Anda di halaman 1dari 50

Pain

Nyeri

Vicklen S. Pesiwarissa
2018-84-081
POINTS
1. Nyeri
2. Cara mengukur nyeri
3. NSAID dan Opioid
1. Nyeri
Definisi
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.
Klasifikasi Berdasarkan timbulnya nyeri, dibagi atas:

1. Nyeri akut: mendadak, sementara, & ditandai dengan adanya aktivitas


SSO (takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat, midriasis, dan perubahan
ekspresi)
• Nyeri somatik luar: nyeri tajam di kulit, subkutan, & mukosa
• Nyeri somatik dalam: nyeri tumpul pada otot rangka, sendi, & jaringan
ikat
• Nyeri visceral: disfungsi organ visceral
Klasifikasi
2. Nyeri kronik: Berkepanjangan (bulan) dan tanpa tanda-tanda aktivitas SSO.
Berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka
(penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai
melebihi 3 bulan.

Disebabkan oleh:
• Rusaknya serabut saraf
• Trauma, proses degenerasi
Klasifikasi Berdasarkan sumber nyeri, dibagi atas:

1. Nyeri Somatik
Tergambar seperti nyeri tajam, menusuk, mudah dilokalisasi, dan rasa terbakar
yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot
skeletal, tendon, dan tulang.
• Nyeri somatik luar: Berasal dari kulit, subkutan, mukosa. (terbakar, tajam,
& terlokalisasi)
• Nyeri somatik dalam: Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi
dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jar. ikat.
Klasifikasi Berdasarkan sumber nyeri, dibagi atas:

2. Nyeri Visceral
Penyebab nyeri ini termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,
distensi struktur lunak. Nyeri karena perangsangan organ visceral atau
membran yang menutupinya.
Klasifikasi Berdasarkan jenis nyeri, dibagi atas:

1. Nyeri Nosiseptif: karena kerusakan jar baik somatik maupun visceral.


2. Nyeri Neurogenik: didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada SST. Disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel
kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Yang dirasakan
adalah rasa panas, ditusuk-tusuk, rasa tidak enak pada perabaan (allodynia).
3. Nyeri Psikogenik: ada gangguan kejiwaan. Nyeri akan hilang jika keadaan
jiwa pasien tenang.
Klasifikasi Berdasarkan derajat nyeri, dibagi atas:

1. Nyeri Ringan: hilang timbul, terutama saat aktivitas, hilang saat


istirahat
2. Nyeri Sedang: terus-menerus, mengganggu aktivitas, hanya hilang bila
tidur
3. Nyeri Berat: sepanjang hari, mengganggu tidur karena sering terjaga.
Patofisiologi
1. Transduksi
2. Transmisi
3. Modulasi
4. Persepsi
2. Pengukuran intensitas nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subyektif yang dipengaruhi
oleh banyak hal, sehingga mengukur intensitas nyeri relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai
intensitas nyeri, antara lain:
1.Verbal Rating Scale (VRS)
2.Numerical Rating Scale (NRS)
3.Visual Analogue Scale (VAS)

4.McGill Pain Questionnaire (MPQ)


5.The Faces Pain Scale
Verbal Rating Scale (VRS)
Metode ini menggunakan suatu word list
untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau
kalimat yang menggambarkan karakteristik
nyeri yang dirasakan dari word list yang ada.
Metode ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama
kali muncul sampai tahap penyembuhan.
Numerical Rating Scale (NRS)
Metode ini menggunakan angka-
angka untuk menggambarkan range
dari intensitas nyeri. Umumnya
pasien akan menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan dari
angka 0-10. ”0” menggambarkan
tidak ada nyeri sedangkan ”10”
menggambarkan nyeri yang hebat.
Visual Analogue Scale (VAS)
Metode ini paling sering digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri. Metode ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm
yang menggambarkan keadaan tidak
nyeri sampai nyeri yang sangat hebat.
Pasien menandai angka pada garis yang
menggambarkan intensitas nyeri yang
dirasakan.
Visual Analogue Scale (VAS)
Keuntungan menggunakan metode ini

adalah sensitif untuk mengetahui

perubahan intensitas nyeri, mudah

dimengerti dan dikerjakan, dan dapat

digunakan dalam berbagai kondisi klinis.

Kerugiannya adalah tidak dapat

digunakan pada anak-anak di bawah 8

tahun.
McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Metode ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal

nyeri yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek

antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan

dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.


The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya

untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.


3. NSAID dan Opioid
World Federation of Societies
of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder telah
dikembangkan untuk
mengobati nyeri akut.
NSAID
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh

dunia adalah OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri

ringan sampai sedang. Memiliki dua efek, analgesik dan antiinflamasi.

OAINS pada umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari

permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang


NSAID
Golongan obat yang bersifat analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Mekanisme

kerjanya didasarkan pada penghambatan isoenzim COX-1 dan COX-2.

COX-1  gangguan pada pencernaan

COX-2  antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi


NSAID
COX-2 Inhibitor:

1.Celecoxib

2.Acetaminofen
Berdasarkan sumbernya opioid digolongkan
Mekanisme Kerja
• Opioid bekerja pada reseptor opioid di presinap dan post sinap
di sistem saraf pusat (SSP) terutama batang otak (gray matter
periakuduktus batang otak, amigdala, korpus striatum dan
hipotalamus) dan medula spinalis (substansia gelatinosa) dan
pada jaringan perifer.
•  Pada jaringan perifer opioid berikatan dengan reseptor opioid
endogen (endorfin, enkefalin, dan dinorfin)  mengaktifkan sistem
antinosiseptif.

•  Di presinaps, opioid menurunkan sekresi neurotranspmitter


inhibisi  mencegah aktivasi reseptor (asetilkolin, dopamin,
norefinefrin, substansi P)
•  Efek biokimia opioid adalah meningkatkan penghantaran kalium
(sehingga terjadi hiperpolarisasi), inaktivasi kanal kalsium, atau
keduannya yang menghambat efek pelepasan neurotransmiter.

• Efek utama opioid adalah penurunan transmisi kolinergik pada


ujung saraf memberikan efek analgesia dan efek sampingaiinya.

• Namun opioid tidak berpengaruh pada stimulasi berulang pada


ujung saraf ataupun konduksi rangsang berulang dari saraf perifer.
Reseptor opioid
• Reseptor µ (mu) : m-1, analgesia supraspinal, sedasi. m-2,
analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik,
kekakuan otot.
• Reseptor δ (delta) : analgesia spinal, epileptogen.
• Reseptor κ (kappa) : k-1, analgesia spinal. k-2 tak diketahui. k-3
analgesia supraspinal.
• Reseptor σ (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
• Reseptor ε (epsilon) : respon hormonal.
Morfin
• Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding
bagi opioid lainnya. Morfin tidak menghilangkan penyebab
nyeri, tetapi meningkatkan ambang nyeri dan mengubah
persepsi berbahaya yang dialami tidak sebagai nyeri.
Farmakokinetik
• Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
menembus kulit yang luka dan mukosa. Morfin dapat diabsorsi
usus .
• Morfin dapat melewati sawar uri
• Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.

• Indikasi
 meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak
dapat diobati dengan analgesik non-opioid.
Dosis dan sediaan
• Morfin dapat diberikan secara subkutan, itramuskular,
intravena, epidural atau intraktekal.
• Dosis anjuran untuk nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB.
• Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena
• Untuk mengurangi nyeri pada dewasa pasca bedah atau nyeri
persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg
intratekal.
Efek samping
• Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya)
meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental
berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan
pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.1,2
Petidin (meperidin, demerol)
• Meperidin yang juga dikenal sebagi petidin, secara kimia adalah
etil-1-metil-4-fenilpiperidin-4- karboksilat.

Farmakodinamik
• Terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ.
• Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah
pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam.
Farmakokinetik
• Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit
dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi.
• Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.
• Metabolisme meperidin terutama dalam hati.
• Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam
urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam
urin dalam bentuk derivat N-demitilasi. 1
Indikasi
• Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas
dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
• Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Dosis dan sediaan
• Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10
mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan
oral 50 mg/ml.
• Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100
mg.
• Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
 

Efek samping
• pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
Fentanil dan derivatnya
• sulfentanil, alfentanil dan remifentanil
• merupakan opioid sintetik derifat phenylpiperidine dan bekerja
sebagai agonis reseptor µ.
• Efek analgetiknya lebih singkat dibandingkann morfin dan
meperidin (sekitar 5 menit), efeknya cepat berakhir setelah
pemberian dosis kecil secara bolus dan relatif tidak
mempengaruhi kardiovaskular.
• Fentanil dan derivatnya dapat diberikan secara IV, epidural dan
intratekal untuk nyeri pasca bedah dan nyeri kronik.
• Efek samping berupa :
▫ Mual
▫ Muntah
▫ Gatal
▫ Depresi nafas
▫ Kekakuan otot  dapat dikurangi dengan memperlambat
pemberian secara bolus, dan induksi dengan obat non opioid
▫ Konvulsi  dosis tinggi
▫ Mengurangi frekuensi jantung dan sedikit menurunkan tekanan
darah
Kodein
• Kodein merupakan hasil subtitusi grup metil pada grup
hidroksil di karbon nomor 3 morfin.
• Waktu paruh setelah pemberian oral atau IM antara 3-3,5 jam.
• Sekitar 10% akan demetilisasi di hati menjadi morfin yang
menimbulkan efek analgesia pada pemberian kodein.
• Kodein adalah obat antitusif oral yang efektif dengan dosis 15
mg.
• Bila diberikan sebanyak 650 mg maka kodein akan memiliki
efek analgesia yang setara dengan 650 mg aspirin dan 120 mg
kodein IM setara dengan 10 mg morfin.
• Kodein menimbulkan sedasi minimal, nausea, vomiting dan
kostipasi. Namun kodein tidak memiliki efek depresi
pernapasan.
Nalokson
• Nalokson ialah antagonis murni opioid dan bekerja pada
reseptor mu, delta, kappa dan sigma.

Farmakodinamik.
• Semua efek agonis opioid pada reseptor µ diantagonis oleh
nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV.
• Pada dosis kecil pemberian nalokson akan meningkatkan
frekuensi nafas pada pasien dengan depresi napas akibat agonis
opioid
• Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek
dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis.
• Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering
disertai dengan terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa
peningkatan frekuensi napas melebihi sebelum dihambat oleh
opioid.
Farmakokinetik
• Obat ini dimetabolisme di hati.
• Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam.
• Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas
pada akhir pembedahan dengan dosis bertahap 1-2 µg/kgBB
intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai ventilasi
dianggap baik.
• Pada napas neosatus yang ibunya mendapat opioid berikan
nalokson 10 µg/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit.
Naltrekson
• Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang
• Biasanya diberikan per oral, pada pasien dengan
ketergantungan opioid.
• Waktu paruh plasma 8-12 jam.
• Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam.
• Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus,
mual, muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa
menghilangkan efek analgesinya.
Tramadol
• Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas
rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 %
dari morfin. Tramal dapat diberikan secara oral dan dapat
diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai