Anda di halaman 1dari 92

PENGENALAN PRINSIP-PRINSIP

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

KEMENTERIAN PEKERJAAM UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT


BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
PUSAT PENDIDIKAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN JALAN, PERUMAHAN, PERMUKIMAN DAN
PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH
dwi sapto

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini, peserta


mamp;
1) Memahami prinsip perencanaan dan desain
geometrik jalan.
2) Memahami karakteristik topografi, jaringan jalan,
superelevasi, dan jarak pandang henti/ menyiap
dan kebebasan samping.
3) Menerapkan strategi penanganan permasalahan
kondisi jalan baru dan eksisting (peningkatan).
dwi sapto

RUANG LINGKUP

KETENTUAN TEKNIS
• Klasifikasi Kelas Jalan • Jarak Pandang dan Jarak
• Penentuan Jumlah Lajur Daerah Bebas Samping
• Kecepatan Rencana (Vr) • Alinyemen Horisontal
• Kendaraan Rencana • Jari-jari tikungan
• Bagian bagian Jalan • Bagian Peralihan
• Potongan Melintang • Kemiringan Melintang
• Alinyemen vertikal
dwi sapto

1
Prinsip Perencanaan dan Desain
Geometrik Jalan

 SISTEM JARINGAN JALAN


 PARAMETER DESAIN
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


KLASIFIKASI JALAN
adalah pengelompokan yang terdiri :
jalan
1. Kelas Jalan
2. Sistem Jaringan Jalan
3. Fungsi Jalan
4. Status Jalan
5. Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan
6. Klasifikasi Medan
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


1. KLASIFIKASI KELAS JALAN
Adalah pengelompokan jalan berdasarkan Fungsi, Dimensi kendaraan
dan
Muatan Sumbu Terberat yang harus dilayani dengan ciri-ciri sbb:
Muatan Sumbu
Kelas Jalan Fungsi Jalan Dimensi Kendaraan
Terberat / MST (ton)

Lebar ≤ 2,5m,
Kelas I Arteri, Kolektor Panjang ≤18,0m,
10
Arteri, Kolektor, Tinggi
Lebar ≤ ≤ 4,2m
2,5m,
Kelas II Lokal dan Panjang ≤ 12,0m, 8
Lingkungan Tinggi ≤ 4,2m
Arteri, Kolektor, Lebar ≤ 2,1m,
Kelas III Lokal dan Panjang ≤ 9,0m, 8
Lingkungan Tinggi ≤ 3,5m
Lebar > 2,5m,
Kelas
Khusus
Arteri Panjang > 18,0m, >10
Tinggi > 4,2m

Perencanaan jalan dapat menentukan kelas jalan dengan melihat data proporsi
jenis kendaraan yang harus dilayani dengan memperhitungkan juga fungsi
jaringan jalan secara hirarkis.
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


2. KLASIFIKASI SISTEM JARINGAN JALAN
Merupakan pengelompokan jalan sebagai satu kesatuan jaringan jalan, terdiri dari
sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam
hubungan hierarki dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. SISTEM JARINGAN JALAN PRIMER (SJJP),
sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan
semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa
distribusi yang berwujud antar pusat kegiatan nasional. Jadi ruas jalan (SJJP) tersebut
menghubungkan kota dengan kota yang berwujud pusat kegiatan nasional (antar kota).
2. SISTEM JARINGAN JALAN SEKUNDER (SJJS),
adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi pusat kegiatan
di wilayah dalam kawasan perkotaan.
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


2. KLASIFIKASI SISTEM JARINGAN JALAN
Sistem jaringan jalan primer tidak boleh terputus, maka SJJP
dimungkinkan untuk memasuki kedalam wilayah sistem sekunder (SJJS
perkotaan). Dengan demikian penting bahwa saat perencanaan agar
dapat
mengkoordinasikan keterhubungan/ persinggungan SJJP dgn SJJS yang
karakter lalu lintasnya berbeda.

??
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


3. KLASIFIKASI FUNGSI JALAN
(pasal 8 UU no. 38 tentang jalan)

1. JALAN ARTERI, adalah jalan umum, melayani angkutan utama,


dengan ciri-ciri:
 Perjalanan jarak jauh;
 Kecepatan rata-rata tinggi;
 Jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien;
2. JALAN KOLEKTOR, merupakan jalan umum, melayani angkutan
pengumpulan/ pembagi, dengan ciri-ciri:
 Perjalanan jarak sedang;
 Kecepatan rata-rata sedang;
 Jumlah jalan masuk dibatasi.
3. JALAN LOKAL, adalah jalan umum, melayani angkutan setempat,
dengan ciri-ciri:
 Perjalanan jarak dekat;
 Kecepatan rata-rata rendah;
 Jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


3. KLASIFIKASI FUNGSI JALAN :
4. JALAN LINGKUNGAN, jalan umum yang melayani
angkutan lingkungan dengan ciri-ciri:
 Perjalanan menuju persil/ rumah;
 Kecepatan rata-rata rendah;
 Jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


4. KLASIFIKASI STATUS JALAN :
Jalan umum berdasarkan STATUSnya dikelompokkan menjadi:
1. Jalan NASIONAL terdiri atas:
• Arteri Primer;
• Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi;
• Tol; dan
• Strategis Nasional.
2. Jalan PROVINSI terdiri atas:
• Kolektor Primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten atau kota;
• Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten
atau kota;
• Strategis Provinsi; dan
• Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


4. KLASIFIKASI STATUS JALAN :
3. Jalan KABUPATEN terdiri atas:
• jalan Kolektor Primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan
provinsi;
• jalan Lokal Primer yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat
desa, antar ibukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa,
dan antar desa;
• jalan Sekunder yang tidak termasuk jalan provinsi dan jalan
Sekunder dalam kota; dan
• jalan Strategis kabupaten.
4. Jalan KOTA adalah :
• jalan umum pada jaringan jalan Sekunder di dalam kota yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota,
menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang
berada di dalam kota.
5. Jalan
• DESA adalah :
jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/ atau antar
permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


5. KLASIFIKASI SPESIFIKASI PENYEDIAAN PRASARANA JALAN
Pengelompokkan jalan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas
dan angkutan jalan, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Jalan Bebas Hambatan,
jalan dengan spesifikasi pengendalian jalan masuk secara penuh, tidak ada
persimpangan sebidang, dilengkapi pagar ruang milik jalan, dilengkapi
dengan median, paling sedikit mempunyai 2 lajur setiap arah, dan lebar lajur
paling sedikit 3,5 meter.
2. Jalan Raya,
yaitu jalan umum untuk lalu lintas secara menerus dengan pengendalian
jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2
(dua) lajur setiap arah, lebar lajur paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter.
3.
Jalan Sedang,
adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan pengendalian
jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah
dengan lebar jalur paling sedikit 7 (tujuh) meter.
4. Jalan Kecil,

adalah
jalan umum
untuk
melayani
Pasal 10 UU no. 38 tahun 2004 tentang Jalan
lalu 31 dan
Pasal lintas
32 PP no. 34 tahun 2006 tentang
dwi sapto

SISTEM JARINGAN JALAN


6. KLASIFIKASI MEDAN
Klasifikasi berdasarkan medan berkaitan dengan topografi. Klasifikasi
golongan medan mempunyai pengaruh pada alinyemen jalan.
Pengelompokan medan didasarkan dengan kriteria kondisi tingkat kemiringan
medan tegak
diukur yang lurus garis kontur Kemiringan Medan
No Jenis Medan Notasi
(%)
1 Datar D < 10
2 Perbukitan B 10 -25
3 Pegunungan G > 25
dwi sapto

PARAMETER DESAIN
Dalam perencanaan dibutuhkan 3 (tiga) parameter
desain yang pada akhirnya dapat mewujudkan
desain sesuai dengan kebutuhan yaitu :
1. Kecepatan Rencana
2. Kendaraan Rencana
3. Volume Lalu Lintas
4. Rencana
Lingkungan
Hal lain terkait parameter desain juga dijadikan
konsideransi dalam analisis perencanaan adalah :
• Satuan Mobil Penumpang
• Penentuan Jumlah Lajur
dwi sapto

KECEPATAN RENCANA (VR)


Kecepatan rencana (VR) kendaraan menentukan :
• parameter untuk desain geometrik jalan;
• klasifikasi jalan rencana atau masa mendatang;
• penentuan kecepatan pengoperasian jalan.
BATASAN BIAYA pembangunan jalan seringkali membatasi
sehingga awalnya lebih baik tentukan VR yang paling (lebih)
tinggi, karena :
• menghemat biaya untuk jangka panjang. Sulit untuk
menambah VR bila butuh perubahan geometrik jalan berupa
perbaikan kelandaian memanjang, jarak pandang serta
lengkung horizontal dan vertikal.
• Perbaikan mungkin termasuk konstruksi perkerasan
• eksisting
• Mungkin Perlu penambahan Rumija. (sulit di perkotaan)
Batas kecepatan pengoperasian kendaraan dapat diturunkan
dwi sapto

KECEPATAN RENCANA (VR)


PP No. 34/ 2006 tentang Jalan, pasal 12 s/d 20 menentukan
kecepatan minimum sebagai acuan menentukan kecepatan
rencana minimum sesuai jaringan dan fungsi jalan :

Kecepatan Rencana
Sistem Jaringan Jalan Fungsi Jalan
Minimum (km/jam)
Arteri 60
Kolektor 40
Sistem Jaringan Jalan Primer
Lokal 20
Lingkungan 15
Arteri 30
Sistem Jaringan Jalan Kolektor 20
Sekunder Lokal 10
Lingkungan 10

PP No. 79/ 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
pasal 23.(4).c diatur batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan
secara nasional untuk jalan perkotaan adalah 50 km/jam
dwi sapto

KENDARAAN RENCANA
Terdapat 2 (dua) kategori utama kendaraan rencana dan perbedaan
utama antara keduanya disimpulkan sebagai berikut :

KENDARAAN PENUMPANG KENDARAAN BESAR


Tinggi mata pengemudi lebih rendah untuk Tinggi mata pengemudi lebih tinggi untuk
perhitungan jarak pandang perhitungan jarak pandang, secara langsung
dipengaruhi oleh sudut kelandaian jalan.
Dapat cepat berakselerasi dengan Akselerasi lebih lambat
kecepatan tinggi.
Jarak pengereman yang lebih pendek dari Jarak pengereman lebih panjang
kendaraan besar
Pada alinyemen horizontal perlu lajur lebih
lebar, radius putar lebih besar, mungkin
perlu pelebaran lajur pd tikungan untuk
mengakomodasi jalur gerak roda,
Ruang bebas vertikal yang ditentukan untuk
mengakomodasi tinggi kendaraan
dwi sapto

KENDARAAN RENCANA
Radius Putar dan Lintasan Kendaraan Rencana

O 1 m 2.Sm
Ski li

6.10m
9 .15m

.'\lur Bada
Keodu aa
K:maoD epao

Kt.nd11run "<; ,'


.>: Ahu- Roda

,7 /
K.. auD<P•• Kuaa
oDepa
I \
o
\

\
I
/ \
\
I
I \ I
\ I
\ I
I \

'
I
I \
\
I I I
I I
I I I
I
' I
'' fl.S
I
l,83m : I
I I I
I
' I
I
1
I
I
Ahu-Bid.to Ktod.1run
I KiriBt.bk:lna O 1m 2.5m
Slab
'
I
0----0
• AsumsiSudutKemudiad•bh 31,6°
I • RPK• R•dwsl'uurao Keod•ruo p•d•
'
I
I
I Poros SumbuDep•o ,_ l,IJm~
dwi sapto

KENDARAAN RENCANA
Radius Putar dan Lintasan Kendaraan Rencana

....
.. -

~
....... -••';' ....
dwi sapto

KENDARAAN RENCANA
Jenis kendaraan rencana berkaitan dengan :
1. Geometrik jalan (dimensi dan radius putar), ref: Manual Desain Geometrik
2. Konstruksi struktural (pembebanan), ref: Manual Desain Perkerasan
Survei jenis kendaraan (jln eksisting) menggambarkan dimensi geometrik jalan
yang dibutuhkan karena menunjukkan mayoritas ukuran beban dan dimensi
kendaraan operasional jalan.
Untuk kebutuhan perencanaan geometrik jalan dapat dipilih sesuai dengan
kebutuhan rencana penggunaan jalan tersebut.
Prinsipnya: 2 (dua) hal terkait adalah tonase (termasuk muatannya) dan
dimensi kebutuhan ruang jalan untuk pergerakan, radius putar
dwi sapto

SATUAN MOBIL PENUMPANG


• Satuan Mobil Penumpang (SMP) adalah angka satuan kendaraan dalam hal
kapasitas jalan, di mana mobil penumpang ditetapkan memiliki satu SMP.
• SMP untuk jenis jenis kendaraan dan kondisi medan lainnya dapat dilihat
dalam Tabel . Ekivalen Mobil Penumpang (Emp).
Detail nilai SMP dapat dilihat pada buku Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)
No.036/TBM/1997.

No. Jenis Kendaraan Datar/ Perbukitan Pegunungan

1. Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0

2. Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2 - 2,4 1,9 - 3,5

3. Bus dan Truck Besar 1,2 - 5,0 2,2 - 6,0


dwi sapto

PENENTUAN JUMLAH LAJUR


JUMLAH LAJUR :
1. Ditentukan berdasarkan prakiraan VLR (smp/hari) dan untuk volume
lalu lintas untuk kedua arah.
2. Dalam menghitung VLR, karena pengaruh berbagai jenis kendaraan,
digunakan faktor ekivalen mobil penumpang (emp).
3. Ketentuan nilai emp untuk ruas jalan yang arusnya tidak dipengaruhi
oleh persimpangan, seperti ditunjukkan pada Tabel
4. Bila arus lalu lintas ruas jalan dipengaruhi persimpangan dan akses
jalan, maka titik kritis perencanaannya ada pada arus lalu lintas
persimpang.

• Kendaraan tidak bermotor tidak diberi


nilai emp, karena sangat bervariasi
• Bila jumlahnya >10% atau beda
kecepatan >30 km/jam (dominan),
mungkin perlu perencanaan fasilitas
khusus, misalnya dengan pembuatan
jalur khusus
dwi sapto

PENENTUAN JUMLAH LAJUR


PENENTUAN JUMLAH LAJUR
Emp
Arus lalu lintas
MC
Tipe Jalan Total dua arah
(kend/ jam) HV Lebar Jalur lalu lintas Wc (M)
≤6 ≥6
Dua lajur tak terbagi 0 s/d 1.800 1.3 0.50 0.40
(2/2 UD) > 1.800 1.2 0.35 0.25
Empat Lajur tak terbagi 0 s/d 3.700 1.3 0.40
(4/2 UD) > 3.700 1.2 0.25

Arus lalu lintas Emp


Tipe Jalan per lajur
(kend/ jam) HV MC
Dua lajur satu arah (2/1) dan
empat lajur terbagi 0 s/d 1.050 1.3 0.40
(4/2 D) > 1.050 1.2 0.25

Tiga lajur satu arah (3/1) dan


enam lajur terbagi (6/2 D)
0 s/d 1.100 1.3 0.40
> 1.000 1.2 0.25

Keterangan : HV : kendaraan berat; kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,50 m,
biasanya
beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi)
MC : sepeda motor; kendaraan bermotor beroda dua atau tiga,
dwi sapto

PENENTUAN JUMLAH LAJUR


PENENTUAN JUMLAH LAJUR
• Volume Lintas Harian Rencana (VLR) : smp/ hari, menyatakan volume lalu lintas utk kedua
• arah Volume Jam Sibuk Rencana (VJR) : Prakiraan volume lalu lintas pd jam sibuk tahun
• rencana. Jalan 2-lajur 2-arah-tak terbagi VJR dinyatakan dalam smp/ jam untuk dua arah.
• Jalan berlajur banyak (4 lajur-2-arah) terbagi maka VJR dalam smp/ jam untuk arah tersibuk
(Fsp).
VJR dihitung dengan rumus:

Untuk jalan 2 lajur-2-arah :

Untuk jalan berlajur banyak, per arah :

Keterangan:
k faktor volume lalu lintas jam sibuk %;
Dalam hal tidak ada data, boleh digunakan k = 9;
F faktor variasi tlngkat lalu lintas perseperempat jam pada jam
sibuk;
Fsp dalam hal tidak
koefisien volume adalalu
data, boleh
lintas digunakan
dalam F = 0,8;per arah, % , yang ditetapkan
arah tersibuk
berdasarkan
data; dalam hal tidak ada data, boleh digunakan Fsp = 60.
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya yang
diperlukan pada jalan arteri di kawasan perkotaan.
dwi sapto

LINGKUNGAN
Pembangunan jalan merupakan suatu proses yang membutuhkan
pembukaan ruang sehingga :
• mengubah topografi, merubah
kondisi
• membuka hutan = ganggu Flora & Fauna lingkungan yang
sudah stabil
• memindahkan hunian dan manusia.
dwi sapto

LINGKUNGAN
Metode pengerjaannya melibatkan kegiatan :
• Pembukaan hutan
• Gundul
• Pemindahan tanah, galian & timbunan • Banjir
• Pemadatan, lapis perkerasan jalan • Getaran
• Pengoperasian kendaraan dan peralatan berat • Berisik
• Polusi udara

, .
"~
.

_ ?
dwi sapto

LINGKUNGAN
Banjir dan Longsor

Perencanaan geometrik jalan


harus memperhitungkan potensi:
• Banjir pada jalan raya
• Longsor pada lokasi
pemotongan tebing

Pencegahan banjir dan longsor:


• Drainase yg baik
• Perlintasan dengan badan air
yang sesuai
• Stabilisasi lereng yg aman
dwi sapto

LINGKUNGAN
DRAINASE dan TATA KOTA

Drainase jalan
perkotaan yang baik

Perencanaan GJP melihat


juga Lingkungan tata kota
dwi sapto

2
Karakter Topografi
Jaringan Jalan, Super Elevasi, Jarak Pandang
dan
Kebebasan Samping

 Keselarasan alinemen.
 Konfigurasi/ tipe jalan.
dwi sapto

KESELARASAN ALINYEMEN
TRASE JALAN :
Pemilihan trase jalan perencanaan jalan tergantung dari faktor-
faktor sbb:
A. TOPOGRAFI
Mempengaruhi aspek perencanaan seperti : landai jalan, jarak
pandang, penampang melintang dan lain-lain.
Kondisi medan seperti bukit, lembah, sungai dan danau sering
jadi pembatas terhadap pemilihan lokasi perencanaan trase
jalan karena menentukan :
 Tikungan; R tikungan, Lebar perkerasan dan pandangan
bebas yang cukup agar jalan berkeselamatan .
 Tanjakan; Tanjakan yang curam merugikan kecepatan
kendaraan dan konsekuensinya adalah muatan kendaraan
harus dikurangi, yang berarti mengurangi kapasitas
angkutan dan tidak ekonomis. Karena itu diusahakan
supaya tanjakan dibuat landai sesuai dengan peraturan
 yang berlaku
Bangunan pelengkap jalan; dibutuhkan jembatan, drainase
dan tembok penahan tanah etc, untuk mengatasi perbaikan
trase agar sesuai dengan peraturan
dwi sapto

KESELARASAN ALINYEMEN
TRASE JALAN :
B. GEOLOGI
Daerah yang rawan secara geologis seperti; daerah patahan
atau daerah bergerak baik vertical maupun horizontal akan
merupakan daerah yang sebaiknya dihindari untuk rencana
trase jalan, atau terpaksa perbaikan trase jalan dilakukan
dengan pemindahan trase.
Keadaan tahah dasar mempengaruhi lokasi, jenis
konstruksi jalan: tanah dasar
 Daya dukung
 Muka air tanah yang tinggi.
 Kondisi iklim
C. TATA GUNA LAHAN
Tata guna lahan biasanya merupakan hal yang penting dalam
perencanaan trase jalan, karena terkait dengan:
 Pembebasan/ pengadaan lahan sesuai RUTR, persil dll
 Rencana sarana transportasi
 Perubahan kualitas hidup masyarakat terdampak
 Perubahan nilai lahan.
dwi sapto

KESELARASAN ALINYEMEN
TRASE JALAN :
D. LINGKUNGAN
Kegiatan pembangunan jalan mempunyai pengaruh
terhadap lingkungan. Pembangunan jalan harus
mempertimbangkan Amdal (Analisis mengenai dampak
lingkungan).
Pelajari dokumen terkait yang mensyaratkan
rekomendasi, usaha kelola dan pemantauan terkait
lingkungan
dwi sapto

KESELARASAN ALINYEMEN
PEMETAAN TOPOGRAFI
 Penentuan trase dengan harus berdasarkan dari data peta
topografi dengan tingkat akurasi tertentu.
 Peta berskala 1 : 50.000 mungkin berguna untuk pra
pemilihan trase
 Peta berskala 1 : 1.000 atau lebih detail lagi merupakan
sumber data yang lebih baik ketika dibutuhkan untuk
detail desain.
 Adalah sangat tidak bijaksana untuk mengambil resiko
besar dengan menggunakan peta yang tidak akurat
sebagai dasar perencanaan DED
 Kaitkan juga dengan Peta Tata Guna Lahan, Peta Batas
Persil dll.
dwi sapto

KESELARASAN ALINYEMEN
KUALITAS PETA TOPOGRAFI
Kualitas peta akan menentukan akurasi hasil perencanaan
karena merupakan input data sejak level perencanaan tingkat
hulu; dan kualitas peta tergantung dari :
 Ketelitian alat ukur terkalibrasi yang dipakai
 Surveyor yang berkompetensi baik
 Pemetaan harus didampingi oleh pengawas
 Hasil pengambilan data harus yg sudah diperiksa
pengawas
 Drawing dan desain dapat dengan komputer alat
sebagai
bantu
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
Umum,
Prosed
ur
Desain
Jari
, Jari Tikungan Minimum,
Jari Tikungan Yang Disarankan,
Bentuk
Jari
Jari Jari Minimum dengan Kemiringan Normal,
Tikung
an, jari Minimum Bagian Jalan Dengan Kemiringan Normal
Jari
Panjan
g
Tikung
an,
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
UMUM
Alinyemen horizontal pada jalan perkotaan diatur agar memenuhi
kebutuhan teknik dasar serta untuk menyediakan tempat yang
cukup bagi lalu lintas para pemakai jalan.
Pertimbangan dalam perencanaan jalan perkotaan :
1. Disesuaikan dengan topografi dan geografi daerah di sekitarnya
2. Kemantapan alinyemen
3. Koordinasi antara alinyemen horizontal dan vertikal
4. Perspektif yang disetujui
5. Keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi, penumpang dan
pejalan kaki
6. Keterbatasan-keterbatasan pada pelaksanaan
7. pembangunannya
Keterbatasan anggaran
Mempertimbangkan pembangunan
kemungkinan tahapan dan pemeliharaanyadapat
pembangunannya;
berupa peningkatan perkerasan, perbaikan alinyemen, vertikal atau
horizontal pada masa mendatang, yang dapat dilaksanakan dengan
penambahan biaya seminim mungkin.
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
PROSEDUR DESAIN
Langkah dalam melakukan desain alinyemen horizontal adalah :
1. Identifikasi dan kategorisasi semua kontrol desain utama sepanjang
alinyemen yang diusulkan.
2. Tentukan kecepatan rencana sesuai klasifikasi jalan, medan dan pilih
radius minimum yang akan digunakan.
3. Siapkan alinyemen percobaan menggunakan serangkaian garis lurus
dan lengkung. Perhatikan bahwa lengkungan umumnya konsisten dan
perlu diperhatikan khususnya pada lengkung di akhir garis lurus yang
panjang.
4. Siapkan draft alinyemen vertikal dengan memperhatikan kontrol desain
vertikal, koordinasi antara alinyemen horizontal dan vertikal dan
drainase. Perhatikan bahwa lengkung horizontal mungkin perlu
diperbesar pada turunan. (kecepatan dapat bertambah)
5. Atur alinyemen sehingga semua kontrol desain wajib terpenuhi dan
lainnya juga terpenuhi sebanyak mungkin, radius lengkung memenuhi
kecepatan rencana pada semua lokasi. Kriteria kontrol lainnya, seperti
persimpangan dan akses- akses, untuk memastikan kontrol jarak
pandang minimum, dan kemiringan melintang semuanya terpenuhi
serta pekerjaan tanah dapat diminimalkan
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
PANJANG TIKUNGAN
Panjang tikungan (Lt) terdiri atas panjang busur lingkaran (Lc) dan panjang 2
lengkung spiral (Ls ) yang diukur sepanjang sumbu jalan. Untuk kelancaran
dan kemudahan mengemudikan kendaraan pada saat menikung pada jalan
arteri perkotaan panjang suatu tikungan > 6 detik perjalanan.
Pada tikungan full circle, nilai Ls = 0, sehingga Lt = Lc. Pada tikungan spiral-
spiral, nilai Lc = 0, sehingga Lt = 2Ls.
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
PANJANG TIKUNGAN
Untuk menjamin kelancaran dan kemudahan mengemudi kendaraan
pada saat menikung pada jalan perkotaan maka panjang suatu
tikungan sebaiknya tidak kurang dari 6 detik perjalanan
PANJANG TIKUNGAN
VR (km/h)
Minimum
100 170
90 155
80 135
70 120
60 105
50 85
40 70

30 55
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
JARI-JARI TIKUNGAN MINIMUM DENGAN SUPERELEVASI MAKSIMUM
Jari-jari tikungan minimum pada jalan perkotaan yg disarankan bila
terdapat keterbatasan yg ekstrim.
Standar Perencanaan geometrik jalan 1992
Kecepatan
Jari jari minimum ( m ) type l Jari jari minimum ( m ) type ll
Rencana
100 380 460
80 230 280
60 120 150
50 80 100
40 - 60
30 - 30
20 - 15
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
JARI-JARI TIKUNGAN Minimum dengan SUPERELEVASI MAKSIMUM
• Agar nyaman sebaiknya tidak digunakan Rmin dgn emax.
• Hanya untuk kondisi terain yang sulit dan keterbatasan dana
• Pada tikungan dgn R yg panjang gunakan Rmin utk tikungan tanpa
superelevasi
Pedoman Perencanaan geometrik jalan 2004
Jari-jari tikungan minimum, Rmin (m), emax = 6 %

VR (km/h) 100 90 80 70 60 50 40 30

fmax 0,12 0,13 0,14 0,14 0,15 0,16 0,17 0,17


Rmin 435 335 250 195 135 90 55 30
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
JARI-JARI Minimum dengan KEMIRINGAN NORMAL
Di daerah perkotaan yang sudah mantap adalah kurang tepat diadakan
superelevasi yang disebabkan oleh kondisi geografis dan topografis. Hal ini
karena perlu memberikan kemudahan untuk jalan masuk dan menyediakan sistim
drainase yang mantap.
Sebuah tikungan dengan jari jari yang panjang tidak memerlukan superelevasi
sampai dicapai suatu nilai jari jari tertentu.

