Deby Ardianti
186090500011002
2
B.3.1 Pendahuluan
Michael F 1950-1960
1970 Tobler
segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai
pengaruh daripada sesuatu yang jauh
Pengujian kesalahan spesifikasi pada Cara untuk mengidentifikasi peran dari jarak decay
atau interaksi spasial pada model autoregressive
model
Pengukuran kekuatan pengaruh spasial spasial.
Cara untuk memahami pengaruh bahwa geometri
pada setiap variabel unit spasial memiliki variabel
Pengujian asumsi stasioneritas spasial
dan heterogenitas spasial Pengujian hipotesis tentang hubungan
spasial.
Cara untuk mengidentifikasi cluster Cara mempertimbangkan pentingnya efek temporal
spasial
8
Fokus pada efek unit spasial tunggal Cara untuk mengidentifikasi outlier, baik
pada unit lain dan sebaliknya spasial dan non-spasial
dimana
𝛤 = ukuran autokorelasi spasial untuk n pengamatan geografis
𝑊 = sebuah matriks dari nilai-nilai yang mewakili hubungan spasial dari masing-masing lokasi ke-i untuk semua ke-j.
𝑌 = sebuah matriks hubungan realisasi non-spasial dari variabel 𝑌 di lokasi ke−𝑖 dengan semua realisasi lainnya di semua lokasi 𝑗 lainnya
𝑊 terdiri dari suatu persinggungan yang berdekatan dan nol untuk yang lainnya.
Hubungan matriks 𝑊 merupakan standarisasi baris, yaitu, setiap jumlah baris dalam
matriks dibuat sama, nilai dari individu 𝑊𝑖𝑗 terwakili secara proporsional
1
2
fungsi penurunan
2 5 Peringkat jarak
jarak
Bandwidth Distance
8
Decay
Join-count
untuk mengidentifikasi klasifikasi nominal lengkap dari unit spasial, seperti untuk jenis
penggunaan lahan – perumahan (A), industri (B), komersial (C) - apakah terdapat jumlah yang signifikan secara
statistik dari keterkaitan spasial dari kejadian AA, AB, AC, BB, BC, dan / atau CC. Dalam sistem unit spasial,
jumlah yang diharapkan dari AA, misalnya adalah fungsi dari jenis uji yang dipilih untuk mengidentifikasi
signifikansi statistik. Disini kita menggunakan uji sampel bebas (Cliff dan Ord 1981).
𝐸 𝐽 = 𝑊𝑖𝑗 𝑝𝑟 𝑝𝑠
𝑖=1 𝑗=1
Nilai 𝑝 biasanya diestimasi dari data (𝑛𝑟 / 𝑛). matriks 𝑊 terdiri dari satu dan nol mewakili unit spasial gabungan
(satu) dan unit spasial non gabungan (nol). Ada serangkaian matriks 𝑌, satu untuk setiap uji, di mana masing-
masing terdiri dari satu dan nol yang mewakili jenis tertentu dari unit spasial terkait (misalnya, AB adalah satu
dan selain AB adalah nol) dan diringkas sebagai probabilitas terjadinya A dan B 𝑝𝑟 dan 𝑝𝑠 .
Moran’s I
Nilai koefisien korelasi ditentukan oleh persamaan berikut:
𝑛 σ𝑛𝑖=1 σ𝑛𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 (𝑦𝑖 − 𝑦)(𝑦
ത 𝑗 − 𝑦)
ത
𝐼= 𝑛 𝑖≠𝑗
σ𝑖=1 σ𝑛𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 σ𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 − 𝑦ത 2
𝐼0 = 𝐸 𝐼 = −1 /(𝑛 − 1)
Geary’s c
Hipotesis
Semivariogram
semivariogram adalah perbedaan distribusi di antara unit spasial yang berhubungan dan
karena itu berhubungan dengan Geary’s c.
fungsi K hanya menekankan lokasi dan bukan atribut lainnya dari suatu variabel acak.
Jadi di sini kita hanya dibatasi untuk menunjukkan pola berdasarkan jumlah pasangan
titik yang ditemukan dari serangkaian jarak dari masing-masing titik ke-𝑖.
tujuannya adalah untuk menghitung semua pasangan titik pada setiap jarak.
Jika terdapat pasang titik yang lebih banyak dari peluang acak spasial (spatial
berdistribusi Poisson) yang dimilikinya, maka terdapat pengelompokan yang signifikan
secara statistik; lebih sedikit pasangan titik menandakan bahwa dispersi titik signifikan
secara statistik, kebalikan dari clustering
Hipotesis nol diperoleh ketika terdapat pasangan titik yang banyak sebagai salah satu
kemungkinan menemukan sebaran titik yang dibuat dengan proses acak.
𝑅 𝑛 𝑛 𝑊𝑖𝑗
𝑑 =
𝐾 σ σ 𝑖≠𝑗
𝑛2 𝑖=1 𝑗=1 𝑒𝑖𝑗
Koefisien Autokorelasi Spasial
Dalam model regresi , setiap efek spasial yang signifikan secara statistik harus
diperhitungkan dalam model.
Efek spasial dapat didiagnosis melalui uji Moran’s I pada residual atau variabel yang
akan dimasukkan dalam model.
1. the mixed regressive spatial autoregressive model, sering disebut model spasial lag
𝑦 = 𝜌𝑊𝑦 + 𝑋𝛽 + 𝜀
2. the linear regression with a spatial autoregressive error (regresi linear dengan error
spasial autoregressive) atau model autoregressive simultan (SAR), sering disebut
model kesalahan spasial.
𝑦 = 𝑋𝛽 + 𝐼 − 𝜆𝑊 −1 𝜇
koefisien autokorelasi spasial, nilai-nilai positif atau negatif yang tinggi merupakan efek
spasial yang kuat dan nilai-nilai yang rendah sebaliknya. Ketika 𝜌 dan 𝜆 adalah nol, tidak
ada efek spasial.
Dasar untuk pengukuran dan uji lokal dari autokorelasi spasial berasal dari
statistik cross-product. Kali ini bentuk strukturalnya adalah
𝑛
Γ𝑖 = 𝑊𝑖𝑗 𝑌𝑖𝑗 𝑖 ≠ 𝑗
𝑗=1
σ𝑛 ∗
𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 𝑑 𝑦𝑖𝑗 −𝑊𝑖 𝑦ത
𝐺𝑖∗ 𝑑 = ∗ 1/2 untuk semua 𝑗
𝑠 𝑛𝑆1𝑖 −𝑊𝑖∗ /(𝑛−1)
Dimana
Teknik kedua, strategi pengacakan bersyarat, lebih disukai untuk LISA pada kemungkinan
adanya autokorelasi global yang akan mempengaruhi interpretasi dari 𝐼𝑖 (Anselin 1995). Untuk
Geary’s c, versi lokalnya adalah:
1 𝑛 𝑛 2
𝑐𝑖 = 1 𝑛 2
σ𝑖=1 𝑊𝑖𝑗 σ𝑖=1 𝑦𝑖 − 𝑦𝑗
σ 𝑦𝑖 −𝑦ത
𝑛 𝑖=1
Statistik LISA sangat berguna untuk mengidentifikasi cluster spasial. Nilai-nilai autokorelasi
spasial tinggi menunjukkan nilai cluster tinggi atau rendah.
Geographically weighted regression
parameter regresi tidak konstan pada ruang yang ditandai dengan model regresi biasa dan
bahwa variasi dapat dimodelkan secara eksplisit.
𝑌 = 𝛽⨂𝑋 𝐼+ 𝜀
Hasil dari GWR adalah peta yang disebut ' parameter ruang '.
Daerah dengan nilai parameter tinggi menunjukkan hubungan korelasi sangat kuat antara
variabel regressor dan respon, tetapi parameternya tidak langsung menunjukkan
autokorelasi spasial
nilai-nilai beta adalah fungsi dari skema pembobotan spasial, sejauh 𝑊 menangkap efek
autokorelasi spasial di masing-masing variabel, wajar untuk dikatakan bahwa nilai-nilai beta
yang besar merefleksikan pola autokorelasi spasial dalam sistem.
