Anda di halaman 1dari 36

INDUKSI PERSALINAN

dr. Damayanti Eka, SpOG


Induksi Vs Augmentasi
Induksi
 suatu usaha untuk menstimulasi terjadinya kontraksi
sebelum timbulnya tanda persalinan yang spontan,
dengan atau tanpa disertai adanya pecah selaput ketuban.
Augmentasi
suatu usaha stimulasi terhadap kontraksi telah ada
namun kurang adekuat dalam menyebabkan dilatasi dari
serviks ataupun penurunan kepala
Penilaian sebelum inisiasi induksi :
Indikasi dan kontraindikasi
Kematangan serviks
Penilaian imbang feto pelvik
Monitoring kesejahteraan janin
Penilaian sebelum inisiasi induksi :
• Indikasi
– Prolonged pregnancy
• dianjurkan untuk induksi persalinan dengan umur kehamilan 41
minggu, untuk menurunkan kemungkinan peningkatan kematian
perinatal
– Ketuban pecah dini
– Kemungkinan fetal compromise (PJT, FHR abnormal)
– Penyakit hipertensif dalam kehamilan
– Kondisi penyakit medis ib
Penilaian sebelum inisiasi induksi :
• Kontraindikasi
– Sisi Janin
• makrosomia, kehamilan multipel, hidrosefalus berat,
malpresentasi, status janin nonreassuring
– Sisi Ibu
• riwayat insisi uterus sebelumnya
• kelainan anatomi panggul,
• letak plasenta yang abnormal
• kondisi-kondisi ( infeksi herpes genital yang aktif atau kanker
serviks.)
Penilaian sebelum inisiasi induksi :
Kematangan Serviks
Berperan penting bagi keberhasilan induksi persalinan.
Dinilai dengan Skor Bishop
Semakin rendah nilai skor dari Bishop, keberhasilan
induksi pun akan semakin rendah.
Skor Bishop ≤ 4  cerviks belum matang
 pematangan serviks terlebih dahulu sebelum induksi persalinan.
Skor Bishop

Skor Dilatasi Penipisan Station Cervical Cervical


(cm) (Persen) (–3 to Consistency Position
+2)
0 Closed 0–30 –3 Firm Posterior

1 1–2 40–50 –2 Medium Midposition

2 3–4 60–70 –1 Soft Anterior

3 5 80 +1, +2 — —
Metode pematangan serviks :
• Farmakologi
– PROSTAGLANDIN E2 (Dinoprostone)
– PROSTAGLANDIN E1 (misoprostol)
– Donor Nitrit Oksida (NO)
– Oksitosin
• Mekanik
– Foley kateter dengan atau tanpa EASI
– Dilator Higroskopik cervical (Laminaria)
– Striping Membran
– Amniotomi
PROSTAGLANDIN E2 (Dinoprostone)
• Prepidil
– Sediaan
• bentuk gel (Prepidil) syringe
2,5ml mengandung 0,5 mg
untuk pemberian intraservikal.)
– Pemberian
• Dengan posisi supinasi,
dikeluarkan tepat dibawah
ostium uteri internum.
• tetap pada posisi tersebut
hingga 30 menit.
• Dosis dapat diulangi setiap 6
jam, dengan maks 3 dosis dalam
24 jam.
PROSTAGLANDIN E2 (Dinoprostone)
• Cervidil
– Sediaan
• Alat tersebut dapat
melepaskan prostaglandin E2
secara lambat-0,3 mg/jam
– Pemberian
• dosis tunggal pada posisi
tranversal pada fornix
posterior vagina.
• Pasien posisi terlentang 2
jam. Alat tersebut dapat
dilepaskan setelah 12 jam
atau ketika inpartu.
Protaglandine
• Perlu pemantauan denyut jantung janin dan aktivitas
kontraksi uterustakisitole uterus
• Bernstein dkk, miller dkkkontraksi timbul pada jam
pertama dan menunjukkan puncak aktivitas dalam 4
jam pertama.12-13
• Perry dan LeaphartPemberian intavaginal dapat
menyebabkan proses persalinan lebih cepat dibanding
intraservikal (11,7 vs 16,2 jam).14
Efek Samping
• Brindley dan Sokol (1988) bahwa takisistole uterus
terjadi pada 1-5% wanita yang telah menerima
prostaglandin E2 didalam vagina.16
• American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) peningkatan aktivitas uterus
– Uterus takisistol  6 kontraksi dalam periode 10 menit.
– Uterus hipertonus  sebuah kontraksi yang bertahan
selama lebih dari 2 menit
– Uterus hiperstimulasi  keadaan yang berimbas pada
pola denyut jantung janin yang nonreassuring
Jika terjadi hiperstimulasi uterus alat yang
mengandung prostaglandin tersebut.
 Kontra indikasi terhadap penggunaan agen
prostaglandin adalah asma, glaucoma, peningkatan
tekanan intraokular.
PROSTAGLANDIN E1
Sediaan
 tablet 100µg dan 200µg
Pemberian
The American College of Obstetricians and Gynecologists
merekomendasikan penggunaan dosis 25 µg untuk
pematangan serviks
Sanchez-Ramos dkkMisoprostol mengurangi kebutuhan
induksi oksitosin dan menurunkan jangka waktu antara induksi
dengan persalinan.18
Wing dkk misoprostol 50 µg intravaginal peningkatan
uterus takisistole, pengeluaran mekoneum, dan aspirasi
mekoneum bila dibandingkan dengan gel prostaglandin E2.20
Wingdrim dkk  pemberian misoprostol oral
memiliki efektifitas sama dengan pemberian
intravagina dalam pematangan serviks.23
Menurut beberapa penelitian dilaporkan bahwa
keefektifitasan pemberian misoprostol oral dengan
dosis 100 µg sama dengan dosis 25 µg intravagina.24-25
Induksi pada BSC
wing dkk Ruptur uterus akibat pemberian
prostaglandin E1 terhadap wanita dengan riwayat
section caesar.21
Plaut dkk kejadian ruptur uterus: 5 dari 89 wanita (6
%) BSC dan diinduksi dengan misoprostol
dibandingkan dengan 1 dari 423 wanita tidak diberikan
misoprostol namun ruptur uterus.22
Induksi persalinan dengan Prostaglandin
E1
Hofmeyer dan Gulmezoglu (2007) pemberian
misoprostol intravagina + oksitosin lebih superior
daripada oksitosin saja untuk induksi.
Lin dkk (2005) dan lo dkk (2003), pemberian
misoprostol 100 µg oral atau 25 µg misoprostol
intravagina sama efektif oksitosin intravena dalam
induksi wanita hamil aterm dan KPD atau serviks
matang.26-27
DONOR NITRAT OKSIDA (NO)
Nitrat oksida mediator pematangan serviks.
 Metabolit NO yang ada di serviks meningkat pada
awal permulaan kontraksi uterus.
Bullarbo dkk menilai rasionalisasi dan penggunaan
donor NO yaitu isosorbid mononitrat dan gliseril
trinitrat.
Isosorbid mononitrat menginduksi cyclo-oksigenase 2
di serviks serta merangsang perubahan ultrastruktur
serupa dengan pematangan serviks spontan.28
Chanrachakul dkk dan osman dkkdonor NO tidak
seefektif prostaglandin E2 dalam pematangan
serviks.29-30
TEKNIK MEKANIK
Foley kateter dengan atau tanpa EASI
Dilator Higroskopik cervical (Laminaria)
Striping Membran
Amniotomi
Foley kateter transervikal
Tekanan ke arah bawah
yang diciptakan melalui
tempelan kateter ke paha
dapat menunjang
pematangan serviks.
 kateter dengan atau
tanpa infuse salin
kontinyu  kematangan
serviks + stimulasi
kontraksi
chung dkk (2003) perbandingkan misoprostol
intravagina, kateter foley ekstra amnion + 30 ml
cairan atau keduanya pada 135 wanita.31 Hasil ketiga
grup tersebut adalah sama dan tidak didapatkan
keuntungan bila menggabungkan kedua teknik diatas. 31

Culver dkk (2004)  perbandingan oksitosin + kateter


foley intraservikal dengan misoprostol 25 µg
intravagina/ 4 jam pada wanita skor Bishop<6, interval
induksi dengan persalinan lebih singkat pada grup kateter
dengan oksitosin (16 Vs 22 jam).32
Levy dkk (2004)  penggunaan 80 ml kateter foley
lebih efektif untuk pematangan serviks bila
dibandingkan dengan penggunaan 30 ml.33
Extra-Amnionic Saline Infusion
(EASI)
 Guinn dkk  membandingkan prostaglandin E2,
laminaria dengan oksitosin intravena atau EASI
dengan oksitosin. Angka kejadian persalinan
perabdominam pada setiap grup sama besar.
Interval antara induksi - persalinan jauh lebih singkat
pada infus kateter (18 jam) bila dibandingkan dengan
laminaria dan okstosin (21 jam) atau pada gel
prostaglandin E2.34.
DILATOR HIGROSKOPIK
CERVICAL
Gilson dkk (1996) dilator higroskopik dapat
menunjang pematangan serviks sebelum induksi dengan
oksitosin.35
biaya yang murah dan mudah untuk pengaplikasian dan
pencabutannya
Membrane Stripping
McColgin dkk (1990)
stripping aman dan
turunkan insiden
kehamilan lewat bulan.
 Metode ini dapat
meningkatkan kadar
prostaglandin endogen.37
 Allott dan Palmer(1993) penelitian 195 wanita
dengan UK 40 minggu + PF digital terhadap serviks
baik disertai dengan stripping membran atau tidak.

 Dua per tiga wanita yang mendapat stripping masuk


persalinan dalam 72 jam.
 Insiden ruptur membran, infeksi dan perdarahan tidak
meningkat.38
INDUKSI PERSALINAN DAN
AUGMENTASI DENGAN OKSTOSIN
Pemberian Oksitosin Intravena
Oksitosin dihentikan bila kontraksi > 5 kali/10 menit
atau 7 kali/15 menit atau dengan nonreassuring janin.
Penghentian oksitosin akan mengurangi frekuensi
kontraksi. konsentrasi oksitosin di dalam plasma
langsung menurun karena waktu paruhnya hanya 5 menit
Dosis Oksitosin
1 mL ampul yang terdiri dari 10 unit diencerkan ke
dalam 1000 mL cairan kristaloid dan diberikan
menggunakan infus pump.
Biasanya dalam satu larutan infus terdiri atas 10-20 unit
(10.000-20.000 mU) yang dicampurkan dalam 1000 mL
larutan ringer laktat konsentrasi oksitosin adalah 10-20
mU/mL.
Beberapa regimen oksitosin dosis rendah dan tinggi untuk induksi
persalinan.
Regimen Dosis awal Peningkatan Interval (min)
(mU/min) dosis (mU/min)

Low-Dose 0.5–1.5 1 15–40


  2 4, 8, 12, 16, 20 15
25, 30
High-Dose 4 4 15
  4.5 4.5 15–30
  6 6a 20–40b
a
With hyperstimulation and after oxytocin infusion is discontinued, it is restarted at
1/2 the previous dose and increased at 3 mU/min incremental doses.
b
Hyperstimulation is more common with shorter intervals.
Satin dkk (1992) pemberian oksitosin dosis inisial 6 mU/min
dibandingkan 1 mU/min, dosis ditingkatkan setiap interval 20
menit bila diperlukan. 40

Dari 1112 perempuan Dari 1676 augmentasi


dengan 6 mU/min persalinan, perempuan dengan
 waktu persalinan lebih oksitosin 6 mU/min
singkat,  waktu persalinan lebih singkat
 kegagalan induksi lebih  persalinan forsep lebih sedikit
sedikit  SC akibat distosia lebih sedikit
 kasus sepsis neonatal  kasus korioamnionitis
tidak ada. intrapartum sepsis neonatal
turun.
Dosis Maksimal
Dosis efektif maksimal oksitosin untuk mencapai
kontraksi adekuat untuk setiap perempuan berbeda-beda.
Wen (2001) 1151 nulipara dan menemukan bahwa
progresi dari vagina pada saat partus menurun pada dosis
36 mU/min.
Resiko Vs Keuntungan
oksitosin memiliki efek antidiuretik
pada pemberian 20 mU/min renal free water clearance
menurun secara nyata
Amniotomi
Untuk meminimalisasi risiko prolaps tali pusat pada
amniotomipenekanan fundus dan suprapubis
Amniotomi saat dilatasi serviks 5 cm dapat
mempercepat persalinan 1-2 jam.
Bakos and Bäckström (1987) bahwa amniotomi
dengan oksitosin lebih baik daripada oksitosin saja.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai