Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah gangguan metabolisme akut yang terjadi
pada hiperglikemi yang tidak terkontrol. Keadaan ini dapat mengancam kehidupan oleh karena terjadi dehidrasi berat, gangguan keseimbangan elektrolit, jika tidak terdiagnosis dan tertangani dengan benar. Kondisi yang mendasari KAD yaitu dekompensasi - kekacauan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan meningkatnya hormon-hormon kontra regulatorik insulin. lnsiden kondisi ini bisa terus meningkat, dan tingkat mortalitas 1-2 persen telah dibuktikan sejak tahun 1970-an. Ketoasidosis diabetikum paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe 1 (yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes mellitus), akan tetapi keterjadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya disebut non-insulin dependent diabetes mellitus), terutama pasien kulit hitam yang gemuk adalah tidak sejarang yang diduga. Kondisi ini merupakan salah satu dari beberapa kondisi hiperglikemik yang mungkin terjadi pada penderita diabetes melitus. Kondisi yang paling menyerupai adalah hiperglikemia hiperosmotik nonketotik yang paling sering muncul pada penderita diabetes tipe 2. Dengan diagnosis dan penanganan secara cepat dan tepat, maka mortalitas KAD dapat ditekan.
1 TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulatorik insulin.
SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI Dokumen tertua tentang diabetes yang ditemukan bertanggal 1552 SM pada papyrus mesir. Pada tahun 1886, Dreschfeld untuk pertama kalinya memaparkan tentang DKA pada literature modern. Pada tahun 1971 Roger Unger menjelaskan DKA sebagai kelainan bihormonal yang mana terjadi defisiensi insulin dan kelebihan glukagon. Sebelum ditemukannya insulin oleh Dr. Frederick Banting pada tahun 1921, angka kematian DKA mencapai 100%. Setelah penemuan yang lur biasa tersebut, dan dimulainya terapi insulin pada penderita diabetes, angka kematian DKA mulai menurun secara signifikan. Hingga saat ini, angka kematian sekitar 4% - 10%. Insiden DKA sekitar 4,6-8 tiap 1000 orang dalam setahun, pada penderita diabetes mellitus. DKA lebih sering muncul pada penderita diabetes insulin-dependent dibandingkan noninsulin-dependent. Di Amerika Serikat, tiap tahunnya sekitar 100.000 kasus masuk rumah sakit karena DKA. Pada tahun 2003, angka masuk rumah sakit akbat DKA mencapai 115.000 kasus. Angka masuk rumah sakit pada HONK lebih rendah dibandingkan DKA, yaitu sekitar 1% dari seluruh kasus rawat inap oleh karena diabetes mellitus. DKA juga merupakan beban ekonomi yang besar. Dengan rata-rata biaya 13.000 dolar tiap pasiennya, maka tiap tahunnya biaya pengobatan DKA dapat melebihi 1 milyar dolar amerika. Angka kematian karena DKA terus menurun tiap tahunnya. Di amerika, angka kematian turun sebanyak 22% sejak tahun 1980 hingga 2001, yakni dari 32 per seribu menjadi 20 per seribu penderita diabetes. Berbanding terbalik dengan DKA, angka kematian akibat HONK masih tinggi, yakni 40% dari seluruh kejadian dibandingkan 2 dengan angka kematian DKA yang hanya 5% dari seluruh kasus. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda, umumnya dapat dihindari engan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional, serta memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.
