Anda di halaman 1dari 48

• al-Khaliq secara bahasa berasal dari kata "khalq"

atau "khalaqa" yang berarti mengukur atau


memperhalus. Kemudian, makna ini berkembang
dengan arti menciptakan tanpa contoh
sebelumnya. Kata khalaqa dalam berbagai
bentuknya memberikan penekanan tentang
kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-
Nya. (Q.S. Ar-Rum: 20-25)
• Allah al-Khaliq, artinya Allah pencipta semua makhluk
dan segala sesuatu. Malaikat, jin, manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan, bintang, dan
segala yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah.
Allah menciptakan setiap makhluk secara sempurna
dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dengan
ukuran yang paling tepat. al-Qur'an menegaskan,
"Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan
dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah."
(Q.S. As-Sajdah : 7)

• Dalam ayat lain ditegaskan, "sungguh, kami telah


menciptakan manusia dalam bentuk yang sebik-
baiknya." (Q.S. At-Tin: 4)
• Smoga kita termasuk Sbg hamba allah yg
meneladani sifat al-khaliq yaitu dianugrahi
pengetahuan, kemampuan(skill) dan juga
restu allah untuk melahirkan
kreasi/inovasi/hal2 baru yg bermanfaat bagi
kemaslahatan atau kesejahteraan umat .
• “Al-Bari` artinya yang menciptakan makhluk
tanpa meniru. Akan tetapi lafadz ini lebih
memiliki kekhususan pada (penciptaan)
makhluk-makhluk hidup, tidak pada makhluk-
makhluk yang lain. Lafadz ini jarang sekali
dipakai pada (penciptaan) selain makhluk
hidup.
• Dengan mengimani nama tersebut serta mengetahui
maknanya, kita semakin menyadari kekuasaan Allah
Yang Maha Hebat, serta mengetahui bagaimana
luasnya ilmu Allah dan kemampuan-Nya. Di mana tidak
mungkin ada yang melakukan itu semua kecuali Dzat
yang Maha Berilmu dan Maha Mampu. Ini semua
mestinya membuat kita semakin tunduk kepada-Nya
dan semakin patuh. Sebagaimana juga mestinya
membuat kita semakin bersyukur kepada-Nya karena
kita semuadengan bentuk ciptaan yang bagus dan
indah ini adalah buah dari Asma Allah Subhanahu
Wata'ala tersebut.
• Al Mushowwir, . ‫المصور‬Artinya: Yang Maha Menciptakan segala Bentuk dan Rupa.

• “Dia-lah Allah Pencipta, Pencipta, Maha membentuk rupa terrsebut; Nya adalah
nama yang paling baik; apa yang ada di langit dan bumi menyatakan kemuliaan-
Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS al-Hasyr : 24]
Al-Khaliq (Pencipta), al-Bari `(Pembuat), al-Musawwir (Membentuk rupa) adalah
tiga dari nama Allah yang disebutkan bersama-sama dalam ayat ini. Ketika tiga
nama disebutkan secara bersamaan, masing-masing menyampaikan makna
tertentu. Di sini, atribut penciptaan secara khusus mengacu ketentuan Allah dari
apa Dia menciptakan, sehingga yang lebih dulu. Nama al-Bari‘ (pembuat) mengacu
pada tindakan kreatif mewujudkan apa yang Allah kehendaki untuk menciptakan.
Akhirnya nama al-Musawwir (Membentuk itu) mengacu memberikan setiap hal
dibuat bentuk khususnya.

• Maka Allah menciptakan apa yang Dia putuskan, membawa ke dalam keberadaan, dan menentukan bentuk unik
yang ditentukan Nya. Allah Subhanahu Wata'ala menciptakan bentuk setiap hal yang diciptakan menurut,
pengetahuan-Nya hikmat dan pengampunan. Dia memberikan setiap hal bentuk ini memiliki tanpa membutuhkan
model yang sudah ada sebelumnya.

• Khalaqa di situ ialah mencipta kemudian sawwa itu memberi rupa bentuk. Dalam erti kata lain ; sebelum makhluk
ini diciptakan, Allah Subhanahu Wata'ala telah menentukan ukuran, sukatan (berapa kadar) dan menentukan
bagaimana kewujudan penciptaan-Nya. Ini bermaksud bahwa setiap yang dicipta itu telah ada dalam ilmu Allah
bagaimana rupanya apabila maujud nanti. Ini bermakna dengan sifat khalaqa yang dimiliki oleh Allah SWT; semua
makhluk atau ciptaan yang maujud di atas muka bumi ini semuanya telah wujud dalam pengetahuan Allah SWT
sebelum tercipta dan apa yang wujud dalam ilmu Allah itu nanti akan wujud dalam kenyataan bila dikehendaki dan
telah tiba masanya.

• Ketiga tindakan penciptaan, membuat, dan membentuk adalah asma Allah Subhanahu Wata'ala dalam
menampakkan kekuasaan Nya dalam makhluk secara berurutan, yang terakhir adalah Penciptaan dari bentuk,
yang secara bertahap datang ke penyelesaian. sebagai contoh mudah adalah bahwasanya Dia menciptakan
manusia dengan bentuk , warna , dan atau rupa yang berbeda beda pada setiap manusia.

• Penciptaan adalah bukti paling nyata kebesaran Allah dan keilahian. Bahwa Dia menganugerahkan kehidupan,
gerak dan kesadaran pada makhluk Nya guna untuk memperhatikan , mendengar dan memahami setiap tanda -
tanda kekuasaan-Nya.

• Al-Ghaffar berasal dari fi’il madhi “ghafara”,
yang berarti menutupi-maka Al-Ghaffar
berarti Allah menutupi dosa hamba-hamba-Nya
karena kemurahan dan keluasan ampunan-Nya.

• Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa


kata itu terambil dari kata “alghafaru” yang
berarti sejenis tumbuhan yang digunakan untuk
mengobati luka -berarti Allah
menganugerahkan sifat penyesalan kepada
hamba-hamba-Nya sehingga bisa menjadi obat
penawar sekaligus penghapusan dosa.
• Keduanya bisa jadi benar dan dibenarkan, sebab dalam kehidupan
nyata, Dialah yang meniupkan rasa penyesalan pada diri manusia,
sehingga hati manusia cenderung meminta maaf ketika berbuat
dosa. Dia pula yang memberi ampunan sebesar apapun kepada
hamba-hamba-Nya yang menyesal dan bertaubat kepada-Nya.
• Al-Ghaffar tidak sekadar mengampuni dosa hamba-hamba-Nya
yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap syari’at, tapi
pengampunan-Nya meliputi segala hal, termasuk dalam hal akhlaq
yang oleh hukum syari’at tidak dianggap sebagai pelanggaran
hukum. Sedemikian luasnya pengampunan itu, bahkan meliputi
cinta dan emosi.
• Rasulullah saw senantiasa berusaha adil kepada isteri-isterinya,
karenanya Allah mengampuninya jika hati beliau lebih condong
kepada salah satu atas yang lain.
• Luar biasa, akhlak Allah yang senantiasa menampakkan kebaikan untuk menutupi
keburukan. Perhatikanlah, Dia menutupi sisi dalam jasmani manusia dengan
penampakan luar yang sedap dipandang mata. Bagian dalam yang kotor dan
menjijikkan ditutupi dengan tampilan lahir yang menawan.

• Adalah Al-Ghaffar pula yang menutupi bisikan hati dan kehendak-kehendak kotor
yang tersembunyi. Seandainya niat kotor, kemauan jahat, niat menipu, sangka
buruk, iri hati, dan kesombongan itu terkuak ke permukaan dan diketahui semua
orang, sungguh manusia akan mengalami berbagai kesulitan hidup. Jika yang
terbetik dalam hati manusia tampak secara telanjang, sungguh masing-masing kita
tidak ada yang saling percaya. Isteri tidak percaya kepada suami, anak tidak
percaya kepada orangtua, rakyat tidak percaya kepada pemimpinnya. Begitu juga
sebaliknya.
• Dia, Al-Ghaffar bahkan tetap menutupi sekian banyak salah dan
dosa yang telah dilakukan manusia, baik yang dilakukan secara tidak
sengaja maupun yang disengaja. Segala aib tetap ditutupi oleh
Allah. Itulah sebabnya Dia sangat marah kepada orang yang malam
harinya berbuat dosa, sementara di siang harinya ia sebarkan
perbuatan dosanya kepada orang lain. Andaikata ia segera menyesal
dan bertaubat, pintu ampuan-Nya segera dibuka. Siksa-Nya tidak
meliputi orang-orang yang bertaubat.
Al-Ghaffar senantiasa menyambut hamba-Nya yang tulus meminta
ampunan, sebesar apapun dosa yang disandangnya. Dia berfirman :
Sampaikan kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas
terhadap diri mereka sendiri: “Janganlah berputus asa dari rahmat
Allah, sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa, Dialah Yang
Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Sebagai hamba Allah, kita dituntut memiliki atau meneladani sifat indah Al-Ghaffar itu,
sebagaimana firman-Nya :
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar ia memaafkan orang-orang yang
tidak mengharapkan hari-hari Allah.” (QS. Al-Jatsiyah: 14)
Allah juga berfirman:
“Siapa yang bersabar dan menutupi (memaafkan) kesalahan orang lain, maka sungguh
hal demikian termasuk yang diutamakan.” (QS. Asy-Syuura: 43)
Ya Ghaffar, kami bermohon kepada-Mu kiranya membersihkan hati kami dari segala
noda. Kami bermohon kiranya Engkau memenuhi hati kami dengan cahaya. Berilah
kemampuan kepada kami untuk meneladani sifat dan nama-Mu Al-Ghaffar sehingga
kami dapat menutupi aib teman-teman kami, membalas kejahatan mereka dengan
kebaikan, dan meraih kemuliaan di dunia dan akherat.
• Sifat Allah Al Qahhar diartikan sebagai Yang
Maha Menundukkan. Dialah yang
menundukkan siang dan malam, matahari,
bulan dan bintang. Semua beredar menurut
garis edarnya. Allah menundukkan manusia
dan menunjukkan keesaanNya agar manusia
mau berpikir.
• Allah menundukkan semua makhluk termasuk manusia.
Tiada yang dapat menolak rencanaNya. Dia yang
menimpakan kehinaan dan Allah pula yang memberi
kekuasaan kepada yang dikehendakiNya. Sungguh Allah
menggenggam semua makhluk dalam kekuasaanNya.

• Sebagai makhlukNya kita harus senantiasa mengambil


keteladanan dari sifat Al Qahhar, dengan tidak merasa
sombong karena kita hanyalah makhluk yang tiada daya.
• Dalam al-Qur’an, al-Qahhar disebut enam kali dan kesemuanya dirangkai
setelah penyebutan kata al-Wahid, yang juga merupakan Asma Allah.
Penyebutan nama dan sifat al-Wahid di depannya memberi arti kuat
bahwa hanya Dia satu-satunya yang memiliki sifat Al-Qahhar. Orang yang
mengaku dirinya Qahhar (penakluk) akan dikalahkan dan dihinakan-Nya.
Fir’aun, dalam al-Qur’an dikisahkan pernah mengganggap dirinya sebagai
“Qaahiruun” (penakluk) ketika dia memerintahkan untuk membunuh
semua bayi lelaki.
“Fir’aun berkata: Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita
biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita
berkuasa penuh atas mereka.” (QS. Al-A’raf: 127)
Allah membungkam Fir’aun dan orang-orang kafir lainnya dengan
menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya, menekuk lutut para
pembangkang dengan kekuasaan-Nya, menjinakkan hati para pecinta-Nya
sehingga mereka bersuka cita menanti di depan pintu rahmat-Nya. Dia
pula yang menundukkan panas dan dingin, mengalahkan besi dengan api,
memadamkan api dengan air, menghilangkan gelap dengan terang, dan
melenyapkan terang dengan kegelapan.
• “Sungguh, Allah telah mengalahkan semua makhluq-Nya, termasuk manusia. Dialah yang
menjadikan manusia menjerit ketika lapar, menjadikannya lemah dan tak berdaya ketika kantuk dan
tidur. Dia pula yang memberi manusia sesuatu yang tidak diinginkan dan menghalangi yang
didambakan. Tak seorangpun yang bisa menolak ketika diberi celaka atau sakit. Sebaliknya, tak
seorangpun yang bisa mendapatkan sesuatu yang dihalangi Allah.

Sekalipun Al-Qahhar merupakan nama dan sifat Allah yang tak patut seorangpun mengaku sebagai
penakluk, tapi hal itu tidak menghalangi orang beriman untuk meneladaninya. Imam Al-Ghazali
mempersyaratkan bagi mereka yang ingin meneladani sifat Al-Qahhar dengan terlebih dahulu
menyadari bahwa tujuan penciptaannya adalah untuk menjadi hamba sekaligus khalifah di muka
bumi. Banyak halangan dan rintangan yang menjadi sebab tak terpenuhinya tujuan penciptaan
tersebut, salah satunya adalah hawa nafsu. Untuk itu kita harus “Qaahiruun”, menjadi penakluk dan
penjinak hawa nafsu kita sendiri.
Dalam hal penaklukan dan penjinakan nafsu, kita harus meneladani cara dan pendekatan Allah
dalam menundukkan dan menjinakkan makhluq-Nya. Ketika Allah menaklukkan manusia, Dia tidak
mencabut kebebasannya, apalagi mematikannya kecuali pada saat yang telah ditetapkan-Nya.
Untuk itu, nafsu tidak boleh dimatikan. Nafsu hanya boleh diarahkan dan dikendalikan.
• Islam mengakui perlunya memenuhi tuntutan nafsu selama tidak
mengantarkan manusia menyimpang dari tujuan penciptaannya.
Bagaimana mungkin manusia dicegah untuk memenuhi syahwat perutnya,
sementara jasmani yang sehat dan kuat sangat dibutuhkan untuk memikul
tugas-tugas di jalan Allah? Bagaimana mungkin nafsu seksual diharamkan,
sementara anak keturunan yang shaleh sangat didambakan untuk
melanjutkan generasi pengemban risalah-Nya ?
Lebih jauh, Al-Qahhar jika dibumikan menjadi bahasa kepemimpinan,
maka ia berarti kemampuan untuk mengarahkan orang lain pada kebaikan.
Pemimpin yang baik adalah navigator yang tahu jalan yang lurus dan jalan
yang harus dihindarinya. Ia memiliki kemampuan untuk membimbing anak
buahnya agar senantiasa berjalan di atas rel yang lurus, tidak zig-zag agar
lebih cepat mencapai tujuan. Untuk itu seorang pemimpin harus mampu
menyatupadukan semua staf dan anggotanya menjadi satu kekuatan yang
memiliki visi, misi, dan persepsi yang sama. Semoga kita bisa
meneladaninya.
• Al Wahhab adalah salah satu sifat Allah yang memiliki Arti Maha
Pemberi Karunia. Karunia merupakan hadiah yang bebas dari
imbalan dan kepentingan.
Makna lafazh 'Al Wahhab' menekankan bahwa pada hakikatnya
tidak mungkin tergambar dalam benak, mengenai adanya yang
memberi, siapapun yang membutuhkannya tanpa mengharapkan
imbalan atau tujuan duniawi atau ukhrawi, kecuali Allah SWT.
Karena siapa yang memberi disertai dengan tujuan duniawi atau
ukhrawi, baik tujuan itu berupa pujian, meraih persahabatan,
menghindari celaan atau mendapatkan kehormatan, dia bukanlah
'Wahhab'. Makhluk tidak mungkin memberi secara
berkesinambungan sedang Allah dapat memberi secara
berkesinambungan dan tanpa batas.
• Keagungan dan kebesaranNya tak berkurang sedikitpun juga jika sekiranya semua manusia ingkar
kepadaNya. Demikian juga sebaliknya, kewibawaan dan kemuliaanNya tak bertambah sedikitpun
juga jika sekirinya semua manusia tunduk patuh kepadaNya. Dia tak membutuhkan ucapan terima
kasih, tak juga tepuk tangan atas semua kebaikanNya.

• Tak sekadar bebas dari pamrih, Dia juga senantiasa memenuhi kebutuhan makhlukNya tanpa
diminta. Dia memberikan udara segar setiap hari walaupun kebanyakan manusia tidak memintanya.
Dia juga menurunkan hujan, walaupun manusia tidak berdoa untuknya. Sinar matahari dicurahkan
setiap hari, walaupun banyak manusia tidak menyadarinya. Siapakah yang menyediakan air, udara,
dan energi ? Tanpa diminta, Allah telah menyiapkannya.

• Hanya Dia yang pantas menyandang nama Al-Wahhab, sebab semua manusia senantiasa
mengharapkan imbalan ketika bekerja, apalagi ketika memberi sesuatu kepada sesamanya. Ada
tujuan yang ingin diraih di balik kerja kerasnya, baik yang bersifat materi maupun yang berbentuk
spiritual, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
• Itulah sebabnya, ketika al-Ghazali menjelaskan tentang Al-Wahhab, ia berkomentar bahwa hanya
Allah saja yang patut menyandang sifat itu. Ia berkata, pada hakekatnya tidak ada pemberian tanpa
tujuan dan harapan, kecuali Allah Subhanahu Wata'ala Setiap manusia pasti berpengharapan atas
semua perbuatannya, baik dalam bentuk pujian, meraih persahabatan, mendapatkan kehormatan,
atau paling tidak menghindari celaan.

• Seseorang ‘abid yang senantiasa melazimkan ibadah juga tak lepas dari pamrih untuk mendapatkan
surga atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang beribadah demi meraih cinta dan
syukur kepadaNya belum sepenuhnya terhindar dari tujuan-tujuan atau harapan meraih imbalan.
Itulah sebabnya, Allah tetap memberi toleransi kepada manusia sepanjang mereka tetap dalam
koridor ibadah yang ikhlas semata karena Allah SWT. Dia membolehkan manusia beribadah karena
mengharapkan surgaNya atau terhindar dari nerakaNya, karena memang hanya sampai di situ batas
kemampuan manusia.

• Hanya Allah saja yang bisa memberi tanpa pamrih, sebab hanya Dia yang tidak membutuhkan
apapun dari makhlukNya. Karenanya, hanya Dialah yang pantas menyandang nama Al-Wahhab,
Maha Pemberi tanpa mengharap Puji, Maha Pemberi tanpa pamrih, Maha Pemberi tanpa menagih.
• Walaupun demikian, kita bisa meneladani sifat mulia itu sebatas kemampuan kita sebagai makhlukNya. Dalam hal
ini kita bisa meminimalkan harapan atau pamrih kita, paling tidak, ketika kita memberikan sesuatu, janganlah kita
berharap mendapatkan imbalan yang berlebihan, yang demikian itu disebut riba, sebagaimana firmanNya :

“Apa yang kamu berikan dari riba supaya bertambah banyak harta manusia, maka tidaklah bertambah banyak di
sisi Allah”. (QS. Ar-Ruum: 39).

• Itulah sebabnya, sejak awal, ketika Rasulullah menerima wahyu yang ketiga, Allah sudah mengingatkan: “Jangan
memberi dengan mengharap imbalan yang lebih banyak”. (QS. Al-Muddatstsir: 6)

• Dalam prakteknya, kita boleh saja menanti ucapan terimakasih dari orang yang kita beri, tapi mengabaikannya
jauh lebih mulia dan derajatnya lebih tinggi, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak
pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)

• Nilai-nilai yang tercermin dari Al-Wahhab itu sangat penting diterapkan oleh para pemimpin. Setiap pemimpin
haruslah memiliki sifat pemurah, suka memberi kepada bawahannya. Seorang pemimpin yang pelit pasti tidak
disukai anak buahnya. Sebaliknya, pemimpin yang murah hati dan suka memberi pasti mendapatkan simpati,
disukai, dan dicintai rakyatnya.

• Aku tidak menghendaki sedikitpun rizki dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi
Sangat Kokoh. (QS. Adz-Dzariyaat: 57-58)
• Pada awalnya rezeki itu bermakna tunggal, yaitu pemberian untuk
jangka waktu tertentu. Makna ini sekaligus membedakan antara
rezeki dengan hibah, atau antara makna Ar-Razzaq dengan Al-
Wahhab. Dalam perkembangannya makna rezeki itu meluas dan
melebar, kadang bermakna pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji,
juga hujan yang turun dari langit, bahkan anugerah kenabian pun
disebut sebagai rezeki, sebagaimana perkataan Nabi Syuaib kepada
kaumnya:

“Wahai kaumku, bagaimana pendapatmu jika aku mempunyai bukti
yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahi aku dari-Nya rizki
yang baik (yakni kenabian)?” (QS. Huud: 88)

Ar Rozaq adalah sifat Allah Subhanahu Wata'ala yang baik
dan memiliki makna Maha Pemberi Rizki. Rizki yang
diberikan oleh Allah tak terbatas Harta, tahta, kesehatan,
kepandaian, pengetahuan dan masih banyak lagi. Dalam
pemberian Rizeky ini Allah Subhanahu Wata'ala tidak
pernah membedakan siapa yang akan menerima rezeki
dari-Nya entah itu muslim yang beriman atau mereka yang
ingkar. Jika Allah Subhanahu Wata'ala menghendaki
sesuatu terjadi, maka Dia akan menciptakan sebab-sebab
kejadiannya. Jika sebuah rezeki ingin diberikan-Nya pada
seorang hamba, maka tak satu pun kekuatan yang bisa
menghalanginya. Tak ada kekuatan yang mampu
menghalangi takdir-Nya.
• Sering manusia mengira, semua yang didapat
adalah hasil kerja keras dan usahanya. Sering
manusia menyangka, semua yang terjadi
keluar dari jerih payahnya. Padahal, sungguh
tak ada daya pada diri manusia yang lemah ini,
Makhluk yang ketika kantuk Allah yang
menciptakan sarana-sarana rezeki maupun
mereka yang diberi rezeki dan memberikan
sarana kepada makhluknya maupun
menciptakan jalan-jalan untuk menikmatinya.
• Rezeki bathiniah lebih tinggi dibandingkan rezeki lahiriah, karena
buahnya adalah kehidupan abadi. Adapun buah dari pemberian
rezeki lahiriah berupa kekuatan jasmani yang fana.

• Allah menganugerahkan pengetahuan untuk memberikan petunjuk,


lidah untuk bersaksi dan mengajar. Dan kedua tangan untuk
membagikan sedekah, sehingga manusia dapat menjadi sebab bagi
rezeki. Oleh Karena itu jika kita diberikan rezeki oleh Allah maka
seharusnya kita memberikan sebagian rezeki yang kita miliki kepada
orang yang membutuhkan. Misalnya kita memiliki harta yang
berlebih maka kita harus menyedekahkan sebagian harta kita untuk
orang yang membutuhkan.


Al-Fattah diambil dari akar kata fa-ta-ha, yang berarti membuka.
Makna dasar itu kemudian berkembang menjadi kemenangan,
karena dalam kemenangan itu tersirat adanya sesuatu yang harus
diperjuangkan menghadapi halangan, rintangan, dan segala sesuatu
yang tertutup. Di balik setiap kemenangan adalah perjuangan
menghadapi penjajahan, penindasan, dan pengungkungan.
Kemenangan itu sendiri adalah pembebasan.
Al-Fatttah, juga digunakan untuk memberi arti "irfan“
(pengetahuan) karena di dalamnya terdapat usaha membuka tabir
kegelapan. Orang yang belum berpengetahuan berarti orang yang
diliputi oleh kegelapan, sedangkan orang yang berilmu adalah
mereka yang melepaskan belenggu kegelapan (minadz-dzulumaat)
menuju cahaya terang benderang (ilan-nuur).
• Adalah Allah swt yang memiliki sifat dan nama Al-Fattaah yang sebenar-benarnya, sebab Dialah
yang membuka segala hal yang tertutup menyangkut perolehan yang diharapkan oleh setiap
hamba-Nya. Hati manusia yang tertutup dibuka oleh-Nya melalui pintu hidayah sehingga terisi
kebenaran dan jalinan cinta. Pikiran manusia yang tertutup dibuka oleh-Nya melalui ilmu
pengetahuan sehingga semua kesulitan dapat ditemukan jawabannya, dan semua problem dapat
ditemukan solusinya. Pintu rezeki hamba yang tertutup dibuka oleh-Nya melalui kegiatan ekonomi
sehingga mereka menjadi kaya dan berkecukupan. Allah, Al-Fattah yang membuka segala
kekurangan menjadi cukup, bahkan berlebih.
Al-Fattah telah memberi kemenangan yang nyata kepada Rasulullah dan kaum muslimin ketika
berhasil merebut kembali kota Makkah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Fath (48)
ayat 1. Kemenangan itu kemudian disempurnakan dengan berbondong-bondongnya manusia
memasuki ajaran Islam, sebagaimana firman-Nya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan, dan kamu lihat menusia memasuki agama Allah secara berbondong-bondong.” (QS.
An-Nashr: 1-2)
Allah tidak hanya memberi kemenangan kepada Rasululah dan para sahabatnya, juga kepada setiap
hamba-Nya, termasuk kita. Bukankah kita sering diperhadapkan masalah yang awalnya musykil,
kemudian tiba-tiba kita memperoleh secercah cahaya petunjuk-Nya sehingga benang kusut yang ki-
ta hadapi terurai dengan sangat mudahnya?
• Bukankah kita juga sering menghadapi kesulitan ekonomi, kemudian tiba-tiba
langkah kita terbimbing untuk melakukan langkah-langkah bisnis yang kemudian
memberikan keuntungan yang sebelumnya terasa musykil? Dialah Al-Fattah, yang
telah membuka pintu rezeki kita. Dia, Al-Fattah terus bekerja memberi pertolongan
kepada kita, membuka jalan agar kita sukses dan memperoleh kemenangan dalam
menempuh kehidupan di dunia dan selamat hingga di akherat dengan
memperoleh surga-Nya. Dialah, Al-Fattaah yang membuka pintu surga-Nya lebar-
lebar untuk kita yang menaati-Nya.
Sekarang, bagaimana memvisualisasikan Al-Fattaah dalam kehidupan sehari-hari?
Bagaimana meneladani akhlaq Allah, Al-Fattah dalam kehidupan pribadi, keluarga,
dan dalam kehidupan sosial?
Sebagai individu kita harus senantiasa membuka hati dan pikiran kita untuk
menerima kebenaran. Kita tidak boleh sombong, sebab Ilmu Allah hanya tercurah
kepada mereka yang tidak menyombongkan diri. Allah berfirman:
“Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang takabbur di muka
bumi tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raaf: 146)
• Orang yang meneladani sifat Al-Fattah akan senantiasa terbuka untuk menerima pendapat orang
lain. Mereka tidak merasa benar sendiri dan tidak mau menang sendiri. Mereka yakin bahwa
kebenaran yang hakiki hanya dari Allah, sedangkan kebenaran yang lain bersifat relatif. Karenanya
mereka tidak memutlakkan pendapatnya sendiri.
Orang yang menginternalisasikan Al-Fattaah dalam dirinya akan senantiasa termotivasi menghadapi
hidup. Mereka tidak mudah patah arang atau frustrasi hanya karena suatu kegagalan. Yang mereka
takutkan dalam kehidupan ini hanya satu, yaitu bila Allah menutup pintu-Nya, Dia tak lagi peduli
kepadanya, dan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan.
Sebagai pemimpin, sifat Al-Fattaah itu termanifestasikan dalam kemampuannya untuk
menyadarkan kegelapan pikiran orang-orang yang dipimpinnya. Dalam Al-Fattaah tersirat bahwa
seorang pemimpin harus memiliki kemampuan lebih, baik ilmu maupun kharisma. Pemimpin yang
efektif adalah pemimpin yang tidak hanya memiliki kecerdasan intektual, tapi juga kecerdasan
emosional dan spiritual. Dengan ketiga kecerdasan itu, bawahan yang paling bandel sekalipun dapat
“ditaklukkan”.

• Al-Alim, ,‫العليم‬Maha Mengetahui Segala Sesuatu

• “Bagi Allah, tidak ada yang tersembunyi. Serapat-rapat manusia menyimpan


rahasia, Allah pasti mengetahuinya. Sekelebat mata yang berkhianat, Allah
mengetahuinya. Niat hati yang tersimpan rapi, Allahpun mengenalinya. Lebih jauh
dari itu, rahasia di balik rahasiapun, diketahui-Nya. Sesuatu yang sudah
mengendap lama atau yang telah terlupakan oleh manusia, serta segala yang kini
telah berada di bawah sadarnya, Allah tetap mengetahuinya. Dia berfirman :
• “Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya
serta) mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (dari rahasia).” (QS. Thaaha:
19)

• Lalu, dapatkah kita bersembunyi dari pantauan-Nya? Dapatkah kita merahasiakan


sesuatu di hadapan Allah? Dapatkah kita keluar dari monitoring-Nya?

• Sungguh, Allah bahkan telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, karena Dialah yang membuat rencana,
Dia pula eksekutornya.

• “Tiada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakan-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)

• Tidak hanya itu, bahkan Allah-lah sumber dari segala sumber ilmu. Dia tidak saja sekadar tahu, tapi Dia adalah
sumber pengetahuan. Perlu diketahui bahwa ilmu Allah itu bukan hasil dari sesuatu, tapi segala sesuatu yang ada
dan terjadi di dunia ini merupakan hasil dari ilmu-Nya. Allah berfirman: “Allah mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa
yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 255)

• Meskipun demikian, Allah tidak mau memonopoli ilmu-Nya sendiri. Dia mau berbagi kepada makhluk-Nya,
terutama kepada manusia. Khusus dalam hal ini, manusia dibebaskan menyandang gelar aliim bagi
mereka sampai pada kualifikasi tertentu. Orang yang berpengetahuan boleh disebut aliim, sama dengan Asma
yang disandang Allah. Akan tetapi harus disadari bahwa ilmu manusia tetaplah tak sebanding dengan ilmu Allah,
bahkan tidak ada apa-apanya. “Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa: 85)

• Untuk menggambarkan betapa sedikitnya ilmu manusia, Al-
Qur’an menegaskan: “Katakanlah, sekiranya lautan menjadi
tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula).” (QS. Al-Kahfi: 109)

• Itulah sebabnya Rasulullah diperintahkan agar senantiasa


berdo’a agar diberi tambahan ilmu. “Ya Tuhanku, tam-
bahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaaha: 114)

• Ilmu yang diharap tentu saja ilmu yang menimbulkan dampak positif dalam
kehidupan, yaitu ilmu yang melahirkan amal shalih yang sesuai dengan petunjuk
Ilahi. Ilmu inilah yang akan menimbulkan kesadaran tentang jatidiri manusia yang
merasa dhaif di hadapan Allah swt. Dalam pandangan islam, ilmu yang hakiki
adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya kepada iman, dan ketundukan kepada
Allah swt.

• Sebagaimana firman-Nya:

• “Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan sebelumnya apabila al-


Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud. Mereka berkata, Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami
pasti terlaksana. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Israa: 107-109).

