Anda di halaman 1dari 22

Exanthematous Drug

Eruption
Pembimbing: dr. Mahdar Johan, Sp.KK
Presentan : R. A. Anggie Bonita P D
Latar belakang
• Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption: reaksi
alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi
sebagai akibat pemberian obat.
• Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat
melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau
infus. Juga dapat sebagai obat kumur, obat mata,
tapal gigi dan obat topical.
• Obat adalah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.
• Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini.
Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari
seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi
atau erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti
inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin
dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan
antikonvulsan.
• Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai
erupsi berat yang mengancam jiwa manusia. Reaksi obat
dapat terjadi hanya pada kulit ataupun pada kelainan
sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat (Drug
Hypersensitivity Syndrome) atau Toxic Epidermal Necrolysis
• Gejala klinis pada kulit yang biasa ditemukan pada
kasus erupsi obat seperti exanthema, urtikaria,
pustular, dan bula.
• Mayoritas peristiwa kulit dikaitkan dengan obat yang
baik erupsi exanthematous (makulopapular atau
morbiliformis) (> 80%) atau urtikaria (5 -10%)
Definisi
• Exanthematous Drug Eruption merupakan erupsi
makulapapular atau morbiliformis disebut juga
erupsi eksantematosa yang dapat diinduksi oleh
obat.
Epidemiologi
• Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap
kasus erupsi alergi obat, tetapi berdasarkan data yang
berasal dari rumah sakit, diperkirakan kejadian obat
alergi adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau
sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping
pemakaian obat-obatan.
• Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh
Boston Collaborative Drug Surveillance Program
menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien
yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun
1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang
dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit
setelah mengkonsumsi obat-obatan.
Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah: 3
• Eksantem makulopapuler (exanthematous drug
eruption) sebanyak 91,2%,
• Urtikaria sebanyak 5,9%, dan
• Vaskulitis sebanyak 1,4%
Faktora Resiko
• Jenis Kelamin : Wanita mempunyai risiko untuk
mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pria.
• Sistem imunitas : Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi
pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun.
• Usia : Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan
umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa. Pada
anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan
sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya,
pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya
orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik.
• Dosis : Pemberian obat yang intermitten dengan
dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi.
Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang
sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan
reaksi alergi.
• Infeksi dan Keganasan : Mortalitas tinggi lainnya juga
ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang
disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi
virus laten dengan human herpes virus (HHV)
umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami
sindrom hipersensitifitas obat.
Etiologi

Obat-obatan yang tinggi Obat-obatan yang sedang Obat-obatan yang rendah


probabilitas berlakunya probabilitas berlakunya probabilitas berlakunya
reaksi eksantema. reaksi eksantema. reaksi eksantema.
• Penicilin dan antibiotik • Sulfonamid • Barbiturat
yang berkaitan (bakteriostatik, • Benzodiazepam
• Karbamazepin antidiabetik, direutik) • Fenotiazin
• Allopurinol • Non-steroidal anti- • Tetrasiklin
• Gold salts (10-20%) inflammatory drugs
(NSAIDs)
• Hidantoin derivative
• Isoniazid
• Kloramfenikol
• Eritromisin
• Streptomisin
Patomekanis
 Tipe I dimediasi oleh IgE yang dapat menyebabkan reaksi anafilaktisis, urtikaria dan angiodedema,

timbul sangat cepat, terkadang dapat urtikaria / angioedema persisten beberapa minggu setelah

obat dihentikan.

 Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai rekasi antigen, IgG dan komplemen

terhadap eritrosit, leukosit, trombosit atau sel prekursol hematologic lain. Oabt yang dapat

menyebabkan hipersensitivitas tipe ini antara lain, golongan penisilin, sefalosporin, streptomisin,

klorpromasin, sulfonamide, analgesik dan antipiretik.


Tipe III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat penggunaan

obat sistemik dosis tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukan manifestasi

berupa vaskulitis pada kulit dan penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat.

 Tipe IV, yang mendasari insiden EOA diperantarai oleh limfosit T dengan

manifestasi klinis erupsi ringan hingga berat. Selain pada kulit, reaksi

hipersensitivitas dapat melibatkan hati, ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi

hipersensitivitas yang dimediasi sel T terbagi atas 4 subklas yaitu tipe IVa

hingga IVd.
Diagnosis
1. Dari anamnesis bisa didapatkan data mengenai riwayat
penggunaan obat sebelumnya, riwayat atopi pasien dan
keluarga. Data medikasi pasien saat ini, baik oral,
intravena, dan topical. Untuk gejala klinis yang muncul
berupa keluhan gatal ringan sampai berat yang disertai
kemerahan dan bintil pada kulit.
2. Pada pemerikaan fisik Dijumpai adanya eritema dengan
papula kecil di jumpai di hampir di seluruh badan. dengan
ukuran beberapa millimeters sampai 1 cm merah terang.
Kemudian lesi akan menjadi konfluen membentuk makula
besar, polisiklik/ eritem berkisar, erupsi retikuler,
lembaran seperti eritem (sheet-like erithema),
eritroderma, juga eritem seperti multiforme. Lesi
cenderung timbul pertama kali di daerah pangkal paha,
ketiak, kemudian menyebar ke seluruh badan dan
simetris.
Gambaran exanthematous drug
eruption dengan lesi berbentuk
makula dan papul dalam berbagai
ukuran.

Eritema makulopapular
yang disebabkan oleh
ampicilin
3. Pemeriksaan penunjang dilakukan berupa biopsi
kulit untuk mengidentifikasi sindrom Stevens-Johnson.
Selain itu dilakukan pemeriksaan berupa kultur virus
untuk membedakan penyebab erupsi eksantem dari
virus atau yang lainnya.
Diagnosis Banding
1. Measles
• Ruam ini morbiliformis (yang berarti " seperti campak- "), istilah yang sering
digunakan untuk menggambarkan exanthematous akibat erupsi obat, dan
biasanya gatal. Ruam terlihat pada campak sering dimulai pada kepala dan leher
dan menyebar dengan cepat. Ini biasanya dimulai beberapa hari setelah
timbulnya demam, batuk, coryza, dan konjungtivitis. Bintik-bintik putih pada
mukosa bukal (bintik Koplik) membantu menegakkan diagnosis.
2. Rubella
• Disebut sebagai campak Jerman. Gejala biasanya
lebih ringan daripada yang terlihat di campak,
dengan ruam serupa yang biasanya menghilang
dalam 3 atau 4 hari. Ruam berupa macula
eritematous dimulai dari wajah, leher punggung
hingga ke seluruh badan.
3. Dermatitis kontak alergik (DKA)
• Dermatitis kontak alergik hanya mengenai orang
yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Penyebab DKA adalah bahan
kimia sederhana. Penderita umumnya
mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel
atau bula.
Tatalaksana
• Hentikan dan selidiki pencetus obat
• Terapi simptomatik (antihistamin)
• Kortikosteroid:
– Gejala ringan 0,5 mg/kgBB/hari, gejala erupsi obat
yang berat dapat diberikan 1-4mg/kgBB/hari.
Pencegahan
1) Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergi
telah dapat dipastikan maka sebaiknya kepada
penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang
memuat jenis obat tersebut (serta golongannya).
2) Kartu tersebut dapat ditunjukannya bilamana
diperlukan (misalnya apabila penderita berobat),
sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya erupsi obat alergi.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai