Anda di halaman 1dari 16

Kelompok 5 (Afifah

Afra)

Anggota:
1. Annisa revananda
2. Farhan Alfian
3. Jelsi ratu berlianne
4. Weni siti maryam
Afifah Afra
Afifah Afra adalah nama pena dari Yeni Mulati. lahir di Purbalingga, 18 Februari 1979.
Menamatkan kuliahnya di jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Diponegoro pada tahun 2002 dan mendapat gelar sarjana sains. Sejak kecil Afra terlibat dalam banyak aktifitas
baik aktifitas ekstrakulikuler maupun intrakulikuler. Ketika SD, ia menjadi ketua regu pramuka di gudep-nya.
juga sebagai ketua PMR dan dokter kecil. Saat SMP, selain menjadi wakil pratami di pramuka, ia juga menjadi
ketua II OSIS. Saat SMA, aktifitasnya merambah kedunia jurnalistik, teather dan seni musik, sehingga ia pun
diamanahi sebagai ketua bidang Apresiasi dan Kreasi seni OSIS SMA. Aktifitas yang padat tampaknya memang
telah menyatu dalam kehidupannya. Ketika kuliah di F.MIPA Undip, Afra terpilih sebagai ketua keputrian ROHIS
F.MIPA Undip. Juga dalam waktu yang bersamaan mendapat amanah sebagai koordinator FLP Semarang. Setelah
menikah dengan dr. Ahmad Supriyanto dan menetap di Solo, ia aktif berkiprah di PPAP(Pemberdayaan
Perempuan dan Anak Pinggiran) Seroja. Persaudaraan Muslimah (SALIMAH) Kota Surakarta dan organisasi yang
telah mendarah daging dengannya yakni FLP.
Prestasi yang telah ia raih lumayan banyak. Ketika SD, 2 kali berturut-turut menjuarai Lomba Baca Puisi
tingkat kabupaten Purbalingga. Ia juga pernah dikirim ke provinsi Jawa Tengah sebagai duta kabupaten untuk
mengikuti Lomba bidang studi untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Umum. Ketika SMP, SMA, Kuliah dan
Pasca kuliah, dia juga menjuarai beberapa lomba, misalnya :
1. juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah dengan tema " Hijrah Nabawiyah " yang diselenggarakan
oleh Universitas Yarsi.
2. juara harapan I Lomba Menulis Cerbung Majalah Kartini
3. Runner up novel terpuji Pena Awward 2002 untuk novel " Bulan Mati di Javasche Oranje "
4. juara harapan Lomba Penulisan cerpen "Rohto" 2007,,, dan sebagainya.
cerpen yang berjudul " Kematian Romo " terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik majalah Annida selama
periode 10 tahun.
Karya-karya Afra, berupa cerpen, artikel, serial dan cerita bersambung, banyak dimuat di majalah
Annida, Ummi, Saksi, Solopos, Kartini dan sebagainya. Demikian juga, ada lebih dari 30 judul buku yang telah
ia tulis dan diterbitkan oleh Gema Insani, Asy-syaamil, Era Intermedia, DAR Mizan, Lingkar Pena Publishing
House, Dzikrul Hakim, Indiva Media Kreasidan masih banyak lagi.
Kini Afra menggawangi penerbit Indiva Media Kreasi sebagai general manager.
Sitok Srengenge
Sitok Srengenge (lahir di Grobogan, Jawa Tengah, 22 Agustus 1965; umur 50 tahun) yang punya
nama asli Sitok Sunarto, adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia yang juga mendalami
seni teater dan telah menghasilkan banyak karya tulis. Ia dikenal sebagai seorang penyair serta
penulis novel dan esai. Karya-karyanya banyak dimuat di media massa Indonesia maupun luar
negeri seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Australia. Menurut Janet de Neefe, meskipun puisi-
puisinya banyak berisi mengenai kondisi umat manusia, fokus utamanya adalah tema cinta
Sitok mulai mendalami seni peran di teater SMP Negeri Dempet, Demak dan SMA Negeri
1 Semarang. Setelah lulus SMA pada tahun 1985, ia pergi ke Jakarta. Di Jakarta, ia menuju Taman
Ismail Marzuki (TIM) untuk mencari informasi tentang Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang
ternyata mahal untuk kemampuannya. Akhirnya ia harus magang di grup teater pimpinan Arifin C.
Noer, Putu Wijaya, Teguh Karya dan W.S. Rendra.
Setelah setahun ikut W.S. Rendra, Sitok mendapat beasiswa dari Bengkel Teater Rendra. Ia
mendapatkan beasiswa sampai kuliah selesai di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Negeri
Jakarta. Pada sore harinya, Sitok ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta. Sitok Srengenge juga terdaftar sebagai alumni International Writing Program University
of Iowa, Amerika Serikat dan Intenational Writing Program Hong Kong Baptist University.
Antologi puisi:
-Anak Jadah
-Nonsens
-Ambrosia, dll
Novel
-Menggarami Burung Terbang
-Trilogi Kutil (terbit bersambung di harian Suara Merdeka), dan masih banyak hasil karya lainnya.
Bendera
Meski sedang liburan di rumah neneknya di Desa Bangunjiwa, Amir tetap
bangun pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Kalau sedang tidak libur, Amir
bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Amir selalu ingat nasehat Neneknya, “Orang yang
rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki.”
Di mata Amir, Neneknya adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar.
Amir tak tahu apa makna nasehat Neneknya itu, tapi ia merasa ada benarnya. Bangun
pagi membuatnya tidak terlambat tiba di sekolah dan tidak ketinggalan pelajaran. Selain
itu, bangun pagi sungguh menyenangkan. Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati
suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih,
tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur.
Pagi itu Amir melihat Neneknya duduk sendirian di teras depan. Rupanya,
Neneknya sedang menyulam bendera. Amir menyapa dan bertanya, “Selamat pagi, Nek.
Benderanya kenapa?”
“Oh, cucuku yang ganteng sudah bangun.” sahut Nenek pura-pura kaget. “Bendera ini
sedikit robek karena sudah tua.”
“Kenapa tidak beli yang baru saja?”
Nenek tersenyum. “Belum perlu,” katanya. “Ini masih bisa diperbaiki. Tidak
baik memboroskan uang. Lebih baik ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih
penting.”
“Bendera tidak penting ya, Nek?”
“Oh, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.”
Nenek berhenti sejenak dan menatap cucunya. “Kelak, ketika kamu dewasa, Nenek harap
kamu juga menjadi penting seperti bendera ini.”
Amir mengamati bendera itu. Selembar sambungan kain merah dan putih. Tidak
ada yang istimewa. “Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?”
Pertanyaan Amir membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam. ‘Pintar sekali
anak ini’, kata Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik untuk setiap
pertanyaannya. Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki tua renta yang
cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di tepi
Sungai Paedra. Eyang Coelho pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Nah, Nenek akan
meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita itu ketika memberikan penjelasan kepada
sang cucu.
“Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek
berkata. “Bendera ini...” lanjutnya, “bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan
yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru.”
“Pertama: Semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan
dan ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara. Merah-putih ini
lambang negara kita, Indonesia. Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan semua
warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera
bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa
menjadi apa saja, tapi jangan lupa ada kehendak Sang Mahapencipta”.
“Kedua: Pada waktu kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Tapi sesudahnya, ia
punya wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar
dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita
menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah.”
“Ketiga: Bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya
menjulang, ada angin yang membuatnya berkibar. Artinya, seseorang bisa mencapai sukses
dan berguna karena ada dukungan dari pihak-pihak lain. Kita tak boleh melupakan jasa
mereka.”
“Keempat: Makna bendera ini tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa harganya,
atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk dan susunan warnanya ada gagasan
dan pandangan yang diwakili. Begitulah, kita pun harus memperhatikan diri dan menjaganya agar tetap
selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup kita.”
“Kelima: Seutas benang menjadi kain, lalu kain menjadi bendera, dan bendera punya makna;
karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita juga seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang
kita lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati.”
“Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri
penjelasannya.
Amir mengangguk. Meski belum bisa memahami semua, ia menangkap inti dan garis besarnya;
betapa penting arti sebuah bendera.
“Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan gudeg manggar lengkap dengan telor dan
daging ayam kampung empuk kesukaanmu.”
Amir menuruti saran Neneknya. Ia masuk ke rumah sambil membayangkan kesegaran air sumur pedesaan.
***
Pada kesempatan lain, Amir mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada upacara di
sekolahnya. Seiring dengan lagu “Indonesia Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-
temannya, ia menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa.
Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan
penghormatan. Saat itu Amir berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu ibarat sehelai benang. Sekolah
tempat mereka belajar ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu menganyam dan meluaskan diri
agar menjadi lembaran kain.
Kelak setiap lembar kain akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana, selimut, atau taplak
meja. Menjadi lap piring juga berjasa, meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya,
jika menjadi pakaian, sering dipamerkan dalam acara-acara gemerlapan dan harganya bisa mencapai
ratusan juta.
Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambang,
seperti bendera.
Struktur Teks Bendera
1) Abstraksi:
Meski sedang liburan di rumah neneknya di Desa Bangunjiwa,Amir tetap
bangun pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Kalau sedang tidak libur, Amir
bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Amir selalu ingat nasehat Nenek, “Orang yang
rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki.” Di mata Amir, Neneknya adalah
sosok perempuan tua yang bijak dan pintar.
Amir tak tahu apa makna nasehat Neneknya itu, tapi ia merasa ada benarnya.
Bangun pagi membuatnya tidak terlambat tiba di sekolah dan tidak ketinggalan
pelajaran. Selain itu, bangun pagi sungguh menyenangkan. Hanya pada waktu pagi kita
bisa menikmati suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat,
udara masih bersih, tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah
bangun tidur.
2) Orientasi:
Pagi itu Amir mendapati Neneknya duduk sendirian di teras depan. Rupanya,
Nenek sedang menyulam bendera. Amir menyapa dan bertanya, “Selamat pagi, Nek.
Benderanya kenapa?”
3) Komplikasi:
“Oh, cucuku yang ganteng sudah bangun.” sahut Nenek pura-
pura kaget. “Bendera ini sedikit robek karena sudah tua.”
“Kenapa tidak beli yang baru saja?”
Nenek tersenyum. “Belum perlu,” katanya. “Ini masih bisa diperbaiki.
Tidak baik memboroskan uang. Lebih baik ditabung, siapa tahu akan
ada kebutuhan yang lebih penting.”
“Bendera tidak penting ya, Nek?”

4) Evaluasi:
“Oh, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak
akan membuangnya.” Nenek berhenti sejenak dan menatap cucunya.
“Kelak, ketika kamu dewasa, Nenek harap kamu juga menjadi penting
seperti bendera ini.”
Amir mengamati bendera itu. Selembar sambungan kain merah dan
putih. Tidak ada yang istimewa. “Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya
dengan kain yang lain?”
5) Resolusi:
Pertanyaan Amir membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam. ‘Pintar
sekali anak ini’, kata Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik
untuk setiap pertanyaannya. Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki
tua renta yang cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh
dan tersedu di tepi Sungai Paedra. Eyang Coelho pernah menulis sebuah cerita
tentang pensil. Nah, Nenek akan meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita itu
ketika memberikan penjelasan kepada sang cucu.
“Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek berkata.
“Bendera ini...” lanjutnya, “bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan yang
membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru.”
“Pertama: Semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan
ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara. Merah-putih ini
lambang negara kita, Indonesia. Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan
semua warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini
menjadi bendera bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang
membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi apa saja, tapi jangan lupa ada kehendak
Sang Mahapencipta”.
“Kedua: Pada waktu kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Tapi sesudahnya, ia punya
wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar
dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita
menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah.”
“Ketiga: Bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya
menjulang, ada angin yang membuatnya berkibar. Artinya, seseorang bisa
mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari pihak-pihak lain. Kita
tak boleh melupakan jasa mereka.”
“Keempat: Makna bendera ini tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli,
berapa harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik
bentuk dan susunan warnanya ada gagasan dan pandangan yang diwakili.
Begitulah, kita pun harus memperhatikan diri dan menjaganya agar tetap selaras
dengan cita-cita dan tujuan hidup kita.”
“Kelima: Seutas benang menjadi kain, lalu kain menjadi bendera, dan bendera
punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita juga seperti
itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita lakukan bisa bermakna. Jadikan
dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati.”
“Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek
mengakhiri penjelasannya.
Amir mengangguk. Meski belum bisa memahami semua, ia menangkap inti dan
garis besarnya: betapa penting arti sebuah bendera.
“Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan gudeg manggar lengkap
dengan telor dan daging ayam kampung empuk kesukaanmu.”
Amir menuruti saran Neneknya. Ia masuk ke rumah sambil membayangkan
kesegaran air sumur pedesaan.
6) Koda:
Pada kesempatan lain, Amir mendapat tugas sebagai pengibar
bendera pada upacara di sekolahnya. Seiring dengan lagu “Indonesia
Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-temannya, ia
menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di
angkasa.
Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk
memberikan penghormatan. Saat itu Amir berpikir bahwa setiap orang di
lapangan itu ibarat sehelai benang. Sekolah tempat mereka belajar ibarat
alat pemintal, tempat benang-benang itu menganyam dan meluaskan diri
agar menjadi lembaran kain.
Kelak setiap lembar kain akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana,
selimut, atau taplak meja. Menjadi lap piring juga berjasa, meski tidak
pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi
pakaian, sering dipamerkan dalam acara-acara gemerlapan dan harganya
bisa mencapai ratusan juta.
Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin
menjadi lambang, seperti bendera.
Unsur Instrinsik Cerpen
1) Tema : Pentingnya arti sebuah bendera
2) Alur : Maju
3) penokohan :
a. Amir : Rajin dan Pintar
b. Nenek : Pintar, bijaksana dan penyayang
4) Latar :
a. Tempat : Rumah nenek
b. Waktu : Pagi hari
c. Suasana : Tenang, Khusyuk
5) Sudut Pandang : orang ke tiga
Unsur ekstrinsik
Abstraksi Teks Cerpen Bendera
Cerpen berjudul “Bendera” ini menceritakan tentang Amir dan Neneknya yang berdiskusi
tentang pentingnya arti sebuah bendera. Amir adalah anak yang rajin, meski sedang liburan
dirumah neneknya dia tetap bangun pagi karena selalu ingat nasehat neneknya “Orang yang rajin
bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki.” Nenek amir adalah sosok perempuan tua yang
bijak dan pintar.
Pagi itu, amir mendapati nenek sedang merajut bendera, Amir mengamati bendera itu.
Selembar sambungan kain merah putih. Tidak ada yang istimewa. Lalu amir bertanya kepada
neneknya apa pentingnya selembar kain bendera itu. Nenek pun menjelaskan bahwa “Penting
atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” Bendera ini, bukan kain biasa. Ia punya
beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang
patut kita tiru.
Pertama : Bendera ini lambang negara, merah-putih ini lambang Indonesia. Semua warga
Negara menghormati bendera negaranya.
Kedua: Pada waktu kain ini dijahit akan merasa sakit. Sesudahnya akan mempunyai wujud
baru yang indah dan bermakna. Sabar dan tabah menghadapi masalah itulah yang membuat kita
menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah.
Ketiga: Bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang dan
berkibar. Seorang bias mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari pihak-pihak lain.
Jangan melupakan jasa mereka.
Keempat: Makna bendera ini karena dibalik bentuk dan susunan warnanya ada gagasan
dan pandangan yang diwakili. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain.
Kini amir mengerti apa pentingnya arti sebuah bendera. Di dalam hatinya, Amir bertekad
ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambang, seperti Bendera.

Anda mungkin juga menyukai