• Sebagian Ulama Islam menganggap kurang etis menyebut Asma Allah Al-
Qaabidh tanpa kemudian menyandingkannya dengan Asma Al-Baasith.
Menurut mereka, kesempurnaan Allah terletak pada kekuasaan-Nya untuk
menahan dan melepas, menyempitkan sekaligus melapangkan. Mereka
sangat khawatir jika Al-Qaabidh tidak disandingkan dengan Al-Baasith
akan timbul kesan negatif pada citra Allah. Akan tetapi sebagian Ulama
lain menyebutkan bahwa boleh-boleh saja menyebut Al-Qaabidh tanpa
menyertakan Al-Baasith asal tidak disalah artikan.
Siapa yang bisa menyalahkan Allah ketika menyempitkan rizki seseorang ?
Siapa yang bisa menegatifkan citra Allah ketika memendekkan umur
hamba-Nya ? Di balik semua kebijakan-Nya terdapat hikmah yang Dia
sendiri mengetahui-Nya, sedangkan manusia baru bisa mengambil
hikmahnya setelah peristiwanya berlalu.
• Al-Qaabidh diambil dari akar kata yang makna awalnya adalah “sesuatu
yang diambil” atau “keterhimpunan pada sesuatu”. Makna dasar ini
kemudian berkembang sehingga melahirkan makna baru, seperti:
menahan, menggenggam, menghalangi, dan menyempitkan. Istilah Al-
Qaabidh sendiri tidak dijumpai dalam al-Qur’an sebagai sifat dan asma
Allah, kecuali hanya dijumpai dalam bentuk kata kerja yang pelakunya
adalah Allah swt, sebagaimana ayat berikut:
“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah
kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sekalipun kata Al-Qaabidh tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, tapi kita bisa
menemukannya dalam berbagai riwayat hadits, di antaranya menjelaskan
tentang kekuasaan Allah menahan nyawa hamba-hamba-Nya yang dike-
hendaki. “Sesungguhnya Allah menahan nyawa (jiwa) kamu bila Dia
menghendaki dan mengembalikannya jika Dia menghendaki”.
• Dari uraian di atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan untuk sementara
bahwa Al-Qaabidh mengandung dua pengertian, yaitu menyempitkan
rezeki dan memendekkan umur. Di tangan-Nya segala urusan rizki, dan di
dalam genggaman-Nya pula soal nyawa makhluk-Nya. Ketika Dia menahan
rizki milik-Nya atas seseorang, hendaklah ia tidak protes, sebab rizki itu
milik-Nya dan hak-Nya Dia semata untuk membagikan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Untuk itu, sikap yang baik adalah menerima dan
meyakini akan kasih sayang-Nya. Keyakinan itu hendaknya diwujudkan
dalam bentuk do’a dan ikhtiyar. Terus berusaha keras dan cerdas untuk
memperolehnya, seraya tidak lupa memanjatkan do’a.
Bagi kita, mengenali sifat dan asma Allah Al-Qaabidh ini akan mendorong
kita untuk berhati-hati menjalani hidup. Kita tidak akan main-main ketika
diserahi titipan jabatan sebagai eksekutif, pengusaha, ulama, hakim,
politisi, atau jabatan apapun, sebab bila Allah melihat sesuatu yang tidak
beres atas perilaku hamba-hamba-Nya, maka Dia segera mengambil
tindakan dengan dua tujuan, yaitu peringatan atau hukuman.
• Ketika kita lalai menjalankan tugas atau menyelewengkan amanah karena
khilaf, maka untuk memperbaikinya atau untuk mengembalikan kita pada
“orbit” yang benar, Allah mengambil tindakan dengan menyempitkan
gerak langkah kita melalui berbagai cara. Mulai dari menyempitkan rizki,
memberikan rasa sakit, membatasi akses dan kesempatan, sampai pada
menjadikan kita sesak dada dengan adanya berbagai tekanan dan
himpitan permasalahan. Seorang yang arif ketika menghadapi situasi
seperti ini segera menyadari bahwa itu semua adalah teguran Allah,
kemudian meresponnya dengan kembali pada jalan yang benar sesuai
kehendak-Nya.
Untuk itu kita diajarkan bermunajat kepada-Nya agar diberi hikmah
kearifan, rabbi habli hukman (Tuhan, berilah aku hikmah kearifan) (QS.
Asy-Syu’araa: 83). Dengan hikmah kearifan itu kita bisa menangkap
berbagai bentuk “sinyal” peringatan Allah yang didatangkan kepada kita.
• Adapun bagi mereka yang keras kepala atau hatinya telah mati, berbagai
peringatan Allah tidak direspon secara positif. Mereka tetap berada di
jalan yang sesat, sekalipun peringatan itu datangnya bertubi-tubi.
Terhadap mereka ini sudah sepantasnya diberi hukuman.
Hikmah lain dari kesadaran kita terhadap Asma Allah Al-Qaabidh adalah
penerimaan kita terhadap segala putusan Allah. Orang-orang yang arif
akan memandang bahwa segala sesuatu yang telah diputuskan Allah pasti
terbaik. Hal ini mengharuskan kita untuk “ridha”, menerima segala
ketetapan Allah dengan lapang dada, baik yang menyenangkan maupun
yang tidak. Keridhaan itu merupakan manifestasi dari keyakinan kita
kepada taqdir Ilahi. Dengan keridhaan itu, insya-Allah kita akan merasakan
sekaligus menikmati lezatnya iman. Wallahu a’lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai