Etimologi: ethos (Yunani): 1. kandang 2. ‘kebiasaan’/ ‘kelakuan menurut adat’ 3. ‘penilaian normatif’ ‘Penilaian normatif’ menunjuk pada mores, moral/ moralitas. Etika dan moral digunakan silih berganti. Etika diandaikan mampu menyediakan penyelesaian yang menentukan dan tegas pada setiap masalah moral. Etika: Sarana orientasi bagi upaya manusia untuk menjawab pertanyaan fundamental: ‘bagaimana Saya harus hidup dan bertindak?’ Membantu agar kita dapat lebih mampu mempertangungjawabkan kehidupan. Pemikiran sistematis tentang moralitas yang dihasilkan melalui pemikiran mendasar dan kritis. Mengapa etika diperlukan? 1. Masyarakat yang semakin plural dan global. Menimbulkan banyak kebngngan mana yang diikuti? 2. Hidup di masa transformasi ekonomi, sosial, intelektual, budaya dan sosial. 3. Proses perubahan yang membuat situasi menjadi keruh. 4. Perlunya kemantapan iman. Tolok ukur etika Kristen adalah pribadi dan karya Yesus Kristus sendiri. Karl Barth: “Allah tidak hanya mengakui manusia sebagai miliknya tapi juga bertanggung jawab atasnya.” Anugerah Allah menjadi tolok ukur. Relasi kasih antara Allah dan anakNya adalah langsung, bukan hukum- hukumNya. Bdk. 10 Ecce Homo ! Perintah Allah & Hukum Kasih. “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22 : 37 & 39)
Etika Kristen berarti mengenal kehendak
Allah, mendengarkan perintah Allah dan menerima anugerah Allah yang memungkinkan juga ketaatan padaNya. Matius 12:9-15a Sabat vs menyembuhkan orang sakit. Manusia sebagai sentral etika ada pada dua ranah konsep yaitu kebebasan & takdir (predestinasi). Kehidupan bukan nasib yang harus diterima begitu saja melainkan merupakan tantangan yang menuntut keberanian dan rasa tanggung jawab. Efesus 1:4-5 “Allah telah memilih … Dalam kasih Ia telah menentukan kita … untuk menjadi anak-anakNya sesuai kerelaan kehendakNya.” Kebebasan mengandung kesanggupan ntuk memenuhi kemampuan-kemampuan kita yang paling baik dan untuk menuju ke arah kemanusiaan yang sejati. “ … kamu telah dipanggil untuk merdeka …” (Galatia 5:13a) Kebebasan Kristen: a. Bebas dari hasrat kurang luhur (I Kor 6:12;
Gal 5:13b). Kebebasan yang seenaknya
mengakibatkan perbudakan sedangkan kebebasan yang benar melepaskan dari hasrat egois mengarah pada kesejatian hidup luhur & manusiawi. b. Bebas dari hambatan lahiriah. Kebebasan tidak tergantung pada faktor-faktor lahiriah. Kebebasan bathiniah menjadi utama kendati keadaan lahiriah kurang menyenangkan. Kebebasan sedemikian membuat kesediaan melayani orang lain (bukan self-centered). Kebebasan Kristen adalah kebebasan untuk mengabdi pada Kristus. Kebebasan bukan MILIK melainkan PANGGILAN sehingga kehidupan ini dikembangkan. Polarisasi Eksistensi Manusia: a. Polarisasi JASMANI dan ROHANI * pembandingan yang berat sebelah: idealisme (Plato: inti manusia ialah jiwa dan tubuh sebagai penjara) & naturalisme (Russel: manusia bagian dari dunia alami belaka). * polarisasi tunggal antara tubuh dan jiwa. b. Polarisasi PRIBADI dan SOSIAL * keunikan setiap pribadi termasuk tatanan genetiknya. * eksistensi manusia adalah eksistensi dalam perelesian. * dikotomi pemikiran Barat vs Timur. * keseimbangan polarisasi tetap melekat dalam hidup manusia. c. Polarisasi BERKEMBANG dan TERBATAS * perjalanan sejarah manusia, Auflarung menjadi tonggak perkembangan. * pandangan tradisional berubah perubahan mengubah ‘citra manusia’. * untuk berkembang membutuhkan kesadaran akan keterbatasan supaya tetap memiliki sifat manusiawi dan keterbatasan tanpa perkembangan manusia akan stagnan. Tiga Pola Etika: 1. HETERONOMI Heteros (yang lain) Frans Magnis- Suseno: “Moralitas heteronomi berarti bahwa orang mentaati peraturan tetapi tanpa melihat nilai atau maknanya … Heteronomi ini merendahkan manusia, membuatnya menjadi takut, tidak bebas, buta terhadap nilai-nilai dan tanggungjawab … Kemampuan tertinggi manusia yaitu kemampuan untuk bertanggungjawab, untuk memakai akal budi dan kebebasannya … dilumpuhkan. Inisiatif dan keberanian moral tidak diberi ruang. Moralitas menjadi hukum.” 2. OTONOMI Autos (diri sendiri) Budaya modern mencita-citakan pribadi yang bebas, otonom dan mandiri, yang tidak tergantung pada orang lain maupun tradisi dan kebiasaan. ‘Asal tidak merugikan orang lain, kamu boleh berbuat menurut kemauanmu sendiri.’ 3. THEONOMI Theos (Tuhan) adanya relasi yang menekankan kita pada Allah. Karl Bart: kedaulatan Allah tidak dapat diartikan seolah-olah Ia memerintah dan manusia sebagai boneka atau budak melainkan menjadi sahabat yang memilihNya secara bebas. Bagi Bart, konsep theonomi tidak meniadakan melainkan menegakkan unsur-unsur kebebasan dan tanggung jawab. Dietriech Bonhoeffer: “Perintah Allah adalah pembolehan untuk hidup sebagai manusia di hadapan Allah … Pembolehan dan kebebasan justru timbul semata- mata dari perintah Allah sendiri … dan menjad mungkin dan hanya mellaui dan di dalam perintah Alah … membolehkan aliran kehidupan untuk mengalir dengan bebas.” Bagi Bonhoeffer, pembolehan tidak membiarkan kita hidup dengan sewenang-wenang (egois) melainkan memanggil kita untuk hidup penuh kesadaran bahwa kesejatian manusia berintikan relasi dengan Allah. Etika Kristen tidak berarti berlawanan dengan kebebasan dan pemenuhan kemanusiaan. Kepatuhan pada Allah membebaskan kita untuk menemukan sifat-sifat kemanusiaan yang tulen, dan memerdekakan kita agar dapat menjalankan hidup yang penuh dan kreatif. Diskusikan: Faktor-faktor apa yang diperlukan dalam pengambilan keputusan etis? Pengambilan Keputusan Etis: Suara hati menjalankan fungsi: 1. Pernyataan yang menentukan nilai (value): a. orang menangkap (melalui pengalaman) nilai-nilai yang menjadi sasaran perbuatan kita; menjelaskan secara rasional; b. mempertimbangkan nilai-nilai berdasarkan prioritas. 2. Keputusan untuk bertindak dan memiliki keberanian mengambil resiko. Pertimbangan-pertimbangan mengambil keputusan: 1. Setiap keputusan harus diambil sesuai suara hati / bathin. 2. Suara bathin bukan ‘suatu yang kosong’ melainkan perlu terus menerus disesuaikan dengan yang obyektif memperhatikan berbagai informasi, argumen, pertimbangan. 3. Jika telah mengambil keputusan yang salah maka wajib mengubah sejauh itu mungkin. 4. Manakala keputusan memang harus diambil sekalipun belum jelas seratus persen, seandainya itu keputusan yang salah maka Saya bertanggungjawab. Hati nurani dapat salah maka perlu dikembangkan: a. Kematangan hati nurani menyentuh ranah kognisi & afeksi. Suara hati dipengaruhi oleh pengertian dan kepribadian seseorang. Mendidik suara hati terus menerus bersikap terbuka, mau belajar dan mengerti seluk-beluk masalah yang dihadapi, memahami pertimbangan-pertimbangan etis dan memperbarui pandangan-pandangan kita. b. Suara hati tidak dapat disamakan dengan suara Allah. Suara hati dapat keliru, suara Allah tidak dapat keliru. Diperlukan pengalaman transendensi, Allah yang mengatasi seluruh ciptaan termasuk otonomi manusia. c. Menggali kembali warisan kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai keluhuran dan melakukan re- interpretasi bagi kehidupan sekarang. Tiga prinsip dasar dalam melakukan tindakan etis: 1. Prinsip Sikap Baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lainnya hendaknya memang sudah menjadi sikap dasar manusia. Bersikap baik tidak hanya sejauh berguna bagi Saya melainkan terhadap orang lain juga. 2. Prinsip Keadilan Memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya karena semua orang memiliki nilai yang sama sebagai manusia. Perlakukan yang sama dalam situasi yang sama dengan menghormati hak-haknya. Keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan (termasuk yang baik), dengan melanggar hak seseorang. 3. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri Prinsip ni mengajarkan agar tidak membiarkan diri disalahgunakan. Manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri. Hanya orang yang kepribadiannya kuat dan mantap yang dapat mengorbankan diri bagi orang lain, tanpa kehilangan harga diri. Prinsip keadilan & hormat terhadap diri sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik. Sedangkan prinsip sikap baik menjadi dasar mengapa seseorang bersedia untuk bersikap adil.