ETIOLOGI Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara itu 20% pasien KAD tidak ditemukan faktor pencetus. Penelusuran mendalam terhadap faktor pencetus pada setiap kasus DKA berkontribusi besar terhadap hasil pengobatan yang lebih baik. Putus pengobatan atau dosis insulin yang tidak adekuat merupakan faktor pencetus yang paling sering. DKA sering muncul akibat penyakit akut atau infeksi seperti pneumonia, infeksi saluran kemih. Penyebab lainnya antara lain gastroenteritis, trauma, luka bakar, operasi, sepsis, pancreatitis, infark myokard yang tidak diketahui dan kejadian serebrovaskuler. Tubuh pasien gagal memenuhi kebutuhan insulin ketika stressor tersebut muncul, sehingga merangsang pengeluaran hormone kontraregulatorik seperti glucagon, katekolamin, kortisol, growth-hormone, dan sitokin proinflamatorik. Obat-obatan yang memengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, diuretik thiazid dan loop, agen simpatomimetik, antihipertensi, antihistamin, antidepresan trisiklik, kokain, ekstasi dan agen anti psikotik generasi kedua dapat memicu terjadinya KAD. Pada pasien dengan diabetes tipe 1, masalah psikologis dan masalah makan berkontribusi sebesar 20% terhadap KAD berulang. Stres psikologis juga dapat meningkatkan hormone kontra regulatorik insulin sehingga dapat mencetuskan KAD. Pada 2% - 10% pasien tidak ditemukan faktor pencetus yang dapat diidentifikasi.
3 PATOFISIOLOGI Proses terjadi KAD meliputi serangkaian kejadian yang terjadi secara bersamaan dan saling mendukung. Defisiensi insulin secara absolut maupun relatif kemudian merangsang hormon kontra regulatorik insulin, yang lebih jauh menekan produksi dan kerja insulin. Hal ini menyebabkan perubahan pada metabolisme tubuh meliputi metabolisme karbohidrat, protein, lemak, serta cairan dan elektrolit. Karbohidrat Hiperglikemia pada DKA merupakan akibat dari tiga kejadian: (1) peningkatan glukoneogenesis; (2) peningkatan glikogenolisis; dan (3) penurunan utilisasi glukosa oleh sel hati, otot, dan lemak. Glukoneogenesis memerlukan asam amino (melalui proteolisis) sebagai substrat, gliserol (melalui lipolisis) dan asam laktat (melalui glikogenolisis) sebagai rangka karbon. Glikogen otot dipecah melalui glikogenolisis menjadi asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan lalu dibawa ke hati, dan melalui siklus kori menjadi rangka karbon untuk glukoneogenesis. Peningkatan level glukagon, katekolamin,dan kortisol didukung dengan insulinopenia merangsang enzim glukoneogenik terutama fosfoenolpiruvat karboksikinase (PEPCK). Penurunan utilisasi glukosa diperberat dengan meningkatnya kadar katekolamin dan asam lemak bebas (FFA) yang beredar. Peningkatan osmolalitas darah tinggi, diduga bahwa makin sedikit insulin yang dihasilkan dan resistensi insulin meningkat. Proses ini menyebabkan jaringan semakin sulit untuk mengambil glokosa darah, sehingga hiperglikemia semakin berat. Protein Defisiensi insulin dan peningkatan glukagon menyebabkan meningkatnya proteolisis jaringan dan menurunnya sistesa protein. Proteolisis yang terjadi menyebabkan meningkatnya asam amino dan urea darah (BUN). Asam amino tersebut (alanin dan glutamin) kemudian akan dibawa ke hati dan digunakan sebagai substrat dalam glukoneogenesis.
4 Lemak Peningkatan katekolamin (terutama epinefrin) bersamaan dengan insulinopenia efektif memicu pemecahan trigliserida (lipolisis) menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Glukagon yang tinggi kemudian merangsang hati untuk membentuk very low density lipopprotein (VLDL) darah dan meningkatkan oksidasi asam lemak bebas menjadi badan keton. Badan keton yang paling banyak adalah asam asetoasetat dan 3- betahidroksibutirat. Produksi badan keton yang melebihi kemampuan jaringan untuk mengolahnya, menyebabkan tingginya kadar keton darah (ketonemia). Di darah, badan keton mengalami disosiasi menjadi anion keton dan ion hidrogen. Tubuh akan berusaha mempertahankan keasaman (pH) ekstraseluler melalui pengikatan ion hidrogen dengan bikarbonat. Hal tersebut menyebabkan penurunan cadangan alkali sehingga timbulah asidosis dengan anion gap yang lebar. Asidosis tersebut diperberat dengan pembentukan asam laktat. Asidosis tersebut kemudian menyebabkan inefektifitas enzim dan metabolisme melambat, sehingga semakin sedikit badan keton yang dimetabolisme, dan asidosis semakin berat. Asidosis dapat menyebabkan hipotensi karena efek vasodilatasinya dan efek negatif pada kontraktilitas jantung. Ketogenesis semakin meningkat dengan menurunnya konsentrasi malonil koa (McoA) sebagai akibat dari peningkatan rasio glukagon terhadap insulin. McoA merupakan penghambat karnitin palmitoil asiltransferase (CPT1), suatu enzim yang membantu transfer asam lemak bebas ke dalam sel dan mitokondria. Sehingga menurunnya McoA menyebabkan peningkatan ketogenesis. Pada KAD didapatkan juga peningkatan level sitokin proinflamatorik, penanda peroksida lipid, C-Reactive protein (CRP) dan faktor prokoagulasi, namun akan menurun dengan terapi insulin dan koreksi hiperglikemia. Hal ini menjelaskan kaitan antara krisis hiperglikemik dengan kondisi pro trombotik. Cairan dan elektrolit Kekacauan cairan dan elektrolit yang parah terjadi pada KAD, sebagai akibat dari defisiensi insulin, hiperglikemia, dan hiperketonemia. Hiperglikemia yang berat menyebabkan meningkatnya tonisitas darah, sehingga terjadi pergerakan cairan dari intrasel ke intravaskuler, dan sel pun mengalami dehidrasi berat. Di ginjal, tubuh 5 mengalami dieresis osmotic karena hiperglikemia. Sehingga terjadi kehilangan cairan dalam jumlah banyak. Kondisi ini diperberat oleh defisiensi insulin sehingga resorpsi air dan garam terganggu, serta ketonemia yang menyebabkan diuresis obligatorik untuk ekskresi anion keton. Faktor lainnya yang juga memengaruhi kehilangan cairan antara lain penggunaan diuretic, demam, diare, mual, dan muntah. Dehidrasi berat, usia tua, dan keberadaan kondisi komorbid meningkatkan mortalitas pasien. Pergerakan cairan dari intrasel ke intravaskuler menyebabkan pergerakan pasif kalium keluar dari sel, sehingga kadar kalium darah meningkat (hiperkalemia). Hal ini menyesatkan, karena sebenarnya kadar kalium intrasel rendah, meskipun terjadi hiperkalemia. Kondisi ini juga diperberat dengan adanya asidosis dan pemecahan protein intrasel. Tingginya kadar H+ intravaskuler akibat asidosis, menyebabkan pertukaran H+ ke dalam sel dan kalium keluar sel demi mengontrol keasaman darah. Pergerakan cairan dalam jumlah besar ke intravaskuler menyebabkan dilusi dari beberapa elektrolit khususnya natrium, sehingga terjadi hiponatremia. Diuresis osmotik di ginjal menyebabkan kehilangan mineral dan elektrolit, termasuk natrium, kalium, kalsium, magnesium, klorida, dan fosfat. Mineral dan elektrolit tersebut juga hilang semakin banyak melalui muntah. Meskipun begitu, beberapa elektrolit (natrium, kalium, dan klorida) dapat dikoreksi dengan cepat selama pengobatan. Namun elektrolit dan mineral lainnya memerlukan beberapa hari hingga minggu untuk mencapai keseimbangan.
