata termasuk pengembangan riset serta analisis pasar pariwisata; (6) Mengembangkan profesionalisme SDM kepariwisataan; (7) Menata peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata; (8) Mengembangkan jaringan kerja antarlembaga, antarwilayah, antarnegara, dan antarpelaku pariwisata; (9) Mengembangkan dan memantapkan promosi pariwisata; (10) Mengembangkan jaringan sistem informasi kepariwisataan; (11) Meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk UKM dalam pengembangan industri pariwisata; (12) Mengembangkan promosi industri pariwisata antara lain melalui pendekatan Tourism, Trade and Investment (TTI); (13) Meningkatkan pemanfaatan unsur-unsur keunikan lokal sebagai daya tarik wisata; (14) Memberikan legal aspek pada rencana-rencana pengembangan pariwisata di tingkat pusat maupun daerah; (15) Penerapan prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan dalam setiap pengembangan destinasi; (16) Memposisikan masyarakat sebagai stakeholder; (17) Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi UKM di bidang pariwisata; (18) Mendorong kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pentingnya penyediaan ruang publik sebagai sarana rekreasi dan pariwisata; (19) Mendorong pemahaman masyarakat terhadap arti pentingnya Pariwisata Nusantara; dan (20) Mengembangkan Pariwisata Nusantara dengan meningkatkan arus kunjungan Wisatawan Nusantara. b. i. Pelaksanaan Hasil yang Dicapai

IV 159

Hasil yang dicapai selama periode 2000 2005 antara lain adalah (1) Menetapkan dan meluncurkan tema pariwisata My Indonesia: Just a Smile a Way dari tahun 2001-2003 yang kemudian diganti dengan Indonesia, Ultimate in Diversity pada tahun 2004; Tersedianya Sistem Informasi yang Dikelola Secara Mandiri dan Profesional; (2) Indonesia menjadi host country pelaksanaan kegiatan PATA Annual Conference tahun 2003 di Bali; (3) Penghargaan bagi destinasi dan produk pariwisata Indonesia baik dalam skala regional maupun dunia; (4) Telah tersusun kebijakan Pengembangan Kepariwisataan Berbasis Masyarakat, Pedoman pengembangan pulau-pulau kecil yang berbasis lingkungan, dan Rencana Strategik Pengembangan Kapal Pesiar (Cruise) Indonesia; (5) Indonesia ditetapkan sebagai ADS oleh Pemerintah China; (6) Telah tersusunnya Cetak Biru Pemasaran Pariwisata Indonesia sebagai arah kegiatan pemasaran pariwisata nasional untuk jangka waktu 2003 s.d. 2008; (7) Indonesia telah melembagakan kerjasama di bidang budaya dengan 37 negara mitra sahabat, yaitu dalam bentuk Persetujuan Kebudayaan dan Pengaturan Program Kerjasama Kepariwisataan; (8) Untuk mendorong pertumbuhan wisata nusantara (Wisnus) tahun 2003 telah dilakukan program Gebyar Wisata Nusantara dengan tema Ayo Tamasya Jelajahi Nusantara; (9) Telah dilaksanakan berbagai program pemasaran pariwisata dalam upaya mendorong pertumbuhan wisatawan mancanegara; (10) Telah dilakukan Kampanye Pencegahan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak di lingkungan Pariwisata di berbagai pusat pengembangan pariwisata Indonesia lainya; (11) Melaksanakan program pemulihan citra kepariwisataan nasional dalam kaitan dengan tragedi dan penyakit menular; (12) Terselenggaranya Ekspedisi Kapal Borobudur 2003 (Samudraraksa) melalui jalur perdagangan The Cinnamon Route yang singgah di Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan dan Ghana; (13) Tersedianya Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nusantara; (14) Terlaksananya pengembangan destinasi dan diversifikasi produk peningkatan daya saing produk pariwisata yang berkelanjutan; (15) Tercapainya pemantauan IV 160

kebijakan dan perencanaan, terutama dalam memfasilitasi pengembangan pariwisata; (16) Pemanfaatan hari-hari libur nasional; dan (17) Tersedianya standarisasi dan kompetensi SDM bidang perhotelan dan restoran di BPW. ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata selama periode 2000-2005 antara lain adalah: (1) Menurunnya citra kepariwisataan Indonesia di dunia Internasional sebagai akibat dari gangguan keamanan (aksi terorisme) yang diikuti oleh penyakit menular berbahaya sehingga menimbulkan berbagai larangan berwisata (travel warning atau travel advisory) dari pemerintahan negara-negara asal wisatawan utama; (2) Stagnasi pengembangan produk wisata di berbagai daerah tujuan wisata di Indonesia; (3) Belum terintegrasinya kegiatan pengembangan produk dan pemasaran, baik yang dilakukan daerah, antar daerah maupun nasional; (4) Adanya ketidakseimbangan pembangunan kepariwisataan antar daerah; (5) Menurunnya investasi di bidang pariwisata; (6) Terbatasnya SDM profesional bidang pariwisata; (7) Masih kecilnya peran serta masyarakat sebagai akibat pemahaman yang masih rendah terhadap dampak positif pengembangan pariwisata; (8) Keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah untuk mendukung kegiatan promosi pariwisata; (9) Kualitas produk dan pelayanan pariwisata yang masih lemah; (10) Masih tingginya kesenjangan pembangunan kepariwisataan antar daerah; dan (11) Adanya pergeseran peranan dan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah serta adanya persaingan antar daerah. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah: (1) Meningkatkan pengembangan produk wisata di berbagai daerah tujuan wisata di Indonesia melalui implementasi pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil, dukungan IV 161

kegiatan wisata bahari di berbagai daerah, pengembangan pariwisata lintas wilayah, penyusunan pedoman pariwisata berbasis masyarakat; (2) Perlu segera disusun kebijakan peningkataan kualitas produk dan pelayanan usaha Jasa Pariwisata; (3) Perlu ditingkatkan promosi investasi baik ke dalam maupun luar negeri dan adanya dukungan dari dunia usaha dan masyarakat dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui dukungan regulasi yang jelas dan kepastian hukum; (4) Perlu ditingkatkan penyebaran bahan promosi cetak, perluasan media campaign melalui elektronik, dan meningkatkan kegiatan Gebyar Wisata Nusantara, meningkatkan kerjasama program pemasaran dan melanjutkan diplomasi budaya dan pariwisata; (5) Perlu dilakukan sinkronisasi dan integrasi kegiatan pengembangan produk dan pemasaran, baik yang dilakukan daerah, antar daerah maupun nasional; (6) Perlu segera disusun Penyusunan standar kompetensi SDM PNS Kepariwisataan, penyusunan strategi pengembangan SDM bidang hotel dan restoran, program pelatihan bidang bahasa dan workshop pariwisata bagi agamawan dan pengurus pesantren; (7) Mengembangkan pemahaman masyarakat terhadap dampak positif pengembangan Pariwisata dengan pola kemitraan usaha pariwisata, pelatihan teknis bidang pariwisata, penyuluhan dan penyebaran informasi pariwisata; (8) Perlu dilakukan sinkronisasi dan integrasi serta keseimbangan pembangunan produk dan destinasi yang dilakukan daerah, antar daerah dan nasional; dan (9) Perlu mendorong promosi Pariwisata Nusantara ke seluruh pelosok Nusantara. 4.5 Peningkatan Kemampuan Teknologi (Iptek) 4.5.1 Ilmu Pengetahuan dan

Program Peningkatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Dunia Usaha

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

IV 162

Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan iptek dunia usaha dalam rangka memperkuat daya saing industri nasional. Adapun sasaran dari program ini adalah (1) tersedianya pranata regulasi yang bertujuan meningkatkan peranan iptek yang dapat dimanfaatkan oleh dunia usaha; (2) meningkatnya jumlah perusahaan yang mempunyai unit litbang; (3) meningkatnya kontribusi dunia usaha dalam pembiayaan litbang; dan (4) meningkatnya jumlah wirausaha sebagai hasil sebaran-pengaruh (spin off) dan jumlah wirausaha pengguna layanan teknologi, terutama usaha kecil, menengah dan koperasi dan/atau berbasis sumber daya lokal. Arah kebijakan yang telah dilakukan untuk mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan adalah (1) peningkatan prasarana pelayanan teknologi pada lembaga litbang, (2) pengkajian berbagai insentif legal, fiskal, dan finansial untuk mendukung pelayanan teknologi lembaga litbang, (3) penataan sistem kelembagaan pelayanan teknologi lembaga litbang, (4) melakukan perencanaan, persiapan, pengumpulan, pengolahan, penyajian, analisis dan penyebarluasan data statistik dasar, sektoral dan khusus.

b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Dalam rangka peningkatan iptek di dunia usaha telah dilakukan berbagai program insentif untuk mendorong percepatan proses adopsi, inovasi dan difusi teknologi. Berbagai program insentif yang telah dilakukan antara lain Riset Unggulan Kemitraan (RUK), Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas), Insentif Asuransi Teknologi, Start-up Capital, Sistem Insentif Penguatan Teknologi dan Manajemen UKM (SIPTekMan) dan Insentif Sentra Promptek. IV 163

RUK merupakan sistem insentif untuk meningkatkan kegiatan riset dalam bentuk riset kemitraan dan patungan (cost sharing) antara lembaga litbangyasa dengan industri termasuk IKM. Kegiatan RUK ini ditekankan pada prospek komersial dan pemanfaatan hasil riset. Secara umum tujuan program RUK adalah untuk mengembangankan kerjasama riset unggulan bidang industri antara lembaga litbang pemerintah dengan swasta. Sedangkan teknologi yang menjadi sasaran Program RUK adalah (1) jenis teknologi yang memberikan keunggulan kompetitif yang spesifik bagi partisipan industrinya; dan (2) teknologi yang bersifat umum dan dapat diaplikasikan secara luas, dapat meningkatkan produktivitas industri secara umum, seperti penerapan teknologi otomatisasi. Melalui insentif riset unggulan kemitraan (RUK) dan investasi Rp48,571 miliar secara akumulatif dari tujuh tahun pelaksanaannya, telah diperoleh royalti senilai Rp43,811 miliar yang terkait dengan nilai produksi Rp799,824 miliar. Dengan pelaksanaan riset kemitraan telah berdampak pada peningkatan kesadaran industri terhadap pentingnya unit litbang sebagai salah satu ujung tombak bagi terciptanya inovasi produk, peningkatan mutu produk ataupun efisiensi dari proses produksi. Manfaat lain dari riset ini adalah peningkatan dana R&D di industri. Sementara itu Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) dirancang untuk menstimulasi terbentuknya jaringan kemitraan antara sejumlah lembaga penelitian, perguruan tinggi dan industri terkait dalam jaringan pertambahan nilai produksi dan pasar untuk dapat mendorong terbentuknya Techno-Industrial Cluster. Start-up Capital merupakan program insentif dalam bentuk permodalan awal bagi pengembangan bisnis UKM berbasis teknologi (UKMT). Program ini ditujukan untuk menjembatani kegiatan iptek di lembaga litbang dan perguruan tinggi dengan kegiatan bisnis serta membentuk hubungan IV 164

bisnis dengan industri yang mapan sehingga mempercepat terbentuknya klaster-klaster rantai pertambahan nilai produksi. Pemerintah menyediakan dana bergulir untuk mengisi kesenjangan modal awal bagi pengembangan lini bisnis UKMT dan bekerja sama dengan beberapa perusahaan modal ventura dalam naungan BUMN. Selain itu dalam program ini juga dikembangkan inkubator bisnis yang sekaligus mengembangkan technopreneurs. Program intensif penguatan teknologi dan manajemen (SIPTEKMAN) menitikberatkan pada penyerapan teknologi hasil riset unggulan pada UKM sekaligus meningkatkan kemampuan pemasarannya baik dalam hal jangkauan wilayah maupun diversifikasi produk usahanya. Program ini secara umum mampu meningkatkan beberapa kelompok UKM dalam hal produktivitas, diversivikasi produk, pengembangan jaringan pemasaran, munculnya usaha baru dan penyerapan tenaga kerja. Hasil lain yang telah dicapai melalui Program Riset untuk Peningkatan Investasi Daerah (Prida) yang merupakan suatu model diseminasi hasil riptek untuk mendukung peningkatan investasi daerah, adalah telah dikajinya percepatan pemanfaatan hasil litbang dan teknologi untuk memperkuat daya saing industri nasional, serta terlaksananya Program Asuransi Teknologi, yang merupakan program dalam rangka pendayagunaan hasil IPTEK dengan mempertemukan inventor dan investor guna melakukan kegiatan industrialisasi dan melibatkan perusahaan asuransi dalam menjamin risiko kerugian atau kerusakan yang timbul akibat kegagalan proses scaling up dari suatu teknologi Dalam upaya menjembatani proses transaksi produk litbang kepada pengguna telah dibentuk Pusat Pelayanan Teknik, Informasi dan Standardisasi (Pusyantis), pembentukan balai unit pelaksana teknis di berbagai lembaga litbang yang berfungsi melakukan pelayanan jasa teknologi, serta pengembangan inkubator pelayanan jasa informasi bagi UKM IV 165

di daerah, termasuk informasi dalam bentuk spasial. Selain itu juga telah dilakukan penerapan berbagai teknologi tepat guna di daerah sebagai bentuk diseminasi produk iptek dan pengembangan sistem manajemen teknologi untuk industri. Selain itu jumlah paket teknologi terapan (proven technology) telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan dunia usaha. Jumlah kemitraan dalam pengembangan dan modifikasi teknologi antara lemlitbang dengan dunia usaha juga terus meningkat seiring tersedianya berbagai insentif pembiayaan untuk pemanfaatan dan pendayaagunaan iptek di masyarakat. Di sisi dunia usaha juga terlihat adanya peningkatan unit usaha berbasis teknologi yang mampu menerapkan dan mengadopsi teknologi hasil litbang. Dalam rangka pemanfaatan iptek penginderaan jauh (inderaja) telah dilakukan produksi, sosialisasi dan pelatihan penggunaan informasi harian zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) bagi masyarakat nelayan di berbagai daerah, penentuan kesesuaian lahan pertanian, pengkajian potensi ekonomi pesisir dan pulau-pulau kecil strategis di Indonesia. Telah dilakukan pula pengembangan inkubator pelayanan jasa inderaja bagi UKM di daerah, dengan melakukan pelatihan pemanfaatan teknologi inderaja terhadap unit-unit usaha UKM. Pemanfaatan teknologi dirgantara juga dilakukan melalui pemanfaatan sistem konversi energi angin (SKEA) untuk pompa air dan penyediaan listrik di daerah terpencil, dengan bekerja sama dengan swasta; pemanfaatan jaringan komunikasi data; tracking and monitoring system; serta informasi gangguan komunikasi untuk mendukung komunikasi data antar kecamatan dan pemanfaatan di daerah konflik. ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang menghambat pencapaian indikator kinerja program ini adalah masih minimnya pengalaman IV 166

lembaga litbang dan tenaga peneliti dalam berinteraksi dengan pengguna teknologi secara profesional, yang mengakibatkan terjadinya kekurangsesuaian (mismatching) antara hasil penelitian terhadap kebutuhan nyata di masyarakat maupun dunia usaha. Sementara itu tantangannya adalah dengan semakin terbukanya kompetisi perdagangan global dengan persyaratan standar yang ketat mendorong perlunya sinergisme program antara sektor publik dan swasta. Selama ini, produk industri masih belum mampu memenuhi standar kualitas yang ditetapkan pasar (khususnya ekspor), sehingga hal ini menghambat peningkatan daya saing produksi nasional. Di samping itu, untuk mengetahui tingkat kinerja pembangunan iptek diperlukan adanya perangkat indikator pencapaian yang diawali dengan penyusunan statistik iptek secara menyeluruh dan kontinyu. Hal ini diperlukan juga sebagai bahan penting dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan iptek jangka panjang. iii. Tindak Lanjut Langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya adalah memperkuat interaksi antara lembaga litbang dengan dunia usaha dan industri dan sistem pendukung melalui (1) kerjasama penelitian antara lembaga dengan industri, (2) peningkatan jumlah perusahaan yang berbasis teknologi dengan menerapkan progran entrepreneurship, program spinoff, (3) mengembangkan model interaksi efektif antara lembaga Iptek dan dunia usaha. Selain itu dalam rangka mendorong tumbuhnya kegiatan litbang di dunia usaha akan dilakukan (1) perumusan kebijakan intervensi selektif pemerinrtah didasarkan produk perundang-undangan yang ada; (2) pengembangan pola insentif dalam bentuk kemitraan lembaga litbang dan industri, sosialisasi standar mutu terhadap IKM, asuransi teknologi, korporasi usaha berbasis produk litbang; (3) penerapan insentif fiskal bagi pelaku litbang industri; dan (4) peningkatan promosi kegiatan riset di dunia usaha. Dalam rangka meningkatkan jenis dan kualitas pelayan jasa teknologi sesuai kompetensi lembaga Iptek dan kebutuhan IV 167

dunia usaha, industri dan masyarakat akan dilakukan (1) penyediaan jasa konsultasi dan asistensi teknis, (2) penyediaan jasa pengukuran, standardisasi, testing dan mutu, (3) penyediaan jasa pelatihan teknologi tepat guna, (4) perbaikan mekanisme pelayanan jasa teknologi, (5) penyediaan paket teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi optimal, (6) sosialisasi tentang aspek QCD (Quality, Cost and Delivery), serta (7) penyediaan data dan informasi dasar sebagai bahan perencanaan pembangunan. 4.5.2. Program Diseminasi Informasi Teknologi a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini ditujukan untuk meningkatkan lalu lintas iptek (knowledge trafficking/flows) guna mendorong interaksi antara penyedia informasi iptek dan pengguna. Sasaran yang hendak dicapai dari program diseminasi iptek adalah tersedianya bantuan informasi peluang dunia usaha dan peningkatan nilai tambah teknologi bagi industri di daerah berbasis lokal. Arah kebijakan yang telah dilakukan untuk mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan adalah (1) pengembangan jaringan sistem informasi teknologi, terutama bagi usaha kecil menengah dan koperasi, (2) penyediaan informasi dan asistensi teknis tentang peluang usaha dan peningkatan nilai tambah teknologi bagi dunia usaha yang berorientasi ekspor; (3) penyediaan bantuan informasi teknologi sebagai pelengkap berbagai skim kredit usaha (terutama bagi UKMK). b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Pelaksanaan program ini diarahkan untuk meningkatkan penyebaran dan pendayagunaan hasil riptek melalui pemanfaatan teknologi informasi. Beberapa hasil yang dicapai IV 168

dalam pelaksanaan Propenas, adalah dirancangnya model ipteknet, e-government, sistem informasi daerah (Simda), Komura (Komputer murah), Kantaya 1 (Kantor Maya) dan Winbi (Winword bahasa Indonesia). Program ini ditujukan untuk membangun dan mengopersikan G-online intranet platform serta menyediakan dukungan teknis jangka panjang untuk mengembangkan G-online architecture, e-document management system serta Technical Standard & Security System. Disamping itu, telah diselesaikannya model Ipteknet, e-government, sistem informasi daerah (Simda), Komura (Komputer murah), dan Winbi (Winword bahasa Indonesia). Selain itu juga telah dilakukan program Warung Informasi Teknologi (Warintek) yang dimaksudkan untuk menjawab tantangan menghadapi era informasi dan mengantisipasi deklarasi Information for All yang dicanangkan oleh UNESCO. Pelaksanaan Warintek telah menjadi salah satu infrastruktur adanya Inpres No. 2 Tahun 2001 dan Inpres No. 6 Tahun 2001 untuk mempercepat pemanfaatan teknologi informasi dalam keseharian. Dalam kurun waktu ini telah diterbitkan dan disebarkannya basis data Warintek yang berisi informasi teknologi tepat guna kepada UKM/IKM daerah. Disamping itu basis data Warintek telah dikembangkan sehingga dapat di akses sampai ke kecamatan-kecamatan seluruh Indonesia, saat ini telah berdiri warintek sebanyak 1000 buah. Dilaksanakannya Program Mobile Warintek berbasis perpustakaan keliling merupakan program pengembangan informasi terpadu yang terjangkau oleh masyarakat dimana kegiatan ini dapat melakukan suatu demontrasi dan layanan informasi iptek. Dalam rangka efektifitas dan efisiensi pengadaan, pengelolaan pertukaran data dan informasi geospasial nasional yang dilakukan dan tersebar di unit-unit sektoral maupun daerah, telah dibangun sistem untuk keperluan tersebut yaitu: Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN).Penyebaran secara nasional dilakukan dengan pembangunan simpul-simpul baik di instansi pusat maupun daerah yang mandiri dalam pengelolaan

IV 169

data dan informasi geospasial, namun masih dalam kerangka nasional. Selain itu dalam rangka peningkatan akses informasi iptek di dunia usaha telah dilakukan perluasan jaringan sistem informasi mengenai hasil litbang lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan. Dalam rangka meningkatkan muatan informasi iptek telah ditambah koleksi buku dan jurnal ilmiah dalam negeri dan luar negeri, pengembangan pangkalan data abstrak dalam bahasa Inggris, serta pengembangan dokumen pandang dengar. Muatan informasi teknologi yang didiseminasikan mencakup berbagai informasi tematis untuk mendorong penguatan kemampuan dunia usaha dan masyarakat antara lain di bidang pertanian dan pangan, kelautan, sumberdaya alam dan lingkungan, energi dan serta inormasi peluang usaha berbasis pemanfaatan hasil litbang. Juga telah dikembangkan perpustakaan digital yang bersifat lintas sektoral untuk menyebarkan informasi secara lebih merata. Dari hasil pengembangan perpustakaan digital ini diharapkan dapat mengembangkan manajemen jejaring ilmu pengetahuan secara elektronik dengan mudah, cepat, murah dan efektif, sehingga dapat mempromosikan Iptek yang dihasilkan bangsa sendiri. Untuk meningkatkan efektivitas diseminasi informasi teknologi juga telah dilakukan pengembangan sarana hubungan publik kegiatan riptek melalui multimedia. Untuk menciptakan model keterkaitan yang terintegrasi antar sistem informasi Iptek nasional telah dikembangkan Interkoneksi Jaringan Informasi Nasional. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini antara lain prototype model interkoneksi antar litbang dalam lingkup nasional. Selain itu dalam rangka mempermudah akses informasi Iptek telah dikembangkan data base riptek, pembuatan dokumentasi hasil riptek, pengembangan unit layanan T-Com bagi IKM/UKM, konstruksi system peringatan dini, basis data riptek untuk KTI, jaringan informasi kapasitas daerah untuk kebutuhan pangan,

IV 170

dan pengembangan informasi teknologi terapan dan komoditas unggulan daerah. Dalam rangka meningkatkan kemampuan adopsi dan adaptasi iptek oleh masyarakat dilakukan analisis mekanisme difusi iptek. Kegiatan analisis mekanisme difusi iptek ini menghasilkan program yang disebut iptekda terpadu yang merupakan diseminasi hasil-hasil riset dari lembaga litbangyasa dan perguruan tinggi kepada masyarakat pengguna di daerah. Diseminasi hasil riset ini berdasarkan pada kebutuhan iptek masing-masing daerah sehingga terjadi proses difusi absorpsi yang interaktif. Kegiatan iptekda terpadu ini sejalan dengan realisasi Inpres No. 3 tahun 2001 tentang Implementasi Teknologi Tepat Guna. Diseminasi informasi juga dilakukan dalam bentuk penyediaan peta sebagai data dasar untuk perencanaan dasar pembangunan. Hasil yang dicapai antara lain peta dasar rupa bumi berbagai skala untuk wilayah Indonesia, peta navigasi udara, peta lingkungan pantai Indonesia (LPI), peta garis pangkal dan ZEE serta berbagai peta tamatik lainnya. Dalam rangka peningkatan akurasi peta juga dikembangkan standarisasi data spasial sampai mencapai tahap Standar Nasional Indonesia. Dalam rangka penyediaan informasi standardisasi untuk mendorong peningkatan kualitas produk dunia usaha telah dibentuk jaringan informasi standardisasi (INSTANET), dibentuknya pangkalan data yang dapat diakses oleh berbagai pihak, serta terbangunnya simpul layanan informasi standardisasi di 9 propinsi. Dalam rangka sosialisasi standardisasi telah diselenggarakan konvensi nasional standardisasi untuk menyepakati berbagai ketentuan terkait dengan standar mutu nasional sekaligus mengupayakan terintegrasinya data bidang standarisasi. Dalam upaya meningkatan kompetensi laboratorium penelitian juga telah dikembangkan Sistem Informasi Akreditasi Laboratorium.

