Anda di halaman 1dari 164

‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

Pokok-pokok Pikiran
Hizbut Tahrir

S ejak pertengahan abad XII

Hijriyah (ke-18 Masehi), dunia


Islam menggelincir dari masa
kejayaaannya dengan sangat cepat serta jatuh
ke dalam jurang kemunduran dengan amat
mengerikan. Sekalipun telah dilakukan
berbagai upaya untuk membangkitkannya
kembali atau setidaknya mencegah agar
ketergelincirannya itu tidak berlanjut terus,
akan tetapi tidak satupun upaya-upaya
tersebut membuahkan hasil. Sementara itu
dunia Islam masih tetap dalam kebingungan di
tengah-tengah kegelapan akibat kekacauan
dan kemundurannya, serta masih terus
merasakan pedihnya keterbelakangan dan
berbagai goncangan ini.
Sebab kemunduran dunia Islam ini

Mafahim HT 1
kembali kepada satu hal yaitu kelemahan yang
teramat parah dalam hal pemahaman umat
terhadap Islam yang merasuk ke dalam pikiran
kaum muslimin. Penyebab lemahnya
pemahaman ini adalah pemisahan kekuatan
yang dimiliki bahasa Arab (thaqah ‘arabiyyah)
dengan kekuatan Islam (thaqah islamiyyah).
Hal ini berawal tatkala bahasa Arab mulai
diremehkan dalam memahami Islam sejak
awal abad VII Hijriyah. Selama kekuatan yang
dimiliki bahasa arab tidak disatukan dengan
kharisma Islam, yakni dengan cara menjadikan
bahasa arab --yang merupakan bahasa Islam--
sebagai unsur inti yang tidak terpisahkan dari
Islam, maka kemunduruan itu akan tetap
melanda kaum muslimin. Mengapa demikian?
Karena bahasa Arab merupakan kekuatan
bahasa yang mengemban kekuatan Islam.
Sehingga, Islam dan bahasa Arab merupakan
satu kesatuan. Islam tidak mungkin dapat
dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan
bahasa Arab. Juga, dengan meremehkan
bahasa Arab akan menghilangkan ijtihad
terhadap syari'at, karena ijtihad terhadap
syari'at tidak mungkin dilaksanakan bahasa
Arab. Padahal, kedudukan ijtihad itu sendiri

2 Mafahim HT
teramat urgen bagi umat Islam, sebab tidak
ada kemajuan bagi umat tanpa keberadaan
ijtihad.
Penyebab kegagalan berbagai macam
upaya untuk membangkitkan kaum muslimin
dengan Islam, dapat dikembalikan pada tiga
hal. Pertama, tidak adanya pemahaman yang
mendalam mengenai fikrah Islamiyah di
kalangan para aktivis kebangkitan Islam.
Kedua, tidak adanya gambaran yang benar-
benar jelas pada diri mereka mengenai
metode Islam (thariqah Islam) dalam
menerapkan fikrah-nya. Dan yang ketiga,
mereka tidak menjalinkan fikrah Islamiyah
dengan thariqah Islamiyah sebagai satu
hubungan yang solid yang tidak mungkin
terpisahkan.
Apabila kita telusuri mengenai fikrah,
ternyata banyak unsur terselubung telah
menyelinap masuk ke dalam fikrah Islamiyah
yang banyak dari perkara-perkara rincinya
menyamarkan sebagian besar kaum muslimin.
Unsur-unsur terselubung ini mulai menyusup
sejak awal abad II Hijriyah sampai munculnya
periode penjajahan. Filsafat-filsafat asing,
seperti filsafat India, Persia dan Yunani telah

Mafahim HT 3
mempengaruhi sebagian kaum muslimin dan
menyeret mereka melakukan kesalahan dalam
usahanya mengkompromikan Islam dengan
filsafat-filsafat ini. Padahal jelas, filsafat-filsafat
ini bertentangan secara keseluruhan dengan
Islam. Usaha-usaha untuk mengkompromikan
Islam dengan filsafat-filsafat ini telah
menimbulkan adanya interpretasi dan
penafsiran yang menjauhkan sebagian
hakekat Islam yang sebenarnya dari benak
kaum muslimin, disamping memperlemah
pemahaman terhadapnya. Lebih dari itu
masuk Islamnya sekelompok orang-orang
munafik yang menyimpan rasa dendam dan
kebencian terhadap Islam telah
mengakibatkan munculnya manipulasi
terhadap ajaran-ajaran Islam, berupa
pemikiran dan pemahaman yang bukan
berasal dari Islam, bahkan sangat
bertentangan dengan Islam. Hal ini melahirkan
pemahaman salah terhadap Islam dalam diri
sebagian besar kaum muslimin. Ditambah lagi
dengan kelalaian umat terhadap penguasaan
bahasa Arab dalam pengembangan Islam yang
terjadi pada abad VII Hijriyah. Faktor-faktor
inilah yang mendorong kemunduran kaum

4 Mafahim HT
muslimin. Belum lagi sejak akhir abad XI
Hijriyah (abad ke-17 Masehi) sampai sekarang,
munculnya ghazwuts tsaqafi (serangan
budaya), kristenisasi dan serangan politik yang
datang dari Barat, menambah parahnya
kemerosotan, sekaligus menjadi problema
baru dalam masyarakat Islam, dan menambah
persoalan sebelumnya. Faktor-faktor tersebut
memberikan andil yang cukup besar terhadap
kesalahan penggambaran kaum muslimin
mengenai fikrah Islamiyah, sehingga lenyaplah
kebeningan fikrah Islamiyah yang hakiki dalam
benak kaum muslimin.
Akan halnya dengan thariqah Islamiyah,
sesungguhnya Umat Islam secara berangsur-
angsur telah kehilangan gambaran yang jelas
mengenai thariqah Islamiyah. Dahulu, kaum
muslimin mengetahui bahwa keberadaannya
dalam hidup ini adalah hanya untuk Islam
semata. Aktivitasnya di dunia adalah
mengemban dakwah Islam. Tugas Daulah
Islamiyah adalah menerapkan Islam,
menjalankan hukum-hukum Islam di dalam
negeri serta menyebarluaskan dakwah Islam
ke luar negeri. Dan metoda praktis untuk
melakukan hal itu adalah dengan jihad yang

Mafahim HT 5
dilakukan oleh negara. Kami katakan bahwa
kaum muslimin --setelah mengetahui semua
itu—berubah pandangan bahwa tugasnya di
dunia ini, pertama-tama adalah mencari
kesenangan dunia lebih dahulu. Baru setelah
itu, sebagai tugas yang kedua menyampaikan
nasehat dan petunjuk. Itu pun bila keadaan
mengijinkan. Sementara negara sudah tidak
memperdulikan lagi kelalaian dan
peremehannya dalam melaksanakan hukum-
hukum Islam. Negara tidak lagi merasa
bersalah atas kelalaian dan sikap berpangku-
tangan dari jihad di jalan Allah dalam rangka
menyebarkan Islam. Kaum muslimin sendiri,
setelah kehilangan negara --termasuk
kelemahan dan kelalaian dalam
menegakkannya kembali-- mulai beranggapan
bahwa kebangkitan Islam dapat diraih kembali
dengan cara membangun masjid-masjid,
menerbitkan buku-buku, tulisan atau
karangan, serta memperbaiki akhlak.
Sementara pada saat yang sama tetap
berdiam diri terhadap kepemimpinan kufur dan
penjajahannya atas mereka.
Demikianlah tinjauan aspek fikrah dan
thariqah. Sedangkan jika dilihat hubungan

6 Mafahim HT
fikrah dan thariqah ternyata kaum muslimin
hanya memperhatikan hukum-hukum syari'at
yang berkaitan dengan pemecahan
problematika kehidupan yang menyangkut
aspek fikrah saja. Mereka tidak lagi
memperhatikan hukum-hukum yang
menjelaskan cara praktis pemecahan
problematika tersebut, yaitu hal-hal yang
menjelaskan thariqah. Pandangan seperti ini
menjadikan kaum muslimin hanya menitik
beratkan pada studi hukum-hukum syari'at
terpisah dari metode operasionalnya.
Demikian pula, mereka lebih banyak
memfokuskan perhatian pada mempelajari
hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
shalat, shaum, nikah dan talak, dengan
mengabaikan mempelajari hukum-hukum yang
berkaitan dengan jihad, ghanimah (harta
rampasan perang), hukum-hukum yang
menyangkut Khilafah (sistem pemerintahan
Islam), qadla (peradilan), hukum-hukum
tentang kharaj dan sebagainya. Dengan cara
mempelajari Islam seperti ini mereka telah
memisahkan antara fikrah dengan thariqah,
antara teori dan praktek, sehingga hasilnya
adalah suatu kemustahilan penerapan fikrah

Mafahim HT 7
karena tidak disertai dengan thariqah-nya.
Semua ini menjadi lebih parah lagi
dengan munculnya kesalahan dalam
memahami syari'at Islam yang akan
diterapkan ke dalam masyarakat di
penghujung abad XIII Hijriyah (ke-19 Masehi).
Islam akhirnya ditafsirkan tidak selaras dengan
isi kandungan nash-nashnya, dengan tujuan
agar dapat disesuaikan dengan kondisi
masyarakat yang ada saat itu. Padahal
seharusnya, masyarakatlah yang harus diubah
agar sesuai dengan Islam, bukan dengan
membuat interpretasi baru mengenai Islam
agar sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara
pemahaman seperti ini tidak dapat
dibenarkan, sebab yang menjadi masalah
adalah bahwa di sana terdapat satu
masyarakat yang rusak dan hendak diperbaiki
dengan suatu mabda (Ideologi). Karena itu
mabda ini harus diterapkan sesuai dengan apa
yang dikandung oleh mabda itu sendiri,
kemudian mengubah masyarakat seluruhnya
secara inqilabi (revolusioner) berdasarkan
mabda tersebut. Dengan kata lain, merupakan
suatu keharusan bagi para pejuang perbaikan
untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai

8 Mafahim HT
dengan makna ajaran yang sebenarnya, tanpa
memperhatikan keadaan masyarakat, waktu
dan tempat. Namun kenyataannya mereka
tidak berbuat demikian. Mereka malah
melangkah lebih jauh dengan
menginterpretasikan hukum-hukum Islam agar
sesuai dengan kondisi sekarang. Bahkan
kesalahan yang mereka lakukan sudah
melampui batas, baik dalam masalah umum
maupun dalam hal-hal yang terperinci. Mereka
mengeluarkan kaidah-kaidah kulliyat (umum)
dan hukum-hukum yang terperinci sesuai
dengan pandangan tersebut. Misalnya dengan
membuat kaidah umum yang salah seperti:

ِ‫لَ ُينْكَرَ َتغَيّرَ اْلَحْكَامِ بَِتغَيّرِ ال ّزمَان‬


"Tidak ditolak adanya perubahan terhadap
hukum, dengan adanya perubahan zaman".

atau :

ٌ‫َاْلعَادَةُ مُحْ َك َمة‬


"Adat-istiadat dapat dijadikan patokan hukum"
dan sebagainya.

Mafahim HT 9
Disamping itu mereka juga mengeluarkan
fatwa tentang hukum-hukum yang tidak
berlandaskan hukum syara' malah
bertentangan dengan nash Al-Quran yang
qath'i. Mereka menghalalkan riba yang sedikit,
dengan alasan asal tidak berlipat ganda dan
dalam keadaan darurat, apalagi untuk
kepentingan harta anak yatim. Akhirnya,
hakim yang dikenal dengan sebutan Hakim
Syar'i pun (pada masa Turki Utsmani)
melakukan riba terhadap dana-dana sosial
yatim piatu, sebagaimana yang dilakukan oleh
Hakim Sipil. Selain itu mereka pun
melontarkan fatwa yang membolehkan
penghentian pelaksanaan hukum hudud (bagi
yang berzina, mencuri dan lain-lain), serta
membolehkan mengambil undang-undang
pidana dari luar Islam. Demikianlah, mereka
telah membuat hukum-hukum yang
bertentangan dengan syari'at Islam dengan
dalih untuk menyesuaikan diri terhadap situasi
dan kondisi serta dengan alasan bahwa hukum
syara' harus dapat menyesuaikan diri dengan
situasi, kondisi dan tempat.
Tindakan yang mereka lakukan ini tentu
saja semakin menjauhkan Islam dari

10 Mafahim HT
kehidupan. Musuh-musuh Islam lalu
menggunakan faham-faham yang salah dan
hukum-hukum yang batil ini, sebagai alat
untuk menyusupkan undang-undang dan
prinsip-prinsip mereka kepada umat Islam
tanpa menyadari pertentangannya dengan
agama mereka. Hal ini disebabkan karena
telah mengakarnya pemahaman yang salah
dalam benak pikiran ummat, bahwa Islam itu
sesuai dengan perkembangan zaman dan
tempat. Islam kemudian ditakwilkan oleh
banyak orang agar sesuai dengan mazhab,
ideologi, peristiwa yang terjadi, atau tolok ukur
masing-masing, sekalipun bertentangan
dengan mabda dan arah pandangan Islam.
Semua ini telah memberikan andil bagi usaha-
usaha menjauhkan Islam dari kehidupan.
Karena itu, kegagalan setiap gerakan
perbaikan (Harakah Ishlahiyah) yang berjalan
sesuai dengan pemahaman yang salah-kaprah
ini merupakan keniscayaan (pasti terjadi).
Keadaan ini semakin menjadi-jadi ketika
memasuki abad XX M, dengan munculnya
banyak penghalang yang memisahkan Islam
dengan kehidupan, sehingga kesulitan-
kesulitan yang telah ada sebelumnya semakin

Mafahim HT 11
bertambah dengan adanya kesulitan-kesulitan
baru. Hal ini terjadi karena kaum muslimin,
terutama kalangan ulama dan kaum
terpelajarnya, saat ini sedang dikuasai oleh
tiga unsur:
Pertama, mereka mempelajari Islam
dengan cara yang bertentangan dengan
metoda studi yang telah digariskan Islam.
Metoda studi menurut Islam menyatakan
bahwasanya hukum-hukum syari'at Islam
dipelajari sebagai masalah-masalah yang
bersifat praktis untuk diterapkan oleh negara
--dalam urusan pemerintahan yang
merupakan tugasnya-- dan oleh individu --
dalam urusan yang menyangkut pribadi. Atas
dasar inilah para ulama (ushul fiqih)
mendefinisikan Ilmu Fiqih sebagai: Ilmu yang
membahas masalah-masalah syara' yang
bersifat praktis, dan digali dari dalil-dalilnya
yang terperinci. Dengan metode seperti ini
studi tentang Islam akan menghasilkan ilmu
bagi yang mempelajarinya dan amal
perbuatan bagi masyarakat, baik dalam
bernegara maupun individu. Akan tetapi
kenyataan saat ini menunjukkan bahwa para
ulama dan kaum terpelajar bahkan mayoritas

12 Mafahim HT
kaum muslimin, mempelajari Islam hanya
sekedar sebagai ilmu belaka, seakan-akan
Islam adalah filsafat yang bersifat khayali dan
teoritis semata. Dengan begitu hukum-hukum
fiqih kemudian hanya menjadi sekumpulan
teori murni tanpa penerapan, dan syara'
dipelajari sebagai masalah-masalah ritual dan
akhlak saja, bukan lagi sebagai hukum-hukum
yang mampu mengatasi problematika
kehidupan. Ini dilihat dari segi studi Islam.
Dilihat dari sisi dakwah Islamiyah, apa
yang sering dilakukan oleh kaum muslimin
serupa dengan yang dilakukan para misionaris
yaitu dengan cara hanya memberi nasehat
dan petunjuk saja, bukan dengan metoda
pengajaran yang dikehendaki oleh Islam.
Dengan cara dakwah seperti ini maka orang-
orang yang mempelajari Islam akan menjadi
ulama-ulama jumud ibarat buku yang
bergerak, atau menjadi penasehat dan
pemberi petujuk yang selalu mengulang-ulang
ucapan dan pidatonya yang kering dan
menjemukan, tanpa memberikan pengaruh
sedikit pun pada masyarakat. Mereka tidak
memahami hakekat men-tatsqif (membina)
umat dengan Islam yang sebenarnya. Yang

Mafahim HT 13
berarti mengajarkan seluruh masalah yang
berkaitan dengan agama Islam terhadap
mereka, dengan pengajaran yang dapat
mempengaruhi perasaannya dan membuat
mereka takut terhadap azab dan murka Allah,
sehingga seorang muslim akan berubah
menjadi satu tenaga penggerak yang
berpengaruh tatkala perasaannya terpaut
dengan akalnya, berkat mempelajari ayat-ayat
Allah melalui metode pengajarannya itu.
Memang benar, mereka belum
memahami hal semacam ini. Oleh sebab itulah
mereka mengganti metoda pengajaran yang
sangat mendalam dan membekas ini dengan
metoda nasehat dan petunjuk yang terbatas
dalam bentuk wejangan, pidato dan khutbah-
khutbah yang dangkal lagi membosankan.
Akibatnya, muncullah anggapan bahwa antara
pemecahan berbagai persoalan yang terjadi di
masyarakat dengan Islam adalah suatu hal
yang tidak bisa dipertemukan karena
bertentangan, atau seakan-akan bertentangan
--sehingga membutuhkan penyesuaian.
Sampai pada akhirnya, pena'wilan agar Islam
bisa disesuaikan dengan keadaan menjadi
sesuatu yang lumrah dan dianggap sah-sah

14 Mafahim HT
saja oleh masyarakat.
Lebih dari itu, mereka juga keliru
memahami firman Allah SWT:

‫وَمَا كَانَ اْلمُؤْ ِمنُونَ لِيَ ْن ِفرُوا كَافّ ًة َف َلوْ َل نَ َفرَ ِمنْ كُ ّل ِفرْقَةٍ ِم ْنهُمْ طَاِئفَ ٌة لِيََتفَ ّقهُوا‬
َ‫فِي الدّينِ َولِيُنْذِرُوا َقوْ َمهُمْ ِإذَا رَجَعُوا ِإلَ ْيهِمْ َل َع ّلهُمْ َيحْذَرُون‬
"(Dan) Tidak patut orang-orang mukmin keluar
semuanya. Tetapi alangkah baiknya jika keluar
sebagian (saja) dari tiap-tiap golongan dari
mereka, supaya mereka menerima pelajaran
tentang agama, dan untuk mereka ingatkan
pada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepada mereka, agar supaya mereka bisa
hati-hati". (At-Taubah 122)

Ayat ini mereka tafsirkan bahwa hendaklah


dari setiap kelompok masyarakat ada
segolongan orang yang mempelajari ilmu
agama, kemudian mereka kembali untuk
mengajarkan ilmu tersebut kepada kaumnya.
Penafsiran seperti ini telah menjadikan usaha
untuk mempelajari agama itu hukumnya
fardlu kifayah. Dengan demikian jelas, mereka
telah menyalahi hukum syara', sekaligus
menyalahi makna ayat itu sendiri.
Menurut hukum syara', setiap muslim

Mafahim HT 15
yang baligh dan berakal wajib hukumnya
memahami agama (tafaquh fiddiin) dalam hal-
hal yang dibutuhkan dalam kehidupannya.
Sebab, ia diperintahkan untuk menyesuaikan
seluruh amal perbuatannya dengan perintah
dan larangan Allah. Sementara tidak ada jalan
lain untuk melaksanakan hal ini kecuali
dengan mengetahui hukum-hukum syara'
yang berkaitan dengan seluruh amal
perbuatannya. Dengan demikian, tafaquh
fiddiin mengenai hukum-hukum yang
dibutuhkan oleh seorang muslim dalam
kehidupan, hukumnya fardlu 'ain bukan fardlu
kifayah. Sedangkan ijtihad untuk menggali
hukum merupakan fardlu kifayah.
Kesalahan mereka dalam memahami
ayat ini adalah bahwa ayat tersebut
sebenarnya berkenaan dengan masalah jihad.
Dengan kata lain yang dimaksudkan adalah
kaum muslimin tidak diperkenankan keluar
seluruhnya ke medan perang untuk berjihad.
Hendaklah ada sekelompok orang yang keluar
untuk berjihad dan ada sekelompok lainnya
yang tinggal untuk mempelajari hukum-hukum
bersama Rasulullah SAW. Sehingga apabila
para mujahid yang terjun ke medan perang itu

16 Mafahim HT
telah kembali, kelompok yang tinggal dapat
mengajarkan kepada mereka hukum-hukum
yang belum mereka dapatkan, dengan metoda
pengajaran yang sangat membekas pada diri
mereka.
Bukti lain mengenai hal ini adalah
adanya keinginan dan kesungguhan dalam diri
para sahabat untuk mempelajari hukum-
hukum agama dan adanya sikap untuk selalu
ingin menyertai Rasulullah SAW. Kadang-
kadang sebagian sahabat keluar mengikuti
peperangan saraya --peperangan yang tidak
dipimpin Rasulullah-- sedangkan sebagian
lainnya tinggal untuk mempelajari hukum-
hukum agama. Setelah para mujahid itu
kembali maka mereka yang tinggal akan
mengajarkannya kembali kepada pasukan
yang belum mendapatkan pelajaran.
Kedua, bahwasanya dunia Barat yang
dengki dan membenci Islam dan kaum
muslimin terus menerus menyerang agama
Islam. Di satu sisi mereka mencela Islam
dengan cara mengada-ada sesuatu yang tidak
ada dalam Islam, sementara di sisi lain mereka
menjelek-jelekan sebagian hukum-hukum
Islam, padahal semuanya adalah hukum-

Mafahim HT 17
hukum yang tidak diragukan lagi
kebenarannya dalam memecahkan masalah
dan persoalan hidup. Menghadapi serangan
seperti ini, kaum muslimin terutama kalangan
intelektualnya berada pada posisi yang sangat
lemah. Dimana mereka rela menerima Islam
sebagai pihak yang tertuduh, lalu mereka
berusaha untuk membelanya. Dalam rangka
menghindari tuduhan seperti itu, mereka
berusaha menginterpretasikan (menakwilkan)
hukum-hukum Islam.
Sebagai contoh, mereka
menginterpretasikan jihad dengan makna
peperangan defensif, bukan peperangan
ofensif. Penakwilan semacam ini menyalahi
makna dan hakikat jihad yang sebenarnya.
Jihad adalah aktifitas memerangi pihak
manapun yang berdiri menentang dakwah
Islamiyah, baik yang memerangi Islam atau
yang tidak. Dengan kata lain, jihad adalah
menyingkirkan segala bentuk rintangan yang
menghambat dakwah Islamiyah, atau seruan
dan dakwah kepada Islam serta berperang
demi tegaknya dakwah, yaitu perang fi
sabilillah. Fakta sejarah menunjukkan, tatkala
kaum muslimin hendak menguasai bangsa

18 Mafahim HT
Persia, Romawi, Mesir, Afrika Utara dan
Andalusia serta bangsa-bangsa yang lainnya,
mereka mengadakan penyerbuan ke wilayah
itu karena dakwah memang membutuhkan
adanya jihad, agar dakwah tersebar di negeri-
negeri tersebut. Jadi, pemahaman jihad seperti
di atas merupakan penafsiran yang salah,
sebagai akibat sikap yang lemah karena
menerima Islam sebagai pihak tertuduh.
Pembelaan terhadap Islam dengan cara
seperti itu, menunjukkan sikap yang malah
memuaskan para penuduhnya.
Begitu pula sikap mereka menghadapi
tuduhan orang-orang kafir dalam masalah
poligami, potong tangan bagi pencuri, dan lain
sebagainya. Untuk menghadapi tuduhan
orang-orang kafir ini, kaum muslimin berusaha
menginterpretasikan Islam dengan cara yang
bertentangan dengan hakekat ajarannya.
Semua ini menjadi sebab semakin jauhnya
kaum muslimin dari pemahaman yang benar
terhadap Islam, bahkan pada akhirnya
menjauhkan Islam dari pengamalan ajaran-
ajarannya.
Ketiga, sebagai akibat berpudarnya
Daulah Islamiyah karena banyak negeri-negeri

Mafahim HT 19
Islam yang melepaskan diri, lalu tunduk
kepada pemerintahan kufur apalagi disusul
kemudian dengan runtuh dan lenyapnya
Daulah Islamiyah, maka terciptalah dalam
benak kaum muslimin suatu gambaran yang
memustahilkan terwujudnya kembali Daulah
Islamiyah, berikut terlaksananya kembali
hukum Islam sebagai satu-satunya hukum
yang harus diterapkan.
Inilah yang mengakibatkan mereka
bersedia menerima begitu saja dihukumi oleh
hukum lain yang bukan berasal dari Allah SWT.
Mereka tidak melihat hal seperti itu sebagai
satu bencana dan dosa --selama nama Islam
tetap dijaga, sekalipun hukum Islam tidak
diterapkan lagi. Mereka juga menyerukan agar
aliran dan ideologi selain Islam harus
dimanfaatkan guna membantu penerapan
ajaran Islam di dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menyebabkan kaum muslimin hanya
duduk berpangku tangan tanpa berbuat apa-
apa untuk mengembalikan Daulah Islamiyah,
serta berdiam diri melihat hukum kufur yang
diterapkan di tengah-tengah kehidupan kaum
muslimin oleh orang-orang Islam itu sendiri.
Ketiga masalah yang dipaparkan di atas

20 Mafahim HT
itulah yang menjadi penyebab kegagalan
seluruh gerakan pembaharuan yang didirikan
untuk membangkitkan kembali umat Islam
sekaligus mengembalikan kejayaan Islam.
Wajar apabila kegagalan ini terjadi, karena
sekalipun gerakan-gerakan tersebut adalah
gerakan Islam, namun kesalahpahamannya
terhadap Islam makin menambah ruwetnya
problematika. Makin sulit mengatasinya,
bahkan dapat menjauhkan umat dari Islam,
sebagai ganti dari usaha-usaha untuk
menerapkan ajarannya.
Bertolak dari penjelasan ini, maka
menjadi suatu keharusan terdapat sebuah
gerakan yang memahami Islam baik dari segi
fikrah maupun thariqah. Lalu mengkaitkan
keduanya, dan berusaha melangsungkan
kembali kehidupan Islam di salah satu wilayah
manapun di antara wilayah-wilayah Islam.
Sehingga wilayah ini menjadi titik awal
(nuqthah ibtida`) pergerakan yang
memancarkan sinar dakwah Islamiyah, dan
kemudian menjadi titik tolak (nuqthah inthilaq)
penyebaran dakwah Islam.
Atas dasar inilah Hizbut Tahrir berdiri.
Hizbut Tahrir berusaha untuk melangsungkan

Mafahim HT 21
kembali kehidupan Islam di kawasan negeri-
negeri Arab. Dari sanalah tujuan untuk
melangsungkan kehidupan Islam di seluruh
dunia Islam --secara alami-- akan tercapai,
yaitu dengan jalan mendirikan Daulah
Islamiyah di satu atau beberapa wilayah
sebagai titik sentral (nuqthah irtikaz) Islam
dan sebagai benih berdirinya suatu Daulah
Islamiyah yang besar yang akan melanjutkan
kehidupan Islam, dengan menerapkan Islam
secara sempurna di seluruh negeri-negeri
Islam, serta mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia.
Setelah mengadakan pengkajian, analisis
dan pembahasan, Hizbut Tahrir kemudian
men-tabani (memilih dan menetapkan)
hukum-hukum syara'. Diantaranya yang
berkaitan dengan pemecahan masalah-
masalah individu yang muncul dalam
masyarakat atau yang terjadi antar sesama
individu dalam masyarakat, seperti larangan
menyewa lahan pertanian. Ada pula yang
berkaitan dengan pendapat-pendapat umum
yang ada di tengah-tengah umat, serta dalam
interaksi-interaksi kaum muslimin dengan
bangsa lain, seperti bolehnya negara

22 Mafahim HT
mengadakan perjanjian-perjanjian mendesak
(dalam keadaan lemah), menyampaikan
dakwah Islam sebelum memulai peperangan,
dan lain-lain. Ada juga yang berkaitan dengan
ide-ide, yang tidak lain merupakan hukum-
hukum syara', misalnya tentang kaidah-kaidah
kulliyat dan definisi-definisi syara'. Seperti
kaidah kulliyat yang mengatakan:

ٌ‫ب اِلّ ِبهِ َف ُهوَ وَا ِجب‬


ُ ِ‫مَا َل يَتِ ّم اْلوَاج‬
"Suatu kewajiban tidak akan terlaksana tanpa
sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi
wajib".

atau seperti definisi mengenai hukum syara',


yaitu:

ِ‫ِخطَابُ الشَا ِرعُ اْلمُتَـعَ ّلقُ ِبأَ ْفعَالِ اْلعِبَاد‬


"Seruan Pembuat hukum (Allah) yang
berkaitan dengan perbuatan hamba"

Hizbut Tahrir telah mentabani hukum-


hukum tertentu dalam setiap jenis hukum
tersebut, dan berusaha mendakwahkannya,
karena pada hakekatnya juga
mengembangkan Islam. Semuanya berupa

Mafahim HT 23
pandangan-pandangan, pemikiran-pemikiran
dan hukum-hukum yang Islami dan hanya
berasal dari Islam. Tidak ada di dalamnya hal-
hal yang tidak Islami bahkan tidak
terpengaruh sedikit pun oleh sesuatu yang
berasal dari luar Islam. Bahkan semata-mata
Islam, tak berdasarkan pada dasar-dasar selain
Islam serta nash-nashnya.
Hizbut Tahrir dalam menyampaikan
dakwahnya berusaha membangkitkan dan
menggerakkan pemikiran. Hizbut Tahrir
berpendapat, bahwa dakwah Islam harus
tegak atas dasar pembentukan pemikiran, dan
wajib mengemban Qiyadah Fikriyah (yaitu
kepemimpinan umat berdasarkan pemikiran).
Sebab, pemikiran yang jernih dan
cemerlanglah (Al-Fikrul Mustanir) yang amat
dibutuhkan dalam hidup ini. Dan manusia akan
bangkit di atas landasan tersebut, yaitu
berupa suatu pemikiran yang mampu
memperlihatkan hakekat segala sesuatu
sehingga dapat dipahami dengan benar.
Suatu pemikiran agar bisa menjadi
pemikiran yang jernih haruslah berupa
pemikiran yang mendalam (Al-Fikrul ‘Amiq).
Yang dimaksud dengan pemikiran yang

24 Mafahim HT
mendalam adalah pandangan yang teliti dan
mendalam mengenai segala sesuatu. Adapun
pemikiran yang jernih adalah pandangan
yang teliti dan mendalam mengenai segala
sesuatu, segala hal ikhwalnya, setiap hal yang
berkaitan dengannya, dan proses
memahaminya (istidlal) untuk mencapai suatu
kesimpulan yang benar. Dengan kata lain,
pemikiran yang jernih adalah pandangan yang
teliti, mendalam dan cemerlang terhadap
segala sesuatu. Jadi harus ada pandangan
yang teliti, mendalam dan cemerlang
mengenai alam, manusia dan hidup1). Juga,
harus ada pandangan yang teliti, mendalam,
dan cemerlang mengenai manusia dan tingkah
lakunya, sehingga dapat ditemukan hukum-
hukum yang berkaitan dengan hal-hal
tersebut.
Pandangan yang mendalam mengenai
alam, hidup dan manusia akan memberikan
pemikiran yang menyeluruh terhadap
ketiganya. Pemikiran yang menyeluruh inilah
yang akan memecahkan problematika
terbesar (‘uqdatul qubra ) bagi manusia. Yaitu
2)

suatu pemikiran yang akan membentuk aqidah


bagi manusia, dan yang akan menentukan

Mafahim HT 25
tujuan hidupnya, serta tujuan dari aktifitas
yang dilakukannya dalam kehidupan ini.
Karena manusia hidup di muka bumi (alam
semesta), maka selama belum terpecahkan
problema terbesar mengenai dirinya sendiri;
fenomena hidup yang dialaminya; dan
mengenai alam semesta sebagai tempat hidup
dan keberadaannya, tentu dia tidak akan
mungkin mengetahui sikap apa yang harus
ditempuhnya. Karena itulah aqidah menjadi
dasar segala sesuatu.
Pandangan yang teliti, mendalam lagi
cemerlang mengenai alam semesta, hidup dan
manusia pasti akan menghantarkan kepada
aqidah Islam. Jelas sekali bahwa ketiga unsur
ini semuanya merupakan hasil ciptaan Al-
Khaliq; dan bahwasanya Al-Khaliq inilah satu-
satunya yang mengendalikan, menjaga, serta
mengaturnya sesuai dengan sistem tertentu.
Dan bahwasanya kehidupan dunia tidak
bersifat azali (tidak berawal dan berakhir) dan
tidak abadi. Melainkan ada kehidupan
sebelumnya yaitu Allah SWT yang mencipta
dan yang mengaturnya. Dan ada pula
kehidupan sesudahnya yaitu hari Kiamat.
Begitu pula aktivitas manusia di dalam

26 Mafahim HT
kehidupan dunia ini, harus berjalan sesuai
dengan perintah Allah dan larangan-Nya.
Bahwasanya manusia akan dihisab atas
perbuatannya di hari Kiamat nanti yang
merupakan hari pertanggungjawaban (yaumul
hisab). Berdasarkan hal ini, menjadi kewajiban
manusia untuk selalu terikat dengan syari'at
Allah yang telah disampaikan oleh junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW kepada
manusia.
Dengan pandangan yang teliti,
mendalam dan jernih terhadap alam, hidup
dan manusia, ternyata ketiganya hanyalah
berupa materi, bukan ruh. Bukan pula
terbentuk dari campuran materi dan ruh. Yang
dimaksud dengan materi di sini adalah
sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera,
baik materi itu didefinisikan sebagai sesuatu
yang menempati ruang dan memiliki masa,
atau didefinisikan sebagai tenaga yang dapat
menggerakkan, baik tampak maupun tidak.
Sebab, yang menjadi topik pembahasan
bukanlah apa materi itu, akan tetapi
pembahasan menyangkut alam, hidup dan
manusia --yaitu ketiga unsur yang dapat
diindera dan dijangkau-- dilihat dari segi

Mafahim HT 27
keberadaannya sebagai ciptaan Al-Khaliq.
Sedangkan yang dimaksud dengan ruh di sini
adalah kesadaran manusia akan hubungannya
dengan Allah, dan bukan sebagai sirrul hayat
(rahasia kehidupan/nyawa). Sebab, yang
menjadi topik pembahasan memang bukan
ruh dalam arti nyawa, akan tetapi
pembahasan mengenai hubungan alam, hidup
dan manusia dengan sesuatu yang ghaib,
yaitu Al-Khaliq. Disamping mengenai apakah
kesadaran terhadap hubungan alam, hidup
dan manusia dengan Khaliq-nya itu termasuk
bagian dari ketiganya atau bukan.
Dengan pandangan yang teliti,
mendalam dan jernih terhadap alam, hidup
dan manusia --dilihat dari segi pengertian ruh
sebagai kesadaran hubungan manusia dengan
Allah, bukan dari segi ruh sebagai nyawa--
ternyata bahwa kesemuanya berupa materi,
bukan ruh, tidak juga terbentuk dari campuran
materi dan ruh. Bahwa kesemuanya tergolong
materi adalah suatu hal yang nyata, bukan hal
yang samar, karena ketiganya dapat dijangkau
indera. Ketiganya juga bukan ruh, karena ruh
adalah kesadaran manusia akan hubungannya
kepada Allah SWT. Sementara, kesadaran yang

28 Mafahim HT
timbul dari manusia terhadap hubungannya
dengan Allah ini bukanlah alam, bukan
manusia dan bukan pula hidup, melainkan
sesuatu di luar itu. Bahwa ketiganya bukan
terbentuk dari campuran materi dan ruh; telah
jelas pada alam dan hidup. Adapun pada diri
manusia, kesadarannya terhadap
hubungannya dengan Allah bukanlah asli
bagian dari bentukannya, melainkan
merupakan sifat baru. Buktinya, orang kafir
yang ingkar terhadap Allah tidak akan
mengenal hubungannya dengan Allah, kendati
demikian ia tetap sebagai manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, apa yang
dikatakan oleh sebagian orang bahwa manusia
itu terbentuk dari campuran materi dan ruh --
sehingga apabila materi yang ada padanya
mampu mendominasi ruh jadilah ia orang
jahat, dan jika ruh yang mendominasi dalam
dirinya, jadilah ia orang baik; dan bahwasanya
manusia harus berusaha memenangkan ruh
atas materi agar menjadi orang baik-- adalah
salah. Sebaliknya, manusia bukan terbentuk
dari campuran materi dan ruh. Sebab, ruh
yang menjadi pokok bahasan di sini yang ada
pada diri manusia yang beriman (percaya)

Mafahim HT 29
dengan adanya Tuhan adalah adanya
efek/pengaruh dari Sang Pencipta (di suatu
ruang), apa yang dapat dijangkau berupa
tanda-tanda dari hal-hal yang ghaib dan atau
adanya sesuatu yang dapat diketahui yang
tidak mungkin muncul kecuali dari Allah atau
yang semakna dengan ini; yakni hal-hal yang
mempunyai arti kerohanian maupun aspek
rohani. Sedangkan ruh dengan pengertian
kerohanian (ar-ruhaniyyah) atau aspek rohani
(an-nahiyah ar-ruhiyah) yang terdapat dalam
diri manusia bukanlah berupa sirrul hayat
(rahasia hidup/nyawa), bahkan tidak ada
kaitannya dengan rahasia hidup/nyawa. Ruh
dalam pengertian ini jelas merupakan sesuatu
yang lain. Buktinya bahwa hewan pun
mempunyai rahasia hidup/nyawa, tetapi
hewan tidak mempunyai kerohanian dan
aspek rohani. Tambahan lagi tidak ada seorang
pun yang mengatakan bahwa binatang itu
terbentuk dari campuran materi dan ruh. Hal
ini membuktikan bahwa ruh dalam pengertian
ini artinya bukanlah rahasia hidup/nyawa,
bukan pula muncul dari rahasia hidup/nyawa
serta tidak ada kaitannya dengan rahasia
hidup/nyawa. Sebagaimana halnya dengan

30 Mafahim HT
hewan yang tidak tersusun dari materi dan ruh
padahal padanya terdapat nyawa, manusia
pun tidak terbentuk dari campuran materi dan
ruh, walaupun di dalamnya terdapat rahasia
hidup/nyawa. Sebab ruh yang terdapat dalam
diri manusia dan yang membedakannya
dengan manusia (kafir) lain tidak berkaitan
dengan rahasia hidup, dan bukan pula muncul
dari rahasia hidup. Akan tetapi pengertiannya
adalah kesadaran hubungan manusia dengan
Allah. Dengan demikian tidak bisa dikatakan
bahwa ruh merupakan bagian dari bentukan
manusia dengan alasan bahwa manusia
memiliki rahasia hidup/nyawa.
Selama ruh yang menjadi pokok bahasan
dalam masalah ini adalah kesadaran
hubungan manusia dengan Allah dan tidak ada
kaitannya dengan rahasia hidup/nyawa, maka
jelaslah bahwa ruh bukan bagian dari
bentukan manusia. Karena kesadaran
hubungan dengan Allah tidak termasuk bagian
dari bentukan manusia, melainkan sifat baru
yang datang dari unsur luar dengan alasan
bahwa orang kafir yang ingkar terhadap
adanya Allah, tidak akan mengenal
hubungannya dengan Allah, walaupun begitu

Mafahim HT 31
tetap saja ia disebut sebagai manusia.
Meskipun alam semesta, manusia dan
hidup merupakan materi, bukan ruh, tetapi
ketiganya memiliki aspek kerohanian yaitu
keberadaannya sebagai ciptaan Al-Khaliq.
Itulah hubungan ketiganya sebagai makhluk
dengan Allah sebagai Khaliq-nya. Alam
semesta adalah materi. Keberadaanya sebagai
ciptaan Al-Khaliq merupakan aspek rohani
yang harus disadari manusia. Manusia adalah
materi. Keberadaanya sebagai ciptaan Al
Khaliq merupakan aspek rohani yang harus
disadari oleh manusia. Demikian pula halnya
dengan hidup adalah materi. Keberadaanya
sebagai ciptaan Al Khaliq merupakan aspek
rohani yang harus disadari oleh manusia. Jadi,
aspek kerohanian datangnya bukan dari
zat/unsur alam, hidup dan manusia itu sendiri,
melainkan dari keberadaan ketiganya sebagai
makhluk bagi Al Khaliq yang menciptakannya,
yaitu Allah SWT. Hubungan inilah yang
dimaksud dengan aspek kerohanian (An-
Nahiyah Ruhiyah).
Mengenai arti ruh, orang-orang yang
beriman dengan adanya Tuhan berulang kali
menggunakan lafadz ruh, kerohanian dan

32 Mafahim HT
aspek rohani. Sebenarnya yang dimaksud
mereka adalah adanya pengaruh dari sang
Pencipta di suatu ruang/tempat; atau apa yang
dapat disaksikan dari tanda-tanda yang
berkaitan dengan hal-hal yang ghaib; atau
keberadaan sesuatu yang dapat diketahui,
yang tidak mungkin muncul kecuali dari Allah;
atau yang semakna dengan hal ini. Semua
makna yang mereka sebut sebagai ruh (Ar
Ruh), kerohanian (Ar Ruhaniyyat) dan aspek
rohani (an-nahiyah ar-ruhiyah) serta yang
sejenisnya ini merupakan makna-makna yang
umum, kabur dan belum jelas. Makna-makna
ini memang nyata dalam pikiran mereka, juga
memiliki fakta di luar pikiran mereka yang
tidak lain berupa sesuatu perkara ghaib yang
terjangkau keberadaannya tetapi tidak
terjangkau dzatnya, serta memiliki pengaruh
terhadap segala sesuatu. Realitas ini benar-
benar mereka rasakan dengan inderanya.
Namun, mereka tidak mampu
mendefinisikannya, bahkan hal tersebut bagi
mereka amat kabur.
Sebagai akibat ketidak-jelasan makna-
makna ini muncullah kekacauan dalam
pandangan mereka. Ada sebagian yang

Mafahim HT 33
mencampur adukkan ruh tadi dengan ruh yang
berarti nyawa/rahasia hidup. Kemudian
mereka katakan bahwa manusia terbentuk
dari campuran materi dan ruh (sebagaimana
ajaran spiritualisme). Karena merasakan
adanya ruh sebagai nyawa/rahasia kehidupan
dalam dirinya dan adanya ruh dalam arti
kerohanian dan aspek rohani, lalu mereka
mengira bahwa ruh dengan pengertian
kerohanian atau aspek rohani sama dengan
ruh yang berarti nyawa atau muncul dari
nyawa. Mereka lupa bahwa pada hewan pun
terdapat ruh yang berarti nyawa. Kendati
demikian, hewan tidak mempunyai kerohanian
atau aspek rohani. Selain itu akibat dari
ketidak-jelasan pengertian ini adalah
penggunaan istilah kerohanian untuk
kepuasan jiwa yang dirasakan manusia
sebagai kerohanian, sehingga ada orang yang
mengatakan tentang dirinya "Aku telah
merasakan suatu kerohanian yang tinggi",
atau "Si fulan mempunyai suatu kerohanian
yang agung". Akibat lainnya adalah tatkala
seseorang mendatangi suatu tempat
kemudian ia merasakan kepuasan/ketenangan
di tempat itu, maka tempat itu dikatakan

34 Mafahim HT
mengandung aspek rohani atau kerohanian.
Ada juga sementara orang akibat
ketidakjelasan ini pada akhirnya melaparkan
diri, menyengsarakan jasadnya dan
menelantarkan tubuhnya dengan maksud
untuk memperkuat ruhnya. Semua ini muncul
karena tidak adanya kejelasan arti ruh,
kerohanian dan aspek rohani. Kasus ini mirip
dengan pengertian akal yang menjadi polemik
banyak orang di masa lalu.
Sesungguhnya akal adalah lafadz yang
mempunyai makna memahami dan
memberikan penilaian (menghukumi) sesuatu,
dan segala perkara yang dicakup oleh makna
ini. Akan tetapi orang-orang terdahulu
menggambarkan segala sesuatu berupa
memahami dan yang lainnya itu merupakan
efek dari akal, bukan akal itu sendiri. Akal
memang memiliki fakta pada mereka, mereka
pun merasakan adanya, akan tetapi mereka
tidak mampu menjelaskan hakikatnya. Apa itu
akal tidak gamblang bagi mereka. Akibat
ketidak jelasan ini muncul perbedaan
pandangan dan kekacauan gambaran tentang
tempat dan keberadaan akal sehingga
pengertian akal bagi mereka menjadi

Mafahim HT 35
bercampur baur. Sebagian orang mengatakan
bahwa akal itu tempatnya di dalam hati;
sebagian lagi mengatakan ada di kepala; yang
lain mengatakan bahwa akal adalah otak;
bahkan ada pula diantara mereka yang
berpendapat lain dari pendapat-pendapat tadi.
Dalam perkembangannya, pada awal abad ini
para pemikir berusaha menjelaskan arti dan
definisi akal. Namun yang muncul adalah
kekacauan akibat tidak jelasnya pemahaman
terhadap fakta akal. Sebagian mengatakan
bahwa akal adalah refleksi otak terhadap
materi; sebagian lagi mengatakan sebaliknya,
bahwa akal adalah refleksi materi terhadap
otak. Sampai pada akhirnya ditemukan definisi
yang benar bahwa akal adalah pemindahan
gambaran suatu kenyataan (obyek) ke dalam
otak melalui panca indera, dan pengetahuan
sebelumnya tentang kenyataan tersebut
menafsirkan fakta itu. Dengan definisi ini
sampailah pada pengertian akal yang
sebenarnya.
Demikian pula halnya dengan masalah
ruh, kerohanian dan aspek rohani. Para
pemikir harus berusaha mencari kejelasan arti
ruh, kerohanian dan aspek rohani serta

36 Mafahim HT
perkara senada dengan ini sehingga otak
dapat memahaminya dan memahami
hakikatnya. Sebab, ruh, kerohanian dan aspek
rohani memiliki suatu kenyataan. Dan segala
sesuatu yang dapat diindera dan disaksikan
oleh manusia ternyata ada hal-hal yang
bersifat materi yang dapat dirasakan bahkan
dapat diraba, misalnya roti. Kadang-kadang
ada juga sesuatu yang dapat dirasakan tetapi
tidak dapat diraba, seperti pelayanan dokter.
Malah ada juga hal-hal yang bersifat maknawi
(bukan materi) yang dapat dirasakan tetapi
tidak dapat diraba, seperti kebanggaan atau
pujian. Dan ada juga hal-hal yang bersifat
rohani (ruhiy) yang dapat dirasakan tetapi
tidak dapat diraba, seperti takut kepada Allah
dan berserah diri ke padaNya di saat-saat
susah. Ketiga makna ini (materi, maknawi, dan
ruhiy) semuanya memiliki kenyataan yang
dapat dirasakan oleh manusia, yang tentu saja
antara satu dengan lainnya berbeda. Jadi ruh,
kerohanian dan aspek rohani merupakan
kenyataan/realita yang jelas yang dapat
diindera/dirasakan. Karenaitu, kenyataan ini
harus didefinisikan agar dapat dijelaskan
kepada masyarakat sebagaimana halnya

Mafahim HT 37
dengan akal yang sudah didefinisikan dan
menjadi jelas bagi masyarakat.
Dengan pandangan yang teliti mengenai
realita ruh, kerohanian dan aspek rohani
jelaslah bahwa ketiganya tidak akan terdapat
pada diri seorang atheis yang mengingkari
adanya Allah. Ketiganya hanya akan ada pada
diri orang-orang yang telah beriman terhadap
adanya Tuhan. Ini berarti bahwa ruh,
kerohanian dan aspek rohani berkaitan dengan
keimanan kepada Allah. Ada tatkala iman ini
bersemayam dalam diri seseorang dan hilang
ketika iman ini tidak ada. Iman terhadap
adanya Allah adalah pembenaran yang pasti
dengan seyakin-yakinnya bahwa segala
sesuatu adalah makhluk bagi Al Khaliq yang
telah menciptakannya. Dengan demikian yang
menjadi pokok bahasan adalah segala sesuatu
dilihat dari segi bahwasanya segala sesuatu
itu adalah makhluk yang diciptakan oleh Al
Khaliq. Pengakuan bahwa segala sesuatu
diciptakan oleh suatu Khaliq adalah Iman, dan
pengingkaran bahwa segala sesuatu itu
makhluk bagi suatu Khaliq berarti kufur. Dalam
keadaan mengakui serta membenarkan secara
pasti itu terdapatlah aspek rohani. Dan yang

38 Mafahim HT
mewujudkan aspek ini adalah pembenaran
tersebut. Pada saat tidak adanya pengakuan
bahkan ingkar, maka tidak akan didapati
aspek rohani. Yang menjadikan tidak adanya
aspek rohani adalah pengingkarannya
tersebut. Ringkasnya, aspek rohani adalah
kenyataan bahwa segala sesuatu merupakan
mahkluq yang diciptakan oleh Al Khaliq.
Dengan kata lain, aspek rohani adalah
hubungan antara segala sesuatu dengan Al
Khaliq dilihat dari segi penciptaan dan
pembentukannya dari tidak ada. Hubungan ini
--yaitu bahwa segala sesuatu diciptakan oleh
Al Khaliq-- jika disadari oleh akal, maka akan
melahirkan perasaan pengagungan terhadap
Al Khaliq, rasa takut kepada-Nya dan rasa
untuk mensucikanNya. Kesadaran yang
melahirkan perasaan terhadap adanya
hubungan dengan Allah, inilah yang disebut
Ruh. Dengan kata lain ruh adalah kesadaran
akan hubungannya dengan Allah.
Maka jelaslah apa yang dimaksud dengan
makna ruh dan aspek rohani. Makna ruh dan
aspek rohani ini bukanlah kata-kata yang
memiliki pengertian bahasa (lughawi) yang
dirujuk dari segi bahasa saja, dan bukan pula

Mafahim HT 39
istilah yang dapat dipakai oleh setiap golongan
sekehendaknya, melainkan makna yang
memiliki realitas tertentu, kendati
diungkapkan dengan berbagai lafadz. Jadi,
pembahasannya adalah mengenai realitas
makna ini, bukan dilihat dari segi makna
lafadznya menurut bahasa. Realita makna ini
adalah seperti yang telah dijelaskan di atas,
yaitu bahwasanya ruh dilihat dari aspek rohani
pada diri manusia adalah kesadaran akan
hubungannya dengan Allah. Sedangkan aspek
rohani pada alam, manusia dan hidup adalah
kenyataan semua itu merupakan makhluk
yang diciptakan oleh Al Khaliq. Pada saat
lafazh-lafazh ini digunakan maka yang
dimaksud adalah makna-makna yang disebut
di atas, sebab inilah realita yang terindera
yang didasarkan pada bukti-bukti. Dan realita
yang terindera ini terdapat di dalam pikiran
(manusia) dan terdapat pula kenyataannya di
luar pikiran; yang dimiliki oleh manusia-
manusia yang beriman akan adanya Tuhan,
Pencipta segala sesuatu.
Adapun yang dimaksud ruh sebagai
rahasia hidup/nyawa telah jelas
keberadaannya secara pasti berdasarkan nash

40 Mafahim HT
Al-Qur'an yang qath'i. Iman terhadap adanya
ruh demikian merupakan hal yang wajib ada,
dan dalam hal ini bukan menjadi topik
pembahasan.
Lafadz ruh adalah lafadz yang bermakna
ganda/homonim (musytarak) seperti kata 'ain’
yang mempunyai beberapa arti. 'Ain dapat
diartikan dengan mata air, alat penglihatan,
atau mata-mata, bisa juga berarti mata uang
emas dan perak dan sebagainya. Demikian
pula halnya dengan ruh, ia memiliki beberapa
arti. Dalam Al-Qur'an terdapat lafadz ruh
dengan arti yang berbeda-beda. Ada ruh yang
bermakna nyawa/rahasia hidup, seperti:

ً‫ح قُ ِل الرّوحُ ِمنْ أَ ْم ِر َربّي وَمَا أُوتِيُتمْ ِمنَ اْل ِعلْمِ إِلاّ َقلِيلا‬
ِ ‫َويَسَْألُوَنكَ َعنِ الرّو‬
"(Dan) mereka bertanya kepadamu tentang
ruh (nyawa). Katakanlah: 'ruh itu termasuk
urusan rabbku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit'". (QS Al Isra':
85).

Juga terdapat ruh yang bermakna Jibril


seperti pada ayat:

"Dia (Al-Qur'an) dibawa turun oleh Arruhul

Mafahim HT 41
Amin (Jibril), dan diilhamkan kedalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi orang yang
memberi peringatan". (QS Asy-syu'araa: 193-
194).

Juga terdapat lafadz ruh yang bermakna


syariah seperti pada ayat:

‫َوكَ َذِلكَ َأوْحَ ْينَا ِإَل ْيكَ رُوحًا ِمنْ َأ ْم ِرنَا‬


"(Dan) demikianlah kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) ruh (syari'at) dengan perintah
Kami". (Asy-syura: 52).

Seluruh makna-makna yang disebutkan


diatas bukanlah yang dimaksud dengan lafadz
aspek ruhiyah atau sesuatu yang bersifat
rohani atau pemisahan materi dari ruh
ataupun yang sejenisnya. Begitu pula tidak
ada hubungan antara pengertian ruh yang
telah dibahas dengan seluruh makna yang
terdapat dalam Al-Qur'an. Yang dimaksud
dengan ruh menurut penggunaannya yang
akhir ini adalah arti yang berkaitan dengan
penciptaan materi, dilihat dari pandangan
bahwa segala sesuatu telah diciptakan oleh Al
Khaliq, yaitu Allah SWT serta kesadaran

42 Mafahim HT
manusia terhadap hubungan segala sesuatu
itu dengan Khaliqnya.
Pandangan yang teliti, mendalam dan
jernih mengenai manusia, menunjukkan
bahwa manusia hidup di dalam dua lingkaran.
Yang pertama adalah lingkaran yang
menguasai manusia dan yang lain adalah
lingkaran yang dikuasai manusia. Lingkaran
yang menguasai manusia adalah lingkaran
yang di dalamnya berlaku Nizhamul wujud
(Sunnatullah/hukum alam) atas manusia.
Manusia berjalan bersama alam dan
kehidupan sesuai dengan suatu aturan
tertentu yang tidak berubah. Karenaitu,
dijumpai beberapa kejadian menimpa manusia
di dalam lingkaran ini, yang terjadi di luar
keinginannya. Di sini, manusia musayyar
(dikendalikan), bukan mukhayyar (diberi
pilihan). Misalnya manusia lahir ke dunia ini
bukan atas kehendaknya dan ia akan
meninggalkannya, juga bukan atas
kehendaknya; dalam hal ini ia tidak mampu
melepaskan diri dari hukum Alam.
Karenaitulah manusia tidak akan dimintai
pertanggung-jawaban atas perbuatan-
perbuatan yang berasal dari dirinya sendiri

Mafahim HT 43
atau yang menimpanya, tetapi tercakup di
dalam lingkaran ini.
Adapun lingkaran yang dikuasai oleh
manusia, adalah lingkaran dimana manusia
bebas berjalan di dalamnya, sesuai dengan
sistem yang dipilihnya; apakah itu syari'at
Allah atau syari'at yang lainnya. Di dalam
lingkaran ini, terjadi perbuatan-perbuatan
yang dilakukan manusia atau yang
menimpanya sesuai dengan keinginannya.
Misalnya, ia berjalan, makan, minum atau
pergi pada saat yang diinginkannya, dan iapun
mampu untuk tidak melakukan perbuatan-
perbuatan itu pada saat yang diinginkannya
pula. Ia bebas untuk menentukannya. Karena
itu, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya di
dalam lingkaran ini.
Manusia senantiasa mencintai sesuatu
yang berasal darinya atau yang menimpanya
di dalam lingkaran yang dikuasainya ataupun
yang menguasainya. Begitu pula manusia
kadang-kadang membenci sesuatu di dalam
kedua lingkaran tersebut. Maka ia berusaha
menafsirkan kecintaan dan kebenciannya ini
dengan predikat baik dan buruk (khair dan

44 Mafahim HT
syarr). Dan manusia cenderung
menggolongkan apa yang disenanginya
sebagai baik dan apa yang dibencinya sebagai
buruk. Demikian juga terhadap beberapa
perbuatan dikatakan baik dan perbuatan lain
dikatakan buruk atas dasar kemanfaatan yang
didapatnya atau kemudharatan yang
dijumpainya.
Pada hakekatnya perbuatan-perbuatan
yang dilakukan manusia di dalam lingkaran
jangkauannya, tidak diberikan predikat baik
atau buruk karena perbuatannya itu sendiri.
Sebab semua itu hanya sekedar perbuatan
saja, tanpa mempunyai nilai baik atau buruk
dilihat dari dzat perbuatannya. Akan tetapi
yang menjadikannya baik atau buruk ialah
didasarkan pada unsur luar (di luar
perbuatan). Membunuh orang, misalnya, tidak
dikatakan baik maupun buruk, melainkan
dikatakan pembunuhan saja. Adanya sifat baik
atau buruk pada pembunuhan, tidak lain
karena terdapatnya unsur luar. Karenaitu
membunuh kafir harbi (orang kafir yang
memerangi kaum muslimin) adalah baik,
sedangkan membunuh warga negara sipil
(pemerintah Islam) atau yang negaranya

Mafahim HT 45
mengadakan perjanjian dengan pemerintahan
Islam (kafir mu'ahid) atau membunuh orang
yang meminta perlindungan adalah buruk.
Pembunuhan pada contoh pertama
mendapatkan imbalan. Sedangkan yang kedua
akan mendapatkan sanksi, walaupun kedua
perbuatan itu sejenis dan tidak berbeda.
Dalam hal ini baik dan buruk itu datangnya
dari unsur-unsur yang mendorong manusia
untuk melakukan suatu perbuatan dan tujuan
yang hendak dicapai dari perbuatan tersebut.
Hal-hal yang mendorong manusia untuk
berbuat sesuatu dan tujuan yang hendak
dicapainya adalah dua hal yang menentukan
predikat perbuatan itu sebagai baik atau
buruk; apakah itu disukainya maupun tidak,
mendatangkan manfaat atau malah
menimbulkan mudharat.
Karenaitu adalah suatu keharusan bagi
kita untuk mencari unsur-unsur yang mampu
mendorong manusia melakukan suatu
perbuatan, disamping mencari tujuan yang
hendak dicapainya, sehingga dengan demikian
kita akan memahami kapan suatu perbuatan
itu dikatakan baik, kapan dikatakan buruk.
Untuk mengetahui unsur-unsur pendorong

46 Mafahim HT
serta tujuan yang hendak dicapainya ternyata
bergantung pada jenis aqidah yang diyakini
oleh manusia itu sendiri. Bagi seorang muslim
yang telah beriman kepada Allah SWT serta
beriman bahwasanya Allah telah mengutus
nabi Muhammad SAW dengan syari'at Islam
yang menjelaskan perintah-perintah serta
larangan Allah, dan mengatur hubungannya
dengan Allah, atau dengan dirinya sendiri
ataupun dengan manusia yang lainnya, maka
orang muslim yang meyakini hal ini wajib
menyesuaikan seluruh amal perbuatannya
dengan perintah dan larangan Allah. Tujuan
yang hendak diraih dari penyesuaian ini,
adalah mendapatkan ridha Allah SWT.
Karenaitu setiap perbuatan disifati apakah
Allah memurkainya ataukah Dia meridlainya.
Apabila amal perbuatan tersebut mengundang
murka Allah —akibat menyalahi perintah-
perintahNya serta mengikuti laranganNya—
maka amal perbuatan tersebut dikategorikan
buruk. Dan apabila amal perbuatan tersebut
mendatangkan ridha Allah melalui ketaatan
terhadap perintah-perintahNya, serta menjauhi
laranganNya maka amal perbuatan itu
dikategorikan baik.

Mafahim HT 47
Atas dasar hal ini kita dapat mengatakan
bahwa predikat baik dalam penilaian seorang
muslim adalah sesuatu yang diridhai Allah
SWT; sedangkan buruk adalah sesuatu yang
dimurkai Allah SWT. Hal ini berlaku atas
seluruh perbuatan yang dilakukan oleh
manusia atau yang terjadi menimpanya dalam
lingkaran yang dapat dikuasainya.
Adapun perbuatan-perbuatan yang
dilakukan manusia atau yang menimpanya
dalam lingkaran yang menguasainya, maka
manusia memberikan predikat baik atau buruk
sesuai dengan kecintaan dan kebenciannya,
atau kemanfaatan dan kemudharatannya. Hal
ini diungkapkan oleh Allah dengan firmanNya:

ُ‫) َوِإذَا مَسّهُ اْلخَ ْير‬20(‫شرّ َجزُوعًا‬


ّ ‫)إِذَا مَسّ ُه ال‬19(‫ِإنّ اْ ِلنْسَانَ ُخ ِلقَ َهلُوعًا‬
21(‫(مَنُوعًا‬
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir." (QS Al
Ma'arij: 19-21)

ٌ‫حبّ الْخَ ْي ِر لَشَدِيد‬


ُ ‫َوِإنّهُ ِل‬
"(Dan) Sesungguhnya dia sangat bakhil

48 Mafahim HT
karena cintanya kepada harta." (QS Al
'Adiyaat: 8)

Akan tetapi predikat baik-buruk ini bukan


merupakan sifat sesungguhnya dari
perbuatan-perbuatan tersebut. Sebab,
adakalanya seseorang melihat sesuatu itu baik
padahal buruk, dan sebaliknya kadang-kadang
melihat sesuatu itu buruk padahal baik.
Tepatlah firman Allah SWT:

ْ‫وَعَسَى َأنْ َت ْك َرهُوا شَيْئًا َو ُهوَ َخ ْيرٌ لَكُ ْم َوعَسَى َأ ْن ُتحِبّوا شَ ْيئًا وَ ُهوَ َشرّ لَكُم‬
216(َ‫(وَاللّهُ َي ْعلَمُ َوَأنْتُ ْم لَا تَ ْع َلمُون‬
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu padahal itu amat
buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan
kamu tidak mengetahui."
(QS Al Baqarah: 216)

Pandangan yang teliti, mendalam dan


jernih terhadap perbuatan manusia
menunjukkan bahwa perbuatan manusia
dilihat dari segi dzatnya tanpa dilihat lagi
faktor-faktor dan pertimbangan-pertimbangan
lain adalah materi belaka. Keberadaannya

Mafahim HT 49
sebagai materi berarti tidak mempunyai
predikat terpuji atau tercela (hasan wal qabih)
karena dzatnya, melainkan didapat dari faktor-
faktor luar atau pertimbangan-pertimbangan
lain. Pertimbangan lain ini bisa berasal dari
akal saja atau syari'at saja; bisa juga berasal
dari akal yang dibenarkan syara', atau berasal
dari syara' sedangkan akal yang
memperkuatnya.
Penilaian terpuji atau tercela yang
didasarkan pada akal semata, jelas merupakan
hal yang bathil. Sebab pendapat akal
memungkinkan terjadinya perbedaan,
perselisihan pendapat dan kontradiksi. Ukuran-
ukuran akal yang menentukan terpuji atau
tercelanya sesuatu dipengaruhi oleh
lingkungan hidupnya, bahkan berbeda-beda di
setiap kurun waktu. Apabila ukuran terpuji dan
tercela itu diserahkan kepada akal, maka
sesuatu yang tercela bagi sekelompok orang
mungkin menjadi terpuji bagi yang lain.
Bahkan kadang-kadang sesuatu yang sama
dipandang terpuji dalam suatu kurun, tapi
dipandang tercela di lain kurun.

Islam sebagai suatu mabda yang

50 Mafahim HT
universal dan abadi mengharuskan adanya
sifat perbuatan sebagai terpuji dan tercela
berlaku atas seluruh manusia di setiap zaman.
Karenaitu penjelasan suatu perbuatan apakah
terpuji ataukah tercela harus ditentukan oleh
kekuatan yang ada di luar akal, yakni berasal
dari Syara'. Dengan demikian predikat suatu
perbuatan manusia dikatakan terpuji atau
tercela datangnya harus dari syara'. Atas
dasar inilah perbuatan khianat dikatakan
tercela; menepati janji dikatakan terpuji;
berbuat fasik adalah tercela; sedangkan
bertakwa (pada Allah) adalah terpuji;
membelot dari Daulah Islam itu tercela;
sedangkan meluruskan kesalahan-kesalahan
Daulah apabila menyimpang adalah terpuji;
semua ini karena syara' telah mejelaskan
demikian.
Adapun menjadikan syara' sebagai dalil
terhadap apa yang telah ditunjuk oleh akal,
maka hal ini berarti menjadikan akal sebagai
tolok ukur terhadap nilai terpuji dan tercelanya
sesuatu, dan hal ini telah kita jelaskan
kebathilannya. Akan halnya menjadikan akal
sebagai dalil terhadap sesuatu yang telah
ditunjuk oleh syara', maka hal ini berarti

Mafahim HT 51
menjadikan akal sebagai dalil terhadap hukum
syara', padahal hukum syara' dalilnya adalah
nash, bukan akal. Fungsi akal dalam hal ini
adalah untuk "memahami syara'", bukan
menjadikannya sebagai dalil terhadap hukum
syara'. Dengan demikian terpuji dan tercela
semata-mata harus berdasarkan syara' saja,
bukan akal.

Perbedaan antara predikat suatu


perbuatan sebagai baik atau buruk (khair atau
syarr) dengan predikat terpuji atau tercela
(qabih atau hasan) adalah bahwa predikat baik
atau buruk tidak lain ditentukan oleh akibat
perbuatan tersebut menurut pandangan
manusia, juga ditentukan dari segi melakukan-
tidaknya perbuatan tersebut. Seseorang, biasa
menyebut suatu perbuatan berbahaya atau
yang dibenci dengan sebutan buruk.
Sedangkan sesuatu yang memberi manfaat
dan disenangi/dicintai sebagai sesuatu yang
baik; berdasarkan dampak perbuatan tersebut
bagi dirinya, tanpa memperhatikan lagi
predikat terpuji dan tercela malah tidak
dijadikan sebagai perhitungannnya.
Berdasarkan pandangan seperti inilah

52 Mafahim HT
seseorang melakukan perbuatan
ataumeninggalkannya. Untuk meluruskan
pandangan seperti ini, perlu dikatakan bahwa
suatu perbuatan tidak dapat disebut baik dan
buruk menurut benci ataupun cinta, manfaat
ataupun madharat. Yang menjadi ukuran baik
buruk adalah ridha Allah SWT. Jadi,
pembahasan dalam masalah ini adalah dilihat
dari segi tolok ukur baik dan buruk yang biasa
digunakan orang, bukan dari segi perbuatan
itu sendiri.
Mengenai sifat suatu perbuatan disebut
terpuji atau tercela, di pandang berdasarkan
penilaian manusia terhadap perbuatan
tersebut, di samping berdasarkan sanksi dan
imbalan terhadap perbuatan tersebut. Manusia
memberi wewenang kepada dirinya sendiri
untuk menilai perbuatannya apakah perbuatan
tersebut disebut terpuji dan tercela dengan
menganalogkannya terhadap benda-benda.
Pada saat mendapati dirinya mampu
menyatakan terhadap sesuatu benda yang
pahit maka benda tersebut disebut tercela,
dan terhadap sesuatu benda yang manis
dikatakannya sebagai terpuji; begitu pula
terhadap bentuk yang menyeramkan

Mafahim HT 53
disebutnya sebagai tercela dan terhadap yang
elok dan cantik disebutnya terpuji; ia
berpendapat bahwa ia mampu pula
menilai/menghukumi bahwa kejujuran itu
terpuji dan dusta itu tercela, memenuhi janji
itu terpuji sedangkan khianat itu tercela.
Selanjutnya manusia memberikan wewenang
kepada dirinya sendiri untuk menghukumi atas
perbuatan-perbuatan apakah terpuji atau
tercela tanpa memandang persoalan baik dan
buruk. Maka dalam hal ini ia tidak dijadikan
sebagai perhitungan. Berdasarkan pada
penilaiannya ini dibuatlah sanksi-sanksi
terhadap perbuatan yang tercela dan imbalan
bagi perbuatan yang terpuji.
Untuk meluruskan anggapan di atas tadi,
perlu dijelaskan bahwasanya suatu perbuatan
tidak dapat dianalogkan dengan benda, karena
benda secara inderawi dapat dirasakan; pahit,
manis, seram, elok/cantik, sehingga
memungkinkannya untuk menghukumi. Hal ini
berbeda dengan perbuatan. Tidak terdapat
didalam perbuatan sesuatu pun yang dapat
diindra manusia hingga ia dapat
menghukuminya sebagai tercela atau terpuji.
Karenaitu, manusia sama sekali tidak mungkin

54 Mafahim HT
menentukan perbuatan tersebut terpuji atau
tercela semata-mata berdasarkan perbuatan
itu sendiri. Karenanya, haruslah ia mengambil
hukum tersebut dari selainnya, yaitu Allah
SWT. Jadi, pembahasan dalam masalah ini
ditinjau dari segi penentuan hukum terhadap
suatu perbuatan, bukan dari segi analoginya.
Juga pembahasan di sini berkaitan dengan
sanksi atau pahala terhadap suatu perbuatan,
bukan dari segi melakukan perbuatan atau
tidak. Dengan demikian terdapat perbedaan
antara terpuji atau tercela dengan baik dan
buruk. Keduanya merupakan pembahasan
yang terpisah satu sama lain.
Demikianlah mengenai predikat suatu
perbuatan. Akan halnya dengan tujuan
perbuatan, maka sudah barang tentu setiap
orang yang melakukan suatu perbuatan
memiliki tujuan yang melatar belakanginya.
Tujuan inilah yang biasadisebut sebagai
qimatul 'amal (nilai perbuatan). Oleh sebab
itu, adalah suatu hal yang pasti bahwa setiap
perbuatan memiliki nilai tertentu yang ingin
dicapai oleh seseorang tatkala ia melakukan
suatu perbuatan --kalau tidak, tentulah
perbuatan itu akan sia-sia. Sungguh tidak

Mafahim HT 55
pantas seseorang melakukan suatu perbuatan
sia-sia tanpa ada tujuannya. Bahkan
sebaliknya Ia harus memperhatikan
tercapainya nilai-nilai perbuatan yang
melatarbelakanginya.
Nilai suatu perbuatan mungkin bersifat
materi, seperti aktifitas-aktifitas dalam bidang
perdagangan, pertanian, industri dan
sejenisnya. Dan maksud melakukan perbuatan
ini adalah mendapatkan hasil berupa materi,
yaitu memperoleh keuntungan. Nilai ini
memiliki peranan tersendiri dalam kehidupan.
Nilai suatu perbuatan mungkin pula bersifat
kemanusiaan seperti menolong orang yang
tenggelam, ataupun orang yang berada dalam
kesulitan. Maka dalam hal ini, yang menjadi
tujuan perbuatan tersebut adalah
meyelamatkan manusia, tanpa melihat warna
kulit, ras maupun agamanya, atau
pertimbangan-pertimbangan lain selain
kemanusiaan. Adakalanya nilai suatu
perbuatan bersifat akhlaqiyah, seperti jujur,
amanah, ataupun rahmah (kasih sayang).
Maksud kesemuanya ini adalah aspek
khuluqiyah, tanpa memperhatikan segi
keuntungan materi ataupun kemanusiaan;

56 Mafahim HT
sebab kadangkala sifat khuluq ini terdapat
pada selain manusia seperti sayang terhadap
hewan dan burung-burung, atau bisa juga
perbuatan yang bersifat khuluqiyah ini
ternyata malah mendatangkan kerugian
materi. Namun demikian untuk mencapai nilai
akhlaqiyah adalah suatu keharusan.
Adakalanya nilai suatu perbuatan bersifat
ruhiyah seperti ibadat; dalam hal ini kegiatan
ibadah tidak dimaksudkan untuk mendapatkan
keuntungan materi, tidak untuk kemanusiaan
dan bukan soal-soal khuluqiyah, melainkan
semata-mata untu beribadah. Karenaitu, harus
selalu dijaga pencapaian nilai ruhiyahnya ini
tanpa memperhatikan lagi nilai-nilai lainnya.
Demikianlah mengenai nilai bagi berbagai
macam perbuatan yang diusahakan setiap
orang untuk merealisirnya pada saat
melakukan berbagai macam perbuatan.
Ukuran bagi kelompok-kelompok
masyarakat dalam kehidupan dunia selalu
sesuai dengan nilai-nilai di atas dan atau
sesuai dengan realisasi nilai-nilai tersebut di
dalam suatu masyarakat, serta jaminan atas
pelaksanaannya yang akan mendatangkan
kemakmuran dan ketenangan. Karenaitu

Mafahim HT 57
setiap muslim harus berusaha sekuatnya
mendapatkan nilai-nilai yang menjadi tujuan
dari setiap perbuatan yang hendak
dilakukannya pada saat melakukan perbuatan
tersebut, sehingga dapat berperan dalam
mensejahterakan dan mengangkat harkat
masyarakat, disamping untuk dirinya.
Nilai-nilai semacam ini tidak memiliki
kelebihan atau kesamaan berdasarkan nilai
(dzat)-nya sendiri, sebab di dalamnya tidak
terdapat ciri-ciri yang dapat dijadikan patokan
untuk mengutamakan atau menyamakan satu
dengan yang lainnya; melainkan merupakan
hasil yang menjadi tujuan manusia di saat
melakukan suatu perbuatan. Karenaitu kita
tidak bisa meletakkannya secara bersama-
sama pada suatu timbangan atau diukur
secara bersama-sama dalam satu ukuran.
Sebab, nilai-nilai itu berbeda-beda, kalau tidak
malah bertolak belakang. Namun demikian
manusia dapat memilih di antara nilai-nilai
tersebut dengan alasan untuk memilih yang
paling utama, sekalipun tak ada kesamaan dan
keutamaan antara satu dengan yang lain.
Meskipun demikian nyatanya banyak yang
tidak merasa puas dengan hal ini, sehingga

58 Mafahim HT
tetap mengutamakan atau menyamakan di
antara keduanya. Namun, pengutamaan atau
penyamaan diantara nilai-nilai tersebut
bukanlah dibangun diatas nilai itu sendiri
melainkan didasarkan pada apa yang
diperoleh dari nilai tersebut. Akibatnya, orang
menetapkan pengutamaan dan penyamaan
antar nilai-nilai itu didasarkan pada dirinya
sendiri dan pada manfaat atau mudharat yang
dibawa nilai tersebut baginya. Pada akhirnya
mereka menjadikan dirinya dan apa yang
didapatkannya dari nilai-nilai tersebut sebagai
ukuran. Sehingga yang terjadi di sini
sebenarnya adalah pengutamaan antar
dampak-dampak dari nilai-nilai tersebut
terhadap dirinya, bukan atas dasar nilai-nilai
itu sendiri. Dan Karenakesiapan manusia
dalam menerima dampak dari nilai-nilai itu
berbeda, maka pengutamaan mereka antar
nilai-nilai tersebut pun berbeda pula.
Sebagai contoh, orang-orang yang
perasaan rohaniahnya lebih dominan dan
berkecenderungan untuk selalu mencapainya
serta mengabaikan nilai materi, akan lebih
mengutamakan nilai ibadat dan tidak
mementingkan nilai materi. Karena itulah

Mafahim HT 59
mereka mengabaikan kehidupan dunia, sebab
kehidupan dunia bersifat materi. Dan karena
tindakan dan pandangan merekalah akhirnya
terjadi kemunduran kehidupan di bidang
materi; disamping keterbelakangan kehidupan
masyarakat, termasuk timbulnya kemalasan
dan kebodohan di dalamnya.
Sementara orang-orang yang
kecenderungan materinya lebih dominan dan
selalu dikuasai oleh hawa nafsu syahwat, serta
mengabaikan nilai-nilai ruhiyah, akan lebih
mengutamakan nilai materi dan berusaha
untuk mendapatkannya. Karenaitu mereka
memiliki banyak sekali cita-cita (angan-
angan). Dan karena tindakan mereka dan
pandangan merekalah terjadi kekacauan di
tengah-tengah masyarakat di mana mereka
hidup, termasuk timbulnya berbagai kejahatan
dan kerusakan.
Dengan demikian merupakan suatu
kesalahan apabila manusia dibiarkan
menentukan nilai-nilai ini. Seharusnya nilai-
nilai itu ditentukan oleh Dzat yang
menciptakan manusia, yaitu Allah SWT. Dari
sini maka yang menentukan nilai-nilai bagi
manusia, serta menentukan waktu

60 Mafahim HT
pelaksanannya tidak lain adalah syara', dan
atas dasar syara'lah manusia mengambilnya.
Syara' telah menjelaskan pemecahan
berbagai problematika kehidupan melalui
perintah-perintah dan larangan Allah SWT,
serta telah mewajibkan kepada manusia agar
menempuh kehidupan ini sesuai dengan
perintah-perintah dan larangan-larangan ini.
Begitu pula syara' telah menjelaskan
perbuatan-perbuatan yang akan menghasilkan
nilai ruhiyah, berupa ibadah-ibadah yang
diwajibkan dan disunnahkan, sebagaimana
halnya telah menjelaskan sifat-sifat perbuatan
yang akan melahirkan nilai-nilai akhlaq. Dan
syara' membiarkan manusia meraih nilai-nilai
materi yang diperlukannya untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya (primer), bahkan
kebutuhan-kebutuhan sekunder sesuai dengan
peraturan tertentu yang telah dijelaskan syara'
kepadanya dan diperintahkan agar manusia
tidak menyimpang dari aturan ini. Sementara
tugas manusia tidak lain hanyalah berupaya
untuk meraih nilai-nilai ini sesuai dengan
perintah dan larangan Allah; serta
mengukurnya sesuai dengan ukuran yang
telah dijelaskan oleh syara'.