MANIFESTASI KLINIS Gejala Kelainan metabolik dan manifestasi klinis pada KAD dapat terjadi dalam 24 jam sejak dimulainya proses, namun buruknya kontrol diabetes dan faktor pencetus dapat berlangsung beberapa hari sebelumnya. Gejala klinis yang dialami oleh penderita KAD sebagian besar diakibatkan oleh hiperglikemia. Terjadinya diuresis osmotik menimbulkan poliuria, yang merupakan gejala umum KAD. Hiperglikemia juga menyebabkan peningkatan osmolaritas darah, sehingga rasa haus yang berat muncul, dan penderita akan minum lebih banyak (polidipsi). Asidosis yang dialami pasien akan menimbulkan respon respiratorik berupa napas cepat dan dalam (kussmaul) sehingga pasien mungkin merasa 6 sesak. Perasaan mual, muntah, nyeri perut, serta malaise juga sering ditemukan pada KAD dan merupakan alasan tersering pasien mencari pelayanan kesehatan. Nyeri perut, mual dan muntah tersebut diperkirakan terjadi karena asidosis atau pun berkurangnya perfusi mesenterik akibat dehidrasi. Keluhan lain yang mungkin timbul adalah penglihatan kabur. Hal ini bisa jadi merupakan komplikasi kronik diabetes berupa retinopati diabetik, namun juga dapat diperberat oleh pergerakan cairan keluar masuk orbita sebagai akibat dari peningkatan pergeseran osmotik darah pada kadar glukosa darah yang fluktuatif. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan pada pasien KAD harus dilakukan secara cepat dan cermat. Tanda klinis pasien KAD dipengaruhi oleh derajat dehidrasi, asidosis, dan peningkatan tekanan osmotik. Dari inspeksi biasanya didapatkan pernapasan yang cepat dan dalam (pernapasan kussmaul). Ini merupakan usaha tubuh untuk mengeluarkan CO2 agar asidosis terkoreksi (kompensasi respiratorik). Suara napas umumnya bersih, namun bila ditemukan ronki atau suara napas tambahan lainnya, maka kemungkinan terjadi infeksi paru. Napas pasien dapat memiliki aroma buah busuk, karena mengandung aseton. Bila terjadi poliuria yang berat dan pasien tidak mengganti dengan cukup cairan, maka pasien dapat jatuh pada kondisi dehidrasi sedang hingga berat. Pengamatan yang ketat pada tanda dehidrasi berupa nadi cepat (takikardia), penurunan tekanan darah (hipotensi), dan turgor kulit yang melambat sangat penting dilakukan. Pasien anak dengan KAD sering mengalami dehidrasi hiperosmotik, yang mana cairan sel jauh berkurang untuk mengisi ruang intravaskuler, sehingga pasien mengalami dehidrasi seluler, namun tidak menunjukkan tanda dehidrasi yang adekuat. Sekitar 30% pasien KAD mengalami kondisi hiperosmotik akibat hiperglikemia. Pergerakan air yang masif dapat menyebabkan kelainan neurologis karena jaringan otak yang sensitif. Tanda neurologis yang nampak antara lain delirium, gelisah, agitasi, letargi, perasaan melayang, hingga koma. Tingkat osmolaritas darah berperan besar dalam hal ini. Sebagian besar pasien dengan osmolaritas darah lebih besar dari 330 mOsm/kg mengalami gangguan mental berat hingga koma, akan tetapi perubahan status mental jarang ditemukan pada osmolaritas kurang dari 320 mOsm/kg. 7 Pada pemeriksaan perut bisa didapatkan nyeri tekan abdomen, yang mana berhubungan erat dengan derajat asidosis. Pada 50%-75% kasus, nyeri dapat dirasakan angat hebat, sehingga menyerupai akut abdomen. Untuk itu penelusuran mendalam terhadap kemungkinan penyebab lain akut abdomen harus dilakukan. Perdarahan gastrointestinal pada KAD dapat menyebabkan muntah darah (hematemesis). Asidosis dapat merangsang terjadinya vasodilatasi perifer, sehingga terjadi kehilangan suhu tubuh yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan pasien mengalami hipotermia. Hipertermia sangat jarang ditemukan, kecuali pasien memiliki penyakit penyerta berupa infeksi. Pemeriksaan Penunjang Meskipun gejala dan tanda klinis KAD memiliki nilai diagnostik yang tinggi, namun diagnosis pasti memrlukan hasil pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan awal pasien dengan KAD meliputi pembuktian adanya hiperglikemia, asidemia, dan ketosis. Pemeriksaan lainnya diarahkan untuk mencari faktor pencetus KAD. 1. Gula darah plasma Pada pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan kadar gula darah lebih dari 250 mg/dL atau 11 mmol/L. Namun pada 18% kasus mungkin didapatkan euglikemia, maupun normoglikemia terutama pada pasien yang menggunakan insulin sesaat sebelum datang atau yang mengalami kelainan glukoneogenesis akiat kelainan hati dan alkohol. 2. Analisis gas darah Pemeriksaan ini adalah salah satu yang paling penting, karena selain memiliki ilai diagnostik, namun juga nilai prognostik. Nilai pH darah kurang dari 7,3 merupakan tanda terjadinya asidosis dan turunnya PaCo2 (hipokarbia) menandakan bahwa tubuh melakukan kompensasi respiratorik. PH tidak harus diukur melalui darah arteri, karena perbedaan antara pH arteri dan vena pada kondisi ini hanya terpaut 0,03 (vena lebih rendah). Turunnya bikarbonat serum <18mmol/L dan anion gap >10mmol/L menandakan terjadinya asidosis metabolik. Anion gap merupakan efek dari akumulasi anion keton, yang tidak terukur secara laboratorik. Hanya jumlah total kation (natrium da kalium) dan anion dominan (klorida dan bikarbonat) yang diukur. Kelebihan kation terhadap 8 anion memberikan gambaran tentang jumlah anion yang tidak terukur seperti anion keton. Osmolalitas darah didapatkan meningkat pada KAD, dan merupakan faktor yang menentukan komplikasi neurologis penderita. 3. Elektrolit Pergerakan air dari dalam sel ke intravaskuler menyebabkan efek dilusi terhadap natrium, sehingga terjadi hiponatremia (nilai normal 136-145 mmol/L). Kondisi ini diperberat dengan diuresis dan kehilangan cairan dalam jumlah besar. Peningkatan kadar lipid darah juga menimbulkan efek pseudohiponatremia karena mengacaukan pemeriksaan alat. Kadar kalium darah (nilai normal 3,5-5 mmol/L) akan meningkat pada awal terjadinya KAD sebagai akibat dari pergerakan kalium dari intrasel ke intravaskuler. Namun dengan meningkatnya diuresis, maka kadar kalium akan menurun, dan hal ini menggambarkan berkurangnya cadangan kalium tubuh. Kadar magnesium (nilai normal 0,07-1,10 mmol/L) dan fosfat (nilai normal 0,08- 1,15 mmol/L) mungkin menurun karena kehilangan melalui urin.
Tabel 1. Koreksi nilai laboratorium pada KAD
4. Keton Adanya ketosis dapat dibuktikan melalui adanya ketonemia (kadar keton darah > 3 mmol/L) maupun ketonuria yang signifikan (+2 pada pemeriksaan dipstick standar). Pemeriksaan menggunakan dipstick standar hanya mengukur kadar keton asetoasetat dan aseton, bukan asam 3-hidroksibutirat yang merupakan keton 9 dominan pada KAD. maka, pemeriksaan asam 3-hidroksibutirat secara langsung dari darah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan keton urin. Disamping itu, kadar keton urin hanya menggambarkan kondisi metabolik sebelumnya, bukan yang sedang terjadi. Berbeda dengan kadar keton darah yang menggambarkan kondisi metabolik langsung. 5. Fungsi ginjal Turunnya laju darah ginjal menyebabkan penurunan laju filtrasi glomeruler, sehingga kadar urea darah (nilai normal 2,5-6,4 mmol/L) dan kreatinin (normal >120 mol/L) akan meningkat. Tingginya katabolisme protein juga menyebabkan peningkatan kadar urea darah. Ketonemia dapat mengacaukan pemeriksaan sehingga memberikan nila kreatinin serum yang lebih tinggi. 6. Darah lengkap Leukositosis antara 10.000-20.000 sering timbul akibat dehidrasi dan respon stress tubuh. Jumlah sel darah putih hingga 30.000 merupakan bukti yang kuat terjadinya infeksi. 7. Lain-lain Pemeriksaan amylase serum, lipase serum dan enzim hati mungkin didapatkan meningkat pada penderita dengan pankreatitis. Namun, hiperamilasemia dapat berasal dari kelenjar selain pankreas, seperti kelenjar parotid. Maka dari itu, kadar amylase tidak sensitif untuk diagnosis pancreatitis pada KAD. Kultur darah, urin dan sputum juga dapat dilakukan untuk mencari sumber infeksi. Pemeriksaan laboratorium lain meliputi enzim jantung bila curiga infark myokard dan hemoglobin A1C sebagai indikator kualitas kontrol diabetes. Elektrokardiografi sebaiknya dilakukan, untuk mendeteksi iskemia dan perubahan-perubahan akibat hiperkalemia atau hipokalemia. Foto x-ray dada untuk menyingkirkan pneumonia dan CT scan kepala pada pasien curiga stroke juga dapat dilakukan.
DIAGNOSIS Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari amnesis dan pemeriksaan fisik yagn cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan 10 napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah- langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Tabel 2. Klasifikasi derajat KAD
Pemeriksaan laboratorium yang penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urin dengan mengunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urin. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparah KAD meliputi kadar HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksan kadar AcAc dan laktat serta 3HB. Tidak ada kriteria diagnostik absolut untuk KAD. Namun, dengan gejala-gejala yang mengarah ke KAD disertai dengan bukti laboratorium, maka diagnosis KAD dapat ditegakkan. Nilai laboratorium tersebut antara lain bukti hiperglikemia (gula darah >250mg/dL atau >11 mmol/L), bukti ketosis (ketonemia >3mmol/L atau ketonuria signifikan +2 pada dipstick standard), dan bukti asidosis metabolic dengan kompensasi 11 respiratorik (pH< 7,3, bikarbonat darah <15mmol/L,dan hipokarbia). Selain untuk diagnosis, pemeriksaan laboratorium juga digunakan untuk klasifikasi derajat KAD, sebagai faktor prognostik penyakit. Klasifikasi derajat penyakit KAD dapat dilihat pada tabel 2.
DIAGNOSA BANDING KAD merupakan sindroma komplikasi pada diabetes melitus yang meliputi hiperglikemia, ketosis, dan asidosis, yang mana harus didapatkan bukti adanya ketiga kondisi tersebut untuk diagnosis. Namun, pada penderita diabetes melitus ketiga kondisi tersebut dapat berdiri sendiri dan menyerupai KAD sehingga harus secara cermat disingkirkan agar penanganan tepat. Kondisi hiperglikemia meliputi diabetes yang tidak terkontrol, hiperosmolar hyperglycemic state (HHS), dan hiperglikemia akibat stres. Ketosis dapat disebabkan oleh ketosis hipoglikemik, ketosis alkoholik, ketosis akibat kelaparan, akibat alkohol isopropil, dan hiperemesis. Sedangkan asidosis metabolik dapat berupa asidosis laktat, asidosis hiperkloremik, salisilisme, dan asidosis uremik.
Gambar 1. Diagnosis banding KAD (diambil dari Kitabchi AE, Fisher JN. Diabetes mellitus. In: Glew RA, Peters SP, editors. Clinical studies in medical biochemistry. New York: Oxford University Press; 1987:105) 12
Diantara semua kondisi tersebut, yang paling menyerupai KAD adalah HHS. Secara epidemiologi, KAD paling sering muncul pada penderita diabetes tipe 1, sedangkan HHS pada diabetes tipe 2. Secara klinis keduanya sama-sama didominasi oleh tanda-tanda dehidrasi dari sedang hingga berat. Pada KAD didapatkan napas kusmaul dan bau keton yang tidak didapatkan pada HHS. Perbedaan secara laboratorium dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 3. Perbandingan KAD dan HHS
PENGOBATAN Tujuan umum pengobatan KAD yaitu pengembalian volume sirkulasi, pembersihan badan keton dari darah, dan koreksi elektrolit. Ketiga hal ini dicapai melalui resusitasi cairan, pemberian insulin, dan suplementasi elektrolit. Rata-rata pasien KAD akan mengalami kehilangan cairan sekitar 100 ml/kgBB, natrium 7-10 mmol/kgBB, klorida 3- 13 5 mmol/kgBB, dan kalium 3-5 mmol/kgBB. Selain itu, koreksi faktorr komorbid sebagai pencetus KAD dan monitoring ketat juga harus dilakukan. 1. Resusitasi cairan Terapi cairan memegang peranan vital dalam terapi awal KAD. Pemberian cairan yang agresif di jam-jam pertama memberikan prognosis yang lebih baik. Target pemberian cairan adalah 50% dari total kehilangan cairan dalam 8-12 jam pertama, dan sisanya dalam 12-16 jam berikutnya. Orang dewasa kira-kira akan kehilangan cairan sebanyak 5-8 liter. Terdapat kontroversi tentang cairan yang sebaiknya digunakan, namun kebanyakan ahli menyarankan cairan fisiologis (NaCl 0,9%) untuk terapi awal. Jumlah yang diberikan yakni 15-20 ml/kgBB/jam selama jam pertama (1-1,5L). Metode praktis yakni 1 liter pada jampertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya, lalu 1 liter setiap 4 jam. Metode lain yakni 1-1,5 liter pada jam pertama, dan diikuti dengan 200-250 ml tiap jam berikutnya. Pedoman ini tidak mutlak dan harus disesuaikan dengan status hidrasi pasien. Pada pasien dengan kadar natrium serum>150mEq/L, lebih dipilih larutan NaCl 0,45% dengan kecepatan 4-14 ml/kgBB/jam agar perpindahan cairan terjadi secara gradual. Jika kadar natrium rendah, sebaiknya menggunakan NaCl 0,9%. Penggunaan ringer laktat biasanya untuk mencegah terjadinya hiperkloremia, namun studi yang menunjukkan keuntungan ringer laktat dibandingkan normal salin belumlah memadai. Pemberian cairan sebaiknya tidak menyebabkan perubahan osmolalitas serum lebih dari 3 mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung, hati, atau usia tua, penilaian harus dilakukan ketat untuk mencegah kelebihan cairan iatrogenik. Untuk itu, pemasangan centra venous pressure (CVP) sangat bernilai. Bila gula darah mencapai 200-250 mg/dL, maka dapat dipertimbangkan menambah cairain dextrosa 5-10% untuk mencegah hipoglikemia dan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat. 2. Insulin Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian 14 insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada KAD, namun ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kgBB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam. Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung. Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50-75 mg/dl/jam. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05 - 0,1 u/kgBB/jam, dan tambahkan infus dextrose 5-10%. Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung 3-OHB (beta hidroksi butirat) pada darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama terapi 3- OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis memburuk. 15 Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang rendah. Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama, namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan KAD ringan harus mendapatkan insulin regular 0,4 - 0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular 0,1 u/kgBB/jam. Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap < 12 mEq/l. Setelah tercapai, lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah 300 mg/dl. Ketika pasien dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1-2 jam setelah pergantian dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian insulin tiba- tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian insulin intravena dan subkutan. Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 - 1,0 u/kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting insulin sampai dosis optimal tercapai, duapertiga dosis 16 harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai split- mixed dose. Akhirnya pasien DM tipe 2 dapat keluar rumah sakit dengan antidiabetik oral dan terapi 3. Kalium Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3-5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi di awal terjadinya KAD karena perpindahan kalium dari intrasel ke ekstrasel akibat asidosis dan kekurangan insulin. Hiperkalemia berat yang potensial fatal terkadang memerlukan bikarbonat. Selain itu yang perlu menjadi perhatian adalah hipokalemia akibat terapi KAD. Penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya digunakan 20-30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam nilai normal 4-5 mEq/l. Akan tetapi, pada hipokalemia berat dapat diberikan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan. Terapi kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l. 4. Bikarbonat Terapi bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi karena bebrapa alas an yakni: 1. Menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepaskan bikarbonat, 2. Efek negative pada disosiasi okssigen di jaringan, 3. Hipertonis dan kelebihan natrium, 4. Meningkatkan insiden hipokalemia, 5. Gangguan fungsi serebral,dan 6. Terjadinya alkalinemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton. Namun, karena beratnya efek negatif dari asidosis berat, maka bikarbonat diberikan pada pH darah <7,1. Bila pH antara 6,9-7,0 maka diberikan natrium bikarbonat 50 mmol dalan 200 ml larutan fisiologis dengan kecepatan 200 ml/jam. Bila pH< 6,9 maka dapat diberikan 100 mmol natrium bikarbonat dalam 400 ml larutan fisiologis dengan kecepatan 200 ml/jam. 17 5. Fosfat dan magnesium Untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta depresi pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-hati mungkin kadang-kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20-30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Gejala kekurangan magnesium sangat sulit dinilai dan sering tumpang tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau natrium. Gejala yang umum adalah parestesia, tremor, spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien biasanya menunjukkan gejala pada kadar <1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan. 6. Lain-lain Di samping hal tersebut di atas, pengobatan secara umum juga diperlukan. Penilaian jalan napas dan oksigenasi yang adekuat diperlukan pada awal resusitasi dan selama pengobatan. Suplementasi O2 dapat diberikan pada pasien dengan hipoksemia <80mmHg. Pengobatan terhadap penyakit penyerta seperti infeksi, dengan antibiotic yang adekuat, serta pencegahan DIC dengan heparin pada pasien hiperosmolar >380 mOsm/L.
MONITORING Pemantauan ketat sangant diperlukan selama terapi berlangsung, terutama hingga pasien mengalami resolusi. Pemantauan meliputi: 1. Kadar gula darah tiap jam, 2. Elektrolit tiap 6 jam pada 24 jam pertama sesuai kondisi, 3. Analisis gas darah tiap 6 jam bila pH<7 hingga pH >7,1 selanjutnya tiap hari hingga stabil, 4. Tanda vital setiap jam hingga pasien stabil, 5. Status hidrasi dan balans cairan, 6. Waspada kemungkinan DIC.
18 KOMPLIKASI Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem.
Tabel 4. Komplikasi pada KAD
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang, 19 inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi KAD. Penanganannya antara lain penilaian klinis yang tepat dibandingkan dengan bukti klinis. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap pada pasien yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2 mOsm/kgH2O/jam), dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl.
20 KESIMPULAN
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah gangguan metabolisme akut yang terjadi pada hiperglikemi yang tidak terkontrol. Keadaan ini dapat mengancam kehidupan oleh karena terjadi dehidrasi berat, gangguan keseimbangan elektrolit, jika tidak terdiagnosis dan tertangani dengan benar. Kondisi yang mendasari KAD yaitu dekompensasi - kekacauan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan meningkatnya hormon-hormon kontra regulatorik insulin. Insiden DKA sekitar 4,6-8 tiap 1000 orang dalam setahun, pada penderita diabetes mellitus. DKA lebih sering muncul pada penderita diabetes insulin-dependent dibandingkan noninsulin-dependent. DKA merupakan beban ekonomi yang besar dengan rata-rata biaya 13.000 dolar tiap pasiennya, maka tiap tahunnya biaya pengobatan DKA dapat melebihi 1 milyar dolar amerika. Manifestasi klinis KAD muncul sebagai akibat dari hiperlikemia, dehidrasi, ketoasidosis, dan kelainan elektrolit. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan laboratorium. Penangan yang cepat dan tepat memberikan prognosis yang lebih baik. Hal tersebut meliputi pengobatan umum, resusitasi cairan, pemberian insulin, pemberian bikarbonat dan koreksi elektrolit. Komplikasi pada KAD dapat timbul sebagai akibat dari penyakit itu sendiri, maupun karena penanganan KAD. Beberapa komplikasi yang sering terjadi antara lain hipoglikemia oleh karena penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Monitoring yang ketat dapat membantu mengurangi terjadinya komplikasi.
21 DAFTAR PUSTAKA
1. Soewondo, Pradana.Ketoasidosis Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI. 2006: 1874-1877. 2. Goetra, Wira, Budiyasa, Dewa Gde Agung. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). J Penyakit Dalam. 2012; 11 (2):126-138. 3. Kitabchi, Abbas E., Nyenwe, Ebenezer A. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;35:725751. 4. Yehia, Baligh Ramzi, Epps, Kelly C., Golden, Sherita Hill. Diagnosis and Management of Diabetic Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician. 2008; 3: 21-26. 5. Charfen, Michelle A., Fernandez-Frackelton, Madonna. Diabetic Ketoacidosis. Emerg Med Clin N Am. 2005; 23:609628.