IV 171

Selain itu telah dilakukan penyebaran informasi Iptek melalui berbagai media masa dalam bentuk program Radio Publik, Program Radio Internet, Program TV Publik yang akan dikembangkan menjadi media alternative pemberdayaan publik untuk penyebaran informasi iptek. Dalam rangka meningkatan pemahaman dan pembudayaan iptek di masyarakat dilakukan pengembangan sarana peragaan iptek yang dimaksudkan untuk memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai iptek. Saat ini pusat peragaan iptek yang ada berlokasi di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan sedang dikembangkan pusat peragaan iptek di beberapa daerah dalam bentuk Puspa Iptek Daerah. Pada tahun 2002 telah diresmikan Pusat Peragaan Iptek di Jawa Timur Park, Kota Batu Malang dan Puspa Iptek Kota Baru Parahyangan Bandung. Dalam perkembangan teknologi kedirgantaraan, telah dilakukan penyediaan data/informasi iptek dirgantara dan pelayanan kepada pengguna, baik dunia usaha, pemerintah, maupun masyarakat yaitu berupa Pelayanan Jasa Informasi Dirgantara, Pelayanan Jasa Produk Penginderaan Jauh, Pelayanan Jasa Gangguan Komunikasi Radio, serta Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Inventarisasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ISDAL). Penyediaan informasi iptek yang berupa pendataan dan kodifikasi sumber daya tumbuhan di Asia Tenggara telah dilakukan melalui program Plan Resources of South East Asia (PROSEA). Selain itu, dalam bidang standarisasi telah dikembangkan informasi standarisasi yang akurat serta pemasyarakatan akan pentingnya peran standarisasi dalam menjamin kualitas produk. Dalam bidang pemetaan telah dihasilkan dan disosialisasikan beragam peta rupa bumi skala 1:25.000 sampai dengan 1:250.000 untuk beberapa provinsi, Peta Lingkungan Pantai, Peta ZEE, peta Garis Pangkal, Peta Penerbangan Sipil, Peta Lingkungan Bandara, Peta Enroute. dan Peta Citra. IV 172

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang menghambat pencapaian indikator kinerja program ini adalah (1) rendahnya akses dan pemanfataan nyata informasi yang tersedia bagi kegiatan produktif, (2) masih sulitnya mengaitkan antara berbagai paket teknologi dalam menjawab permasalahan industri yang kompleks, (3) adanya kesenjangan antara hasil litbang dan kebutuhan pengguna tentang kebutuhan teknologi, (4) peraturan yang belum mendukung kemungkinan layanan teknologi secara operasional dan berskala besar, serta belum tersedianya sistem informasi iptek nasional yang dapat memberikan gambaran tentang kemampuan iptek nasional. Sementara itu tantangannya adalah dengan semakin pesatnya teknologi ICT (Information and Comunication Technology) merangsang perlunya Indonesia memacu kapasitas teknologi informatika nasional. Disamping itu pengembangan model difusi dan intermediasi produk inovasi teknologi perlu diarahkan kedaerah-daerah, sehingga Pemerintah Daerah turut berperan aktif dalam mengkaitkan antara sektor produksi unggulan setempat dengan sumber-sumbver informasi yang lengkap, cepat dan akurat.

iii. Tindak Lanjut Langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan dalam program ini adalah meningkatkan penyediaan informasi teknologi kepada dunia usaha dan masyarakat melalui: (1) pemanfaatan jaringan informasi sebagai infrastruktur pelayanan iptek, (2) penyediaan informasi paket teknologi siap pakai dalam berbagai bentuk media informasi, (3) penyediaan informasi peluang usaha berbasis pemanfaatan iptek, (4) perbaikan jaringan kerja kelembagaan dalam penyebaran informasi iptek, dan (5) promosi kegiatan lemabag iptek dalam bentuk temu bisnis. Langkah lain dalam rangka meningkatkan IV 173

aliran informasi iptek antara masyarakat ilmiah dan dunia usaha dilakukan melalui (1) pengembangan unit pelayanan iptek masyarakat sebagai simpul aliran pemanfaatan iptek, (2) peningkatan jurnal ilmiah yang terakreditasi secara baik, (3) penyelenggaraan forum komunikasi ilmiah, (4) membuat dan menyebarluaskan basis data keahlian SDM peneliti dan sarana prasarana iptek, (5) mempertinggi frekuensi pameran teknologi untuk meningkatkan transaksi layanan teknologi antara lembaga iptek dengan dunia usaha, serta (6) melembagakan sistem komunikasi antara masyarakat ilmiah dan dunia usaha. 5. Meningkatkan Investasi 5.1. 5.1.1 Peningkatan Penanaman Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Program Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan nilai investasi secara signifikan. Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya iklim investasi yang didukung oleh sistem pelayanan investasi yang efisien dan efektif. Dalam kaitan tersebut, arah kebijakan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan iklim invesitasi yang lebih kondusif antara lain melalui penyusunan dan penyempurnaan berbagai perangkat hukum termasuk penyelesaian RUU Penanaman Modal.

IV 174

Kedua, meningkatkan kualitas pelayanan data dan informasi; dengan kegiatan pokok antara lain membangun serta mengembangkan sistem informasi manajemen investasi terpadu. Ketiga, meningkatkan kualitas sumberdaya aparatur penanaman modal baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di bidang penanaman modal. Keempat, meningkatkan kegiatan promosi dan kerjasama di bidang investasi baik dengan pemerintah daerah maupun dalam forum bilateral, regional dan multilateral, dengan kegiatan pokok antara lain menyelenggarakan Tahun Investasi Indonesia 2003 dan 2004. Kelima, meningkatkan perlindungan dan pembinaan perusahaan serta pendataan realisasi investasi PMA dan PMDN; dengan kegiatan pokok antara lain memberikan bimbingan dan pengawasan pelaksanaan investasi serta melakukan realisasi investasi PMA dan PMDN. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Melalui pelaksanaan kebijakan sebagaimana tersebut di atas, iklim investasi di Indonesia meningkat dibandingkan dengan saat terjadinya krisis tahun 1998, tercermin antara lain dari: Pertama, disempurnakannya berbagai peraturan perundangan dalam bidang penanaman modal termasuk RUU Penanaman Modal yang dalam waktu dekat akan segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR, disederhanakannya pelayanan investasi PMA dan PMDN melalui sistem satu atap di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang saat ini telah dituangkan dalam Keppres No. 29 Tahun 2004, IV 175

serta terbentuknya Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi melalui Keppres No. 87 Tahun 2004 yang bertugas untuk mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi penanam modal dalam melakukan investasi di Indonesia. Kedua, tersedianya sarana dan prasarana kerja yang memadai guna meningkatkan kualitas pelayanan data dan informasi; antara lain dengan tersedianya sub-sistem otomasi guna mempercepat proses penyelesaian persetujuan PMDN dan PMA dan proses Izin Usah Tetap PMDN dan PMA. Ketiga, meningkatnya kualitas, profesionalisme, dan ketrampilan aparatur di bidang penanaman modal baik di pusat maupu di daerah. Keempat, terselenggaranya pertemuan koordinasi antara BKPM dan instansi penanaman modal daerah serta sosialisasi penanaman modal kepada dunia usaha dan masyarakat non dunia usaha. Kelima, terselenggaranya kegiatan kerjasama internasional baik bilateral, regional maupun multilateral di bidang penanaman modal, terutama kegiatan promosi dan pameran investasi. Dalam kaitan ini telah ditempatkan 6 (enam) orang pejabat promosi investasi di luar negeri, yaitu di Osaka, Los Angeles, Taipei, London, Amsterdam, dan Melbourne yang bertugas untuk melakukan kontak langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan para calon investor. Selanjutnya, hasil-hasil yang telah dicapai selama periode tahun 2001 hingga pertengahan tahun 2004 khususnya mengenai persetujuan investasi dan izin Usaha Tetap (IUT) selengkapnya dapat dilihat pada matriks. ii. Permasalahan dan Tantangan

IV 176

Walaupun perkembangan nilai investasi menunjukkan perbaikan, namun minat investasi masih lemah. Dalam tahun 2003, peranan investasi dalam pembentukan Produk Domestik Bruto baru mencapai 19,7 persen, jauh lebih rendah dibandingkan sebelum krisis, tahun 1996, yang mencapai 29,6 persen. Lambatnya pemulihan investasi disebabkan oleh beberapa kendala sebagai berikut: a) Masih rendahnya tingkat kepastian hukum yang antara lain tercermin dari tumpang tindih peraturan antar sektor, proses perijinan yang masih memerlukan sistem perijinan yang terintegrasi, dan iklim ketenagakerjaan yang belum kondusif yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian. b) Belum tersusunnya sistem insentif bagi kegiatan investasi, termasuk insentif pajak dan kepabeanan, yang mampu bersaing dengan negara-negara lain. c) Masih sangat diperlukannya koordinasi antar instansi terkait baik di pusat, antar instansi terkait di daerah dan antara instansi terkait di pusat dan daerah mengenai penanganan kegiatan investasi. d) Lemahnya dukungan infrastruktur; antara lain karena terbatasnya dana untuk operasi dan pemeliharaan infrastruktur yang sudah dibangun. iii. Tindak Lanjut Untuk mengatasi permasalahan tersebut, langkah kebijakan utama yang akan ditempuh adalah: Pertama, meningkatkan kepastian hukum dan kepastian berusaha antara lain dengan mempercepat proses penyelesaian RUU Penanaman Modal agar dapat segera diundangkan, serta meningkatkan konsistensi peraturan perundangan yang terkait dengan penanaman modal baik antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan daerah. Kedua, menindaklanjuti penyederhanaan prosedur perizinan investasi PMA dan PMDN melalui pelayanan satu atap (one roof service) antara lain melalui pengintegrasian IV 177

sistem perijinan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait baik di pusat maupun di provinsi dan kabupaten/kota. Ketiga, meningkatkan perlindungan investasi antara lain melalui pendayagunaan Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi untuk mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi oleh para investor. Keempat, menciptakan sistem insentif baru bagi kegiatan investasi agar mampu bersaing dengan negara lain untuk menarik investasi pada sektor/bidang usaha dan lokasi tertentu, termasuk insentif perpajakan dan kepabeanan, serta insentif bagi pembangunan infrastruktur. 5.2.1 Program Penataan Institusi Pasar Modal

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program penataan institusi pasar modal adalah meningkatkan peran pasar modal dalam pembiayaan kegiatan investasi perusahaan, termasuk BUMN dan UKMK. Sasarannya adalah meningkatkan kinerja institusi pasar modal sehingga mampu meningkatkan pasar modal sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan dan melindungi masyarakat. Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut, maka hingga tahun 2004, kebijakan penataan institusi pasar modal diarahkan pada upaya: (a) Mewujudkan lembaga otoritas pasar modal yang berkualitas internasional yang mampu mendorong, mengawasi, dan memelihara pasar sehingga berdaya saing global serta dapat mendukung perkembangan ekonomi nasional; (b) Memberdayakan pelaku pasar modal melalui restrukturisasi lembaga bursa dan perusahaan efek; (c) Mendorong Penerapan good corporate governance oleh pelaku pasar; (d) Mencegah dan memerangi tindak pidana pencucian uang; (e) Mengembangkan produk pasar modal berbasis syariah; (f) Menyempurnakan dan melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan; serta (g) Meningkatkan kualitas penegakan hukum di pasar modal. IV 178

b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Pada kurun waktu 2001 sampai dengan 2004, berbagai kemajuan telah berhasil dicapai melalui program penataan institusi pasar modal. Pertama, semakin meningkatnya peran pasar modal dalam perekonomian nasional. Beberapa kemajuan tampak dari perkembangan indikator pasar serta adanya pertumbuhan yang cukup signifikan dalam industri pasar modal. Melalui emisi saham, obligasi dan right issue, jumlah dana masyarakat yang terhimpun dimanfaatkan perusahaan (emiten) untuk mengembangkan usahanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, 2002, dan 2003, penghimpunan dana melalui ketiga instrumen tersebut secara berturut-turut adalah Rp8,2 triliun, Rp 16,1 triliun, dan Rp35,6 triliun. Dengan demikian selama kurun waktu 20012003 telah terjadi peningkatan lebih dari empat kali lipat. Pada awal tahun 2004, tampaknya para pelaku pasar lebih berhati-hati dalam menyikapi perubahan sistem politik dalam negeri, hal ini terlihat dari penghimpunan dana hingga bulan Juli 2004 baru mencapai Rp12,3 triliun. Angka ini relatif rendah bila dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2003 (mencapai Rp19,5 triliun). Perkembangan di atas terutama didorong oleh obligasi korporasi. Di tahun 2001, 2002, dan 2003, emisi obligasi korporasi secara berturut-turut adalah Rp2,9, Rp6,2, serta Rp25,6 triliun dan USD 105 juta merupakan obligasi korporasi yang diterbitkan dalam mata uang asing oleh 2 bank umum. Sedangkan di bulan Juli 2004, walaupun obligasi korporasi yang diterbitkan (yaitu Rp9,0 triliun) relatif lebih rendah dari Juli 2003 (sekitar Rp15 triliun), namun sudah memperlihatkan kemajuan yang berarti dibandingkan dengan akhir tahun 2001 (Rp2,9 triliun), IV 179

karena disamping dalam besaran nilai yang diterbitkan, sektor industri dari korporasi penerbit obligasi juga semakin meluas. Dalam tahun 2003, tercatat sebanyak 55 perusahaan (emiten) di berbagai sektor industri (10 sektor) telah menerbitkan obligasi baru, terutama sektor perbankan dan jasa keuangan lainnya, infrastruktur, utility dan transportasi, barang konsumsi, serta media informasi. Sedangkan hingga tahun 2002, baru 7 sektor industri yang memanfaatkan penerbitan obligasi korporasi. Perkembangan obligasi korporasi antara lain didorong oleh menurunnya suku bunga perbankan. Jika kestabilan ekonomi dapat dipertahankan, maka potensi penyaluran dana melalui pasar modal akan semakin meningkat. Di samping itu, pergerakan pasar sekunder memberikan indikator semakin terbukanya peluang berinvestasi di Indonesia. Seiring dengan terbentuknya Kabinet Gotong Royong, pada bulan Juli 2001 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEJ mencapai titik tertinggi yaitu 470,2, namun kemudian IHSG melemah terus bahkan sampai ke level 392,0 (pada akhir Desember 2001) sebagai akibat sentimen negatif pasar terhadap serangan Amerika Serikat ke Afganistan. Selanjutnya, pada tahun-tahun berikutnya, indeks tersebut terus meningkat secara berturut-turut yaitu 424,9, dan 691,9. Bahkan di bulan Juli 2004, indeks mencapai 761,1. Beberapa faktor penggerak pasar tersebut adalah mulai membaiknya kondisi ekonomi makro Indonesia dan ekonomi regional sehingga terjadi arus modal masuk dari para pemodal asing ke dalam pasar modal Indonesia. Hal ini mendorong peningkatan transaksi saham pemodal asing. Perkembangannya terlihat dari besaran nilai transaksi saham oleh pemodal asing yang meningkat pesat sejak tahun 2002 hingga 2004, secara berturut-turut adalah Rp9,6 triliun, Rp 35,2 triliun, dan Rp53,3 triliun (Juli 2004). Bahkan secara share terhadap total nilai perdagangan Indonesia, pemodal asing saat ini mencapai 43,2 persen (Juli 2004) artinya telah IV 180

meningkat empat kali lipat bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2001 (sekitar 11 persen). Selain itu, penjualan sahamsaham BUMN (Initial Public Offering=IPO) juga mendorong kegairahan pasar modal. Pada tahun 2003, penjualan sahamsaham tersebut mencapai Rp 7,2 triliun atau 72,6 persen dari keseluruhan nilai IPO dan right issue. Kedua, telah diupayakan pemantapan infrastuktur pasar modal guna meningkatkan keamanan bertansaksi, serta kompatibilitas infrastuktur pasar modal Indonesia dengan pasar modal di negara-negara lainnya. Hasil-hasil yang telah diperoleh adalah sebagai berikut. Pada tahun 2001, KPEI mulai menerapkan sistem pinjam meminjam efek bagi anggota bursa yang membutuhkan pinjaman efek untuk menghindari terjadinya kegagalan penyelesaian transaksi bursa dan menerapkan sistem pencatatan sub-rekening efek yang bertujuan untuk mempertegas hak-hak pemodal. Disamping itu, dalam rangka memperkaya alternatif investasi, telah diluncurkannya instrumen baru yaitu perdagangan kontrak berjangka indeks efek yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek Surabaya (BES). Selanjutnya, untuk mempercepat dan mengefisienkan akses pemodal dalam bertransaksi, pemanfaatan remote trading dan online-trading system mulai dikembangkan di pasar modal dalam negeri. Di samping itu, telah dihasilkan pula revisi terhadap dua Peraturan Bapepam yang ditujukan untuk memberikan kejelasan kepada pasar mengenai kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program privatisasi BUMN dan meningkatkan aksesabilitas masyarakat di seluruh wilayah tanah air untuk dapat memanfaatkan pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaannya. Dengan demikian diharapkan tidak hanya pengusaha besar dan menengah, melainkan juga pengusaha kecil mendapatkan akses yang setara untuk dapat memanfaatkan pasar modal.

IV 181

Pada tahun 2002, beberapa pengembangan infrastruktur pasar modal telah berhasil diperoleh. Telah terlaksananya perdagangan jarak jauh di BEJ dan BES yang berdampak positif pada peningkatan efisiensi penyelesaian transaksi bursa. Selanjutnya, berkaitan dengan peningkatan transparansi informasi dan efektifitas pengawasan aktivitas pasar, telah diterapkan sistem pelaporan elektronik (eReporting System) dan database Perusahaan Efek, Wakil Perusahaan Efek, Reksa Dana, Konsultan Hukum, dan Notaris yang dapat terjangkau secara luas. Berkaitan dengan pelaksanaan pasar modal berprinsip syariah, telah diterbikan beberapa produk pasar modal syariah seperti Reksa Dana Syariah, Jakarta Islamic Index (JII), serta Obligasi Syariah Mudharabah. Selanjutnya, pada tahun 2003, pengembangan infrastruktur yang dilaksanakan adalah: pengembangan emonitoring reksadana untuk mengawasi aktivitas dari reksadana, manajer investasi, dan bank kustodian. Dalam rangka meningkatkan likuiditas pasar surat utang negara (SUN), Perhimpunan Pedagang Surat Utang Negara (HIMDASUN) telah mendapat ijin untuk melakukan kegiatan perdagangan surat utang negara di luar bursa efek. Adapun anggota HIMDASUN terdiri dari 15 bank umum dan 4 perusahaan efek. Sejalan dengan hal tersebut, diterapkan sistem wajib lapor kepada BES untuk setiap transaksi SUN di pasar sekunder. Dengan adanya sistem ini, diharapkan perdagangan SUN di pasar sekunder akan semakin transparan. Ketiga, dalam hal kepastian hukum telah dilaksanakan berbagai upaya penegakkan hukum sebagai berikut. Upaya merevisi Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) telah dimulai sejak tahun 2001, yang diawali dengan dilakukannya sosialisasi tentang pokok-pokok perubahan yang dilakukan dalam UUPM kepada para stakeholder pasar modal. Saat ini, draft Rancangan UndangUndang (RUU) tentang perubahan atas UUPM tersebut IV 182

disampaikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai satu paket dengan RUU Otoritas Jasa Keuangan. Disamping itu, berbagai penyempurnaan peraturan telah dihasilkan. Pada tahun 2001, telah dihasilkan penyempurnaan terhadap enam peraturan dan diterbitkannya dua peraturan baru. Peraturan-peraturan yang dimaksud ditujukan untuk: (1) memberikan kesempatan yang lebih luas kepada investor untuk dapat memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik lebih dari 25 persen tanpa kewajiban melakukan Penawaran Tender, (2) meningkatkan transparansi dan kualitas pelaporan keuangan kepada publik mengenai kondisi keuangan Emiten atau Perusahaan Publik, (3) meningkatkan minat pasar domestik dan internasional terhadap reksadana Indonesia, (4) memberikan legalitas dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, serta (5) memberikan pengaturan terhadap obligasi dalam denominasi mata uang selain mata uang rupiah. Di tahun 2002, telah terbentuk Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi diantara para pelaku bisnis pasar modal mengingat mekanisme penyelesaian melalui arbitrase mempunyai sifat yang cepat, efektif, dan efisien serta dilakukan oleh pihak-pihak yang memahami kegiatan di bidang pasar modal. Di tahun 2003, beberapa landasan pengaturan penting telah dihasilkan. Telah disusun grand strategy stabilitas dan keberlangsungan pertumbumbuhan industri reksadana yang mencakup tiga strategi dasar yaitu: (1) menyempurnakan regulasi dan menciptakan standar perilaku di industri reksadana; (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan riset dan pemantauan di bidang reksadana; dan (3) menciptakan mekanisme penyelesiaan krisis sebagai langkah preventif untuk menekan efek dari kegagalan/krisis pada industri reksa dana. Sebagai tindak lanjut dari grand strategy tersebut, telah diterbitkan peraturan-peraturan mengenai IV 183

pedoman uji kepatuhan reksadana. Selanjutnya, untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan publik diterbitkan dua peraturan yaitu mengenai tanggung jawab direksi atas laporan keuangan yang disampaikan kepada publik, serta mengenai pembentukan Komite Audit. Selain itu, untuk memerangi praktek pencucian uang di pasar modal, telah diterbitkan peraturan mengenai prinsip mengenal nasabah dan telah dilakukan pemeriksaan terhadap 183 perusahaan efek dengan hasil yang memuaskan yaitu 90 persen perusahaan efek telah memiliki sistem informasi yang dapat untuk mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan pelaporan yang efektif tentang karakteristik transaksi efek yang dilakukan nasabahnya. Selanjutnya pada tahun 2004, telah dihasilkan beberapa peraturan sebagai berikut. Sebagai tindak lanjut dari grand strategy industri reksadana, telah diterbitkan peraturanperaturan mengenai penerapan manajemen resiko, penegasan mengenai kewajiban dan kewenangan antara bank kustodian dengan manajer investasi, serta profil pemodal reksadana. Untuk meningkatkan kegairahan pasar, telah diterbitkan peraturan-peraturan mengenai: instrumen/produk baru yang dapat diterbitkan, seperti Efek Beragun Aset (asset backed securities), Kontrak Berjangka dan Opsi Atas Efek atau Indeks Efek (futures dan options). Selain itu juga diterbitkan peraturan tentang penyelenggaraan perdagangan surat utang negara untuk meningkatkan pasar sekunder surat utang negara. Selanjutnya, sebagai wujud nyata dari penegakkan hukum pasar modal, beberapa kasus pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal telah berhasil ditemukenali. Pada tahun 2001, dari 37 kasus pelanggaran, 22 kasus telah berhasil dituntaskan. Beberapa kasus pelanggaran yang cukup pelik dan telah terselesaikan adalah kasus manipulasi pasar dan insider trading atas saham Bank BCA, pelanggaran dalam transaksi saham HM Sampoerna, serta kasus terkait dengan keterbukaan informasi IV 184

yang melibatkan 4 perusahaan publik atau emiten obligasi yang tergabung dalam kelompok usaha Sinar Mas. Dan telah dijatuhkannya sanksi administratif terhadap 292 pihak, dimana 184 diantaranya dikenakan sanksi berupa denda. Sejalan dengan semakin canggih dan rumitnya kasus pelanggaran di bidang pasar modal, pada tahun 2003, dari 29 kasus pelanggaran, 7 kasus telah dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha, pembekuan kegiatan usaha, dan peringatan tertulis untuk melakukan perbaikan. Total sanksi administratif mencapai Rp8,9 miliar atau lebih rendah sekitar 56,7% dari total nilai sanksi denda tahun 2002 (Rp20,6 miliar). Selanjutnya, Bapepam juga telah membubarkan 10 reksadana yang pengelolaannya tidak efisien. ii. Permasalahan dan Tantangan

Walaupun perkembangan pasar modal sudah cukup baik, namun peranan pasar modal dalam perekonomian nasional masih perlu ditingkatkan. Untuk itu perlu segera diupayakan antara lain melalui amandemen Undang-Undang Pasar Modal, yang perlu memuat pengaturan terhadap sistem perdagangan alternatif dan meningkatkan mekanisme penegakkan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap pemodal, serta memfasilitasi terjadinya inovasiinovasi yang dimungkinkan dalam industri pasar modal. Perusahaan efek sebagai pengelola dana masyarakat juga masih terus direstrukturisasi. Hingga akhir tahun 2003, dari 191 perusahaan efek, baru 135 perusahaan yang memenuhi persyaratan permodalan untuk Tahap I, dengan kata lain sebanyak 29 persen perusahaan masih di bawah ketentuan permodalan minimum. Kendala lain adalah terbatasnya sumber dana bursa untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.

IV 185

Kondisi di atas menunjukkan perlunya penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan untuk mendorong perkembangan pasar modal. iii. Tindak Lanjut Beberapa kegiatan pokok yang masih dilakukan: (a) peningkatan kualitas penegakan hukum melalui pembenahan system teknologi informasi mendukung penegakan hukum; (b) melanjutkan restrukturisasi lembaga bursa; (c) Menyiapkan blue print bagi pengembangan pasar modal syariah; (d) Menyiapkan master plan bagi pengembangan pasar modal periode 2005-2009; (e) mempersiapkan penerapan e-reporting dan e-licensing. 5.3 Percepatan Restrukturisasi Perusahaan Negara 5.3.1 Program Negara Percepatan Restrukturisasi Perusahaan

a. Tujuan, Sasaran, Kebijakan, dan Program Tujuan program restrukturisasi perusahaan negara diarahkan untuk (1) meningkatan peranan BUMN dalam perekonomian nasional; (2) menciptakan kemudahan akses informasi BUMN; (3) optimalisasi pemanfaatan/pengelolaan kekayaan BUMN; (4) menciptakan hubungan kemitraan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara BUMN, koperasi dan usaha kecil di sekitar lokasi operasional BUMN; (5) meningkatkan profesionalisme pembinaan BUMN. Sasaran program ini adalah (1) meningkatnya kontribusi BUMN terhadap APBN; (2) meningkatnya pelaksanaan GCG pada BUMN; (3) tersedianya informasi dan peraturan BUMN; (4) meningkatnya kemudahan pimpinan dan publik dalam memanfaatkan informasi BUMN; (5) meningkatnya peran BUMN dalam pengembangan dan kemitraan usaha kecil dan IV 186

koperasi, serta tumbuhnya citra positif BUMN di mata masyarakat. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut maka arah kebijakan dan program pokok restrukturisasi perusahaan Negara dilaksanakan dengan meningkatkan peranan BUMN sesuai dengan master plan BUMN tahun 2002-2006. melalui pembinaan BUMN secara profesional, monitoring dan perumusan kebijakan serta penyempurnaan sistem informasi kepada masyarakat. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Secara umum kondisi kinerja BUMN sudah mulai memperlihatkan perbaikan, hal ini ditandai oleh meningkatnya trend realisasi penjualan pada tahun 2000 sebesar Rp173 triliun, tahun 2001 sebesar Rp217 triliun, tahun 2002 sebesar Rp246 triliun dan tahun 2003 sebesar Rp282 triliun. Trend laba bersih juga menunjukkan peningkatan dimana realisasi pada tahun 2000 sebesar Rp14 triliun, tahun 2001 sebesar Rp19 triliun, tahun 2002 sebesar Rp26 triliun dan tahun 2003 sebesar Rp28 triliun. Meskipun jumlah BUMN yang sehat pada tahun 2003 turun menjadi 92 perusahaan dibanding tahun sebelumnya 112 perusahaan, akan tetapi dari sisi jumlah pajak (PPh dan PPn) yang disetorkan kepada negara mengalami peningkatan. Pada tahun 2001, jumlah pajak yang disetor sebesar Rp8,7 triliun, tahun 2002 sebesar Rp16,4 triliun dan tahun 2003 sebesar Rp22,1 triliun. Selanjutnya, sebagai wujud kepedulian BUMN kepada masyarakat, pelaksanaan program kemitraan BUMN tahun 2003 telah dilakukan dengan baik. Beberapa indikator yang dapat menggambarkan keberhasilan program tersebut adalah dari jumlah BUMN yang melaksanakan program tersebut mencapai 140 perusahaan dengan jumlah dana yang disalurkan sebesar Rp 611, 805 juta terdiri dari Rp 531,235 juta digunakan untuk pinjaman, IV 187

sebesar Rp 66,158 juta dalam bentuk hibah dan selebihnya untuk biaya lain-lainnya. Untuk program restrukturisasi dalam rangka penyehatan BUMN selama tahun 2003, telah dilakukan restrukturisasi terhadap 5 BUMN yang berasal dari sektor Kehutanan, Perikanan, Pupuk, Perkebunan, dan Penerbangan (PT. Merpati). Khusus restrukturisasi di sektor perbankan, secara keseluruhan restrurisasi internal Bank Mandiri pasca merger dan Bank BRI telah dilakukan sesuai rencana, dan dengan selesainya restrukturisasi tersebut, maka Pemerintah telah melakukan divestasi 30% sahamnya pada Bank Mandiri yang dilakukan masing-masing 20% pada bulan Juli 2003 dan 10% pada bulan Maret 2004. Sedangkan divestasi 30% saham Pemerintah pada Bank BRI telah dilakukan pada bulan November 2003. Bank BNI pasca kasus L/C Kebayoran Baru juga sudah selesai melakukan restrukturisasi internal dan untuk Bank BTN, Pemerintah telah menetapkan arah restrukturisasi bank tersebut sebagai bank umum dengan fokus pada pembiayaan sektor perumahan. Selain itu, untuk memantapkan pelaksanaan Good Corporate Governance, selama tahun 2003 telah dilaksanakan penanda-tanganan SCI oleh 50 perusahaan yang merupakan wujud dari transparansi pengelolaan usaha oleh BUMN. Sebagai tindak lanjutnya Kementerian BUMN terus memonitor dan menilai pelaksanaan GCG, antara lain melalui audit pelaksanaan GCG oleh Konsultan Independen. Pada tahun 2003 Kementerian BUMN telah menerbitkan Undang-undang No. 9 Tahun 2003 tentang BUMN yang akan menjadi landasan hukum yang kokoh bagi pengelolaan BUMN di Indonesia. ii. Permasalahan dan Tantangan antara lain disebabkan oleh belum tuntasnya pembahasan mengenai regulasi sektoral yang masih IV 188

1) Target privatisasi BUMN belum terealisasi sepenuhnya

memerlukan pembahasan intensif dengan beberapa BUMN. Namun demikian dari jumlah yang belum terealisasi tersebut akan menjadi program privatisasi BUMN tahun 2004. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan program privatisasi tersebut antara lain adalah (1) belum adanya persepsi yang sama terhadap pelaksanaan privatisasi di antara stakeholder; (2) belum pulihnya kondisi ekonomi nasional sehingga berpengaruh terhadap minat investor untuk membeli asset BUMN; (3) masih lemahnya landasan hukum pelaksanaan privatisasi; serta (4) masih rendahnya kapasitas dan kemampuan SDM yang ada untuk menangani program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. 2) Khusus restrukturisasi BUMN sektor perbankan, maka sejalan dengan telah selesainya program rekapitalisasi dan restrukturisasi, bank-bank BUMN akan mempunyai tantangan untuk senantiasa meningkatkan kinerjanya sehingga memberikan kontribusi yang optimal kepada Pemerintah dalam bentuk dividen dan pajak. Di samping perlu adanya peningkatan fungsi intermediasi bank melalui peningkatan penyaluran kredit kepada masyarakat dengan tetap memperhatikan asas kehatihatian (prudential banking practice). 3) Permasalahan kemandirian pembinaan BUMN yang sebelumnya berada di departemen teknis secara berangsur-angsur telah sepenuhnya berada di Kementerian BUMN, seperti pembinaan terhadap BULOG dan Pertamina. Dengan demikian diharapkan intervensi dari luar organ perusahaan dapat di minimalkan sehingga upaya penerapan GCG lambat laun akan dapat dilakukan sebagaimana mestinya. 4) Dalam pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan, penyediaan dana yang ditetapkan untuk masing-masing propinsi masih dalam bentuk anggaran perkiraan yang sepenuhnya masih tergantung kepada penerimaan pada tahun berjalan sehingga hal tersebut

IV 189

sangat berpengaruh kepada jumlah dana yang dapat disalurkan. 5) Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka Kementerian BUMN harus segera menyelesaikan Peraturan Pelaksanaannya yang saat ini dalam proses penyelesaiannya. iii. Tindak lanjut

1) Agar program pembinaan BUMN dapat berjalan dengan


baik, maka Kementerian BUMN harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat (stakeholder) secara terus menerus, mengenai kebijakan-kebijakan yang sudah dan akan diterapkan, khususnya kebijakan yang terkait dengan program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. 2) Sebagaimana telah diamanatkan dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, yaitu bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum, didorong untuk privatisasi melalui pasar modal. Demikian pula dalam Tap MPR Nomor X/MPR/2001 Pemerintah telah mendapatkan mandat dari MPR untuk segera menetapkan kebijakan dan mengambil langkah nyata dan fokus pada percepatan pemulihan ekonomi, menyusun segera rencana tindak (action plan) secara komprehensif tentang program privatisasi, melaksanakan sosialisasi privatisasi secara sistematis, dan melakukan privatisasi secara selektif serta dikonsultasikan dengan DPR-RI. 3) Berkaitan dengan masalah legislasi perlu diselesaikan penyusunan konsep dan pembahasan tentang ketentuanketentuan pelaksanaan UU BUMN antara lain berupa 4 Peraturan Pemerintah (PP). Keempat RPP tersebut adalah: Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan perubahan bentuk badan hukum BUMN; RPP tentang Tatacara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero); RPP tentang pengurusan dan pengawasan BUMN; RPP

IV 190

tentang Pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran BUMN. 4) Perlu dilakukan peningkatan pelaksanaan koordinasi dengan instansi-instansi terkait guna menyelesaikan berbagai permasalahan sektoral yang dihadapi BUMN dalam rangka penerapan Good Governance dan Good Corporate Governance. 5) Diperlukan pengembangan pedoman umum sistem pengadaan barang dan jasa BUMN, dan menyusun kebijakan pemerintah terhadap kegiatan public service obligation (PSO) BUMN dan program jaringan komunikasi dalam rangka transparansi pembinaan dan pengelolaan BUMN Lainnya 6) Peningkatan kapasitas dan kemampuan SDM di lingkungan Kementerian BUMN, baik di bidang restrukturisasi dan privatisasi BUMN maupun di bidang lainnya yang terkait dengan pembinaan BUMN.

6. Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Ekonomi 6.1 6.1.1 Mempertahankan Tingkat Jasa Pelayanan Program Mempertahankan Tingkat Jasa Pelayanan Sarana Dan Prasarana

a. Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan

IV 191

Program ini ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana energi, kelistrikan, pos, telekomunikasi, informatika, dan penyiaran yang telah ataupun sedang dibangun agar menjamin nilai ekonomis dan tingkat pelayanan dengan kualitas yang memadai, serta dapat dioperasikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka menunjang sektor-sektor produktif. Sementara itu, peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana diarahkan hanya untuk menunjang pertumbuhan permintaan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitas dan untuk menunjang ekspor. Sasaran program ini adalah: (1) tersedianya pelayanan jasa sarana dan prasarana yang mampu memenuhi kebutuhan minimum dalam pemulihan ekonomi; (2) terjaganya kondisi konstruksi maupun peralatan sarana dan prasarana yang belum selesai pembangunan konstruksinya atau belum beroperasi dengan sempurna; (3) terlaksananya peninjauan ulang atas disain ataupun rencana konstruksi sarana dan prasarana fisik, dan (4) tersedianya sarana dan prasarana yang berkaitan dengan data serta informasi bagi landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan pembangunan sarana dan prasarana energi diarahkan untuk menciptakan kemandirian dalam bidang energi, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun kepentingan ekspor, mendukung upaya pemulihan ekonomi dengan memaksimalkan penerimaan negara disisi hilir dan hulu, perluasan kapasitas sarana energi di bagian hulu seperti kilang minyak serta dibagian hilir seperti tangki penimbun dan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi. Arah kebijakan yang akan dicapai untuk di bidang diversifikasi energi antara lain: peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan; ekstensifikasi sumber energi yang telah ada terutama gas dan panasbumi; intensifikasi pencarian sumber energi, khususnya pemanfaatan panasbumi, gas bumi, dan batubara skala rendah; pemanfaatan energi terbarukan terutama di daerah desa terpencil melalui penggunaan energi terbarukan IV 192

seperti photovoltaic dan piko/mikro/minihidro; serta pembukaan ladang-ladang baru untuk minyak dan gas. Sedangkan untuk konservasi energi arah kebijakannya meliputi penerapan pedoman penggunaan energi yang efisien terutama di sektor industri; pergeseran penggunaan dari konsumtif menjadi produktif, dan penggunaan peralatan yang hemat energi serta penerapan tarif yang progresif bagi pengguna energi yang boros. Arah kebijakan pada langkah-langkah penyediaan jasa sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan produksi dan peningkatan ekspor serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, terutama bagi golongan ekonomi lemah di perdesaan penyediaan energi. Demikian pula, pemenuhan kebutuhan tenaga listrik terutama untuk menjamin pasokan tenaga listrik di daerah krisis listrik serta daerah terpencil dan perdesaan dan peningkatan infrastruktur tenaga listrik yang efisien dan handal. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Kapasitas kilang minyak di dalam negeri hingga saat ini sebesar 987 MBCD atau 360 ribu MBBL yang terdiri atas Pangkalan Brandan, Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Cepu, Balongan dan Kasim. Pipa transmis gas saat ini berada di Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Transmisi gas yang melalui Riau juga menghubungkan Batam dan Singapura. Hasil-hasil yang telah dicapai di bidang ketenagalistrikan meliputi pembangunan pembangkit baru dan penyelesaian pembangunan pembangkit serta pembangunan gardu induk, jaringan transmisi dan distribusi. Untuk pembangkit listrik yaitu PLTA Wonorejo (6,5 MW), PLTA Besai (2x14 MW), PLTA Sipansihaporas Unit I (17 MW), PLTA Renun (82 MW), PLTU Tarahan 3 dan 4 (2x100 MW), PLTP Lahendong (20 MW) dan PLTA BiliIV 193

Bili (20 MW). Untuk gardu induk, jaringan transmisi dan distribusi yaitu penambahan gardu induk 150 kV dan jaringan transmisi 150 kV dan 275 kV di Sumatera, interkoneksi 500 kV bagian selatan Jawa serta interkoneksi 150 kV di Sulawesi Pada subsektor pos dan telekomunikasi, berbagai upaya untuk mempertahankan tingkat jasa pelayanan diantaranya dilakukan melalui (1) rehabilitasi prasarana pos dan telekomunikasi; (2) peningkatan efektivitas pembinaan frekuensi radio melalui pembangunan stasiun frekuensi dan pengadaan berbagai perangkat untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap penggunaan frekuensi secara ilegal; (3) penataan ulang alokasi frekuensi untuk radio siaran FM dan televisi; dan (4) perkuatan laboratorium uji telekomunikasi untuk mendukung penyediaan perangkat telekomunikasi yang sesuai standar. Disamping itu, pemerintah melalui PT Telkom terus melakukan pembangunan fasilitas telekomunikasi. Selama periode tahun 2000-2003, terdapat penambahan kapasitas sentral telepon sebesar 1,68 juta ss hingga menjadi 10,15 juta ss dengan kapasitas terpakai 8,73 juta ss atau mempunyai tingkat penetrasi sebesar 3,5%. Sedangkan pada Sistem Telekomunikasi Bergerak (STB) atau mobile communications terdapat penambahan pelanggan sebesar 7,7 juta orang, yaitu dari sekitar 3,6 juta pelanggan di tahun 2000 menjadi 11,3 juta di tahun 2003. Mengingat pentingnya penyebarluasan berbagai informasi pembangunan dan kepemerintahan kepada masyarakat, pada tahun 2001 pemerintah membentuk Kementerian Komunikasi dan Informasi yang bertugas untuk mengkoordinasikan kebijakan dan usulan rencana pembangunan di bidang komunikasi dan informasi. Selama tahun 2000-2003, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan mendayagunakan potensi teknologi informasi diantaranya melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika IV 194

di Indonesia. Dalam periode tersebut diperkirakan jumlah pelanggan internet meningkat lebih dari 140% menjadi 865 ribu orang, sedangkan pengguna internet meningkat lebih dari 320% dari 1,9 juta menjadi 8 juta orang. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi tersebut juga dimanfaatkan untuk menciptakan tata-pemerintahan yang lebih baik seperti yang disampaikan dalam Inpres No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Saat ini pemerintah masih menyusun rencana tindak pengembangan e-government. Sedangkan pada subsektor penyiaran, pembangunan dititikberatkan pada (1) rehabilitasi sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi; serta (2) peningkatan kualitas siaran melalui pembaharuan peralatan studio dan digitalisasi perangkat. ii. Permasalahan dan Tantangan

Masalah penyediaan energi saat ini merupakan isu nasional yang membutuhkan penanganan yang tepat. Potensi energi Indonesia yang besar dan beragam harus diintegrasikan, dikonsolidasikan secara optimal dan efisien, serta dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Walaupun kebijakan nasional untuk itu sudah tersedia, namun praktek bisnis energi yang ada saat ini belum secara penuh mengacu kepada optimasi kepentingan nasional dan sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Oleh karena itu, penyesuaian harga energi oleh pemerintah merupakan suatu keharusan, khususnya dalam rangka mengurangi subsidi harga energi. Terbatasnya infrastruktur untuk menyalurkan energi dari sumbernya hingga ke konsumen juga menjadi masalah utama. Tindak lanjutnya adalah dengan melakukan pembangunan sarana dan prasana penyaluran energi pada daerah yang potensial. IV 195

Masih rendahnya tingkat diversifikasi energi juga merupakan masalah. Hal ini mengakibatkan ketergantungan terhadap BBM masih tinggi. Pembangunan dan pangsa pengguna energi selama ini masih bertumpu kepada pengguna energi tidak terbarukan seperti minyak bumi. Sementara cadangan minyak bumi semakin menipis. Tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah mendorong penggunaan energi dari gas, batubara dan energi terbarukan. Masalah lainnya adalah belum efisiennya pemanfaatan energi oleh konsumen rumah tangga, indsutri dan transportasi. Konsumen masih belum sadar untuk menggunakan energi sehemat mungkin. Hal ini tercermin dari perilaku pemilihan jenis dan daya lampu serta tingkat efisiensi mesin. Tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk melakukan penghematan energi. Tantangannya adalah bagaimana mengatasi keterbatasan sumber daya energi fosil. Minyak bumi merupakan sumber energi utama di dalam negeri. Di samping itu, minyak bumi juga merupakan komoditas ekspor penting yang menghasilkan devisa cukup besar. Untuk masa yang akan datang masih tetap penting sebagai sumber utama energi. Walaupun pangsa minyak bumi sebagai sumber daya energi di dalam negeri berhasil diturunkan, volume pemakaiannya masih bertambah dari tahun ke tahun. Belum optimalnya pemanfaatan sumber energi terbarukan juga merupakan tantangan yang tidak mudah. Hingga saat ini lebih dari 50 persen energi yang dikomsumsi rakyat berasal dari minyak bumi, dan pemanfaatan sumber energi alternatif seperrti gas bumi, batu bara, dan energi baru dan terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, energi surya, energi angin, dan biomassa, perlu ditingkatkan. Minyak bumi masih banyak dipergunakan masyarakat karena selain relatif mudah diperoleh, relatif murah, dapat dipergunakan untuk IV 196

berbagai kebutuhan dan masih ditemukan cara yang benarbenar efektif untuk menggantikannya. Energi panas bumi, walaupun bersih lingkungan, ketersediaannya relatif jauh dari penduduk dan sentra industri, sehingga membutuhkan biaya yang relatif mahal. Khusus untuk pengembangan EBT ini, menjadi tantangan pula untuk menyusun suatu rencana implementasi yang komprehensif dan implementable. Permasalahan yang ada meliputi: (i) semakin terbatasnya sumber pendanaan pemerintah untuk proyek-proyek ketenagalistrikan termasuk proyek dengan memanfaatkan energi terbarukan untuk pembangkit skala kecil, (ii) harga energi terbarukan relatif masih tinggi bila dibandingkan dengan energi konvensional dan (iii) Keppres No. 7/1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur sudah tidak sesuai dengan kondisi investasi saat ini. Adapun tantangan yang harus dihadapi adalah: (i) kondisi geografis yang terdiri dari pulau-pulau dan pusat beban yang jauh dari potensi energi listrik sehingga belum layak secara ekonomis untuk dibangun pembangkit berakibat mahalnya investasi untuk pengembangan ketenagalistrikan, (ii) berkurangnya pangsa energi konvensional/fosil dalam negeri khususnya minyak bumi, dan meningkatnya pemanfaatan energi terbarukan akan meningkatnya efisiensi pemanfaatan energi baik di sisi hulu maupun di sisi penggunaan dan (iii) tercapainya rasio elektrifikasi 90% pada tahun 2020 dengan didukung oleh peningkatan investasi. Dalam mempertahankan tingkat jasa pelayanan pos, PT Pos Indonesia sebagai BUMN penyelenggara pos menghadapi beberapa kendala seperti terbatasnya jaringan transportasi yang belum menjangkau ke seluruh pelosok tanah air, sudah kurang sesuainya peraturan dengan kondisi saat ini, serta kurang tepatnya penetapan besaran tarif. Kondisi ini dirasakan semakin berat karena selain harus berkompetisi dengan penyelenggara swasta, PT Pos IV 197

Indonesia juga mempunyai kewajiban pelayanan universal. Kewajiban ini sulit dipenuhi karena besarnya biaya investasi dan operasional yang jauh melebihi pendapatan, terutama pada kondisi volume produksi rendah, sehingga tarif tidak mampu menutup biaya layanan antaran. Hingga tahun 2002, ketersediaan pelayanan pos baru menjangkau 51% desa. Pada subsektor telekomunikasi, lambatnya pertumbuhan pembangunan telepon tetap yang diantaranya disebabkan oleh terjadinya pergeseran fokus bisnis penyelenggara telekomunikasi tetap ke telekomunikasi bergerak, telah menimbulkan bottleneck dalam penyediaan fasilitas telekomunikasi. Tidak terpenuhinya target pembangunan baru sebanyak 4 juta ss hingga tahun 2004 sebagaimana disampaikan dalam pokok-pokok kesepakatan antara pemerintah dengan PT Telkom dan PT Indosat, menjadikan pembangunan telepon tetap semakin tertinggal. Sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan akan informasi yang akurat dan handal, instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah telah berupaya untuk mengembangkan e-government dalam upaya penyediaan pelayanan publik yang lebih transparan, efisien dan efektif. Kurangnya pemahaman dan kesiapan tentang e-government seperti standarisasi, pengelolaan informasi, serta otentikasi menyebabkan tidak handalnya aplikasi tersebut. Sedangkan pada subsektor penyiaran, permasalahan utama yang dihadapi adalah keterbatasan kemampuan pendanaan baik yang bersumber dari APBN maupun perusahaan. Besarnya ketergantungan TVRI dan RRI kepada APBN yang ketersediaannya juga terbatas serta tidak memadainya pemasukan lainnya bagi perusahaan, telah menyebabkan tidak dimungkinkannya pembangunan pemancar baru dan terbatasnya kegiatan pembaharuan pemancar yang ada. Kondisi ini kemudian juga menyebabkan beberapa stasiun daerah terpaksa menghentikan kegiatan operasionalnya.

IV 198

iii. Tindak Lanjut Susutnya produksi minyak bumi dan meningkatnya konsumsi memerlukan strategi baru pemenuhan kebutuhan energi nasional untuk menunjang perekonomian mendatang, diperkirakan pada tahun mendatang defisit minyak bumi akan terjadi dalam skala yang makin lama makin besar. Substitusi energi primer lainnya terhadap minyak bumi menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Gas alam dan batubara harus dioptimalkan penggunaannya bagi kepentingan nasional. Kebijakan terpadu mengenai energi primer ini harus segera disusun dalam satu strategi nasional mengenai Keterpaduan Energi Nasional (Energy Mix Policy, EMP), yang menjadi acuan bagi pengembangan masingmasing energi primer dengan memperhatikan intervensi pemerintah dalam regulasi, penetapan harga (pricing policy), strategi investasi (financial scheme), kelembagaan, peran serta sektor swasta, serta instrumen fiskal lainnya yang terkait Upaya-upaya tindak lanjut meliputi: (i) mencari alternatif sumber pembiayaan baik dalam negeri maupun luar negeri dan skema pendanaan lunak, (ii) menarik investor asing melalui penetapan harga listrik sesuai keekonomiannya secara bertahap, (iii) subsidi terhadap energi konvensional secara bertahap akan dikurangi, sehingga proyek energi terbarukan layak dikembangkan, (iv) upaya diversifikasi dan konservasi energi dari konsumsi BBM menjadi gas dan (v) upaya revisi terhadap Keppres No. 7/1998 agar tercipta pola investasi yang menguntungkan melalui koordinasi dengan instansi terkait. Untuk memperbaiki kinerja perposan nasional, termasuk BUMN penyelenggara, pemerintah perlu segera melakukan penyehatan korporat dan kajian tarif. Sedangkan untuk mendorong pertumbuhan pembangunan telepon tetap dan menciptakan kompetisi, pemerintah perlu melakukan kajian kebutuhan pembukaan pasar setelah duopoli yang bertujuan IV 199

untuk menambah jumlah penyelenggara telekomunikasi tetap sehingga tidak lagi dibatasi hanya pada PT Telkom dan PT Indosat. Selain itu, pemerintah juga perlu mengawasi pelaksanaan Pengumuman Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2004 yang diantaranya menetapkan bahwa penyesuaian (rebalancing) tarif lokal dan SLJJ harus disertai dengan pemenuhan target pembangunan sambungan tetap baru. Untuk mendukung pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya, terutama e-government, pemerintah perlu segera menyelesaikan peraturan yang terkait dengan kerahasiaan dan perlindungan data, transaksi secara elektronik, kejahatan yang terkait dengan komputer, dan pembuktian data elektronik seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik.

IV 200

6.2 6.2.1

Melanjutkan Restrukturisasi dan Reformasi Program Melanjutkan Restrukturisasi dan Reformasi di Bidang Sarana dan Prasarana

a. Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi maupun usaha di bidang jasa pelayanan sarana dan prasarana energi kelistrikan, pos, telekomunikasi, informatika, dan penyiaran serta menyehatkan dan meningkatkan kinerja perusahaan yang bergerak di bidang sarana dan prasarana energi. Sasaran dilakukannya restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana energi adalah: (1) pulihnya kelayakan keuangan (financial feasibility); (2) terciptanya kompetisi dan pengaturan dalam pembangunan sarana dan prasarana ketenagalistrikan; (3) meningkatnya efisiensi pemanfatan dan ketersediaan sumber pendanaan baru sejalan dengan peningkatan peran swasta; (4) meningkatnya transparansi dan efisiensi pemerintah dalam pengelolaan sarana dan prasarana energi sejalan dengan berkurangnya peran pemerintah; (5) menerapkan model/struktur industri ketenagalistrikan berikut jadual implementasinya; (6) menciptakan perangkat regulasi yang jelas dan kondusif serta meniadakan peraturan yang menghambat investasi; (7) menciptakan kompetisi yang sehat baik di sektor hulu maupun hilir. Langkah-langkah kebijakan yang diambil adalah memperkuat kerangka hukum dalam pembangunan prasarana energi. Hal ini untuk mendorong terwujudnya pasar kompetitif, dan tersedianya prinsip-prinsip dasar penetapan tarif dan pemberian subsidi. Kerangka hukum tersebut akan diwujudkan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Rancangan Undang-Undang baru. Arah kebijakan ketenagalistrikan adalah (1) penciptaan struktur industri ketenagalistrikan yang sesuai untuk daerah kompetisi dan non IV 201

kompetisi, (2) penyehatan asset, organisasi dan manajerial serta financial secara bertahap dan sistematis, (3) pelaksanaan subsidi tepat sasaran, (4) pemenuhan tarif yang sesuai dengan keekonomiannya; dan (5) penyusunan peraturan pemerintah dan petunjuk teknis yang mendukung pelaksanaan undang-undang ketenagalistrikan agar tercipta iklim yang kondusif untuk investasi. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Beberapa perubahan telah dimulai, tetapi kecepatannya perlu ditingkatkan, dan ruang lingkup perubahannya diperluas. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran tersebut, telah dilakukan enam langkah kegiatan menuju restrukturisasi secara penuh, yaitu: (1) restrukturisasi dan pemecahan industri (unbundling system); (2) pengembangan hubungan komersial dan pengenalan kompetisi; (3) penerapan tarif yang lebih berorientasi pada mekanisme pasar; (4) pengembangan partisipasi swasta; (5) reposisi peran pemerintah; serta (6) penguatan institusi termasuk pengembangan kerangka hukum. Dalam upaya meningkatkan pasokan listrik dari berbagai sumber serta untuk lebih melibatkan masyarakat, maka pemerintah pada tanggal 12 Juni 2002 telah menerbitkan Keputusan Menteri Energi Sumberdaya Mineral No. 1122 K/30/MEM/2002 tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar, yang lebih memungkinkan masyarakat yang mengusahakan pembangkit tenaga listrik dalam skala usaha kecil untuk menjual listriknya kepada PT. PLN (Persero). Terobosan paling signifikan dalam bidang regulasi dan pengaturan adalah penetapan UU tentang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 dan UU tentang Ketenagalistrikan yang baru No. 20 Tahun 2002. Kedua UU tersebut secara signifikan mendorong penyelenggaraan kompetitif di bidang energi. IV 202

UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No. 31 Tahun 2003 telah mendorong terciptanya kompetisi di pasar migas nasional. Saat ini kegiatan usaha migas di bagian hulu dilaksanakan oleh Pertamina dan KPS (Kontraktor Production Sharing). Sedangkan di hilir praktis semua kilang masih dimiliki oleh Pertamina. UU tersebut mengamanatkan dibentuknya dua badan baru, yaitu Badan Pelaksana yang berfungsi melakukan pengawasan Kontrak Kerja Sama (KKS) agar pengambilan sumber daya alam migas dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal untuk negara, dan Badan Pengatur yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM dan pengangkatan gas bumi melalui pipa dalam suatu pengaturan agar ketersediaan dan distribusi BBM yang ditetapkan oleh pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri. Badan Pelaksana yang sering disingkat dengan BP Migas dibentuk dengan PP No. 42 Tahun 2002 dan telah pula berfungsi, sedangkan Badan Pengatur yang dibentuk melalui PP No. 67 Tahun 2002 sedang dalam tahap memulai tugasnya. Pengembangan energi terbarukan telah pula mengalami kemajuan yang berarti dengan disahkannya UU No. 27 tentang Panas Bumi pada akhir September 2003. UU ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan kegiatan usaha panas bumi dan mendorong partisipasi swasta yang akan memberikan dampak strategis terhadap kelangsungan pemenuhan kebutuhan energi nasional. Di samping itu, UU ini diharapkan dapat lebih mendorong pemanfaatan panas bumi agar mampu bersaing dengan sumber energi lainnya. Demikian pula pedoman pola tetap dan road map pengembangan panas bumi 2020 telah disusun sebagai dasar dalam penyusunan regulasi panas bumi.

IV 203

Hasil-hasil yang telah dicapai untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan tampak dari UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, tersusunnya Pedoman Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan (Blue Print Implementasi UU 20/2002), sebagai penjabaran dari UU No 20 tahun 2002 tentan Ketenagalistrikan diterbitkan PP No 53 tahun 2003 tentang Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal), diterbitkannya Keputusan Menteri No. 856 K/30/MEM/2003 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan yang dapat dijadikan acuan oleh Pemerintah Daerah dalam menyusun program dan rencana ketenagalistrikannya masing-masing dan telah diterbitkannya pada Keputusan Menteri No. 0954/30/MEM/2004 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Dengan adanya RUKN ini, maka para pelaku usaha yang memiliki wilayah usaha harus menyusun Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RPTL) berdasarkan RUKN, dimana RPTL ini merupakan rencana pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik di wilayah usahanya serta tersusunnya beberapa RPP serta rancangan Keputusan Menteri (Kepmen). Untuk listrik swasta (IPP), saat ini telah diselesaikan 20 pembangkit dengan status sepakat dengan harga jual serta terms and condition yang baru, 6 pembangkit close out dan 1 pembangkit dalam proses arbitrase. Pada subsektor pos, telah dilakukan penyusunan Rancangan Undang-Undang sebagai pengganti UU Pos No. 6 Tahun 1984. Sedangkan pada subsektor telekomunikasi, pemerintah telah melakukan restrukturisasi untuk menciptakan penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih efisien dan kompetitif. Langkah restrukturisasi tersebut meliputi (1) pemberlakuan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang mengamanatkan penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi; (2) restrukturisasi penyelenggara telekomunikasi melalui peniadaan kepemilikan bersama dan kepemilikan silang PT IV 204

Telkom dan PT Indosat; (3) pengakhiran dini hak eksklusivitas PT Telkom sebagai penyelenggara lokal dan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), serta hak eksklusivitas PT Indosat sebagai penyelenggara Sambungan Langsung Internasional (SLI); (4) penetapan kebijakan duopoli pada penyelenggaraan telepon tetap dengan mereposisi PT Telkom dan PT Indosat sebagai Full Network and Service Provider terhitung sejak 1 Agustus 2002 (lokal) dan 1 Agustus 2003 (SLJJ dan SLI) sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan sebagai transisi menuju penyelenggaraan kompetisi; (5) penyempurnaan dan penyusunan berbagai peraturan pendukung penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif; dan (6) pembentukan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk menjamin transparansi, independensi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Selain itu, dalam rangka reposisi peran pemerintah sebagai pembina subsektor telekomunikasi dan bukan lagi sebagai penyelenggara, pada bulan Desember 2002 pemerintah sebagai pemegang saham terbesar di PT Indosat melepas 41,94% sahamnya senilai Rp 5,64 triliun kepada Singapore Technologies Telemedia. Sejak dibubarkannya Departemen Penerangan pada tahun 2000, status badan hukum TVRI dan RRI diubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Status badan hukum TVRI kemudian diubah menjadi Persero pada tahun 2003. Pengubahan status tersebut bertujuan untuk memberikan peluang yang lebih luas kepada TVRI dalam menggali berbagai sumber pendanaan di luar APBN. Disamping itu, pada tahun 2002 pemerintah menetapkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang pada prinsipnya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan penyiaran Indonesia dengan menyalurkan aspirasinya melalui Komisi Penyiaran Indonesia.