Uji O
Ord dan Getis (2001) memberikan uji, yang disebut O, yang mencakup informasi terpisah
tentang pengamatan dalam 𝑑 pada 𝑖 (daerah teratur atau tidak teratur) yang mewakili
pengamatan yang dihipotesiskan, dan pengamatan langsung di luar pengamatan
Statistiknya adalah:
𝑂𝑖 𝑑 = 𝑌ത𝑑 − 𝑌ത0
di mana
𝑌ത𝑑 = rata-rata dari observasi n(d) dalam d
𝑌ത0 = rata-rata dari pengamatan m = M - n(d)
M menjadi satu set dipartisi secara regional dari observasi yang menampilkan 'homogenitas
relatif. M harus jauh lebih besar dari n(d) [setidaknya 10 kali lipat] tapi jauh lebih kecil dari
semua n pengamatan di daerah penelitian. M dapat dipilih untuk memasukkan semua
pengamatan dari i [(kecuali n(d)] hingga rentang (dalam arti geostatistik) berasal dari semua
pengamatan.
B.3.5
Masalah dalam menangani autokorelasi spasial
2
7
autokorelasi spasial dapat didefinisikan secara tepat, tapi
tidak selalu jelas apakah dengan berbagai pengukuran Dalam statistik lokal, biasanya ada uji-uji pada
dan pengujian yang baru saja dijelaskan bisa autokorelasi spasial untuk setiap lokasi data. Hal ini
menemukan autokorelasi spasial dalam data menghasilkan sejumlah besar uji yang sebenarnya
georeferensi. Baik atau buruknya kinerja autokorelasi saling bergantung satu sama lain. Banyak dari
spasial tergantung dari cara dimana 𝑊 dan 𝑌 ditentukan.
pengamatan digunakan untuk menemukan ukuran
lokal autokorelasi spasial akan digunakan lagi untuk
uji difokuskan pada pengamatan tetangga.
B.3.5
Apa penyebab autokorelasi spasial yang ada dalam
satu set data tertentu? Apakah dengan cara menarik
batas-batas unit spasial (geometri dan / atau skala Upaya untuk mengatasi masalah diatas
unit spasial yang diteliti) atau fungsi dari sifat variabel yaitu dilakukan uji dependen (Getis dan
yang diteliti? Ketika autokorelasi spasial terdapat
Ord 2000; Castro dan Singer 2006;
dalam sebuah variabel, itu karena geometri dari unit
spasial atau sesuatu yang lain ?. Benjamini dan Hochberg 1995).
2
8
Banyak pengujian memerlukan asumsi
stasioneritas. GWR, ketika mencoba untuk
mengatasi masalah ini, terbentur pada masalah
Misalnya,
ukuran sampel (membutuhkan kecil untuk
perkiraan Yi) dan untuk masalah uji overlapping. Apakah jarak d mencakup jumlah pengamatan
yang sesuai yang memungkinkan untuk tingkat
kepercayaan yang dapat diterima dalam hasil?
B.3.5
Bagaimana d dipilih? Perhatian khusus harus diberikan
kepada pengaruh berbagai d pada hasil. Sebuah teknik
yang menjanjikan analisis, spasial filtering, mungkin
Apa hubungan autokorelasi global terhadap
sangat berguna dalam menjawab banyak pertanyaan-
autokorelasi lokal ?Bagaimana efek dari batas-
pertanyaan ini (Getis 1990, 1995; Griffith 1996, 2003;
batas pada tingkat kepercayaan? Ukuran sampel
Griffith 2002).
dan dengan demikian jumlah derajat kebebasan
dipengaruhi oleh tingkat spasial daerah studi.
B.3.6
Software Autokorelasi Spasial
3
0
ClusterSeer
2
SANET
Geoda
STARS (Space-Time Analysis of
Paket R Regional Systems)
SAS
Studi Kasus
AUTOKORELASI SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI
POLA HUBUNGAN KEMISKINAN DI JAWA TIMUR
(Rokhana Dwi Bekti)
Studi Kasus yang digunakan sebagai contoh adalah 3
studi kasus tentang identifikasi pola hubungan 2
kemiskinan Jawa Timur tahun 2006 dan 2007, yang
metode analisis melalui tahapan
diambil dari penelitian Rokhana Dwi Bekti yang
eksplorasi data melalui peta tematik
berjudul “Autokorelasi Spasial untuk identifikasi Pola
dilanjutkan dengan analisis
Hubungan Kemiskinan di Jawa Timur”. Data yang
autokorelasi spasial, yaitu Moran’s I
digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah
dan LISA. Pembobot yang digunakan
penduduk miskin Jawa Timur 2006-2007 yang adalah kode biner dan persinggungan
diperoleh dari data Badan Pusat Statistika (BPS). sisi (Rook Contiguity).
Analisis Deskriptif 3
3
Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun 2006 dan 2007 adalah 21,09 persen (7.678,1 juta jiwa) dan 9,71 persen
(7.155,3 juta jiwa). Pada tahun 2006, Kabupaten Sampang memiliki persentase tertinggi, yaitu 41,03 persen. Selanjutnya
Kabupaten Sumenep (34,86 persen) dan Pamekasan (34,14 persen). Dapat diketahui bahwa kabupaten-kabupaten
tersebut saling berdekatan dan berlokasi di Pulau Madura. Seperti halnya di beberapa kabupaten lainnya seperti
Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Jombang, Nganjuk, Madiun, dan Ngawi yang memiliki persentase antara
20,01-30,00 persen. Kabupaten-kabupaten tersebut berlokasi di Jawa Timur bagian utara. Kemudian Kabupaten Kediri,
Malang, Blitar, dan Tulungagung yang berlokasi di Jawa timur bagian selatang, memiliki persentase 10,01-20,00 persen.
Pola Persebaran Presentase Penduduk Miskin Jawa Timur Tahun 2006 Pola Persebaran Presentase Penduduk Miskin Jawa Timur Tahun 2007
(Sumber: Diolah dari BPS) (Sumber: Diolah dari BPS)
Nilai Moran’s I 3
4
Autokorelasi spasial ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan atau hubungan nilai
persentase penduduk miskin antar kabupaten/kota di Jawa Timur. Seperti pada
identifikasi sebelumnya, ada pengelompokan pada beberapa lokasi. Angka Moran’s I
pada tahun 2006 dan 2007 adalah 0,5116 dan 0.5434 yang lebih besar dari Io = -0,027.
Hal ini menunjukkan ada autokorelasi positif atau pola yang mengelompok dan memiliki
kesamaan karakteristik pada lokasi yang berdekatan.
Scatter Plot 3
5
Kuadran 1: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek, Jombang, dan Nganjuk. Kabupaten ini memiliki nilai persentase
penduduk miskin tinggi dan berdekatan dengan kabupaten lain yang memiliki nilai persentase penduduk miskin tinggi pula.
Kuadran 2: Ponorogo, Tulungagung, Jember, Banyuwangi, Situbondo, Kota Probolinggo, Kota Pasuruan, dan Kota Madiun. Kabupaten/Kota ini memiliki nilai persentase penduduk miskin
rendah akan berdekatan dengan kabupaten/kota lain yang memiliki nilai persentase penduduk miskin tinggi.
Kuadran 3: Blitar, Kediri, Malang, Sidoarjo, Mojokerto, Magetan, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Mojokerto, Kota Madiun, Kota Surabaya, dan Kota Blitar. Kabupaten ini memiliki nilai
persentase penduduk miskin rendah berdekatan dengan kabupaten lain yang memiliki nilai persentase penduduk miskin rendah pula.
Kuadran 4: Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, Madiun, dan Gresik. Kabupaten ini memiliki nilai persentase penduduk miskin tinggi akan berdekatan dengan kabupaten lain yang memiliki
nilai persentase penduduk miskin rendah.
Nilai Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) 3
6
Untuk mengetahui signifikansi autokorelasi spasial secara lokal
Pola signifikansi pengujian LISA persentase penduduk miskin Jawa Timur 3
7
tahun 2006
tahun 2007
Kesimpulan 3
8
Terdapat autokorelasi spasial pada persentase jumlah penduduk miskin di Jawa Timur,
baik tahun 2006 maupun 2007.
Angka Moran’s I pada tahun 2006 dan 2007 adalah 0,5116 dan 0.5434 yang
menunjukkan ada autokorelasi positif atau pola yang mengelompok dan memiliki
kesamaan karakteristik pada lokasi yang berdekatan.
Melalui LISA, didapat kesimpulan bahwa ada pengelompokan kabupaten/kota yang
signifikan.
Studi Kasus 2
AUTOKORELASI SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI POLA HUBUNGAN
JUMLAH PENGGANGGURAN TERBUKADI PROVINSI BALI
4
0
Studi Kasus yang digunakan sebagai contoh adalah studi
kasus tentang identifikasi pola hubungan jumlah
pengangguran terbuka di Bali tahun 2018. Data yang
digunakan adalah data jumlah pengangguran terbuka di
Provinsi Bali tahun 2018 yang diperoleh dari data Badan
Pusat Statistika (BPS).
3
2
5 6
9
4
1 7
8
Pembobot yang digunakan Queen 4
Contiguity
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 0 1 1 1 0 0 0 1 1
2 1 0 1 1 0 1 1 0 0
3 1 1 0 0 1 1 0 0 1
4 1 1 0 0 0 0 1 1 0
5 0 0 1 0 0 0 0 0 1
6 0 1 1 0 0 0 1 0 0
7 0 1 0 1 0 1 0 0 0
8 1 0 0 1 0 0 0 0 0
9 1 0 1 0 1 0 0 0 0
Kuadran II Kuadran 1
LH HH
Keterangan :
Kuadran II (Kuning) : Badung dan Jembrana
Kuadran III (Biru) : Bangli, Karangasem, Klungkung
Kuadran IV (Merah): Tabanan, Gianyar, Buleleng, Kota Denpasar
LISA 4
5
Buleleng
Badung
4
6
𝑛 𝑛
𝑛 σ σ
𝑖=1 𝑗=1𝑊𝑖𝑗 (𝑦𝑖 − 𝑦)(𝑦
ത 𝑗 − 𝑦ത൯
𝐼= 𝑛 𝑖≠𝑗
σ𝑖=1 σ𝑛𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 σ𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 − 𝑦ത 2
Langkah 1, Standarisasi matriks pembobot 4
7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9
5 0 0 1 0 0 0 0 0 1 5 0 0 1/2 0 0 0 0 0 1/2
8 1 0 0 1 0 0 0 0 0 8 1/2 0 0 1/2 0 0 0 0 0
𝑛
9 9
𝑊𝑖 = 1
𝑊𝑖𝑗 = 32 𝑖=1
𝑖=1 𝑗=1
Langkah 2, 𝑛 σ𝑛𝑖=1 σ𝑛𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 (𝑦𝑖 − 𝑦)(𝑦
ത 𝑗 − 𝑦)
ത 4
𝐼= 𝑛 𝑖≠𝑗
σ𝑖=1 σ𝑛𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 σ𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 − 𝑦ഥ 2 8
No Kabupaten Y ത
(𝑌𝑖 − 𝑌) 𝑌𝑖 − 𝑌ത 2
I,j 1 2 3 4 5 6 7 8 9 I,j 1 2 3 4 5 6 7 8 9
−1,3𝑥107
1 0 𝑦1 , 𝑦2 𝑦1 , 𝑦3 𝑦1 , 𝑦4 0 0 0 𝑦1 , 𝑦8 𝑦1 , 𝑦9 1 0 5955361 -6979056 -2569697 0 0 0 -233881
5 0 0 𝑦5 , 𝑦3 0 0 0 0 0 𝑦5 , 𝑦9 5 0 0 -4933596 0 0 0 0 0 -165334
8 𝑦8 , 𝑦1 0 0 𝑦8 , 𝑦4 0 0 0 0 0 8 −1,3𝑥107 0 0 6570018 0 0 0 0 0
5 0 0 -2466797,778 0 0 0 0 0 -82666,77778
1137664,367
6 0 -1333222,733 0 0 0 991209,7067 0 0
8 -6423869,444 0 0 3285009,222 0 0 0 0 0
𝑛 𝑛
𝑊𝑖𝑗 𝑦𝑖 − 𝑦ത 𝑦𝑗 − 𝑦ത = − 10245434,87
𝑖=1 𝑗=1
Langkah 5, 5
1
𝑛 𝑛
𝑛 σ σ
𝑖=1 𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 𝑦𝑖 − 𝑦 ത 𝑦𝑗 − 𝑦ത
𝐼= 𝑛
σ𝑖=1 σ𝑛𝑗=1 𝑊𝑖𝑗 σ𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 − 𝑦ത 2
9 −10245434,87
= = −0,1564
9 65501728
1 1
𝐼0 = − = − = −0,125
𝑛−1 8
Kesimpulan 5
2
Terdapat autokorelasi spasial pada IPM di Provinsi Bali Tahun 2018
Angka Moran’s I pada tahun 2018 adalah -0,159312 yang menunjukkan ada autokorelasi
negatif atau pola yang mengelompok dan memiliki nilai yang berbeda dan cenderung
menyebar pada lokasi yang berdekatan.
Analisis Spasial