Kecepatan Rencana Jari jari minimum pada kemiringan normal

(km/jam) (m)
i = 2,0 %
100
5000
80 3500
60 2000
50 1300
40 800
30 500
20 200
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
SUPERELEVASI
 Superelevasi harus dibuat pada semua tikungan kecuali tikungan yang
memiliki radius yang lebih besar dari Rmin tanpa superelevasi. Nilai
superelevasi rencana sesuai dengan VR.
 Superelevasi berlaku pada Jalur lalu lintas dan Bahu jalan.
 Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 6%. (Tabel 13), menunjukkan
hubungan parameter perencanaan lengkung horisontal dengan VR.
 Perhatikan drainase pada pencapaian kemiringan.
 Pada jalan perkotaan untuk kecepatan rendah bila keadaan tidak
memungkinkan, misalnya (akses lahan, persimpangan, tanggung
jawab, perbedaan elevasi). Superelevasi ditikungan boleh ditiadakan
sehingga kemiringan melintang tetap normal (2 %).
 Jika kondisi tidak memungkinkan, superelevasi dapat ditiadakan
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
SUPERELEVASI MAKSIMUM
Tikungan pada jalan yang mempunyai jari-jari lebih kecil daripada
persyaratan sebaiknya diberi superelevasi.
Superelevasi maksimum adalah
 Jalan tipe I sebesar < 10 %
 Jalan tipe II sebesar < 6 %
PENGECUALIAN pada JALAN
PERKOTAAN
Untuk daerah perkotaan yang
mantap dapat tidak diberikan super
elevasi bila kemiringan normal memang
diperlukan untukseperti
 Superelevasi memberikan
yang dinyatakan table, sesuai VR dan R.
kemudahan dan hubungannya dengan
 Untuk jalan tipe ll, superelevasi dapat tidak diterapkan di
jalan yang lain.
 atas.
SUPERELEVASI di TIKUNGAN
Bila VR < 30 km/ jam, perhitungkan karakter tinggi dan berat
kendaraan yang melewatinya serta kondisi geografi di daerah
tersebut.
dwi sapto

ALINYEMEN HORISONTAL
SUPERELEVASI di TIKUNGAN pada DAERAH yang MANTAP/
MAPAN
Pada
daerah ini superelevasi
Persimpangan dengan mungkin tidak
jalan yang laindapat diterapkan karena:
 Pemeliharaan saluran
 Jalan masuk persil.
Nilai superelevasi dalam tabel dikecualikan.
Untuk tikungan dengan jari jari lebih besar dari jari jari yang sesuai
superelevasi 2 % atau 1,5 % dalam table, perencanaan dapat dengan
kemiringan normal atau tidak diperlukan superelevasi.
Penerapan nilai pengecualian dalam merencanakan jalan perkotaan
konsistensi dengan perencanaan alinyemen sebaiknya ditekankan
pada aspek keamanan.
Sebagai contoh jalan jalan arteri dengan menggunakan standar normal,
sebaiknya tidak dihubungkan begitu saja dengan jalan yang
direncanakan dengan nilai pengecualian ini.
dwi sapto

ALINYEMEN VERTIKAL
 Alinyemen vertikal terdiri atas bagian lurus dan bagian
lengkung ;
 Bagian lurus dapat landai positif (tanjakan) atau landai
negatif (turunan), atau landai nol (datar).
 Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung
atau lengkung cembung
 Perubahan alinyemen vertikal dimasa yang akan datang
sebaiknya dihindarkan.

VR 100 90 80 70 60 50
(km/h)
kelandaian 5 5 6 6 7 8
maksimum (%)
dwi sapto

ALINYEMEN VERTIKAL
KELANDAIAN MAKSIMUM
 Pembatasan kelandaian maksimum dimaksudkan untuk
memungkinkan kendaraan bergerak tanpa kehilangan
kecepatan yang berarti.
 Tabel Kelandaian maksimum yang sesuai dengan VR

Kecepatan Rencana Landai Maksimm


( Km / jam ) (%)
100 3
80 4
60 5
50 6
40 7
30 8
20 9
10.00
dwi sapto

ALINYEMEN VERTIKAL
KEMIRINGAN MEMANJANG MAKSIMUM

10.00
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

JARAK PANDANG
 Manfaat jarak pandang,
 Klasifikasi Jarak Pandang,
 Parameter Jarak Pandang,
 Tinggi obyek.
 Tinggi mata Pengemudi,
 Waktu Reaksi Pengemudi,
 Perlambatan Longitudinal

10.15
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

UMUM
Keamanan dan kenyamanan pengemudi kendaraan untuk dapat melihat
dengan jelas dan menyadari situasinya pada saat mengemudi sangat
tergantung pada jarak yang dapat dilihat dan tempatnya duduk.
JARAK PANDANG adalah panjang jalan di depan kendaraan yang
masih
dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi.
MANFAAT JARAK
 PANDANG
Menghindarkan tabrakan yang membahayakan kendaraan dan
manusia akibat adanya benda (berbahaya), kendaraan yang
sedang berhenti, pejalan kaki, atau hewan pada lajur jalannya,
 Memberi kemungkinan mendahului kendaraan lain yang bergerak
dengan kecepatan lebih rendah dengan mempergunakan lajur di
sebelahnya.
 Menambah effisiensi jalan tersebut, sehingga volume pelayanan
dapat dicapai semaksimal mungkin.
 Pedoman bagi penempatan rambu lalu-lintas pada setiap segmen
jalan.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


JARAK PANDANGAN HENTI
yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraannya.
• Guna memberikan keamanan pada pengemudi, maka pada setiap
panjang jalan harus dipenuhi paling sedikit jarak pandang
sepanjang jarak pandang henti minimum
• Jarak pandang henti minimum adalah jarak yang ditempuh
pengemudi untuk menghentikan laju kendaraan setelah melihat
rintangan pada lajur jalannya. Rintangan itu dilihat dari tempat
duduk pengemudi dan setelah menyadari adanya rintangan,
pengemudi mengambil keputusan untuk berhenti.
• Jarak pandangan henti minimum merupakan jarak yang
ditempuh pengemudi selama menyadari adanya rintangan
sampai menginjak rem, ditambah jarak untuk mengerem
• Jarak pandang henti tergantung dari waktu reaksi yang nilai waktu
ini dipengaruhi oleh kondisi jalan mental pengemudi, kebiasaan,
keadaan cuaca, penerangan dan kondisi fisik pengemudi.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


 JARAK PANDANGAN
HENTI
Juga dipengaruhi
• Tahanan faktor :( Skid Resistence )
Pengereman
• Pengaruh Landai Jalan Terhadap Jarak Pandangan Henti Minimum
• Pertimbangan Pertimbangan Penentuan Besarnya Jarak Mengerem
Pada Jalan landai
• Jarak Pandang Henti Berdasarkan Kendaraan Truk
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


TAHANAN PENGEREMAN (SKID RESINTANCE)
 Dipengaruhi oleh tekanan ban, bentuk ban, bunga ban, kondisi ban,
permukaan dan kondisi jalan, dan kecepatan kendaraan,
 Besar tahanan pengereman dinyatakan dalam "koefisien gesekan
memanjang" jalan, fm atau "bilangan geser", N.
 fm adalah perbandingan gaya gesekan memanjang jalan dan
komponen gaya tegak lurus muka jalan, sedangkan bilangan geser,
N, adalah 100 fm.
 Koefisien gesekan lebih rendah pada kondisi jalan basah, sehingga
untuk perencanaan mempergunakan nilai dalam keadaan basah,
 Kecepatan kondisi basah lebih kecil (± 90%) atau sama dengan
kecepatan rencana, khususnya jalan dengan kecepatan tinggi.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


 JARAK PANDANGAN
•HENTI
Untuk perencanaan PIEV = 1,5 detik (AASHTO '90 )
• Setelah mengambil keputusan menginjak rem, maka pengemudi butuh
waktu sampai dia menginjak pedal rem rata-rata pengemudi 0,5 – 1,0
detik. Untuk perencanaan diambil waktu 1,0 detik, sehingga total
waktu yang dibutuhkan saat melihat rintangan sampai menginjak
pedal rem, disebut waktu reaksi = 2,5 detik.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


 JARAK PANDANGAN
HENTI
Jarak mengerem (d2) adalah Jarak yang ditempuh oleh kendaraan dari menginjak
pedal rem sampai kendaraan itu berhenti. Jarak pengereman ini dipengaruhi oleh
faktor ban, sistim pengereman itu sendiri, kondisi muka Jalan, dan kondisi perkerasan
jalan-

Pada sistim pengereman kendaraan, terdapat beberapa keadaan yaitu menurunnya


putaran roda dan gesekan antara ban dengan permukaan jalan akibat terkuncinya
roda. Untuk perencanaan hanya diperhitungkan akibat adanya gesekan antara ban
dan muka jalan.
GV2
G.f,,..d2 -
2g
v2
2g.f,.. .................. .,_, {
jika 2)
r; - koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang
jalan
d2 = jarak mengerem, m
V - kecepatan kendaraan, km/jam
g - 9,81 m/det2
G - berat kendaraan, ton

v2
d2 =----
254.fm ............... _,_._,l
3)
Jarak mengerem,
Ru mus umum dari jarak pandangan henti minimum adalah :
v2
d2=0,278.v.t+ 254.f
(4)
m
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


Tinggi Rintangan dan Mata Pengemudi untuk Perhitungan Jarak
Pandangan Henti Minimum

Tinggi rintangan Tinggi mata


Standar
Cm Cm

AASHTO 2009 15 106

AASHTO 2011 60 108

Austroads ( 2003 ) 0 108

Bina Marga (luar kota) 15 105

Bina Marga (urban) 10 100


dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


JARAK PANDANG HENTI MINIMUM.
Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan
( 1992 )
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

KLASIFIKASI JARAK PANDANG


 JARAK PANDANGAN MENYIAP
yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk dapat menyiap
kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan
menggunakan lajur untuk arah yang berlawanan
 Gerakan menyiap dilakukan dengan mengambil lajur Jalan yang
diperuntukan untuk kendaraan dari arah yang berlawanan.
 Jarak yang dibutuhkan pengemudi sehingga dapat melakukan
gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat kendaraan dari
arah depan dengan bebas dinamakan jarak pandang menyiap.
 Jarak pandang menyiap standar dihitung berdasarkan atas
panjang jalan yang diperlukan untuk dapat melakukan gerakan
menyiap suatu kendaraan dengan sempurna dan aman
berdasarkan asumsi yang diambil.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

JARAK PANDANGAN MENYIAP


Jarak pandangan menyiap standar untuk jalan dua lajur 2 arah
terdiri dari 2 tahap yaitu :
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

JARAK PANDANGAN MENYIAP


Jarak pandangan menyiap standar adalah :
D = d1 + d2 + d3 + d4

Dimana :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang
hendak menyiap dan membawa kendaraannya yang membelok
ke lajur kanan.
d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang menyiap berada pada lajur
sebelah kanan.
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang menyiap
dengan kendaraan yang berlawanan arah setelah gerakan
menyiap dilakukan.
d4 = Jarak tempuh kendaraan yang berlawanan arah selama 2/3 dari
waktu yang diperlukan oleh kendaraan yang menyiap berada
pada lajur sebelah kanan atau sama dengan 2/3 x d2.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

PARAMETER JARAK PANDANG


Jarak pandang sebagai parameter untuk desain geometrik jalan memiliki elemen-elemen
berikut :
 Ketinggian obyek
 Ketinggian mata pengemudi
 Persepsi pengemudi - waktu reaksi
TINGGI OBYEK
Untuk desain geometrik jalan, ketinggian objek ditunjukkan pada Tabel

Parameter tinggi Vertikal Tinggi (m) Penggunaan Tipikal


 Jarak pandang pada pendekat di persimpangan
 Jarak pandang pada pendekat ke taper pada akhir

1 Permukaan Jalan 0 jalur


tambahan.
 Jarak pandang lampu depan pada lengkung cekung
 Jarak persepsi lengkung horizontal
 Permukaan air saat banjir.
Jarak pandang henti normal mobil dan truk ke bahaya pada
2 Objek diam pd jalan 0,1
jalur jalan
 Jarak pandang henti terhadap bahaya pada pagar
3 Lampu belakang pengaman pinggir jalan pada lokasi terbatas
mobil/ lampu stop /  Jarak pandang henti truk terhadap bahaya pada
0,8 pagar
lampu indikator
 pengaman pinggir jalan pada lokasi terbatas
berbelok
Jarak pandang henti dimana terdapat penghalang di
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

PARAMETER JARAK PANDANG


TINGGI OBYEK
 Tinggi benda untuk perhitungan jarak pandang adalah
perpaduan panjang jarak pandang dan biaya konstruksi,
 Jarak pandang henti merupakan reaksi terhadap
kendaraan lain atau bahaya di jalan raya,
 Semakin kecil objek, semakin besar biaya konstruksi,
untuk lengkung vertikal cembung membutuhkan panjang
lengkung cembung yang lebih panjang.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

PARAMETER JARAK PANDANG


KETINGGIAN MATA
PENGEMUDI
 Kombinasi dari ketinggian pengemudi dan tinggi kursi pengemudi.
 Untuk truk digunakan 2,33 m.
 Tinggi mata pengemudi truk 2,33 m untuk lengkung cekung
sangat penting untuk memeriksa efek dari kenaikan biaya struktur
biaya pada jarak pandangan.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

PARAMETER JARAK PANDANG


PERSEPSI PENGEMUDI - waktu reaksi
Waktu reaksi adalah waktu diperlukan pengemudi untuk menerima
dan
bereaksi terhadap stimulus tertentu dan mengambil tindakan yang tepat.
Waktu ini tergantung pada:
a. Kewaspadaan pengemudi
b. Sadar akan bahaya
c. Kompleksitas keputusan atau tugas terlibat.
yang
Waktu Reaksi RT
Kondisi Jalan Tipikal Penggunaan Tipikal
(detik)

 Daerah perkotaan kecepatan tinggi


 Beberapa persimpangan Nilai minimum absolut untuk
 Situasi mengemudi waspada di daerah kondisi jalan yang tercantum
luar kota dalam baris ini.
 Jalan kecepatan tinggi di daerah Nilai minimum umum untuk
2,0 perkotaan yang terdiri dari berbagai sebagian besar jenis jalan,
persimpangan atau simpang susun di termasuk dengan kondisi
mana sebagian besar perjalanan
pengemudi relatif pendek. mengemudi waspada.
 Terowongan dengan kecepatan operasi
≤90 km / jam
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

PARAMETER JARAK PANDANG


PERLAMBATAN LONGITUDINAL
 Merupakan nilai gesekan memanjang antara ban dan
permukaan jalan,
 Tergantung dari kecepatan kendaraan, kondisi dan
tekanan ban, jenis permukaan dan kondisi jalan
(basah atau kering ),
 Nilai rekomendasi untuk koefisien perlambatan
permukaan aspal dan beton 0,35 untuk mobil dan
0,29 untuk truk.
dwi sapto

PENAMPANG MELINTANG JALAN


Potongan melintang jalan yang lebih sesuai dengan jalan perkotaan :

Outer Ring Road


dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN


RUANG BEBAS SAMPING PADA TIKUNGAN
Adalah ruang bebas samping pada tikungan atau belokan
horizontal dan merupakan jarak yang perlu dijaga bebas sehingga
pengemudi dapat melihat di seberang tikungan dengan aman.
Besaran ruang yang harus dijaga bebas dari halangan tergantung
Radius tikungan dan kecepatan rencana yang ditentukan.
dwi sapto
JARAK PANDANG dan
JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN

JARAK DAERAH BEBAS SAMPING DI TIKUNGAN


RUANG BEBAS SAMPING PADA TIKUNGAN
RUANG BEBAS SAMPING
BAGIAN LURUS
dwi sapto

TIPE JALAN
JALUR LALU LINTAS KENDARAAN
Adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas yang secara
kendaraan
fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu lintas berupa :
a. Median jalan; Jalan perkotaan memerlukan
b. Bahu jalan ; perlengkapan jalan yang dapat
c. Trotoar:
menjamin keselamatan pedestrian
d. Separator jalan.
Jalur di sisi jalan utama
Tipe Jalan
Perlu Jalur lambat Perlu trotoar
2 lajur-2-arah-tak terbagi v v
4-lajur-2-arah terbagi vv vv
6-lajur-2-arah-terbagi vv vv
Lebih dari 1 lajur-1-arah vv vv

Tabel Tipe-tipe Jalan


Sumber: RSNI T-14-2004, geometrik jalan
Catatan: v = disarankan dilengkapi, tergantung kebutuhan;
vv = dilengkapi
Jalur lambat dapat digunakan untuk kendaraan tidak bermotor.
Tipe jalan 3 lajur-2-arah-tak terbagi dan 4-lajur-2-arah-tak terbagi tidak
disarankan untuk digunakan.
dwi sapto

PENAMPANG MELINTANG JALAN


Penampang melintang jalan terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut :
• Jalur lalu lintas;
• Bahu jalan;
• Saluran samping
• Median,
• termasuk jalur
tepian;

Trotoar/jalur pejalan kaki;

Jalur sepeda;

Separator / jalur hiiau;

Jalur lambat;
Lereng/ talud.
dwi sapto

PENAMPANG MELINTANG JALAN


Penampang Melintang jalan yang lebih sesuai dengan jalan perkotaan :
MOR.TH gTRAHO STREET
exl~!'-C~~#&Y

j j

Jalan Perkotaan

~ JOCKYAL£ RD
18.7Str\ I 18.75m

rr
3.75m 2.5m , I 2.5m .}..7:1 J.50m

I l
LANE LANE MEDJAN LANE LANE
2. o.,. .,._.-
BLII
D
2.0m
BIKE I 011(£
1
.,._. ~
l l 1 RNO.
LANE LAAIE ~
~ 1

r WK
4 LANE URBAN DlVIDED CROSS SECTION
dwi sapto

PENAMPANG MELINTANG JALAN


Penampang melintang jalan yang lebih sesuai dengan jalan perkotaan
adalah yang mengedepankan hal :
• Berwawasan Lingkungan
• Berkeselamatan
• Responsive Gender
Gambar tipikal penampang melintang jalan dan bangunan pelengkap
jalan yang memenuhi hal tersebut tersebut sudah dikeluarkan oleh
Ditjen Bina Marga pada bulan Desember 2014.
dwi sapto

PENAMPANG MELINTANG JALAN


c-.,, 1, U,i,UT-l.i~(lf.irq~-"WOR~
A.ef'erein.11:'· P-tur11nP~I\H1O9, r--20·s lr.'ltllrtg ~ I No, Lambar: 02
Wvl,itudeft,.,.,.,,,.jalur,,
2, M.-blll!IC.lan(Matb~s-Retro~
3, M8i!fioaP!i!H~Uj11(MttbP~~?utJS•~R.. erl)l,
GAMBAR TI TeobL1aP~Pe«.anfaataftdlr\~1.irntM ~
.,, ~inn Mff'rwt P•ltetjaan Uff'l.ln Z!~T,M.0010 ND,

,, M.at;. ~
6.~9.fia,WamaM!ffllh
~ T~q)
(Op:lo~I • taucilW11jli> Clp;:a%;ang 01 f(.aw;i:;.an VM:g .Mr.lt Plllld11rgr)
PIKAL
PENAMP MELI JALA ~;;I.an.I~~
>.. Pe-.:.!1m1nV~Pelt:1)1111U11 inm No.. 19i'PRTf.2t1·t
Tll'llatil>P9t$.,....ca,o-91<1'bJal.inQir:'lKr
6, PallOII.RUI.IJA
1, R'1!elo;l:1Qr w.tni P\Jllt\
a, P~KMl'lil'*Ol;,8'!181'~'"*'*-Ar'!Dw'lQP~J&l&l'I>
ANG
YANG BERWAWASAN NTANG N
LINGKUNGAN DAN BERKESELAMATAN fterb
•· P91till.&'lllrMl etel ~~j&e,nUl"lld"\ No.05i'PRT+'M
hnncal!Nf'IT.ebbJ•lan

!I, l"MM Ptlrcl1,11gJ.1lo1,i (r~..al"ISat;)ng:Kao,u~ (SKALA HORIZONTAL = TAN


8eralwr T!.11$1;ng, Offll_. Lebld. d11n Tic!• Mt.din Pr .. l'I
i2912
Tll'l!a.,gPaocnan P-'"1!arnMiPahoo'I h-'.,.a $l1;1itm
> 10,PIPialoJ,,ort (SKALA VERTI TANPA SK ~ Pe,-a,uran ,tu=ffiPtrhUbuf!93n No. PM 13 T""'" 3)14
PA SKALA)
A.PJ : Nl'bllt'9P9noe,me~ .Miit! KAL "'
J~i,ganJal1n
ALA) 6. l"W'atvr.-n M9"MI t'.-t'lllb\.1"9$1'1 No. f"tl )4 "f•""" 20M

K~tlrp-~jllltl'l.!1:a--.,"'ke!le~der!Oil"dlv~ tnl«dt111 7, PedoManT.kND. Q2l/JIPt.V111tle,,1rlgPfflYlt'ilUI"


, 1,Rcl"ICM'la Jldrw•n U:ll .V
tu: lenla'li~l.alu unr.a,

VAA(T1J; Va1al;lllilldTatt,l l
enl1n9Mwtwi .W.,,
JunPtn1111•"T
IQ. o..-
t. 91,11o:,i$11r"1IJbby•,.. K•M1"1rr-....-.
Ptl!tfllbui,g111OW.*. SK.123'/.......0'JORJ

~,lhlll!ur».. J.1.-nUirull'\
DJ
.. Pedcm.,, No. ,....T-17...?004-'J T.,.,. Ptrtl'<rllf'Mtl te.lllon Jelan

~,31.,,11,9~ ltkf\~~njal.,r,

lb. JALAN NON TOL ANTARKOTA/DALAM KOTA (MEDIAN PIJINGGIKAN DENGAN PENGHALA
"""' NG BETON)
~llrl,....MM 1,1r.t1,1II IIIMi'
V RENCANA > 60 KM/JAM PADA KONDISI AT GRADE-TANPA TROTOAR DAN
11lll•m,.r•~dllft~• l11., •'l"tw'o

FASILITAS PENYEBERANGAN PEJALAN KAKI


CMKlr,: J,rK fNIN)'I ~·'*"" flO'I ,..._.) <1ad l*'•J ._ ""bingII~,-...,
o.,...,,,..,,Jll•nmllll.-11~M

- WIIIWl ~ lobtl
J)
il.lWA WIIIWl ~ lobtl
TtlNI l, o.M oi-11•1J•lw .... U"tl.U (m) dMI J}
illUl&A.IA 111\l l"Nil ........ Al o.,·,11·

·....
-
.
V RINCMIA

'
110,, :;·
.... .
.. hu.....,.,,....._.(,n) -..111t11{11t) V lttNCANA
'" ':"..~
~.... .... . ki't,1•o

_.._
Jllirul,;llr
. ,
....... JOIH'll ... .,, IJw!M ...
........., . ,_
,."'·"" --·- u,!11:'"
.... ,.,.
Hlnlt11t11I(•)
w
lflll I 111
,.....
, ,... .,.
'·"' . , ...
,.,
,.....
.lWl.lll .l~I

.. "'' '""~· .. ,..


..
.... (JIIWI A....,
,
l.fO ..,
_..
.tSO~
"i('l'flw,\ h(J I MO) 4l,O

.... ••• ....


. - . . .o"''..
,,. ,
~"-"<K,t,a,11)
uo
..
., .
.....,..111nt1,,, aee I )11:(4 JI Uf)

.... ..
- .~
l I ;t;llJ )
''
)4,0
ll,O
......... ?. to W .... (hi• AIICM
h (.S1"50) ]\l,J

.
47,0 JM
.... ...

.. .
~Seliulldar)

.
"·'
DIMLNIIMI~ 1 1.00 UO)
....
..
111(4 1
.
.. .. . ,,. .. .. .
JlOW'ONt:N JM.N4 l
I "'?.
,,
1111 .l I )4,0 41!.

..
~ . s .wnow ~60~t-(l111 ... .......

"' "· ..1


S
<11,0 0
§1,11

..
.lk ;JI .IJUI
-a,rtlng{ffl) ~,...IMer)
I ,u

..
u:
..
211 4 JI l~W'

.. . .
-!JF'e:,:111111i,nt.,.,}

' .,
.
~
•t=.1.,_"1.M.~iii!
,,,Tt~t'IIKID,,d:...,_fjU'
I , , .t v ••o1• l\ur!'IJap»Mo.&•b:l

.
. , , .. .
'
..

(••D • ,.,
L PfMA... AMA,'JPOHO'f/Vl'GETA51'fAMj, MAM.FU MENJEIAP BUSIG.AS 8U,\liei illA.O.,\ lOKASI YAHG 01 •bc:s 111mlle/lu ~51:1 ijflokblt~tl"'Or.-n~· t
1!11
., lNIYU...Ofl.JAlAN Y~G !UlKESEtA"AAT
J,tiii:
OJIZ!NXA.N
3, PCMASAl\'GANl.A.WIU "E'WIR.ANGA.'t ~-- UMUM TCNM.\SUR\'A(O 2 DftfNGICAPI OE~GAN .P'OU.tNCiKAF'ANWAN 'MARKI\, MM..-ctu.li.tFlUTOJIM,.
e-:.i; KhutrA~..._uan 11elllcib:!uiWll(l::,o'~~~leff,11U 11,n_,,~...,_umum
PTIONA1) ATA KOCl~G)
dwi sapto

PENAMPANG MELINTANG JALAN


C...n: 1. "'1-'•T.PLu•(Mort..~~·R91roRelll!ld')
2. ~leolD~(f4t\•M:9r'let-.a-RelroA911et;.!.11)
I N:>. Lembar : 03
3. ~ R..f:ertod : t. P.-ei~ P~l'Mh No-. 7t Tahm2013t~ Jd!'IQ"'
P'anb.ab Llljl.lJ'{Man• Pi;eu*'-5 ..itetnt Rd.Jlt!I')
,. ,.,.. Xi.d1'19(Op9CNI .. TNd 'N.pt, DI~· a Ka....sanY.-.g.-.khmarvr.,-Ta~ltnp) GAMBAR TIPIKAL I* llntutiara Mgln.Dnj;f.-:i,
5, Kf!i~W.im. \t~ 2. Pen111.Jra!~! 1 Ptlt'e!j11n Um~ No, '20.'F'RTIM/20-10
I, R:4~ Wilrrt;IIPll~h
1, P-=,k RUM.IJA
PENAMPANG MELINTANG JAL.AN &ag~ra.aalan
T!!f'\'Af'gP~O'l"•n P!of"l•nfM!an OW, PMggueMn Be(lkl~

.!I, P.Xlll,O,, (B~


11. PuioriP~h~JalM(T~n
Olir,u..ar,g P.» M'bang p..._'J•--i:ian...-i}
~r.vJ<lt)'U~ YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DAN BERKESELAMATAN
3.P~l.l.tWIM~~um.Ur'l'!lilnlNo. lQ'PR:T.'2011 esre-., T~ 891'QYJnUC8C '*"' T

TICillC t,1ucirl Palih) ?el'MeanllarT Tetnls Jal.in


~rg ~n.y.arilt.!l l•!':nts. J.:i~ diln Xltbtl~
11,Plpa81opo:1 (SKALA HORIZOITTAL : TANPA SKALA) 4, Pitit.JranMa,,ond PliU~Mf\ tknt.m No. OEWRTM?O'l1
AP.;;~
VAR
Pangaman Jlllan
(T2): Y*-1inl
11.~Cflr'le
.Jhat r.i,,12
JtflnQ;lt'I Ullbi,
(SKALA VERTIKAL = TANPA SKALA)
"""11il)i,t'J&latl
e. Parilh.r'af'; 1tMl"1!Ten!ar-QP~!!orr•nP-r.a,--;an?men
Pam~n No, PM 13 lilhll Pa::ia
201,t S~

<tMHrtlan ba:!';&1t)alan a, : G Q!ilp btor'(lftll.....-.a!illl'\ 0:-orPf'<l~rqtya ~It T 9'11:8,,0 R•Mbu Lau Uni.a.
1, ~ fl. ,-..rill\r'MI Mlntll:1
I tll'1': No. Ptn!VOU'lgiln
022fflPIN•1ff ~.PM~ llft,II\
r111Arig 2f»4
Pwl!y..-.;.an,,
T$11!!al"'V ll.a(u J•B..'I:
~ii JilPn l.ru-1.
0,Akse-.!lbfl\&!$
a.,;;u S.tal k:tbyu& 1<.11-.mawi J•lM
I, P.«.lt'Nl'INo.P'd.1-·1~Blll\llanlJPll"M'ICWl&ln Meal.-. Jlilin
10. h1ai.n,, 011)1,n PffllU~n '*51 Nro. $K.12S4fAJ.4D1IDRXJI
le. JALAN NON TOL ANTARKOTA/DALAM KOTA (MEDIAN DITINGGIKAN SETINGGI KERB) V RENCANA
2013 r~ngP.i~ <6
TW'bP.l!ten~ .WM

0 KM/JAM
PADA KONDISI AT GRADE-TANPA TROTOAR DAN FASILITAS PENYEBERANGAN PEJALAN KAKI
e.i..n Jw•k po"I0,11'f'111...- non pe,1am) c,e,1 .c., ii. vnN!'g ffl'IO~ jelM

nlnll"IIII ""*"""'
1.0 M .... itm )ao!•k &ti DtlCIO l111r et'!lbM'9
J..<> M ..i~,111; p11tt11.1 at:.11111
Od'Qlf'Ml.'l 1111..,..

(8)
(G)

:,,·~ (l)\ I(
<2 /

~ -Ii-
...,._._ I

...,_
RW"1>. MINIWI. (l.i>ot
Tab<ll ...._.,.,
J) )W I.Ali,.lltttM llt UUfUHAN atJMAJA (M)
MINM..

.. .
Cm) l .... N M~
.....
~...._. ..,,
, i ; i . " ~ ; ..,_U*"llnl,..,,("") VAVtCNIA
. . .. . . ... ,.,.
.
MNIIM(lll!)
;::::{.:.:~
V llDICAMA 110,-..,1 ...
,... ,, o.... I l il LOO lk 1t 101o1.-..
:::-...:,
~;;~~
...:
'7,_.M
.a:tt
&OK!!".,l ","
"" I •
so I
u.•
.,
.
. .. I
2ll l&S JJ.O

.
... .
l'U "1.0

.
,h() J.50) 41.~

~~ ~
)I

.. . lJ.j l&O

.,,. ... .. ...


· .."''
T.... 2, 0..... DI-I S.,
!l"'-!g~rll.-'~"P-11~ ,-.o:lh11CM111l~J!llenS11r~r,g)
t*IC.NSIMINIIU.l 1ll(<I! ll ),,.iO)
211(• I ),.ii)) 17.S

.
Sl,S
. ... . .....
("'I :!J1(2 ll .UC-) )).S J1.S

.
2ll(3 ll :UC)

. '" "·'
..
t.11M1 Stll"...elri(fm) NII ,._,.I'll ,..,.,_.II .......
l•O • .UC-) <1;$.0
,.
1,
.
."
00
f...DIKATOfl. J~',I Y,AKG &Oi.WA'A'ASA.'Urfill
o R.rm:t::i.~iro.r-.-i-b1 •ft.r:C::tHll::tMGrs-n•b2
IND'.AA.iOIUALAY~A."iG 6EJiK£S£".A~
GnlNGAN :
o
2.. ,,.!MANUATKANSUS.'ll[fi OAYA AlAM: YANG lfR!M.UlAN Ai.MJ t.'ATti1lA_ OAU:R ULA."fG U~ITU"( BNtAN 161
Ca!Zlln:~ti:.i;CIII.Gd:r>=•I• ~oda.N.~·&Z.
al=l~bar~'«#i1JA1h;lk.1ranilk~:lt!t"9~p!l(V;ir~·t• . AT.J.Nt
1. O!lfN(i(APf OUIGAN Ft:liUNGUJ'AHJAV,H (MAA,f,,. RA.Mau. Rf:F-1.U."1011;,.MAl
1, KOIASA.~JAL.AN
fltNANAMAN l'Of-.ON;/\lfG:'TASl'rANG MAM1'U M{frJ"!RAP (MISI GM t.l.lA.~G F'AOAtOl(ASI YANG: O!QIJ\KAN: ~·=1~...,....RI.IMtJ.,.
o:t-1,.. ~"'"'*'tt"JIUIJA8i,I 11~ ... lloc1tla'41:u..-1139idJ11~ii,l)·
81\hl li,19"'91•rt1,.r ..., (',,•bsl) • 1 1 ....
,_ iCVClt,.~ 1. M(MrJ.Uri1?!8SYAMT.A...Ttn1SJAtAN DAN
U: ll J..M>)
KRITUIA Fll'A m .."OIIII
~fatMANMHlEXNISJAi.AN ti'\
.!. Pt;M,\$.A._-.G,\N
dwi sapto

RUANG JALAN
Ruang jalan secara melintang jalan dibagi atas:
• Ruang manfaat jalan (Rumaja),
• Ruang milik jalan (Rumija),
• Ruang pengawasan jalan (Ruwasja).
dwi sapto

RUANG JALAN
1. Ruang Jalan Pada Jalan Sebidang Tanah Asli
RUMAJA, merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar,
tinggi, dan kedalaman tertentu, meliputi bagian badan jalan, saluran
tepi jalan, dan ambang pengaman :
• Tinggi ruang bebas minimal 5 m di atas permukaan jalur lalu lintas;
• Kedalaman ruang bebas sekurang-kurangnya 1,5 m di bawah
permukaan jalur lalu lintas terendah;
• Lebar ruang bebas diukur di antara 2 (dua) garis vertikal batas
badan jalan;
RUMIJA, merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar,
tinggi, dan kedalaman tertentu, meliputi Rumaja dan sejalur tanah
tertentu di luar Rumaja
RUWASJA, merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh
lebar dan tinggi tertentu, meliputi ruang tertentu di luar Rumija;
diperuntukan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengaman
konstruksi jalan; Ruwasja adalah lahan milik masyarakat umum
yang mendapat pengawasan dari pembina jalan
dwi sapto

RUANG JALAN
2. Ruang Jalan di Atas Tanah Dasar/ Jalan Layang
RUMAJA, merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar,
tinggi, dan kedalaman tertentu, meliputi bagian badan jalan, saluran
tepi jalan, dan ambang pengaman :
• Tinggi ruang bebas minimal 5 m di atas permukaan jalur lalu lintas;
• Kedalaman ruang bebas sekurang-kurangnya 1,5 m di bawah
permukaan tanah terendah (Kaki tiang/ pilar jembatan);
• Lebar ruang bebas diukur di antara 2 (dua) garis vertikal
batas bahu jalan;
RUMIJA, merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar,
tinggi, dan kedalaman tertentu, meliputi Rumaja dan sejalur tanah
tertentu di luar Rumaja, sekurang-kurangnya sama dengan Rumaja
diproyeksikan ke tanah dasar
(tidak berlaku manakala di bawahnya ada jalan lain)
RUWASJA, diperuntukan bagi pandangan bebas pengemudi dan
pengaman konstruksi jalan; Ruwasja adalah lahan milik masyarakat
umum yang mendapat pengawasan dari pembina jalan
dwi sapto

RUANG JALAN
Ruang Jalan di Atas Tanah Dasar/ Jalan Layang
dwi sapto

RUANG JALAN
3. Ruang Jalan di Bawah Tanah Dasar/ Terowongan
RUMAJA, dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu, meliputi
bagian badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengaman.
• Tinggi ruang bebas minimal 5 meter di atas permukaan jalur lalu
lintas;
• Kedalaman ruang bebas sekurang-kurangnya 1,5 meter di bawah
permukaan tanah terendah;
• Lebar ruang bebas diukur di antara 2 (dua) garis vertikal batas
bahu jalan;
RUMIJA, merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar,
tinggi, dan kedalaman tertentu, meliputi Rumaja dan sejalur tanah
tertentu di luar Rumaja, sekurang-kurangnya sama dengan Rumaja
diproyeksikan ke tanah dasar
(tidak berlaku manakala di bawahnya ada jalan lain)
RUWASJA, diperuntukan bagi pandangan bebas pengemudi dan
pengaman konstruksi jalan; Ruwasja adalah lahan milik masyarakat
umum yang mendapat pengawasan dari pembina jalan
dwi sapto

RUANG JALAN
Ruang Jalan di Bawah Tanah Dasar/ Terowongan

' ffl
L

[
b
E

r
c•
d
Tr,
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
LEBAR JALUR
Lebar bagian jalur jalan yang direncanakan khusus untuk lintasan/ lalu
lintas kendaraan bermotor :
a. Lebar jalur ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur serta bahu jalan.
b. Lebar jalur minimum adalah 4,5 m, memungkinkan 2 kendaraan dengan
lebar < 2,1m saling berpapasan.
c. Papasan 2 kendaraan lebar < 2,5 m yang terjadi sewaktu-waktu dapat
memanfaatkan bahu jalan
Pada Arteri, jalur kendaraan tidak bermotor disarankan terpisah dengan jalur
kendaraan bermotor. Lebar bahu jalan sebelah dalam pada median yang
diturunkan atau datar, minimum sebesar 0,50 m.
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
LAJUR
Lebar lajur lalu lintas mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan pengemudi.
Nilai lebar lajur standar rancangan adalah
 3,6 m untuk jalan kecepatan > 80 km/ jam,
 3,5 m untuk jalan kecepatan < 80 km/ jam
 2,75 m untuk jalan lokal (jalan kecil),
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan
Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
Sumber: RSNI T-14-2004, geometrik jalan

Lebar Lajur (m) Lebar Bahu Sebelah Luar (m)

Kelas Jalan Tanpa Trotoar Ada Trotoar


Disarankan Minimum
Disarankan Minimum Disarankan Minimum
I 3.60 3.50 2.50 2.00 1.00 0.50
II 3.60 3.00 2.50 2.00 0.50 0.25
III 3.60 2.75 2.50 1.00 0.50 0.25
Khusus 3.60 3.50 2.50 2.00 1.00 0.50
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
LAJUR
Lajur lalu lintas diukur dari muka kerb (curb) atau hingga garis lajur untuk jalan
dengan beberapa lajur atau jalan dengan bahu jalan. Di beberapa tempat,
mungkin perlu untuk menyediakan ruang tambahan hingga muka kerb untuk
menghilangkan efek yang tidak jelas, atau profil kerb yang memiliki kanal lebih
lebar (misalnya 450 mm) di daerah dengan curah hujan tinggi.
Untuk lajur jalan yang punya marka jalan, maka lebar lajur diukur terhadap tepi
dalam marka tersebut.
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
KEMIRINGAN MELINTANG JALAN
 Dibutuhkan untuk pengaliran air permukaan jalan dan
 Diukur dari sudut alinyemen melintang (atau penampang memanjang) jalan
terhadap garis horisontal.
 Pada jalan lurus, datar, elevasi rumaja yang lebih tinggi maka chamber
jalan normal cukup sebesar 2 – 3 % memadai untuk pengaliran air,
 Pada situasi tertentu yang lokasi rumaja berada pada cekungan, chamber
perlu ditambah
 Atau dengan usaha lainnya sehingga genangan air dapat keluar dari
cekungan tsb.

Perubahan kelandaian > 6 %


tidak dijinkan karena akan
membahayakan truk yg
bermuatan
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
KEMIRINGAN MELINTANG JALAN
Genangan air di jalan pada lintasan ban kendaraan dapat menghilangkan daya
cengkram roda kendaraan, disebut Aquaplaning.
 Aquaplaning terjadinya tergantung pada dalamnya air, geometrik jalan,
kecepatan kendaraan, kedalaman alur ban, tekanan ban, dan kondisi
perkerasan jalan.
 Untuk mengatasi aquaplaning, harus diperhitungkan kemiringan
melintang perkerasan, karakteristik kekasaran perkerasan, dan
geometrik horizontal
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
KEMIRINGAN MELINTANG JALAN
• Jalan lurus dengan dua lajur dua arah atau tikungan datar mempunyai titik punggung
(crown) di tengah dan kemiringan ke arah luar tepi perkerasan.
• Untuk badan jalan dengan pemisah jalan, kemiringan melintang dibuat searah dan
miring menjauhi median jalan. Titik terendah kemiringan adalah tepi jalur lalu lintas atau
pada tepi bahu jalan yang berpenutup aspal/ semen.
• Kemiringan melintang adalah kemiringan permukaan badan jalan terukur normal
terhadap garis tengah desain atau jalan.
• Kegunaan kemiringan melintang adalah untuk drainase air dari badan jalan yang lurus
dan tikungan, serta memberikan superelevasi pada lengkung horizontal

Kemiringan Melintang Kemiringan di Indonesia


Jenis Perkerasan (%)
umumnya cukup 3 % saja
Tanah, liat 5

Kerikil (Gravel), water


4
bound macadam

BURTU / BURDA 3

Aspal 2,5 – 3

Beton semen Portland 2-3


dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
BAHU JALAN
 Lebar bahu jalan dalam dan luar mungkin bisa berbeda.
 Bahu jalan tanpa penutup harus lebih curam/ miring.
 Bahu jalan memiliki fungsi struktural dan fungsi lalu lintas.
Fungsi struktural bahu jalan: memberikan dukungan lateral bagi lapisan
perkerasan jalan.
Fungsi bahu jalan bagi lalu lintas adalah:
 Ruang kendaraan yang hilang kendali.
 Ruang untuk berhenti pada permukaan keras yang aman dari lajur lalu
lintas.
 Lajur yang bisa dilalui untuk kendaraan darurat.
 Ruang bebas terhadap halangan lateral seperti rambu lalu lintas.
 Bahu berpenutup memberi lebar tambahan jalur lintasan roda
kendaraan besar.
 Jarak pandang meningkat sehingga meningkatkan keselamatan jalan.
 Kapasitas jalan meningkat karena kecepatan mungkin lebih seragam.
 Keterbukaan ruang dengan bahu jalan lebar membuat mengemudi lebih
santai.
 Bisa menjadi ruang bagi pengendara sepeda/ non motoris.
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
BAHU JALAN
 Pada jalan lurus, kemiringan bahu jalan ditampilkan dalam tabel.
 Pada lokasi jalan yang memiliki superelevasi, kemiringan bahu jalan pada
sisi yang tinggi dan rendah harus sama dengan kemiringan melintang
lajur lalu lintas.
MATERIAL BAHU JALAN KEMIRINGAN MELINTANG BAHU JALAN (%)

Tanah dan liat 5–6


Kerikil atau batu pecah 4–5
0,6 x kedalaman perkerasan dengan lapis aspal
Sesuai jalur lalu lintas
ACWC
Perkerasan kedalaman penuh dengan lapis aspal
ACWC Sesuai jalur lalu lintas

Beton Sesuai jalur lalu lintas

 Kemiringan melintang bahu jalan yang normal 3 – 6 %


 Lebar minimal bahu jalan refer Peraturan Menteri PU no. 19/KPTS/M/2011.
 Kemiringan melintang bahu jalan > kemiringan melintang lajur kendaraan,
kecuali untuk bahu jalan yang berpenutup.
 Ketinggian permukaan bahu jalan harus selevel dengan perkerasan jalan
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
10:55 JALUR LAMBAT
 Berfungsi untuk melayani kendaraan berkecepatan lebih rendah dan
searah dengan jalur utamanya.
 Berfungsi sebagai jalur peralihan hirarki jalan yang lebih tinggi ke
hirarki jalan yang lebih rendah atau sebaliknya.
 Memisahkan lalu lintas setempat dari lalu lintas arteri
berkecepatan tinggi, membantu mengurangi kecelakaan dan
menjagakebutuhan
Ketentuan arus lalu lintas.
jalur lambat adalah sebagai berikut :
1. Untuk jalan arteri 2 arah terbagi dengan 4 lajur atau lebih;
2. Direncanakan arahnya mengikuti/ paralel alinyemen jalur cepat.
3. Dapat terdiri dari dua lajur atau lebih, dan searah jalur
utamanya;
dwi sapto

KETENTUAN TEKNIS
10:55 JALUR LAMBAT
 Jalur lambat dengan jalan utama/ arteri harus ada pemisah untuk sebagai
celah/ penyangga di antara keduanya.
 Penyangga ini disebut separator, yang berupa bangunan fisik yang
ditinggikan
 dengan kerb dan jalur tepian dengan lebar minimum 1,00 M.
Bukaan pada separator yang menghubungkan jalur cepat dan jalur lambat
harus mengikuti persyaratan dan peraturan, tetapi paling dekat tidak kurang
dari 350 M. Terlalu banyak bukaan separator sangat menurunkan kecepatan
operasional lalu lintas jalur cepat.

Anda mungkin juga menyukai