IV 205

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang dihadapi adalah adanya beberapa RPP yang sampai saat ini belum disyahkan, yaitu RPP Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, RPP Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, RPP Keselamatan dan Kesehatan Operasional Migas serta Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan RPP Penetapan Besarnya Bagian Negara, Pungutan Negara dan Bonus dari Kegiatan Usaha Hulu Sektor Minyak dan Gas Bumi serta Tata Cara Penyetorannya kepada Pemerintah. Tantangan yang dihadapi antara lain adalah APEC 2020 khusus negara berkembang yang memerlukan kesiapan pemerintah, swasta dan masyarakat untuk menghadapinya Permasalahan yang ada di bidang ketenagalistrikan meliputi: (i) lemahnya daya saing teknologi dan sumberdaya manusia, (ii) lemahnya efisiensi industri ketenagalistrikan termasuk industri penunjangnya, (iii) lemahnya daya beli masyarakat, (iv) hanya ada satu lembaga sertifikasi produk yang telah terakreditasi., (v) belum ada lembaga inspeksi ketenagalistrikan yang terakreditasi dan (vi) infrastruktur laboratorium untuk pemberlakuan SNI wajib belum memadai. Adapun tantangan yang harus dihadapi adalah (i) meningkatnya peran bisnis energi yang mengarah kepada mekanisme pasar untuk meningkatkan nilai tambah dan (ii) meningkatnya penggunaan kandungan lokal dan meningkatnya peran sumber daya manusia nasional dalam industri energi. Berlarutnya restrukturisasi penyelenggaraan pos menyebabkan semakin rendahnya daya saing dan kualitas SDM sehingga menjadikan PT Pos Indonesia semakin

IV 206

tertinggal dalam kompetisi dengan berbagai Perusahaan Jasa Titipan dan perusahaan multinasional. Pada subsektor telekomunikasi, tidak adanya tolok ukur pelaksanaan duopoli menimbulkan kesulitan dalam mengevaluasi tingkat keberhasilan kebijakan ini. Bila evaluasi dilakukan dengan mengacu pada kriteria peningkatan laju pembangunan sambungan baru, pertambahan layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga, dapat dikatakan bahwa kebijakan duopoli dalam 3 tahun terakhir masih belum berjalan efektif. Kurang efektifnya pelaksanaan duopoli selama ini terutama disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian peraturan pendukung kompetisi sehingga tidak saja menciptakan kompetisi yang tidak setara tetapi juga telah menimbulkan beberapa tindakan anti-kompetisi. Disamping masalah peraturan, pelaksanaan duopoli juga menghadapi hambatan dari kurang jelasnya pemisahan fungsi dan wewenang antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dengan BRTI sebagai badan regulasi yang bertugas melakukan pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi yang dikompetisikan. Semasa masih di bawah pembinaan Departemen Penerangan, TVRI dan RRI selalu mendapatkan pembiayaan dari anggaran pemerintah (APBN). Perubahan bentuk yang terjadi secara tiba-tiba tersebut tidak memberikan cukup waktu bagi kedua BUMN untuk melakukan berbagai persiapan termasuk pencarian sumber pendanaan di luar APBN. Hal ini kemudian menyebabkan masih sangat tergantungnya TVRI dan RRI kepada APBN. Kondisi ini secara tidak langsung menghambat berbagai kegiatan pembangunan mengingat ketersediaan APBN yang sangat terbatas sementara kedua BUMN belum mampu mandiri secara finansial. Bercermin dari kondisi tersebut, penyehatan dan pengubahan kelembagaan Persero TVRI dan Perjan RRI menjadi lembaga penyiaran publik sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan IV 207

tugas sekaligus tantangan bagi pemerintah merestrukturisasi penyelenggaraan penyiaran. iii. Tindak Lanjut

dalam

Upaya-upaya tindak lanjut meliputi: (i) pengkajian mendalam mengenai model/struktur industri ketenagalistrikan, (ii) peningkatan dan perbaikan efisiensi teknis dan non-teknis, (iii) upaya pelaksanaan subsidi tepat sasaran dan (iii) melanjutkan upaya akreditasi kelembagaan di sektor ketenagalistrikan. Pada subsektor pos, pemerintah perlu segera menyelesaikan RUU Pos dan melakukan kajian mengenai tarif. Sebagai tindak lanjut kebijakan terminasi dini pada subsektor telekomunikasi, pemerintah telah menyepakati besaran dan mekanisme pembayaran kompensasi. Kompensasi sebesar Rp 478 miliar akan dibayarkan oleh pemerintah kepada PT Telkom secara bertahap yang dimulai sejak Tahun Anggaran 2005 melalui mekanisme APBN. Sedangkan kompensasi PT Indosat kepada pemerintah sebesar Rp 178 miliar akan diperhitungkan dari hasil divestasi PT Indosat pada tahun 2002 dengan koordinasi Kementerian BUMN. Pemerintah juga perlu segera menyelesaikan beberapa peraturan lain untuk mendukung penyelenggaraan telekomunikasi dalam lingkungan multi operator, seperti interkoneksi dan penomoran. Disamping itu, pengawasan terhadap pelaksanaan kompetisi itu sendiri juga perlu dilakukan. Dalam rangka restrukturisasi subsektor penyiaran, pemerintah perlu menindaklanjuti UU No. 32 Tahun 2002 dengan menyelesaikan penyusunan peraturan pelaksana UU tersebut dan mempersiapkan tahapan transisi bagi Persero TVRI dan Perjan RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang harus sudah terbentuk pada akhir tahun 2005.

IV 208

6.3 6.3.1

Peningkatan Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Jasa Pelayanan Program Peningkatan Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana

a. Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk memperluas jangkauan jasa pelayanan sarana dan prasarana sampai ke daerah-daerah terpencil dan perbatasan. Untuk itu, akan dilakukan intervensi pemerintah melalui upaya-upaya perintisan yang tidak sematamata didasarkan atas pertimbangan kelayakan ekonomi, tetapi juga merupakan upaya pemerintah dalam membuka isolasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tersebut. Sasarannya adalah pemerintah akan menyediakan fasilitas prasarana dan memberikan subsidi untuk pengoperasiannya. Seiring dengan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat, subsidi akan dihapus secara bertahap dan sistimatis agar tarif pelayanan mencerminkan harga pasar, sehingga dapat dilaksanakan secara komersial oleh badan usaha milik negara/daerah, swasta, koperasi dan masyarakat. Agar pelayanan tersebut biayanya dapat terjangkau oleh masyarakat dilakukan langkah-langkah kebijakan peningkatan efisiensi dalam pengembangan dan pengoperasian jasa pelayanan. Peningkatan efisiensi dilaksanakan sejak tahap perencanaan termasuk standarisasi fasilitas sarana dan prasarana energi sampai tahap pengoperasiannya dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat dalam menanggung biaya pelayanannya. Untuk menjamin pelaksanaan kegiatan tersebut, diperlukan penyempurnaan dan penguatan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan mekanisme tarif yang disesuaikan terhadap dayabeli masyarakat.

IV 209

Arah kebijakan di ketenagalistrikan adalah (i) peningkatan peran serta swasta, koperasi, pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya perluasan jangkauan pelayanan jasa tenaga listrik dan (ii) pengembangan potensi energi setempat/lokal untuk pembangkit skala kecil dan menengah. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Beberapa kebijakan dan langkah-langkah operasional yang telah ditempuh pada sektor energi meliputi antara lain: (a) mencegah dan mengurangi kerugian (losses) berkaitan dengan pengusahaan komoditas; (b) mempertahankan dan meningkatkan keuntungan (gain); (c) menciptakan kondisi yang kondusif, terutama menyangkut kepastian hukum, jaminan keamanan, serta praktek usaha pertambangan yang baik (good mining practice); (d) mengoptimalkan fungsi ketatalaksanaan penyelenggaraan dan aparatur departemen teknis terkait berdasarkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean government); (e) mengoptimalkan potensi sumberdaya energi dan mineral secara berkelanjutan dalam upaya memperoleh devisa, pengembangan dan penciptaan nilai tambah; (f) mengoptimalkan penyediaan energi dan tenaga listrik; serta (g) mengoptimalkan implementasi otonomi daerah di bidang energi dan pertambangan umum. Salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi besarnya subsidi BBM, yaitu dengan memberlakukan harga jual BBM di dalam negeri berdasarkan harga pasar dalam hal ini MOPS (Mid Oil Platts Singapore) + lima persen. Dengan demikian harga jual BBM akan berubah/berfuktuasi setiap bulan.Harga BBM dipengaruhi antara lain harga minyak mentah di pasar internasional dan nilai tukar rupiah terhadap USD.Untuk melindungi masyarakat dan mengamankan APBN jika terjadi lonjakan harga yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, pemerintah tetap memberi pengaman yaitu IV 210

dengan menetapkan harga tertinggi (ceiling price) dan harga terendah (floor price) untuk masing-masing jenis BBM. Sebagai tanggung jawab pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu harga minyak tanah untuk rumah tangga dan usaha kecil ditetapkan fix sepanjang tahun berlaku dan masih diberi subsidi relatif besar.Mekanisme penetapan harga BBM ini telah dimulai pada tahun 2001 untuk kelompok konsumen (industri, pertambangan dan kapal tujuan luar negeri) dan pada tahun 2002 diberlakukan untuk umum. Dengan kebijakan penetapan harga BBM tersebut, pemerintah dapat mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Subsidi BBM yang dialokasikan dalam APBN TA 2001 sebesar Rp 41,3 triliun dan APBN TA 2002 sebesar Rp 30,4 triliun. Dalam APBN TA 2003 alokasi subsidi BBM sebesar Rp 13,2 trilyun namun kebijakan harga yang dijadikan asumsi dasar perhitungan subsidi BBM tidak dapat dilaksanakan karena perubahan/kenaikan harga BBM mendapat penolakan dari masyarakat, sehingga dalam penyesuaian APBN ditetapkan alokasi subsidi BBM sebesar Rp 24,5 triliun. Dalam rangka mendukung Otonomi Daerah telah dilaksanakan beberapa kegiatan, antara lain: mensosialisasikan kebijakan/peraturan perundanganundangan di sektor energi dan sumber daya mineral kepada pemerintah daerah yang berkaitan dengan penyusunan peraturan daerah agar tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat; melaksanakan rapat kerja antara Pemerintah Pusat dengan Daerah penghasil migas mengenai penetapan alokasi lifting migas ke daerah penghasil migas dan penyamaan persepsi terhadap lifting migas ke daerah; Menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengaturan Pembagian Pendapatan Migas (lifting) dan Mineral antara Pusat dan Daerah; penyebarluasan informasi potensi sumber daya mineral, batubara, gambut, bitumen padat, panas bumi, gunung api dan air bawah tanah.

IV 211

Hasil-hasil yang telah dicapai meliputi pembangunan listrik perdesaan baik melalui ekstensifikasi pada desa-desa baru maupun intensifikasi pada desa-desa lama sehingga sampai dengan akhir tahun 2003 rasio desa terlistriki telah mencapai 78,5%, walaupun secara nasional rasio elektrifikasinya masih rendah yaitu 54,8%. Untuk daerahdaerah terpencil, terisolasi dan perbatasan (remote area) diupayakan pengembangan pembangkit skala kecil dengan memanfaatkan energi terbarukan seperti mikro hidro (PLTMH) dan surya (PLTS). Adapun untuk daerah-daerah yang mempunyai tingkat beban yang memadai namun jauh dari potensi energi maka diupayakan penyediaan pembangkit mobile diesel, sehingga apabila suatu saat telah dapat dilakukan interkoneksi maka pembangkit yang ada dapat direlokasi ke daerah lain yang membutuhkan. Pembangkitpembangkit ini terutama diarahkan untuk daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada subsektor pos dan telekomunikasi, upaya peningkatan aksesibilitas masyarakat dilakukan melalui perluasan jangkauan hingga ke daerah-daerah terpencil termasuk daerah perbatasan. Untuk menunjang fungsi kewajiban pelayanan umum (PSO dan USO) pada subsektor pos dan telekomunikasi, pada tahun 2003 pemerintah memberikan dana kompensasi kepada PT Pos Indonesia serta membangun fasilitas telekomunikasi di 3.016 desa dengan memanfaatkan dana APBN. Pada tahun 2004, pembangunan fasilitas telekomunikasi di daerah USO akan dilanjutkan di 7.500 desa. Pada subsektor penyiaran, pemerintah meningkatkan kapasitas jangkauan pelayanan melalui pengoperasian kembali beberapa pemancar TV dan pembangunan stasiun pemancar radio di Gunung Sitoli, Tarakan, Ende, Sintang, Toli-Toli, dan Tahuna. ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang dihadapi di sektor energi adalah sebagai berikut: pertama, Masih adanya beberapa perda yang IV 212

kurang sesuai dengan UU Migas No. 22/2001 maupun UU No. 22/1999 dan berorientasi pada PAD, sehingga menjadikan iklim disinsentif bagi kontraktor. Tindak lanjut penyelesainnya adalah dengan melaksanakan rapat koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan melakukan sosialisasi UU terkait. Kedua, belum dipahaminya mekanisme pembagian hasil sumber daya alam migas pusat dan daerah penghasil oleh pihak Pemda. Upaya penyelesaian dilakukan dengan melaksanakan rapat koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketiga, terjadinya gejolak penolakan oleh masyarakat terhadap kenaikan harga BBM. Tindak lanjut penyelesaiannya dilakukan dengan melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat Keempat, terjadinya penyimpangan penggunaan/ distribusi minyak tanah akibat adanya disparitas harga minyak tanah untuk rumah tangga dan industri. Tindak lanjutnya dilakukan dengan rayonisasi distribusi dan pewarnaan minyak tanah untuk rumah tangga. Kelima, tumpang tindih pemanfaatan lahan antara wilayah kerja migas, batubara, panas bumi dan kehutanan. Tindak lanjut penyelesaiannya dilakukan dengan mengadakan rapat koordinasi antara instansi terkait. Pembangunan energi masih menghadapi tantangan dalam kemampuan penguasaan teknologi dan rekayasa. Disamping itu, kurangnya tenaga terdidik dan terampil serta terbatasnya sarana untuk pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia juga merupakan tantangan. Kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan yang semakin tinggi juga menyebabkan semakin ketatnya persayaratan pemilihan jenis bahan bakar dan teknologi yang digunakan. Sejalan dengan itu, pembangunan sarana penyediaan energi IV 213

menghadapi masalah dengan daya dukung yang tidak seimbang seperti di Pulau Jawa. Permasalahan yang ada di bidang ketenagalistrikan meliputi: (i) belum didukung melalui program yang terintegrasi untuk kegiatan produktif yang disertai dengan penciptaan kesempatan usaha mikro, kecil dan menengah, (ii) harga energi terbarukan yang belum kompetitif dibandingkan energi konvensional dan (iii) kurangnya kontribusi pemerintah daerah dalam upaya pengembangan potensi energi lokal. Adapun tantangan yang harus dihadapi adalah (i) masih besarnya potensi energi terbarukan yang belum dikembangkan, (ii) kemampuan sumberdaya manusia yang ada dan (iii) adanya otonomi daerah sehingga memungkinkan pihak pemerintah, swasta, koperasi dan masyarakat di daerah ikut serta dalam pengembangan ketenagalistrikan Secara umum, permasalahan yang dihadapi subsektor pos, telekomunikasi, informatika dan penyiaran dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat terutama di daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan adalah terbatasnya kemampuan pendanaan mengingat program ini lebih berdasarkan pada faktor ekonomi daripada finansial. Tidak adanya mekanisme dan metode penghitungan besaran kompensasi menyebabkan keberlanjutan program ini menjadi tidak terjamin. iii. Tindak Lanjut Upaya-upaya tindak lanjut meliputi: (i) penurunan biaya investasi melalui penyederhanaan desain dan standar konstruksi listrik perdesaan dan pemanfaatan sumberdaya lokal tanpa mengurangi standar keselamatan dan keamanan, (ii) penurunan komponen biaya operasi dan pemeliharaan dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya setempat termasukmeningkatkan kemampuan sumberdaya manusia, IV 214

(iii) pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang efisien melalui penyediaan fasilitas publik yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masyarakat setempat dan (iv) pengembangan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan sampai ke tingkat kabupaten yang diikuti skema pendanaan kredit mikro (kredit lunak) yang mendukung pelaksanaan usaha penyediaan dan penyambungan tenaga listrik sampai ke konsumen. Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas masyarakat akan jasa pos, telekomunikasi dan penyiaran, pemerintah perlu menetapkan mekanisme dan metode penghitungan besaran kompensasi dengan memperhatikan ruang lingkup PSO/USO masing-masing subsektor. Untuk mendukung fungsi PSO PT Pos Indonesia, TVRI dan RRI, pemerintah masih perlu menyediakan dana kompensasi selama periode tertentu. Selanjutnya, daerah-daerah PSO tersebut diharapkan dapat berkembang setelah beberapa tahun sehingga tidak lagi membutuhkan dana kompensasi pemerintah dalam penyediaan jasa pelayanan. Sedangkan pada subsektor telekomunikasi, pemerintah perlu segera menyelesaikan penyusunan peraturan kewajiban pelayanan umum yang diantaranya mengatur besaran kontribusi penyelenggara telekomunikasi dalam membangun fasilitas telekomunikasi di daerah USO. Selanjutnya diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kewajiban pelayanan publik untuk menjaga efektivitas pemberian dana kompensasi. Di samping itu, pemerintah perlu memulai penyusunan e-Indonesia Strategy yang terdiri dari rencana aksi untuk mewujudkan masyarakat informasi di tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan World Summmit on Information Society. Sasaran yang hendak dicapai dalam kesepakatan tersebut diantaranya adalah terhubungnya seluruh desa, seluruh perguruan tinggi, sekolah menengah dan sekolah dasar, dan pemerintah daerah dengan fasilitas telematika. IV 215

IV 216

6.4. 6.4.1

Pembangunan Transportasi

Sarana

dan dan

Prasarana Prasarana

Program Pembangunan Transportasi

Sarana

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah: (1) meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, handal, berkualitas, aman dan harga terjangkau; (2) mewujudkan sistem transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan pembangunan wilayahnya; dan (3) menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan jaringan desa kota yang memadai. Sasaran program pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah (1) mempertahankan dan meningkatkan jasa pelayanan sarana dan prasarana transportasi; (2) melanjutkan restrukturisasi dan reformasi transportasi dan (3) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana transportasi. Arah Kebijakan pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah: (1) merehabilitasi dan memelihara sarana dan prasarana transportasi yang ada agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya; (2) memenuhi ketentuan keselamatan operasi pelayanan transportasi yang berlaku baik nasional maupun internasional; (3) menciptakan iklim usaha di bidang jasa pelayanan transportasi yang adil dan terbuka sehingga badan usaha milik negara (BUMN), swasta maupun pemerintah daerah, baik pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, terdorong untuk ikut berperanserta dalam penyediaan pelayanan jasa transportasi; (4) meyediakan pelayanan jasa transportasi minimal khususnya untuk daerah-daerah terpencil .

IV 217

b.

Pelaksanaan i. Hasil yang dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan prasarana dan sarana transportasi selama tahun 2000 2004, terutama untuk mencapai sasaran program-program pembangunan sarana dan prasarana. Untuk mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi, telah dilaksanakan kegiatan pembangunan, rehabilitasi dan peningkatan prasarana transportasi baik untuk moda transportasi jalan, kereta api, angkutan sungai danau dan penyeberangan, laut dan udara. Untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan transportasi bagi masyarakat luas dan dalam mendukung kesatuan wilayah NKRI, telah dilaksanakan pembangunan jaringan pelayanan yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasarannya guna menjamin kelancaran distribusi sampai ke pelosok-pelosok wilayah yang terpencil dan di perbatasan, diantaranya melalui penyediaan subsidi pengoperasian angkutan perintis ke daerah daerah yang relatif belum maju dan terpencil, penyedianan angkutan kelas ekonomi bagi masyarakat menengah ke bawah, serta pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana transportasi perintis. Untuk melanjutkan reformasi sektor transportasi, telah dilaksanakan berbagai kajian kebijakan penetapan berbagai kebijakan di bidang hukum dan kelembagaan, SDM, tarif dan subsidi serta melanjutkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang mendorong efisiensi, akuntabilitas dan iklim kompetisi yang lebih kondusif. Hasil yang telah dicapai diantaranya adalah finalisasi proses revisi Undang-undang di bidang transportasi (UU no.13/1980 tentang Jalan, UU no 13/1992 tentang perkeretaapian, UU no. 14/1992 tentang Lalulintas Angkutan Jalan, UU No. 15/1992 tentang Penerbangan dan UU no. 21/1992 tentang Pelayaran). Revisi perundang-undangan tersebut, diantaranya juga akan mereposisi kejelasan peran dan fungsi pemerintah lebih IV 218

sebagai regulator dari operator, lebih membuka peran serta swasta dan pemerintah daerah, kebijakan tarif dan subsidi yang lebih mendorong investasi swasta dan BUMN/BUMD dan iklim kompetisi yang sehat, namun tetap memperhatikan fungsi pelayanan umum. Selain itu, menerapkan kebijakan untuk peningkatan akuntabilitas dan efisiensi pelayanan jasa transportasi melalui peningkatan manajemen, SDM serta kelembagaan dan peraturan yang didukung perencanaan, pelaksanaan serta supervise di bidang pembangunan transportasi, serta merumuskan tatanan transportasi nasional, wilayah dan lokal, yang akan dapat dijadikan acuan bersama para penyelenggara pembangunan transportasi, baik di Pusat maupun daerah. 1) Sub Sektor Transportasi Jalan Penanganan jalan dari tahun 2001 sampai dengan 2004 telah mengurangi kerusakan jalan nasional dari 15% tahun 2001 menjadi 10% tahun 2004, sehingga dapat memberikan penghematan biaya operasi kendaraan secara signifikan dan langsung bagi masyarakat pengguna jalan. Selain itu, untuk mendukung pusat-pusat produksi nasional dan outlet telah dilaksanakan pelebaran maupun peningkatan struktur kekuatan jalan sepanjang 3.000 km dan jembatan 2.000 m, antara lain di sepanjang jalan pantai utara (Pantura) Jawa, di lintas timur Sumatera, lintas Kalimantan dan lintas Sulawesi. Sedangkan dalam rangka membuka daerah terisolir dan mendukung kawasan perbatasan, telah dilaksanakan pembangunan jalan sepanjang 850 km dan 1.000 m jembatan, antara lain pada ruas-ruas jalan di Jayapura-Wamena, lintas Flores dan Seram, serta jalan di perbatasan Kalbar, Kaltim, Papua, NTT dan pulau-pulau kecil, seperti Nias, Buru, Buton, Sangihe, dan Wetar. Upaya ini sekaligus dapat mempercepat pembangunan kawasan Timur Indonesia dan memantapkan peran perbatasan sebagai beranda depan maupun pintu gerbang international. Sementara itu, untuk mendukung pengembangan wilayah, telah dilakukan pembangunan jalan sepanjang 1.500 km dan jembatan 1.500 IV 219

m seperti jalan Lintas Selatan Jawa, Lintas Barat Sumatera termasuk Ladia Galaska Aceh, dan Jembatan Suramadu yang menggunakan teknologi Jembatan Gantung agar tidak mengurangi lalu lintas pelayaran di perairan tersebut. 2) Sub Sektor Tranportasi Darat Pembangunan lalu lintas angkutan jalan selama tahun 2000-2004, diantaranya telah dilaksanakan pembangunan dan pemasangan fasilitas keselamatan transportasi jalan yang meliputi pemasangan rambu jalan sebanyak 1185 buah, pagar pengaman jalan sepanjang 20,976 meter, paku marka sebanyak 11.500 buah serta marka jalan sepanjang 349,130 meter, terutama pada jalan Nasional. Selain itu juga telah dilaksanakan pembangunan terminal antar kota antar negara di Pontianak, serta memperbanyak penyediaan subsidi operasi angkutan bis perintis yang semula hanya sebanyak 50 rute bus perintis pada tahun 2001, telah meningkat menjadi 92 rute bus perintis pada tahun 2004. Yang didukung tambahan pengadaan bus perintis dan bus pelajar sebanyak 403 unit. Untuk mendukung mobilitas manusia dan distribusi barang di wilayah terpencil serta angkutan pelajar. Guna meningkatkan koordinasi dan kualitas penyelenggaraan manajemen dan keselamatan transportasi, telah dilaksanakan koordinasi antar instansi termasuk dalam upaya mengatasi permasalahan pelanggaran kelebihan muatan di jalan serta penanganan daerah rawan kecelakaan. Salah satu upaya tersebut adalah melalui pembangunan percontohan sistem jembatan timbang di Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Utara, untuk peningkatan pengelolaan dan penindakan terhadap pelanggaran muatan lebih di jalan. Peningkatan produktivitas angkutan jalan telah berkembang sejalan dengan perkembangan ekonomi, dan di dukung oleh pembangunan di bidang prasarana dan sarana jalan yang semakin meningkat. Peningkatan jumlah sarana angkutan umum di jalan, terutama jumlah bus AKAP (angkutan antar kota antar propinsi) juga terus meningkat, dari 17.613 unit pada tahun 2001, menjadi 19.370 unit pada tahun 2004. IV 220

Namun penanganan masalah kecelakaan lalu lintas di jalan masih harus tetap ditingkatkan kualitasnya agar dapat lebih menyeluruh. Hal ini mengingat jumlah kecelakaan lalu lintas di jalan masih cukup tinggi dan yang semula pada tahun 2002 menurun dari tahun 2001, yaitu dari 12,791 menjadi 12,267 kali kejadian, namun pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 13.399 kali setahun. Pelaksanaan pembangunan dalam program pengembangan perkeretaapian selama tahun 2001-2004, telah dapat dilaksanakan rehabilitasi jalan kereta api sepanjang 71,8 kilometer, rehabilitasi dan perkuatan jembatan kereta api 170 unit serta peningkatan sinyal dan telekomunikasi perkeretaapian, pengadaan rel kereta api R-54 sepanjang 1.100 km, dan rehabilitasi 18 unit KRD dan 3 unit KRL. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan aksesibilitas pelayanan, telah dilaksanakan program pembangunan prasarana dan sarana perkeretaapian, meliputi pembangunan sarana kereta api kelas ekonomi sebanyak 5 unit, peningkatan jalan kereta api sepanjang 118,25 km dan lanjutan pembangunan jalur ganda kereta api sepanjang 223 km, diantaranya adalah lanjutan pembangunan jalur ganda di lintas kereta api yang padat seperti Cikampek - Cirebon, Cikampek - Padalarang, Yogyakarta - Solo, serta persiapan pembangunan jalur ganda lintas Kutoarjo - Kroya dan pembangunan kembali jalur kereta api di Nangroe Aceh Darussalam secara bertahap. Selama tahun 2000 -2004, telah dilanjutkan reformasi di bidang perkeretaapian untuk meningkatkan pelayanan, efisiensi dan ankutabilitas penyelenggaraan dan pendanaan perkeretaapian, diantaranya telah mulai dilaksanakan skema pendanaan Public Sevice Obligation (PSO) untuk subsidi opoerasi angkutan ekonomi perkeretaapian, Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) serta penerapan Track Access Charges (TAC) untuk pendanaan prasarana perkeretaapian. Untuk produktivitas angkutan perkeretaapian dari tahun 2000 sampai tahun 2003 telah menurun dari 190,7 juta penumpang menjadi 150,7 juta penumpang, sedangkan angkutan barang meningkat dari 16,8 IV 221

juta ton menjadi 17,99 juta ton. Penurunan angkutan penumpang tersebut terutama diakibatkan adanya persaingan antar moda yang semakin tinggi terutama dari moda transportasi udara, masih banyaknya sarana angkutan kereta api yang menurun kondisinya, sehingga mengakibatkan jumlah angkutan kereta api penumpang jarak jauh umumnya mengalami penurunan. Namun untuk angkutan perkeretaapian di wilayah perkotaan yang padat seperti di Jabotabek, perkembangan angkutan massal perkeretaapian cenderung semakin padat dan meningkat kebutuhannya, dan masih belum dapat diimbangi dalam kapasitas prasarana dan sarananya. Pelaksanaan dalam program pembangunan angkutan sungai, danau dan penyeberangan selama tahun 2000-2004 diantaranya telah dilaksakan pembangunan 13 buah rambu penyeberangan dan 700 buah rambu sungai, pengerukan 277.529 m3 alur pelayaran, rehabilitasi dermaga sungai dan penyeberangan sebanyak empat unit, pembangunan 30 buah dermaga penyeberangan dan lima buah dermaga sungai dan danau, penyelesaian dan pembangunan baru kapal penyeberangan perintis sebanyak 10 unit serta pelaksanan subsidi pengoperasian kapal perintis di 59 lintasan per tahun untuk melayani wilayah terpencil dan perbatasan. Perkembangan produktivitas angkutan penyeberangan selama tahun 2000 - 2003, untuk jumlah angkutan penumpang, barang dan kendaraan melalui penyeberangan masing-masing adalah angkutan penumpang naik dari 35,94 juta penumpang tahun 2000, meningkat menjadi 39,36 juta penumpang dalam tahun 2003. Angkutan barang naik dari 13,9 juta menjadi 14,4 juta ton , namun angkutan kendaraan di lintas penyeberangan turun dari 8,712 juta unit menjadi 5,9 juta unit. 3) Sub Sektor Transportasi Laut Dalam rangka mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi laut telah dilakukan pengerukan alur pelayaran IV 222

sebanyak 10,7 juta M3 dan direhabilitasi 101 unit sarana bantu navigasi. Sedangkan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana transportasi laut mencakup pembangunan pelabuhan Kupang dengan dermaga multipurpose 237,8 M dan Bitung dengan dermaga petikemas 130 M, pembangunan 2 unit kapal pencegah bencana (Marine Disaster Prevention Ships), pembangunan 3 unit kapal penumpang tipe 2000, serta penambahan sarana bantu navigasi sebanyak 12 unit menara suar, 22 unit rambu suar, pelampung suar 119 unit. Sementara itu untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan jasa transportasi laut telah dibangun 8 unit kapal perintis yang telah diserah terimaoperasikan kepada pemerintah propinsi Sulawesi Utara, Papua, Maluku Utara, Maluku dan Nusa Tenggara Timur dan akan diselesaikan 5 unit lagi kapal perintis. Di samping itu juga telah diberikan subsidi operasi pelayaran perintis di 174 rute. 4) Sub Sektor Transportasi Udara Dalam rangka mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi udara telah dilakukan pemeliharaan landasan dan terminal masing-masing seluas 470.928 M2, dan 18.310 M2. Sedangkan untuk peningkatan kapasitas prasarana transportasi udara telah dilakukan peningkatan landasan dan terminal masing-masing seluas 431.179 M2, dan 1.811 M2, termasuk didalamnya peningkatan landasan dan terminal bandara Menado dan Ambon. Sementara itu untuk meningkatkan aksesibilitas jasa transportasi udara telah diberikan subsidi operasi penerbangan perintis sebanyak 317 rute penerbangan. 5) Sub Sektor Meteorologi dan Geofisika Di bidang meteorologi dan geofisika selama tahun 20002004, walaupun belum memenuhi seluruh kebutuhan, namun selalu diupayakan untuk pengadaan, pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana operasional meteorologi dan geofisika. Dalam rangka peningkatan pelayanan jasa IV 223

meteorologi dan geofisika, maka dalam tahun 2002, telah dilakukan restrukturisasi kelembagaan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), melalui penetapan Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2002 dan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2002, yang mengubah status struktural BMG agar lebih berfungsi optimal dalam melaksanakan peran dan fungsinya secara lebih luas, tidak hanya di bawah sektor perhubungan, tetapi juga melayani kebutuhan jasa pada sektor-sektor strategis lainnya seperti pertanian, irigasi, kehutanan, sumber daya air serta pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan program yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000 sampai dengan 2004 diantaranya melalui otomatisasi dan modernisasi peralatan pengamatan yakni penambahan peralatan radar hujan 1 unit, Automatic Weather Station (AWS) 6 (enam) unit, peralatan cuaca pelabuhan otomatis 5 (lima) unit, accelerograph digital 3 komponen 3 (tiga) unit, seismograph broadband 3 komponen 2 (dua) unit, lightning detector 3 (tiga) unit, gravimeter digital 1 (satu) unit; peningkatan telekomunikasi BMG dilakukan dengan menggunakan satelit, yaitu VSAT link 32 Kbps, VSAT IP, penggunaan transponder, dan LC; sedangkan hasil yang dicapai dalam bidang pelayanan adalah pembangunan pusat pelayanan informasi cuaca penerbangan sesuai dengan standar internasional di Stasiun Meteorologi Sukarno-Hatta, pengadaan peralatan survei berikut kendaraan survei dalam rangka peningkatan antisipasi bencana alam yang dapat ditimbulkan akibat kondisi meteorologi maupun geofisika. Sedangkan di bidang pencarian dan penyelamatan, secara terus menerus peralatan pertolongan dan penyelamatan, peralatan komunikasi dan peralatan medis ditingkatkan jumlahnya. Selain itu, juga ditingkatkan latihanlatihan SAR baik yang bersifat lokal maupun internasional untuk meningkatkan kemampuan petugas-petugas SAR.

IV 224

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan pembangunan sektor transportasi dalam mewujudkan efisiensi dan pemerataan mobilitas dan distribusi nasional, guna mendukung pembangunan nasional terutama sector-sektor strategis dan beberapa wilayah strategis nasional dalam kesatuan wilayah NKRI, memerlukan upaya yang sangat besar dan investasi jangka panjang yang berkesinambungan agar ketahanan NKRI dalam segala aspek (sosial, budaya , ekonumi dan hankamnas) dapat terwujud secara bersama. Untuk itu masih diperlukan tatanan ataupun sistem transportasi nasional (Tatranas) yang terpadu dan yang lebih bersinergi dengan konsep pembangunan wilayah dan Tatanan transportasi Wilayah (Tatrawil) maupun pembangunan sektor-sektor lainnya, serta didukung kelembagaan dan peraturan serta pemahaman yang disepakati bersama. Sosialisasi dan pemahaman Sistem transportasi nasional yang terpadu dengan system pengembangan tata guna lahan dan prioritas pembangunan pusat dan daerah serta masyarakat, masih perlu dipertajam dan diletakkan dalam satu kesatuan tatanan kelembagaan baik dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan pendanaan pembangunan serta penyelenggaraan sistem tata ruang nasional maupun wilayah serta tatanan perencanaan sector strategis lainnya. Walupun konsep Tatranas dan tatrawil telah dibuat, namun perlu ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan pemaduan konsep secara inter sektor serta penerapannya dalam sistem peratutran perundang-undangan di bidang sektor tranportasi yang dapat memayungi perundang-undangan moda transportasi yang sedang direvisi. Tantangan dan permasalahan dalam pelayanan sektor transportasi pada umumnya, masih dihadapkan pada masalah peningkatan keselamatan, peningkatan kelancaran mobilitas (baik untuk koridor yang telah berkembang padat sehingga menimbulkan kemacetan) serta masalah aksesibilitas pelayanan terutama pelayanan jasa transportasi untuk seluruh IV 225

wilayah terpencil dan perbatasan NKRI yang sangat luas, yang belum seluruhnya dapat dijangkau oleh pelayanan jasa transportasi secara memadai. Selain itu masalah daya beli masyarakat pada umumnya yang masih rendah, dibanding biaya operasi dan investasi prasarana dan sarana tarnsportasi, masih diperlukan subsidi operasi dan dukungan investasi pemerintah yang cukup besar dalam upaya menyelenggarakan sistem transportasi yang murah dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Tantangan dalam program reformasi di bidang transportasi, meteorologi dan geofisika, terutama dalam pelaksanaan desentralisasi dan reposisi kelembagaan pemerintah di bidang transpoirtasi yang lebih memperjelas peran dan fungsi pemerintah, agar lebih ditekankan pada peran sebagai regulator daripada operator, restrukturisasi BUMN, serta penciptaan iklim yang kondusif agar peran serta swasta dan pemda maupun penyelenggaraan jasa transportasi dapat lebih efisien, melalui sistem yang lebih akuntabel, kompetitif dan professional. Pelaksanaan otonomi dan desentralisasi dalam sektor transportasi, walaupun telah banyak kemajuan yang telah dicapai, namun masih diperlukan beberapa perbaikan terutama dalam koordinasi perencanaan, pendanaan, pengaturan dan penerapan standar pelayanan minimal yang masih perlu dipahami bersama antara instansi pemerintah Pusat dan Daerah. Pelaksanaan proses revisi perundang-undangan di sektor transportasi, masih belum selesai dan perlu dilanjutkan, yang menata kembali peran dan fungsi pemerintah, BUMN dan peran serta swasta dan pemda. Pelaksanaan skema pendanaan yang lebih akuntabel , didukung perencanaan dan pemantauan yang berbasis kinerja masih perlu dikembangkan, baik melalui skema pendanaan PSO,IMO,TAC dalam perkeretaapian,maupun skema PSO dalam moda lain, termasuk skema pendanaan susbsidi perintis yang lebih berorientasi pada pengembangan wilayah dan bekerjasama dengan pemerintah daerah.

IV 226

Pelaksanaan program pembangunan sektor transportasi selama tahun 2000-2004, dalam mempertahankan pelayanan yang ada, masih dihadapkan pada terbatasnya pendanaan pemerintah dalam melaksanakan pemeliharaan dan rehabilitasi prasarana dan sarana yang ada, sehingga masih dijumpai beberapa kondiosi prasarana dan sarana yang kurang perawatan, terutama untuk transportasi jalan, prasarana dan sarana perkeretaapian, sarana ASDP dan prasarana dan sarana transportasi laut dan udara. 1) Sub Sektor Transportasi Jalan Prasarana jalan sebagai parasarana publik memiliki nilai ekonomi, nilai sosial dan nilai strategis, sehingga kerugian yang ditimbulkan akibat muatan lebih (excessive over loading) berdampak langsung kepada pihak pengelola jalan (pemerintah), pemakai jalan, dan masyarakat umum. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan sangat mempengaruhi kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi terhadap pemakai jalan. Beberapa sebab lain yang significant adalah kualitas pengerjaan jalan yang belum optimal, bencana alam seperti longsor, banjir, dan gempa bumi, serta terakhir adalah kemampuan pendanaan pemerintah yang belum pulih setelah krisis ekonomi sehingga berpengaruh kepada pendanaan untuk biaya pemeliharaan jalan. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya percepatan pembangunan perdesaan, kawasan perbatasan, dan daerah terpencil dengan pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan prasarana transportasi jalan antar daerah dan antar wilayah yang lebih luas dan terpadu yang memungkinkan lancarnya arus barang dan perpindahan penduduk. Konsep pengembangan prasarana jalan juga harus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi regional melalui pendekatan wilayah menuju terwujudnya Sistem Transportasi Nasional dan International

IV 227

2) Sub Sektor Transportasi Darat Dalam bidang transportasi darat, masih dijumpai kendala dalam keselamatan dan mobilitas angkutan, serta kualitas pelayanan jasa baik dalam ketepatan dan kelancaran, kenyamanan dan keamanan angkutan penumpang dan barang yang perlu tetap ditingkatkan. Pembangunan lalu lintas angkutan jalan, masih diperlukan peningkatan manajemen lalu lintas, keterpaduan antar moda serta sosialisasi dan penegakan disiplin berlalu lintas di jalan. Di bidang pembangunan perkeretaapian, walaupun peningkatan kapasitas dan jalur ganda juga merupakan prioritas di beberapa koridor utama yang telah jenuh, agar kelancaran dan keselamatan angkutan lebih ditingkatkan, namun masih dijumpai kondisi backlog pemeliharaan prasarana dan sarana perkeretaapian yang telah ada, yang membutuhkan penanganan secara lebih menyeluruh dan sistematis serta lebih ditingkatkan prioritasnya. Masalah keselamatan perkeretaapian di perlintasan sebidang maupun pemanfaatan jalur sepanjang koridor kereta api juga masih perlu ditata kembali, upaya untuk peningkatan kualitas pelayanan juga belum optimal, sehingga perlu ditingkatkan. Pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan dan pendanaan perkeretaapian, masih dijumpai kendala dalam pelaksanaan yang perlu didukung SDM, pendanaan, sistem perencanaan, pendanaan dan evaluasi serta dasar peraturan yang perlu disempurnakan. Untuk pembangunan ASDP, masih diperlukan peningkatan efektifitas dan peningkatan investasi pelayanan angkutan di wilayah terpencil dan perbatasan. Keterbatasan pendanaan pemerintah, diperlukan optimalisasi pelayanan dan keterpaduan antara pengembangan angkutan laut dan penyeberangan, serta keterpaduan dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam program pengembangan wilayah serta sektor-sektor andalan lainnya. Peran serta swasta dan Pemda masih juga perlu lebih ditingkatkan dalam IV 228

penyelenggaraan pelayanan ASDP, diantaranya angkutan perintis yang disubsidi yang dikompetisikan penunjukan operatornya, agar lebih efisien. Dalam hal kelembagaan dan peraturan, masih perlu dilanjudkan proses revisi UU No. 13/1992 tentang perkeretaapian dan UU No. 14/1992 tentang jalan yang bersinergi dengan revisi UU No. 13/1980 tentang jalan dan tatanan transportasi nasional. 3) Sub sektor Transportasi Laut Permasalahan dalam penyelenggaraan transportasi laut adalah (1) banyaknya tuntutan pemerintah daerah untuk membangun pelabuhan samudra dan berstatus terbuka untuk perdagangan internasional; (2) banyak penumpang kapal yang beralih ke angkutan udara khususnya untuk jarak menengah seperti Medan-Jakarta yang disebabkan adanya kebijakan operator angkutan udara yang menawarkan tarif yang sangat murah; (3) Tingkat kecukupan dan keandalan sarana bantu navigasi yang masih kurang memadai dan jauh dari ketentuan IMO (International Maritime Organization); masih kuatnya peran armada pelayaran asing dalam angkutan laut nasional maupun angkutan ekspor-impor. Oleh karena itu tantangan yang dihadapi pemerintah sebagai pemegang otoritas penyelenggaraan transportasi laut adalah bagaimana mengefisiensikan dan mengefektifkan penggunaan anggaran pemerintah di sektor transportasi laut dan menciptakan iklim usaha di bidang jasa angkutan laut agar banyak pengusaha dan lembaga keuangan yang mau terlibat dalam usaha pelayaran. 4) Sub sektor Transportasi Udara Permasalahan dalam penyelenggaraan transportasi udara adalah (1) banyaknya tuntutan pemerintah daerah untuk membangun bandara dan berstatus bandara internasional; (2) kebijakan pemerintah yang membebaskan operator angkutan udara menawarkan tarif yang sangat murah menyebabkan bertambahnya jumlah penumpang angkutan udara yang IV 229

akhirnya meningkatkan lalulintas udara dan menuntut penambahan kapasitas bandara agar dapat didarati pesawatpesawat berbadan lebar; (3) terjadinya ketidak sesuaian antara jenis pesawat yang beroperasi di suatu bandara dengan kapasitas fasilitas keselamatan penerbangan sehingga sulit untuk memenuhi ketentuan keselamatan operasi penerbangan yang telah ditetapkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization). Oleh karena itu tantangan yang dihadapi pemerintah sebagai pemegang otoritas penyelenggaraan transportasi udara adalah bagaimana meningkatkan pengawasan dan pemantauan sarana dan prasarana tranportasi udara agar jaminan keselamatan tetap dapat diberikan walau tarifnya sangat rendah. 5) Sub Sektor Meteorologi, Geofisika dan SARNAS Di bidang meteorologi dan geofisika, proses restrukturisasi kelembagaan organisasi Badan Meteorologi dan Geofisika dan SARNAS, masih perlu ditingkatkan dalam skema pendanaan dan pelayanannya begitu pula restrukturisasi kelembagaan Badan SAR Nasional, agar lebih bersinergi dengan peran kelembagaan lain maupun koordinasi dengan Pemerintah Daerah maupun lembaga swadaya masyarakat, dalam peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanannya. Salah satu kendala yang ada terutama belum adanya master plan dalam pembangunan jangka panjang dan reposisi kelembagaan Badan SAR Nasional. iii. Tindak Lanjut Secara umum, tindak lanjut program reformasi dan restrukturisasi kelembagaan sektor untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja BUMN serta kejelasan antara peran pemerintah sebagai regulator dan BUMN sektor transportasi, masih harus dilanjutkan, diantaranya melalui lanjutan proses revisi perundang-undangan di bidang transportasi nasional yang terpadu, memperhatikan aspek desentralisasi, efisiensi, IV 230

efektivitas pelaksanaan, serta mendukung perwujudan tatanan transportasi nasional, tatanan transportasi wilayah, serta mendukung ketahanan dan persatuan wilayah NKRI. 1) Sub Sektor Transportasi Jalan Tindak lanjut program pembangunan prasarana jalan, terutama untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan prasarana jalan baik untuk pembangunan maupun pemeliharaan jalan, yang sudah saatnya dilakukan teroboson untuk memperoleh alternatif sumber pendanaan pemeliharaan jalan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang alokasi dana yang diperlukan secara komprehensif, mulai dari kebijakan alokasi APBN yang melalui DIP, DAU, DAK dan APBD, serta partisipasi pengguna jalan, dan yang lebih penting lagi menciptakan iklim yang menarik bagi keikutsertaan pihak swasta dalam investasi di sektor jalan. Selain itu sense of belonging dari stakeholders perlu ditingkatkan, sehingga ada upaya untuk mempertahankan kondisi jalan yang mantap, termasuk law enforcement terhadap pelanggaran muatan oleh pengguna jalan. Dalam rangka meningkatkan peran swasta dan masyarakat di bidang prasarana jalan sedang dilakukan reformasi pengembangan jaringan jalan yang ditekankan pada dibukanya pintu investasi dalam bidang jalan tol, dan secara keseluruhan dalam rangka mendorong reformasi dan restrukturisasi kelembagaan penyelenggaran prasarana jalan, sedang dilakukan revisi UU Jalan No. 13 Tahun 1980 yang saat ini sedang dalam pembahasan di tingkat antardepartemen. 2) Sub Sektor Transportasi Darat Untuk meningkatkan keselamatan transportasi darat, baik untuk angkutan jalan, perkeretaapian dan angkutan sungai danau dan penyeberangan (ASDP), selain pembangunan fisik melalui pembangunan fasilitas IV 231

keselamatan, rehabilitasi prasarana dan sarana transportasi darat, juga diperlukan pelaksanaan sosialisasi untuk pendidikan dan law enforcement peraturan di bidang keselamatan transportasi serta peningkatan sumber daya manusia secara terpadu dan menyeluruh, baik secara kelembagaan, peraturan serta memperhatikan aspek sosial dan budaya dalam masyarakat. Tindak lanjut program lalu lintas angkutan jalan, perlu lebih ditingkatkan kualitas pembangunan fasilitas lalu lintas jalan yang lebih berorientasi pada pendekatan koridor pelayanan sehingga kinerjanya dapat lebih optimal, juga dalam penerapan peraturan lalu lintas dan disiplin operator dan pengguna jasa angkutan serta penerapan standar minimum kelaikan sarana dan prasarana jalan. Untuk keselamatan perkeretaapian, masih perlu diupayakan penyelesaian masalah keselamatan secara lebih terpadu, baik kondisi fisik prasarana dan sarana serta lingkungan sepanjang jalur perkeretaapian maupun sistem teknologi, SDM dan peraturan yang mendukungnya. Masalah penanganan backlog pemeliharaan prasarana dan sarana secara bertahap dan menyeluruh, perlu didukung sistem perencanaan, program dan pendanaan serta supervisi yang lebih terpadu dan berbasis pada kinerja, serta didukung data dan sistem informasi yang lebih akurat. Selain itu, perlu ditingkatkan masalah keterpaduan antar instansi dalam menangani permasalahan keselamatan dan kelancaran lalu lintas di perlintasan kereta api yang sebidang dengan jalan serta pemanfaatan dan pengamanan daerah sepanjang jalur kereta api. Dalam angkutan sungai, danau dan penyeberangan, masih perlu ditingkatkan lagi keterpaduan dan sistem pengaturan antar moda, keselamatan muatan maupun masalah kelaikan sarana dan prasarana yang ada. Tindak lanjut di bidang skema pendanaan perkeretaapian, penerapan pola pendanaan Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance and Operation (IMO), dan Track Access Charges (TAC) serta restrukturisasi BUMN PT Kereta Api Indonesia (Persero) guna meningkatkan efisiensi, akuntabilitas serta untuk IV 232

meningkatkan peluang bagi peran serta swasta, masih perlu disempurnakan dalam aspek peraturan, kelembagaan, sistem data dan informasi serta kualitas manajemen dan koordinasi antar instansi serta budaya SDM-nya serta perlunya alternative dukungan alokasi dan kontrak pelaksanaan pendanaan yang terpisah masing-masing untuk PSO, IMO dan TAC secara bertahap, dengan memperhatikan aspekaspek administratif, akurasi data dan perhitungan dan dari aspek akuntansi, teknis pelaksanaan dan supervisi yang secara menyeluruh dapat lebih efektif dan lebih berorientasi pada hasil yang berkesinambungan. Untuk pengembangan perkeretaapian ke depan, masih diperlukan sosialisasi dan penajaman masterplan pembangunan perkeretaapian, yang terpadu dalam tatanan transportasi nasional dan wilayah, kebutuhan investasi dan pendanaan serta tahapan prioritas antar moda pendukungnya, baik untuk jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dalam bidang ASDP, perlu diperjelas peran dan fungsi antara pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam aspek perencanaan dan pendanaan serta keterpaduan investasi dan pelayanan angkutan penyeberangan dengan angkutan laut. Dalam bidang kelembagaan, diperlukan restrukturisasi BUMN (PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) agar lebih efisien dan bersinergi dengan peningkatan pelayanan di wilayah strategis pelayanan masing-masing, serta menumbuhkembangkangkan peran serta swasta dan pemerintah daerah. Peran serta pemda dan swasta dalam pelayanan angkutan perintis darat (bus perintis dan ASDP) masih perlu diupayakan melalui penataan peran dan tanggung jawab masing-masing, sistem pendanaan dan kontrak pelayanan serta tahapan pelaksanaan pembangunan prasarana-sarana yang didukung perencanaan yang berkesinambungan. 3) Sub Sektor Transportasi Laut Dengan semakin banyaknya permintaan pemerintah propinsi dan atau kabupaten/kota untuk membangun suatu IV 233

pelabuhan khususnya pelabuhan samudra maka tatanan kepelabuhanan nasional harus dijadikan acuan sehingga pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dapat memahami kenapa satu lokasi dapat dikembangkan menjadi pelabuhan samudra sementara lokasi yang lain tidak. Dengan demikian pemerintah dapat mengefektif dan effisienkan penggunaan anggaran untuk pembangunan pelabuhan. Dengan semakin terbatasnya kemampuan keuangan negara maka keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan pelayanan transportasi laut sangat diperlukan. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya menciptakan iklim usaha di dunia pelayaran secara terbuka dan jelas aturan mainnya serta adil bagi semua pihak untuk masuk dalam usaha di bidang pelayaran. 4) Sub Sektor Transportasi Udara Dengan semakin banyaknya permintaan pemerintah propinsi dan atau kbupaten/kota untuk membangun suatu bandara khususnya bandara internasional maka tatanan kebandarudaraan nasional harus dijadikan acuan sehingga pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dapat memahami kenapa satu lokasi dapat dikembangkan menjadi bandara internasional sementara lokasi yang lain tidak. Untuk itu perlu disusun dan disosialisasikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Daerah. Dengan demikian pemerintah dapat mengefektif dan effisienkan penggunaan anggaran untuk pembangunan bandara. Dengan semakin terbatasnya kemampuan keuangan negara maka keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan pelayanan transportasi udara sangat diperlukan. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya menciptakan iklim usaha di dunia penerbangan secara terbuka dan jelas aturan mainnya serta

IV 234

adil bagi semua pihak untuk masuk dalam usaha di bidang penerbangan. Dengan semakin banyaknya perusahaan penerbangan yang beroperasi di Indonesia yang menawarkan tarif yang sangat murah maka selain dilakukan pengawasan yang ketat atas kelaikan pesawat udara tetapi juga evaluasi kinerja keuangan perusahaan penerbangan tersebut untuk memberikan keyakinan bahwa operasi penerbangan dijamin aman. 5) Sub Sektor Meteorologi, Geofisika dan SARNAS Di bidang meteorologi dan geofisika, masih diperlukan penataan system pendanaan dan alternative pendanaan investasi yang lebih meningkatkan akuntabilitas dan mengoptimalkan sumber pendanaan yang ada, diantaranya pengidentifikasian dan pemisahan pelayanan yang bersifat pelayanan umum dan komersial, agar akuntabilitas system pendanaan untuk kebutuhan investasi, pemeliharaan dan operasi fasilitas peralatan dan sarana maupun pengembangan SDM-nya serta pengembangan pelayanan jasa meteorology dapat lebih efektif dan efisien. Di bidang pencarian dan penyelamatan, perlu diupayakan restrukturisasi dan reposisi Badan SAR Nasional, serta masterplan reposisi sector dan Badan SAR Nasional agar lebih efektif dan jelas peran dan fungsi-nya dalam era otonomi daerah serta memadukan dan memberdayakan peran serta instansi terkait maupun instansi di Daerah dan masyarakat dalam penanganan pencarian dan penyelamatan secara lebih luas agar lebih efektif dan efisien dalam organisasi, pendanaan, SDM serta mobilisasi pelaksanaan, dan kecepatan dan ketepatan hasilnya.

IV 235

7.

Memanfaatkan Berkelanjutan 7.1. 7.1.1

Kekayaan

Sumberdaya

Alam

Secara

Program Pengembangan Kelautan Program Pengembangan Kelautan

a. Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk (1) mengembangkan serta memberdayakan masyarakat kepulauan dan wilayah pesisir; (2) meningkatkan upaya rehabilitasi dan konsercvasi habitat pesisir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, setuaria, yang berbasis masyarakat dalam rangka melestarikan plasma nutfah, penyediaan bahan baku, perlindungan lingkungan hidup dan jasa pariwisata; (3) meningkatkan pengamanan dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan, ternmasuk sumberdaya perikanan; (4) melakukan penataan terhadap perairan dan sumberdaya pesisir dan lautn; (5) meningkatkan pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, lautandan pulau-pulau kecil; dan (6) meningkatkan efisiensi dan produktivitas sumberdaya perikanan, pesisir dan lautan melalui keterpaduan pengelolaan antar berbagai pemanfaat secara adil, berimbangn dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran program ini adalah (1) terciptanya peningkatan pendapatan masyarakat dan mnelayan di wilayah pesisir dan pulau-pulau terpencil; (2) terciptanya peningkatan nilai riil sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta perikanan dan peningkatan peranan produk dan jasa maritim dan kelautan; (3) Terciptanya pemantapan status kawasan pesisir dan pulaupulau kecil; (4) terciptanya peningkatan pengelolaan berbasis masyarakat dalam uapaya rehabilitasi dan konservasi habitat pesisir, seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dan lainnya; (5) terciptanya peningkatan kesadaran masyarakat dan pemahaman masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang berkelanjutan; IV 236

(6) terciptanya peningkatan peran kawasan lindung kawasan konservasi laut dalam perekonomian masyarakat wilayah pesisir dan lautan; (7) terwujudnya peningkatan investasi dan peluang usaha bidang maritim dan lautan; (8) terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang efisien dan berkelanjutan; (9) terintegrasikannya pembangunan daratan, pesisir dan lautan dalam satu kesatuan pengembangan wilayah serta terselenggaranya pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang serasi; (10) terwujudnya peningkatan pemanfaatan pulau-pulau terpencil,terumbu karang dan sumberdaya perikanan bagi masyarakat secara optimaldan berkelanjutan; (11) terwujudnya peningkatan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, pesisir dan lautan. Arah kebijakan yang dicakup adalah (1) mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat; (2) mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan disetiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, industri kecil dan kerajinan rakyat; (3) meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana publik, termasuk transportasi; (4) mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana pembangunan sistem agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumberdaya alam; (5) mengelola sumberdaya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi; (6)

IV 237

Membina Infrastruktur data spasial kelautan untuk peningkatan akses informasi sumber daya kelautan. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Dalam rangka mengamankan potensi ikan di laut dan menekan kerugian negara akibat pencurian ikan (illegal fishing) telah dilakukan pembenahan sistem perijinan usaha perikanan, pengembangan Vessel Monitoring System/Monitoring Control and Surveillance (VMS/MCS), peningkatan peran masyarakat dalam pengawasan melalui Sistem Pengawasan Masyarakat (Siswasmas) dan Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokwasmas), pengoperasian kapal inspeksi dan alat Komunikasi Teknologi Maju (Alkomtekma), pelaksanaan gelar operasi penertiban laut DKP bersama TNI-AL dan Polairud-Polri serta penambahan tenaga pengawas/PPNS. Dalam rangka pengendalian penambangan pasir laut secara illegal, telah dibentuk Tim Pengendali dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (TP4L) berdasarkan Kepres No. 33 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Tim ini telah berhasil menyusun berbagai peraturan dan pedoman kegiatan penambangan ekspor pasir laut. Selanjutnya dalam rangka pencegahan pencurian ikan dan ekspor pasir laut secara illegal telah dikeluarkan Kepres Nomor 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan secara adil dan bijaksana, disusun Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yang pada saat ini sedang dalam tahap pembahasan antar instansi terkait. Dalam rangka penataan dan penegakkan hukum di laut, telah dilakukan koordinasi antara aparat keamanan di laut IV 238

dan aparat penegak hukum untuk mempercepat proses penyidikan dan peradilan bagi tindakan pelanggaran khususnya di bidang kelautan dan perikanan. Selama periode 2000-2001, telah diselesaikan sebanyak 186 kasus terhadap pelanggaran pidana di bidang kelautan dan perikanan. Dalam upaya meningkatkan kualitas ekosistem pesisir dan laut, telah dilakukan upaya pengelolaan sumber daya laut dan pesisir terpadu. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan berkelanjutan sumber daya alam bagi kepentingan perlindungan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi dalam menunjang desentralisasi pemerintahan. Selain itu, telah dilaksanakan pula penyusunan Tata Ruang Laut, Pesisi, dan Pulau-Pulau Kecil dan 8 di antaranya telah disahkan dalam bentuk PERDA dan 43 kabupaten/kota sedang dalam proses, rehabilitasi terumbu karang di 6 propinsi meliputi 12 Kabupate/kota, penetapan kawasan konservasi laut lokal/daerah (KKLD) di 4 lokasi, pelaksanaan Gerakan Nasional Bersih Laut dan Pantai dari sampah-sampah organic dalam rangka pengendalian pencemaran pantai dan laut, serta mitigasi bencana di daerah pantai Utara Jawa. Dalam rangka penanganan pulau-pulau kecil, telah dilaksanakan identifikasi potensi dan pembuatan data dasar di beberapa pulau, serta penguatan infrastruktur pulau-pulau kecil dengan penyediaan peralatan desalinasi, alat komunikasi, sarana listrik tenaga surya dan pabrik es mini di beberapa pulau kecil. Disamping itu, guna menjaga kondisi ekosistem pulau-pulau kecil telah dilaksanakan rehabilitasi mangrove, penanaman terumbu karang, dan pembuatan bangunan pelindung pantai. Dalam rangka pengembangan riset dan teknologi di bidang kelautan dan perikanan, telah dikembangkan teknologi di bidang perikanan tangkap berupa jenis kapal, jenis jaring, dan majemen penangkapannya. Riset-riset perikanan budidaya khususnya dalam bidang pembenihan IV 239

telah menghasilkan benih beberapa komoditi unggulan yang mempunyai nilai ekonomis penting, seperti kerapu bebek, ikan napoleon, kepiting bakau, ikan tuna, ikan betutu, udang galah, kakap merah, udang vannanmei, dan patin jambal. Pembangunan bidang kelautan dan perikanan dalam tiga tahun terakhir telah menunjukkan kemampuannya dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 2000-2001, Produk Domestik Bruto (PDB) sub-sektor perikanan, mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,65 persen per tahun. Pada tahun 2001, PDB sub-sektor perikanan mencapai sekitar Rp34,67 triliun atau sekitar 2,33 persen terhadap PDB nasional, dan pada tahun 2002 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp46,61 triliun atau sekitar 2,89 persen dari PDB nasional, dan pada tahun 2003 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp44,79 triliun atau sekitar 3,1 persen dari PDB nasional. Sementara itu, dalam kurun waktu 2000-2003, produksi perikanan telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,21 persen per tahun. Pada tahun 2000 produksi tersebut mencapai sebesar 5,1 juta ton, dan pada tahun 2003 menjadi sebesar 5,9 juta ton. Sedangkan volume ekspor hasil perikanan pada tahun 2001 mencapai 0,48 juta ton dengan perolehan devisa sebesar US$ 1,63 juta. Perolehan nilai devisa ini menurun pada tahun 2002 menjadi sebesar US$ 1.57 juta dengan volume ekspor mencapai sekitar 0,51 juta ton. Pada tahun 2003 devisa yang diperoleh menjadi sebesar US$ 2,0 miliar dengan volume ekspor mencapai sekitar 696 ribu ton. Peningkatan penerimaan devisa dan volume ekspor tersebut antara lain karena meningkatnya pembinaaan mutu hasil perikanan dan peningkatan pelayanan dalam penerbitan sertifikat mutu hasil perikanan. Ekspor perikanan dalam kurun waktu 2000 2003 mengalami kenaikan rata-rata 11% pertahun, namun hal tersebut tidak setara dengan kenaikan IV 240

devisa yang diperoleh hanya rata-rata naik sebesar 7,09% pertahun, hal ini disebabkan karena a) beberapa negara pengimpor cenderung memperketat persyaratan dan atau menambah persyaratan baru baik yang terkait dengan mutu maupun isu lingkungan, b) tarif impor yang tinggi, c) penurunan harga jual produk perikanan dipasar internasional. Konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia, untuk kurun waktu 2000-2003 menunjukan peningkatan rata-rata sebesar 4,61% hal ini disebabkan karena kampanye gemar makan ikan sebagai makanan yang bergizi dan memiliki kandungan protein tinggi terus disebarkan melalui media, selain itu karena perubahan pola konsumsi yang terkait dengan kondisi ekonomi masyarakat yang meningkat. Untuk meningkatkan jangkauan, kuantitas, dan peningkatan mutu penangkapan dilaksanakan kegiatan motorisasi dan modernisasi kapal nelayan, peningkatan jumlah kapal motor perikanan naik sebesar 1,83% per tahun dari 449 ribu pada tahun 2000 menjadi 474 ribu pada tahun 2003 dan komposisi kapal dengan ukuran tonage lebih besar semakin banyak. Penyerapan tenaga kerja, bidang kelautan dan perikanan secara langsung mampu menyerap lebih dari 3,4 juta orang nelayan dan 2,2 juta pembudidaya ikan. Secara tidak langsung telah mampu memberikan dampak (multiplier effect) yang cukup luas bagi penyediaan lapangan kerja di sektor-sektor terkait yang diperhitungkan hampir mencapai sekitar 20 juta orang. Jumlah nelayan penangkap ikan untuk kurun waktu 2000-2003 naik rata-rata sebesar 3,86% per tahun dari 3,1 juta orang menjadi 3,4 juta orang, demikian juga jumlah pembudidaya ikan naik 1,13% per tahun dari 2,1 juta orang pada tahun 2000 menjadi 2,3 juta orang pada tahun 2003. Luas areal budidaya ikan naik sebesar 3,72% per tahun dari dari 654 ribu ha pada tahun 2000 menjadi 730 ribu ha pada tahun 2003. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya, telah IV 241

dilakukan peningkatan ekonomi produktif melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP); program intesifikasi pembudidayaan ikan (Inbudkan) melalui intensifikasi budidaya udang, kerapu, rumput laut, dan nila; pengembangan budidaya di pedesaan (Bupedes); program pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil (PUPTSK); dan penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB). Pendapatan nelayan semenjak dilaksanakan kegiatan PEMP pada tahun 2000 telah terjadi peningkatan pendapatan anggota peserta program PEMP. Sampai dengan tahun 2004 kegiatan ini telah dilaksanakan di 527 kabupaten/kota di 30 propinsi. Pendapatan peserta setelah menjadi anggota mengalami kenaikan yang significant. Pada kegiatan legislasi, dalam tahun 2002 telah diterbitkan beberapa Peraturan Pemerintah dan Kepres yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan dan telah ditindaklanjuti dengan Kep Men DKP, yaitu (1) PP No. 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan; (2) PP No. 54 Tahun 2002 tetang Usaha Perikanan, (3) KEPPRES No. 126 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, (4) KEPPRES No. 14 Tahun 2000, (5) PP No. 58 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Dept. KP di bidang Jasa Riset Kelautan dan Perikanan, (6) PP No.62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Dept. KP, dan (7) INPRES No. 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut. Selain itu telah dilakukan revisi UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang masih dalam proses hak inisiatif DPR-RI dan persiapan penyusunan peraturan perundangan yang rinciannya: (1) RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, (2) RPP tentang sarana penangkapan Ikan, (3) Rancangan Kepres tentang Pengelolaan Perikanan Teluk Tomini, dan (4) Rancangan Kepres tentang Pngelolaan Pulau Terluar.

IV 242

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Dalam pelaksanaan program ini berbagai permasalahan yang dihadapi antara lain adalah masih banyaknya praktek illegal, unregulated, and unreported fishing yang sangat merugikan negara, dan terjadinya penambangan pasir laut yang tidak ramah lingkungan dan ilegal. Data dan informasi kelautan dan perikanan yang penting bagi proses perencanaan dan pengambilan keputusan masih terbatas, dan tersebar serta belum tertata dalam satu sistem yang mudah diakses. Masalah penting lainnya adalah adanya ketimpangan tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut yang lain dan belum optimalnya pemanfaatan benda-benda berharga. Selain itu, dukungan sarana dan prasarana yang terbatas dan tidak merata, serta sumber daya manusia, dan teknologi masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari struktur armada yang masih pincang, hanya kurang dari 2% dari jumlah armada perikanan nasional yang dikategorikan sebagai nelayan modern, belum memadainya dukungan prasarana perbenihan dan penanganan kesehatan lingkungan untuk menunjang usaha perikanan, rendahnya tingkat pendidikan nelayan dan pembudidaya ikan sehingga proses alih teknologi menjadi sulit, kurangnya tenaga ahli di bidang perikanan, dan terbatasnya iptek adaptif pada pengembangan budidaya perikanan. Selanjutnya, masalah lainnya adalah masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan, lemahnya market intelligence yang meliputi meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan, kurang sarana dan prasarana sistem transportasi yang mendukung distribusi produk perikanan terutama di luar Jawa dan Bali, kurangnya dukungan permodalan usaha yang memadai karena usaha kelautan dan perikanan masih dianggap berisiko dan kurang IV 243

menguntungkan. Selain itu, masalah lainnya adalah kurang aktifnya Indonesia dalam forum internasional, kebijakan moneter, fiskal dan investasi belum kondusif untuk usaha perikanan, dan ekspor komoditas kelautan dan perikanan sering mendapat hambatan tariff dan non-tariff yang dikaitkan dengan isu lingkungan dan kesehatan. Terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut dan pesisir baik berupa kerusakan fisik maupun pencemaran juga menjadi masalah di bidang kelautan dan perikanan. Rusaknya hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun diakibatkan oleh cara penangkapan ikan yang salah, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian ekosistem, pengendalian pencemaran yang kurang kondusif, serta lemahnya pengawasan dan sosialisasi. Selain itu, adanya konflik penggunaan ruang laut dan pesisir terjadi hampir di semua wilayah yang padat akan kegiatan akibat belum adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang sebagai acuan seluruh sektor pengguna wilayah laut dan pesisir. Kesadaran publik tentang arti penting dan nilai strategis sumber daya kelautan dan perikanan yang masih rendah juga menjadi masalah dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Selain itu, masalah keamanan dan kepastian hukum serta penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan pun masih lemah. iii. Tindak Lanjut Langkah yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, adalah koordinasi dengan Departemen/instansi terkait termasuk Pemerintah Daerah dan masyarakat, selain itu perlu dilakukan upaya antara lain: (1) membangun sistem informasi dan data base kelautan dan perikanan yang terintegrasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat, (2) pengembangan sistem sarana, prasarana pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan IV 244

perikanan melalui penyempurnaan dan pengembangan sistem MCS (Monitoring Controlling and Surveilance) dan pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS), (3) memelihara keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan serta ekosistem pesisir, lautan dan perairan tawar, (4) pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat dan sumberdaya kelautan dan perikanan, (5) pendayagunaan benda-benda berharga yang tenggelam di laut dan pengelolaan pasir laut secara lestari, (6) pemantapan tata ruang nasional dan daerah, (7) meningkatkan kemampuan dan ketrampilan sumberdaya manusia perikanan, termasuk nelayan, pembudidaya, dan masyarakat pesisir lainnya, serta penerapan IPTEK yang aplikatif, serta peningkatan riset teknologi kelautan, (8) mengembangkan sarana dan prasarana perikanan termasuk karantina, serta perkuatan kelembagaan, (9) pengembangkan usaha perikanan tangkap nasional secara efisien, lestari dan berbasis kerakyatan, (10) pengendalian dan peningkatan pelayanan perizinan usaha perikanan, (11) mengembangkan dan memperkokoh industri penanganan dan pengolahan serta pemasaran hasil kelautan dan perikanan serta pengembangan sistem permodalan dan investasi, (12) meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil produksi perikanan, (13) mengembangkan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan serta revitalisasi usaha budidaya tambak, serta (14) meningkatkan profesionalisme perencanaan dan tatalaksana aparat di pusat dan daerah. 7.2. 7.2.1 Pengembangan dan Pengelolaan Hutan dan Lahan Program Pengembangan dan Pengelolaan Hutan dan Lahan

a. Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu dan produktivitas hutan melalui pengelolaan hutan secara efisien, adil, IV 245

dan berkelanjutan sehingga meningkatkan kontribusi hutan terhadap perekonomian nasional dan daerah serta kesejahteraan masyarakat; (2) meningkatkan efesiensi dan produktivitas sumber daya lahan melalui keterpaduan pengelolaan antarberbagai pemanfaatan secara adil, berimbang, dan berkelanjutan sehingga lebih dapat meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran program ini adalah (1) meningkatnya pengelolaan lahan hutan kurang produktif serta berkembangnya hutan rakyat dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat; (2) meningkatnya nilai riil hasil hutan serta meningkatnya peranan produk dan jasa hutan; (3) meningkatnya peran hutan lindung dan hutan konservasi dalam perekonomian masyarakat; (4) menurunnya pencurian, perambahan hutan, serta kebakaran hutan; (5) meningkatnya kemantapan status kawasan hutan berbasis pengakuan masyarakat; (6) terselenggaranya restrukturisasi sistem pengelolaan hutan; (7) meningkatnya efisiensi pembalakan (logging) dan industri kehutanan; (8) terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan hutan yang efisien dan lestari; (9) meningkatnya investasi dan peluang usaha bidang kehutanan; (10) meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat; (11) meningkatnya keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi dalam pemanfaatan lahan dan hutan; (12) terpeliharanya fungsi kawasan konservasi, lindung, keanekaragaman hayati dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan; (13) berkurangnya lahan-lahan kritis pertanian dan kehutanan; (14) meningkatnya kepastian hak atas lahan; (15) berkurangnya konflik atas lahan; dan (16) berkembangnya kelembagaan masyarakat yang mampu mengelola lahan secara terpadu. Arah kebijakan dari program ini adalah (1) melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran, yang merupakan dampak krisis ekonomi dengan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan yang tersisa serta memulihkan hutan yang rusak, sehingga fungsi-fungsinya secara menyeluruh dapat IV 246

kembali optimal dan dapat memberi manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara jangka panjang; (2) mendayagunakan sumber daya hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam batas daya dukungnya dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta berlangsungnya kehidupan sosial masyarakat yang sehat; (3) meningkatkan peranserta seluruh pihak dalam memelihara kelestarian fungsi sumber daya hutan; (4) meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya hutan dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dengan meneraplan teknologi ramah lingkungan; dan (5) mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan secara selektif sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai adalah (1) terlaksananya proses dialog dalam kerangka proses Program Kehutanan Nasional (National Forest Program); (2) tersusunnya Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) sebagai komitmen bersama dalam penanganan sumberdaya hutan dan lahan, mengoptimalkan pemanfaatan Dana Reboisasi dan menunjang pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang efektif dan efisien; (3) tersusunnya rencana penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di 14 propinsi seluas 300.000 Ha pada tahun 2003, dan di 31 propinsi seluas 500.000 pada tahun 2004; (4) meningkatnya pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian sumberdaya hutan; (5) tersusunnya Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk dan proses kehutanan; (6) terbinanya hubungan kerjasama luar negeri dalam mendukung Sustainable Forest Management di Indonesia; (7) tersedianya kriteria dan standar inventarisasi hutan dalam rangka pengembangan dan penerapan sistem (kriteria, standar dan indikator) pengelolaan hutan lestari, serta IV 247

mengembangkan sistem standardisasi dan sertifikasi kehutanan; (8) terlaksananya MoU dengan LSM dan Instansi terkait dan kesepakatan dengan masyarakat di beberapa lokasi dalam rangka pengembangan kemitraan pengelolaan hutan, manajemen kolaborasi kawasan konservasi dan melaksanakan pengamanan hutan bersama masyarakat melalui Pengamanan Swakarsa; (9) tersedianya lokasi pencadangan yang layak sebagai areal kerja social forestry guna mendapatkan kepastian hukum areal kerja bagi masyarakat; (10) terbinanya 680 desa (9 propinsi) dalam rangka pembinaan kelompok tani hutan yang mengembangkan usaha-usaha produktif dalam bentuk agroforestry serta pembinaan/pemberdayaan daerah penyangga kawasan konservasi; (11) diterbitkannya Keputusan Menhut No 124/Kpts-II/2003 dan No. 128/KptsII/2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Pembayaran dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi; dan (12) tersedianya informasi pasar hasil hutan yang sudah dapat diakses melalui jaringan/LAN dalam rangka penyusunan database dan sistem jaringan informasi pemasaran hasil hutan dan kebutuhan konsumen baik di dalam maupun luar negeri. ii. Permasalahan dan tantangan

1) RPP Perencanaan Kehutanan belum disahkan karena ada materi/substansi yang belum disepakati oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam hal usaha pertambangan di hutan lindung dan kegiatan perubahan peruntukan kawasan hutan. 2) Belum seluruh masyarakat sebagai pelaku menerima kebijakan/program Social Forestry karena landasan program Social Forestry masih sektoral sedangkan lingkup kegiatan serta target yang ditetapkan bersifat lintas sektoral. 3) Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan konservasi masih tinggi serta banyaknya kepentingan dari berbagai pihak. IV 248

4) SNI belum menjadi kebutuhan konsumen dan belum ada dukungan yang nyata dari lembaga sertifikasi terhadap pentingnya penerapan SNI. 5) Dalam pelaksanaan RHL Proses multipihak yang dikembangkan belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. iii. Tindak lanjut 1) Melakukan kerjasama lembaga donor secara lebih instensif dan profesional. 2) Melakukan observasi lapangan terhadap areal kerja yang dicalonkan untuk kegiatan Social Forestry serta meningkatkan koordinasi dengan masyarakat sekitar hutan. 3) Melakukan pendaftaran ulang terhadap kondisi dan jumlah satwa dilindungi yang berada di luar habitatnya serta melakukan pengumpulan data/informasi satwa dilindungi yang tersebar di setiap wilayah provinsi. 4) Memperbanyak upaya sosialisasi, publikasi, kampanye melalui berbagai media dan metoda sehingga menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam rangka mewujudkan kemampuan dan peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan. 5) RPP Perencanaan Kehutanan disampaikan ke Setkab untuk dibahas kembali (finalisasi) 7.3. 7.3.1 Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumbersumber Air

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk meningkatkan fungsi, pemanfaatan dan produktivitas sumber-sumber air dengan mewujudkan keterpaduan pengelolaan yang menjamin IV 249

kelestarian, kemampuan keterbaharuannya, melindungi daerahdaerah rawan bencana terhadap bencana banjir, serta mengamankan pantai dari abrasi terutama wilayah perbatasan untuk melindungi keutuhan wilayah NKRI. Adapun sasaran program ini adalah (1) terbentuknya kelembagaan dan peraturan pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air yang dapat menegakkan hak guna air yang adil; dan (2) meningkatnya fungsi dan kelestarian sumber-sumber air; (3) meningkatnya pemanfaatan dan produktivitas sumbersumber air melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas serta kemandirian operasi dan pemeliharaan dan pelestarian prasarana penampung air dan sumber-sumber air alami; (4) meningkatnya keterpaduan penggunaan dan pengendalian pencemaran air tanah dan air permukaan; (5) semakin berkurangnya daerah rawan banjir dan berkurangnya korban dan kerugian harta benda akibat banjir; (6) batas pantai terutama di wilayah perbatasan wilayah negara dapat dipertahankan. Untuk mencapai tujuan dan sasaran di atas, maka kebijakan pengembangan sumber-sumber air diarahkan pada: 1) penataan kelembagaan yang mencakup fungsi, tugas, kewenangan, dan tanggung jawab lembaga pengelola sumber daya air, serta terbentuknya wadah koordinasi yang dapat mengkoordinasikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan stakeholder, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumbersumber air yang dapat meningkatkan keberlanjutan fungsi infrastruktur sumber daya air dengan prinsip pemberdayaan, (3) meningkatkan kualitas pengoperasian, pemeliharaan, perbaikan, dan pengembangan waduk, danau, situ, telaga, embung, alur sungai, serta bangunan penampung air lainnya; (4) meningkatnya keterpaduan penggunaan dan pengendalian pencemaran air tanah dan air permukaan; (5) mengutamakan pengendalian daya rusak air secara non konstruksi dengan memperhatikan potensi dan budaya lokal, (6) penegakan hukum terhadap pelanggaran sempadan sungai, (7) meningkatkan kualitas pengoperasian, pemeliharaan, perbaikan, dan pengembangan prasarana pengendalian banjir dan abrasi pantai; (8) serta mengamankan IV 250

pantai dari abrasi terutama pada pulau-pulau terpencil dan terluar di daerah perbatasan dalam rangka menjaga keutuhan wilayah NKRI. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai

Dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2004 telah berhasil dilaksanakan berbagai kegiatan, antara lain: (1) Disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Sumberdaya Air sebagai pengganti Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pengganti Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan; (2) diadopsinya Sistem Informasi dan Jaringan Basis Data Nasional Sumberdaya Air oleh semua instansi terkait dan beroperasinya Unit Data Sumberdaya Air (water resources data centre) yang mengkonsolidasi data dari seluruh propinsi; (3) selesainya berbagai Konsep Rancangan Peraturan Pemerintah antara lain tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, Perum Jasa Tirta I, Perum Jasa Tirta II, Pengusahaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai, Pembiayaan Pengelolaan Sumberdaya Air, Sungai sebagai revisi PP Nomor 35 Tahun 1991, dan Air Tanah serta Rancangan Keputusan Menteri sebagai pedoman pelaksanaan operasional pengelolaan sumber daya air. Selain kegiatan di atas, dalam tahun 2001 juga dilakukan kegiatan fisik berupa pengoperasian dan pemeliharaan terhadap 62 waduk/ danau/ situ, rehabilitasi 54 embung, lanjutan pembangunan 1 bendungan, dan pembangunan 24 embung. Kegiatan yang dilakukan tahun 2002 adalah pengoperasian dan pemeliharaan terhadap 41 waduk/ danau/ situ, rehabilitasi 33 embung, lanjutan pembangunan 1 bendungan, dan pembangunan 6 embung. Sedangkan tahun 2003 dilakukan pengoperasian dan pemeliharaan terhadap 105 bendungan/waduk/ danau/ situ, rehabilitasi 58 embung, pembangunan 10 bendungan baik baru maupun pekerjaan lanjutan, dan pembangunan 18 embung. Tahun 2004 IV 251

dilakukan pengoperasian dan pemeliharaan terhadap 14 bendungan/waduk/danau/situ, rehabilitasi 40 embung, pembangunan 4 bendungan baik baru maupun pekerjaan lanjutan, dan pembangunan 20 embung. Dalam kurun waktu tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 dari sejumlah bendungan di atas, sebanyak 6 bendungan besar dapat diselesaikan, yaitu: Bili-Bili di Sulawesi Selatan, Batu Tegi di Lampung, Batu Bulan dan Pelaperado di Nusa Tenggara Barat, Wonorejo di Jawa Timur, dan Tilong di Nusa Tenggara Timur. Bendungan-bendungan tersebut dapat menambah kapasitas tampung air sebanyak 1.224 juta meterkubik yang dapat memberikan jaminan pasokan air irigasi pada lahan seluas 93 ribu hektar, air baku sebanyak 10.600 liter/ detik dan listrik sebesar 28 MW. ii. Permasalahan dan Tantangan

Dalam pelaksanaan Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air masih terdapat permasalahan, antara lain: (1) meningkatnya tekanan penduduk terhadap lingkungan yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan air; (2) belum efektifnya peraturan perundangan terkait dengan penataan ruang dan perlindungan cacthment area; (3) pertumbuhan slum area di daerah bantaran sungai yang makin mempersempit alur sungai sehingga daya pengaliran sungai tidak optimal; (4) masih berlangsungnya penggundulan dan konversi lahan di upstream untuk kepentingan perumahan dan sektor lainnya; (5) belum efektifnya penegakan hukum bagi pelaku illegal logging yang menghancurkan catchment area; (6) pemahaman yang salah sebagian masyarakat yang mengganggap keterlibatan swasta dalam investasi pengelolaan sumberdaya air akan merugikan kelompok-kelompok marginal. Tantangan dalam pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber air, yaitu (1) meningkatnya pemahaman publik dan pers tentang pentingnya air bagi kehidupan IV 252

manusia; (2) meningkatnya kesadaran para pemanfaat bahwa air dibutuhkan untuk kepentingan berbagai sektor; dan (3) meningkatnya perhatian instansi terkait untuk melakukan koordinasi pengelolaan sumber-sumber air. iii. Tindak Lanjut Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka untuk melaksanakan Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air masih perlu tindak lanjut berupa: (1) pemantapan penataan ruang secara integratif antara kawasan hulu dan hilir; (2) penerapan sistem insentif bagi daerah hulu sebagai penyedian sumber air, disamping diterapkannya sistem dis-insentif bagi para pencemar; (3) peningkatan efektifitas penegakan hukum bagi pelaku illegal logging; (4) melaksanakan lebih banyak kegiatan-kegiatan non struktural dalam melestarikan sumber-sumber air maupun penanggulangan banjir dengan memperhatikan kearifan dan budaya lokal; (5) peningkatan pemahaman publik tentang pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan yang memberikan peran bagi semua stakeholder untuk mencapai alokasi dan pemanfaatan sumberdaya air optimal atas dasar keadilan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat; dan (6) mengupayakan percepatan penyelesaian peraturan perundang-undangan turunannya dengan melibatkan stakeholders. 7.4 Program Pemanfaatan Sumberdaya Mineral 7.4.1 Program Pemanfaatan Sumberdaya Mineral

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk meningkatkan penerapan metoda penambangan yang baik dan benar serta sesuai dengan kondisi lingkungannya dan meningkatkan produksi komoditi olahan dan bahan baku industri yang berasal dari pertambangan serta mengurangi impor. Sasaran yang ingin dicapai adalah (1) IV 253

meningkatnya umur produktif pada pengelolaan cadangan sumber daya mineral; (2) menurunnya dampak negatif kerusakan lingkungan akibat usaha pertambangan; (3) lebih terbukanya peluang bagi daerah otonom untuk lebih meningkatkan ekonomi dan pendapatan asli daerah; (4) terciptanya iklim usaha pertambangan yang mendorong kegiatan ekstraksi pertambangan dengan memperhatikan kesinambungan kegiatan ekonomi pasca tambang; (5) meningkatnya kemampuan penyediaan informasi sumber daya mineral di pusat maupun di daerah dengan mengutamakan kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaan pertambangan dan geologi yang ada di dalam negeri; (6) bertambahnya kemampuan survey geologi dan potensi mineral di daerah lepas pantai dan lautan; dan (7) meningkatnya kepastian berusaha bagi pertambangan rakyat ataupun pertambangan secara umum Adapun arah kebijakan program adalah mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetisi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat. b. Pelaksanaan i. Hasil yang dicapai

Hasil yang telah dicapai pada tahun 2001 adalah menerbitkan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai upaya melakukan restukturisasi kegiatan migas, melakukan promosi dan penawaran investasi wilayah kerja migas dan pertambangan umum, serta melanjutkan pelaksanaan bimbingan dan bantuan teknis di bidang geologi dan sumber daya mineral kepada Pemerintah Daerah dalam upaya mendukung program otonomi daerah.

IV 254

Adapun pada tahun 2002 kegiatan yang telah dilakukan adalah pengembangan pembuatan briket batubara, pemanfaatan batubara peringkat terendah untuk pembangkitan tenaga listrik, pengembangan teknologi pencairan batubara dan teknologi batubara untuk industri. Selain hal tersebut telah diterbitkan dua buah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaan dari UU No.22 tahun 2001 yaitu PP No. 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan PP No.67/2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian BBM dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa, PP no 31 tahun 2003 tentang pengalihan bentuk perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara (pertamina) menjadi perusahaan perseroaan (persero), serta melakukan kajian pengembangan wilayah pertambangan mineral dan batubara. Pada tahun 2003 hasil yang telah dicapai adalah upaya peningkatan produksi migas dengan telah ditandatanganinya Kontrak Kerja Sama (KKS) dalam bentuk PSC sebanyak 15 KKS, telah diterbitkannya buku pedoman community development di sektor ESDM, penyusunan prosedur pengalihan dan penilaian saham divestasi saham KK dan PKP2B, serta pengoperasian Pilot Plant Upgrading Brown Coal (UBC) di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat. Pada tahun 2004 telah teridentifikasi beberapa kegiatan antara lain pembangunan kapal survei untuk eksplorasi geologi kelautan, melanjutkan penyelesaian RUU Pertambangan Umum dan penyempurnaan rancangan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU No. 22 tahun 2001, meneruskan kegiatan promosi dan penawaran investasi wilayah kerja migas dan pertambangan umum sebagai upaya meningkatkan produksi pertambangan di tahun-tahun mendatang. ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan program ini adalah koordinasi dengan sektor lain yang terkait IV 255

seperti tumpang tindih pemanfaatan lahan antara pertambangan dan kehutanan, selain itu masih dirasakan adanya permasalahan dalam penerapan otonomi daerah di sektor pertambangan seperti tuntutan terhadap bagi hasil migas dan pertambangan karena belum dipahaminya mekanisme pembagian produksi antara Pemerintah dan daerah penghasil, penerbitan Perda-perda yang berorientasi PAD menjadikan disinsentif bagi investor. Permasalahan lainnya adalah makin menurunnya produksi minyak dan juga menurunnya investasi baru di bidang pertambangan Adapun faktor yang menyebabkan terhambatnya pencapaian indikator kinerja program pemanfaatan sumber daya mineral adalah: (1) masih belum diterbitkannya beberapa Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, (2) timbulnya ego sektor yang tidak terkoordinasi dalam mengambil kebijakan sehingga menimbulkan permasalahan di dalam pelaksanaan di lapangan, (3) belum adanya persepsi yang sama pada Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota tentang perlunya standarisasi dan penerapan akreditasi serta sertifikasi dalam pengawasan pertambangan. iii. Tindak Lanjut

Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang menghambat upaya pencapaian indikator kinerja program pemanfaatan sumber daya mineral, antara lain diusulkan beberapa rekomendasi dan usulan tindak lanjut sebagai berikut: (1) melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan dengan sektor lain yang terkait, seperti Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, (2) meningkatkan dan mengintensifkan pelaksanaan sosialisasi kebijakan/peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah Daerah dan juga penyebarluasan informasi tentang perhitungan produksi migas dan pertambangan sebagai dasar dalam penetapan bagi hasil antara pusat dan daerah, (3) penyempurnaan dan penyelesaian beberapa peraturan perundang-undangan yang IV 256

mengatur kegiatan migas dan pertambangan dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha di bidang pertambangan.

IV 257

Anda mungkin juga menyukai