KELOMPOK 1
1. ALFITRA RAISYA (1701001)
2. DEVI PUTRI AMITHA (1701010)
3. INTAN SRI MAULINA (1701019)
4. MA’RIFAH (1701025)
5. RIMA MUTIA (1701033)
6. VIONA LISCHA NURFAHIRA (1701042)
7. DESII LINDA SARI (1801124)
8. MONICA SARI (1801130)
• Di Indonesia ?
• Prevalensi nasional penyakit asma adalah 4,0% (berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan dan gejala Riskesdas,2007)
• Sebanyak 9 provinsi mempunyai prevalensi penyakit asma diatas prevalensi
nasional, yaitu Aceh, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan
Papua Barat
• Separoh dari semua kasus asma berkembang sejak masa kanak-kanak,
sedangkan sepertiganya pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun.
• Dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali
dan bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis
Lanjutan....
Riskesdas,2007
Etiologi Asma
Menurut Lippincott Williams & Wilkins 2003 terdapat 2 macam
penyebab dari asma, yaitu:
Sundadru,2006)
Faktor Resiko
KLASIFIKASI ASMA
Berdasarkan
Berdasarkan Berdasarkan
organ yang
gejala penyebab
diserang
17
Klasifikasi asma
berdasarkan
penyebabnya Klasifkasi asma
Alergi
berdasarkan organ
yang diserang
non alergi
Asma bronkhial
Campuran
Asma kardiak
Diagnosis asma
Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis (pertanyaan kepada pasien )
Batuk, mengi, sesak napas episodik
Bronkitis/pneumonia berulang
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Riwayat faktor pencetus
Perburukan gejala pada malam hari
Next…
Diagnosis asma
II. Pemeriksaan Fisik
Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut :
1. Inspeksi
• Pasien terlihat gelisah
• Sesak (napas cepat)
• Sianosis
2. Palpasi
• Biasanya tidak ditemukan kelainan
• Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
3. Perkusi
• Biasanya tidak ditemukan kelainan
4. Auskultasi
• Ekspirasi memanjang
• Mengi
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA , 2008
• Suara lendir
Next…
Diagnosis asma
III. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma
:
• Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
• Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow
rate meter
• Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
• Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya
hipereaktivitas bronkus
• Uji alergi (tes tusuk kulit/skin prick test) untuk menilai ada
tidaknya alergi
• Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit selain asma. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA ,
2008
Klasifikasi Asma
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2006) penggolongan asma berdasarkan beratnya
penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
Klasifikasi Asma:
Berdasarkan etiologinya, asma dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
Asma ekstriksik
asma ditandai dengan
Asma intrinsik reaksi alergi terhadap
pencetus spesifik yang
asma yang ditandai dapat diidentifiikasi seperti
dengan mekanisme yang tepung sari, jamur, debu,
bersifat non-alergik yang bulu binatang, dan obat-
bereaksi terhadap obatan
pencetus yang tidak
spesifik atau yang tidak Asma campuran
diketahui seperti, udara asma yang mempunyai
dingin karakteristik dari bentuk
alergi dan non alergi
Hartantyo,2007
ISO Farmakoterapi,2008
Tujuan Terapi
Asma kronik Asma akut
1. Mempertahankan tingkat aktivitas 1. Perbaikan hipoksemia signifikan
normal (termasuk latihan fisik) 2. Pembalikan cepat penutupan
2. Mempertahankan fungsi paru-paru saluran udara (dalam hitungan
(mendekati) normal menit)
3. Mencegah gejala kronis dan yang 3. Penggurangan kecenderungan
mengganggu (misalnya batuk atau penutupan aliran udara yang parah
kesulitan bernafas dimalam hari, pada timbul kembali
