Anda di halaman 1dari 12

PANCASILA

PERTEMUAN KE-5

Umar Iskandar, S.Pd.,S.H.,M.H.


Sub pembahasan
• Pancasila sebagai sistem etika
• Konsep Pancasila sebagai Sistem Etik
• Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
• Pancasila dalam Etika kepariwisataan
Pancasila sebagai sistem etika
• Pancasila sebagai sistem etika di samping merupakan way of life bangsa Indonesia, juga merupakan struktur pemikiran yang
disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia dalam bersikap dan bertingkah
laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri setiap individu
sehingga memiliki kemampuan menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Mahasiswa sebagai peserta didik termasuk anggota masyarakat ilmiah-akademik yang memerlukan sistem etika
yang orisinal dan komprehensif agar dapat mewarnai setiap keputusan yang diambilnya dalam profesi ilmiah. Sebab
keputusan ilmiah yang diambil tanpa pertimbangan moralitas, dapat menjadi bumerang bagi dunia ilmiah itu sendiri
sehingga menjadikan dunia ilmiah itu hampa nilai (value –free). Anda sebagai mahasiswa berkedudukan sebagai makhluk
individu dan sosial sehingga setiap keputusan yang diambil tidak hanya terkait dengan diri sendiri, tetapi juga berimplikasi
dalam kehidupan sosial dan lingkungan. Pancasila sebagai sistem etika merupakan moral guidance yang dapat
diaktualisasikan ke dalam tindakan konkrit, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, sila-sila Pancasila
perlu diaktualisasikan lebih lanjut ke dalam putusan tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan
berwawasan moral-akademis. Dengan demikian, mahasiswa dapat mengembangkan karakter yang Pancasilais melalui
berbagai sikap yang positif, seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, mandiri, dan lainnya. Mahasiswa sebagai insan akademis
yang bermoral Pancasila juga harus terlibat dan berkontribusi langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai
perwujudan sikap tanggung jawab warga negara. Tanggung jawab yang penting berupa sikap menjunjung tinggi moralitas
dan menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Untuk itu, diperlukan penguasaan pengetahuan tentang pengertian
etika, aliran etika, dan pemahaman Pancasila sebagai sistem etika sehingga mahasiswa memiliki keterampilan menganalisis
persoalan-persoalan korupsi dan dekadensi moral dalam kehidupan bangsa Indonesia
Konsep Pancasila sebagai Sistem Etik
• Pengertian Etika Pernahkah Anda mendengar istilah “etika”? Kalaupun
Anda pernah mendengar istilah tersebut, tahukah Anda apa artinya?
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti
ilmu tentang segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan
hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang
maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini,
etika sama maknanya dengan moral
lanjutan
• Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan
tentang etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai
(baik atau buruk). Apakah yang Anda ketahui tentang nilai? Frondizi
menerangkan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real karena
nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan
pengemban untuk beradaMisalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap
dan kepribadian seseorang. Istilah nilai mengandung penggunaan
yang kompleks dan bervariasi
Lacey menjelaskan bahwa paling tidak ada enam pengertian
nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai berikut.
• 1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
• 2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau pemenuhan karakter
untuk kehidupan seseorang.
• 3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang sebagai
pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri. 4. Suatu kriteria
fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik di antara berbagai
kemungkinan tindakan.
• 5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah laku
bagi dirinya dan orang lain.
• 6. Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus
membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang. Objek nilai
mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek yang disucikan, budaya, tradisi,
lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri.
Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
• Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai
berikut.
• Pertama, banyaknya kasus korupsi yang melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
• Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat
toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau
mengancam disintegrasi bangsa.
• Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara, seperti: kasus
penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada 2013 yang lalu.
• Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat
Indonesia.
• Kelima, ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas
bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby. Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya
dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau
sebagai Leading Principle bagi warga negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
Pancasila dalam Etika kepariwisataan

Apa itu kode etik? Terdapat berbagai macam definisi tentang kode etik, beberapa di antaranya adalah:
•Pesan yang hendak disampaikan oleh korporasi untuk membentuk perilaku pegawai melalui
pernyataan-pernyataan eksplisit dari perilaku yang diinginkan (Stevens, 1994);
•Seperangkat prinsip etika yang diekspresikan melalui perintah (L’Tang, 1992);
•Pernyataan dari norma-norma, dan kepercayaan dari sebuah organisasi (McDonald dan Zepp,1989);
•Sebuah usaha untuk mempengaruhi atau mengendalikan dimensi etika dari perilaku anggota
organisasi (Cassell dkk., 1997);
•Sebuah standar secara sistematis dan prinsipil yang menegaskan perilaku etis yang sesuai dengan
sebuah profesi. Standar dan prinsip ditentukan oleh nilai-nilai moral
• Dalam kepariwisataan meskipun kode etik tersebut didesain mengubah perilaku dan cara
pandang pengunjung (wisatawan) dalam namun ada beberapa hal dirasa kurang mengena
dalam konteks kekinian, sehingga penulis mencoba mengusulkan sebuah definisi kode etik
kepariwisataan dengan istilah: “seperangkat aturan berdasarkan norma dan nilai yang
berlaku di sebuah destinasi yang digunakan dalam mengatur dan menggunakan berbagai
sumber daya kepariwisataan secara bertanggung jawab”
lanjutan
• Dalam kepariwisataan meskipun kode etik tersebut didesain
mengubah perilaku dan cara pandang pengunjung (wisatawan) dalam
namun ada beberapa hal dirasa kurang mengena dalam konteks
kekinian, sehingga penulis mencoba mengusulkan sebuah definisi
kode etik kepariwisataan dengan istilah: “seperangkat aturan
berdasarkan norma dan nilai yang berlaku di sebuah destinasi yang
digunakan dalam mengatur dan menggunakan berbagai sumber daya
kepariwisataan secara bertanggung jawab”.
lanjutan

• Kenapa definisi tersebut di atas diusulkan karena selama ini masalah serta dilematika etika kepariwistaan
muncul dari bagaimana para stakeholder kepariwisataan memanfaatkan sumber daya kepariwisatan secara
berlebihan. Hal ini tidak saja berlaku bagi pengusaha, masyarakat lokal tetapi juga oleh wisatawan dalam
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Wisatawan seperti contoh yang terjadi di Ngadha Nusa Tenggara
Timur. Penggunaan sumber daya yang berlebihan (uang) terhadap komunitas lokal terutama pemberian oleh-
oleh menimbulkan konflik di antara masyarakat lokal. Pengunjung yang datang ke Ngadha pada umumnya
seringkali memberi oleh-oleh kepada masyarakat yang sebenarnya tidak sesuai dengan norma adat
masyarakat setempat. Namun seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah ini hal tersebut
menjadi dapat lebih diterima dan hal ini menimbulkan masalah baru karena menjadi kebiasaan di kalangan
anak-anak untuk mengejar “hadiah” karena dianggap sebagai mengemis. Seiring dengan hal-hal tersebut
muncul konflik ketika adat tradisional dipertemukan dengan modernitas. Selain itu juga muncul kritik ketika
rumah-rumah adat dikomersialisasikan (dijual) kepada pengunjung. Menurut kaum wanita Ngadha, menjual
sesuatu kepada orang luar menghilangkan nilai sakral dan status rumah (Cole, 2008). Hal-hal seperti inilah
yang perlu diatur dalam sebuah aturan yang lebih mendetail dalam sebuah kode etik kepariwisataan yang
berlaku di sebuah destinasi pariwisata jika aktivitas kepariwisataan berpotensi menimbulkan konflik sosial
antara masyarakat, serta masyarakat dengan wisatawan.
lanjutan
• Tujuan dibuatnya kode etik kepariwisataan dalam bentuk aturan baku setidaknya dapat
menjembati kesenjangan budaya mungkin saja terdapat antara wisatawan dan
masyarakat yang dikunjungi. Bagi pemerintah dan pengusaha aturan ini berguna dalam
memahami norma serta nilai yang berlaku dalam suatu daerah tertentu agar tidak terjadi
ekses negatif pembangunan kepariwisataan. Tujuan kode etik ini adalah:
• Meletakan nilai dasar moralitas yang berlaku dan dipahami bersama oleh para
stakeholder kepariwisataan
• Membentuk perilaku bertanggung jawab terhadap segala bentuk tindakan yang
berpotensi menimbulkan dampak atau akibat baik secara positif maupun negatif.
• Bagaimana pelaksanaan kode etik ini diterapkan dalam kepariwisataan, Fennell dan
Malloy menyebutkan setidaknya terdapat dua pendekatan yakni pendekatan sukarela
(voluntary mechanism) dan pendekatan berdasakan obligasi (non-voluntary mechanism).
 Fennell dan Malloy menyebutkan setidaknya terdapat dua pendekatan yakni
pendekatan sukarela (voluntary mechanism) dan pendekatan berdasakan obligasi
(non-voluntary mechanism).

1. Voluntary Mechanism
UNWTO (2002) menyebutkan penerapan kode etik secara sukarela sebagai sebagai sebuah inisiatif yang tidak
dilakukan berdasarkan kewajiban hukum, tetapi secara sukarela mengikat diri terhadap sebuah aturan tertentu.
Contoh dari mekanisme penerapan aturan tertentu adalah dengan mengikat diri standar tertentu seperti ISO,
ecolabel, dan sertifikasi bidang tertentu. Hal ini tidak saja mengikat diri dalam sebuah perilaku yang lebih
bertanggung jawab, tetapi juga dapat meningkatkan kredibilitas dan akuntabilitas pihak – pihak yang mengikat
diri secara sukarela pada aturan main tertentu, apalagi standar tersebut telah mendapat pengakuan secara global.
Di Indonesia salah satunya adalah penerapan ISO dan ecolabel pada hotel – hotel besar
2. Non-Voluntary Mechanism
Penarapan berdasarkan obligasi merupakan pendekatan otoritatif dan didesain untuk membatasi dan melarang aktivitas
stakeholder [kepariwisataan] dalam berbagai sektor (Parker, 1999). Penerapan aturan ini adalah hal yang sudah sangat umum di
berbagai negara dimana terdapat kewajiban yang harus dipenuhi baik dari aspek perizinan dan legalitas dalam menjalankan
aktivitas kepariwisataan.

Anda mungkin juga menyukai