Anda di halaman 1dari 4

Pembikan massal serangga merupakan kegiatan pembiakan spesies organisme serangga sesuai dengan jumlah yang diharapkan dengan

teknik atau metode tertentu. Teknik pembiakan massal harus disesuaikan dengan pakan dan tempat atau lingkungan hidupnya di alam. Dalam usaha pembiakan massal serangga, perlu diperhatikan jumlah pakan sebagai tahap pertumbuhan; tempat serangga sebagai kandang; kondisi ruang pembiakan yang mencakup kelembaban, suhu dan intensitas penyinaran; biologi serangga dan skala jumlah atau banyaknya serangga yang akan dibiakkan. Lama pembiakan atau tingkatan generasi dalam pembiakan menentukan kualitas serangga, semakin lama pembiakkan dilakukan di laboratorium semakin menurun kualitasnya. Hal ini dikarenakan kondisi laboratorium merupakan bentuk populasi tertutup yang sangat memungkinkan terjadinya inbreeding serta terjadinya perubahan sifat biologi dan perilaku sehingga akhirnya dapat berakibat buruk terhadap serangga biakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan ketika serangga lapang masuk dan dibiakkan di laboratorium seperti: 1. lingkungan abiotik di laboratorium selalu konstan, 2. lingkungan biotik senantiasa terkontrol, 3. suhu, RH, sinar, angin sengaja dibuat sesuai, 4. terjadinya density dependent behavior, 5. proses seleksi pasangan melemah karena terbatasnya ruang gerak Pembiakan massal serangga juga dilakukan di Laboratorium Entomologi Dasar. Jenis serangga yang pernah dan sedang dipelihara di laboratorium tersebut adalah : 1. Helopeltis antonii Helopeltis spp. merupakan hama yang paling dominan pada jambu mete, karena paling cepat menimbulkan kerugian dan mempunyai kisaran tanaman inang yang sangat luas. Karena hal tersebut, banyak usaha yang dilakukan untuk pengendaliannya. Sebelum dilakukan pengendalian, perlu diketahui daur hidup dan morfologinya agar dapat diambil keputusan yang paling tepat dalam usaha pengendaliannya. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeliharaan serangga hama tersebut dari stadia awal hingga menimbulkan kerugian. Cara memelihara serangga ini adalah dengan meletakkannya di dalam toples yang terdapat ventilasi atau lubang yang ditutup dengan kain kasa atau kain dengan lubang yang berukuran kecil. Di dalam toples juga diberi pakan alami yaitu mentimun sebagai pakan pengganti di habitat aslinya. Mentimun merupakan inang alternatif dari serangga tersebut. Untuk menjaga kelembaban, di atas tutup toples di letakkan sebuah gabus basah agar keadaan tempat tidak panas atau kering. Pemeliharaan dilakukan setelah telur menetas dengan memindahkan nimfa ke tempat yang lebih cocok untuk tumbuh. Untuk membedakan jantan dan betina, dapat dilihat dari ukuran abdomennya. Jika serangga tersebut akan dikawinkan, maka biasanya ukuran abdomen betina lebih besar dibandingkan ukuran abdomen jantan. Pemeliharaan telah melewati generasi pertama sehingga sampai saat ini belum ada kesulitan yang cukup berarti.

Dengan adanya usaha pemeliharaan hama ini, maka diketahui bahwa Helopeltis antonii merupakan spesies yang terbanyak di Indonesia dan mempunyai ciri-ciri : bewarna coklat kehitaman, pada bagian toraks terdapat tonjolan seperti jarum pentul, antenanya 4 ruas dan panjangnya dua kali panjang tubuhnya. Faktor yang mempengaruhi kelimpahan populasi hama ini di lapangan; di antaranya musuh alami, interaksi dengan hama lain, pola tanam, inang alternatif, kelembaban, radiasi matahari dan curah hujan. Oleh sebab itu, pemeliharaan yang dilakukan di laboratorium hendaknya tidak jauh berbeda dengan keadaan di alam atau lingkungna tempat hidup (habitat aslinya) agar tidak menimbulkan cekaman dan membuat serangga hama tersebut menjadi stress. Adapula komponen pengendalian yang dapat dimasukkan ke dalam program PHT adalah konservasi populasi semut rangrang, bahan tanaman yang toleran, pemantauan, penggunaan tumpukan serasah, penggunaan Beauveria bassiana dan larutan biji mimba. 2. Bacrtocera carambolae Lalat buah (B. Carambolae) merupakan salah satu hama yang sangat ganas pada tanaman hortikultura diantaranya mangga, belimbing, jambu, nangka, semangka, melon, pare, cabai, dll. Akibat serangan hama ini menyebabkan rendahnya produksi dan mutu buah. Hal ini dapat menurunkan daya saing komoditas hortikultura Indonesia di pasar dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan cara pengendalian yang tepat agar populasi hama tersebut dapat ditekan. Sebelum melakukan pengendalian, hendaknya perlu juga diketahui tentang daur hidup dan morfologi hamanya. Untuk itu harus diberi perlakuan dengan cara memelihara dari stadia telur hingga dewasa sehingga dapat diketahui perilaku hidup yang nantinya digunakan sebagai salah satu upaya untuk pengandalian. Serangga ini dipelihara di dalam kandang buatan yang berbentuk persegi dengan ukuran bebas yang ditutup dengan kain kasa. Kandang ini terutama digunakan untuk memelihara imago. Untuk pemeliharaan larva biasanya di sebuah nampan. Pakan yang diberikan biasanya adalah pakan buatan yang mengandung nutrisi tertentu yang dapat memenuhi kebutuhan serangga tersebut. Kesulitan yang dihadapi adalah adanya semut dan timbulnya jamur pada pakan buatan. Namun demikian, kesulitan tersebut dapat teratasi dengan memberi oli atau air pada masing-masing kaki kandang (istilah jawa dirambang). Sedangkan untuk mengatasi jamur pada pakan diberi asam benzoat. 3. Crocidolomia binotalis Ulat ini menyerang tanaman Brassicaceae yang menyerang bagian dalam tanaman yang terlindung daun hingga mencapai titik tumbuh. Ulat ini takut sinar, sehingga setelah menetas ulat segera memakan daun, terutama daun bagian dalam yang tertutup daun bagian luar. Imago dan larva serangga ini dipelihara di dalam toples, untuk telur diletakkan di nampan. Keadaan lingkungan disekitar harus mendukung pertumbuhan serangga ini, salah satunya adalah keadaan ruang yang tidak terlalu banyak sinar. Imagonya berupa ngengat yang termasuk binatang malam dan tidak mau mendatangi cahaya. Pakan serangga ini antara lain kobis atau caesin untuk larva dan madu 10 % untuk imago. Kesulitan yang dihadapi tidak jauh berbeda dengan pemeliharaan serangga lainnya yaitu semut. Cara mengatasinya juga sama yaitu dengan di rambang air. 4. Spodoptera litura

