Anda di halaman 1dari 20

Diabetes Melitus

Terhadap Penyakit
Jantung
Mata Kuliah : Metodologi Keperawatan
Dosen Pengampu : Dr.Megawati,S.Kep.Ns,M.Kes
Disusun Oleh : Kelompok 5 (1C D3 Keperawatan)
PENGERTIAN DM TERHADAP JANTUNG
IDefinisi Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronis dan gangguan
pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kombinasi
keduanya.
Epidemiologi
Prevalensi penderita DM di dunia saat ini adalah ± 195 juta jiwa dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Sekitar 97%
diantaranya adalah penderita DM tipe 2. Jumlah ini akan meningkat menjadi ± 330-500 juta pada tahun 2030. Kenaikan ini
akan berdampak pada peningkatan jumlah penderita diabetes dengan penyakit kardiovaskular.
Di Amerika,DM tipe 2 sekarang epidemi, terjadi peningkatan kasus sebanyak 61% dari tahun 1990-2001, dan pada tahun
2005 ada sekitar 21 juta jiwa penderita DM tipe 2, epidemi dari DM juga terus bertambah di negara berkembang. Di
Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan sekitar ± 8,4 juta penderita DM dan diperkirakan pada tahun 2030 nanti menjadi ±
21,3 juta.Meningkatnya kasus DM berhubungan dengan perubahan gaya hidup yang menyebabkan kelebihan berat badan
dan penurunan aktifitas fisik, perubahan lingkungan ini diikuti dengan adanya predisposisi genetik, meningkatnya resistensi
insulin yang akhirnya menimbulkan kerusakan beta sel yang progresif.
Prevalensi diabetes secara spesifik meningkat dengan bertambahnya umur terutama pada dekade 7 dan 8 pada wanita
maupun pria. Prevalensi DM pada kelompok umur < 60 thn sekitar < 10 %, dan pada kelompok umur 60-69 thn 10-20%,
pada yang lebih tua sekitar 15-20 %, diperkirakan ada sekitar 30-40 % yang punya resiko suatu saat menjadi diabetes.
Prevalensi IGT meningkat secara linier dengan umur, prevalensi ganguan hoemostasis glukosa ini pada umur pertengahan
sekitar 15 % dan pada yang lebih tua antara 35-40%.
Dua penelitian cohort besar yaitu Multipel Risk Faktor International Study dengan
5000 populasi laki-laki yang diikuti selama 12 tahun, menunjukkan angka kematian
pada pasien DM meningkat lebih dari 3 kali lipat dibandingkan dengan pasien non
DM, dan The Chicago Heart Association Project in Industry Study yang diikuti
selama 22 tahun juga menunjukkan hal yang sama.
PENYEBAB DIABETES MELITUS TERHADAP JANTUNG
KORONER
Diabetes merupakan penyakit yang dapat dikendalikan oleh beberapa tindakan seperti
konsumsi obat dan pola hidup yang sehat. Namun, dalam kondisi kadar gula darah yang
normal atau terkendali pun tetap dapat meningkatkan resiko penyakit jantung dan
stroke. Hal tersebut dikarenakan seseorang dengan diabetes, umumnya juga memiliki
kondisi tubuh seperti:
• Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko utama terjadinya penyakit jantung.
Menurut penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tekanan darah tinggi
dan kurangnya insulin dengan peningkatan resiko penyakit jantung.
• Kadar kolesterol dan trigliserida tinggi
Penyebab paling umum penyakit jantung pada seseorang yang memiliki diabetes dalah
pengerasan pembuluh darah atau aterosklerosis yang terjadi karena penumpukan
kolesterol dalam pembuluh darah yang mendistribusikan oksigen dan nutrisi ke jantung.
Seseorang dengan diabetes sering juga memiliki kadar kolesterol LDLdan trigliserida
yang tinggi. Profil kolesterol yang buruk pada penderita diabetes dapat menyebabkan
terjadinya penyakit jantung koroner.
• Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko utama terjadinya penyakit jantung dan sangat lekat
hubungannya dengan penurunan sensitifitas insulin.
• Kurang beraktifitas fisik
Kurangnya berolahraga dapat meningkatkan resiko penurunan sensitifitas insulin dan
penyakit kardiobaskular. Berolahraga memiliki banyak manfat seperti mencegah
terjadinya diabetes tipe dua, kenaikan tekanan darah dan mengurangi resiko terjadinya
penyakit jantung dan stroke.
● Gula darah yang tidak terkendali
Gula darah yang terlalu tinggi atau diatas rentang normal dapat menyebabkan gula darah
naik ke kondisi yang berbahaya.
● Merokok
Seorang yang merokok memiliki resiko tinggi mengalami penyakit jantung dan stroke.
Terlepas memiliki diabetes atau tidak.
Tanda dan Gejala
Ada dua faktor ata gejala pada DM terhadap Jantung yaitu:
• Kardiovaskular Tipikal
• Kardiovaskular Atipikal
rasa tertekan/ berat di daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/ beberapa menit atau persisten (> 20 menit).
Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/ muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dansinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan
(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan
Patofisiologi DM terhadap Jantung Koroner
Patofisiologi Komplikasi Penyakit Jantung Koroner pada Diabetes
 Seperti yang sudah kita ketahui bahwa DM memberikan dampak komplikasi pada mikrovaskular maupun
makrovaskular, komplikasi mikrovaskular berupa nefropati, neuropati dan retinopati, sedangkan makrovaskular berupa
aterosklerosis koroner, serebral dan arteri perifer.
Komplikasi pada penyakit kardio vaskular sangat berpengaruh pada tingkat morbiditas dan mortalitas pasien DM. Dari
berbagai penelitian disebutkan bahwa DM berhubungan langsung dengan meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas terutama penyakit jantung koroner (PJK).Penyebab komplikasi PJK pada pasien DM bersifat multi faktorial,
melibatkan interaksi komplek dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stres oksidatif, resistensi
insulin / hiperinsulnemia, dan / atau hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan pada proses koagulasi dan
fibrinolisis. Patofisiologi terjadinya komplikasi kardiovaskular pada diabetes didasari pada terjadinya abnormalitas
fungsi endothel dan otot polos pembuluh darah, dimana akan mempermudah terjadinya trombosis yang berperan besar
pada proses aterosklerosis dan komplikasi-komplikasi yang lain.
1. Diabetes, Hiperglikemia dan Nitrit Oxide (NO)
Pada keadaan normal sel endotel secara aktif mengeluarkan bahan aktif Nitric Oxide (NO), zat ini secara simultan
dihasilkan oleh Endothelial NO synthase (eNOS) dengan mengoksidasi 5 elektron dari guanidine-nitrogen L-arginine.
Ketersediaan NO secara terus menerus merupakan kunci dari pembuluh darah yang normal. NO bekerja sebagai
vasodilator pembuluh darah dan melindungi endothel pembuluh darah dari kerusakan endogen seperti, aterosklerosis
dengan memberikan signal untuk mencegah interaksi platelet dan leukosit dengan dinding pembuluh darah, juga
mencegah proliferasi dan migrasi otot polos pembuluh darah. Sebaliknya pada keadaan NO yang berkurang akan
meningkatkan aktifitas transkripsi proinflamasi faktor yaitu Nuclear Factor kappa B (NF-κB), yang menyebabkan
terpaparnya melekul adhesi leukosit dan mensekresi kemokin dan sitokin, keadaan ini akan menimbulkan migrasi dari
monosit dan sel otot polos pembuluh darah ke bagian intima dan membentuk sel busa (foam cells) , yang mendasari
awal perubahan morfologi terjadinya aterosklerosis. Ketersediaan NO Sangat bergantung pada keseimbangan antara
produksi oleh eNOS dan pemecahannya yang disebabkan radikal bebas. 8,9,10
Konsentarsi glukosa intrasel dari sel endotel dicerminkan oleh glukosa ekstrasel. Bukti dari banyak penelitian
menunjukkan bahwa keadaan hiperglikemia akan menurunkan NO endotel, yang mengakibatkan penurunan efek
vasodilatasi pembuluh darah.
Hiperglikemia akan meningkatkan produksi beberapa zat reaktif oksigen (anion superoxide) yang akan menginaktifkan
NO ke bentuk peroxynitrite. Hiperglikemia awalnya akan meningkatkan produksi anion superoxide melalui transfer
oksigen dari mitokondria. Superoxide anion ini kemudian merangsang endotel membentuk elemen-elemen sel yg nantinya
akan menghasilkan radikal bebas. Sebagai contoh aktifitas anion seperoxide terhadap Protein C Kinase (PCK), dan
sebaliknya juga, aktifitas dari PCK ini juga akan merangsang pembentukan anion superoxide berikutnya. Aktifitas PKC
berakibat pada regulasi dan aktifasi pada NAD(P)H yang berikutnya menghasilkan anion superoxide, anion superoxide
akan mengaktifkan jalar hexosamine yang akan menurunkan aktifitas NOS dan akhirnya akan mengganggu keseimbangan
NO dan menginaktifkan efeknya.
Peningkatan anion superoxide dari mitokondria juga akan meningkatkan produksi Advanced Glycation End Products
(AGEs) intraseluler. Protein ini akan berefek pada fungsi seluler dimana AGEs akan meningkatkan produksi radikal bebas.
AGEs di bagian lain juga akan merangsang Receptor AGEs (R-AGEs) , keadaan ini juga akan meningkatkan produksi
anion superoxide. Hiperglikemia juga merangsang molekul stres oksidatif melalui peningkatan dimethylarginine yang
merupakan zat kompetitif dari NOS. Hipeglikemia juga meningkatkan produksi “second messenger diacylglycerol “dari
lipid yang akan mengaktifasi PCK, aktifasi jalar ini akan menginhibisi jalur phosphatidylinositol 3 kinase, dengan
demikian akan mengurangi aktifitas Akt kinase dan aktifitas “ phosporilasi” pada NOS, sehingga produksi NO berkurang.
Suatu enogenous kompetitor terhadap NO telah diketahui yang nantinya memperantarai suatu kerusakan fungsi
vasodilator endothel yaitu Asimetrical Dimethilarginin (ADMA). Peningkatan secara langsung disebabkan oleh adanya
resistensi insulin. Akumulasi dari ADMA ini akan membuat kerja NO melemah.
2. Diabetes, Asam Lemak Bebas dan Gangguan Endothel
 
Jumlah asam lemak bebas / Free Fatty Acid (FFA) dalam sirkulasi pasien diabetes
meningkat disebabkan pelepasan dari jaringan adiposa dan menurunnya pengambilan dari
otot skeletal. Peninggian dari FFA bebas ini menyebabkan gangguan pada endothel melalui
beberapa mekanisme termasuk peninggian produksi radikal bebas, aktifitas PKC dan
dislipidemia itu sendiri. Hal ini telah dibuktikan dengan memberi FFA melalui infus pada
binatang percobaan yang berakibat menurunnya vasodilatasi pembuluh darah, dan dengan
menginfus kembali dengan anti oxidan membuat vasodilatasi kembali.
FFA akan mengaktifasi sumber enzimatik oxidan intraselular, termasuk Pkc, NADPH
oxidase dan eNOS yang menghasilkan peningkatan dari superoxide yang akhirnya
menurunkan aktifitas dari NOS.
Respon dari liver terhadap meningkatnya FFA dengan meningkatkan produksi VLDL
dan ester colesterol dan akhirnya akan meningkatkan trigliserida dan berkurangnya aktifitas
lipoprotein lipase sehingga menimbulkan hipertrigliserida yang khas pada penderita diabetes.
Gangguan dari lipid ini menyebabkan perubahan pada morfologi dari LDL yang sangat
aterogenik (small dense LDL). Hipertrigliserida, rendahnya HDL dan tingginya LDL
berhubungan dengan ganguan fungsí dari endotel.
3. Diabetes, Endotel dan Vasokontriktor
Pada penderita diabetes disfungsi endotel tidak hanya disebabkan oleh menurunnya NO saja,
tetapi juga disebabkan oleh meningkatnya sintesa zat-zat vasokontriksi prostanoids dan endotelin.
Pada keadaan hiperglikemia ekspresi dan jumlah siklooksigenase-2 mRNA meningkat dan keadaan ini
telah dibuktikan pada beberapa penelitian.
Pada keadan produksi endotelin yang berlebihan akan merangsang proses inflamasi yang
menyebabkan vasokontriksi dan proliferasi otot polos pembuluh darah.
 

4. Diabetes dan Otot polos pembuluh darah


Disregulasi dari fungsi otot polos pembuluh darah disebabkan kerusakan pada fungsi syaraf
simpatis, meningkatnya aktifitas PKC, produksi NF-κB dan radikal bebas. Lebih lanjut diabetes juga
akan mempertinggi migrasi sel otot polos pembuluh darah ke dalam lesi atherosklerosis, sel tersebut
akan melakukan replikasi dan menghasilkan matriks ekstraselular dan akhirnya lesi tersebut menjadi
matur. Pada lesi aterosklerosis proses apoptosis juga meningkat. Kolaborasi dari sitokin akan
merangsang síntesis kolagen dari otot polos pembuluh darah dan meningkatkan produksi matriks
metaloproteinase dan hal ini akan meningkatkan tendensi terjadinya ketidakstabilan plak dan ruptur.
5. Diabetes, Trombosis dan Koagulasi
 
Seperti yang telah diketahui bahwa pada penderita diabetes terjadi ganguan
fungsi trombosit, selain itu terjadi peningkatan ekspresi glikoprotein Ib dan
IIb/IIIa, meningkatnya adhesi trombosit dengan vWF dan interaksi trombosit.
Hiperglikemia lebih lanjut merubah fungsi trombosit melalui gangguan pada
homeostasis Ca, dan juga pelepasan berbagai mediator-mediator sehingga
agregasi trombosit meningkat.
Pada penderita diabetes juga terjadi peningkatan koagulasi ( faktor VII dan
trombin ), tissue faktor, penurunan dari anti koagulan endogen
( trombomodulin), dan juga terjadi peningkatan produksi Plasminogen Activator
Inhibitor-I (PAI-I). yang merupakan inhibitor fibrinolisis. Keadaan tersebut
diatas akan meningkakan resiko terjadinya trombosis dan rupturnya status plak
pada pasien diabetes.
KLASIFIKASI DAN KOMPLIKASI
1. Diabetes dan Sindroma Koroner Akut
Diabetes sering didapatkan pada pasien-pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA). Pada
penelitian terakhir proporsi diabetes dengan SKA didapatkan sekitar 19-23%. Pada pasien dengan
SKA yang tidak diketahui adanya penyakit diabetes, kemudian dilakukan pemeriksaan OGTT,
didapatkan sekitar 65% dari pasien-pasien tersebut mengalami gangguan regulasi glukosa, dari 25%
pasien yang belum pernah didiagnosa diabetes dan 40% pada yang sebelumnya sudah mengalami
GDPT/IFG. Data dari The Euro Heart Survey on Diabetes and the Heart yang mengambil data dari 25
negara memperlihatkan bahwa, pada pasien-pasien yang masuk ke rumah sakit dengan diagnosa PJK
ketika dilakukan OGTT didapatkan sekitar 22% dari mereka menderita diabetes. Dan didapatkan
juga proporsi keseluruhan dari pasien-pasien diabetes dengan SKA sekitar 45%.Laporan dari beberapa
penelitian mengindikasikan dilakukan pemeriksaan glukosa darah acak saat pasien masuk ke rumah
sakit dengan diagnosa SKA. Tingginya konsentrasi glukosa pada pasien diabetes walaupun
sebelumnya tidak pernah didiagnosa diabetes berhubungan kuat dengan outcome yang jelek pada saat
dirumah sakit maupun jangka panjang.Studi The Landmark Diabetes Glukosa And Myocardial
infarction (DIGAMI) dimana pada pasien dengan SKA dan hiperglikemi kemudian diintervensi
dengan insulin infus, dalam 24 jam menunjukkkan penurunan yang bermakna dari glukosa pada
pasien-pasien tersebut, dan setelah dipertahankan kadar glukosa selama setahun menunjukkan
penurunan angka kematian sekitar 11 %. Efek yang bermanfaat masih didapatkan setelah 3-4 tahun
follow-up dengan menurunkan angka kematian relatif sekitar 30%. Pada DIGAMI II membuktikan
bahwa gula darah yang terkontrol merupakan nilai prediksi yang kuat terhadap penurunan angka
kematian dalam 2 tahun. Pada The Schwabing Myocardial Infarction Registry, telah dijelaskan tentang
pentingnya perhatian terhadap hiperglikemi akut pada pasien SKA. Intervensi terhadap hiperglikemia
harus dilakukan pada pasien diabetes maupun non diabetes, dan menunjukkan bahwa angka kematian
dalam 24 jam maupun total kematian pada pasien setelah terkontrol glukosanya sama dengan pasien
yang non-diabetes.
Pasien yang masuk ke rumah sakit dengan SKA dan sebelumnya penderita diabetes
mempunyai angka kematian yang tinggi selama di rumah sakit ( 11.7 %, 6.3 % dan
3.9 % masing-masing pada PJK STEMI, PJK NSTEMI dan Angina Tak Stabil ).
Diabetes juga berhubungan dengan kematian jangka panjang dimana sekitar 15-34%
setelah 1 tahun dan 43% setelah 5 tahun follow-up. 4
Komplikasi utama dari pasien dengan SKA adalah reinfark, disfungsi ventrikel
kiri, gagal jantung, instabilitas elektrik, stroke, dan kematian. Komplikasi ini secara
signifikan lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes. Tingginya angka
kematian pada pasien dengan diabetes tersebut disebabkan oleh kekacauan pada
gluko-metabolik. Dimana peningkatan glukosa pada setiap tingkatan akan merubah
subtrat energi metabolisme, termasuk resistensi insulin, peningkatan asam lemak
bebas dan oksidatif stres. Metabolik-metabolik ini akan makin tinggi pada saat
serangan akut infark miokard, ketika nyeri dada, sesak nafas, dan kecemasan yang
disebabkan oleh meningkatnya tonus adrenergik. 4
Pasien-pasien diabetes sering mengalami infark yang luas, menurunnya
kemampuan vasodilatasi, menurunnya aktifitas fibrinolitik, meningkatnya aktifitas
agregasi trombosit, disfungsi saraf autonom dan juga kemungkinan terjadi
kardiomiopati. Semua faktor-faktor diatas harus menjadi pertimbangan dalam
mengobati seorang penderita diabetes dan SKA. Salah satu hal yang sering
didapatkan akibat efek dari gangguan saraf autonom pasien diabetes adalah
hilangnya simptom yang spesifik dari suatu SKA. Dilaporkan bahwa prevalensi dari
silent iskemia sekitar 10-20% dibandingkan 1-4% pada non-diabetes.
2. Diabetes Dan Revaskularisasi Koroner
Prosedur revaskularisasi diindikasikan pada pasien diabetes mulai dari penyakit jantung iskemik yang asimptomatik sampai dengan
STEMI, SKA dan pencegahan kematian jantung mendadak. Tetapi harus selalu dipertimbangkan dengan cermat bahwa, resiko suatu tindakan
lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan non-diabetes. Pasien dengan diabetes sering mendapatkan ateroskerosis yang berat dan sangat
besar kemungkinan membutuhkan suatu revaskularisasi. Pemilihan strategi untuk tindakan harus selalu mempertimbangkan bahwa resiko
terjadinya re-stenosis dan re-oklusi pada graf pasien tersebut sangat besar.Pasien dengan diabetes atau hiperglikemi memiliki respon yang
beragam terhadap terapi infark jantung. Secara umum beberapa bukti menunjukkkan tindakan PCI lebih baik dari trombolitik pada STEMI.
Walaupun trombolitik kurang efektif pada pasien diabetes, revaskularisasi dan reperfusi dengan PCI juga kurang efektif pada PJK yang diffuse
dengan diameter yang kecil dan juga mempunyai kecendrungan re-stenosis yang tinggi.Angka morbiditas dan mortalitas perioperatif CABG
pasien diabetes masih lebih tinggi dibandingkan dengan non-diabetes walaupun telah diterapi dengan insulin. Pasien diabetes yang menjalani
PCI juga lebih jelek angka survival dibanding non-diabetes, dan berhubungan dengan restenosis yang masih tinggi. Beberapa patofisiologi yang
digambarkan dari atherosklerosis pasien diabetes sehingga memberi respon yang lebih jelek dibanding non-diabetes adalah adanya abnormalitas
dari metabolik dan hematologi pada DM seperti hiperglikemia, resistensi insulin, dislipidemia, inflamasi dan trombofilia. Platelet pada
penderita diabetes akan merangsang pembentukan reseptor GPIIb/IIIa, dan akan meningkatkan proses agregasi dan bersama-sama dengan
hiperglikemi merusak endothel dan akhirnya terjadi trombosis koroner.
Bentuk anatomi dari atherosklerosis pada pasien diabetes juga berpengaruh terhadap re-stenosis dan prognosis. Pada autopsi dan studi
angiografi didapatkan beberapa ciri orang lesi atherosklerosis penderita diabetes, yaitu lesi lebih sering mengenai Left Main Artery, multivessel,
diffuse dan mempunyai diameter pembuluh darah yang lebih kecil disekitar sumbatan. Pembuluh darahnya juga kaya lipid dan semua keadaan
ini sangat mungkin untuk ruptur.Pada penelitian angioskopi pasien diabetes dengan angina stabil didapatkan banyak pecahan plaqeu dan
trombus intra arteri koroner. Arteri penderita diabetes kurang mampu beradapatasi terhadap suatu sumbatan dan dalam membentuk kolateral
pada saat infark.Pada penelitian the Bypass Angioplasty Revaskularization Investigation (BARI), didapatkan angka survival rate 5 thn pada
pasien diabetes lebih baik dengan tindakan CABG dibandingkan PTCA (ballon). Pada penelitian the Arterial Revaskularization Study (ARTS)
juga didapatkan angka 1 tahun free-event survival lebih rendah pada pasien yang diterapi dengan stent dibanding dangan CABG. Penggunaan
dari Gp Iib/IIIa inhibitor pada saat pemasangan stent menurunkan angka kematian infark miokard dan target revaskularisasi dalam 6 bulan.
Pada penelitian the Emory Angioplasty vs Surgery (EAST) dan the Coronery Angioplasty vs Bypass Revaskularization Investigation (CABRI)
melaporkan tindakan CABG memberikan angka survival lebih baik dibanding PCI terutama pada pasien dengan multivessel disease. Dan
penggunaan graft dari arteri mammaria juga lebih baik dibandingkan dengan graft dari vena saphenous.
Pengenalan drug eluting stent pada pasien diabetes telah memberikan hasil yang lebih baik dibanding
bare-metal stent dalam restenosis post PCI, tetapi angka retenosis masih tetap tinggi dibandingkan
kelompok non-diabetes. 18,19
Penelitian intravaskular ultrasound dan analisa histologi spesimen mendapatkan bahwa
percepatan re-stenosis pada pasien diabetes disebabkan oleh tingginya proliferasi dan deposit matrik
ektraselular di pembuluh darah koroner. Dan pada serial ultasound intravaskular pada pasien
hiperinsulin menunjukkkan peningkatan proliferasi jaringan intima pembuluih darah post
pemasangan stent koroner.
3. Diabetes Mellitus dan Gagal Jantung  
Gagal jantung didapatkan sekitar 12% pada pasien diabetes dibandingkan dengan tanpa
diabetes, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara diabetes dan gagal jantung. Pada
penelitian Farmingham yang diikuti selama 18 thn, melaporkan kejadian gagal jantung pada diabetes
meningkat dua kali pada laki-laki dan lima kali pada wanita dibandingkan dengan pasien non-
diabetes. Prognosis pasien gagal jantung dengan diabetes menurun. Diabetes juga faktor prognostik
kematian yang tinggi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Penelitian pada populasi umum dari
Reykjavik melaporkan, terjadi penurunan angka harapan hidup yang signifikan pada pasien gagal
jantung dan abnormal glukosa, walaupun setelah di adjustment dengan faktor resiko lain dan
PJK.Rekomendasi terapi dari gagal jantung dan diabetes dengan ACE-inhibitor, ARB dan beta bloker
yang merupakan pilihan pertama. Diuretik dan aldosteron bisa mengurangi gejala dan sebagai obat
tambahan pada gagal jantung.
.
4. Diabetes Mellitus dan Kardiomiopati
 
Wilson Tang dkk, telah menjelaskan hubungan antara diabetes dengan gagal jantung yang
merupakan efek dari resistensi insulin pada miokard. Pada tahun 1972, pada penelitian autopsi
histopatologi terhadap pasien diabetes dengan ventrikel kiri yang hipertropi, didapatkan jaringan
yang spesifik terhadap diabetik kardiomiopati. 4
Gagal Jantung merupakan sindroma klinis sedangkan kardiomiopati merupakan perubahan
struktur yang abnormal akibat resistensi insulin yang telah dialami jaringan miokard. Diabetes tidak
hanya menyebabkan disfungsi miokard, tetapi juga terjadi gannguan lain seperti penurunan aliran
darah miokard, dan juga gangguan keseimbangan antara pengambilan glukosa dan aliran darah
miokard sehingga mengganggu glukosa masuk ke sel, pasien diabetes juga mengalami keterbatasan
dalam kompensasi hiperkinetik dari jaringan yang masih sehat/non infark yang disebabkan neuropati
dari saraf outonom. Kardiomiopati secara klinis biasanya muncul dengan gangguan sistolik, diastolik
ventrikel kiri dan gangguan neurohumoral.
Disfungsi miokard pada pasien diabetes kemungkinan besar disebabkan adanya gangguan
metabolik pada tingkat sel miokard. Pada keadaan normal jalur utama sumber energi untuk sel
jantung adalah dari oksidasi Asam Lemak Bebas dan sebagian kecil melalui oksidasi glukosa. Ketika
terjadi suatu iskemia miokard dan kenaikan tekanan intra ventrikular akan terjadi perubahan
produksi energi ATP dari FFA ke Glukosa. Produksi energi miokard dari glukosa ini sangat menurun
( sekitar 10 % ) sehingga terjadi oksidasi FFA yang lebih banyak. Masalahnya adalah pada proses
oksidasi FFA diperlukan oksigen lebih banyak sementara otot miokard kekurangan oksigen. Pada
bagian lain penderita diabetes sendiri juga mengalami peningkatan dari FFA akibat dari peningkatan
tonus simpatis, resistensi insulin dan insufisiensi insulin, hal ini akan menyebabkan penimbunan kronis
FFA dan hasil metaboliknya pada miokard sehingga terjadi disfungsi miokard.
PENGOBATAN DM TERHADAP JANTUNG
Terapi Diet dan Olah Raga
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut :Karbohidrat 60-70%, Protein 10-15%, Lemak 20-25%.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan memper tahankan berat
badan idaman.
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan Rumus Broca, yaitu: BB idaman = (TB
– 100) – 10%
Status gizi : Berat Badan kurang = < 90% BB idaman , Berat Badan normal = 90 - 110% BB idaman, Berat Badan lebih = 110 - 120% BB
idaman, Gemuk = > 120% BB idaman
        Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25
Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10 - 30%; untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih
banyak lagi, sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori yang
diperlukan untuk menghadapi stres akut (infeksi, dan sebagainya) sesuai dengan kebutuhan.
        Makanan sejumlah kalori terhitung, dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%)
dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan ringan, 10 - 15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan
kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali
jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70 -
75% juga memberikan hasil yang baik.
Obat hipoglikemia
 Regimen terapi terhadap hiperglikemia dalam mencapai target yang diinginkan adalah Diet, Strategi gaya hidup, obat oral hipoglikemia, dan
insulin. Pemilihan jenis obat harus diputuskan oleh para klinisi dan target glukosa darah harus dicapai seoptimal mungkin.Jika pasien telah
menerapkan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur namun pengendalian kadar glukosa darahnya belum tercapai dipertimbangkan
pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik oral maupun suntikan
Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan kadar glukosa darah pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin +
sulfonilurea, acarbose + metformin atau sulfonilurea). Kombinasi OHO dosis kecil dapat pula digunakan untuk menghindari efek samping
masing-masing kelompok obat. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompok OHO bila belum juga dicapai sasaran yang diinginkan, atau
ada alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai.
        Kalau dengan dosis OHO maksimal baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan
adanya kegagalan pemakaian OHO. Pada keadaan demikian dapat dipakai kombinasi OHO dan insulin.
2.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa,
harus diperhatikan benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati
atau ginjal.
 
Sulfonilurea :
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Oleh sebab itu merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari risiko
hipoglikemia yang berkepanjangan, pada pasien usia lanjut obat golongan sulfonilurea dengan waktu kerja panjang sebaiknya dihindari.
 
Biguanid (Metformin) :
Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati di samping juga efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat
golongan ini terutama dianjurkan dipakai sebagai obat tunggal pada pasien gemuk. Biguanid merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebro
kardiovaskular). Obat biguanid dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan bersamaan atau
sesudah makan.
 
Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose):
Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik sesudah makan,
terutama bermanfaat untuk pasien dengan kadar glukosa darah puasa yang masih normal. Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50 mg setelah
suapan pertama waktu makan. Jika tidak didapati keluhan gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada pasien yang
menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan
faal hati dan ginjal.

2.2. Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan). Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena
secara bolus atau drip. Insulin dapat diberikan tunggal (satu macam insulin kerja cepat, kerja menengah atau kerja panjang), tetapi dapat juga
diberikan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah, sesuai dengan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian. Untuk menyuntik insulin kombinasi kerja cepat dan menengah atau panjang, diperlukan teknik khusus
untuk mencampur kedua macam insulin tersebut dalam satu semprit. Lokasi penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula
mengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dapat dipakai lebih dari satu kali
(sampai satu minggu) oleh pasien yang sama. Jarum suntik dapat dipakai sampai dirasakan tidak nyaman lagi.
        Harus diperhatikan benar konsentrasi insulin (U40, U100). Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap (U40 atau U100), tidak berganti-
ganti, dengan semprit yang sesuai (semprit U40 untuk insulin U40, semprit U100 untuk insulin U100).
THANK
GUYS

Anda mungkin juga menyukai