pagi hari, atau setelah latihan berat) 4. Pengembangan rencana aksi
4. Mencegah memburuknya asma tertulis jika keadaan memburuk
secara berulang dan meminimalisasi
kebutuhan untuk masuk ICU atau
rawat inap
5. Menyediakan farmakoterapi optimum
dengan tidak ada atau sedikit efek
samping
6. Memenuhi keinginan pelayanan
terhadap pasien dan keluarga
Strategi terapi
DIPIRO ,2008
Non- • Pencegahan
farmakologi
• Short-acting ß2-agonist
1 (salbutamol, terbutalin)
• Anticholinergics (ipratropium
2 bromide)
2
• Cromoline sodium
3
• Nedocromil
4
• Long acting ß2-agonist (salmeterol, formoterol)
5
• Methylxanthines (aminofilin, teofilin)
Pengatasan awal:
Inhalasi agonis ß2 short acting
2-4 puff dg MDI interval 20 min atau nebulizer
Kontak dokter segera untuk Kontak dokter segera untuk Bawa ke UGD
instruksi lanjutan instruksi lanjutan
DIPIRO ,2008
membaik
DIPIRO ,2008
membaik
Pulang
Terapi Non Farmakologi
▸Terapi non farmakologi adalah bentuk pengobatan dengan cara
pendekatan, edukasi dan pemahaman tentang penyakit asma. Edukasi
kepada pasien / keluarga
▸ Pengukuran dengan peak flow meter
▸Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
▸ Pasien asma akukt dan berat harus menyediakan dan mempunyai
persediaan gas oksigen
▸Kontrol secara teratur dan penerapan pola hidup seperti berhenti merokok
▸Mengatur kegiatan aktivitas fisik. Melakukan olahraga secara teratur,
misalnya senam asma untuk latihan pernafasan
Epidemiologi Prognosis
Etiologi Penatalaksanaan
(DIPIRO,8TH EDITION)
EPIDEMIOLOGI
menurut WHO, merupakan penyakit paru yang mengancam nyawa, yang menganggu
pernapasan normal.
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%.
Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan prevelensi 5,6%, dimana
terjadi meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok atau 90% penderita PPOK
adalah smoker atau ex-smoker, pravelensi lebih tinggi pada pria dari pada wanita karena
pada umumnya pria lebih banyak menjadi perokok
Prevalensi penyakit PPOK di Riau sebesar 2,1 (‰). PPOK lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan dan Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
ETIOLOGI
Faktor resiko utama PPOK
(DIPIRO,8TH EDITION)
KLASIFIKASI PPOK
BerdasarkanGlobalInitiativeforChronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2017, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat, yaitu:
1. Bronkitis kronis
2. Enfisema
secara normal silia dan mukus dibronkus melindungi
Enfisema melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-
dari inhalasi iritan yaitu dengan menangkap dan
paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas
mengeluarkkannya
Pada enfisema terjadi kerusakan dinding dalam
Iritasi secara ters-menerus seperti asap rokok
asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas
menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan
berkurang
alveolus (alveolitis)
enfisema banyak ditemukan pada orang yang
Akibatnya makrofag dan neotrofil berinfililtrasi ke epitel
merokok
dan memperkuat tingkat kerusakan epitel
Pasien enfiema banyak mengalami dyspnea dari
Dengan adanya mukus yang kental dan lengket serta
pada pasien bronkkitis
menurunkan pembersihan mukosiliar terjadi sumbatan
bronkiolus dan alveoli
Inflamasi terjadi pada bronkitis kronis dengan
pengeluaran mukus dan penyempitan lumen diikuti
fibrosis dan ketidakteratuan dari saluran pernafasan
kecil sehingga mekin mempersempit saluran nafas
Bronkitis kronik yang berkembang beberapa tahun
dapat menyebabkan ketidak seimbangan
ventilasi/perfusi (V/Q)bdan hipoksemia
(DIPIRO,8TH EDITION)
Kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun
berturut -turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.
(DIPIRO,8TH EDITION)
PROGNOSIS
(Tomas,2008)
DIAGNOSIS
Anamenesis
Pemeriksaan fisis
• Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
• Pemeriksaan fisis pasien PPOK dini umumnya gejala pernapasan
tidak ditemukan kelainan. Pada inspeksi
didapatkan: • Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja
• Purse-lips breathing, yaitu sikap seseorang yang
bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi • Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai • Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak,
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
• Barrel chest (diameter toraks anteroposterior polusi udara
sebanding dengan diameter transversal) • Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
• Penggunaan otot bantu napas • Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
• Hipertrofi otot bantu napas Pemeriksaan penunjang
• Pelebaran sela iga • Pemeriksaan yang rutin dikerjakan untuk menegakkan
diagnosis PPOK adalah uji faal paru sedang pemeriksaan
• Terlihat denyut vena jugularis dan edema darah rutin (Hb, Ht, Leukosit) dan foto toraks untuk
tungkai (bila telah terjadi gagal jantung) menyingkirkan penyakit paru lain.
(Ditjen Yankes,2018)
DIAGNOSIS
Studi radiografi
Tes laboratorium sangat membantu
Tes serologi antibodi dalam kondisi
neoplastik dan
Menunjukkan inflamasi. Kejadian
peningkatan titer yang tidak sehat dan
Visualisasi endoskopi
selama periode 3-6 hari, mematikan dalam waktu
Visualisasi tetapi tes ini tidak yang lama atau diare
endoskopi langsung dan praktis dan tidak berat.
biopsi kolon dapat spesifik. Kadang-
dilakukan untuk menilai kadang, volume total
adanya kondisi seperti tinja harian juga
kolitis atau kanker ditentukan
PENATALAKSANAAN PPOK
(DIPIRO,8TH EDITION)
PENGOBATAN
NON FARMAKOLOGI
(DIPIRO,8TH EDITION)
FARMAKOLOGI 1. BRONKODILATOR
1. Agonis β2
Mekanisme kerja : merelaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor
adrenergik beta-2, yang meningkatkan cAMP dan menghasilkan antagonisme
fungsional terhadap bronkokonstriksi.
Efek samping
sinus takikardia saat istirahat dan berpotensi mencetuskan gangguan irama jantung,
dan tremor somatik.
FARMAKOLOGI 1. BRONKODILATOR
1. Bronkodilator
2. Antiinflamasi
3. Antibiotik
2. Antikolinergik/Antagonis Muskarinik
4. Mukolitik
Mekanisme kerja : memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor
5. Antitusif muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas. Antikolinergik
inhalasi hampir tidak diabsorpsi sehingga efek samping sistemiknya lebih rendah
dibanding atropine. Secara umum obat ini relatif aman, dengan efek samping utama
mulut kering.
1. Bronkodilator
2. Antiinflamasi Antiinflamasi yang dapat digunakan pada PPOK adalah
corticosteroid dan phosphodiesterase-4 inhibitor.
3. Antibiotik
4. Mukolitik
5. Antitusif
(Albert RK, Connett J, Bailey WC, Casaburi R, Cooper JA Jr, Criner GJ, et al.
Azithromycin for prevention of exacerbations of COPD. N Engl J Med. 2011)
FARMAKOLOGI 4. MUKOLITIK
1. Bronkodilator
2. Antiinflamasi
3. Antibiotik Pada pasien PPOK yang tidak mendapat
4. Mukolitik
5. Antitusif ICS, terapi reguler dengan mukolitik seperti
carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat
menurunkan eksaserbasi dan sedikit
memperbaiki status kesehatan.
1. Bronkodilator
2. Antiinflamasi
3. Antibiotik
4. Mukolitik Antitusif adalah obat yang menekan refleks batuk,
5. Antitusif digunakan pada gangguan saluran nafas yang tidak
produktif dan batuk akibat teriritasi. Biasanya
diberikan pada PPOK yang juga mengalami batuk
yang tidak produktif. Akan tetapi peranan terapi
pada PPOK masih belum jelas
Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik tanpa intubasi Ventilasi mekanik
tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal
napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
Ventilator mekanik
PENGOBATAN
NUTRISI
• Pada kasus gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
Pemasukan mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme
Kalori karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang
masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi
dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)
dengan pipa nasogastrik
Kebutuhan
Kalori
• Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi
lemak rendah karbohidrat.
pipa nasogastrik
KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI