Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur ucapkan ke hadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah “PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
UNTUK MEWUJUDKAN KESADARAN PAJAK”. Tidak lupa kami ,emgucapkan
terimakasih kepada Bapak Dosen atas bimbingan dan saran terkait menyelesaikan
makalah, dimana makalah ini dibuat dengan tujuan memberi pengetahuan dan sebagai
bahan acuan pembelajaran.
Penulisan makalah ini didasarkan pada materi-materi yang kami dapat dari buku
Pendidikan Pancasila yang diterbikan oleh Direktora Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia.
Makalah ini membahas tentang pengertian Etika ,aliran-aliran etika,etika
pancasila,urgensi pancasila sebagai system etika, nilai-nilai Pancasila ,pengertian
pajak,rendah kesadaran membayar pajak,jenis-jenis pajakhilangnya kesadaran pajak di
Indonesia, cara mewujudkan kesadaran pajak terhadap masyarakat,mewujudkan
kesadaran pajak melalui nilai-nilai pancasila.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 30 Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indoensia merupakan negara demokrasi yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari
warga negara. Sebagaimana pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar negara,
pandangan hidup bangsa , filsafat bangsa dan sendi kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena
itu sebagai warga negara yang baik, kita harus bisa mematuhi dan mengamalkan nilai-nilai
pancasila.
Di era globalisasi ini,masyarakt hanya tahu pancasila tersebut tanpa mengetahui makna
dari setiap butir-butir pancasila itu. Banyak sekali pelanggaran-pelanggran yang dilakukan
masyarakat Indonesia atas nilai-nilai Pancasila yang menyebabkan tergerusnya nilai-nilai
pancasila tersebut pada saat ini. Salah satu contoh pelanggaran tersebut adalah rendahnya
kesadaran masyarakat terhadap membayar pajak.
Salah satu hak dan kewajiban warga negara adalah membayar pajak. Pajak merupakan
iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi
pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara
langsung. Namun masyarakat masih sangat lalai dalam pembayaran pajak ini,dimana yang
seharusnya menjadi kewajiban setiap warga negara.
Dalam kasus-kasus diatas maka diharapkan adanya tindakan penerapan nilai-nilai
pancasila sebagai system etika dalam mewujudkan kesadaran masyarakat untuk
melaksanakan kewajibannya yaitu membayar pajak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai system etika
2. Apa yang dimaksud dengan kesadaran pajak
3. Bagaimanakah hubungan nilai-nilai pancasila dengan kesadaran pajak
4. Bagaimanakah pengamalan nilai-nilai pancasila dalam mewujudkan kesadaran pajak

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui tentang pancasila sebagai system etika
2. Mengetahui maksud dari kesadaran pajak
3. Mengetahui hubungan antara nilai-nilai pancasila demgan kesadaran pajak
4. Mengetahui cara pengamalan nilai-nilai pancasila dalam mewujudkan kesadaran
pajak

D. MANFAAT PENULISAN
1. Menambah pengetahuan mengenai pancasila sebagai system etika
2. Menambah pengetahuan tentang pajak
3. Menambah pengetahuan tentang hubungan nilai-nilai pancasila dengan kesadaran
pajak serta dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

1. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari bahasa yunani, “Ethos” yang artinya temoat tinggal yang
biasa, padang rumput,kandang,kebiasaan,adat,watak,perasaan, sikap dan cara
berfikir.Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.atika dalam arti luas merupakan ilmu yang
membahas tentang kriteria baik dan buruk. Etika pada umumnya dimegerti sebagai
pemikiran filosofis mengenai sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku
manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang
mengaturnya itu biasa disebut dengan moralitas atau etika.
Etika selalu berkaitan dengan nilai,karena nillai merupakan kualitas yang tidak
real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri dan butuh pengenmban untuk
berada.
Ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum,yaitu :
 Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya
 Suatu kualitas atau tindakan yang berharga,kebaikan,makana atau
pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang
 Suatu kualitas atau tindakan sebagai membentuk identitas seseorang
sebagai pengevaluasian diri,penginterpretasian dan pemebentukan diri
 Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih dalam tindakan
 Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika
bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain
 Suatu “objek nilai” suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang
sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian
seseorang.objek nilai ini mencakup karya seni,teori ilmiah,teknologi,objek
yang disucikan,budaya,tradisi,lembaga,orang lain dan alam itu sendiri
Banyak orang yang menganggap etika dan etiket itu sama,namun dua hal
itu merupakan hal yang sangat berbeda,maka perbedaan antara etika dan etiket
yaitu :

Etika Etiket

Moral Sopan santun

“ethos” “etiquette”

Lebih mengacu ke filsafat moral Lebih mengacu kepada cara yang tepat,yang
diharapkan

Contoh: mencuri Contoh : makan dengan tangan kanan lebih


sopan

2. Alira

Aliran Etika

Ada empat aliran-aliran etika, yaitu :

Aliran Orientasi Watak nilai Keterangan

Etika Keutamaan atau Disiplin,kejujuran,belas Moralitas yang


Keutamaan kebijakan kasih,murah hati didasarkan pada
agma kebanyakan
menganut etika
keutamaan

Teleologis Konsekuensi atau Kebenaran dan kesalahan Aliran etika yang


akibat didasarkan pada tujuan berorientasi pada
akhir konsekuensi atau
hasil seperti:
eudaeominisme,he
donisme,utilliriani
sme.

Deontologis Kewajiban atau Kelayakan,kepatutan,kepa Pandangan etika


keharusan ntasan yang
mementingkan
kewajiban.

3. Etika Pancasila
Etika pancasila merupakan cabang filsafat yang dijabarkan dari sila sila
panacasila untuk mengatur perilu kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan berrnegara
di Indonesia. Oleh karena itu dalam etika pancasila terkandung nilai –nilai
ketuhanan,kemanusiaan,persatuan,kerakyatan dan keadilan.
 Sila ketuhanan mengandung moral berupa nilai spiritualitas yang
mendekatkan diri manusia kepada sang Pencipta.
 Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan
manusia lebih manusiawi
 Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas,rasa
kebersamaan,cinta tanah air
 Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang
lain,mau mendengar pendapat orang lain , tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain.
 Sila keadilan mengandung nilai dimensi peduli nasib orang lain,kesediaan
membantu kesulitan orang lain
Etika pancasila ini lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika
kebajikan, meskipun dua etika lain nya,deontologis dan teleologis termuat pula
didalamnya. Namun etika keutamaan lebih dominan, karena etika pancasila tercermin
dalam empat tabiat saleh yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan dan keadilan.
Kebijaksanaan merupakan melaksanakan suatu kegiatan yang didorong oleh kehendak
yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal-rasa-kehendak yang berupa
kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan memelihara nilai-
nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religious. Kesederhanaan artinya
membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam menghindari penderitaan.
Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri dan manusia
lain,serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya.
(Mudhofir,2009:386)

4. Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika


Pentingnya pancasila sebagai system etika terkait dengan masalah-masalah
yang ada pada bangsa ini.Korupsi merupakan salah satu contohnya, dengan adanya
kasus korupsi yang sangat banyak seperti saat ini dapat melemahkan sendi-sendi
kehidupan bernegara dan berbangsa. Lalu aksi terorisme yang mengatasnamakan
agama sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat
beragama,dan meluluhlantakan semangat perstuan atau mengancam disintegrasi
bangsa. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga merupakan contoh lain kasus
urgensi pancasila sebagai system etika. Selanjutnya kesenjangan antara kelompok
masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia , lalu
ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indoensia, seperti
putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Scha. Banyaknya orang
kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar, seperti kasus penggelapan
pajak oleh perusahaan,kasus panama papers yang menghindari atau mengurangi
pembayaran pajak, ini juga merupakan kasus yang sangat serius yang harus ditangani.
Etika pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat,namun akan
diperlukan lagi kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut
agar tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya korupsi terjadi
lantaran seorang pejabat diberi hadiah oleh seseorang yang memerlukan bantuan atau
jasa si pejabat agar urusannya lancar. Si pejabat menerima hadiah tanpa memikirkan
alasan orang tersebut membrikan hadiah. Demikian pula halnya dengan masyarakat
yang menerima sesuatu dalam konteks politik sehingga dapat dikategorikan sebagai
bentuk suap.

B. KESADARAN PAJAK

1. Pengertian Pajak dan Kesadaran Pajak


Menurut sumber KBBI, kesadaran adalah keadaan mengerti. Sedangkan pajak
adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk
sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan
pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Rakyat yang membayar
pajak tidak akan merasakan manfaat dari pajak secara langsung karena pajak
digunakan untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan
kesadaran pajak adalah suatu kondisi dimana wajib pajak mengetahui, mengakui,
menghargai, dan menaati ketentuan perpajakan yang berlaku serta memiliki
kesungguhan dan keinginan untuk memenuhi kewajiban pajaknya.

Sejumlah ahli telah mengemukakan pengertian pajak dari sudut pandang


keilmuannya masing-masing. Berikut dikemukakan definisi dari empat orang ahli,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.
a) Leroy Beaulieu(1899)
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan
oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja
pemerintah”.
b) P. J. A. Adriani (1949)
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c) Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH (1988)
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi Pajak adalah peralihan kekayaan
dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment.
d) Ray M. Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock (1972)
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan,
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang
langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya
untuk menjalankan pemerintahan.
Atas dasar pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara yang dipungut berdasarkan undang-undang, sehingga dapat
dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung, serta digunakan untuk
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum.

2. Landasan Hukum Kesadaran Pajak


Berikut ini berbagai dasar hukum yang mengatur perpajakan di Indonesia.
a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur
dalam UU No. 6/1983 dan diperbarui oleh UU No. 16/2000.
b) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No.
7/1983 dan diperbarui oleh UU No. 17/2000.
c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan yang diatur
oleh UU No. 8/1983 dan diganti menjadi UU No. 18/2000.
d) Undang-undang penagihan pajak dan surat paksa yang diatur dalam UU
No. 19/1997 dan diganti menjadi UU No. 19/2000.
e) Undang-Undang Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU N0. 14/2002.

3. Jenis-Jenis Pajak
Jenis-jenis pajak di Indonesia dikelompokkan berdasarkan cara pemungutan,
sifat dan lembaga pemungutnya.
a) Cara Pemungutan Pajak
Ditinjau berdasarkan cara pemungutannya., pajak dibedakan menjadi dua
jenis yaitu pajak langsung dan tidak langsung.
Pajak Langsung adalah pajak yang bebannya ditanggung sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Dengan kata lain, proses
pembayaran pajak harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak bersangkutan. Seorang
anak, misalnya, tidak boleh mengalihkan pajak kepada orangtuanya. Begitupun
seorang suami tidak boleh mengalihkan kewajiban pajaknya pada istri.
Sedangkan Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang bebannya dapat
dialihkan kepada pihak lain karena jenis pajak ini tidak memiliki surat ketetapan
pajak. Artinya, pengenaan pajak tidak dilakukan secara berkala melainkan
dikaitkan dengan tindakan perbuatan atas kejadian sehingga pembayaran pajak
dapat diwakilkan kepada pihak lain.
b) Sifat Pemungutan Pajak
Kemudian ada jenis pajak yang digolongkan berdasarkan sifatnya yakni
pajak subjektif dan pajak objektif.
Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada subjeknya sedangkan
pajak objektif berpangkal kepada objeknya.
Suatu pungutan disebut pajak subjektif karena memperhatikan keadaan
diri wajib pajak. Contoh pajak subjektif adalah pajak penghasilan (PPh) yang
memperhatikan tentang kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan
atau uang.
Pajak objektif merupakan pungutan yang memperhatikan nilai dari objek
pajak. Contoh pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari barang
yang dikenakan pajak.
c) Lembaga Pemungut Pajak
Ditinjau dari segi lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi 2
(dua) jenis, yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat yaitu pajak yang
dipungut oleh Pemerintah Pusat, yang terdiri atas:
1) Pajak Penghasilan (PPh)
PPh merupakan pajak yang dibebankan kepada orang pribadi atau
badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.
Penghasilan diartikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
negeri yang dapat digunakan untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2) Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM)
PPN merupakan pajak yang dibebankan atas pembelian Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan,
maupun pemerintah yang membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
akan dikenakan PPN berdasarkan Undang- Undang yang berlaku
Pembelian atas Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat mewah akan
dikenakan PPN dan PPnBM. Adapun barang-barang yang tergolong mewah
adalah sebagai berikut.
 Bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
 Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
 Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi.
 Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status.
 Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
3) Bea Meterai
Pajak Bea Meterai yang dimaksuda adalah pajak yang dibebankan
atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta
kwitansi pembayaran, surat berharga dan efek, yang memuat jumlah uang
atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
4) Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Pertambangan, dan
Perhutanan (PBB Sektor P3)
Pajak Bumi dan Bangunan yang dimaksud adalah pajak yang
dikenakan atas kepemilikan, pemanfaatan dan atau penguasaan atas tanah
dan atau bangunan. Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan atau
bangunan, di mana pengertian bumi dan atau bangunan dijelaskan sebagai
berikut.
“Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam
atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan“.
Sektor pajak PBB dikategorikan dalam 5 kelompok diantaranya
Sektor Pedesaan, Perkotaan, Perkebunan, Pertambangan dan Perhutanan.
Namun, ada perubahan pada kategori sektor tersebut, berdasarkan Undang-
Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD)  mulai 1 Januari 2014, PBB Perdesaan dan Perkotaan (Sektor P2)
telah masuk ke dalam kategori Pajak Daerah. Sedangkan untuk PBB
Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan (Sektor P3) masih tetap
merupakan Pajak Pusat.
5) Pajak Ekspor
Pajak ekspor adalah pajak yang dikenakan pemerintah pada
kegiatan-kegiatan ekspor. Objek pajak ekspor adalah Barang Kena Pajak
(BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).
Umumnya pajak ekspor menyasar kepada JKP, namun beberapa
BKP juga ada yang terkena pajak ekspor. Untuk JKP, pajak ekspor
dikenakan pada setiap penyerahan JKP dari satu pihak kepada pihak lain di
luar daerah pabean. Maksud dari daerah pabean adalah, wilayah Republik
Indonesia (RI) dan beberapa lokasi pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
serta kegiatan pada landasan kontinen. Pajak ekspor ini dibebankan kepada
wajib pajak sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
6) Bea Masuk
Bea masuk adalah bea yang dikenakan terhadap barang-barang
yang dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia dengan maksud untuk
dikonsumsi di dalam negeri. Sementara itu, bea keluar adalah bea yang
dikenakan atas barang-barang yang akan
7) Cukai.
Cukai adalah iuran rakyat atas pemakaian barang-barang tertentu,
seperti minyak tanah, bensin, minuman keras, rokok, atau tembakau.

Bagaimana dengan Pajak Daerah? Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis Pajak Daerah, antara lain:
1) Pajak Provinsi, terdiri atas:
 Pajak Kendaraan Bermotor;
 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
 Pajak Air Permukaan; dan
 Pajak Rokok.
2) Pajak Kabupaten/Kota, terdiri atas:
 Pajak Hotel;
 Pajak Restoran;
 Pajak Hiburan;
 Pajak Reklame;
 Pajak Penerangan Jalan;
 Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
 Pajak Parkir;
 Pajak Air Tanah;
 Pajak Sarang Burung Walet;
 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

4. Fungsi Pajak
a) Fungsi Anggaran
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara
dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan sumber pembiayaan.
Sumber pembiayaan ini salah satunya dapat diperoleh dari penerimaan pajak.
Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara, seperti belanja
barang, belanja pegawai, belanja pemeliharaan, dan lain sebagainya. Di dalam
fungsi anggaran, terdapat fungsi demokrasi, dimana pajak merupakan salah
satu penjelmaan dari sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan rakyat yang
sadar akan baktinya kepada negara. Rakyat memberikan sejumlah
penghasilannya dalam bentuk uang untuk membiayai pengeluaran negara bagi
kepentingan umum. Dengan membayar pajak, rakyat berperan serta dalam
pelaksanaan kehidupan kenegaraan, termasuk kegiatan pemerintahan dan
pembangunan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
b) Fungsi Mengatur
Pemerintah dapat mengatur kebijakan di bidang ekonomi dan sosial
melalui kebijakan fiskal. Dalam menjalankan fungsi mengatur, pajak dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Contohnya, dalam
rangka mendorong penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,
diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka
melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang
tinggi untuk produk luar negeri.
c) Fungsi Stabilisasi
Pajak dapat digunakan untuk menstabilkan kondisi dan keadaan
perekonomian, seperti: untuk mengatasi inflasi, pemerintah menetapkan pajak
yang tinggi, sehingga jumlah uang yang beredar dapat dikurangi. Sedangkan
untuk mengatasi kelesuan ekonomi atau deflasi, pemerintah menurunkan
pajak, sehingga jumlah uang yang beredar dapat ditambah dan deflasi dapat di
atasi.
d) Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya
akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

5. Manfaat Pajak
Bagi negara pajak memiliki manfaat, diantaranya adalah :
a) Pajak digunakan sebagai pengeluaran negara yang bersifat self
liquiditing(yang mampu memberikan keuntungan), seperti pengeluaran untuk
proyek produktif.
b) Pajak untuk pengeluaran reproduktif, seperti pengeluaran yang memberi
keuntungan ekonomi bagi masyarakat,. Contohnya adalah untuk pertanian.
c) Pajak digunakan sebagai pengeluaran yang bersifat self liquiditing dan tidak
produktif seperti untuk pendirian monumen dan tempat rekreasi.
d) Pajak digunakan untuk pengeluaran yang tidak bersifat produktif seperti
pertahanan negara dan perlindungan anak yatim.
Pajak juga bermanfaat bagi masyarakat, diantaranya adalah :
a) Pajak untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, sekolah,
rumah sakit, dan pelayanan publik lain.
b) Pajak untuk memberi subsidi pangan dan bahan bakar minyak
c) Pajak untuk penyediaan layanan transportasi publik
d) Pajak untuk membiayai kelestarian lingkungan hidup
e) Pajak juga dipakai untuk pelaksanaan demokrasi seperti pemilu.
6. Urgensi Pajak
Seperti yang kita ketahui bahwa pajak merupakan salah satu instrumen penting
dalam pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Sejak zaman perumusan
pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia, founding fathers menekankan betapa
pentingnya pajak bagi keberlangsungan suatu negara. Mereka merumuskan kebijakan-
kebijakan yang menyangkut perpajakan pada zamannya demi tegaknya Republik
Indonesia.
Radjiman Wediodiningrat dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengusulkan agar pemungutan pajak diatur
dengan hukum. Landasan usulan Radjiman ini lalu terus dibahas oleh anggota
BPUPKI. Pada 12 Juli 1945 pembahasan tentang pajak ini kemudian mengerucut
dalam pembahasan rapat BPUPKI di bidang keuangan.
Rapat ini teus menggodok perihal rancangan Undang-Undang Dasar. Lalu
pada 14 Juli 1945, kata pajak muncul dalam “Rancangan UUD Kedua” pada Bab VII
Hal Keuangan Pasal 23 dengan bunyi sebagai berikut: “Segala pajak untuk keperluan
Negara berdasarkan undang-undang”. Semenjak itulah pajak terus dibahas dalam
sidang rancangan Undang-Undang Dasar. Pada sidang lanjutan tanggal 16 Juli 1945
bahkan merincikan pajak sebagai sumber penerimaan negara.
Dengan menengok sejarah ini, urgensi pajak bagi pembangunan yang semakin
luntur ditengah masyarakat Indonesia di masa sekarang tentu saja membuat resah.
Masyarakat Indonesia masih banyak yang kurang menyadari betapa penting peran
pajak dalam pembangunan Indonesia yang harus terus berlangsung. Hal ini terjadi
karena mereka kurang memahami bahwa pengertian pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Mereka beranggapan
bahwa di zaman yang serba modern ini, segala sesuatu harus berdampak secara
langsung dan berguna bagi mereka pada saat itu juga. 
Di saat seperti inilah, peran fiskus sangat vital diperlukan, kita sebagai
penggerak utama terciptanya kesadaran pajak bagi masyarakat umum harus dengan
giat mengedukasi masyarakat betapa pentingnya membayar pajak. Bagaimana
caranya? Tidak harus dengan sesuatu yang besar, kita bisa memulai dengan orang-
orang disekitar kita dan melalui gerakan kecil namun dapat memberi dampak besar.
Kita dapat menyisipkan edukasi perpajakan di berbagai sektor kehidupan. Tentu saja
hal ini tidak bisa berdampak secara langsung, namun dengan adanya edukasi ini
diharapkan masyarakat dapat memahami fungsi dan manfaat pajak lebih jauh
sehingga timbul kesadaran membayar pajak.
Edukasi perpajakan harus dilakukan kepada generasi muda agar tumbuh
kesadaran pentingnya pajak dalam diri mereka sehingga mereka dapat memberi
pengaruh positif kepada orang-orang di sekitar mereka tentang urgensi membayar
pajak. Bung Karno pernah berkata, "Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut
semeru dari akarnya, beri Aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!" Dari
kata-kata Bung Karno tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa generasi muda
mempunyai peran vital dalam keberlangsungan Negara Republik Indonesia. Para
pemuda ialah generasi yang nantinya akan membawa Bangsa Indonesia di masa
depan, menjadi pemimpin, dan penggerak perekonomian bangsa.
Dengan mengenalkan urgensi pajak kepada para pemuda, secara tidak
langsung Direktorat Jenderal Pajak telah berinvestasi, menumbuhkan bibit-bibit baru
yang dapat mengajak masyarakat luas sadar akan urgensi pajak bagi pembangunan
Republik Indonesia. Salah satu langkah tepat yang telah dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak dalam upaya mengedukasi generasi muda ialah melalui program Tax
Goes to School dan Tax Goes To Campus. KPP Pratama sebagai unit kerja di bawah
Direktorat Jenderal Pajak di setiap wilayah harus bersinergi mengadakan kegiatan Tax
Goes to School dan Tax Goes To Campus yang diharapkan dapat memberikan
dampak positif terhadap pemahaman pajak bagi mahasiwa dan siswa-siswi usia
sekolah.

C. MENINGKATKAN KESADARAN PAJAK


Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian Direktorat Jenderal Pajak dalam
membangun kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib Pajak antara lain:
a)  Melakukan sosialisasi
Sebagaimana dinyatakan Dirjen Pajak bahwa kesadaran membayar
pajak datangnya dari diri sendiri, maka menanamkan pengertian dan
pemahaman tentang pajak bisa diawali dari lingkungan keluarga sendiri yang
terdekat, melebar kepada tetangga, lalu dalam forum-forum tertentu dan
ormas-ormas tertentu melalui sosialisasi.
Dengan tingginya intensitas informasi yang diterima oleh
masyarakat, maka dapat secara perlahan merubah mindset masyarakat
tentang pajak ke arah yang positif.
b) Memberikan kemudahan dalam segala hal pemenuhan kewajiban
perpajakan dan meningkatkan mutu pelayanan kepada wajib pajak.
Jika pelayanan tidak beres atau kurang memuaskan maka akan
menimbulkan keengganan Wajib Pajak melangkah ke kantor Pelayanan
Pajak. Pelayanan sebagai wajah DJP harus mencitrakan sebuah keramahan,
keanggunan dan kenyamanan. Pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang
dapat menciptakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
wajib pajak. Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat
memberikan kepuasan kepada Wajib Pajak dan tetap dalam batas memenuhi
standar pelayanan yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan
secara konsisten dan kontinyu. DJP harus terus menerus meningkatkan
efisiensi administrasi dengan menerapkan sistem dan administrasi yang
handal dan pemanfaatan teknologi yang tepat guna. Pelayanan berbasis
komputerisasi merupakan salah satu upaya dalam penggunaan Teknologi
Informasi yang tepat untuk memudahkan pelayanan terhadap Wajib Pajak. 
c) Meningkatkan citra Good Governance
Dengan memliki citra good governance dapat menimbulkan adanya
rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat wajib pajak,  sehingga
kegiatan pembayaran pajak akan  menjadi sebuah  kebutuhan dan kerelaan,
bukan suatu kewajiban.  Dengan demikian  tercipta pola hubungan antara
negara dan masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban yang dilandasi
dengan rasa saling percaya. 
d) Memberikan pengetahuan melalui jalur pendidikan khususnya pendidikan
perpajakan
Melalui pendidikan diharapkan dapat mendorong individu kearah
yang positif dan mampu menghasilkan pola pikir yang positif yang
selanjutnya akan dapat memberikan pengaruh positif sebagai pendorong
untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Mungkin suatu ide
mendirikan sekolah khusus di bidang perpajakan bisa diwujudkan guna
mencetak tenaga ahli dan trampil di bidang perpajakan.
e) Law Enforcement
Dengan penegakan hukum yang benar tanpa pandang bulu akan
memberikan deterent efect yang efektif sehingga meningkatkan kesadaran
dan kepedulian sukarela Wajib Pajak. Walaupun DJP berwenang melakukan
pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan, namun pemeriksaan harus dapat dipertanggung jawabkan dan
bersih dari intervensi apapun sehingga tidak mengaburkan makna penegakan
hukum serta dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat wajib pajak.
f) Membangun trust atau kepercayaan masyarakat terhadap pajak
Akibat kasus Gayus kepercayaan masyarakat terhadap Ditjen Pajak
menurun sehingga upaya penghimpunan pajak tidak optimal. Atas kasus
seperti Gayus itu para aparat perpajakan seharusnya dapat merespon dan
menjelaskan dengan tegas bahwa jika masyarakat mendapatkan informasi
bahwa ada korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, jangan hanya
memandang informasi ini dari sudut yang sempit saja. Jika tidak segera
dijelaskan maka masyarakat kemudian bersikap resistance dan enggan
membayar pajak karena beranggapan bahwa pajak yang dibayarkannya
paling-paling hanya akan dikorupsi. 
g) Merealisasikan program Sensus Perpajakan Nasional
Mengadakan sensus perpajakan nasional akan menjaring potensi
pajak yang belum tergali. Dengan program sensus ini diharapkan seluruh
masyarakat mengetahui dan memahami masalah perpajakan serta sekaligus
dapat membangkitkan kesadaran dan kepedulian, sukarela menjadi Wajib
Pajak dan membayar Pajak.

Anda mungkin juga menyukai