Anda di halaman 1dari 24

Hajar: Tanggung Gugat 361

TANGGUNG GUGAT PRINSIPAL


DALAM PERJANJIAN KEAGENAN LPG

Hajar
hajar_hajar@gmail.com

Pengamat Hukum

Abstract
Agency services is a business entity that is the link between producers and consumers are
embodied in an agency agreement. In practice, the agency agreement is often equated with
the distributor agreement, but they have different characteristics, in particular in terms of
accountability of principal. However, in practice it is often found inconsistencies between
titles agreement with klasula-existing clauses in the agreement. This is clearly detrimental to
the community and or agents / distributors who want to hold against the principal. Agency
agreements LPG (Liquified Petroleum Gas) between PT. Pertamina (Persero) and PT. Gala
Prima legally an accountability agreement that the principal distributor in the agreement only
applies to the distributors only. If consumers want to file a lawsuit, the complaint submitted to
the distributor, not the principal.

Keywords: accountability, the agency agreement, the distributor, the principal

Abstrak
Jasa keagenan adalah suatu entitas bisnis yang menjadi penghubung antara produsen dan
kJasa keagenan adalah suatu entitas bisnis yang menjadi penghubung antara produsen dan
konsumen yang diwujudkan dalam suatu perjanjian keagenan. Dalam praktiknya, perjanjian
keagenan kerap dipersamakan dengan perjanjian distributor, padahal keduanya memiliki
karakteristik yang berbeda, khususnya dalam hal tanggung gugat prinsipal.. Namun, dalam
praktiknya justru kerap dijumpai inkonsistensi antara judul perjanjian dengan klasula-
klausula yang ada di dalam perjanjian tersebut. Hal ini jelas merugikan masyarakat dan atau
agen/ distributor yang hendak meminta pertanggungjawaban terhadap prinsipal. Perjanjian
Keagenan LPG (Liquified Petroleum Gas) Antara PT. Pertamina (Persero) dan PT. Gala Prima
secara yuridis merupakan perjanjian distributor sehingga tanggung gugat prinsipal dalam
perjanjian tersebut hanya berlaku terhadap distributornya saja. Apabila konsumen hendak
mengajukan gugatan, maka gugatannya diajukan kepada distributor, bukan kepada prinsipal.

Kata kunci: tanggung gugat, perjanjian keagenan, distributor, prinsipal


362 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

Pendahuluan
Di era globalisasi, kedudukan dan fungsi keagenan memainkan peranan yang strategis
dan signifikan dalam menjembatani kebutuhan pelaku usaha di satu sisi dengan kebutuhan
konsumen di sisi lain. Pelaku usaha membutuhkan pengembangan usaha untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya sehingga keberadaan keagenan dapat memperluas pangsa pasar
pelaku usaha hingga ke pelosok daerah dan di sisi lain konsumen-konsumen yang berada di
wilayah pelosok juga dengan mudah mendapatkan barang yang dibutuhkannya dengan adanya
keagenan. Dengan demikian, peran utama jasa keagenan ialah melakukan perbuatan hukum
bagi pihak lain yang memberi perintah (prinsipal) dan terhadap akibat hukum dari perbuatan
hukum tersebut menjadi tanggung jawab dari prinsipal.1
Keberadaan agen dan prinsipal dalam dunia usaha memiliki hubungan simbiose
mutualisma, yaitu hubungan yang saling membutuhkan. Prinsipal membutuhkan jasa
keagenan karena beberapa sebab, misalnya: (i) prinsipal tidak menguasai area pemasaran
untuk memasarkan barang dan/ atau jasanya; (ii) prinsipal terlalu sibuk dengan pekerjaan
pokoknya sehingga harus melakukan pendelegasian pekerjaannya; atau (iii) prinsipal
membutuhkan pihak lain yang memiliki koneksi atau hubungan bisnis serta jaringan
pemasaran yang luas sehingga sasaran dan target pemasaran barang dan/ atau jasanya segera
terealisasi.2 Sementara di sisi lain, jasa keagenan secara otomatis tumbuh karena dibutuhkan
oleh pelaku usaha, yang memiliki hambatan penguasaan teritorial, koneksi, dan
kesibukannya, sehingga perlu pendelegasian pekerjaan.
Terdapat sedikitnya lima manfaat (utility) dari jasa keagenan, yaitu:3 (i) time utility
(manfaat penggunaan waktu); (ii) place utility (manfaat penggunaan tempat); (iii) quantity
utility (manfaat peningkatan volume produksi); (iv) assortment utility (berguna bagi
konsumen untuk memilih jenis dan kualitas barang secara lebih selektif); (v) possession
utility (jaminan bagi produsen terhadap kepemilikan barangnya dan pendapatan yang pasti
atas penjualan barangnya). Keagenan ini seringkali dipersamakan dengan distributorship,
secara umum keduanya memang memiliki persamaan yaitu adanya pihak lain yang berfungsi
sebagai middlemen. Namun, jika ditelaah berdasarkan konsep keagenan dan konsep
distributorship, akan terlihat jelas bahwa keduanya memiliki konsep dan karakter yang
berbeda satu sama lain. Karakter dari konsep distributorship adalah:4 1) membeli dan menjual
barang untuk diri sendiri berdasarkan tanggung jawab dan risiko sendiri; 2) memperoleh
keuntungan berdasarkan margin harga jual dan harga beli; 3) semua biaya yang dikeluarkan
merupakan beban tanggung jawab sendiri; 4) sistem manajemen dan akuntansi keuangan
bersifat otonom.
1
I Ketut Oka Setiawan, Lembaga Keagenan: dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, Ind
Hill Co., Bandung, 1996, h. 22-23.
2
Levi Lana, “Problematika Hukum Dalam Jasa Keagenan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 13, April 2001.
3
J.Soedradjad Djiwandono, “Perlindungan Hukum Bagi Keagenan Tunggal Di Indonesia”, sebagaimana
dikutip dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 25 - No. 1, Tahun 2006, h. 46.
4
Nathan Weinstock, dalam Dennis Campbell dan Reinhard Proksch, Internasional Business
Kluwer 1988, Page A-5, sebagaimana dikutip dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 25 - No. 1, 2006, h. 46.
Transactions,
Hajar: Tanggung Gugat 363

Berdasarkan uraian karakter konsep distributorship tersebut, jelas bahwa dalam konsep
distributorship, distributor dan produsen memiliki hubungan hukum yang didasarkan atas
perjanjian jual beli sehingga tanggung jawab dan resiko yang timbul ditanggung oleh
distributor sendiri. Lain halnya dengan konsep perjanjian keagenan, Pasal 1792 BW
menyatakan bahwa “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan”. Pasal 1792 BW tersebut dianggap sebagai ketentuan
umum (lex generalis) yang mengakomodasi dasar hukum hubungan keagenan. Lembaga
keagenan dalam pengertian yang lebih luas mencakup lembaga perwakilan, sehingga agen
dapat juga disebut wakil yang merepresentasikan kehadiran orang yang memberi perintah.5
Menurut Asikin konsep pemberian kuasa dan pemberian tugas adalah sama, karena keduanya
mengandung kewajiban bahwa pihak yang menerima tugas (opdracht) wajib melakukan tugas
tersebut.6
Namun, pada dasarnya pemberian kuasa mengandung hal-hal khusus yang tidak
terdapat dalam pemberian jasa keagenan, yaitu: (i) dilakukan dengan upah atau tanpa upah
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1794 BW; (ii) bersifat sepihak sehingga dapat
dibatalkan secara sepihak pula sebagaimana diatur dala Pasal 1813 BW; (iii) pemberian kuasa
yang baru mengakibatkan batalnya surat kuasa yang lama sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1816 BW; dan (iv) penerima kuasa bertanggungjawab atas segala kerugian akibat tidak
dilaksanakannya pemberian kuasa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1800 BW. Sedangkan
hubungan keagenan adalah hubungan kontraktual sehingga tidak ada tempat bagi tindakan-
tindakan universal dari pihak pemberi jasa keagenan. Selain itu, hubungan keagenan adalah
hubungan bisnis dan komersial sehingga kewajiban membayar upah dan hak menerima upah
adalah elemen penting dalam perjanjian keagenan. Sehingga pemberian jasa keagenan
memiliki cakupan yang lebih luas daripada pemberian kuasa, karena hubungan kontraktual
dalam jasa keagenan yang mengandung asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 BW yang memungkinkan para pihak dalam perjanjian
keagenan untuk mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang mengikat para pihak
tersebut. Sementara itu, pemberian kuasa merupakan perbuatan hukum sepihak sudah
memiliki landasan hukum formal yang berlaku umum dan mengikat serta tidak memiliki
ruang yang bersifat konsensual. Dengan demikian, apabila merujuk pada penggolongan jenis
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1319 BW, maka perjanjian keagenan merupakan
perjanjian tidak bernama (innominaat) karena belum dikenal dalam BW namun timbul,
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sedangkan perjanjian pemberian kuasa
merupakan perjanjian bernama (nominaat) karena dikenal dalam BW.7 Inilah yang
membedakan antara pemberian kuasa dengan pemberian jasa keagenan. Untuk menilai suatu
5
Z. Asikin
pemberian jasa Kusumah
dianggapArmadja,
sebagai“Lembaga Keagenan sedikitnya
jasa keagenan, di Indonesia”,harus
Hukummemenuhi
dan Pembangunan, No.1 Ta-
hun Ke XIX, Februari 1989.
6
Ibid.
7
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisi, Yogyakarta, 2000, h. 42.
364 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

secara kumulatif empat kualifikasi, yakni:8 i) perbuatan hukum yang dilakukan adalah atas
perintah prinsipal dan atas risiko dan tanggung jawab principal; ii) keuntungan diperoleh
berdasarkan perhitungan komisi (commission); iii) semua biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan suatu perbuatan hukum dapat dimintakan pembayaran kembali (reimbursement)
kepada principal; dan iv) prinsipal dapat menagih secara langsung hasil dari perbuatan hukum
yang dilakukan agen.
Salah satu pelaku usaha yang menerapkan jasa keagenan dalam pelaksanaan bisnisnya
adalah PT. Pertamina. PT. Pertamina (Persero) merupakan badan usaha milik negara yang
bergerak di bidang pengelolaan penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Produk
yang dihasilkan pertamina berupa bahan bakar minyak, bahan bakar khusus, bahan bakar
subsidi, non BBM, gas, petrokimia, dan pelumas. Salah satu produk gas yang dihasilkan PT.
Pertamina (Persero) adalah LPG (Liquified Petroleum Gas). LPG merupakan salah satu
produk PT. Pertamina (PT. Persero) yang banyak digunakan oleh masyarakat luas.
Penggunaan LPG yang umum di Indonesia adalah sebagai bahan bakar alat dapur (terutama
kompor gas).
Oleh karena permintaan LPG yang sangat tinggi dari masyarakat, tentunya PT.
Pertamina (Persero) sebagai badan usaha milik negara dituntut untuk dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat akan LPG di seluruh Indonesia. Salah satu cara untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan LPG yaitu melalui strategi pemasaran. Salah satu strategi
pemasaran yang paling umum dilakukan oleh perusahaan dalam rangka memperluas
distribusi dan pemasaran adalah melalui perjanjian keagenan atau perjanjian distribusi, hal ini
dikarenakan salah satu fungsi adanya agen berkaitan dengan jaringan pemasaran yang luas
sehingga sasaran dan target pemasaran barang segera terealisasi. Atas dasar itu pula PT.
Pertamina (Persero) mengadakan perjanjian keagenan dengan PT. Gala Prima yaitu dalam
rangka memperluas distribusi dan pemasaran LPG kepada masyarakat di Indonesia.

Hubungan Hukum Antara Agen dengan Prinsipal dalam Perjanjian Keagenan


Perjanjian keagenan merupakan salah satu bentuk perjanjian tidak bernama, yaitu
perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam BW dan KUHD. Meskipun terkandung
aspek “perwakilan”, perjanjian keagenan tidak sepenuhnya sama dengan perjanjian
pemberian kuasa (lastgeving)9 sebagai bentuk perjanjian khusus yang diatur dalam BW
maupun makelar dan komisioner sebagai pranata pedagang perantara sebagaimana diatur
dalam KUHD. Perjanjian Keagenan (agency) yang sekarang banyak digunakan disamping
mengadung sifat-sifat pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 BW dan sifat-
sifat makelar sebagaimana diatur dalam Pasal 63 KUHD serta komisioner sebagaimana diatur
dalam Pasal 79 ayat (1) KUHD, terdapat pula di dalamnya sifat-sifat agensi sebagaimana
8
Nathan Weinstock, dalam Dennis Campbell dan Reinhard Proksch, Op.Cit., p. A-5.
yang9 terdapat dalam sistem
Pada dasarnya, BW tidak mengatur tentang keagenan, namun beberapa penulis sepakat bahwa Pasal
1792 BW yang mengatur mengenai pemberian kuasa merupakan ketentuan umum (lex generalis) yang
men- gakomodir dasar hukum hubungan keagenan. Lihat: I Ketut Oka Setaiwan, Op.Cit., h. 16.
Hajar: Tanggung Gugat 365

hukum common law. Walaupun perjanjian keagenan memiliki sifat-sifat dari pemberian kuasa,
namun terdapat kekhususan dari perjanjian keagenan, yakni: 1) agen dilakukan dengan upah,
sedangkan pemberian kuasa tidak selalu dengan upah; 2) pemberian kuasa lebih bebas dari
keagenan karena dapat dilakukan dengan hak substitusi atau tidak dan tanggungjawabnya
bergantung pada ada atau tidaknya hak tersebut; dan 3) agen sangat dipengaruhi oleh
prinsipal, sedangkan dalam pemberian kuasa tidak demikian.10 Begitu pula dengan perjanjian
keagenan apabila dibandingkan dengan komisioner dan makelar, maka: 1) agen lahir dari
penunjukkan prinsipal atau melalui persetujuan para pihak, sedangkan komisioner dan
makelar terjadi dari perbuatan sepihak ditambah dengan campur tangan pemerintah dalam
pengangkatannya; dan
2) agen dapat bertindak atas nama prinsipalnya dan dapat pula bertindak atas namanya sendiri
yang dikenal dengan ajaran “undisclosed principal”, sedangkan penerima kuasa harus
bertindak atas nama prinsipalnya.11
Perjanjian keagenan lahir dari adanya asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan
berkontrak yang secara implisit dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) BW, yaitu: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” yang memungkinkan para pihak menciptakan hubungan hukum baru. Makna
asas kebebasan berkontrak antara lain bahwa adalah kebebasan dalam menentukan isi dan
bentuk perjanjian. Namun, asas kebebasan berkontrak tidak serta merta memberikan
kebebasan mutlak bagi para pihak, namun kebebasan tersebut masih dibatasi hal-hal tertentu.
Dalam hal bentuk, terdapat pembatasan untuk perjanjian-perjanjian tertentu dalam arti harus
dipenuhi syarat-syarat tertentu agar sah. Dalam perjanjian formal, perjanjian harus dibuat
secara tertulis, misalnya pembuatan perjanjian polis asuransi yang diatur dalam Pasal 258
KUHD, karenanya harus dibuat dalam bentuk tertentu, cukup dengan akta di bawah tangan.
Bilamana ternyata dibuat dengan lisan, sehingga syarat bentuk tidak terpenuhi, dengan
sendirinya perjanjian yang telah ditutup menjadi batal. Perjanjian riil juga merupakan
pembatasan kebebasan berkontrak dalam hal bentuk. Di sini diisyaratkan adanya penyerahan
benda yang menjadi objek perjanjian. Selama penyerahan belum dilakukan perjanjian belum
sah, misalnya perjanjian penitipan Pasal 1694 BW.12
Begitu pula dalam menentukan isi perjanjian, terdapat pembatasan isi perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 BW yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.” Dengan demikian kebebasan para pihak dalam menentukan isi perjanjian
dibatasi oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Rutten menyatakan bahwa
10
Hal ini merupakan salah satu faktor esensial dari agency menurut hukum Inggris, “subject to the
of the
control
principal”. Lihat: R. Subekti, Op.Cit., h. 158.
11
“Majikan yang tidak diumumkan”. Lihat: Ibid, h. 160.
12
Dalam dunia bisnis, pengangkatan atau penunjukan agen dapat dilakukan oleh prinsipal pada umum-
nya secara tertulis, sekalipun secara lisan tidak dilarang. Lihat: Felix Oentoeng Soebagijo, Beberapa Aspek
Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi, dalam Hukum ekonomi, Penyunting Soemantoro, UI Press,
Jakarta, 1996, h. 243.
366 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

pentingnya causa/ sebab (yang diperbolehkan) adalah memberikan kepada hakim suatu sarana
untuk melindungi kepentingan para pihak atau pihak ketiga yaitu dengan menguji keabsahan
perjanjian dengan melihat apakah terdapat atau tidak causa di dalamnya. Atas dasar itu,
seorang hakim, karena jabatannya berwenang menyatakan batalnya suatu perjanjian bila tidak
dipenuhi syarat causa atau membatasi syarat-syarat dalam perjanjian sepanjang causa
terlarang.
Pada intinya, batas kebebasan berkontrak adalah masalah itikad baik. Dalam Pasal
1338 ayat (3) BW menyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Itikad baik adalah bahwa para pihak wajib saling berbuat secara layak dan patut satu dengan
yang lain. Dalam hukum Romawi itikad baik disebut “bona fides” artinya kedua belah pihak
harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti yang patut di antara orang-orang yang
sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan mengganggu pihak lain, tidak
dengan melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga melihat kepentingan pihak lain.13
Secara khusus, belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perjanjian keagenan, namun eksistensi perjanjian keagenan di Indonesia diakui
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dari diundangkannya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968) yang diikuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha
Asing dalam Bidang Perdagangan (PP No. 36/1997) sebagai peraturan pelaksananya.
Pasal 7 PP No. 36/1997 menentukan bahwa perusahaan asing yang telah berakhir
masa kegiatannya dapat terus melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan
perdagangan nasional sebagai penyalur atau agen dengan membuat surat perjanjian. 14 Selain
itu, terdapat beberapa departemen teknis, seperti Departemen Perdagangan dan Perindustrian
yang mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang keagenan, antara lain Surat
Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/KP/III/78 tanggal 9 Maret 1978, Keputusan
Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7/1982 tentang Keagenan Tunggal, Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 11/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/ atau Jasa.
13
Y. Sogar Simamora, Op.Cit., h. 72.
14
PP No. 36/1997 sendiri telah mengalami empat kali perubahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor
19 1988 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran
Tahun
Keg- iatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan (PP No. 19/1998), dimana PP No. 19/1998 tersebut
kemudian dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan
Sebagaimana Telah Diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1988, dan kemudian diubah
kembali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1996,
serta perubahan terakhir me- lalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang
Perdagangan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1997 (PP No. 36/1997 jis. PP No. 19/1998 jis. PP No. 35/1996 jis. PP No. 41/1997 jis. PP No.
15/1998). Lihat: Peni Rinda Listyawati, “Lembaga Keagenan (Upaya Menata Perantara Dagang Secara
Profesional”, Jurnal Hukum Vol. XIV No. 2 (Oktober 2004), h. 267.
Hajar: Tanggung Gugat 367