Mafahim HT 61
Dengan demikian akan tercapailah di
dalam masyarakat nilai-nilai yang sesuai
dengan ukuran yang diperlukannya sebagai
suatu masyarakat yang khas. Kemudian
masyarakat tersebut diberi penilaian
berdasarkan terealisirnya nilai-nilai tadi.
Karena itu harus dilakukan usaha untuk
mencapai nilai-nilai yang melahirkan
masyarakat Islam sesuai pandangan Islam
dalam kehidupan.
Atas dasar ini maka sesungguhnya
perbuatan manusia itu adalah materi dan
dilakukan oleh seseorang dengan langkah-
langkah yang juga bersifat materi. Meskipun
demikian pada saat melakukannya ia harus
menyadari hubungannya dengan Allah, yaitu
dengan mengetahui apakah perbuatan
tersebut halal ataukah haram, sehigga ia akan
melaksanakannya atau menghindarinya.
Kesadaran manusia terhadap hubungannya
kepada
Allah inilah yang dimaksud dengan ruh. Dan
ruh inilah yang mengharuskan manusia
mengetahui syari'at Allah SWT agar dapat
membedakan perbuatannya, sehingga
mengerti mana yang terpuji dan mana yang

62 Mafahim HT
tercela; perbuatan-perbuatan apa saja yang
diridlai Allah SWT dan apa saja yang
dibenciNya. Ia dapat membedakan antara hal-
hal yang terpuji dan tercela pada saat syara'
menetapkan mana perbuatan yang terpuji dan
yang tercela. Di samping agar ia dapat
mengetahui nilai-nilai yang diperlukan di
dalam kehidupan Islam yang mewarnai
masyarakat Islam sesuai dengan ketentuan
syara'. Dengan demikian maka pada saat
melakukan suatu perbuatan yang disertai
dengan kesadaran akan hubungannya dengan
Allah, memungkinkan untuk memutuskan
apakah akan melakukan perbuatan tersebut
atau menghindarinya sesuai dengan
kesadarannya. Sebab ia telah mengetahui
jenis, sifat dan nilai setiap perbuatan. Dari sini
terbentuklah falsafah Islam, yaitu penyatuan
materi dengan ruh, dengan menjadikan
berbagai perbuatan berjalan sesuai dengan
perintah dan larangan Allah. Falsafah ini
bersifat kekal dan tetap bagi setiap perbuatan,
baik itu sedikit maupun banyak, kecil maupun
besar. Falsafah itu pun merupakan gambaran
tentang kehidupan. Karena aqidah Islam
merupakan asas kehidupan, asas falsafah

Mafahim HT 63
tersebut dan asas dari seluruh peraturan,
maka hadharah (civilisasi) Islam --yang tidak
lain adalah kumpulan ide (yang mempunyai
kebenaran fakta) tentang kehidupan dari segi
pandangan Islam-- dibangun atas satu dasar
ruhiy, yaitu aqidah. Dan penggambaran
aqidah mengenai kehidupan adalah penyatuan
materi dengan ruh, serta arti kebahagiaan
dalam pandangan aqidah Islam adalah
mendapatkan ridha Allah SWT.
Apabila Aqidah Islam yang memecahkan
problematika besar manusia itu merupakan
dasar seluruh perbuatan manusia, aqidah
itulah yang menjadi pusat pandangannya
dalam kehidupan, serta falsafahnya tadi yang
mengatur perbuatannya ini, maka sungguh
peraturan-peraturan yang terpancar dari
aqidah inilah yang mampu memecahkan
problema-problema manusia, dan mengatur
seluruh perbuatannya dengan peraturan yang
detail. Karenaitu, penerapan hukum-hukum
tersebut merupakan ukuran suatu negara
disebut sebagai Daarul Islam atau Daarul
kufur.
Tempat/daerah yang diterapkan sistem
Islam dan memberlakukan hukum sesuai

64 Mafahim HT
dengan apa yang diturunkan Allah, dinamakan
Daarul Islam walaupum mayoritas
penduduknya bukan muslim. Sedangkan
tempat/daerah yang memberlakukan hukum
selain yang diturunkan Allah, dinamakan
Daarul Kufur walaupun mayoritas
penduduknya muslim. Telah menjadi suatu
keperluan yang mendasar --tentunya sesudah
aqidah-- adanya peraturan Islam dan
pelaksanaanya dalam kancah kehidupan
masyarakat, sebab dengan melaksanakan
peraturan-peraturan ini, yang dijalin dengan
aqidah secara bersamaan akan mambentuk
umat yang memiliki aqliyah (pola pikir) Islam
dan nafsiyah (jiwa) Islam, yang terbentuk
secara wajar, yang akan menjadikan seorang
muslim memiliki Syakhsiyah (kepribadian)
Islam yang tinggi dan unik.
Islam memandang manusia sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisah-pisah dan
mengatur seluruh perbuatan manusia dengan
hukum syara', dengan suatu peraturan yang
harmonis dan tetap, walaupun perbuatan-
perbuatan itu banyak sekali macamnya.
Hukum-hukum syara,' yang berupa peraturan
Islam inilah yang mengatasi berbagai

Mafahim HT 65
problematika manusia. Pada saat
memecahkan masalah manusia, hukum syara'
memecahkannya dengan suatu pandangan
bahwa setiap problematika memerlukan suatu
pemecahan, yaitu dengan suatu persepsi
bahwa problematika tersebut merupakan
suatu masalah yang memerlukan hukum
syara.' Dengan kata lain seluruh problema
kehidupan dipecahkan dengan cara yang
sama, yaitu sebagai problematika yang
bersifat manusiawi, bukan dengan sifat-sifat
yang lain. Islam, misalnya, tatkala
memecahkan masalah ekonomi seperti
nafkah, atau masalah pemerintahan seperti
pengangkatan khalifah, atau masalah sosial
seperti perkawinan, tidak diatasi berdasarkan
sifat-sifatnya sebagai masalah ekonomi,
masalah pemerintahan ataupun masalah
sosial saja, melainkan diatasi dengan suatu
pandangan bahwa hal itu sebagai
problematika kemanusiaan secara
keseluruhan, lalu diambil suatu hukum bagi
masalah tersebut untuk dipecahkan, sebagai
suatu masalah yang memerlukan ketentuan
hukum syara'. Dalam hal ini Islam memiliki
satu metode dalam mengatasi berbagai

66 Mafahim HT
macam problematika manusia, yaitu
memahami masalah yang terjadi, lalu mencari
hukum Allah mengenai masalah tersebut dari
dalil-dalil syari'at secara terperinci.
Peraturan-peraturan Islam merupakan
hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan
ibadah, akhlaq, makanan, pakaian, mu'amalah
dan 'uqubat. Dalam hukum-hukum syara' yang
berkaitan dengan ibadat, akhlaq, makanan
dan pakaian tidak boleh dicari-cari 'illatnya.
Sabda Rasulullah SAW:

‫خ ْمرَةُ ِلعَيِْنهَا‬
َ ‫َحرَ َمتُ اْل‬
"Khamr itu diharamkan karena dzatnya"

Sedangkan hukum-hukum syara' yang


berkaitan dengan mu'amalat dan 'uqubat
dapat memiliki 'illatnya, karena hukum syara'
dalam perkara tersebut didasarkan pada suatu
'illat yang merupakan sebab adanya hukum.
Sudah menjadi kebiasaan umum, banyak
orang mencari 'illat terhadap seluruh hukum-
hukum berdasarkan manfaat karena
terpengaruh oleh kepemimpinan berpikir
(qiyadah fikriyah) Barat dan kebudayaannya,
yang menjadikan manfaat semata-mata

Mafahim HT 67
sebagai dasar terhadap seluruh perbuatan. Hal
ini bertentangan dengan kepemimpinan
berpikir Islam yang menjadikan ruh sebagai
asas seluruh perbuatan dan menjadikan
penyatuan materi dengan ruh merupakan
pengendali bagi seluruh perbuatan.

Hukum-hukum syara' yang berkaitan


dengan ibadah, akhlaq, makanan dan pakaian
tidak boleh dikaitkan dengan 'illat secara
mutlak. Sebab hukum-hukum semacam ini
tidak mengandung 'illat. Hukum seperti ini
diambil sesuai dengan apa yang terdapat
dalam nash saja, tanpa dikaitkan sama sekali
dengan 'illat, seperti halnya shalat, shaum,
haji, zakat, tata cara sholat, bilangan raka'at
shalat, manasik haji, nishab-nishab zakat dan
yang sejenisnya, diambil secara tauqifi
sebagaimana adanya, dan diterima dengan
penuh pasrah tanpa melihat segi 'illatnya.
Bahkan, tidak mencari-cari 'illatnya. Begitu
pula pengharaman memakan bangkai, daging
babi, dan yang sejenisnya, sekali-kali tidak
dicari-cari 'illatnya. Bahkan termasuk suatu
kesalahan yang cukup berbahaya, apabila
mencari 'illat bagi hukum-hukum tadi. Sebab,

68 Mafahim HT
apabila ada usaha untuk mencari 'illat bagi
suatu hukum terhadap perkara-perkara
tersebut tentu memiliki konsekuensi yaitu
apabila hilang 'illatnya, hukumnyapun akan
hilang, sebab

‫َالْ ِعلّ ُة تَ ُدوْرُ مَ َع اْلمَ ْعلُوْ ُل وُ ُج ْودًا َوعَدَمَا‬


"'illat itu senantiasa mengikuti ma'lulnya, ada
atau tidaknya."

Seandainya 'illat wudlu itu kebersihan, 'illat


sholat adalah olah raga, 'illat shaum itu
kesehatan dan seterusnya, maka tentu hal ini
akan mengakibatkan bahwa disaat tidak
didapati 'illatnya maka tidak akan didapati
hukumnya. Tetapi masalahnya tentu tidaklah
demikian. Karena itu, mencari-cari 'illat dalam
masalah ini akan membahayakan eksistensi
hukum dan pelaksanaannya. Maka hukum-
hukum ibadat wajib diterima sebagaimana
adanya tanpa mencari-cari 'illatnya. Adapun
mengenai hikmah (tujuan dan akibat
perbuatan), maka sesungguhnya Allah
sendirilah yang mengetahuinya, dan akal kita
tidak mungkin menjangkau hakekat dzat Allah

Mafahim HT 69
dan tidak akan mampu menjangkau
hikmahnya. Apa yang disebutkan dalam nash-
nash Al Qur'an dan As Sunnah mangenai
hikmah untuk beberapa hukum seperti firman
Allah SWT:

َ‫إِنّ الصّل اَةَ تَ ْنهَى َعنِ الْ َفحْشَا ِء وَاْلمُنْ َك ِر َولَ ِذكْ ُر اللّ ِه َأكَْب ُر وَالُ َي ْعلَمُ مَا تَصْنَعُون‬
"Sesungguhnya shalat itu mencegah manusia
dari perbuatan keji dan munkar..." (QS Al
Ankabut 45)

ْ‫شهَدُوا مَنَافِ َع َلهُم‬


ْ َ‫لِي‬
"Supaya orang-orang yang melakukan ibadah
haji memperoleh berbagai manfaat dari
mereka..." (QS Al Hajj 28)

َ‫ضعِفُون‬
ْ ‫وَمَا ءَاَتيُْتمْ ِمنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَ ْجهَ ال ّلهِ َفأُولَِئكَ ُهمُ اْل ُم‬
"(Dan) Apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhoan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan pahalanya" (QS Ar Ruum 39)

70 Mafahim HT
Begitu pula ayat-ayat lain yang sejenisnya,
tentang hikmah yang disebut dalam nash-nash
Syara', maka pengertian hikmahnya terbatas
(apa yang tercantum) pada nash itu saja dan
diambil hanya dari nash tersebut, tidak
dianalogikan kepada yang lain. Apa yang tidak
disebut hikmahnya oleh nash, kita tidak boleh
mencari-cari hikmahnya sebagaimana kita
tidak boleh mencari-cari 'illatnya. Demikian
dalam masalah ibadah.
Sementara dalam masalah akhlaq,
ternyata bahwa akhlaq memiliki nilai yang
dijadikannya sebagai hukum dalam
menerangkan beberapa keutamaan dan
keluhuran maupun yang bertolak belakang.
Begitu pula halnya bahwa akhlaq dijadikan
sebagai salah satu hasil dari ibadah, dan
termasuk dalam hal yang harus diperhatikan
dalam masalah mu'amalah, sebab Islam di
dalam tasyri'nya bermaksud untuk
mengantarkan manusia menuju jalan
kesempurnaan hingga mencapai tingkat yang
paling tinggi yang dapat diraihnya. Lalu
berusaha untuk memiliki sifat-sifat yang mulia
dan berupaya agar tetap dalam kondisi
memiliki kemuliaan tersebut. Perilaku yang

Mafahim HT 71
baik merupakan nilai yang harus mendapat
perhatian pada saat seseorang berbuat untuk
memiliki sifat-sifat yang mulia. Perilaku yang
baik terbatas pada perbuatan yang terpuji
(fadhilah) yang telah ditentukan oleh syara',
dan nilai-nilai tersebut harus diperhatikan
pada saat melakukan berbagai perbuatan
yang terpuji dan pada saat seseorang
berusaha memiliki sifat-sifat tersebut. Akhlaq
merupakan bagian dari syari'at Islam serta
bagian dari perintah dan larangan Allah yang
harus diwujudkan dalam diri seorang muslim
agar sempurna pengamalan Islamnya serta
mampu melaksanakan secara sempurna
perintah dan larangan Allah.
Sifat-sifat khuluqiyah yang dimiliki
seorang muslim tidak semata-mata
berpredikat akhlaqiah karena akhlaq itu sendiri
dan bukan pula karena sesuatu manfaat. Akan
tetapi seorang muslim berpredikat demikian
karena Allah telah memerintahkannya agar
mempunyai sifat-sifat tadi, dan bukan karena
hal-hal lain. Karenaitu seorang muslim tidak
predikat jujur karena kejujuran itu sendiri, dan
bukan pula karena adanya manfaat dalam
kejujuran, melainkan karena syara' telah

72 Mafahim HT
memerintahkannya.
Seorang muslim tidak berakhlaq karena
semata-mata akhlaq itu sendiri, sebab hal ini
berkaitan dengan sifat perbuatan. Kadang-
kadang suatu perbuatan yang dilakukan
seseorang pada hakekatnya buruk akan tetapi
ia mengira baik, kemudian ia lakukan. Kadang-
kadang sifat yang ada pada dirinya pada
hakekatnya adalah sifat yang jahat, sedangkan
ia mengira sifat itu baik, maka perbuatan itu
dilaksanakannya. Dari sini muncul kesalahan
dari tindakan manusia terhadap akhlaq karena
semata-mata akhlaq. Selama Islam tidak
menentukan sifat-sifat terpuji/baik dan
tercela/buruk, kemudian seorang muslim
melaksanakannya atas dasar pandangannya,
maka ia tidak mungkin menjadi seorang yang
memiliki sifat-sifat tersebut sesuai dengan
hukum-hukum syara'. Karenaitu seorang
muslim tidak dibolehkan bersifat jujur karena
semata-mata kejujuran atau mengasihi yang
lemah semata-mata karena kasihan. Seorang
muslim tidak akan melakukan nilai-nilai akhlaq
ini karena semata-mata akhlaq, akan tetapi
karena sadar bahwa Allah telah
memerintahkan sifat-sifat tersebut, dimana

Mafahim HT 73
akhlaq tersebut hanya bersandar kepada
aqidah Islam. Hal inilah yang menjadi
persoalan pokok dalam masalah akhlaq. Dan
dengan ini akan menjamin kemampuan akhlaq
dalam mengendalikan nafsu, dan kelestarian
akhlaq tetap dalam keadaan bersih, bebas dari
pencemaran dan dapat menjauhkan hal-hal
yang dapat merusaknya. Dengan demikian
untuk menjamin kelestarian akhlaq hendaklah
membatasi dengan apa yang terdapat dalam
nash dan terbatas pada azas ruhi yang
dibangun diatas landasan aqidah Islam.
Seseorang tidak dapat dikategorikan
berakhlaq baik, karena dorongan satu
manfaat, sebab manfaat bukan menjadi tujuan
dari akhlaq dan memang tidak pantas menjadi
suatu tujuan, agar hal seperti itu tidak dapat
merusak akhlaq, dan atau agar manfaat itu
tidak menjadi tumpuan akhlaq. Sedang akhlaq
adalah sifat yang harus dimiliki seseorang
dengan senang hati dan dengan pilihannya
sendiri disertai dorongan taqwa kepada Allah.
Seorang muslim tidak akan melakukan
perbuatan akhlak hanya semata-mata
perbuatan tadi bermanfaat atau
mendatangkan kemudharatan dalam

74 Mafahim HT
kehidupan, akan tetapi ia lakukan karena
memenuhi perintah dan larangan Allah. Hal ini
menjadikan seseorang memiliki sifat-sifat
akhlaq yang baik secara terus-menerus dan
tetap, tidak berjalan karena ada manfaatnya.
Akhlaq yang dibangun atas dasar
pertukaran manfaat akan menjadikan
pelakunya munafik, batinnya berbeda dengan
zhahirnya, karena menurutnya akhlaq
berlandaskan nilai manfaat. Sehingga jika ada
manfaat yang didapat, maka akhlaq akan
terwujud dalam dirinya. Manusia dapat
memutarbalikkan hukum-hukum sesuai
dengan illatnya yang telah ditentukan. Ia tidak
akan meyakini adanya akhlaq, bahkan
keharusan berakhlaq, apabila ia melihat
illatnya telah hilang. Karenaitu akhlaq tidak
mempunyai illat dan tidak dibolehkan untuk
dicari illatnya, akan tetapi diambil
sebagaimana yang disebutkan oleh syara'
tanpa perlu meneliti adanya suatu illat.
Termasuk suatu kesalahan, bahkan berbahaya
apabila mencari-cari illat pada masalah
akhlaq, agar tidak terjadi kasus pembatalan
akhlaq dengan hilangnya illat.
Dari sini dapat dijelaskan bahwa tujuan

Mafahim HT 75
dari ibadah semata-mata adalah nilai ruhani,
sedangkan tujuan akhlaq adalah nilai akhlaq.
Kedua nilai tersebut hendaknya menjadi tujuan
dari ibadah atau akhlaq tanpa tujuan-tujuan
lain. Tidak dibolehkan menjelaskan apa yang
terdapat dalam ibadah dan akhlaq mengenai
faedah-faedah dan manfaatnya, karena
penjelasan yang demikian sangat berbahaya
terhadap akhlaq dan akan menyebabkan
timbulnya nifaq pada orang-orang yang
beribadat dan yang memiliki akhlaq. Bahkan
akan mendorong untuk meninggalkan ibadat
dan akhlaq, jika tidak ada manfaat dan
faedahnya.
Adapun hukum-hukum syara' yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dalam
hubungannya antara sesama manusia, maka
nash-nash yang terdapat mengenai hal ini di
antaranya ada yang menyebutkan illat, seperti
firman Allah mengenai pemberian fa'i
(rampasan perang yang diperoleh dengan cara
damai) Bani Nadhir, yaitu kepada orang-orang
Muhajirin saja, tidak kepada Anshar.

ْ‫كَ ْي لاَ َيكُونَ دُولَةً بَ ْي َن اْ َلغْنِيَاءِ مِ ْنكُم‬


".... supaya harta itu jangan hanya beredar

76 Mafahim HT
diantara orang-orang kaya saja diantara kamu
... " (Al-Hasyr: 7)

Terdapat pula hukum yang tidak menyebutkan


illatnya, seperti:

‫َوأَحَلّ الُ اْلبَيْ َع وَ َحرّمَ ال ّربَا‬


"... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba."
(Al-Baqarah: 275)

Nash yang menyebutkan sebagian hukum


dengan menyertakan illatnya, maka hukum
tersebut berkaitan dengan illat serta dapat
dianalogkan/qiyas kepada yang lainnya.
Sedangkan nash yang tidak menyebutkan illat,
maka illatnya sama sekali tidak boleh dicari
dan tidak dapat dianalogkan/qiyas kepada
yang lain.
Illat yang sah adalah illat syar'iyah, yaitu
yang berdasarkan kepada nash syara' yang
diambil dari Kitab dan Sunnah, karena hanya
Al-Qur'an dan Sunnahlah yang menjadi nash-
nash syara'. Karenaitu illat yang menjadi dasar
hukum syara' harus illat syar'iyyah, bukan illat

Mafahim HT 77
aqliah. Dengan kata lain keberadaan illat,
wajib berdasarkan nash, baik diperoleh secara
jelas maupun dengan dalalah/penunjukkan,
atau melalui istinbath, maupun qiyas. Illat
inilah yang selalu beredar bersama obyek
hukum ma'lulnya, baik itu ada ataupun tidak.
Berdasarkan hal ini maka hukum itu berjalan
bersama illatnya, sehingga jika didapati suatu
perkara yang dilarang dalam suatu keadaan
tertentu karena ditemukan illat syar'iyyahnya,
maka apabila illat tersebut telah hilang,
perkara tersebut menjadi boleh. Jadi hukum
syara' berjalan sesuai dengan illatnya, baik
illatnya ditemukan maupun tidak. Apabila
terdapat illat maka terdapat hukum dan
apabila tidak ada, maka hukumnya juga tidak
berlaku. Namun demikian hilangnya hukum
disebabkan tidak ditemukannya 'illat, sama
sekali tidak berarti hukum itu sendiri berubah.
Hukum syar'i terhadap suatu masalah, tetap
itu-itu juga, tidak berubah. Jadi hilangnya
hukum disebabkan karena hilangnya illat, akan
kembali berlaku dengan munculnya illat.
Walaupun hukum beredar bersama
illatnya baik dijumpai maupun tidak 'illatnya,
bukan berarti hukum-hukum syara' itu berubah

78 Mafahim HT
sesuai dengan perubahan waktu dan tempat,
dengan alasan bahwa mendatangkan
maslahat/manfaat dan menolak
kerugian/mafsadat merupakan illat bagi
hukum-hukum syara. Padahal nilai
kemaslahatan dan kemafsadatan dapat
berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu
dan tempat dan jika hal ini dijadikan patokan,
dengan sendirinya hukum itu akan berubah
sesuai dengan perubahan yang terjadi. Tentu
saja yang demikian itu tidak boleh terjadi,
sebab mendatangkan kemaslahatan dan
menolak adanya mafsadat, keduanya sama
sekali bukan merupakan illat bagi hukum-
hukum syara', karena tidak terdapat satu nash
pun yang menunjukkan bahwa mendatangkan
maslahat dan menolak mafsadat adalah illat
bagi hukum-hukum syara'. Tidak terdapat satu
nash pun yang menunjukkan bahwa hal
tersebut merupakan illat bagi hukum tertentu.
Karenaitu hal ini bukanlah illat syar'iyah.
Illat syar'iyah adalah apa yang tercantum
dalam nash syara', yang harus terikat dengan
nash dan terbatas pada penunjukan
maknanya. Dalam hal ini nash syara' tidak
pernah menunjukkan bahwa mendatangkan

Mafahim HT 79
mashlahat dan menolak mafsadat adalah 'illat.
Karenaitu illat syar'iyah adalah apa yang telah
tercantum dalam nash, dan bukan didasarkan
pada sesuatu yang mandatangkan maslahat
atau yang menolak mafsadat. Apa yang
disebut oleh suatu nash, tidak merujuk
(tergantung) pada waktu dan tempat, bukan
pula karena perbuatan itu sendiri.
Penunjukkannya semata-mata tercantum
dalam nash syara' yang menjelaskan illat
suatu hukum. Nashnya sendiri sama sekali
tidak akan berubah. Dengan demikian waktu
dan tempatpun tidak dipertimbangkan lagi di
sini, begitu pula halnya dengan alasan
mendatangkan maslahat dan menolak
mafsadat.
Berdasarkan hal ini maka hukum-hukum
syara' tidak berubah karena perubahan waktu
dan tempat. Hukum-hukum syara tetap itu-itu
saja, tidak berubah walau terdapat perubahan
waktu dan tempat. Adapun perubahan
karena tradisi dan adat istiadat manusia, tidak
juga mempengaruhi perubahan hukum, karena
tradisi bukanlah 'illat dasar suatu hukum. 'Urf
adakalanya bertentangan dengan syara',
adakalanya juga tidak. Apabila bertentangan

80 Mafahim HT
dengan syara maka syara'lah yang
menghapus dan merubahnya, sebab salah
satu fungsi syari'at adalah untuk merubah urf
dan adat yang rusak yang menjadi penyebab
rusaknya masyarakat. Inilah yang
menyebabkan tradisi dan adat istiadat tidak
bisa dijadikan dasar maupun illat hukum
syara'. Hukum tidak berubah karena urf.
Apabila tradisi dan adat istiadat tidak
bertentangan dengan syara' maka hukum
tersebut ditetapkan berdasarkan dalil berikut
illat syar'iyahnya, bukan karena urf, walaupun
urf tersebut tidak manyalahi syara'. Dengan
demikian urf tidak bisa mengangkangi syara'
akan tetapi syara'lah yang mengatur urf dan
adat istiadat manusia. Berdasarkan hal ini
hukum-hukum syara' memiliki dalil, yaitu nash
dan hukum syara, juga memiliki illat syar'iyah,
tidak ada kaitannya sedikitpun dengan
urf/tradisi maupun adat secara mutlak.
Kesesuaian Syari'at Islam untuk setiap
waktu dan tempat disebabkan karena syariat
Islam mampu mengatasi dan memecahkan
berbagai problematika manusia disetiap waktu
dan tempat dengan berbagai macam hukum-
hukumnya. Bahkan mampu memecahkan

Mafahim HT 81
semua masalah manusia walau bagaimanapun
luas dan beraneka ragamnya, sejalan dengan
masalah-masalah manusia. Tidak lain hal ini
karena tatkala syara' memecahkan masalah-
masalah manusia maka pemecahannya itu
dengan memperhatikan predikatnya sebagai
manusia, bukan dengan predikat lainnya.
Manusia pada setiap masa dan tempat
predikatnya tetap sebagai manusia. Gharizah
dan kebutuhan jasmani manusia, selamanya
tidak akan berubah. Demikian pula hukum-
hukum pemecahannya tidak berubah pula.
Yang berubah hanyalah bentuk kehidupan
manusia yang tidak berpengaruh terhadap
pandangannya mengenai kehidupan. Adapun
tuntutan kehidupan yang senantiasa
bermunculan maka hal itu berasal dari
gharizah dan kebutuhan jasmani. Syari'at
secara luas telah mengatasi dan memecahkan
tuntutan-tuntutan yang bermunculan dan
berbeda-beda macamnya, bagaimanapun
bentuk dan variasinya, dan bagaimanapun
tuntutan kehidupan. Hal seperti inilah yang
menjadi salah satu faktor perkembangan fiqih.
Namun demikian keluasan dalam syariat tidak
berarti syariat itu fleksibel sehingga dapat

82 Mafahim HT
disesuaikan dengan segala sesuatu walaupun
bertentangan dengan syara'. Tidak berarti juga
bahwa syari'at itu berubah secara berangsur-
angsur sehingga dapat diubah sesuai dengan
zaman. Akan tetapi yang dimaksud dengan
keluasan nash-nash syara' adalah sebagai
sumber pengambilan berbagai macam hukum,
dan atau keluasan hukum untuk mengatasi
beraneka ragamnya problematika manusia.
Satu contoh firman Allah:

ّ‫ض ْعنَ لَكُ ْم فَآتُوهُنّ ُأجُورَ ُهن‬


َ ‫فَِإنْ أَ ْر‬
"... kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu, maka berilah kepada
mereka upahnya, ..." (Ath Thalaq: 6)

Dari ayat ini dapat diambil hukum syara'


bahwa wanita yang ditalak berhak
mendapatkan upah menyusukan anak. Dapat
pula diambil suatu hukum syara' bahwa
seorang pekerja apapun bentuknya, berhak
menerima upah apabila melakukan
pekerjannya, baik ia sebagai pakerja umum
(public worker) maupun khusus (private
worker). Hukum ini juga dapat berlaku
terhadap beberapa masalah hukum

Mafahim HT 83
diantaranya bahwa seorang pegawai negeri,
pekerja di pabrik, petani diladang dan
sejenisnya, masing-masing berhak menerima
upahnya apabila telah menyempurnakan
pekerjannya, karena statusnya sebagai pekerja
khusus. Dan bahwasanya seorang tukang kayu
yang membuat lemari, penjahit yang menjahit
baju, tukang sepatu yang membuat sepatu
dan yang sejenisnya, masing-masing berhak
menerima upah apabila telah melakukan
pekerjaannya, karena statusnya sebagai
pekerja umum. Mengingat bahwa "ijaaroh"
adalah aqad/transaksi antara orang yang
mempekerjakan dan yang bekerja, maka tidak
termasuk dalam masalah ini para penguasa,
sebab penguasa bukanlah abdi negara (yang
diupah). Penguasa adalah "pelaksana hukum
syara'" atau orang yang melaksanakan Islam.
Dengan demikian seorang khalifah tidak
berhak menerima upah karena pelaksanaan
tugas-tugasnya, sebab ia dibai'at untuk
melaksanakan syara' dan mengemban da'wah
Islam. Khalifah bukanlah abdi negara (yang di
upah). Demikian pula mu'awin (pembantu)
khalifah, dan para wali, tidak berhak menerima
upah atas pelaksanaan tugas-tugasnya,

84 Mafahim HT
karena tugas-tugas mereka adalah tugas
pemerintahan. Mereka bukan para pekerja.
Karenaitu, mereka tidak mengambil upah.
Meskipun demikian terhadap mereka diberikan
'santunan' sebatas keperluannya hidupnya,
karena mereka tidak sempat melakukan
urusan-urusan pribadi mereka sendiri.
Keluasan nash syara' seperti contoh
diatas dalam pengambilan hukum-hukum yang
beraneka ragam dan keluasan hukum untuk
mengatasi beraneka macamnya problematika
manusia, inilah yang menjadikan syari'at Islam
mampu memecahkan seluruh problematika
kehidupan di setiap zaman dan tempat, di
setiap umat serta generasi. Keluasan hukum
itu sendiri tidak bersifat elastis dan berubah-
ubah.
Dalil hukum syara' yang berasal dari
Nash, baik Kitab maupun Sunnah bertujuan
untuk mengatasi setiap problema baru yang
terjadi, sebab Syari' (Allah) dalam hal ini
menetapkan untuk mengikuti makna-makna
dari nash, bukan terbatas pada keharfiahan
nash itu sendiri (teksnya). Karenaitu dalam
pengambilan hukum-hukum harus
diperhatikan segi illat dari suatu hukum, yaitu

Mafahim HT 85
memperhatikan illat yang terkandung dalam
nash pada saat melakukan istimbat hukum.
Hal ini dilihat dari segi makna/maksud syara'
(kontekstual) illat.
Suatu dalil adakalanya memuat suatu
illat hukum, atau bisa juga illat diambil dari
suatu dalil yang lain, ataupun dari sekumpulan
dalil-dalil. Walaupun hukum diambil/diistimbat
dari suatu dalil tertentu, akan tetapi harus
tetap memperhatikan segi illatnya dan bukan
terbatas pada bentuk harfiah yang terdapat
dalam nash yang ditujukan untuk mengatasi
problema yang terjadi saat itu. Sebagai contoh
firman Allah SWT :

ِ‫وََأ ِعدّوا لَ ُهمْ مَا اسْتَ َطعُْتمْ ِمنْ ُقوّةٍ َو ِمنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُ ْرهِبُونَ ِبه‬
ْ‫َع ُدوّ ال ّلهِ َو َع ُدوّ ُكم‬
"(Dan) Siapkanlah untuk menghadap mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu
menggetarkan musuh Allah dan musuhmu,..."
(Al-Anfal: 60)

Hukum yang terdapat dalam ayat ini adalah

86 Mafahim HT
mengenai persiapan kekuatan. Sedangkan
masalah yang terjadi saat itu diatasi dengan
mempersiapkan kekuatan fisik, diantaranya
dengan cara menambatkan kuda-kuda.
Adapun bentuk (arah) illat dari hukum tersebut
adalah untuk menakut-nakuti musuh.
Karenaitu apabila kita pada saat ini hendak
mengambil dari dalil tersebut diatas hukum
mempersiapkan kekuatan, kita harus
memperhatikan segi illat dari hukum, yaitu
mempersiapkan segala hal yang dapat
menakut-nakuti musuh. Kita tidak boleh terikat
dengan apa yang telah dilakukan untuk
mengatasi masalah yang pernah terjadi pada
saat itu, sebagaimana yang tercantum dalam
nash yaitu harus menambatkan kuda.
Begitulah apa yang dilakukan terhadap
setiap dalil yang diistimbat suatu hukum,
karena yang dimaksud adalah merealisir segi
illat dari suatu hukum. Dengan demikian,
syari'at Islam mengharuskan dalam hal hukum
yang berkaitan dengan hubungan sesama
manusia dalam urusan muamalah supaya
berlandaskan kepada illat yang ada, dan agar
diperhatikan dalam nash-nash syara' pada
saat pengambilan hukum segi makna syara'

Mafahim HT 87
(kontekstual) bukan secara tekstual.
Sebagaimana halnya nash-nash dalam
Kitab dan Sunnah merupakan dalil syara'
untuk menentukan suatu hukum, begitu pula
halnya terhadap Ijma' dan Qiyas, keduanya
termasuk juga dalil syara'. Dengan demikian
maka dalil-dalil syara' yang memerinci hukum-
hukum syar'i terdiri dari Kitab, Sunnah, Ijma'
dan Qiyas. Adapun madzhab sahabat dalam
beberapa masalah ijtihad bukan termasuk dalil
syara', karena seorang sahabat termasuk ahli
ijtihad yang memiliki kemungkinan untuk
berbuat salah. Disamping itu para sahabatpun
berbeda pendapat dalam berbagai masalah,
yang masing-masing memiliki pendapat yang
berlainan antara satu dengan lainnya.
Seandainya madzhab sahabat dijadikan
sumber dalil syara' maka akan banyak sekali
hujjah Allah yang berbeda dan bertolak
belakang. Oleh sebab itu madzhab sahabat
tidak bisa dijadikan dalil syar'i (sumber
pengambilan hukum), akan tetapi sama
kedudukannya dengan madzhab-madzhab
yang lainnya yang diakui dan dibolehkan untuk
mengikutinya. Adapun mengenai sesuatu yang
menjadi kesepakatan para sahabat terhadap

88 Mafahim HT
berbagai hukum, maka hal ini berupa suatu
ijma, bukan termasuk madzhab sahabat.
Mengenai syari'at yang diturunkan
sebelum Islam (Aturan Bangsa terdahulu,
pen.), tidak dianggap sebagai syari'at untuk
kita, juga tidak dapat di kategorikan sebagai
dalil syara'. Walaupun aqidah Islam
mengharuskan iman kepada para Nabi dan
Rasul secara keseluruhan, beserta Kitab-kitab
yang telah diturunkan kepada mereka, akan
tetapi yang dimaksud Iman kepada mereka
adalah hanya membenarkan kenabian dan
Risalahnya, serta membenarkan apa yang
telah diturunkan kepada mereka berupa Kitab.
Iman terhadap mereka bukan berarti
mengikuti mereka, sebab setelah diutusnya
Nabi Muhammad, seluruh manusia dituntut
untuk meninggalkan agama mereka dan
memeluk Islam, karena agama selain agama
Islam tidak ada artinya (tertolak). Firman Allah
SWT:

ُ‫ِإنّ الدّينَ عِنْ َد الِ الْإِ ْسلَم‬


"Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi
Allah hanyalah Islam" (Ali Imran: 19)

Mafahim HT 89
ُ‫وَ َمنْ َيبْتَ ِغ غَ ْيرَ اْلِسْلَ ِم دِينًا َفلَنْ ُيقْبَلَ ِمنْه‬
"Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya" (Ali Imran: 85)

Hal ini menunjukkan dengan jelas apa yang


disebutkan diatas, dari ayat-ayat tadi
muncullah suatu kaedah ushul:

‫َشرَعٌ َمنْ َق ْبلَنَا لَيْسَ َش ْرعًا َلنَا‬


"Syariat bangsa sebelum kita bukan syariat
bagi kita".

Sebagai bukti kesalahan kaedah tersebut


diatas, maka para sahabat secara ijma'
menyatakan bahwa syariat nabi Muhammad
SAW menghapuskan seluruh syari'at yang
terdahulu, juga berdasarkan firman Allah SWT:

ِ‫حقّ ُمصَدّقًا ِلمَا َب ْينَ يَ َديْهِ ِمنَ الْ ِكتَابِ وَ ُمهَ ْيمِنًا َعلَيْه‬
َ ْ‫ب بِال‬
َ ‫ك الْكِتَا‬
َ ‫َوَأْن َزلْنَا ِإلَ ْي‬
"(Dan) Kami talah menurunkan kepadamu
Kitab Al-Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelum Al-
Qur'an) dan yang menghapus kitab-kitab yang
lain itu". (Al-Maidah: 48)

90 Mafahim HT
Yang dimaksud dengan "Muhaiminan 'Alaihi"
dalam ayat tersebut adalah menundukkan,
"musayyithiron dan Mushallithan" adalah
menguasai. Kekuasaan Al-Qur'an terhadap
kitab-kitab terdahulu adalah penghapusan
terhadap syariat-syariat sebelumnya, maka Al-
Qur'an membenarkan dan menasakhkan kitab-
kitab sebelumnya. Diriwayatkan berasal dari
Rasulullah SAW bahwasanya beliau melihat
Umar bin Khattab membawa selembar kertas
Taurat yang sedang dibacanya, maka beliau
murka seraya bersabda :

‫ال آت با بيضاء نقية ولو أدركن أخى موسى لا وسعه ال أتباعى‬


"Tidakkah aku datang dengan membawa
kertas putih bersih, seandainya saudaraku
Musa melihatku, tentu Ia tak akan berbuat
apa-apa selain mengikutiku"(HR. Imam
Ahmad, Ibnu Syaibah dan Al bazzaar).

Banyak diantara aktifitas manasik haji seperti


Thawaf, mengusap Hajar Aswad serta
menciumnya, Sa'i antara Shafa dan Marwa,
kesemuanya telah ada sejak masa jahiliah.
Kita pada saat melakukan dan melaksanakan

Mafahim HT 91
Ibadah sesuai dengan cara tersebut, tidak
melakukannya sebagai manasik yang telah
ada dalam syariat terdahulu melainkan
dilakukan berdasarkan syariat Islam, karena
Islam telah menentukannya sebagai hukum-
hukum syara' yang baru dan hal ini bukan
pengakuan terhadap syari'at sebelumnya.
Demikian pula halnya terhadap segala sesuatu
yang berasal dari agama-agama terdahulu,
sama sekali tidak boleh melakukannya, yang
kita lakukan semata-mata apa yang dibawa
oleh syariat Islam. Karenaitu orang-orang
Nasrani dan Yahudi menjadi sasaran seruan
syariat Islam. mereka diperintahkan untuk
meninggalkan syariatnya karena Islam telah
menghapus syari'at keduanya. Apabila hal ini
merupakan kewajiban bagi pengikut syari'at
Talmud yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani
untuk mengikuti syari'at Islam, bagaimana
mungkin seorang muslim dituntut untuk
menjadikan syari'at bangsa yang sebelumnya
sebagai syari'at bagi umatnya?
Mengenai firman Allah SWT:

ٍ‫ِإنّا َأوْحَيْنَا ِإلَ ْيكَ َكمَا َأوْحَيْنَا ِإلَى نُوح‬


"Sesungguhnya Kami telah memberikan

92 Mafahim HT
wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah
memberikanya kepada Nabi Nuh ....." (An-
Nisaa: 163)

Maka yang dimaksud dalam ayat ini adalah


bahwa Allah SWT telah mewahyukan
kepadanya (nabi Muhammad), sebagaimana
diwahyukan kepada yang lain dari kalangan
nabi-nabi sebelumnya. Sedangkan firman Allah
SWT:

‫ع لَكُمْ ِمنَ الدّينِ مَا َوصّى بِ ِه نُوحًا‬


َ َ‫َشر‬
"Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nabi Nuh" (QS Asy Syuura: 13)

Maksudnya yang telah disyariatkan adalah


ajaran-ajaran pokok Tauhid sebagaimana yang
telah diwasiatkan kepada nabi Nuh. Adapun
firman Allah SWT:

َ‫ثُمّ َأوْ َحيْنَا ِإلَ ْيكَ َأ ِن اتّبِعْ ِملّةَ ِإْبرَاهِيم‬


"Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): 'Ikutilah millat (dasar) Ibrahim'"
(An-Nahl: 123)

Mafahim HT 93
Maksudnya ikutilah dasar Tauhid sebab millat
artinya dasar Tauhid. Maksud dari ayat-ayat ini
dan yang sejenisnya adalah menjelaskan
bahwa nabi Muhammad SAW bukanlah Rasul
yang baru, akan tetapi Allah SWT telah
mengutus Rasul-rasul yang lain selain
Rasulullah. Dan dasar tauhid itulah "Ad Din",
dan itulah yang sama dibawa oleh para Nabi
dan para Rasul. Adapun selain dari pada itu
maka setiap Rasul telah diutus dengan
membawa suatu “Din/syariat” yang berbeda-
beda sebagaiman firman Allah SWT:

ِ‫ب وَ ُمهَ ْيمِنًا عَلَ ْيه‬


ِ ‫َوَأنْ َزلْنَا ِإلَ ْيكَ الْ ِكتَابَ بِاْلحَقّ ُمصَدّقًا ِلمَا بَ ْينَ يَ َدْيهِ ِمنَ الْكِتَا‬
‫فَا ْحكُمْ َبيَْنهُ ْم ِبمَا َأْنزَلَ اللّ ُه َولَا تَتّبِعْ َأ ْهوَا َءهُمْ َعمّا جَاءَكَ ِمنَ اْلحَقّ ِلكُلّ جَ َعلْنَا‬
‫ِمنْكُمْ ِش ْرعَةً َومِ ْنهَاجًا َوَلوْ شَا َء اللّ ُه لَجَ َعلَ ُكمْ أُمّ ًة وَاحِ َدةً َولَ ِكنْ لِيَ ْب ُل َوكُمْ فِي مَا‬
ِ‫ءَاتَاكُمْ فَاسَْتبِقُوا اْلخَ ْيرَاتِ ِإلَى اللّهِ َمرْجِعُ ُكمْ َجمِيعًا فَُينَبّئُكُ ْم ِبمَا كُنُْتمْ فِيه‬
48(َ‫(َتخَْتلِفُون‬
"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu (kaum
muslimin dan Akhli ktab), Kami berikan aturan
dan jalan hidup yang khas" (Al-Maidah: 48)

Dengan demikian maka syariat sebelum


kita bukan merupakan syariat bagi kita dan
tidak termasuk salah satu dalil syara' yang

94 Mafahim HT
dapat dijadikan sebagai sumber pengambilan
hukum.
Pada dasarnya istimbat hukum dilakukan
oleh para mujtahidin, sebab untuk mengetahui
hukum Allah dalam suatu masalah, tidak lain
hanya dengan jalan ijtihad, dan Karenaitu
ijtihad amat diperlukan. Para 'Ulama Ushul
telah menentukan bahwasanya ijtihad
merupakan fardlu kifayah atas kaum muslimin,
di setiap masa tidak boleh kosong dari adanya
para mujtahid. Dan apabila ummat secara
keseluruhan sepakat untuk meninggalkan
ijtihad maka mereka berdosa. Hal ini karena
cara untuk mengetahui hukum-hukum syara'
hanya melalui ijtihad. Seandainya di suatu
masa tidak ada seorang mujtahid yang dapat
dijadikan sandaran untuk mengetahui hukum-
hukum, maka hal ini akan mengakibatkan
tidak berfungsinya syari'at dan hilangnya
hukum, keadaan seperti itu tidak
diperbolehkan. Namun demikian, untuk
berijtihad diperlukan berbagai persyaratan
sebagaimana disebutkan oleh para ulama
ushul secara terperinci, antara lain diperlukan
penelaahan yang luas, pemahaman yang
benar terhadap nash dan memiliki

Mafahim HT 95
pengetahuan yang cukup dalam terhadap
bahasa Arab, diperlukan pemahaman yang
luas terhadap berbagai masalah syari'at serta
menguasai dalil-dalilnya.
Karenaitu pengambilan hukum tanpa
pengamatan terlebih dahulu tidak dapat
dinamakan istimbat. Demikian pula adanya
maslahat secara sekilas dalam suatu hukum
kemudian memutarbalikkan nash, serta
menyesuaikannya terhadap sesuatu yang
tidak dimaksudkan oleh nash tersebut untuk
menetapkan suatu hukum. Hal ini bukan
ijtihad, melainkan kecerobohan terhadap
agama Allah yang pelakunya berhak
mendapatkan siksa Allah.
Memang benar bahwa pintu ijtihad
senantiasa terbuka, akan tetapi terbuka hanya
untuk para Ulama, bukan untuk orang-orang
yang jahil/bodoh. Mujtahid terdiri dari tiga
macam. Mujtahid Mutlak dan Mujtahid
Madzhab, yang keduanya memiliki
persyaratan khusus, dan yang ketiga adalah
Mujtahid al Mas'alatu Wahidah. Dia merupakan
mujtahid yang berijtihad hanya dalam satu
masalah. Ia mampu memahami suatu nash
dan meneliti suatu masalah berikut dalil-

96 Mafahim HT
dalilnya serta dalil para mujtahidin dalam
masalah tersebut. Hal ini sudah menjadi
keharusan bagi seorang muslim yang hendak
mengetahui hukum-hukum Allah, sebab syara'
pada dasarnya menjadikan seorang muslim
agar ia sendiri mampu mengambil hukum dari
dalil syara', agar ia menjadi seorang mujtahid
dalam agama mengenai masalah-masalah
yang diperlukan.
Akan tetapi setelah masa penulisan dan
kodifikasi madzhab-madzhab mujtahidin serta
pembentukan kaedah-kaedah (ushul) dan
hukum-hukum (furu'), maka konsep ijtihad
mulai lemah dalam jiwa kaum muslimin dan
para mujtahid mulai langka, bahkan sampai
kaum muslimin diwarnai oleh taqlid dan sedikit
sekali yang melakukan ijtihad. Sedemikian
parahnya dominasi pemikiran taqlid sampai
ada yang mangatakan bahwa pintu ijtihad
harus ditutup dan wajib bertaqlid. Karenaitu,
mayoritas kaum muslimin --walaupun tidak
semuanya-- terdiri dari orang-orang yang
bertaqlid.
Muqallid terdiri dari dua, yaitu muqallid
muttabi' dan muqallid 'ami. Yang membedakan
antara muqallid muttabi' dengan muqallid

Mafahim HT 97
'ami, bahwasanya muqallid muttabi'
mengambil hukum sebagai salah satu hasil
istimbat dari salah seorang mujtahid sesudah
merasa puas terhadap dalil yang menjadi
sandarannya. Ia tidak akan mengikuti hukum
sebelum mengetahui dalilnya. Sedangkan
muqallid 'ami yaitu orang yang mengikuti
mujtahid terhadap suatu hukum syara', tanpa
meneliti dalilnya. Seorang muttabi' lebih baik
keadaannya dari pada 'ami. Sebagian besar
generasi terdahulu terdiri dari para muqallid
muttabi' karena perhatiannya yang besar
terhadap dalil. Tatkala datang masa
kemunduran dan kemerosotan sehingga sulit
bagi orang untuk berittiba', merekapun mulai
bertaqlid kepada para Imam dan Mujtahidin,
terhadap beberapa hukum tanpa meneliti
dalilnya. Dan yang mendorong mereka dalam
keadaan ini adalah diamnya para ulama dan
kerelaan mereka agar seseorang menjadi
muqallid 'ami walaupun mereka berasal dari
kalangan intelektual. Para ulama telah
membiarkan saja keadaan ini, mengingat
taqlid itu sendiri dibolehkan, baik itu taqlid
ittiba' maupun taqlid 'ami. Namun demikian
perlu diketahui bahwa pada dasarnya seorang

98 Mafahim HT
muslim hendaknya mengambil hukum dari
dalilnya. Walaupun ia diperbolehkan untuk
bertaqlid, dengan kata lain dibolehkan pula
baginya menjadi muttabi', yaitu mengetahui
hukum beserta dalilnya dan merasa puas
terhadapnya. Hal ini menjadikan seorang
muslim layak untuk berijtihad, walaupun
dalam satu masalah saja. Inilah yang sangat
diperlukan di masa sekarang.
Fatwa tidak dapat dikategorikan ke dalam
ijtihad masalah, sebab fatwa itu sendiri tidak
termasuk ijtihad, bahkan nilainya paling
rendah diantara jenis karangan (karya fiqh).
Periode ini muncul setelah para mujtahidin,
menyusul masa murid-muridnya dan yang
belajar terhadap mereka, kemudian mereka
mengalihkan perhatiannya untuk melakukan
syarah terhadap pendapat (pendiri) madzhab
dan menjelaskan kaedah-kaedah ushul
madzhab tersebut disamping memperkokoh
pendapat-pendapat tersebut. Periode ini
merupakan masa dominasi bagi ilmu fiqh,
karena dikala itu dikarang kitab-kitab pokok
fiqh dalam berbagai madzhab yang menjadi
rujukan utama dalam masalah-masalah fiqh.
Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-VII

Mafahim HT 99
Hijriyah menyusul datangnya masa
kemunduran fiqh, yaitu masa kitab-kitab
syarah dan hasyiah yang kebanyakan kosong
dari penemuan-penemuan baru. Tidak
mengandung hal-hal yang baru dalam istimbat
dan ijtihad, bahkan dalam satu masalah
tertentu. Setelah itu datang masa yang lebih
merosot, dimana para ulama menempuh cara
dalam mengemukakan masalah-masalah dan
hukum-hukum tanpa menyebut bagian-
bagiannya atau dalil-dalilnya. Masalah-
masalah inilah yang disebut dengan istilah
fatwa. Karenaitu kitab-kitab fiqh seperti syarah
dan hasyi'ah tidak dapat dijadikan rujukan
dalam pengambilan hukum, sebagaimana
halnya dengan fatwa yang tidak dapat
dijadikan sebagai sumber/rujukan hukum,
karena menyimpang jauh dari metode ijtihad
dalam pengambilan hukum.
Sesuatu yang disusun berdasarkan
metode kodifikasi hukum tidak dapat dijadikan
rujukan dan sandaran dalam pengambilan
hukum, sebab termasuk salah satu bentuk
penyerupaan terhadap perundangan Barat.
Disamping itu kodifikasi semacam ini
merupakan bentuk ringkasan dari fiqh yang

10 Mafahim HT
0
lebih banyak mengambil Masa'il Fiqhiyah yang
tidak ada dalilnya atau dalilnya lemah, juga
diwarnai dengan penyesuaian terhadap zaman
dan takwil, agar selaras dengan pandangan
Barat dalam pemecahan problematikanya,
disamping adanya kelangkaan dari segi tasyri'
dan ijtihad. Kodifikasi semacam ini tidak layak
untuk diterapkan dan tidak layak pula
dijadikan sumber rujukan, bahkan hal seperti
ini merupakan bencana bagi fiqh dan tasyri'.
Karena ia berupa usaha yang bersifat taqlid
yang dapat melemahkan pengetahuan kaum
muslimin terhadap fiqh Islam walaupun
khazanah fiqh Islam sangat kaya dan ia
merupakan kekayaan terbesar di bidang
fiqh/hukum bagi seluruh umat manusia. Sudah
menjadi keharusan bagi para qadli dan
penguasa merujuk kepada khazanah fiqh
tersebut. Dengan adanya modifikasi dalam
bentuk penyerupaan terhadap Barat, telah
mengerdilkan dan mempersempit fiqh,
sehingga para qadli tidak akan mengenal fiqh
apabila mereka hanya mencukupkan diri
mengenal perundangan semacam ini.
Disamping itu kodifikasi semacam ini tidak
memiliki bentuk Undang-undang, tetapi hanya

Mafahim HT 10
1
berupa kumpulan dari nash-nash fiqh yang
diambil dari sebagian fuqaha, dan dimuat
secara berurutan dalam bentuk bab, pasal dan
ayat. Hal ini menyebabkan tidak ada usaha
untuk melahirkan kaedah-kaedah umum yang
menjadi topik dari pasal-pasal dalam
perundangan sekalipun sebagai landasan bagi
masalah-masalah. Sedangkan yang mereka
lakukan adalah menjadikan masalah-masalah
tersebut sebagai pasal-pasal dalam
perundang-undangan. Inilah yang
menyebabkan ketidak-sesuaiannya dalam
bentuk redaksi perundang-undangan,
sehingga apa yang disebut dalam sebagian
pasal-pasal dalam bentuk kaedah umum
hanya disebutkan melalui kaedah-kaedah yang
tidak menyeluruh, dan hanya merupakan
beberapa definisi yang dinukil dari kitab-kitab
fiqh, bahkan dapat dikatakan hampir secara
keseluruhan berbentuk demikian. Karenaitu
undang-undang yang semacam ini tidak dapat
diambil dan digunakan sebagai bahan rujukan
karena kekacauan uslub (susunannya) dan
kelemahan bobotnya, disamping karena
adanya jarak dengan hukum syara' yang
diakui berdasarkan dalil-dalil yang terperinci.

10 Mafahim HT
2
Untuk menyusun Undang-undang Dasar
dan Undang-undang demi tercapainya
pemahaman para qadli dan penguasa perlu
ditempuh cara-cara sebagai berikut :

1. Hendaknya problema-problema manusia


dipelajari lebih dulu, kemudian dibuat Undang-
undang Dasar Umum dalam bentuk kaedah-
kaedah umum yang menyeluruh, atau hukum-
hukum syara' yang menyeluruh yang
hendaknya bersumber dari fiqh Islam, yang
cara pengambilannya melalui pendapat
seorang mujtahid dari para mujtahid, dengan
mempelajari dalil-dalilnya serta memperdalam
dan mengikutinya. Atau dari Al Qur'an,
Sunnah, Ijma' maupun Qiyas, akan tetapi
dengan cara Ijtihad Syar'i walaupun ijtihad itu
Juz'i (bersifat parsial) yaitu ijtihad masalah.
Hendaknya menunjuk pada latar belakang di
setiap pasal pada madzhab yang menjadi
landasannya berikut dalilnya atau pada dalil
syara' yang bersumber kepadanya secara
langsung dengan proses ijtihad. Hendaknya
tidak mempertimbangkan keadaan kaum
muslimin yang buruk, juga bukan pada

Mafahim HT 10
3
keadaan bangsa-bangsa lain atau
sistem/peraturan lain selain Islam.
2. Hendaknya hukum-hukum syara' dijadikan
sebagai acuan bagi perundangan dalam
uqubat (sanksi, tindak kriminil, ta'zir dan
pelanggaran terhadap peraturan negara),
huquq (mencakup hak-hak individu/sipil;
politik; dll), bayyinat (pembuktian) atas dasar
apa yang ada dalam point pertama sesuai
dengan konstitusi dengan menunjuk kepada
madzhab berikut dalil-dalilnya. Hendaknya
memakai redaksi perundangan dengan
menggunakan kaedah-kaedah umum, agar
dapat dijadikan rujukan fiqh bagi para qadli
dan penguasa.
3. Hendaknya nash-nash syara', fiqh Islam dan
ilmu ushul fiqh dijadikan sebagai sumber
rujukan bagi penafsiran konstitusi dan Undang-
undang untuk para qadli dan penguasa,
sehingga tersedia bagi mereka sarana untuk
memahaminya secara mendalam. Bagi
seorang qadli tidak dibenarkan untuk
memutuskan sesuatu yang bertentangan
dengan kebijaksanaan Daulah terhadap
hukum-hukum syara', sebab perintah imam
harus berlaku dzahir maupun bathin. Adapun

10 Mafahim HT
4
hal-hal yang diputuskan oleh Daulah yang
berkaitan dengan hukum-hukum ini, maka
seorang qadli mengambil keputusan
berdasarkan hukum syara' yang dianggapnya
sesuai dengan permasalahan, baik hal ini
menyangkut pendapat salah seorang mujtahid
dari para mujtahid maupun dari pendapat
yang digalinya sendiri berdasarkan ijtihad.
4. Hendaknya pada saat menggali hukum-
hukum dan penetapannya senantiasa
memperhatikan pemahaman keadaan serta
ketentuan fiqh terhadap keadaan, disamping
memahami cara memecahkan persoalan yang
seharusnya dilakukan berdasarkan dalil syara',
yaitu memahami hukum Allah yang telah
ditetapkan terhadap problema yang sedang
dihadapi, kemudian hukum tersebut
diterapkan pada fakta tadi (apakah
pengambilan hukum tersebut tepat/tidak).
Dengan kata lain, melalui pemahaman yang
tepat terhadap suatu keadaan/problematika
yang bertolak dari ketentuan fiqh dapat
sampai pada pengetahuan hukum Allah
(dalam problematika tersebut).

Negara melaksanakan Syari'at Islam bagi

Mafahim HT 10
5
setiap orang yang memiliki kewarganegaraan,
baik muslim maupun non muslim.
Warganegara non muslim, dibiarkan (bebas)
dalam masalah yang berkaitan dengan aqidah
dan ibadahnya. Sedangkan hal-hal yang
berkaitan dengan makanan, dan pakaian
diperlakukan sesuai dengan tata tertib yang
berlaku. Adapun yang berkaitan dengan
hukum keluarga diantara mereka, seperti
nikah dan talak diurus sesuai dengan
agamanya. Urusan syari'at Islam yang lain
seperti masalah mua'malah, uqubat, pola
pemerintahan, ekonomi, dll. berlaku sama bagi
semuanya, baik terhadap kaum muslimin
maupun non muslim.
Mengenai kaum muslimin, negara
memberlakukan Syari'at Islam terhadap
mereka secara keseluruhan, baik yang
menyangkut urusan ibadah, akhlaq,
mu'amalah, uqubat ataupun yang lain.
Sedangkan kewajiban Negara adalah
menerapkan Islam secara keseluruhan.
Pelaksanaannya terhadap non muslim,
hendaknya dianggap sebagai salah satu cara
mengajak mereka kepada agama Islam, sebab
syara' berlaku umum bagi seluruh umat

10 Mafahim HT
6
manusia. Negara memberlakukannya di setiap
negeri yang dikuasainya agar dapat
menyebarluaskan dakwah Islam, sebab kunci
dari pembebasan-pembebasan (futuhat) Islam
adalah karena tujuan tersebut, yaitu
mengemban dakwah Islam.
Islam adalah aqidah yang memancarkan
nidzam (peraturan). Nidzam inilah yang
merupakan hukum-hukum syara' yang telah
digali dari dalil-dalil yang terperinci. Islam
telah menjelaskan di dalam peraturan tersebut
tata cara pelaksanaan hukumnya yang berupa
hukum syara'. Hukum-hukum syara' yang
menjelaskan tata cara pelaksanaan dinamakan
thariqah, dan yang lain berupa fikrah. Hukum-
hukum syara' yang menjelaskan tata cara
pelaksanaan terhadap pemecahan
problematika tersebut, pemeliharaan aqidah
dan pengembangan dakwah merupakan
thariqah. Berdasarkan hal ini maka thariqah
Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari fikrahnya. Maka di dalam dakwah Islam
tidak dibolehkan mencukupkan diri hanya
dengan cara menerangkan fikrah-fikrahnya
saja, akan tetapi juga harus mencakup
thariqah. Dengan demikian Mabda' adalah

Mafahim HT 10
7
kumpulan dari fikrah dan thariqah. Keimanan
kepada thariqah sama halnya dengan
keimanan kepada fikrah. Karenaitu sudah
menjadi keharusan antara fikrah dan thariqah
terdapat suatu kesatuan yang tak dapat
dipisah-pisahkan, sehingga di dalam
pelaksanaan fikrah Islam tidak digunakan
cara-cara selain thariqah Islam, yang
keduanya membentuk Islam yang diterapkan
dan dikembangkan dakwahnya. Selama
thariqah telah terdapat dalam syari'at, maka
wajib untuk membatasinya hanya pada hal-hal
yang telah disebutkan oleh syara', dan apa
yang telah digali dari nash-nashnya. Di dalam
kitab dan Sunnah terdapat beberapa hukum
fikrah, dan di dalamnya juga terdapat hukum
thariqah, diantaranya firman Allah SWT:

ٍ‫وَِإمّا َتخَا َفنّ مِنْ َق ْومٍ خِيَاَنةً فَاْنِبذْ إَِليْ ِهمْ َعلَى َسوَاء‬
"(Dan) Jika kamu mengetahui penghianatan
dari suatu golongan, maka kembalikanlah
perjanjian itu kepada mereka dengan cara
yang jujur" (Al Anfal 58)

Ayat di atas mengandung hukum thariqah,


sebagaimana pula sabda Rasulullah SAW:

10 Mafahim HT
8
‫ل تتمنو القاء العدو واذا لقيتموه فأثبتوا‬
"Janganlah kamu sekalian berharap bertemu
dengan musuh, jika kalian telah bertemu
dengan musuh maka bersikap teguhlah."
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah)

Demikian pula hukum-hukum thariqah yang


lainnya dapat digali melalui ijtihad dari Kitab,
Sunnah, Ijma, Sahabat dan Qiyas,
sebagaimana hukum-hukum yang lainnya.
KarenaSunnah sebagai penjelas terhadap
AlQur'an, maka di dalam Al-Qur'an terdapat
fikrah dalam bentuk global yang dirinci dalam
Sunnah.
Demikian pula di dalam Al-Qur'an
terdapat thariqah dalam bentuk global yang
dirinci di dalam Sunnah. Karenaitu kita harus
menggunakan petunjuk Nabi SAW sebagai
pelita, agar kita dapat mengambil hukum-
hukum thariqah dari perbuatan-perbuatan
Beliau yang terdapat di dalam Sirahnya, juga
ucapan dan sikap diamnya sebagaimana kita
mengambilnya dari Al-Qur'an, sebab
semuanya merupakan syari'at. Dan kita

Mafahim HT 10
9
jadikan contoh tauladan dalam memahami
Sirah adalah para Khulafaur Rasyidin beserta
sahabat yang lainnya, sebagaimana kita
jadikan akal kita sebagai alat yang efektif
untuk memahami serta menggali hukum
(istimbat) sesuai dengan cara yang telah
ditentukan oleh syara'.
Hukum syara' menjelaskan cara-cara
pelaksanaan yang menunjukkan adanya
perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan,
baik yang menyangkut pelaksanaan maupun
yang menyangkut pengembangan dakwah.
Perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah
berupa sarana, karena sarana itu hanya
berbentuk alat yang digunakan pada saat
melakukan suatu perbuatan yang dapat
berbeda sesuai dengan perbedaan amal
perbuatan, dan dapat berubah menurut
keadaan, selain ditentukan pula menurut jenis
perbuatan. Karenaitu tidak dapat diterapkan
menurut kondisi tertentu. Adapun perbuatan-
perbuatan yang ditunjukkan oleh thariqah
maka hal ini tidak berubah, bahkan dilakukan
sesuai dengan penunjukkan nash dan tidak
dibolehkan melakukan suatu perbuatan di luar
yang telah dijelaskan oleh syara', begitu pula

11 Mafahim HT
0
tidak boleh dilakukan suatu perbuatan pada
tempat yang tidak dijelaskan oleh hukum
syara'. Dengan melihat secara teliti
mengenai seluruh perbuatan/aktivitas yang
telah ditunjuk oleh hukum-hukum syara' yang
berkaitan dengan thariqah, akan dijumpai
bahwasanya perbuatan thariqah adalah
perbuatan-perbuatan yang bersifat fisik dan
dapat menghasilkan sesuatu yang bersifat
nyata dalam kehidupan, bukan merupakan
perbuatan yang akan menghasilkan sesuatu
yang tidak nyata, sekalipun kedua jenis
perbuatan ini akan menghasilkan nilai yang
sama. Contohnya adalah do'a berupa
perbuatan yang dapat menghasilkan nilai
rohani, dan jihad sebagai suatu perbuatan fisik
yang dapat menghasilkan nilai rohani. Doa
walaupun merupakan perbuatan fisik, akan
tetapi akan mendatangkan hasil bukan dalam
bentuk fisik, yaitu pahala sekalipun tujuan
orang berdoa adalah untuk mendapatkan nilai
rohani. Berbeda halnya dengan jihad karena
jihad adalah memerangi musuh yang
merupakan perbuatan fisik yang akan
menghasilkan sesuatu yang nyata, yaitu
berupa penaklukkan benteng-benteng,

Mafahim HT 11
1
pertahanan kota-kota atau membunuh musuh
dan sejenisnya, walaupun tujuan dari seorang
mujahid adalah untuk mendapatkan nilai
rohani. Karenaitu perbuatan-perbuatan
thariqah merupakan perbuatan yang nyata
yang akan menghasilkan sesuatu yang bersifat
fisik dan berbeda dengan perbuatan-
perbuatan lain. Maka doa tidak dapat dijadikan
thariqah untuk berjihad walaupun seorang
mujahid senantiasa berdoa kepada Allah.
Demikian pula halnya dengan nasehat, tidak
dapat dijadikan thariqah bagi seorang pencuri,
sekalipun ia dinasehati dan diarahkan. Firman
Allah SWT:

ِ‫وَقَاتِلُو ُهمْ حَتّى لَ تَكُونَ فِتَْنةٌ وَيَكُونَ الدّينُ كُّلهُ ل‬


"(Dan) Perangilah mereka itu, sehingga tidak
ada lagi fitnah (syirik) dan (sehingga) agama
seluruhnya hanya untuk Allah saja." (QS Al-
Anfal: 39)

‫وَالسّا ِرقُ وَالسّارِقَ ُة فَا ْق َطعُوا َأيْ ِدَيهُمَا‬


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang

mencuri, potonglah tangan keduanya" (


almaidah 38)
11 Mafahim HT
2
Berdasarkan hal ini maka seluruh
perbuatan/aktivitas yang dimaksudkan untuk
melaksanakan fikrah Islam berupa perbuatan-
perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang
tidak nyata, harus ditolak karena sangat
bertentangan dengan thariqah Islam. Tidak
ada perbedaan antara perbuatan-perbuatan
yang dilakukan untuk melaksanakan hukum-
hukum yang berkaitan dengan pemecahan
problema-problema kehidupan dengan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk
mengemban dakwah Islam. Sebagai
contohnya adalah shalat yang merupakan
bagian dari fikrah dan cara pelaksanaanya
(jaminan agar kaum muslimin
melaksanakannya) dibebankan kepada
negara. Maka negara tidak dibolehkan
menjadikan pendidikan dan pengarahan
sebagai satu-satunya thariqah agar manusia
menjalankan shalat. Akan tetapi wajib
menjatuhkan sanksi kepada orang yang
meninggalkan shalat, berupa sanksi fisik
seperti kurungan/penjara, walaupun negara
tetap melakukan pendidikan dan pengarahan.
Contoh lain bahwa mengemban dakwah Islam

Mafahim HT 11
3
adalah bagian dari fikrah. Dan cara
pelaksanaannya dibebankan pada negara,
yaitu dengan jihad memerangi musuh. Maka
tidak dibenarkan negara melawan musuh
hanya dengan cara membaca Shahih Bukhari
untuk menghilangkan hambatan-hambatan
yang bersifat fisik yang menghadang dakwah,
akan tetapi harus menggunakan jihad, yaitu
memerangi musuh dengan cara fisik. Begitu
pula perbuatan-perbuatan lainnya.
Perlu diketahui walaupun perbuatan yang
ditunjukkan oleh thariqah berupa perbuatan
fisik yang menghasilkan sesuatu yang nyata,
akan tetapi perbuatan semacam ini harus
diatur sesuai dengan perintah Allah dan
laranganNya. Hendaknya pengaturan terhadap
perintah dan laranganNya ditujukan untuk
ridla Allah, sebagaiman halnya seorang
muslim harus selalu menyadari hubungannya
kepada Allah, sehingga ia selalu mendekatkan
diri kepadaNya dengan shalat dan do'a,
membaca Al-Qur'an dan yang sejenisnya.
Seorang muslim wajib meyakini bahwa
kemenangan datangnya hanya dari Allah.
Karenaitu amat dibutuhkan adanya taqwa
yang terhunjam di dalam dada, begitu pula

11 Mafahim HT
4
dengan berdoa dan berdzikir kepada Allah.
Dengan kata lain harus senantiasa
berhubungan kepada Allah setiap kali
melakukan suatu kegiatan. Hal ini dilihat dari
segi thariqah sebagai kumpulan hukum syara'
yang harus terjalin erat yang tidak boleh
dilanggar. Sedangkan dari segi perbuatan
dilihat sebagai salah satu aktivitas yang dapat
menghasilkan sesuatu yang nyata.
Adapun dari segi pencapaian hasil, harus
mengikuti suatu kaedah/pedoman yang
bersifat amaliah (praktis), yaitu hendaknya
suatu perbuatan berdasarkan suatu pemikiran
dan tujuan tertentu. Hal ini karena
penginderaan terhadap suatu kenyataan yang
didahului oleh pengetahuan sebelumnya,
tentu akan menghasilkan suatu pemikiran.
Pemikiran seperti ini harus dibarengi dengan
perbuatan, dan hendaknya pemikiran dan
perbuatan dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan tertentu. Semua ini harus berdasarkan
keimanan sehingga seseorang tetap berjalan
dalam suasana iman secara terus menerus.
Sekali-kali tidak dibenarkan memisahkan
perbuatan dari pemikiran atau dari tujuan
tertentu ataupun dari iman, sebab pemisahan

Mafahim HT 11
5
semacam ini walaupun sedikit akan
membahayakan perbuatan itu sendiri, tujuan-
tujuannya serta kelestariannya. Karenaitu
suatu tujuan tertentu harus difahami dengan
jelas bagi setiap orang yang akan berbuat
sebelum mulai melakukannya. Dengan
demikian merupakan suatu keharusan
melandasi perbuatan dengan suatu perasaan
yang disertai dengan pemikiran. Dengan kata
lain hendaknya pemahaman dan pemikiran itu
lahir berdasarkan suatu kenyataan bukan
sekedar berprasangka terhadap masalah-
masalah yang bersifat khayalan belaka.
Hendaknya pengamatan terhadap suatu
kenyataan berproses di dalam otak, yang jika
digabung dengan pengetahuan yang telah ada
sebelumnya dapat menghasilkan proses
berfikir di dalam otak yang biasa dinamakan
pemikiran. Inilah yang akan menghasilkan
kedalaman berfikir dan kreatifitas dalam
perbuatan. Perasaan yang disertai dengan
pemikiran, akan melahirkan kepekaan berfikir,
yaitu suatu kepekaan yang dapat diperkuat
oleh pemikiran seseorang. Karenaitu,
kepekaan para pengemban dakwah misalnya
sesudah memahami masalah-masalah dakwah

11 Mafahim HT
6
akan lebih kuat dibandingkan sebelumnya.
Adalah suatu hal yang berbahaya
memindahkan suatu perasaan menjadi bentuk
perbuatan secara langsung tanpa difikirkan,
karena hal ini tidak akan merubah suatu
kenyataan bahkan menjadikan manusia
berfikir mundur dan terbelakang. Ia berjalan
dengan pemikiran yang rendah/mundur
dengan menjadikan suatu kenyataan sebagai
sumber/acuan pemikiran bukan sebagai obyek
pemikiran. Karenaitu indera/perasaan harus
dibawa sampai ke tahap berfikir, baru
kemudian pemikiran tersebut akan
membawanya menjadi suatu perbuatan. Inilah
yang memungkinkan seseorang melepaskan
diri dari keadaan kemudian bangkit serta
berusaha untuk beralih menuju suatu kondisi
yang lebih baik secara revolusioner. Orang
yang mengindera suatu kenyataan dan
langsung bertindak, maka perbuatannya itu
bukanlah untuk merubah suatu kenyataan,
malahan menyesuaikan diri dengan
kenyataan. Akhirnya ia tetap terbelakang dan
tertiggal. Sedangkan orang yang mengindera
suatu kenyataan kemudian ia berfikir
mengenai cara untuk merubah kenyataan itu,

Mafahim HT 11
7
lalu berbuat berdasarkan pemikirannya, maka
inilah yang akan merubah atau menyesuaikan
kenyataan sesuai dengan ideologinya dan
merubahnya secara totalitas. Ini adalah cara
yang sesuai dengan metode revolusioner yang
tidak lain adalah satu-satunya metode untuk
melanjutkan kehidupan Islam, karena metode
ini mengharuskan pemikiran terbentuk
sebagai hasil dari penginderaan, kemudian
memperjelas pemikiran ini sehingga dapat
menggembarkan bentuk-bentuk yang
sistematis contoh fikrah dan thariqah dalam
otak.
Dengan demikian manusia akan
memahami ideologi ini dengan cara yang
benar, yang akan mendorongnya untuk
melakukan suatu perbuatan sehingga
pemikiran ini menghasilkan perubahan yang
sempurna. Disaat itu ia berusaha untuk
mempersiapkan individu-individu dan
kelompok masyarakat serta lingkungannya
dengan pemikiran tersebut agar terjadi
perubahan total dalam opini umum, setelah
sebelumnya terwujud kesadaran umum
terhadap ideologi ini, baik dari segi fikrah
maupun thariqah. Kemudian memulainya

11 Mafahim HT
8
secara praktis melalui pemerintah yang
menerapkan ideologi ini dengan penerapan
yang bersifat revolusioner tanpa menerima
penerapan secara bertahap maupun tambal
sulam. Metode yang revolusioner ini
mengharuskan tumbuhnya pemikiran dari
penginderaan yang diiringi dengan perbuatan
berdasarkan tujuan tertentu. Hal ini tidak akan
tercapai kecuali dengan pemikiran yang
mendalam.
Pemikiran yang dalam seperti ini
memerlukan faktor-faktor untuk mewujudkan,
menumbuhkan dan menyuburkannya. Metode
yang revolusioner ini membutuhkan persiapan
individu maupun masyarakat dengan
mabda/ideologi Islam. Usaha yang ditempuh
untuk mewujudkan pemikiran yang mendalam
dan persiapan individu untuk menerima
mabda memerlukan studi tentang Islam dari
mereka yang hendak berjuang, disamping
memerlukan studi tentang keadaan
masyarakat. Hal ini tidak akan terjadi kecuali
dengan metode membina otak dengan
berbagai pengetahuan. Belajar merupakan
jalan yang termudah dan paling dekat untuk
mendapatkan pengetahuan bagi otak guna

Mafahim HT 11
9
membantu mewujudkan pemikiran yang
dalam.
Islam mempunyai metode yang khas
dalam studi/pengajaran. Apabila metode ini
dijalankan akan menghasilkan pengaruh/bekas
dari pelaksanaan metode pengajaran tersebut.
Metode itu adalah bahwasanya pengetahuan
haruslah dipelajari untuk diterapkan.
Hendaknya para pelajar mendapatkannya
melalui cara berpikir yang membekas dan
memberikan pengaruh dalam perasaannya
tentang kehidupan sehingga pembawaan dan
tanggung jawab dalam hidupnya dihasilkan
oleh pemikiran yang membekas, sampai di
dalam dirinya terwujud semangat yang
berkobar-kobar. Disaat yang bersamaan
terwujud pula pemikiran dan pengetahuan
yang amat luas sekaligus merealisasikannya
sebagai suatu akibat yang dengan sendirinya
harus ada. Dengan metode pendidikan ini,
dalam diri pelajar terdapat pemahaman dan
kemampuan yang berasal dari pemahamannya
yang membekas dan bahkan akan
memperluas dan menjalin pemikiran dengan
perasaan dan mengajarkan seorang pelajar
tentang pengetahuan yang nyata untuk

12 Mafahim HT
0
memecahkan problematika hidup. Karenaitu
sistem belajar harus dijauhkan dari sekedar
menuntut ilmu belaka agar pelajar tidak hanya
menjadi buku yang berjalan. Begitu pula
sistem belajar tidak boleh menjadi sekedar
nasehat dan petunjuk. Jika tidak, akan
mengakibatkan kedangkalan berfikir,
disamping kosong dari semangat iman.
Pelajarpun tidak boleh menganggap bahwa
belajar Islam hanya sekedar ilmu dan nasehat
belaka, bahkan harus menganggapnya dengan
mempelajari Islam hanya sekedar ilmu dan
nasehat merupakan suatu hal yang amat
membahayakan perbuatan, mengabaikan
pelaksanaannya dan meninabobokan
perbuatan.
Untuk mencapai tujuan yang selalu
diupayakan haruslah tergambar bahwa tujuan
ini memerlukan keseriusan, perhatian dan
keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan
yang diharuskan terhadap pengikut Hizb
disamping harus tetap terikat kepada Islam.
Islam mempunyai ketentuan tertentu yang
bersifat larangan dan perintah, disamping
tuntutan berupa pengorbanan harta, jiwa
maupun raga. Diantara ketentuan ini ada yang

Mafahim HT 12
1
wajib bagi setiap individu ada pula yang lebih
dari pada itu (bagi yang menghendakinya).
Masing-masing dapat memilihnya, dan akan
mempunyai ketinggian jiwa dan pemikiran
bagi yang ingin lebih mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Merealisir ketentuan-ketentuan tadi
adalah suatu keharusan untuk mencapai
tujuan. Berdasarkan hal ini jiwa harus
dibiasakan dan dipaksa untuk melaksanakan
seluruh ketentuan yang wajib di seluruh segi;
baik harta, jiwa maupun raga hingga terwujud
harapan mencapai tujuan.
Untuk menghasilkan suatu aktivitas
dakwah, harus ditentukan tempat untuk
memulainya dan sekelompok jama'ah yang
mengawali usaha tersebut. Memang benar,
bahwasanya Islam itu bersifat Internasional,
begitu pula Islam melihat seluruh manusia
dengan pandangan yang sama dan tidak
membedakan antara yang satu dengan yang
lainnya, serta tidak memperhatikan lagi
perbedaan lingkungan (gurun/pegunungan;
kota/desa), iklim (panas/dingin) serta tempat
(subur/ kering) dalam urusan dakwah. Bahkan
menganggap setiap manusia layak menerima
dakwah, serta menganggap setiap muslim

12 Mafahim HT
2
mempunyai tanggung jawab dalam
penyampaian dakwah ini ke seluruh umat
manusia. Namun demikian hal ini tidak bisa di
mulai dimana saja di muka bumi, karena
memulai di tempat yang tidak ditentukan
sama saja dengan mengusahakan kegagalan
dan tidak akan membawa keberhasilan sama
sekali. Jadi harus dimulai dari seorang individu
kemudian penyebarannya beralih ke seluruh
dunia. Karenaitu dakwah harus dikembangkan
di satu tempat tertentu, lalu ia berkembang
sehingga layak dijadikannya sebagai titik awal,
baru kemudian tempat tersebut atau tempat
lainnya (dimana dakwah telah berkembang)
dapat dijadikan sebagai titik tolak dakwah.
Dari situlah dakwah akan menyebar pada jalan
yang seharusnya, lalu tempat tersebut
ataupun yang lain dijadikan sebagai titik
sentral tempat tegaknya Daulah yang akan
memusatkan kegiatan dakwah yang akan
menyebar di jalan yang seharusn yaitu tidak
lain dengan jalan jihad. Meskipun beberapa
tempat/ daerah diambil sebagai lokasi
kegiatan dakwah untuk setiap titik awal, titik
tolak dan titik sentral, namun yang berpindah
dari titik yang satu ke titik yang lain adalah

Mafahim HT 12
3
dakwah bukan tempatnya. Dakwah akan
menyebar dari berbagai tempat yang telah
ditentukan pada saat yang bersamaan.
Sekalipun telah lazim menentukan tempat
yang dijadikan sebagai titik awal, titik tolak,
dan titik sentral, akan tetapi penentuan
tempat di masing-masing titik tersebut bukan
termasuk wilayah yang dikuasai oleh manusia,
sebab manusia tidak mampu memilikinya dan
tidak akan mampu memilikinya. Jadi
penentuan itu sendiri termasuk wilayah yang
tidak dikuasai manusia. Dalam hal ini manusia
tiada lain hanya berusaha bertindak sebatas
wilayah yang mampu dikuasainya. Sedangkan
perbuatan-perbuatan yang masuk di wilayah
yang lain, maka hal itu sesuai dengan
kehendak dan ketentuan Allah SWT.
Penentuan titik awal pasti dilakukan di
suatu tempat yang di dalamnya muncul
seorang pemimpin, yang pertama kali dalam
benaknya tergambar dengan gamblang asal
muasal dakwah dan telah dipersiapkan oleh
Allah SWT untuk mengembangkannya.
Mungkin banyak orang yang telah merasakan
hal ini, tetapi yang dipersiapkan Allah untuk
mengemban dakwah ini tidak diketahui sampai

12 Mafahim HT
4
ia muncul, kemudian dakwah di mulai di
tempat ia hidup dan tempat itulah dijadikan
sebagai titik awal.
Sedangkan mengenai titik tolak
tergantung dari persiapan masyarakat, karena
masyarakat itu berbeda dalam pemikiran,
perasaan maupun sistemnya. Jika di suatu
tempat terdapat masyarakat yang sudah siap,
dan suasana dakwah lebih baik dari pada
tempat lainnya, maka tempat tersebut layak
dijadikan sebagai titik tolak. Pada umumnya
yang menjadi tempat bagi titik awal akan
menjadi tempat bagi titik tolak walaupun
bukanlah suatu kepastian karena tempat yang
paling layak bagi titik tolak adalah tempat
yang di dalamnya berkembang kedzaliman,
baik dalam aspek politik maupun ekonominya
dan yang di dalamnya merajalela
atheisme/kekufuran dan kerusakan moral.
Adapun mengenai titik sentral juga
tergantung pada keberhasilan dakwah dalam
masyarakat. Tempat yang masyarakatnya
dimana dakwah belum berhasil merubah
masyarakatnya dan belum menunjukkan
suasana dakwah yang kondusif, tidak cocok
dijadikan sebagai titik sentral walaupun disana

Mafahim HT 12
5
para pengemban mabda Islam terdapat dalam
jumlah yang banyak. Sedangkan tempat yang
telah menerima fikrah dan thariqah (mabda
ini), kondisi masyarakatnya kondusif serta
pemikiran dan thariqah tadi telah
mendominasi lingkungan tersebut, maka
tempat itu cocok sebagai titik sentral tanpa
memperhatikan lagi jumlah pengemban
mabda Islam di dalamnya.
Para pengemban mabda tersebut tidak
boleh mengukur dakwahnya dengan jumlah
pengikutnya. Ukuran seperti ini jelas salah dan
membahayakan dakwah, karena hal ini akan
mengalihkan perhatian para pengemban
dakwah dari masyarakat ke individu-individu.
Keadaan ini mengakibatkan pula kelambanan,
bahkan bisa juga mengakibatkan kegagalan
dakwah di tempat itu. Rahasianya mengapa
hal ini bisa terjadi, karena masyarakat itu tidak
tersusun hanya dari individu-individu belaka
sebagaimana yang dianggap oleh orang
kebanyakan. Individu adalah bagian dari
kelompok masyarakat, sedangkan yang
mempersatukan individu-individu tadi, dalam
suatu kelompok masyarakat, adalah faktor-
faktor lain yaitu berupa pemikiran, perasaan

12 Mafahim HT
6
dan peraturan hidup. Karenaitu dakwah harus
ditujukan untuk meluruskan pemikiran,
perasaan dan peraturan hidup. Aktivitas ini
termasuk dalam dakwah jama'iyah dan
dakwah untuk masyarakat bukan dakwah
untuk individu. Usaha memperbaiki individu
dilakukan tidak lain untuk menjadikan mereka
bagian dari kutlah/kelompok dakwah untuk
mengemban dakwah ke masyarakat. Karenaitu
para pengemban dakwah yang telah
memahami hakekat dakwah akan
mengkonsentrasikan kegiatannya terhadap
masyarakat, begitu pula mereka beranggapan
bahwa memperbaiki individu tidak akan
mungkin menghasilkan perbaikan masyarakat,
dan hal ini tidak mungkin tetap dalam keadaan
baik terus menerus. Perbaikan individu akan
tercapai dengan jalan memperbaiki
masyarakatnya. Apabila masyarakatnya telah
diperbaiki, maka otomatis individupun akan
dapat diperbaiki pula.
Semangat dakwah hendaknya ditujukan
terhadap masyarakat dan tetap berpegang
pada kaedah yang seharusnya, yaitu
perbaikilah masyarakat agar individupun akan
menjadi baik dan terus menerus dalam

Mafahim HT 12
7
keadaan baik. Masyarakat itu seperti halnya
air yang berada dalam sebuah tempayan
besar. Apabila disekelilingnya diletakkan
sesuatu yang membekukan, maka air itu akan
membeku lalu mengeras seperti es. Demikian
pula halnya dengan masyarakat, bila
dilontarkan berbagai mabda/ideologi yang
rusak tentu masyarakat tersebut akan
dikungkung sampai membeku dan akan terus
merosot dan terbelakang. Akan tetapi jika di
tengah-tengah masyarakat dilontarkan
mabda/ideologi yang bersifat kontradiktif akan
tampak pertentangan, diliputi oleh kekacauan,
kedunguan dan ketidakpastian. Bila di bawah
tempayan itu diletakkan api, maka air itu akan
membara dan bergolak, menghangatkan air,
kemudian mendidih, lalu menguap menjadi
tenaga yang menggerakkan. Demikian halnya
apabila di tengah-tengah masyarakat
dilontarkan mabda yang benar, maka akan
menghangatkan masyarakat dan kemudian
membara yang akhirnya mampu merubah,
menggerakkan serta mendorong masyarakat.
Masyarakat inilah yang akan menerapkan
mabda tadi sekaligus menyebarkannya pada
masyarakat yang lain, meskipun didapati

12 Mafahim HT
8
perubahan dari suatu keadaan kepada
keadaan yang lain yang saling bertentangan.
Dengan kata lain proses perubahannya dari
kondisi ke kondisi lainnya tidak dapat
disaksikan seperti halnya perubahan air dalam
tempayan yang tak mampu diamati. Namun
demikian bagi orang-orang yang sangat
mengetahui keadaan masyarakat, dan percaya
bahwa mabda yang diembannya itu ibarat api
yang membakar dan cahaya yang menyinari,
mereka akan mengetahui bahwa masyarakat
itu sedang berproses menuju suatu
perubahan, dan bahwa masyarakat itu suatu
saat pasti akan mencapai derajat mendidih/
bergolak dan bergerak serta mendorong dan
meledak. Karenaitu masyarakat senantiasa
mendapatkan perhatian para pengemban
dakwah.
Dari penjelasan di atas maka tempat
yang layak untuk dijadikan pusat tidak dapat
diketahui, karena tergantung pada kesiapan
masyarakat, bukan sekedar pada kekuatan
dakwah saja. Dahulu dakwah Islam di Makkah
sangatlah kuat, dan walaupun Makkah juga
dijadikan sebagai titik awal dakwah dan
sangat cocok dijadikan sebagai titik tolak

Mafahim HT 12
9
dakwah, akan tetapi tempat tersebut tidak
layak dijadikan sebagai titik sentral.
Kenyataannya, yang dapat dijadikan titik
sentral malahan Madinah. Karenaitu Rasul
SAW berhijrah ke Madinah setelah Beliau yakin
dengan kesiapan masyarakatnya. Kemudian di
sana ditegakkan daulah, tempat di mana
kekuatan dakwah bertolak menyebar ke
seluruh jazirah Arab yang belum terjamah,
barulah kemudian ke seluruh pelosok dunia.
Dengan demikian dapatlah kita katakan
bahwa pengemban dakwah tidak mungkin
mengetahui tempat yang dapat dijadikan
sebagai titik tolak dan titik sentral. Mereka
tidak mungkin mengetahuinya meskipun
diberikan kepadanya kecerdasan dan
kepandaian serta memiliki daya analaisa yang
tajam, tetapi yang mengetahui hal ini
hanyalah Allah SWT. Dengan demikian
pengemban dakwah haruslah menyandarkan
dirinya hanya kepada Allah, dan menjadikan
setiap perbuatannya terfokus hanya dari
keimanan ini dan bukan karena yang lainnya.
Dengan iman hanya kepada Allah inilah akan
diperoleh keberhasilan dakwah.
Iman kepada Allah mengharuskan

13 Mafahim HT
0
tawakkal yang sempurna dengan senantiasa
meminta pertolongan kepada Allah, karena
hanya Allahlah yang mengetahui segala
sesuatu, baik yang dirahasiakan maupun yang
tersembunyi. Dialah yang memberi taufiq dan
petunjuk kepada pengemban dakwah,
menunjuki mereka di jalan yang benar dan
jalan yang penuh hidayah. Dengan demikian
keimanan itu harus kuat disertai tawakkal
yang sempurna kepada Allah dan senantiasa
memohon pertolongan kepada Allah Rabbul
'Izaati. Keimanan mengharuskan seorang
mukmin beriman terhadap mabda yaitu
beriman kepada Islam, karena Islam itu sendiri
berasal dari sisi Allah. Keimanan ini pula yang
mengharuskan kedalaman dan kekokohan
iman, tidak terdapat sedikitpun keraguan di
dalamnya, bahkan tidak memberi peluang
munculnya jalan-jalan yang dapat meragukan,
sebab setitik keraguan terhadap mabda tentu
akan mendorong kepada suatu kegagalan,
malahan bisa jadi menyebabkan kekufuran
dan pembangkangan, kami berlindung kepada
Allah dari hal tersebut.
Iman yang kuat yang di dalamnya tidak
terbetik keraguan sedikitpun merupakan suatu

Mafahim HT 13
1
perkara yang yang wajib bagi pengemban
dakwah, karena hanya dengan iman seperti
inilah yang akan mampu menjamin
kelangsungan dakwah dengan langkah yang
cepat dan panjang di jalan yang lurus. Iman
semacam ini mengharuskan dakwah bersifat
terbuka dan menantang segala sesuatu,
menantang adat istiadat dan kebiasaan
masyarakat, menantang pemikiran yang renta,
dan persepsi yang salah, bahkan menantang
opini umum yang keliru, walaupun hal ini
dilakukan secara frontal, menentang segala
macam aqidah-aqidah dan agama-agama di
luar Islam, meskipun akibatnya akan
menghadapi fanatisme para pengikutnya.
Karenaitu dakwah yang berlandaskan aqidah
Islam mempunyai ciri yang tegas, berani dan
kuat, analitis serta menentang segala sesuatu
yang bertentangan dengan fikrah dan
thariqah, serta siap menghadapi dan
menjelaskan kepalsuannya tanpa melihat lagi
hasil maupun situasi dan kondisinya. Begitu
pula tanpa mempedulikan lagi apakah mabda
itu sesuai dengan keyakinan masyarakat atau
malah bertentangan, apakah diterima
masyarakat, ditolak atau malah dilawan.

13 Mafahim HT
2
Dengan demikian pengemban dakwah tidak
akan memihak suatu bangsa maupun bersikap
kompromi. Ia tidak peduli lagi dengan
beratnya menghadapi masyarakat dan para
penguasa yang jahat, tidak bergaul dengan
mereka, tidak berbasa-basi, atau bermanis
muka. Namun demikian mereka tetap
berpegang teguh pada mabda tanpa
memperhitungkan untung-ruginya, kecuali
mabda itu sendiri.
Iman seperti ini mewajibkan agar
menjadikan kedaulatan hanya untuk mabda
semata, dengan kata lain hanya untuk Islam
saja bukan untuk yang lain. Dan menganggap
mabda selain Islam adalah kufur, apapun
bentuknya dan bagaimanapun macam
perbedaannya. Allah SWT berfirman:

ُ‫لم‬
َ ْ‫َإنّ الدّْينَ عِ ْندَ الِ اْلِس‬
"Sesungguhnya Agama/Diin (yang sah) di sisi
Allah, ialah Islam."
(QS Ali 'IImran 19)

Maka setiap orang yang tidak beriman


kepada Allah adalah kafir menurut pandangan
Islam. Karenaitu pengemban dakwah secara

Mafahim HT 13
3
mutlak tidak boleh mengatakan kepada
penganut selain Islam, baik itu berupa agama
maupun berbentuk mabda/ideologi: Pegang
teguhlah mabda/agama kalian!. Yang
seharusnya dilakukan hendaknya menyeru
mereka masuk Islam dengan jalan hikmah
(hujjah) dan nasehat yang baik supaya
bergabung dengan Islam. Karena dakwah
mengharuskan para pengembannya
menjadikan kedaulatan hanya untuk Islam
saja, hal ini bukan berarti membiarkan saja
orang-orang non-muslim, termasuk apa yang
dianut dan diyakininya itu sebagai pengakuan
terhadap agama mereka, tetapi dalam rangka
memenuhi panggilan Allah yang mewajibkan
meninggalkan pemaksaan bagi manusia untuk
memeluk Islam, serta mengharuskan
meninggalkan aqidah dan sesembahan
individu masyarakat dengan syarat semua ini
dilakukan secara perorangan bukan secara
berkelompok, bahkan tidak membiarkan
mereka memiliki kekuatan apapun di dalam
daulah Islam. Demikianlah iman terhadap
mabda mengharuskan kesatuan mabda dalam
masyarakat, tidak bercampur dengan yang
lainnya.

13 Mafahim HT
4
Iman terhadap Islam berbeda dengan
pemahaman terhadap hukum-hukum dan
Syari'atnya. Karena iman ditimbang dan
ditetapkan melalui jalan akal atau dengan
jalan yang pokok pangkalnya ditetapkan
dengan akal. Dengan demikian di dalamnya
tidak terbetik keraguan sedikitpun. Sedangkan
pemahaman terhadap hukum Islam tidak
hanya tergantung pada akal, tetapi diperlukan
juga pengetahuan tentang bahasa arab,
kemampuan menggali hukum dan
pengetahuan akan hadits-hadits yang shahih
maupun yang dla'if. Berdasarkan hal ini maka
para pengemban dakwah hendaknya
menganggap bahwa pemahaman mereka
terhadap hukum-hukum syara' adalah
pemahaman yang benar akan tetapi masih
terdapat kemungkinan di dalamnya suatu
kesalahan. Begitu pula hendaknya
menganggap pemahaman orang lain salah,
akan tetapi masih terdapat kemungkinan di
dalamnya suatu kebenaran, sehingga memberi
peluang kepada mereka untuk berdakwah
menyampaikan Islam dan hukum-hukumnya
sesuai dengan pemahaman dan istimbath
mereka terhadap hukum-hukum tersebut.

Mafahim HT 13
5
Hendaknya mereka mencoba merubah
pendapat orang lain yang di dalamnya
didapati pemahaman yang dianggap salah
tetapi masih ada kemungkinan benar, lalu
dialihkan agar mengikuti pemahaman yang
mereka anut yaitu pemahaman yang mereka
anggap benar tetapi memiliki kemungkinan
salah. Berdasarkan hal ini pengemban
dakwah tidak boleh mengatakan mengenai
pendapatnya bahwa hal ini adalah pendapat
Islam (ra`yul Islam) akan tetapi yang
seharusnya mereka katakan adalah bahwa hal
ini berasal dari pendapat mereka dan
bahwasanya pendapat ini adalah pendapat
yang islami (ra`yun islamiy), yang berdasarkan
pada Islam. Para pemuka madzhab dari
kalangan mujtahidin menganggap bahwa
istimbath mereka terhadap hukum-hukum
syara' adalah benar, namun demikian di
dalamnya terdapat kemungkinan salah.
Mereka masing-masing selalu mengatakan:
"Apabila hadits tersebut benar (shahih) itulah
madzhabku dan buang jauhlah pendapatku".
Demikian pengemban dakwah haruslah
menganggap bahwa pendapat yang
ditentukannya atau yang telah mereka

13 Mafahim HT
6
usahakan sampai pada pendapat yang
dipilihnya berasal dari Islam dan sesuai
dengan apa yang mereka pahami, adalah
pendapat yang benar, tetapi memiliki
kemungkinan salah. Sementara itu
keimanannya terhadap Islam dari sudut aqidah
tidak didapati di dalamnya suatu keraguan.
Para pengemban dakwah menganggap
pendapat mereka seperti ini karena dakwah
menumbuhkan dalam diri para pengikutnya
upaya menuju kesempurnaan dan
mengharuskan mengoreksi kembali secara
terus menerus hakekat kebenaran serta
senantiasa menilai setiap hal yang ia ketahui
dan ia fahami, sehingga ia dapat menyeleksi
setiap sesuatu yang mungkin dipengaruhi oleh
hal-hal asing (bukan dari Islam) dan berusaha
menjauhkan idea-idea dan pemahaman
mereka sehingga menjadi bagian dari tsaqafah
gerakan. Semua ini dilakukan agar
pemahaman mereka tetap dalam kebenaran
dan pemikirannya tetap mendalam, jernih dan
bersih. Karena dengan jernih dan bersihnya
pemikiran, memungkinkan melakukan aktifitas
dakwah, sebab jernihnya pemikiran dan
jelasnya thariqah (metoda) dakwah adalah

Mafahim HT 13
7
satu-satunya jaminan meraih keberhasilan
sekaligus mampu menjaga keberhasilan itu.
Namun demikian dengan melakukan
seleksi untuk mencapai kebenaran tak berarti
harus berliku-liku, terombang-ambing diterpa
angin tetapi harus dijadikan pemahaman yang
baku, karena dihasilkan dari pemikiran yang
mendalam. Karena itu, pemahamannya
tersebut merupakan pemahaman yang lebih
baku (tetap) dibanding pemahaman lainnya.
Berdasarkan hal tadi, para pengemban
dakwah senantiasa harus waspada terhadap
dakwahnya dan terhadap pemahaman mereka
tentang dakwah, serta senantiasa awas
terhadap fitnah orang-orang yang ingin
memalingkan mereka dari pemahamannya.
Fitnah semacam ini merupakan perkara paling
berbahaya yang menghadang dakwah.
Karenaitu, Allah mengingatkan Nabi SAW akan
fitnah semacam ini.

َ‫ل ِإلَ ْيك‬


ُ ‫وَاحْذَ ْرهُمْ َأ ْن يَفِْتنُوكَ َعنْ بَعْضِ مَا َأْنزَ َل ا‬
"(Dan) Berhati-hatilah kamu terhadap mereka
supaya supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu." (QS Al Maidah: 49)

13 Mafahim HT
8
Sayyidina 'Umar ra telah berkata kepada qadli
Syuraih, tatkala berwasiat agar merujuk
kepada kitabullah seraya berkata: "(dan)
Janganlah mereka memalingkanmu dari kitab
Allah."
Dengan demikian pengemban dakwah
harus selalu waspada dari ucapan yang
mungkin muncul dari orang-orang yang ikhlas,
atau pendapat yang dianut oleh seseorang
yang selalu memperhatikan dakwah yang ia
sampaikan dengan dalih mashlahat sedangkan
pendapatnya itu bertentangan dengan Islam.
Hendaknya mereka waspada terhadap hal-hal
semacam ini dan tidak memberi peluang
kepada seorang pun untuk berbuat demikian
karena hal seperti itu adalah bentuk kesesatan
yang nyata.
Harus dibedakan antara dakwah untuk
memeluk Islam dan dakwah untuk
melanjutkan kehidupan Islam. Begitu pula
harus dibedakan dakwah yang diemban oleh
suatu kelompok/jama'ah di tengah-tengah
ummat seperti yang diemban oleh kelompok
dakwah tertentu, dengan dakwah yang
diemban oleh daulah Islam.

Mafahim HT 13
9
Latar belakang membedakan dakwah
menyeru kepada Islam dengan dakwah
melanjutkan kehidupan Islam, tidak lain untuk
mengetahui tujuan yang hendak dicapai oleh
dakwah. Perbedaan keduanya, adalah bahwa
dakwah menyeru kepada Islam ditujukan
kepada non-Muslim. Mereka diseru untuk
memeluk dan masuk ke pangkuan Islam.
Metode praktis (amaliyah) dakwah kepada
mereka dilakukan dengan menegakkan
hukum-hukum Islam di tengah-tengah mereka
oleh Daulah Islam, sehingga mereka melihat
cahaya Islam. Hendaklah mereka diseru
dengan menjelaskan aqidah serta hukum-
hukum Islam sampai mereka dapat
menggambarkan keagungan Islam. Karenaitu
sudah menjadi keharusan bahwa dakwah
menyeru kepada Islam seyogyanya dilakukan
oleh daulah Islam. Sedangkan dakwah
untuk melanjutkan kehidupan Islam ini
ditujukan pada masyarakat yang individu-
individunya mayoritas muslim tetapi
memberlakukan hukum selain Islam, yang
digolongkan menjadi mayarakat yang tidak
Islami sehingga layak disebut sebagai Daarul
Kufur. Dakwah di tengah-tengah masyarakat

14 Mafahim HT
0
seperti ini dilakukan dalam rangka mendirikan
daulah Islam yang menerapkan Islam di
tengah-tengah masyarakat tersebut serta
akan mengemban dakwah kepada masyarakat
lainnya (non-Islam). Hal ini dilakukan apabila
tidak ada daulah Islam. Apabila di dunia ada
satu daulah Islam yang menerapkan Islam
secara sempurna maka dakwah dilakukan
untuk menjadikan suatu wilayah atau negara,
diterapkan Islam di wilayah tersebut serta
menjadikannya bagian dari daulah Islam yang
mengemban dakwah Islam dan menjadi
masyarakat Islam sehingga wilayah tersebut
dianggap layak disebut sebagai Daarul Islam.
Hal ini karena seorang muslim tidak boleh
hidup di daarul kufur, bahkan merupakan
kewajiban baginya apabila negara yang ia
hidup di dalamnya --yang semula Daarul Islam
telah menjadi daarul kufur-- hendaklah ia
berhijrah ke Daarul Islam.
Adapun membedakan dakwah yang
diemban oleh kelompok/jama'ah di tengah-
tengah ummat Islam dengan dakwah yang
diemban oleh daulah Islam adalah untuk
mengetahui bentuk-bentuk aktifitas yang
dilakukan para pengemban dakwah. Bahwa

Mafahim HT 14
1
dakwah yang diemban daulah Islam akan
menonjolkan segi praktis (amaliyah) berupa
diterapkannya Islam secara totalitas dan
sempurna, sehingga kaum muslimin
mengenyam kebahagiaan di dalam
kehidupannya, begitu pula kalangan non
muslim (kafir dzimmi) yang hidup di dalam
naungan dan lindungan Daulah Islam dapat
melihat cahaya Islam, yang pada akhirnya
mereka akan berbondong-bondong masuk
Islam secara suka rela, tanpa dipaksa, penuh
kerelaan dan ketenteraman.
Daulah juga mengemban dakwah keluar
(dari wilayah Islam) bukan hanya dengan cara
seruan dan menjelaskan hukum-hukum Islam
saja, tetapi dengan mempersiapkan kekuatan
militer untuk berjihad fi sabilillah, juga untuk
menerapkan hukum-hukum Islam di negeri-
negeri yang baru saja ditaklukkan, dengan
anggapan bahwa kekuatan atas mereka
adalah upaya dakwah yang bersifat praktis.
Metode tersebut telah ditempuh juga oleh
Rasulullah SAW beserta para Khulafaaur
Rasyidiin sesudahnya hingga masa terakhir
daulah Islam. Karenaitu mengemban dakwah
yang dilakukan oleh daulah dilakukan dengan

14 Mafahim HT
2
metode dakwah yang bersifat praktis, baik di
dalam maupun di luar wilayah daulah.
Sedangkan dakwah yang diemban oleh
suatu jama'ah atau kelompok tidak lain berupa
aktifitas-aktifitas lainnya. Karenaitu aktifitas
yang ditempuh adalah dengan metode
fikriyyah (metode yang beranjak dari
pemikiran) bukan aktifitas yang berbentuk
amaliyah-praktis yang merupakan kewajiban
daulah. Kelompok dakwah (kutlah) melakukan
sesuatu yang diwajibkan syara' dalam keadaan
semacam ini --yaitu menempuh metode
fikriyyah-- sampai terwujudnya daulah Islam
yang akan menerapkan dakwah secara praktis.
Karenaitu dakwah yang dikembangkan oleh
sebuah kutlah kepada kaum muslimin tidak
lain dalam rangka memahamkan Islam, agar
mereka mampu melanjutkan kehidupan Islam
disamping berjuang melawan setiap unsur
yang merintangi dakwah dengan cara-cara
yang diharuskan oleh perjuangannya.
Diharuskan meneladani kehidupan
Rasulullah SAW di Makkah dan mengikuti
langkahnya dalam berdakwah. Dalam hal ini
dakwah dimulai dengan langkah pengkajian
dan pemahaman tsaqafah Islam yang disertai

Mafahim HT 14
3
dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban
Islam persis dengan keadaan di Daarul Arqam.
Kemudian orang-orang mukmin dan jujur yang
telah mempelajari dan memahami Islam
beralih ke fase berikutnya, yaitu tafa'ul
(berinteraksi) dengan ummat, sampai ummat
dapat memahami Islam dan mengerti
keharusan terwujudnya daulah Islam.
Kelompok dakwah hendaknya memulai terjun
ke tengah-tengah masyarakat dengan
membeberkan kerusakan-kerusakan
masyarakat tersebut serta mencela dan
menyerang pemahaman-pemahaman mereka
yang salah, pendapat-pendapat mereka yang
rusak serta merendahkannya. Hendaknya
kelompok dakwah menjelaskan hakekat Islam
kepada ummat dan inti dakwahnya agar
terbentuk kesadaran secara umum terhadap
dakwah. Pemuka-pemuka dakwah adalah
bagian dari masyarakat. Ummat secara
keseluruhan berusaha secara produktif --di
bawah pimpinan kelompok dakwah-- hingga
meraih kekuasaan dan terwujudlah daulah
Islam. Disaat itulah, dakwah meneladani
kehidupan Rasulullah SAW di Madinah dalam
penerapan Islam dan mengemban dakwah.

14 Mafahim HT
4
Karenaitu bagi kelompok Islam yang
mengemban dakwah tidak perlu
memperhatikan berbagai aktifitas yang
sifatnya "amaliyah" (praktis), dan hendaknya
tidak disibukkan oleh hal-hal selain dakwah.
Melakukan aktifitas selain dakwah adalah
racun dan penghalang dakwah. Karenaitu tidak
diperbolehkan menyibukkan diri dengan
kegiatan-kegiatan tersebut sama sekali.
Rasulullah SAW ketika menyerukan Islam di
Makkah yang penuh dengan berbagai
kefasikan/kemaksiatan dan kekejian, tetapi
beliau tidak mengambil tindakan apapun
untuk menghilangkannya. Demikian pula
berbagai bentuk kezhaliman, penyelewengan,
kefakiran dan kemiskinan yang nampak secara
nyata, namun tidak terdapat bukti bahwa
Beliau melakukan suatu langkah praktis untuk
menghapuskan semua itu. Juga, berhala-
berhala yang berdiri tegak di sekeliling dan di
atas Ka'bah, walaupun begitu tidak terbukti
beliau berusaha memusnahkannya. Akan
tetapi beliau hanya mencela tuhan-tuhan
mereka, menganggap dungu akal pikiran
mereka dan merendahkan perbuatan mereka.
Beliau hanya membatasi diri dengan ucapan

Mafahim HT 14
5
dan aspek pengembangan pemikiran semata.
Namun, pada saat daulah beliau
tegakkan dan berhasilnya penaklukan kota
Makkah, tak satupun berhala-berhala tersebut
tersisakan. Demikian juga pemberantasan
terhadap berbagai kefasikan, kedurhakaan,
kezhaliman, penyelewengan, kefakiran dan
kemiskinan tak satupun Beliau tinggalkan.
Karenaitu, tidak diperbolehkan bagi suatu
kelompok yang mengemban dakwah —dalam
kapasitasnya sebagai sebuah kelompok—
melakukan aktifitas selain dakwah. Hendaknya
kelompok tersebut membatasi dirinya dalam
aspek ide dan dakwah. Meskipun demikian,
tidak ada larangan bagi individu-individu
anggota suatu kelompok dakwah mengerjakan
aktifitas sosial atau kemasyarakatan. Akan
tetapi suatu kelompok dakwah tidak
diperkenankan melakukannya, karena
tugasnya tidak lain adalah menegakkan
daulah Islam agar dapat mengemban dakwah
ke seluruh dunia.

Sekalipun wajib menjadikan kehidupan


Rasulullah SAW di Makkah sebagai contoh agar
perjalanan sesuai dengannya, tetapi penting

14 Mafahim HT
6
diperhatikan bahwa pembeda antara
penduduk Makkah dan dakwah menyeru
mereka kepada Islam dengan kaum muslimin
sekarang dan dakwah menyeru mereka untuk
melanjutkan kehidupan Islam adalah bahwa
Rasulullah SAW ketika itu menyeru orang-
orang kafir untuk beriman. Sedangkan dakwah
pada masa kini adalah menyeru
kaummuslimin untuk memahami Islam dan
mengamalkannya. Oleh sebab itu, dakwah
sekarang sebenarnya lebih mudah dan lebih
dekat (pada keberhasilan).
Wajib bagi kelompok dakwah (kutlah)
untuk tidak menganggap dirinya sebagai
bukan bagian dari umat tempat ia hidup.
Sebaliknya, kutlah harus menganggap bahwa
dirinya bagian integral dari umat ini. Sebab,
masyarakat adalah kaum muslimin seperti
mereka. Mereka pun tidak lebih unggul
daripada salah seorang kalangan kaum
muslimin, sekalipun mereka memahami Islam
dan berjuang untuknya; namun, mereka
adalah kaum muslimin yang paling berat
bebannya dan paling hebat tanggung
jawabnya dalam melayani kaum muslimin di
hadapan Allah SWT dan di hadapan

Mafahim HT 14
7
perjuangan Islam. Wajib para anggauta kutlah
Islam mengatahui bahwa mereka tidak berarti
apa-apa betapapun banyak jumlah mereka
tanpa umat tempat mereka berjuang. Oleh
sebab itu, fungsi mereka adalah terjun
berinteraksi bersama-sama ummat, berjalan
bersama mereka dalam perjuangan dan
menumbuhkan perasaan dalam diri ummat
bahwa yang bergerak adalah ummat bukan
kelompok.
Wajib pula menjauhkan kutlah dari
perbuatan, perkataan ataupun indikasi lainnya
yang memberi kesan memisahkan kutlah dari
ummat dalam segala aspek, baik itu kecil
maupun besar. Karena hal ini dapat
menjauhkan ummat dari kutlah dan
dakwahnya serta dapat menjadikannya
sebagai salah satu sandungan masyarakat
yang menghalangi kebangkitannya.
Sesungguhnya ummat secara keseluruhan,
tidak terpisah. Kutlah berdiri tegak untuk
membangun daulah. Mereka akan tetap
menjaga Islam di tengah ummat dan daulah.
Sampai-sampai bila kutlah melihat terdapat
kemuduran dalam umat mereka segera
membangun keimanan dan kecerdikan dalam

14 Mafahim HT
8
diri umat. Bila menyaksikan adanya
penyimpangan dalam daulah kutlah
bergabung bersama-sama dengan ummat
meluruskannya sesuai dengan apa yang telah
diwajibkan oleh Islam. Berdasarkan hal ini
dakwah Islam yang dikembangkan oleh suatu
kutlah akan berjalan di jalur yang seharusnya
(normal) dengan perjalanan yang sempurna.
Tujuan kutlah adalah melangsungkan
kembali kehidupan Islam di negeri Islam dan
mengembangkan dakwah Islam ke seluruh
dunia. Metode yang ditempuh untuk mencapai
hal ini ialah melalui pengambil-alihan
kekuasaan. Termasuk metode dalam
mengambil alih-kekuasaan adalah mempelajari
dan memahami Islam, membina masyarakat
dengan Islam dengan pembinaan yang
membekas/mempengaruhi dalam mewujudkan
pola pikir dan jiwa yang islami untuk
membentuk syakhsyiyah Islam. Begitu juga
dengan cara berinteraksi di tengah ummat
dengan cara memberi pemahaman Islam
terhadap mereka, menanamkan pengertian
tentang hakekat kepentingan mereka dan
bagaimana Islam memberi pemecahan
terhadapnya (kepentingan mereka), menjamin

Mafahim HT 14
9
hak mereka serta memilih dan menentukan
kepentingan ummat. Perjalanan berinteraksi
dan terjun di jalan dakwah bersama-sama
aktifitas pengkajian dilakukan pada waktu
yang bersamaan.
Dari sini dapat dimengerti bahwa
aktifitas kutlah hizbiyah berbentuk aktifitas
politik. Berdasarkan hal ini maka ciri yang
paling menonjol dalam kutlah ini adalah aspek
politiknya, karena politik menjadi metode
praktis yang pertama yang dimulai dalam
dakwah mengajak kepada Islam. Hal ini tidak
berarti juga dakwah terbatas pada aspek
politis saja atau hanya bagaimana meraih
kekuasaan saja. Sebaliknya, ini berarti
mengajak kepada Islam dan perjuangan politik
untuk meraih kekuasaan secara sempurna
dalam rangka mewujudkan daulah Islam yang
akan menerapkan Islam dan mengembangkan
dakwah Islam harus bersifat kutlah politis.
Tidak boleh kutlah (dakwah) bersifat ruhiyah
(ritual), kutlah yang hanya mementingkan
aspek akhlaq, bukan pula kutlah Ilmiyah
(pengkajian) maupun kutlah yang bersifat
taklimiyah (pendidikan) dan yang semacam
dengan itu. Bahkan diwajibkan menjadikan

15 Mafahim HT
0
kutlah itu bersifat politis.
Hizbut Tahrir selaku partai Islam adalah
suatu partai politik yang bergerak di lapangan
politik serta melakukan aktifitas membina
ummat dengan tsaqafah Islam, yang di
dalamnya aspek politik sangat menonjol.
Hizbut Tahrir menentang dan membongkar apa
yang dilakukan para penjajah dan para agen
kaki tangannya yang menghalangi para
mahasiswa dan pegawai dari aktivitas politik
serta dari upaya mereka memalingkan jauh-
jauh masyarakat secara umum dari politik.
Dalam hal ini Hizbut Tahrir memandang bahwa
masyarakat wajib mengetahui serta mengerti
politik dan melakukan pendidikan politik pada
mereka.
Yang dimaksud dengan aktifitas politik
bukan hanya menjelaskan bahwa Islam itu
mencakup juga masalah politik, atau
menjelaskan bahwa pokok pemikiran politik
dalam Islam itu begini dan begitu. Tetapi yang
dimaksud dengan politik adalah tanggung
jawab pengaturan dan pemeliharaan urusan
ummat secara keseluruhan baik di dalam
maupun di luar negeri, dan selalu berjalan di
jalan Islam, bukan yang lain. Hal ini dilakukan

Mafahim HT 15
1
oleh Negara, sedangkan ummat berkewajiban
menasehati dan meluruskan negara dalam
pelaksanaan tugas-tugasnya. Agar hal-hal di
atas terlaksana mau tidak mau harus terdapat
Hizb yang bertanggung jawab dalam hal ini di
tengah-tengah ummat maupun setelah
adanya daulah Islam nanti. Untuk itu Hizb
mengemban dakwah Islam secara total serta
menjelaskan kepada umat tentang hukum-
hukum syara' yang akan memecahkan
problema kehidupan. Hizb juga berjuang
menerapkan hukum dengan Islam saja dan
berjihad melawan para penjajah kafir untuk
mencabut mereka dari akar-akarnya. Juga,
memberantas kaki tangan dan agen kafir yang
mengemban kepemimpinan berfikir penjajah
dan ideologinya maupun yang
mengembangkan segi politik dan
pemikirannya.
Mengemban dakwah Islam dan berjuang
secara politik di tengah-tengah masyarakat,
mengharuskan hizb menentukan wilayah
gerakan. Hizbut Tahrir menganggap
masyarakat di seluruh dunia Islam adalah
masyarakat yang satu. Karena masalah yang
dihadapi oleh mereka adalah sama, yaitu

15 Mafahim HT
2
bagaimana kembalinya Islam di tengah-tengah
ummat. Namun demikian, Hizbut Tahrir telah
menentukan titik awal (dakwah) di negeri-
negeri Arab, yang merupakan bagian dari
negeri-negeri Islam, dan berpendapat
bahwasanya mendirikan daulah Islam di
negeri-negeri Arab merupakan benih unggul
bagi daulah Islam. Hal ini telah menjadi
langkah yang wajar.
Masyarakat di negeri-negeri Islam
sekarang berada pada tingkat keadaan politik
yang paling buruk, karena pada hakekatnya
masih dikuasai dan dijajah oleh negara-negara
barat walaupun yang nampak
pemerintahannya itu berdiri sendiri.
Masyarakat ini tunduk di bawah kepemimpinan
berfikir demokrasi kapitalis dengan
ketundukan yang membabi-buta diterapkan di
tengah-tengah masyarakat sistem demokrasi
dalam aspek pemerintahan dan
ketatanegaraan. Dalam bidang ekonomi
diterapkan sistem ekonomi kapitalis,
sedangkan di bidang militer tergantung pada
Barat-Asing baik dari segi pesenjataan,
latihan-latihan militer, maupun hal-hal yang
menyangkut teknik serta keahlian militer.

Mafahim HT 15
3
Adapun di bidang politik luar negeri selalu
mengikut dengan politik penjajah asing.
Karenaitu kami berani menyatakan
bahwasanya di negeri-negeri Islam masih
berlangsung penjajahan dan senantiasa
berupaya untuk mencengkramkan penjajahan
di sana. Sebab, penjajahan itu adalah
penghunjaman penguasaan bidang militer,
politik, ekonomi, dan kebudayaan atas bangsa-
bangsa lemah untuk dieksploitasi. Mereka
menggunakan seluruh kekuasaannya untuk
memaksakan kepemimpinan ideologinya dan
memantapkan segenap pandangannya dalam
segenap kehidupan. Bentuk penjajahan itu
berbeda-beda, tercakup di dalamnya
penggabungan terhadap negeri-negeri yang
dikalahkan dalam peperangan menjadi bagian
dari wilayah negeri-negeri penjajah dan
membangun koloni-koloni baru, begitu pula
membentuk pemerintahan yang merdeka
secara kolonial, pada hal kenyataanya tunduk
di bawah negara-negara penjajah. Hal ini
merupakan kenyataan yang terjadi dan
menimpa negeri-negeri Islam, yang secara
keseluruhan negeri-negeri Islam ini tunduk di
bawah pengaruh dan kekuasaan Barat serta

15 Mafahim HT
4
berjalan sesuai dengan program-program
imperialisme Barat dari segi kebudayaan.
Bersamaan dengan ketundukannya kepada
kekuasaan imperialis Barat, pada saat yang
sama negeri-negeri Islam menjadi sasaran
ekspansi Rusia. Sebab Rusia melalui para agen
kaki tangannya berupaya agar masyarakat
menganut Komunisme serta menguasai
Qiyadah Fikriyah dan pandangan hidupnya
dengan jalan menyerukan ideologi
Komunisme.
Berdasarkan hal ini maka negeri-negeri
Islam menjadi jajahan negara-negara Barat,
menjadi obyek permainan kepemimpinan
ideologi asing, manjadi pusat perhatian Rusia,
menjadi sasaran yang harus diperangi dan
dikuasai bukan hanya sekedar menjajahnya
saja, tetapi juga menguasai dan merubah
negeri-negeri Islam menjadi negeri-negeri
komunis bahkan merubah masyarakatnya
secara keseluruhan manjadi masyarakat
komunis sekaligus membasmi segala
peninggalan yang berbau Islam.
Adalah suatu keharusan menggalakkan
aktifitas politik untuk menentang penjajahan
saat ini dalam rangka memerangi

Mafahim HT 15
5
kepemimpinan ideologi asing dan senantiasa
waspada terhadap bahaya serangan asing
yang diarahkan ke negeri-negeri kita. Adapun
serangan Rusia, maka sesungguhnya
bahayanya dalam aspek politik pada saat ini,
belum nampak walaupun wujudnya ada.
Serangan mereka terbatas pada para
penganjur yang mengemban kepemimpinan
ideologinya di berbagai negeri. Kepemimpinan
ideologi mereka memfokuskan dan selalu
memanipulasi kejahatan politik dan ekonomi
yang diderita oleh kaum muslimin, yang
diakibatkan penjajahan Barat. Karenaitu
memberantas penjajah Barat akan mengarah
pada perjuangan melawan bahaya serangan
Rusia yang kemudian dilanjutkan dengan
mengemban dakwah Islam dengan cara yang
benar, dalam rangka memerangi bahaya
kepemimpinan ideologi asing. Maka kewajiban
untuk menghadapi penjajah Barat merupakan
sisi penting dalam aspek perjuangan politik.
Perjuangan politik mengharuskan tidak
adanya perlindungan kepada negara-negara
asing apapun bentuknya, serta apapun jenis
perlindungan tersebut. Juga menganggap
bahwa setiap upaya meminta bantuan politik

15 Mafahim HT
6
kepada negara asing manapun dan setiap
propaganda yang ditujukan kepada mereka
merupakan pengkhianatan terhadap ummat.
Begitu pula wajib menggalang kekuatan dalam
diri dunia Islam dengan penggalangan yang
bersih (bebas dari ketergantungan bantuan
asing) sehingga mampu menjadi kekuatan
yang bersifat internasional yang memiliki ciri
yang khas (dengan kekuatan sendiri) sekaligus
menjadi masyarakat yang bermartabat mulia.
Kekuatan inilah yang akan merebut kembali
peranan dan kendali dari dua kekuatan militer
(Barat dan Timur), untuk menyebar luaskan
dakwah Islam ke seluruh dunia dan memimpin
dunia secara keseluruhan. Perjuangan politik
juga menharuskan menentang sistem undang-
undang dan peraturan Barat serta segala
bentuk yang telah diputuskan oleh penjajah.
Diwajibkan pula menolak seluruh
program-program dan rencana yang telah
dibuat Barat, terutama yang dilakukan oleh
Inggris dan Amerika, baik itu program-program
yang bersifat teknik dan keuangan dalam
berbagai bentuknya ataupun rencana politik
dengan berbagai macamnya. Begitu pula wajib
memberantas peradaban kebudayaan Barat

Mafahim HT 15
7
secara mutlak, hal ini bukan berarti
menghilangkan segala macam bentuk
peradaban (madaniah), karena peradaban
haruslah diambil apabila hal itu merupakan
hasil dari sains dan industri.
Diwajibkan pula untuk mencabut
kepemimpinan ideologi asing dari akar-
akarnya. Begitu juga wajib membuang
tsaqafah asing apabila hal ini bertentangan
dengan pandangan hidup Islam kecuali Ilmu-
sains, karena sains bersifat universal, bahkan
harus diambil dari manapun, karena sains
merupakan salah satu sebab dari sebab-sebab
kemajuan materi dalam kehidupan.
Perjuangan politik juga mengharuskan
kita agar mengetahui bahwasanya para
penjajah Barat terutama Inggris dan Amerika
selalu mengarahkan di setiap negeri-negeri
terjajah, bantuannya kepada kaki tangannya
yang terbelakang dan mendzalimi dirinya atau
yang memprogandakan politik dan
kepemimpinan ideologi mereka, termasuk
sekelompok penguasa dengan cepat mereka
menawarkan bantuan pada agen-agen mereka
di berbagai negeri untuk membendung
harakah Islam ini, mereka membantu baik

15 Mafahim HT
8
dengan harta maupun yang lainnya,
disamping menggunakan seluruh kekuatan
yang diperlukan untuk memberantas harakah
Islam. Para penjajah beserta para agen kaki-
tangannya mengusung panji-panji propaganda
untuk menentang gerakan pembebasan Islam
dan melontarkan tuduhan yang bermacam-
macam, antara lain; harakah tersebut adalah
upahan para penjajah yang selalu menyulut
kerusuhan di dalam negeri dan berusaha
menghimpun dan mengajak seluruh dunia
untuk melawan kaum muslimin, dan
bahwasanya gerakan tersebut juga
bertentangan dengan Islam, disamping
tuduhan-tuduhan lain yang serupa dengan di
atas. Berdasarkan hal ini para pengemban
dakwah harus menyadari politik penjajah
dengan berbagai caranya, sehingga mereka
dapat mengungkapkan rencana-rencana
penjajah baik di dalam maupun di luar negeri
pada waktunya, karena mengungkap rencana
penjajah dalam hal ini dianggap salah satu sisi
penting dari bentuk perjuangan.
Atas dasar inilah Hizbut Tahrir melakukan
aktifitas untuk membebaskan keadaan dunia
Islam dari bentuk penjajahan secara

Mafahim HT 15
9
keseluruhan. Hizbut Tahrir memerangi
penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi
dan tidak hanya menuntut agar mereka keluar
(dari negeri-negeri Islam) saja, tidak pula
menuntut kebebasan/kemerdekaan yang
palsu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki
mencabut keadaan yang diciptakan oleh
penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan
membebaskan negeri-negeri Islam, lembaga-
lembaga pendidikan dan pemikiran ummat
dari pendudukannya, baik itu penjajahan
militer, ideologi, kebudayaan, ekonomi dan
sebagainya. Dan memerangi siapa saja yang
membela setiap hal dari berbagai aspek
penjajahan sampai kemudian melangsungkan
kembali kehidupan Islam dengan mendirikan
kembali daulah Islam yang mengembangkan
risalah Islam ke seluruh dunia secara total.
Kami bermohon kepada Allah dan kepada-Nya
kami berdo'a agar memudahkan kami
membawa dan meraih cita-cita tersebut untuk
mengemban tugas besar ini. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengabulkan.

16 Mafahim HT
0
Mafahim HT 16
1
HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir adalah partai politik,


mabdanya Islam, tujuannya untuk
melangsungkan kembali kehidupan Islam,
dengan jalan menegakkan Daulah Islam yang
akan menerapkan peraturan-peraturan Islam
serta mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Hizbut Tahrir juga telah mempersiapkan
tsaqafah Hizbiyah (tsaqafah Islam yang
diadopsi oleh Hizb untuk diterapkan), yang
meliputi hukum-hukum Islam dalam seluruh
aspek kehidupan. Hizbut Tahrir menyeru
kepada Islam sebagai Kepemimpinan Ideologi
yang terpancar darinya peraturan-peraturan,
yang dapat memecahkan berbagai
problematika manusia secara keseluruhan,
baik itu problematika dalam bidang politik,
ekonomi, budaya, sosial dan lain-lain. Hizbut
Tahrir adalah partai politik yang
menghimpun/menerima anggota dari kalangan
wanita sebagaimana halnya juga menerima
anggota dari kalangan laki-laki. Hizbut Tahrir
menyerukan pula seluruh lapisan masyarakat
kepada Islam, agar mereka terikat dan

16 Mafahim HT
2
mengambil mafahim (ide-ide) dan sistemnya.
Hizbut Tahrir memandang mereka, walaupun
beraneka-ragam suku-suku dan madzhab-
madzhab, dengan pandangan Islam. Hizbut
Tahrir mengarahkan interaksi perjuangannya
bersama-sama dengan ummat untuk meraih
tujuannya. Hizbut Tahrir menentang
penjajahan dengan segala bentuk dan
slogannya, untuk membebaskan ummat dari
kepemimpinan ideologi penjajah serta
mencabut dari akar-akarnya, baik aspek
budaya, politik, militer, ekonomi dan
sebagainya, dari tanah negeri kaum muslimin,
serta merubah mafahim (idea-idea) yang telah
terpolusi dan tercemari oleh penjajah yang
membatasi Islam hanya pada aspek ibadah
dan akhlaq semata.

***

Mafahim HT 16
3
1) Hidup adalah fenomena yang terdapat dalam makhluk
hidup, seperti tumbuh, berkembang, bereproduksi,
bernapas, bergerak, dsb.
2) Dalam bahasa Arab, uqdah artinya simpul dan kubra
artinya paling besar. Yang dimaksud uqdatul kubra di
sini adalah pemikiran tentang asal usul manusia, alam
semesta dan hidup yang menjadi problem terbesar dan
mendasar bagi setiap manusia yang harus dipecahkan
(pent.)

Anda mungkin juga menyukai