Anda di halaman 1dari 4

Kita semua tahu bahwa tiada hari tanpa kontrak.

Kontrak dibuat oleh berjuta individu atau pelaku bisnis sebagai rule of the game tentang hak dan kewajiban yang seimbang. Dalam bisnis, tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah tercapainya keuntungan masa depan. Tidak lazim bahwa suatu kontrak berisi hal-hal yang buruk dan merugikan para pihak. Agar keuntungan masa depan dapat terwujud, ada beberapa upaya yang hendaknya dilakukan untuk itu. Pertama, Kontrak hendaknya dibuat dengan memenuhi kreteria sah menurut hukum sehingga mengikat kedua belah pihak. Di dalam hukum, terdapat ketentuan tentang syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, yang terdiri dari: a) Kesepakatan kehendak; b) kewenangan berbuat; c) Perihal tertentu; dan d) Kausa (sebab) yang legal. Bersepakat dalam Berbisnis Kesepakatan, dalam literatur asing dikenal sebagai agreement. Suatu kontrak dapat diterapkan dan mempunyai daya ikat haruslah terdapat pernyataan sepakat dari kedua belah pihak yang isinya adalah offer (penawaran) dari pihak offeror (yang menawarkan) dan acceptance ( penerimaan) atas offer oleh offeree ( yang diberi tawaran). Kesepakatan artinya bahwa para pihak seharusnya sepakat dalam balutan prinsip Kebebasan Berkontrak. Bahwa, kita bebas menentukan dengan siapa membuat kontrak, bebas menentukan isi dan bentuk kontrak. Intinya, Kontrak adalah pilihan bebas anda. Manusia adalah agen yang merdeka (free agent) dan oleh karena itu adalah wajar untuk tidak terikat dan sama wajarnya dengan terikat (that is just as natural to be unbound as it is to be bond) dalam sebuah kontrak. Maka sejak awal berhati-hatilah dalam membuat deal dalam bisnis! Kewenangan berbuat adalah suatu contractual capacity. Artinya terdapat kapasitas untuk membuat kontrak. Buatlah kontrak dengan orang yang memiliki kecakapan dan kewenangan untuk itu. Sejak awal carilah mitra bisnis yang memiliki rekam jejak (track reccord) yang baik. Carilah rekan bisnis yang memiliki keabsahan dan memang berwenang untuk berbuat, memiliki kejelasan tentang itikad baik dan tentu saja rekan bisnis yang selalu menepati janji. Suatu hal tertentu adalah suatu lawful object. Artinya kontrak harus untuk menjalankan suatu prestasi yang sah dan tertentu menurut hukum. Dalam hukum kontrak internasional dikenal suatu asas yaitu NO QUANTITY, NO CONTRACT. Artinya tidak ada suatu kontrak tanpa jelas menyebutkan suatu prestasi tertentu. Prestasi dapat berupa perbuatan yang tertentu atau pemenuhan suatu jumlah barang tertentu. Misal, berjanji untuk melakukan kerjasama melalui waralaba suatu produk makanan tertentu pada suatu daerah tertentu dalam suatu kurun waktu tertentu. Sebab yang halal adalah suatu consideration. Suatu pertimbangan yang sah menurut hukum. Janji haruslah didukung oleh pertimbangan yang terjadi dalam tawar menawar yang sah menurut hukum. Kita dapat menyandarkan jaminan keamanan pemenuhan janji kepada moral dan ajaran agama. Bahwa suatu kontrak tidak boleh diniatkan kepada suatu perbuatan yang tidak sah dan melanggar hukum yang berlaku. Kewajiban yang ditimbulkan dari adanya janji harus dapat diakui dan dijamin oleh hukum yang memiliki kekuatan pemaksa. Hukum dalam hal ini memberikan jaminan (legally enforceable contract) apabila salah satu pihak gagal untuk memenuhi janjinya. Seharusnya orang, sejak awal berjanji untuk taat untuk melaksanakan isi perjanjian yang halal. Sistem pengadilan dapat digunakan untuk melaksanakan kontrak dan menuntut pemenuhan harapan kesenangan dan penggantian kerugian, sebagai alternatif yang paling akhir.

Anatomi Sebuah Kontrak Upaya yang kedua adalah, kontrak harus dibuat dengan memperhatikan anatomi sebuah kontrak. Pembuatan kontrak seringkali tidak mudah dilakukan. Selama ini, tidak terdapat aturan yang baku tentang teknik-teknik pembuatan suatu kontrak. Tidak ada bentuk kontrak yang selalu cocok dalam setiap transaksi umat manusia. Bentuk dan isi kontrak dapat bermacam-macam sesuai selera. Dalam praktek ada kecenderungan untuk mengusahakan suatu bentuk kontrak yang relatif baik dan sistematis. Penyusunan kontrak secara sistematis, berguna bagi para pihak untuk dapat melihat hukumnya, kepentingannya, ataupun hak dan kewajibannya secara jelas. Secara ringkas Prof Erman Rajagukguk, mengutarakan bahwa suatu kontrak mempunyai anatomi seperti sebagai berikut : Anatomi Kontrak Bisnis Bagian I yang isinya harus diterapkan dalam semua kontrak yaitu antara lain: judul, tanggal, para pihak, kata sepakat menggunankan latar belakang (recitle), mengenai sesuatu untuk apa perjanjian diadakan, tidak melangar hukum (sesuatu sebab yang halal) dan pasal 1 yang isinya tentang definisi. Bagian II merupakan bagian dari kontrak berisi tentang isi kontrak yang khas. Bagian inilah yang membedakan isi kontrak yang satu dengan kontrak yang lain. Yang dapat dilakukan adalah mengkoleksi contoh-contoh kontrak atau literature-literatur tentang kontrak dalam suatu check list. Bagian III Merupakan suatu bagian kontrak yang berisi pasal-pasal yang harus ada di semua kontrak yang dibuat meliputi isi kontrak yang prinsip antara lain yaitu: wanprestasi (even of default), peringatan (notice) atau somasi, ganti rugi atau denda, force majeure atau keadaan darurat, choice of law/governing law/applicable law, Penyelesaian sengketa (settlement of dispute), bahasa yang dipakai, ketentuan amandemen untuk kontrak jangka panjang, the entire agreement (kalimat dari keseluruhan perjanjian), penutup dan tanda tangan. Sedangkan sebagai upaya ketiga, selayaknya kita memahami dengan cermat adanya fase-fase dalam sebuah kontrak. Di dalam suatu kontrak, terdapat fase-fase tertentu yang melekat erat pada kata kontrak, yaitu: a). Preparation phase yaitu, fase persiapan dari proses negosiasi sampai dengan penandatanganan kontrak; b). Performance phase yaitu suatu fase pelaksanaan kontrak itu tanpa ada permasalahan hokum; c). Enforcement phase yaitu suatu fase pelaksanaan kontrak apabila terdapat permasalahan hukum. Dalam ketiga fase tersebut di atas harus diperhatikan dan dipahami dengan menggunakan beberapa aspek yang dapat mempengaruhinya, yaitu: a). cultural aspect; b). legal aspect; c). practical aspect. Phase Kontrak

Pelaksanaan dari cara bekerjanya ketiga aspek tersebut dalam fase kontrak adalah sebagai berikut: Cultural aspect. Dalam cara persiapan kontrak, secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa masing-masing negara memiliki budaya, adat istiadat yang berbeda baik (negosiasi, format tulisan, tanda tangan dan cap). Dalam pelaksanaan kontrak misalnya ada budaya bahwa kontrak merupakan satu-satunya sumber hukum apabila sudah dibuat, tetapi ada negara yang melihat berbeda. Dalam fase pelaksanaan kontrak apabila ada konflik hukum, Amerika misalnya melalui proses litigasi yang menekankan penegakan rights di pengadilan dan berlainan di Jepang yang lebih menyukai melalui order atau pengaturan bersama yang merupakan kewajiban dan merupakan hal yang tabu apabila sampai harus ke pengadilan. Legal aspect. Dalam phase persiapan: Perlu diketahui terlebih dahulu kontrak yang akan di buat itu akan berdasar hukum yang mana? Secara mikro harus mengetahui peraturan perundangundangan apa saja yang terkait dan disesuaikan dengan bidang usaha yang akan dibuatkan kontraknya. Dalam fase pelaksanaan apakah kontrak sudah sesuai dengan hukum positif pada saat kontrak di buat? Untuk kontrak jangka panjang lawyer harus melakukan perbaikanperbaikan berdasarkan perkembangan peraturan perundang-undangan yang baru. Dalam fase penegakan hukum, Indonesia tidak mengakui putusan hakim luar negeri, tapi Indonesia mengakui putusan hakim arbitrase, ataukah lebih baik perdamain? mana yang lebih praktis dan efisien? Practical aspect. Dalam phase persiapan, Lawyer yang baik akan mempersiapkan draft kontrak terlebih dahulu. Dalam fase pelaksanaan, maka lawyer harus mengetahui dan mengantisipasi adanya segi-segi praktis, antara lain adanya perkembangan pemberian quality control, di lembaga mana bisa diperoleh? Pemahaman terhadap masalah teknis produksi, dll. Dalam fase penegakan hukum kontrak, maka apakah diperlukan suatu analisis ekonomi (economic analysize) atau pendekatan cost and benefit. Sehingga bisa dihitung mahalnya berkonflik melalui pengadilan daripada keuntungannya yang tidak sebanding. Seandainya ketiga upaya tersebut di atas dilakukan, maka besar kemungkinan suatu konflik karena wanprestasi tidak akan terjadi. Karena sudah diantisipasi sejak awal melalui upaya pencantuman klausula wanprestasi, klausula somasi, klausula ganti rugi dan klausula lembaga penyelesaian sengketa. Pada prinsipnya, kronologis penanganan suatu wanprestasi, adalah melalui upaya yang tidak ringan dan membutuhkan konsentrasi tersendiri. Mula-mula, harus diupayakan sebuah langkah untuk menentukan bahwa suatu pihak telah melakukan wanprestasi. Pihak yang dirugikan haruslah terlebih dahulu melakukan langkah somasi/peringatan untuk

memberi tahu kedudukan pihak yang tidak melaksanakan prestasi itu, bahwa mereka telah berada dalam kondisi dinyatakan lalai oleh kreditur. Setelah somasi dilakukan dan tidak ada respon positif, maka untuk mengembalikan kerugian yang terjadi adalah dimintakan suatu ganti rugi. KUH Perdata melalui pasal 1243, memberikan perincian tentang kerugian secara luas dalam 3 (tiga) kategori yaitu: pertama, biaya : setiap biaya yang harus dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan karena wanprestasi, missal biaya pembuatan draft, biaya konsultan hukum, notaries, biaya perjalanan, dsb. Kedua, kerugian: dalam arti sempit dijelaskan sebagai keadaan merosotnya kekayaan kreditur sebagai akibat wanprestasinya si debitur. Ketiga, bunga: yakni keuntungan yang seharusnya diperoleh yang karena wanprestasinya debitur menjadi musnah (pasal 1246 KUH Perdata). Dan bukan hanya sekedar bunga bank (interest). Penghitungan kerugian adalah sejak saat si debitur itu dinyatakan wanprestasi dan tetap tidak melakukan prestasi. Ganti kerugian tidak dapat diminta apabila terjadi alasan force majeure. Kerugian tersebut dapat diduga, bukan karena adanya tipu daya (Pasal 1247), dan kerugian itu benar-benar suatu akibat langsung dari wanprestasi (pasal 1248). Setelah ganti rugi dihitung untuk mengganti kerugian yang terjadi, maka pihak yang dirugikan haru melakukan upaya penuntutan hak. Gugatan ganti rugi harus dilakukan untuk memenuhi prinsip keseimbangan kontrak. Gugatan dapat diajukan melalui lembaga penyelesaian sengketa yang juga bebas dipilih, baik melalui lembaga pengadilan atau Lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase. Demikianlah seandainya kontrak harus dilaksanakan dengan sengketa, yang tentu saja ini tidak baik dalam sebuah bisnis. Mudah-mudahan pelaku bisnis selalu melihat dengan seksama ketiga upaya penyelamatan tujuan profitnya.

Anda mungkin juga menyukai