Anda di halaman 1dari 34

GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)

PENDAHULUAN
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah
salah satu penyakit ‘demyelinating’
saraf (Nolte 1999). Juga merupakan
salah satu polineuropati, karena
hingga sekarang belum dapat
dipastikan penyebabnya. Namun
karena kebanyakan kasus terjadi
sesudah proses infeksi, diduga GBS
terjadi karena sistem kekebalan tidak
berfungsi. Gejalanya adalah
kelemahan otot (parese hingga
plegia), biasanya perlahan, mulai dari
bawah ke atas. Jadi gejala awalnya
biasanya tidak bisa berjalan, atau
gangguan berjalan. Sebaliknya
penyembuhannya diawali dari bagian
atas tubuh ke bawah, sehingga bila
ada gejala sisa biasanya gangguan
berjalan (Fredericks et all 1996).
Meskipun orang yang terjangkit
penyakit ini bisa mengalami
kelumpuhan total, prognosisnya
bagus. Enam bulan setelah
terserang, 85% dari kasus yang
dilaporkan sembuh. Secara
keseluruhan hanya 5% yang
meninggal akibat GBS
(Fredericks et all 1996). Oleh
karenanya, disamping perawatan
pada tahap akut, tata laksana
fisioterapi akan sangat
menentukan prognosis, apakah
akan ada gejala sisa atau
sembuh total.
ANATOMI DAN FISIOLOGI
 Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian besar yaitu susunan saraf pusat dan
susunan saraf tepi (Snell, 2006:23).
 Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling
berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem saraf terdiri dari sel-sel
saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (Neuroglia dan sel Schwann). Kedua
jenis tersebut demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lain
sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron mempunyai
badan sel dengan satu atau beberapa tonjolan (Price dan Wilson,
2005:1006,1007).
 Sel neuron mempunyai dua jenis tonjolan yaitu akson dan dendrit (Snell,
2006:25).
 Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari
badan sel adalah akson. Sedangan dendrit adalah tonjolan yang
menghantarkan informasi menuju ke badan sel (Price dan Wilson,
2005:1012).
 Sedangkan salah satu sel penyokong dari sistem saraf adalah
myelin. Myelin merupakan substansi yang ada di sekitar atau
menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting pada
transmisi impuls saraf (Smeltzer, 2001:2248).
 Serabut saraf yang mempunyai selubung myelin disebut
serabut bermyelin dan sedangkan yang tidak bermyelin disebut
serabut tidak bermyelin (Price dan Wilson, 2005:1011).
 Sistem saraf tepi terdiri dari 12 pasang saraf kranialis dan 31
pasang saraf spinalis (Price dan Wilson, 2005:1008).
 Sebagian besar saraf tepi berisi serabut serabut sensorik
(aferen) dan motorik (eferen) (Bickley, 2009:550).
 Serabut aferen dan eferen berjalan bersama dalam arah yang
berlawanan disemua saraf spinal dan sebagian besar saraf
kranial. Beberapa saraf kranial hanya membawa informasi
aferen. Neuron aferen menyampaikan informasi ke sistem saraf
pusat dari semua organ sensorik, reseptor tekanan dan
volume, reseptor suhu, reseptor regangan, dan reseptor nyeri.
Neuron eferen menyampaikan stimulasi saraf ke otot dan
kelenjar (Corwin, 2009).
PENGERTIAN
Guillain barre syndrome (GBS) adalah polineuropati inflamasi akut
yang mengalami demielinisasi (Ginsberg, 2005:192). Dalam
pemahaman yang serupa GBS adalah penyebab paling umum dari
polineuropati demielinasi inflamasi akut yang disebabkan oleh
serangan imun (faktor seluler dan humoral) terhadap selubung
myelin yang mengakibatkan kelumpuhan motorik umum pada orang
sehat (Pourmnad, 2008:207).
Guillain Barre Syndrome terdiri dari 6 subtipe :
1. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy(AIDP), disebabkan oleh
respon autoimun diarahkan pada membran sel Schwann, merupakan bentuk
paling umum dari GBS. Mediasi oleh antibodi, dipicu oleh infeksi virus atau
bakteri sebelumnya, gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi,
remielinisasi muncul setelah reaksi imun berakhir.
2. Miller Fisher syndrome (MFS), berwujud sebagai paralisis descending yang
merupakan versi langka dari GBS. Biasanya merusak otot-otot mata
(ophthalmoplegia, ataxia, dan areflexia). Dapat terjadi gangguan propioseptif.
3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN), dikenal sebagai Chinese
paralytic syndrome. Menyerang nodus ranvier motorik, disebabkan oleh
respon autoimun yang diarahkan pada axoplasm nervus perifer. Bentuk
murni dari neuropathy axonal, 67% pasien seropositif
untuk Campylobacteriosis, elektrofisiologi menunjukkan turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik, penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada
anak,
4. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN), mirip dengan
AMAN, tetapi juga menyerang nervus sensorik dengan
kerusakan akson parah, sering terjadi pada orang dewasa.