Pembiakan massal serangga ini sering dilakukan di laboratorium jika dibandingkan serangga lainnya. Hal ini karena daya adaptasi serangga ini yang cepat dan mudah. Selain itu, karena jumlah telur yang relatif banyak, sehingga imago yang dihasilkan juga relatif lebih banyak. Pembiakan dapat dilakukan dari tahap telur ataupun larva. Serangga (misalnya larva) yang akan dibaikkan diambil dari lapangan sesuai dengan kebutuhan. Larva dipelihara di dalam toples, masing-masing instar dibedakan wadahnya, sedangkan untuk telur di pelihara di nampan. Pemeliharaan dilakukan dalam beberapa instar. Dalam usaha pemeliharaan, perlu juga diketahui dan dimengerti daur hidup dari serangga (tidak hanya untuk Spodoptera litura, tetapi untuk jenis serangga lainnya) agar dapat mengetahui kebutuhan nutrisi atau pakan. Pakan yang digunakan adalah kobis atau jika larva tersebut diberi perlakuan, maka dapat juga diberi pakan buatan yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan. Seperti halnya serangga lain, kesulitan yang timbul dalam pemeliharaan larva ini adalah semut. Cara mengatasinya adalah dengan merambang rak-rak tempat menyimpan toples atau namapan yang berisi larva atau telur dan mengganti atau menjaga agar air tidak sampai habis. 5. Plutella xylostella Seperti halnya serangga lainnya, harus diperhatikan juga stadia umur serangga dan biologi dari serangga ini agar dapat dilakukan pembiakkan massal yang baik. Selain pakan, harus diperhatikan pula tempat dan keadaan lingkungan agar sesuai dengan habitat aslinya. Larva dipelihara di dalam toples, masing-masing instar dibedakan wadahnya, sedangkan untuk telur di pelihara di nampan. Pakan yang digunakan adalah caesin. Digunakan juga gelas aqua untuk menanam. Jika akan dikawinkan, maka dibuat kandang untuk kawin. Kesulitan yang timbul dalam pemeliharaan larva ini adalah semut. Cara mengatasinya adalah dengan merambang rak-rak tempat menyimpan toples atau namapan yang berisi larva atau telur dan mengganti atau menjaga agar air tidak sampai habis. 6. Coccinellidae Pembiakan serangga predator ini juga telah dilakukan di laboratorium. Biasanya, untuk imago digunakan cawan petri ataupun toples yang didalamnya berisi pakan dari serangga tersebut. Pemeliharaan yang telah dilakukan meliputi pemberian pakan, menjaga keadaan lingkungan dan keadaan kandang. Pakan yang diberikan dapat berupa pakan alami yang diambil dari alam. Untuk itu, perlu dilakukan penanaman jika pakan jumlahnya sedikit di alam. Hal tersebut dapat menjadi salah satu kesulitan dalam pemeliharaan dan pembiakan serangga jenis ini. Tetapi hingga saat ini, pakan masih tersedia melimpah di alam, sehingga kesulitan tersebut masih dapat diatasi. Pemeliharaan predator jenis ini relatif lebih mudah jika dibandingkan jenis predator yang lain karena ketersediaan pakan yang masih melimpah. Di alam, populasi predator ini akan meningkat jika keberadaan hama sebagai pakan juga bertambah banyak. Seperti halnya pemeliharaan serangga lain, pemeliharaan predator ini juga tidak jauh berbeda, sesuai dengan kebutuhan hidup dan ketersediaan bahan dan tempat di laboratorium. Famili coccinellidae juga ada yang berperan sebagai hama. Namun, pemeliharaan yang dilakukan juga tidak jaug berbeda dengan jenis predator. Perbedaan hanya terlihat dari pakan dan cara hidup. Untuk penyediaan tempat dan keadaan lingkungan juga sama dengan serangga predator. 7. Aphis sp. Aphis merupakan hama tidak bersayap, tetapi terkadang imago ada yang bersayap transparan atau tembus cahaya. Perkembang biakannya tidak dengan kawin, sehingga pakan dan nutrisi sangat

berpengaruh terhadap produksi telur. Proses pembiakan massal dari serangga ini juga telah dilakukan di laboratorium. Aphis ini mengahsilkan embun madu sehingga mengundang semut yang memakan jelaganya. Oleh karena itu, dalam pemeliharaannya, dapat diletakkan di dalam toples atau cawan petri yang di bawahnya di beri rendaman air (dirambang) agar semut tidak memangsa. Serangga ini bersifat polyfag sehingga banyak pakan yang dapat digunakan, diantaranya kubis, sawi, caesin. Dengan dipeliharanya serangga ini di laboratorium sesuai dngan habitat aslinya, maka harus pula diketahui morfologi dan biologi dari serangga ini. Secara umum ciri-ciri terjadinya penurunan kualitas serangga biakan di laboratorium antara lain :

Kemampuan hidupnya semakin kecil/melemah Kemampuan mencari inang atau makanan semakin menurun Daya saing terhadap serangga lain semakin melemah Ukuran tubuh semakin mereduksi (kecil) Fertilitas (kesuburan) menurun, nisbah kelamin jantan lebih besar dari pada kelamin betina.

Anda mungkin juga menyukai