Dengan demikian, ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam BW,


beberapa ketentuan mengenai pemberian kuasa dalam BW dan beberapa ketentuan mengenai
makelar dan komisioner dalam KUHD, serta UU No. 6/1968, PP No. 36/1997 jis. PP No.
19/1998 jis. PP No. 35/1996 jis. PP No. 41/1997 jis. PP No. 15/1998 dan peraturan
perundang-undangan teknis lain yang mengatur mengenai keagenan merupakan bagian dari
aturan yang membatasi kebebasan berkontrak yang dilakukan oleh para pihak dalam
pembentukan perjanjian keagenan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perjanjian
keagenan lahir dengan ciri dan karakteristik sebagai berikut: 1) Agen akan menjual barang
dan/ atau jasa atas nama prinsipal, dimana dalam melakukan transaksi dengan pihak ketiga,
agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal;15 2) Prinsipal akan bertanggungjawab atas
tindakan yang dilakukan agen, sepanjang tindakan tersebut sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh prinsipal kepada agen; 3) Agen mendapatkan pendapatan berupa komisi dari
hasil penjualan berupa barang dan/ atau jasa kepada konsumen; 4) Barang-barang yang akan
dijual ke konsumen tetap menjadi milik prinsipal dan dikirim langsung dari prinsipal ke
konsumen; 5) Pembayaran harga barang langsung dilakukan dari konsumen kepada prinsipal
tanpa melalui agen.16 Dari karakteristik tersebut, terlihat bahwa dalam perjanjian keagenan,
berlaku beberapa ketentuan mengenai pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam BW dan
beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner sebagaimana diatur dalam KUHD,
serta peraturan perundang-undangan khusus lainnya.
Definisi agen dalam perjanjian keagenan sendiri adalah orang yang diberi kuasa oleh
orang lain yang disebut prinsipal, untuk mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas
nama prinsipal, dengan mendapatkan imbalan jasa. Dalam Black’s Law Dictionary, “agency is
a fiduciary relationship created by express or implied contract or by law in which one party
(the agent) may act on behalf of another party (the principal) and bind that other party by
words or actions”,17 sehingga hubungan antara principal dengan agen adalah fiduciary
relationship, dimana prinsipal mengijinkan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, dan
agen tersebut berada di bawah pengawasan prinsipal.18 Dengan kata lain, agen merupakan
seseorang yang melakukan suatu perbuatan hukum dan menciptakan akibat hukum untuk
kepentingan orang lain.19 Sedangkan yang dimaksud dengan Prinsipal adalah pihak yang
memberi perintah untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dari pengertian di atas dapat kita
lihat bahwa dalam keagenan terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu pihak yang memberi perintah/kuasa
untuk melakukan perbuatan hukum disebut prinsipal; pihak yang diberi perintah/kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum disebut agen; dan pihak yang dihubungi oleh agen dengan
siapa transaksi diselenggarakan,
15
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, h. 43-44.
16
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum
jianPerjan-
Keagenan dan Distributor, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994, h. 10.
17
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paull Minn, West Publishing, 1999, p. 1322.
18
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, h. 41.
19
R. Subekti, Op.Cit., h. 158.
368 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

disebut sebagai pihak ketiga.


Perjanjian dengan pihak ketiga ini dibuat oleh agen untuk dan atas nama prinsipal
berdasarkan pemberian wewenang/ kuasa dari prinsipalnya. Prinsipal akan bertanggung jawab
atas tindakan-tindakan yang dilakukan agen sepanjang tindakan-tindakan tersebut dilakukan
dalam batas-batas kewenangan yang diberikan. Dengan perkataan lain, apabila seseorang
agen dalam bertindak melampaui batas wewenangnya maka ia yang bertangung jawab secara
sendiri-sendiri atas tindakan tersebut.20 Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka
agen tidak melakukan pembelian dari prinsipalnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
1797 dan Pasal 1801 BW.21
Perbedaan fungsi spesifik antara agen dan distributor adalah agen merupakan
perusahaan yang menjual barang atau jasa untuk dan atas nama prinsipal; pendapatan yang
diterima adalah atas hasil dari barang-barang atau jasa yang dijual kepada konsumen berupa
komisi dari hasil penjualan; barang dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen jika
antara agen dengan konsumen mencapai suatu persetujuan; dan pembayaran atas barang yang
diterima oleh konsumen langsung kepada prinsipal bukan melalui agen. Sedangkan
distributor adalah perusahaan yang bertindak untuk dan atas nama sendiri; membeli dari
prinsipal/produsen dan menjual kembali kepada konsumen untuk kepentingan sendiri,
pendapatan yang diterima adalah keuntungan; prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen
akhir dari produk-produknya; bertanggung jawab atas keamanan pembayaran barang-
barangnya untuk kepentingannya sendiri.
Dari uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa agen dalam melakukan perbuatan
hukum dengan pihak ketiga, kedudukannya adalah merupakan kuasa prinsipal (in the name of
principal). Agen bukan karyawan prinsipal. Perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan
dengan transaksi perdagangan yang harus dilakukan oleh agen untuk prinsipalnya diatur
dalam perjanjian keagenan yang dibuat antara agen dengan prinsipal. Biasanya agen diberi
kuasa dan wewenang untuk melakukan penjualan dan promosi barang-barang prinsipal.
Perjanjian keagenan yang mengatur hubungan keagenan dengan prinsipal tidak diatur
secara khusus dalam BW. Oleh sebab itu ketentuan-ketentuan perjanjian pada umumnya yang
bersifat memaksa dalam BW berlaku pula untuk perjanjian keagenan. Menurut ketentuan
perundang-undangan, terhadap perjanjian keagenan akan diberlakukan ketentuan-ketentuan
yang menyangkut pemberian kuasa (volmacht) yang merupakan bagian dari lastgeving
(pemberian kuasa) ditambah dengan beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner
dan peraturan- peraturan khusus yang dikeluarkan oleh beberapa departemen teknis. 22
Hubungan keagenan adalah hubungan perwakilan karena apa yang dilakukan oleh agen
merupakan representasi dari apa yang hendak dilakukan oleh prinsipal. Karakteristik
hubungan tersebut menimbulkan
20
Y. Sogar Simamora, Op.Cit., h. 74.
21
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op.Cit., h. 24-25.
22
R. Subekti, Op. Cit., h. 162.
Hajar: Tanggung Gugat 369

konsekuensi hukum bahwa apa yang menjadi hak agen di satu sisi akan menjadi kewajiban
prinsipal di sisi lain, dan apa yang menjadi kewajiban agen secara otomatis pula akan menjadi
hak prinsipal pada ujung yang lain. Agen dalam kegiatannya bertindak mewakili prinsipalnya
berdasarkan pemberian kuasa maka hubungan antara agen dengan prinsipal, sifatnya tidak
seperti hubungan antara majikan dengan buruh. Dalam perjanjian perburuhan, yang penting
adalah penyediaan tenaga kerja semata-mata untuk memperoleh upah, disamping itu tedapat
kedudukan buruh yang lebih rendah dari majikan, dimana hal demikian itu tidak dijumpai
pada hubungan antara agen dan prinsipal.Agen dan prinsipal ada pada posisi yang setingkat,
sedang populernyanya dapat dikatakan “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”.
Agen bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya menjual barang dan atau
jasa tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama prinsipal. 23 Agen dalam hal ini berkedudukan
sebagai perantara. Jika agen mangadakan transaksi (negosiasi) dengan konsumen/pihak ketiga
maka barang dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen. Pembayaran atas barang
yang telah diterima oleh konsumen langsung kepada prinsipal bukan melalui agen, sedangkan
pembayaran kepada agen berupa komisi dari hasil penjualannya. Hak-hak dan kewajiban agen
dituang dalam perjanjian keagenan yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Hak-hak agen sehubungan dengan jasa keagenan adalah (i) hak atas komisi, (ii) hak
untuk meminta pembayaran kembali (reimbursement) dari prinsipal, dan (iii) hak untuk
dibebaskan dari segala tanggung jawab hukum. Hak untuk menerima komisi dari prinsipal
atas jasa-jasa yang diberikan oleh agen adalah hak yang melekat dalam praktik bisnis jasa
keagenan. Oleh karena hubungan bisnis keagenan didasarkan pada perjanjian, maka pada
umumnya komisi yang menjadi hak agen ditentukan secara eksplisit dalam perjanjian
keagenan. Jika tidak ditentukan dalam perjanjian keagenan, maka hakim dapat menetapkan
besarnya komisi bagi agen yang telah melakukan kegiatan bisnis keagenan. Selain itu, agen
berhak pula untuk meminta pembayaran kembali (reimbursement) semua biaya dan
pengeluaran-pengeluaran yang ia lakukan sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan
keagenan untuk kepentingan prinsipal.
Hak atas komisi bagi agen, melekat pula hak retensi (lien) bagi agen untuk menahan
barang-barang bergerak milik prinsipal yang masih berada di tangan agen selama prinsipal
belum membayar komisi kepada agen tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1812
BW, dimana apabila dalam jangka waktu tertentu prinsipal masih belum melakukan
pembayaran, maka barang-barang bergerak tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan
untuk dilelang yang hasil pelelangannya dapat digunakan untuk membayar komisi kepada
agen. Hak agen untuk dibebaskan dari segala tanggungjawab hukum (the right to indemnity)
hanya mencakup semua tindakan-tindakan agen yang termasuk dalam ruang lingkup
kewenangan yang diatur dalam perjanjian keagenan. Oleh karena posisi agen dipahami
sebagai wakil dari prinsipal, yang memiliki hak untuk dibebaskan dari segala tindakan
hukum, maka agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, perlu diatur secara terinci dan
spesifik Abdulkadir Muhammad,
saja Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.
23
hak-hak apa
43.
370 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

yang diserahkan kepada agen di dalam perjanjian keagenan.


Kewajiban-kewajiban agen pada prinsipnya dapat ditentukan secara tersurat oleh para
pihak (prinsipal dan agen) dalam perjanjian keagenan. Namun demikian ada kewajiban-
kewajiban yang mungkin tidak diatur dalam perjanjian, tetapi berdasarkan asas kepatutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 BW, kewajiban-kewajiban tersebut melekat dalam jasa
keagenan dan dianggap selalu ada walaupun tidak diperjanjikan secara khusus dalam
perjanjian keagenan, misalnya (i) kewajiban untuk berhati-hati, (ii) kewajiban untuk
melaksanakan sendiri tugas-tugas yang diserahkan kepadanya, dan (iii) kewajiban untuk
melindungi kepentingan prinsipal.24 (i)Kewajiban untuk bertindak hati-hati (duty of exercising
reasonable care), adalah kewajiban yang melekat pada pemberian jasa keagenan.
Agen adalah pihak yang dipercaya oleh prinsipal, dan kepercayaan tersebut didasarkan
pada kemampuan, keahlian dan pengalaman dalam bidang pekerjaan yang membuat prinsipal
percaya. Misalnya, seorang agen pemain sepak bola dipercaya oleh pemain karena ia
memiliki kemampuan, keahlian dan pengalaman melakukan negosiasi dengan klub, memilih
klub yang baik serta sangat berhati-hati menentukan waktu yang tepat untuk pindah klub.
Kesalahan agen dapat berakibat fatal bagi pemain dan dapat mengakibatkan tuntutan hukum
dari prinsipal (pemain) terhadap agen tersebut; (ii) Kewajiban untuk melaksanakan sendiri
(personal performance) tugas yang dipercayakan oleh prinsipal. Karakteristik pribadi seorang
agen menjadi alasan prinsipal mempercayakan pekerjaannya kepada agen tersebut. Keyakinan
pribadi prinsipal menjadi dasar utama pemberian pekerjaan kepada agen, sehingga secara
moral (asas kepatutan) agen tidak boleh menyerahkan pekerjaan keagenan kepada pihak lain;
(iii) Kewajiban untuk melindungi kepentingan prinsipal (fiduciary duties), yang
mencakup kewajiban untuk menghindari benturan kepentingan (avoiding the conflict of
interest), kewajiban untuk tidak boleh mengambil keuntungan secara rahasia dari jasa
keagenan (non secret profit making), kewajiban untuk tidak boleh menerima suap (no
bribetaking), dan kewajiban untuk memelihara pembukuan terpisah (duty to separate
account) dengan harta kekayaan prinsipal. Contoh: dalam pengadaan proyek, agen yang
bertindak selaku tender applicant melakukan negosiasi rahasia dengan project owner untuk
mendapat keuntungan pribadi selain ia menerima komisi dari prinsipalnya karena memenangi
tender offer.
Selain hal-hal tersebut di atas, kewajiban dari agen terhadap prinsipal adalah agen
harus bertindak berdasarkan itikad baik untuk kepentingan prinsipal. Kewajiban lain yang
perlu mendapat pengaturan adalah kewajiban agen untuk memberi informasi hal-hal yang
terkait dengan pemasaran dari produk atau jasa prinsipal. Misalnya agen memiliki kewajiban
untuk memberitahu kepada prinsipal kegiatan dalam rangka memasarkan produk atau jasa
prinsipal, atau keadaan dari pangsa pasar termasuk pesaing bisnis dari prinsipal. Hak-hak
Prinsipal adalah hak-hak yang muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan fiduciary
duties24 dari agen Commercial
Bradgate, yang Law (London: Butterworths, 1995), p. 145-147, sebagaimana dikutip oleh
Hukum
Jurnal
Bisnis, Vol. 25 - No. 1, Tahun 2006, h. 41.
Hajar: Tanggung Gugat 371

mengakibatkan fiduciary rights dari prinsipal. Kewajiban-kewajiban agen untuk (i)


menghindari benturan kepentingan dengan kepentingan prinsipal (avoiding the conflict of
interest), (ii) tidak boleh mengambil keuntungan secara rahasia dari jasa keagenan (non secret
profit making),
(iii) tidak boleh menerima suap (no bribe taking), (iv) memelihara pembukuan terpisah (duty
to separate account) dengan harta kekayaan prinsipal, menimbulkan hak prinsipal pada sisi
yang lain. Dengan demikian, pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban tersebut oleh agen,
memberikan hak bagi prinsipal untuk menuntut tanggung jawab hukum kepada agen.
Hak-hak yang melekat pada diri agen akan menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi
pihak prinsipal di sisi yang lain. Kewajiban-kewajiban tersebut misalnya, (i) kewajiban untuk
membayar komisi kepada agen, (ii) kewajiban untuk melakukan pembayaran kembali
(reimbursement) semua biaya dan pengeluaran-pengeluaran yang dikeluarkan agen
sehubungan dengan pekerjaan keagenannya, dan (iii) kewajiban untuk membebaskan agen
dari tanggung jawab hukum apabila agen melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan oleh prinsipal.
Selain kewajiban-kewajiban tersebut, prinsipal juga memiliki kewajiban etik, yaitu
kewajiban yang timbul dari pertimbangan etika bisnis semata-mata, karena kewajiban-
kewajiban tersebut tidak atau lupa dicantumkan dalam klausula perjanjian keagenan.
Kewajiban-kewajiban tersebut. misalnya, (i) kewajiban untuk tidak boleh menunjuk agen lain
untuk melakukan satu pekerjaan yang sama, kecuali hal tersebut secara eksplisit disepakati
dalam perjanjian atau sekurang-kurangnya telah diberitahukan kepada agen yang
bersangkutan; (ii) kewajiban prinsipal untuk tidak boleh berhubungan langsung dengan pihak
ketiga dimana pihak ketiga tersebut sedang melakukan kontak bisnis dan negosiasi dengan
agen untuk melakukan satu pekerjaan yang sama yang telah dipercayakan oleh prinsipal; dan
(iii) kewajiban prinsipal untuk tidak boleh membatalkan surat penunjukan keagenan (bila
hubungan keagenan didasarkan pada surat penunjukan) ketika pekerjaan keagenan hampir
rampung dan transaksi hampir terealisasi.
Kewajiban dari prinsipal diantaranya adalah kewajiban untuk memberi informasi
kepada agen tentang produk atau jasa yang dijual, daftar harga, katalog atau berbagai
informasi yang dibutuhkan bagi konsumen. Disamping itu juga informasi yang diberikan
kepada konsumen tentang keberadaan agen, sampai dimana agen dapat dimintai
pertanggungjawaban bila berhadapan dengan konsumen.
Prinsipal juga memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada agen dalam waktu
yang segera atas penerimaan atau penolakan order yang dilakukan oleh agen bila ada
pembelian atau permintaan dari konsumen. Selanjutnya ada kewajiban untuk menyampaikan
informasi bila ada keluhan dari konsumen atau penyampaian informasi pada konsumen di
wilayah tertentu. Prinsipal juga berkewajiban untuk segera menyampaikan informsi kepada
agen bila persediaan produk berada ditingkat rendah (sehingga tidak dapat memenuhi
25
Makalah
permintaan Seminar Hukum
konsumen) Kontraktidak
ataupun oleh Hikmahanto Juwana, Kontrak
dapat mensuplai Keagenan
kebutuhan Internasional,
yang diminta oleh
Fakultas
konsumen melalui agen.25
372 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

Tanggung Gugat Prinsipal dalam Perjanjian Keagenan LPG (Liquified Petroleum Gas)
Antara PT. Pertamina (Persero) dan PT. Gala Prima
Pada prinsipnya sebagaimana sebuah kontrak, ada tiga hal yang diatur. Pertama adalah
bagian pendahuluan, bagian isi yang berisi pasal-pasal yang menjadi kesepakatan serta bagian
penutup. Bagian pendahuluan terdiri dari tiga hal yaitu sub bagian pembukaan yang tercantum
judul perjanjian, penyingkatan perjanjian, dan tanggal perjanjian. Sub bagian pencantuman
identitas para pihak. Terakhir adalah sub bagian penjelasan yang menguraikan latar belakang
dari dibuatnya perjanjian keagenan. Selanjutnya dalam bagian isi terdapat empat hal yang
diatur, yaitu klausula definisi (bila berbagai definisi disatukan dalam sebuah pasal), klausula
transaksi, klausula yang terkait dengan transaksi secara spesifik (selanjutnya disebut sebagai
“klausula spesifik”) dan klausula antisipatif yang sering disebut sebagai ketentuan umum
(general provisions).
Dalam klausula definisi diatur tentang berbagai istilah yang disepakati oleh prinsipal
dan agen sehingga terhindar dari penafsiran yang berbeda. Penafsiran yang berbeda dari suatu
istilah bisa berujung pada sengketa antara para pihak. Untuk menghindari hal inilah maka
perlu ditetapkan definisi-definisi yang disepakati oleh para pihak untuk istilah tertentu.
Definisi- definisi yang telah disepakati maka akan berakibat sebagai undang-undang bagi
pihak yang membuatnya. Hal ini sebagaimana prinsip pacta sund servanda yang diatur dalam
Pasal 1338 ayat (1) BW.
Klausula transaksi dalam perjanjian keagenan berisi tentang Penunjukan prinsipal
terhadap agen dan penerimaan penunjukan oleh agen dari prinsipal. Ini penting untuk
dicantumkan dalam perjanjian keagenan karena atas dasar inilah ketentuan-ketentuan lain
dalam perjanjian ada. Selanjutnya klausula spesifik yang terdiri dari banyak pasal yang
mengatur berbagai hal yang terkait dengan keagenan itu sendiri, seperti kesepakatan tentang
awal dan berakhirnya suatu keagenan, produk atau jasa yang dipasarkan, wilayah pemasaran,
komisi agen, pengaturan tentang eksklusifitas (Exclusive Agency Rights), pengaturan tentang
pemberian kuasa kepada agen untuk membuat perjanjian atas nama prinsipal dengan
pelanggan, pengaturan tentang hak agen untuk menerima pembayaran atas nama prinsipal
dari pelanggan hingga pengaturan tentang penerimaan dan pembatalan order oleh agen,
layanan purna jual dan berakhirnya kontrak.
Klausula berikutnya adalah klausula antisipatif. Klausula ini mengatur hal-hal yang
belum tentu terjadi namun bila terjadi kondisi yang dipikirkan maka akan terdapat jalan
keluar. Klausula antisipatif dalam perjanjian keagenan antara lain, adalah klausula dalam
jangka waktu tertentu agen (bila telah mandiri) tidak boleh bersaing dengan prinsipal yang
sering disebut sebagai “Non-Competitive Clause”. Pengaturan lain adalah pengaturan atas
biaya perjalanan atau biaya lainnya yang dikeluarkan oleh agen, penggunaan merek
ataupun hak kekayaan

Hukum UNAIR, Surabaya, 13-10-2004.


Hajar: Tanggung Gugat 373

intelektual yang dimiliki prinsipal oleh agen. Hal lain adalah pengaturan tentang hukum yang
berlaku, penyelesaian sengketa, amandemen ataupun addendum,26 alamat dari masing-masing
pihak, pengaturan tentang boleh tidaknya pengalihan hak dan kewajiban, pengaturan tentang
bahasa. Setelah bagian isi maka hal terakhir adalah bagian penutup. Bagian penutup terdiri
dari sub bagian kata penutup dan penempatan tandatangan dari para pihak.27
Klausula pokok dalam perjanjian keagenan, antara lain; klausula penunjukan prinsipal
terhadap agen dan penerimaan penunjukan oleh agen dari prinsipal, klausula jangka waktu,
wilayah pemasaran, pengalihan, berakhirnya perjanjian/pemutusan perjanjian (termination
clause), hukum yang berlaku, dan klausula tentang asas “Privity”.
Klausula Penunjukan prinsipal terhadap agen dan penerimaan penunjukan oleh agen
dari prinsipal. Ini penting untuk dicantumkan dalam perjanjian keagenan karena atas dasar
inilah ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian ada. Klausula Jangka Waktu; para pihak
bebas menetapkan jangka waktu perjanjian keagenan, tetapi ketentuan yang berlaku
menyebutkan bahwa penunjukan sebagai agen/distributor harus dilakukan untuk jangka
waktu minimal tiga tahun. Tujuan penetapan jangka waktu minimal untuk melindungi
kepentingan perusahaan nasional. Klausula Wilayah pemasaran, erat kaitannya dengan
masalah apakah penunjukan agen harus dalam bentuk agen tunggal atau tidak. Untuk
beberapa sektor tertentu antara lain alat-alat besar, kendaraan bermotor, dan pupuk,
penunjukan harus dalam bentuk agen tunggal. Diluar dari tiga sektor di atas, tidak harus
dalam bentuk agen tunggal berarti prinsipal boleh menunjuk lebih dari seorang agen tunggal
untuk memasarkan hasil produksinya.
Klausula Pengalihan; Yang dimaksud dengan pengalihan adalah kemungkinan bagi
para pihak dalam suatu perjanjian keagenan mengalihkan sebagian atau seluruh hak dan
kewajiban yang diperoleh dari perjanjian keagenan itu kepada pihak lain. Para pihak bebas
menentukan apakah hak dan kewajibannya dapat dialihkan atau tidak. Tentu saja kedudukan
masing-masing pihak sangat menentukan dalam tahap negosiasi. Biasanya yang kuat akan
lebih memaksakan apa-apa yang menjadi kehendaknya untuk dimasukkan dalam perjanjian.
Biasanya selalu menggunakan penasihat hukum untuk memproteksi kepentingannya.
Dalam praktek dengan melihat “bargaining power” dari para pihak, biasanya ada
beberapa variasi kemungkinan tentang bagaimana masalah pengalihan ini diatur dalam
perjanjian. Kemungkinan pertama, dalam perjanjian keagenan dinyatakan bahwa masing-
masing pihak, baik prinsipal maupun agen, tidak berhak mengalihkan sebagian atau seluruh
hak dan kewajibannya, tanpa persetujuan dari pihak lain. Kemungkinan kedua, prinsipal boleh
mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, tetapi agen tidak,
dan kemungkinan ketiga, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan
kewajibannya
26
Amandemen dan Addendum merupakan dua terminologi hukum yang memiliki makna yang berbeda.
Amandemen adalah merubah salah stau ketentuan yang ada dalam perjanjian sedangkan addendum adalah
menambah ketentuan yang sebelumnya tidak ada dalam perjanjian atau sesuatu yang belum diperjanjikan
sebelumnya, misalnya perjanjangan sewa.
27
Makalah Seminar Hukum Kontrak oleh Hikmahanto Juwana, Loc.Cit.
374 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

kepada pihak ketiga, tetapi agen hanya diperbolehkan mengalihkan hak dan kewajibannya
apabila diperoleh persetujuan dari prinsipal.
Klausula Pengakhiran/Pemutusan Perjanjian; Untuk menghindari kesulitan yang
timbul, para pihak akan merumuskan secara jelas apa-apa saja yang merupakan “even of
default” yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk memutuskan perjanjian
keagenan. Biasanya, yang dikategorikan sebagai evens of default antara lain adalah :28 1)
apabila agen/distributor lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana tercantum pada
perjanjian keagenan/distributor, termasuk kewajiban melakukan pembayaran; 2) apabila
agen/distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan; 3) apabila para
pihak jatuh pailit; 4) keadaan-keadaan yang menyebabkan para pihak tidak dapat
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Masalah lain yang perlu diperhatikan dan sering dilupakan adalah pengaturan yang
jelas tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak setelah dilaksanakannya
pemutusan perjanjian. Ketentuan Pasal 1266 BW pada dasarnya menyatakan bahwa
pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan. Dengan
perkataan lain, prinsipal yang bermaksud memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya,
tidak cukup hanya dengan mengirimkan pemberitahuan tertulis saja. Untuk itu, prinsipal
harus mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri dan menunggu putusan yang
membenarkannya. Tetapi dalam praktek, untuk menghindari prosedur tersebut, para pihak
dengan tegas menyatakan bahwa untuk perjanjian keagenan ini mereka sepakat untuk
mengesampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 BW. Dengan demikian para pihak dapat
memutuskan perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan.
Klausula Hukum yang berlaku; Masalah pilihan hukum ini penting terutama kalau
hendak menafsirkan isi dan keabsahan pelaksanaan suatu perjanjian. Para pihak bebas untuk
menentukan hukum yang berlaku, sebab Hukum Perdata Internasional Indonesia mengenal
asas pilihan hukum. Namun pilihan hukum ada batasnya, bahkan dalam bidang tertentu tidak
diperkenankan. Dalam praktek, perjanjian keagenan biasanya diperlakukan hukum Indonesia.
Terkait dengan asas privity, pada prinsipnya dalam hukum perjanjian berlaku ketentuan bahwa
perjanjian hanya mengikat para pihak. Pasal 1340 BW menyatakan bahwa perjanjian hanya
mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Asas ini dalam hukum perjanjian disebut “privity of
contract”. Dalam penyusunan perjanjian keagenan perlu pemahaman prinsip ini agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman dalam pelaksanaan kontrak, terutama apabila terdapat gugatan
dari konsumen.
Dalam perjanjian keagenan, agen bertindak untuk kepentingan prinsipal. Agen tidak
bertanggunggugat terhadap kerugian yang timbul di pihak konsumen yang diakibatkan
pemakaian barang atau jasa yang diproduksi oleh prinsipal. Dapat saja terjadi pembeli
(konsumen) yang mengalami kerugian mengajukan gugatan kepada agen, karena ia membeli

28
Y. Sogar Simamora, Op. Cit., h. 75.
Hajar: Tanggung Gugat 375

dari agen. Dalam menghadapi situasi ini, agen dapat memberikan eksepsi (tangkisan) bahwa
dirinya tidak bertanggunggugat karena bertindak untuk kepentingan prinsipal. Gugatan
pembeli mungkin juga diajukan langsung kepada produsen. Dalam menghadapi gugatan ini
produsen dapat mengajukan tangkisan bahwa dirinya tidak terikat dalam perjanjian (Pasal
1340 BW). Mungkin juga gugatan itu kandas kalau didasarkan pada alasan wanprestasi di
pihak produsen, tetapi biasanya gugatan tersebut didasarkan tidak saja pada wanprestasi,
tetapi juga perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad).29
Sebelumnya telah diuraikan mengenai karakteristik perjanjian keagenan yang secara
garis besar memilikiunsur-unsur esensial yaitu adanya perintah atau wewenang untuk
melakukan pemasaran pada satu wilayah pemasaran tertentu, barang dan/atau jasa adalah
milik prinsipal, risiko dan tanggung jawab ada pada prinsipal, prinsipal dapat menagih
secara langsung hasil dari perbuatan hukum yang dilakukan agen,adanya reimbursement dan
adanya komisi. Berikut adalah uraian mengenai Perjanjian Keagenan LPG antara PT.
Pertamina (Persero) dan PT. Gala Prima (selanjutnya disebut Perjanjian LPG) dan
kesesuaiannya dengan karakteristik perjanjian keagenan secara umum: Pertama, Wewenang
untuk Melakukan Pemasaran pada Satu Wilayah Pemasaran Tertentu Seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya bahwa salah satu alasan diadakannya perjanjian keagenan yaitu
karena prinsipal tidak menguasai area pemasaran untuk memasarkan barang/ jasanya, dan
untuk itu prinsipal membutuhkan pihak lain yang memiliki koneksi atau hubungan bisnis
serta jaringan pemasaran yang luas untuk merealisasikan sasaran dan target pemasaran
barang dan/ atau jasanya. Oleh karena itu, di dalam setiap perjanjian seharusnya mengatur
mengenai ruang lingkup pekerjaan dan wilayah pemasaran tertentu yang nantinya akan
menjadi tempat agen memasarkan barang/ jasa milik prinsipal. Perjanjian LPG juga
mengatur mengenai ruang lingkup pekerjaan dan wilayah pemasaran sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) perjanjian tersebut, yaitu “Pihak Pertama menunjuk Pihak Kedua
menerima penunjukkan ini untuk menjadi agen Penyalur/Pemasaran Elpiji yang dihasilkan
dan/ atau diperdagangkan oleh Pihak Pertama untuk lokasi/daerah Surabaya dan
sekitarnya.”
Berdasarkan pasal tersebut maka jelas bahwa PT. Gala Prima diberikan kewenangan
oleh PT. Pertamina untuk memasarkan barang/jasa milik PT. Pertamina (Persero) dengan
wilayah pemasaran terbatas pada daerah Surabaya dan sekitarnya. Kedua, Status Kepemilikan
Objek Barang dan/atau Jasa Yang Dipasarkan Oleh Agen Pada dasarnya di dalam perjanjian
keagenan terdapat karakter dari Perjanjian Pemberian Kuasa, hal ini berbeda dengan dasar
yang ada di dalam Perjanjian Distribusi yaitu didasarkan atas Perjanjian Jual Beli. Hal ini
menjadi penting karena nantinya akan berkaitan dengan status kepemilikan barang/ jasa yang
akan dipasarkan oleh agen. Pada Perjanjian Distributor barang/ jasa menjadi milik dari
distributor sepenuhnya, karena di dalam konsep distributorship distributor membeli barang/
jasa dari produsen yang membuat barang/ jasa tersebut untuk kemudian dipasarkan oleh
29
Ibid, h.
distributor. 78.
Sehingga berdasarkan perbuatan hukum jual beli tersebut, maka terjadi
pemindahan
376 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

hak kepemilikan atas barang/ jasa yang menjadi objek perjanjian. Namun lain halnya dengan
perjanjian keagenan yang di dalamnya tidak ada unsur perbuatan hukum jual beli, sehingga
barang/ jasa sepenuhnya merupakan milik prinsipal, dan agen hanya berlaku sebagai perantara
yang diberi kewenangan oleh prinsipal untuk melakukan pemasaran dan kepemilikan barang/
jasa tetap ada pada prinsipal.
Perjanjian LPG mengatur di dalam Pasal 3 ayat (3) bahwa “Untuk menyalurkan elpiji
dan tabung elpiji kepada konsumen, Pihak Kedua harus membeli langsung dari pihak
Pertama atau SPPBE/ APPEL yang ditentukan oleh Pihak Pertama.” Mengacu pada
ketentuan tersebut, terlihat bahwa terdapat ketidaksesuaian antara konsep perjanjian keagenan
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perjanjian LPG, dimana dalam Perjanjian
LPG ini justru mengharuskan PT. Gala Prima selaku agen untuk membeli dari PT. Pertamina
(Persero), sedangkan pada konsep perjanjian keagenan seharusnya tidak dilakukan jual beli,
melainkan pemberian kuasa untuk memasarkan produk milik prinsipal yang dalam hal ini
adalah LPG. Adanya perbuatan hukum jual beli barang/ jasa tersebut menyebabkan
kepemilikan barang/ jasa yang akan dipasarkan menjadi milik PT. Gala Prima, dengan
demikian maka secara otomatis PT. Pertamina (Persero) tidak berhak menagih secara
langsung hasil dari perbuatan hukum yang dilakukan PT. Gala Prima berkaitan dengan
penjualan atau pemasaran barang/ jasa kepada konsumen.
Ketiga, Beban Tanggung Jawab dimana telah disebutkan sebelumnya bahwa
karakteristik perjanjian keagenan pada dasarnya memiliki persamaan dengan karakteristik
perjanjian pemberian kuasa, hal ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian
keagenan yang mengatur mengenai kesepakatan agen untuk melakukan suatu perbuatan
hukum tertentu bagi prinsipal dan di sisi lain prinsipal bertanggung jawab atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh agen tersebut. Sehingga, tanggung jawab atas segala perbuatan
hukum yang berkaitan dengan keagenan menjadi tanggung jawab pihak prinsipal.
Jika melihat pada klausula-klausula pada Perjanjian LPG yang berkaitan dengan
tanggung jawab para pihak khususnya mengenai tanggung jawab dengan pihak ketiga, tidak
menunjukkan karakteristik perjanjian keagenan. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa
pasal sebagai berikut: 1) Pasal 8 ayat (4) perjanjian tersebut mengatur bahwa “Pihak Kedua
atas tanggung jawab dan beban sendiri diperkenankan memperdagangkan/ menjual
peralatan/ perlengkapan tabung elpiji beserta pemasangannya di tempat konsumen dengan
baik dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan berwenang. (Persyaratan dari
DEPNAKER dan instansi yang bersangkutan lainnya); 2) Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat
(7) diatur “Pihak Pertama tidak bertanggung jawab atas
perjanjian dan/atau segala tindakan Pihak Kedua terhadap konsumen, dan Pihak Kedua
membebaskan Pihak Pertama dari segala tuntutan Pihak Ketiga sehubungan dengan
pelaksanaan perjanjian ini.” Pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa perjanjian tersebut
tidak menunjukkan karakteristik perjanjian keagenan, hal ini semakin jelas dengan
adanya penegasan bahwa
Hajar: Tanggung Gugat 377

Pihak Pertama yaitu PT. Pertamina (Persero) tidak bertanggung jawab atas segala tindakan
dari Pihak Kedua yaitu PT. Gala Prima terhadap konsumen,hal ini menyebabkan segala resiko
dan tannggung jawab menjadi beban PT. Gala Prima, dan dengan demikian maka semua
biaya- biaya yang dikeluarkan oleh PT. Gala Prima untuk melakukan suatu perbuatan hukum
tidak dapat dimintakan pembayaran kembali (reimbursement) kepada PT. Pertamina (Persero).
Hal ini jelas menunjukkan bahwa Perjanjian LPG tidak memuat karakteristik perjanjian
keagenan yang prinsipnya adalah beban tanggung jawab ada pada prinsipal dan bukan pada
agennya.
Karakteristik Perjanjian Keagenan yang selanjutnya adalah adanya komisi.
Berdasarkan Black’s Law Dictionary, “Commision is a fee paid to an agent or employee for a
particular transaction, usu. As a percentage of the money receive from the transaction”.30
Dengan demikian komisi merupakan upah bagi agen yang diperhitungkan dari nilai transaksi
yang dilakukan oleh agen dengan pihak ketiga yang besarannya dihitung melalui prosentase
yang telah disepakati oleh agen dan prinsipalnya dalam perjanjian keagenan.
Perjanjian LPG tersebut juga mengatur mengenai pendapatan yang diterima oleh PT.
Gala Prima selaku agen. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Perjanjian yang mengatur bahwa “Pihak
Kedua mendapat margin dari pihak pertama sebesar harga jual Elpiji kepada konsumen
dikurangi Harga Pokok (harga beli ex instalasi/depot supply point) dan dikurangi PPN.”
Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pendapatan yang diterima PT. Gala Prima
selaku agen bukan berupa komisi, namun didapat dari margin yaitu sebesar harga jual Elpiji
kepada konsumen dikurangi harga pokok dan dikurangi PPN. Padahal jika memang Perjanjian
LPG ini merupakan perjanjian keagenan, seharusnya di dalamnya mengatur mengenai komisi
yang menjadi ciri dari perjanjian keagenan dan bukan mengatur mengenai pendapatan dalam
bentuk margin yang justru merupakan karakteristik dari perjanjian distributorship.
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas yaitu mengenai karakteristik perjanjian
keagenan dan dihubungkan dengan klausula-klausula yang ada di dalam Perjanjian LPG,
maka dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Keagenan LPG antara PT. Pertamina (Persero) dan
PT. Gala Prima bukan merupakan perjanjian keagenan, melainkan merupakan perjanjian
distributor. Dalam hal agen ditunjuk atau diangkat dengan suatu jangka waktu yang tidak
ditentukan, maka risiko pemutusan sepihak atas hubungan keagenan sering kali terjadi pada
agen. Komisi keagenan diberikan berdasarkan success fee, yaitu pemberian imbalan kepada
agen berdasarkan pemotongan sejumlah uang yang dihitung berdasarkan nilai transaksi yang
berhasil dilakukan oleh prinsipal atas jasa dari agen. Dengan demikian, agen yang diputuskan
secara sepihak oleh prinsipal tidak mendapatkan keuntungan komisi apapun kendati ia telah
bekerja maksimal untuk kepentingan prinsipal tersebut. Bila terjadi suatu gugatan hukum
terhadap prinsipal karena kenakalan prinsipal yang melanggar kewajiban etik tersebut, maka
sebaiknya hakim mempertimbangkan kewajiban etik tersebut sesuai dengan asas kepatutan
berdasarkan Pasal 1339 BW, yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian tidak hanya
mengikatHenry Campbell Black, Op.Cit., p 286.
30
untuk hal-hal
378 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”.
Hubungan keagenan dapat diakhiri dengan cara (i) kesepakatan timbal balik oleh
kedua belah pihak, (ii) berakhir karena adanya sebab-sebab hukum, (iii) berakhir karena
adanya pembatalan secara sepihak baik oleh prinsipal maupun oleh agen. 31Hubungan
keagenan baik untuk jangka waktu tertentu maupun untuk jangka waktu yang tidak tertentu
dapat berakhir dengan cara kesepakatan. Prinsipal dapat bersama-sama dengan agen membuat
suatu kesepakatan tertulis bahwa perjanjian dinyatakan batal dan hubungan hukum keagenan
antara prinsipal dengan agen dinyatakan berakhir dan berlaku efektif sejak tanggal
kesepakatan pembatalan. Kesepakatan tentang pengakhiran hubungan keagenan tersebut
dapat pula dilakukan dalam hal hubungan keagenan didasarkan pada surat penunjukan
unilateral yang mencatumkan kata-kata “tidak dapat ditarik kembali” (irrevocable). Surat
penunjukan yang bersifat irrevocable tidak memungkinkan prinsipal melakukan pembatalan
sepihak, dan kekuatan hukumnya sama dengan perjanjian, sehingga pembatalan hubungan
keagenan yang berdasarkan pada surat penunjukan irrevocable tersebut hanya dapat
dilakukan dengan cara kesepakatan timbal balik.
Berakhirnya hubungan keagenan karena kesepakatan pengakhiran membuat tuntutan
hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak berjalan lebih mudah. Pihak agen yang biasanya
selalu menanggung risiko dalam hal pengakhiran dapat melakukan negosiasi penyelesaian
hak- haknya sebelum dilakukan kesepakatan pembatalan. Sementara itu, dari pihak prinsipal
akan lebih mudah memperhitungkan kompensasi kepada agen dengan cara yang win-win
solution. Pengakhiran hubungan keagenan dengan cara kesepakatan bersama tersebut akan
mengurangi beban financial baik bagi prinsipal maupun agen dan tidak menimbulkan
kerugian immaterial yang disebabkan oleh terkurasnya tenaga, pikiran, dan waktu untuk
memperjuangkan hak-hak dari masing-masing pihak.
Sedangkan dalam pengakhiran perjanjian keagenan karena alasan hukum, terdapat 4
(empat) alasan hukum yang menyebabkan hubungan keagenan berakhir, yaitu: i) Halangan
terhadap objek keagenan (frustation), apabila bertentangan dengan undang-undang, moralitas
kesusilaan, atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah batal demi hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 jo. Pasal 1337 BW; ii) Kematian. Bagi badan hukum,
kematian diidentikkan dengan pembubaran atau likuidasi. Prinsipal maupun agen, baik yang
merupakan perseorangan yang meninggal dunia maupun badan hukum yang dibubarkan
(likuidasi) menimbulkan konsekuensi hukum batal atau berakhirnya hubungan keagenan.
Dalam hal terjadinya “kematian” pada salah satu pihak maka pihak lain yang masih “hidup”
tidak dapat menuntut hak-haknya ataupun memaksakan pihak ketiga atas tanggungan pihak
lain (prinsipal); iii) sakit ingatan (insanity). Berbeda dengan sebab-sebab hukum lain, sakit
ingatan (insane) yang terjadi pada pihak prinsipal tidak menyebabkan berakhirnya hubungan
keagenan.
31
Levi Lana, “Keagenan Di Indonesia Analisis Yuridis Dan Praktis”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25,
Nomor 1, Tahun 2006, h. 43.
Hajar: Tanggung Gugat 379

Dalam hal demikian agen akan berperan mengurusi segala kepentingan prinsipal yang sakit
ingatan tersebut. Sebaliknya bila yang mengalami gangguan kejiwaan (insane) adalah agen,
maka hubungan keagenan secara hukum dinyatakan berakhir. Dalam hal agen yang ditunjuk
oleh prinsipal berbentuk badan hukum, alasan gangguan kejiwaan ini identik dengan syarat
kecakapan dari badan hukum, yakni kewenangan dari wakil agen yang menandatangani
perjanjian keagenan untuk dan atas nama badan hukumnya. Kewenangan ini dapat ditinjau
dari bagian komparisi dari perjanjian keagenan, dimana apabila pihak yang mewakili agen
yang berbentuk badan hukum tidak berwenang secara hukum mewakili badan hukumnya,
maka perjanjian keagenan dapat dibatalkan dan hubungan keagenan dapat berakhir; iv)
Kepailitan (bankruptcy). Kepailitan yang terjadi pada agen maupun prinsipal menyebabkan
berakhirnya hubungan keagenan. Dalam hal kepailitan terjadi pada pihak prinsipal, maka
kurator berwenang untuk menetapkan apakah hubungan keagenan masih dapat diteruskan
atau berakhir bergantung pada kepentingan budel pailit. Sementara itu, kepailitan yang terjadi
pada agen secara hukum sudah mematikan hak-hak keperdataan agen tersebut.
Di samping itu, perjanjian keagenan yang dibatalkan secara sepihak akan
menimbulkan dua konsekuensi hukum yaitu apabila pembatalan dilakukan oleh agen, maka
aktivitas keagenan secara efektif berhenti atau berakhir dengan tidak adanya tuntutan dari
agen atas reimbursement atau success fee commission. Namun demikian, pihak prinsipal
dapat saja meminta pengembalian atas biaya-biaya yang telah diberikan kepada agen sebagai
operational cost, oleh karena agen tidak melaksanakan pekerjaan keagenan. Dan apabila
pembatalan dilakukan oleh prinsipal maka agen dapat mengajukan tuntutan kepada prinsipal
baik atas pembayaran kembali semua biaya- biaya dan pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan oleh agen sehubungan dengan pekerjaan keagenan maupun atas komisi yang
diharapkan menjadi keuntungan bagi agen.
Perjanjian keagenan dan surat penunjukan keagenan yang bersifat irrevocable yang
diakhiri dengan cara paksa (pembatalan sepihak) memiliki risiko yang besar karena akan
terjadi perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu misalnya berupa suatu tuntutan
hukum, yang pasti akan menghabiskan dana, tenaga, pikiran, dan waktu yang lama.
Pembatalan secara sepihak dilakukan karena para pihak tidak memiliki opsi kesepakatan dan
pihak yang mengajukan usul pembatalan tidak memiliki alasan yang kuat dan strategi
penawaran yang baik untuk meyakinkan pihak lain, misalnya mengajukan jumlah kompensasi
dan reimbursement yang tidak memadai.
Doktrin Repudiation dalam hubungan keagenan, yang dimaksud dengan repudiation
adalah pembatalan perjanjian sebelum masing-masing pihak melakukan kewajiban dimana
pihak yang melakukan pembatalan telah mengetahui bahwa pihak lain dalam kontrak tidak
akan melaksanakan kewajibannya dikemudian hari. Pembatalan perjanjian berdasarkan
repudiation pada dasarnya adalah kesepakatan diam-diam (silent consent) untuk mengakhiri
perjanjian sebelum para pihak melakukan kewajiban masing-masing yang diatur dalam
perjanjian, sehingga para pihak kehilangan hak untuk menuntut pihak lain. Pemberlakuan
prinsip doktrin
380 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

repudiation hanya efektif jika tidak terjadi perlawanan dari agen. Artinya, pembatalan
perjanjian keagenan yang dilakukan oleh prinsipal dengan alasan agen belum melaksanakan
kewajiban- kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian keagenan hanya berlaku jika agen
juga menyetujui pembatalan tersebut.
Tanggung Gugat dapat ditimbulkan karena wanprestasi dan karena onrechtmatige daad
(perbuatan melawan hukum). Pelanggaran kewajiban yang terletak dalam suatu perikatan
berarti wanprestatie, sedangkan pelanggaran suatu kewajiban yang tidak berakar dalam
perikatan menimbulkan perbuatan melanggar hukum, perbedaannya adalah: 1) ada
onrechtmatige daad kita bertanggunggugat atas kesalahan-kesalahan bawahan, sesuai dengan
Pasal 1367 BW yang menerangkan bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab untuk
kerugian yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri tetapi juga untuk kerugian karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya; pada wanprestasi kita
bertanggunggugat atas kesalahan dari mereka yang kita pakai dalam melaksanakan
persetujuan; 2) dalam posisi penentuan dan pembuktian, pada onrechtmatige daad, pihak
yang menuntut harus menentukan kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan dan jika perlu
memberikan bukti yang menunjukan bahwa tergugat telah bersalah, sedangkan terhadap
wanprestasi, tergugatlah yang harus membuktikan; 3) bentuk ganti rugi; dalam wanprestatie
ganti rugi hanya berupa pembayaran sejumlah uang, sedangkan dalam perbuatan melanggar
hukum setiap bentuk ganti rugi yang diinginkan oleh penggugat dimungkinkan asal saja oleh
hakim dianggap sesuai dan wajar.
Pelanggaran suatu kewajiban kontraktual (wanprestatie) menciptakan bagi debitur
yang lalai suatu perikatan untuk membayar ganti rugi (Pasal 1243 BW). Tetapi disini
perikatan untuk membayar ganti rugi mempunyai sifat subsidiair, sejauh selalu didahului oleh
pelanggaran pemenuhan perikatan (yang primair). Di samping itu, ganti rugi dalam
wanprestasi selalu diberikan dalam bentuk uang. Sedangkan kewajiban membayar ganti rugi
karena perbuatan melanggar hukum dikualifikasikan oleh pembuat undang-undang sebagai
suatu perikatan. Tetapi pembayaran ganti rugi ini bersifat primair karena tidak didahului
pelanggaran suatu perikatan, melainkan pelanggaran suatu kewajiban yang tidak obligatoir.
Dalam perbuatan melanggar hukum, pemberian ganti rugi tidak selalu dalam bentuk uang.
Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi. Jika ia tidak melaksanakan
kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap melakukan
ingkar janji (wanprestasi). Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu tidak memenuhi prestasi sama
sekali; terlambat memenuhi prestasi; atau memenuhi prestasi secara tidak baik. Ingkar janji
(wanprestasi) membawa akibat yang merugikan bagi debitur, karena sejak saat tersebut debitur
berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat daripada ingkar janji tersebut.
Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut pemenuhan perikatan;
pemenuhan perikatan dengan ganti rugi; ganti rugi; pembatalan persetujuan timbal balik; atau
pembatalan dengan ganti rugi. Berdasarkan Pasal 1246 BW. tidak setiap kerugian yang
diderita oleh kreditur harus diganti oleh debitur. Undang-undang menentukan bahwa debitur
hanya wajib
Hajar: Tanggung Gugat 381

membayar ganti rugi atas kerugian yang memenuhi dua syarat, yaitu apabila kerugian yang
dapat diduga atau sepatutnya diduga pada waktu perikatan dibuat dan kerugian yang
merupakan akibat langsung dan serta merta daripada ingkar janji. Debitur hanya wajib
membayar ganti rugi jika ada hubungan kausal antara wanprestasi dengan kerugian. Menurut
yurisprudensi, hubungan kausal ada apabila bukan hanya wanprestasi yang merupakan
condition sine qua non untuk timbulnya kerugian, tetapi juga kerugian itu adalah akibat yang
secara wajar dapat diharapkan (diduga) dari adanya wanprestasi tersebut. Dalam Pasal 1248
BW menentukan bahwa penggantian kerugian hanya dapat diberikan sebagai “akibat yang
langsung dan seketika tidak dipenuhinya perikatan”. Sedangkan menurut Pasal 1247 BW,
debitur yang wanprestasi namun tanpa tipu daya, dalam hal dapat diduga akan timbul
kerugian jika tidak ada pemenuhan, tetapi kerugian itu tidak demikian luasnya, hanya wajib
mengganti bagian kerugian yang dapat diduga pada waktu penutupan kontrak.32
Jenis tanggung gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW disebut sebagai
tanggung gugat atas dasar kesalahan (liability based on fault atau schuldaansprakelijkheid).
Jenis tanggung gugat ini dikaitkan dengan kewajiban tergugat kepada penggugat yang
merasa haknya dirugikan. Djasadin Saragih yang mengambil dari J.H. Nieuwenhuis
tentang syarat- syarat tanggung gugat menurut Pasal 1365 BW, jika : 1) perbuatan yang
menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar hukum (perbuatan melawan hukum); 2)
Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan kausal); 3) Pelaku tersebut
bersalah (kesalahan); 3) Norma yang dilanggar mempunyai “strekking” untuk mengelakkan
timbulnya kerugian (relativitas).33 Konsumen yang merasa dirugikan bisa menggugat prinsipal
dengan berdasarkan Pasal
1365 BW, dengan berbagai macam petitum, yakni:34 ganti rugi; pernyataan hukum
(verklaring voor recht); dan perintah atau larangan hakim. Sedangkan agen yang merasa
dirugikan oleh prinsipalnya juga dapat mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi di
samping gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum. Apabila kerugian yang dialami
oleh agen timbul dari adanya pelanggaran klausula-klausula perjanjian keagenan yang telah
disepakati oleh para pihak berdasarkan prinsip pacta sund servanda sebagaimana diatur
dalam Pasal 1338 ayat (1) BW dan prinsip privity of contract sebagaimana diatur dalam Pasal
1340 ayat (1), maka agen dapat mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi kepada
prinsipalnya. Begitu pula sebaliknya, manakala prinsipal merasa dirugikan oleh agennya
karena terjadi pelanggaran perjanjian keagenan, maka prinsipal dapat mengajukan gugatan
berdasarkan wanprestasi. Sedangkan, apabila kerugian yang dialami oleh agen berasal dari
pelanggaran prinsipal atas kewajiban etiknya atau dengan kata lain, prinsipal melakukan
pelanggaran atas asas kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 BW, maka agen dapat
mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam
32
MR.BW
Pasal 1365 J.H. kepada
Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan (terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya,
prinsipalnya.
h. 72.
1985,
33
Ibid, h. 118.
34
Ibid, h. 133.
382 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

Berdasarkan uraian mengenai Perjanjian Keagenan LPG antara PT. Pertamina dan PT.
Gala Prima di atas, telah diketahui bahwa perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian
keagenan, karena walaupun judul dari perjanjian tersebut menyatakan “Perjanjian Keagenan”
namun substansi dari perjanjian tersebut tidak memenuhi karakteristik dari perjanjian
keagenan melainkan memenuhi karakteristik dari perjanjian distribusi. Dalam perjanjian
distribusi, distributor adalah sesorang yang membeli barang dari pabrikan atau manufacturer
atau yang umumnya disebut sebagai prinsipal atau produsen untuk dijual kembali oleh
distributor atas nama dirinya sendiri. Distributor mendapatkan barang dimaksud melalui
perjanjian jual beli, sehingga tidak terdapat hubungan pemberian kuasa dari prinsipal ke
distributor. Hal tersebut memberi konsekuensi bahwa apabila konsumen merasa dirugikan
atas pembelian barang dari seorang distributor, maka distributor tersebut bertanggung gugat
secara pribadi atas kerugian yang diderita konsumen. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 1340 BW tentang asas privity of contract, dimana dalam hubungan distributor
dengan pihak ketiga merupakan hubungan hukum yang mandiri dan tidak bersangkut paut
dengan prinsipal.
Dalam perjanjian distributor, konsumen dapat mengajukan gugatan berdasarkan
wanprestasi manakala pihak distributor menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati
dalam kontrak antara distributor dan konsumen. Di samping itu, konsumen juga dapat
mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum manakala distributor
melakukan perbuatan- perbuatan yang menyalahi hukum baik tertulis maupun tidak tertulis,
misalnya dalam hal produk yang ia distribusikan merupakan produk yang cacat dan dapat
membahayakan konsumennya, maka distributor dapat digugat atas dasar perbuatan melanggar
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW.
Apabila terang bahwa kesalahan pada dasarnya berada pada pihak prinsipal, maka atas
kerugiannya, seorang distributor dapat mengajukan gugatan kepada prinsipalnya berdasarkan
wanprestasi manakala ketentuan yang dilanggar berkaitan dengan perjanjian distributor yang
dilakukan antara distributor dan prinsipal, maupun gugatan berdasarkan perbuatan melanggar
hukum manakala ketentuan-ketentuan yang dilanggar oleh prinsipal adalah ketentuan
mengenai kewajiban etiknya kepada distributor. Begitu pula sebaliknya, prinsipal juga dapat
mengajukan gugatan kepada distributornya berdasarkan wanprestasi manakala distributor
tersebut tidak memenuhi prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian keagenan.

Kesimpulan
Dalam penyusunan perjanjian keagenan perlu diperhatikan batasan dalam prinsip
kebebasan berkontrak agar tidak menimbulkan cacat hukum dalam perjanjian yang pada
akhirnya dapat menimbulkan perselisihan di tahap pelaksanaannya. Pengaturan keagenan dan
distributor perlu dibuat secara komprehensif, tidak seperti sekarang yang bersifat sektoral.
Dengan pengaturan tersebut akan memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban
agen, distributor dan prinsipal. Seiring dengan perkembangan jasa keagenan yang begitu
pesat,
Hajar: Tanggung Gugat 383

maka sebaiknya bisnis keagenan sebagai jasa perantara perlu diakomodasi dengan suatu
produk hukum yang memiliki strata yang lebih tinggi, yaitu undang-undang keagenan sebagai
landasan hukum serta pedoman bagi agen dan prinsipal serta perlindungan hukum yang
memadai bagi pihak ketiga.
Perjanjian Keagenan LPG (Liquified Petroleum Gas) antara PT. Pertamina (Persero)
dengan PT. Gala Prima pada dasarnya bukan merupakan perjanjian keagenan melainkan
perjanjian distributor, sehingga tanggung gugat prinsipal dalam perjanjian tersebut hanya
berlaku terhadap distributornya saja. Apabila konsumen hendak mengajukan gugatan, maka
gugatannya diajukan kepada distributor, bukan kepada prinsipal. Oleh karena itu perlu adanya
penerapan prinsip kecermatan dan kehati-hatian selain prinsip predict, provide dan protect
dalam rangka penyusunan perjanjian keagenan sehingga terjadi kesesuaian substansi
perjanjian dengan judul perjanjian yang bersangkutan. Hal ini sangat diperlukan untuk
menghindari adanya kesalahan penafsiran dari masyarakat awam.

Daftar Bacaan
Armadja, Z. Asikin Kusumah. “Lembaga Keagenan di Indonesia”. Hukum dan Pembangunan,
No.1 Tahun Ke XIX, Februari 1989.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. West Publishing : St. Paull Minn, 1999.

Dirdjosisworo, Soedjono. Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan

Prak-
tek Dagang Internasional). Bandung : Mandar Maju, 2003.

Djiwandono, J.Soedradjad. “Perlindungan Hukum Bagi Keagenan Tunggal Di Indonesia”. Ja-


karta : Jurnal Hukum Bisnis Vol. 25 - No. 1, Tahun 2006.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung : P.T. Citra Ad-
itya bakti, 2003.

Juwana, Hikmahanto. “Kontrak Keagenan Internasional”. Surabaya : Seminar Hukum


Kontrak, 2004.

Lana, Levi. “Keagenan Di Indonesia Analisis Yuridis Dan Praktis”. Jakarta : Jurnal Hukum
Bisnis Vol. 25, 2006.

-------------. “Problematika Hukum Dalam Jasa Keagenan”. Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis Vol.
13, 2001.

Listyawati, Peni Rinda. “Lembaga Keagenan (Upaya Menata Perantara Dagang Secara Profe-
sional”. Jurnal Hukum Vol. XIV No. 2 (Oktober 2004).

Marsh, S.B. dan Soulsby, J. Hukum Perjanjian (Alih Bahasa Abdul Kadir Muhammad). Band-
ung : P.T. Alumni, 2006.
384 Yuridika: Volume 28 No 3, September – Desember 2013

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Pranada Media.

Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi. Hukum Perutangan. Yogyakarta : Seksi Hukum Perdata
Uni- versitas Gadjah Mada, 1980.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Nieuwenhius, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Terjemahan Djasadin Saragih). Surabaya :

1985. Pembinaan Hukum Nasional. Laporan Akhir Pengkajian tentang Beberapa Aspek

Hukum Per-
janjian Keagenan dan Distributor. Jakarta : Departemen Kehakiman, 1994.

Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Yustisi, 2000.

Satrio, J. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya. Bandung : P.T. Alumni, 1999.

Setiawan, I Ketut Oka. Lembaga Keagenan: dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indo-
nesia. Bandung : Ind Hill Co., 1996.

Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian. Bandung : Putra A. Bardin, 1999.

Simamora, Y. Sogar. “Pemahaman Terhadap Beberapa Aspek Dalam Perjanjian Keagenan”.


Surabaya : Yuridika No.2 Tahun IX, 1996.

Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.

Soebagijo, Felix Oentoeng. Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi,
dalam Hukum ekonomi. Jakarta : UI Press, 1996.

Subekti, R. Aneka Perjanjian, Cet. X. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995.

Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta : Prenada Media, 2004.

Anda mungkin juga menyukai