5. Acute panautonomic neuropathy, penyebab
kematian yang tinggi, mempengaruhi sistem
simpatis dan parasimpatis, gangguan
kardiovaskular dan disritmia, anhidrosis, sering
dijumpai juga gangguan sensorik. Varian ini
merupakan yang paling langka dari GBS.
6. Bickerstaff’s Brainstem Encephalitis (BBE),
ditandai dengan serangan akut
ophthalmoplegia, ataxia, gangguan
kesadaran, hyperreflexia atau tanda Babinski.
Dan merupakan versi lanjutan dari GBS.
ETIOLOGI
• Penyebab dari GBS sampai sekarang tidak diketahui, namun
mekanisme patogenetik mencakup demielinisasi inflamasi dengan
berbagai kerusakan akson pada sistem saraf perifer. Namun penyakit
ini juga diantarai oleh berbagai proses autoimun seperti Cytomegalo
Virus (CMV),Epstein-barr Virus, Mycoplasma
Pneumonia dan Compylobacter Jejuni (Ginsberg, 2005:192).
• Keadaan pencetus yang yang paling sering dilaporkan adalah
infeksi Campylobacter jejuni, yang secara khas menyebabkan
penyakit gastrointestinal yang ditandai dengan diare, nyeri
abdomen, dan demam (Price dan Wilson, 2005:1152).
• Bagian proksimal saraf cenderung paling sering terserang, dan akar
saraf dalam ruang subarakhoid biasanya terpengaruh oleh infeksi
virus tersebut (Smeltzer, 2001:2248). Akibat tersering dari kejadian
ini adalah virus atau inflamasi merubah sel dalam sistem saraf
sehingga sistem imun mengenali sel tersebut sebagai sel asing (Price
dan Wilson, 2005:1152).
PATOLOGI
• Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi
segmental saraf perifer. Keadaan ini yang akhirnya
menghalangi transmisi impuls elektris yang normal
disepanjang radiks saraf sensomotorik (Kowalak, 2011:293).
• Temuan patologis demielinisasi polineuropati inflamasi akut
adalah infiltrasi inflamasi (terutama terdiri dari sel T dan
makrofag) dan daerah demielinasi segmental, yang sering
dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder,
yang dapat dideteksi pada akar tulang belakang serta akar
saraf motorik dan sensorik (Yuki, 2012:2297).
• Pola perubahan patologi mengikuti pola yang tetap dari
infiltrasi limfosit yang terjadi dalam ruang perivaskular yang
berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus
degenerasi myelin (Price dan Wilson, 2005:1152).
• Guillian barre syndrome menyerang saraf perifer sehingga serabut saraf tersebut
tidak dapat menyampaikan pesan saraf ke otot dengan benar. Selubung myelin
yang mengalami degenerasi membungkus akson serabut saraf dan
menghantarkan impuls elekstris disepanjang lintasan saraf. Degenerasi tersebut
menimbulkan inflamasi, pembengkakan, dan bercak-bercak demielinisasi
(patchy demyelination) (Kowalak, 2011:294).
• Proses inflamasi juga dapat dilihat di akar dorsal dan ganglia otonom (Umphred,
2001:386).
• Akibatnya selubung myelin hancur, sehingga nodus Ranvier (yang terdapat di
selubung myelin) akan melebar (Kowalak, 2011:294).
• Keadaan ini yang memperlambat dan menganggu transmisi impuls disepanjang
radiks anterior dan posterior (Kowalak, 2011:294).
• Terdapat tiga fase yang menyertai pada proses patologi GBS. Yang pertama
adalah fase akut. Fase akut dimulai pada awitan gejala definitif yang pertama
dan berakhir 1 hingga 3 minggu kemudian. Fase plateu berlangsung beberapa
hari sampai 2 minggu. Dan yang terakhir fase pemulihan terjadi bersamaan
dengan remielinisasi dan pertumbuhan kembali tonjolan akson. Fase ini
melampaui 4 sampai 6 bulan, tetapi dapat berlangsung hingga 2 sampai 3 tahun
jika penyakit itu berat (Kowalak, 2011:292).
Tanda dan Gejala
• Kerusakan motorik pada kasus GBS dapat bervariasi mulai dari kelemahan ringan dari
distal otot ekstremitas bawah sampai kelumpuhan total otot perifer, aksial, wajah, dan
otot ekstraokular serta refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada. 20 persen
sampai 30 persen dari klien mungkin memerlukan ventilasi akibat dari kelumpuhan
atau kelemahan otot-otot interkostal dan diafragma.
• Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk
batuk atau menangani sekresi dan penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan saturasi
oksigen. Dan sekitar 50 persen klien juga mengalami ganguan pada saraf kranial, yang
ditandai dengan kelemahan otot wajah, okular dan otot orofaring (Umpherd,
2001:387), yang dapat menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan
(Smelzter, 2001:2249).
• Disfungsi otonom yang sering terjadi dan mempelihatkan bentuk reaksi berlebihan atau
kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan
oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipotensi
ortostatik) dan gangguan vasomotor lainnya (Smelzter, 2001:2249).
• Gejala sensorik seperti hyperparestesia distal, parestesia (kesemutan, terbakar), mati
rasa, dan penurunan rasa getaran atau posisi tubuh yang umum, namun gejala sensorik
ini tidak berlangsung secara progresif atau terus-menerus.
KOMPLIKASI
• Komplikasi yang sering ditemukan pada kasus guillian
barre syndrome adalah gangguan gagal napas akut
yang dapat menimbulkan kematian. Distrimia jantung,
yang terlihat melalui
pemantauan electromyography (EKG) dan tidak luput
untuk mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis
vena profunda dan emboli paru yang sering
mengancam klien immobilisasi dan paralisis (Smeltzer,
2001:2249).
• Komplikasi lain yang mencakup pada kasus guillian
barre syndrome adalah dekubitus, sepsis, kontraktur
sendi, dan gangguan kontrolspinchter kandung kemih
dan usus (Kowalak, 2011:293).
PROGNOSIS
GBS memiliki prognosa yang baik, dilaporkan 15% dari
kasus GBS pemulihannya baik tanpa ada kecacatan, 5
sampai 10% mengalami kecacatan signifikan, cacat
minimal dilihat sampai dengan 65% dari kasus dan
kematian hanya sekitar 5% karena akibat dysautonomia,
serangan jantung, sepsis, emboli paru, atau sindrom
gangguan pernapasan (Pourmand, 2007:208). Indikator
prognosis yang buruk dapat dilihat dari usia klien yang
terus meningkat, onset kelemahan yang sangat cepat,
kebutuhan ventilasi yang terus-menerus, parameter
elektrofisiologis menunjukkan degenerasi aksonal yang
signifikan (Ginsberg, 2005:194)
PROBLEM FISIOTERAPI
4 problem dasar dari sisi
pandang fisioterapi, yaitu
problem muskuloskeletal,
kardiopulmonari,
otonomik dan sensorik.
PROBLEM MUSKULOSKELETAL
• Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti
disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya
konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor
unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu
motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi motor neuron berasal
dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron.
Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari
beberapa akar saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf
mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi;
sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan
konduksi saraf.
• Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua, dalam satu otot
yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan
kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih
terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh
karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan
satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.
• Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi
berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila
hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan
terjadi bukan hanya kekuatan otot yang
terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan
otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS).
Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan
mengurangi jumlah motor unit yang bekerja,
bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga
kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan
akan terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya
keterbatasan LGS.
PROBLEM KARDIOPULMONARI
• Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat
akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot
intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan
juga (Martini 1998). Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot
intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada
berkurang.
• Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga
menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun menurun. Sehingga
kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.
• Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami kelemahan
otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas paru semakin
berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-
otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru.
Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis, sehingga fungsi
ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).
• Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya cranial
nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa masuk
ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya
infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga
menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan kebutuhan
ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan memperburuk
kondisi pasien.
PROBLEM SISTEM SARAF OTONOMIK
• Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput
myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan
terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan
selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves)
akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf
tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara
tulang belakang thoracal dan saraf vagus (Martini 1998).
Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan
darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.
• Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-
tiba, dan menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan
banyak mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam
memberikan pengobatan fisioterapi hendaknya selalu
mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak
memberikan perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi.
PROBLEM SENSASI
• Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa
(sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa
terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya
tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun
gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut
menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi
akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi
kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi
kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan
sendi yang sudah lama tidak digerakkan.
• Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi
juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal,
disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya
perlu dipikirkan untuk pencegahannya.
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu
sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada
dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama
adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi
pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah
mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
• Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan,
ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan
fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan
kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua
problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase
kedua hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari
yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan
penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan
kemampuan fungsional.
• Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi,
penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan satu masalah
dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan
penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem,
sesuai dengan penguraian problem di atas supaya lebih
detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak
dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem
Muskuloskeletal
• masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase
pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik
adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal
sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama
yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan
otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan
bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam
waktu maksimal 2 minggu.
• Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama,
fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan
kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah
motor unit yang kembali bekerja.
1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
 Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila
memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota
badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi
kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis
yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi
penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis
kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu. Bagi pasien GBS, frekuensi
latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan,
mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam
sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari
 Pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran utama pada
fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang
diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang
aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah
mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan.
Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban
unntuk meningkatkan kekuatan otot.
 Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran kekuatan
otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan
pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi
pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum
kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya.
Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3
hari.
2. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
 Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa
dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada
fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan
LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita
untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal,
minimal yang fungsional.
 Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi
sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.
Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan
2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk
mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot,
untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua.
 Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah
pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.
Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi
biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi
goniometer pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada
perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih
mempunyai kemampuan fungsional yang maksimal.
3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
 Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar
otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya
melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk
mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band,
sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut
penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau
bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan
berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.
 Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot
tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan.
Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar,
berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS.
Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk
mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah
penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.
 Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan
cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa
digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena
biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya
baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.
Penatalaksanaan pada Problem
Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase
pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan
otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya
jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak
dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga
kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah
disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan
menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran
pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin
menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga.
Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan
kapasitas vital.
1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
 Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif
tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa
dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation.
Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital,
maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan
mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga
memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya,
sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.
 Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali
membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila
otot intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan
penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif
yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa
memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan
aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus
memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan
banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan
istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk
menghindari kelelahan.
2. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
• Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran
pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem
pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang
dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan
mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa
meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume
udara. Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan
yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan
sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan
akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang,
sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.
• Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang
ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu
ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa
dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual
hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu
memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih
proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita
harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
• Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada
semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing
ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut
kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada
dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan
sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk
ke saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat,
maka pasien mampu mengeluarkan benda asing dari saluran
pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya
gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan,
sehingga penderita tidak mampu batuk.
• Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya
menerima makanan melalui slang yang langsung masuk ke
lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke
saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi
yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi
yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk,
bila otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada
saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda
asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.
Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik

• Gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran


selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih
tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann
saraf otonomik tersebut adalah hal yang perlu
dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi.
Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya
tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai
keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan
tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada waktu
mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari
berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai
adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh
terhadap tubuh.
Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
• Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah
rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak
banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi
ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau
kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan
pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh
karena gangguan sensasi.
• Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh
kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila
sesudah peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta
otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa
nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi
bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan
tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa
nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
CONTOH KASUS
Nn. Y, 17 tahun, datang ke RS A Setelah itu Nn. Y dirawat di ruangan
setelah dirawat 11 hari di RS lain. Dia selama 18 hari. Meskipun formal
datang dengan diagnosa GBS, dan program fisioterapi dimulai minggu
gangguan fungsi kardiopulmonari ke-2, sebenarnya programnya telah
yang menonjol, disamping fungsi dilaksanakan perawat, seperti
motoriknya. Hasil foto rongent posisioning, manual hyperinflation,
menjelaskan adanya atelektasis pada sehingga foto rongent yang dilakukan
segmen lobus atas dan lobus tengah ulang 5 hari berikutnya sudah
kanan. Fungsi motorik pada anggota menunjukkan tidak ada kelainan di
atas memerlukan bantuan untuk paru. Dengan demikian program
bergerak, sedangkan anggota bawah fisioterapi yang dilakukan ditekankan
plegi. Di RS A penderita dirawat di pada problem muskuloskelettal,
ruang ICU 14 hari dengan bantuan karena dalam pemeriksaan tidak
ventilator via lubang tracheostomy ditemukan gangguan sensasi.
untuk bernafas, dan 3 hari lepas
lepas ventilator dengan masker
oksigen untuk memaksimalkan
saturasi.
• Program fisioterapi dimulai dengan dengan memberikan
latihan aktif asistif pada anggota atas dan pasif pada
anggota bawah. Hari ke 11 fisioterapi, program ditingkatkan
dengan mobilisasi setengah duduk. Pada saat itu sudah ada
peningkatan kekuatan otot-otot anggota bawah (2 minus).
Pada akhir minggu ke-3 pemberian fisioterapi, kekuatan
otot-otot tungkai sudah 3. Penderita sudah mampu duduk
di toilet.
• Awal minggu ke-4 fisioterapi dilakukan digimnasium
dengan bantuan alat-alat, seperti over head pulley dan
suspension, disamping juga dilakukan koreksi duduk. Hari
berikutnya ditingkatkan dengan restorator kemudian
quadricep bench. Pada akhir minggu ke-4 fisioterapi
penderita sudah berangsur-angsur belajar berdiri, berjalan
di paralel bar, berjalan dengan walker, dan berjalan dengan
bantuan pegangan tangan.
• Penderita menjalani fisioterapi selama 4 minggu dan
pulang dengan berjalan dengan bantuan pegangan tangan.
Selama fisioterapo diberikan, tracheostomy tetap terbuka,
kanul dilepas hari terakhir penderita di RS.IV.

Anda mungkin juga menyukai