Anda di halaman 1dari 17

POTENSI DAN ADAPTASI BENCANA WILAYAH

PESISIR DAN KEPULAUAN

OLEH

KELAS E

ARZUL RAHMAT ASDAR ( J1A122223 )

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALI OLEO KENDARI
2022
ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN
DEMAK DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
DAN BENCANA WILAYAH KEPESISIRAN

INTISARI

Multi-bencana yang terjadi di Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak terkait perubahan iklim
seperti kenaikan muka airluat dan bencana akibat aktivitas manusia seperti erosi pantai, banjir
rob, dan amblesan tanah. Multi-bencana tersebut telah memberi dampak yang cukup besar
berupa rusaknya permukiman warga, hilangnya daratan, kerugian eknomi karena tambak dan
sawah yang rusak tergenang air, serta rusaknya beberapa fasilitas umum seperti jalan, sekolah,
dan sebagainya. Tulisan ini menggali dan menemukenali upaya adaptasi apa yang telah
dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Demak untuk menghadapi perubahan iklim serta
bencana lain yang mereka hadapi diantaranya banjir rob dan erosi pantai. Warga pesisir
Kabupaten Demak yang terkena dampak akibat multi-bencana tersebut meresponnya dengan
cara beradaptasi atau membiasakan diri dengan keadaan tersebut. Diantara upaya adaptasi
yang dilakukan warga adalah relokasi perumahan, peninggian lantai bangunan, penimbunan
tanah, pembuatan rumah panggung, rehabilitasi hutan mangrove, pembuatan kolam
penampungan air hujan, serta perubahan mata pencaharian.

Kata Kunci: Adaptasi, Bencana Wilayah Kepesisiran, Masyarakat Pesisir,


Perubahan Iklim

PENDAHULUAN
Pemanasan global yang diikuti oleh perubahan iklim telah menjadi sebuah bencana
baru di dunia. Tidak seperti bencana tsunami, letusan gunungapi, serta gempabumi
yang memberikan dampak besar tetapi bersifat sementara, pemanasan global
memberikan dampak yang lambat tetapi pasti dan bersifat permanen. Pemanasan
global telah menyebabkan mencairnya es di kutub. Suhu air laut yang meningkat
menyebabkan air laut memuai sehingga volume air laut meningkat. (Rif’an dkk,
2012; Diposaptono dkk 2009; dan IPCC, 2007).
Salah satu dampak dari perubahan iklim yang secara nyata dapat kita lihat adalah
naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan luas daratan
berkurang dan garis pantai mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan saat
pasang terjadi, air laut masuk hingga ke permukiman dan penggunaan lahan lain
serta mengganggu aktivitas warga.
Banjir rob adalah peristiwa banjir yang disebabkan oleh masuknya air laut ke
daratan sebagai akibat dari pasang air laut yang tinggi (Marfai dan King, 2008).
Banjir rob tidak akan menjadi suatu ancaman bila tidak mengganggu aktivitas warga
dan jauh dari permukiman warga. Akan tetapi karena garis pantai mengalami
kemunduran dan mendekati permukiman warga, maka banjir rob menjadi masalah.
Banjir rob merupakan sebuah ancaman serius bagi kawasan pesisir karena dapat
menyebabkan kerusakan pada permukiman, fasilitas umum, serta penggunaan
lahan.
Erosi pantai pantai merupakan ancaman lain yang dapat mengancam wilayah
kepesisiran. Erosi pantai dapat menyebabkan kerusakan pantai dan mundurnya
garis pantai atau berkurangnya daratan. Bila daratan berkurang, maka permukiman
penduduk serta asset masyarakat yang berada di kawasan pesisir menjadi hilang
sehingga menyebakan kerugian bagi maasyarakat yang tinggal di pesisir.
Dalam konteks risiko bencana, masyarakat (community) merupakan kelompok
yang merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari sebuah bencana. Karena
itulah mereka harus memberikan tanggapan atau respon terhadap bencana yang
menimpa mereka. Marfai dan Hizbaron (2011) menjelaskan bahwa respon
masyarakat terhadap bencana merupakan suatu hal yang penting dipelajari dalam
pengelolalaan risiko bencana. Keterampilan masyarakat dalam merespon disebut
sebagai kapasitas beradaptasi. Respon masyarakat bisa berwujud dalam
pengembangan ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, serta tingkat
kompetensinya. Berbeda bencana, bisa bebeda pula cara respon masyarakat.
Begitu pula berbeda masyarakat bisa berbeda pula cara menyikapi meskipun
bencananya sama.
Aldrian dkk (2011) menjelaskan bahwa bentuk respon yang dilakukan
maasyarakat terhadap perubahan iklim atau bencana yang dihadapi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu adaptasi dan mitigasi. Tindakan adaptasi lebih
cenderung kepada upaya masyarakat membiasakan atau menyesuaikan diri
terhadap bencana yang dihadapi. Sedangkan tindakan mitigasi lebih kepada upaya
untuk mengurangi dampak tersebut.
Tulisan ini menggali dan menemukenali upaya adaptasi apa yang telah
dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Demak untuk menghadapi
perubahan iklim serta bencana lain yang mereka hadapi diantaranya banjir rob dan
erosi pantai. Diawali dengan gambaran mengenai penjelasan mengenai kondisi
umum wilayah kepesisiran Kabupaten Demak, kemudian menjelaskan dampak yang
ditimbulkan oleh perubahan iklim dan bencana kepesisiran, dan selanjutnya
mengidentifikasi strategi adaptasi apa saja yang telah dilakukan oleh masyarakat
secara mandiri untuk menghadapi bencana yang telah, sedang, dan mereka hadapi.
GAMBARAN UMUM WILAYAH KEPESISIRAN KABUPATEN DEMAK
Berdasarkan RPJMD Kabupaten Demak Tahun 2011-2016, secara geografis
Kabupaten Demak berada pada koordinat 60 43’ 26” - 70 09’ 43”
Lintang Selatan dan 1100 48’ 47” Bujur Timur. Lokasi Kabupaten Demak yang
bersebelahan dengan wilayah perkotaan utama Propinsi Jawa Tengah, yaitu Kota
Semarang membuat Kabupaten Demak menjadi berkembang pesat khususnya pada
aktifitas perindustrian, perdagangan dan jasa, pertanian, perikanan dan peternakan.
Kabupaten Demak terdiri dari 14 kecamatan yang 4 kecamatan diantaranya terletak
di wilayah kepesisiran. Seluruh kecamatan tersebut telah meliputi 243 desa
kelurahan dan 6 kelurahan. Luas keseluruhan Kabupaten Demak sejumlah 89743
Ha. Adapun wilayah administrasi Kabupaten Demak berbatasan dengan wilayah lain
adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Jepara dan Laut Jawa Sebelah Timur : Kabupaten
Kudus dan Kabupaten Grobogan Sebelah Selatan : Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Semarang Sebelah Barat : Kota Semarang
Wilayah kepesisiran (coastal area) merupakan salah satu wilayah yang kaya akan
sumberdaya alam dan cukup berpotensi bagi upaya mendukung program
pembangunan yang berkelanjutan (Gunawan dkk 2005). Menurut Sunarto (2003),
wilayah kepesisiran (coastal area) adalah mencakup wilayah darat dan laut, ke arah
laut dibatasi pada lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut
terendah dan ke arah darat dibatasi oleh batas terluar bentuklahan kepesisiran di
pedalaman. Daerah kepesisiran ini mencakup pesisir, pantai, dan perairan laut dekat
pantai (near shore).
Wilayah Kepesisiran Demak ini termasuk dalam tipologi pesisir primer akibat
deposisional sub-arial (Sub-areal deposition coast). Sub-areal deposition coast
adalah pesisir yang terbentuk akibat akumulasi secara langsung bahan-bahan
sedimen sungai, glacial, angin atau akibat longsor lahan kearah laut. Termasuk
dalam kategori ini adalah rataan pasang surut dan pembentukan delta. Jika dilihat
dari diagram alir identifikasi Geomorfologis Pantai dan Pesisir yang sudah
dikemukaan oleh Sunarto (2003), penyusun mencoba mengidentifikasi bahwa
wilayah kepsesisiran demak berdasarkan reliefnya termasuk relief rendah, materi
penyusun utamanya adalah lembek atau lumpur, proses genetik yang terjadi adalah
oleh proses marine, dan jenis pantai/ pesisirnya ermauk Pesisir Rataan Pasang
Surut.
Wilayah Kepesisiran Demak material utama penyusunnya adalah lumpur, sehingga
dapat di klasifikasikan menjadi pantai berlumpur, dengan proses utama sedimentasi
lumpur dan pasang surut air laut, yang menunjukkan perkembangan wilayah
berlumpur yang pesat. Wilayah kepesisiran Demak termasuk wilayah kepesisiran
yang landai. Lingkup wilayah kepesisiran pada daerah rataan pasang surut dimulai
dari zona pecah gelombang (breakers zone), pantai (shore), rataan pasang surut,
pesisir (coast), dan lahan buritan atau hinterland. Rataan pasang surut dapat berupa
rataan lumpur (mud flat) jika seluruh materi penyusun lumpur tidak ada vegetasi
apapun, tetapi dapat berupa rawa payau (saltmarsh). Jika di
atas lumpur telah tumbuh vegetasi seperti bakau atau tumbuhan rawa lainnya,
hingga daerah - daerah yang secara morfogenesis pembentukannya masih
dipengaruhi aktivitas marin (seperti dataran alluvial plain) yang termasuk dalam
pesisir/ coast (dirumuskan berdasarkan konsep CERC, 1984 : Pethick, 1984 dan
Sunarto, 2000 dalam Gunawan dkk, 2005).

Wfl /lY/lH KrPFKIVIK/lN R/VF/I/1N P/IVIIT

Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) Lahan Burltan


(Hinterland)
Pantal (Shore) Pesisir (Coast)
Dataran
Aluvial
(Alluvial
Zona Pecah i ~ Rataan pasang surut (Tidal ■ Dat. plain)
Gelombang ; s flat), yang mungkin tersusun Aluvial
(Breakers jf atas Rataan lumpur (Mud flat) Pesisir
lone) IS atau Rawa payau (Saltmarsh) (Coastal
alluvial

Gambar 1. Lingkup Wilayah Pesisir pada Daerah Rataan Pasang


Surut
(dirumuskan berdasarkan konsep CERC. 1984: Pethick. 1984: dan Sunarto.
2000, dalam Gunawan dkk, 2005)
Permasalahan yang terdapat di Wilayah Kepesisiran Demak baik oleh faktor alam
atau faktor manusia adalah terjadnya erosi pantai yang sangat intensif, penebangan
hutan mangrove oleh masyarakat sekitar, terjadi sea level rise akibat pemanasan
global, kondisi air bersih yang memprihatinkan, konflik sosial kepemilikan lahan
tambak yang terkait dengan tanah-tanah timbul, banyak tambak yang tergenang air
laut dan kemudian hilang, terjadinya intrusi air laut, terjadi pendangkalan di muara
sungai sehingga menggaggu pendaratan kapal nelayan, dan penyalahan wewenang
yang berakibat konversi hutan mangrove secara besarbesaran sehingga menganggu
ekosistem pesisir yang lainnya.
Saat ini Wilayah Kepesisiran Demak sedang mengalami beberapa ancaman
bencana yang diakibatkan perubahan iklim maupun karena aktivitas manusia.
Bencana yang tersebut diantara kenaikan permukaan air laut, banjir rob, dan erosi
pantai.
Perubahan Iklim bukan hanya menjadi isu belaka akan tetapi telah menjadi sebuah
fenomena yang dapat dilihat dan dapat dirasakan dampaknya. Diposaptono dkk
(2009) menyebutkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan
terkena dampak perubahan iklim. Beberapa daratan di wilayah pesisir terancam
hilang bahkan beberapa pulau kecil di dunia termasuk di Indonesia diprediksi akan
tenggelam akibat kenaikan muka air laut. Beberapa dampak perubahan iklim
terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diantaranya: perubahan garis pantai,
banjir rob,
intrusi air laut, perubahan pola sedimentasi, serta tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Diposaptono (2001) menjelaskan bahwa erosi pantai merupakan suatu proses yang
terjadi di wilayah pesisir yang menyebabkan berkurangnya wilayah daratan atau
mundurnya garis pantai dari keaadan semula yang antara lain disebabkan oleh
proses-proses yang terjadi di laut. Erosi pantai yang terjadi di wilayah kepesisiran
Kabupaten Demak terjadi karena pembangunan dan reklamasi pelabuhan di Kota
Semarang. Erosi pantai yang terjadi di pesisir Kabupaten Demak telah menyebabkan
banyak wilayah daratan tergerus air laut dan membuat air laut semakin masuk ke
wilayah daratan.
Banjir rob atau banjir pasang air laut merupakan fenomena yang dapat dilihat
seharihari di wilayah pesisir Kabupaten Demak. Banjir rob di pesisir Kabupaten
Demak menjadi parah karena disertai dengan penurunan/amblesan tanah akibat
pengambilan air tanah yang melebihi batas dan akibat pembangunan gedung-
gedung bertingkat, erosi pantai, serta kenaikan muka air laut (Marfai dan King,
2008). Banjir rob telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan pada
permukiman dan infrastruktur serta mengancam keselamatan manusia yang tinggal
di kawasan pesisir dan merupakan ancaman serius yang dihadapi kawasan pesisir
di seluruh dunia (Ward, dkk, 2011).
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA KEPESISIRAN
Singh and Kumar (2007) menyatakan bahwasannya peningkatan temperatur udara
yang berdampak pada perubahan iklim akan mempengaruhi pula terhadap
peningkatan intensitas prespitasi, evapotranspirasi, dan kelengasan tanah dengan
peningkatan temperatur yang ada, sehingga menyebabkan siklus hidrologi berubah
secara signifikan. Peningkatan suhu global mengakibatkan ekspansi air karena
kenaikan suhu, pencairan glacier gunung, dan selimut es dikutub. Permukaan laut
yang naik menggenangi lahan basah dan lahan daratan yang rendah lainnya,
mengikis pantai, mengakibatkan peningkatan frekuensi banjir, dan meningkatkan
salinitas sungai, teluk, dan air tanah. Beberapa efek mungkin akan lebih diperburuk
dengan efek yang lain sebagai dampak perubahan iklim.
Sistem pantai dipengaruhi oleh perubahan iklim yang paling dinamik di permukaan
bumi. Pantai menyediakan bahan-bahan dan pelayanan ekosistem yang esensial
bagi ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat. Wilayah kepesisiran merupakan
daerah yang penuh dengan beragam ekosistem, misalnya terumbu karang,
mangrove, pantai, dan lainlain. Kesemua ekosistem tersebut tentunya dapat
memberikan nilai seperti keseimbangan ekosistem, perlindungan dari badai,
pengendalian erosi pantai, maupun sedimen yang dapat memberikan manfaat
kepada manusia dan makhluk hidup lainnya. Namun, karena adanya perubahan
iklim yang terjadi secara global, mengakibatkan keseimbangan ekosistem terganggu,
khususnya di wilayah kepesisiran Kabupaten Demak. Hal inilah yang akhirnya
menyebabkan terjadinya berbagai bencana di wilayah kepesisiran. Khusus di
Kabupaten Demak, bencana yang kerap terjadi adalah bencana genang pasang air
laut atau sering disebut dengan bencana ROB. Dampaknya dapat dilihat secara
jelas pada Gambar 2 .
Sejak tahun 1980-an Kabupaten Demak menjadi salah satu daerah yang sering
terkena banjir rob (wawancara kepada Dinas Kelautan dan Perikanan, 2013).
Penduduk yang bermukim atau tinggal di daratan rendah, tepi pantai, kota
pelabuhan dan muara sungai merupakan kelompok rentan akibat pemanasan global
dan perubahan iklim. Bencana ini menggenangi 4 Kecamatan yang berbatasan
langsung dengan pesisir Demak, diantaranya : Kecamatan Sayung, Kecamatan
Karangtengah, Kecamatan Bonang, dan Kecamatan Wedung), 26 desa tergenang
akibat bencana ini yang mengakibatkan rusak dan hilangnya harta benda serta
merubah mata pencaharian mereka yang sudah ada, yang mayoritas berprofesi
sebagai pengusaha tambak dan nelayan hingga yang paling parah adalah hilangnya
2 desa di Kecamatan Sayung akibat bencana ini. Keadaan tersebut juga diperparah
dengan sampah-sampah yang tidak dibuang secara teratur di pembuangan sampah,
mengakibatkan sampah ikut terbawa oleh aliran sungai dan akhirnya bermuara di
bagian hilir serta merusak tanaman mangrove karena sampah-sampah yang
mengelilingi.
Gambar 2.
(a) Tambak tergenang air laut di desa Purworejo Kec Bonang
(b) Permukiman dan Daratan yang telah menjadi Laut di Desa Tambaksari,
Kec. Sayung
(c) Jalan penghubung antar desa di Kec Sayung yang terputus karena tergerus
erosi pantai (d) Rumah Warga yang Setiap Hari Terkena Banjir Rob di Desa
Bedono, Kec Sayung

Selain itu, perubahan iklim global, jika tidak segara ditanggulangi (mitigasi),
dapat mengakibatkan tenggelamnya kawasan-kawasan pesisir yang landai, fakta
yang terjadi adalah sudah ada 2 desa yang keseluruhannya tenggelam dan rata
menjadi laut akibat bencana banjir rob tersebut, peristiwa ini terjadi disalah satu
kecamatan yang berbatasan langsung dengan semarang, yaitu Kecamatan Sayung.
Menurut Dahuri (2012) menyebutkan bahwa jika emisi gas rumah kaca (CO2,
metana, dan nitrogen oksida) tidak segera dikurangi sesuai rekomendasi IPCC
(2007), sekitar 2.000 pulau kecil Indonesia diperkirakan akan tenggelam/hilang.
Selain itu, kawasan-kawasan pesisir yang landai (low-laying coastal areas) seperti
Pantai Timur Sumatera, Pantura, dan Kalimantan juga bakal tenggelam.

UPAYA ADAPTASI MASYARAKAT


Adaptasi merupakan salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap perubahan iklim dan bencana yang mereka hadapi. Menurut
Aldrian dkk (2011) tindakan adaptasi berkaitan dengan usaha yang dilakukan
masyarakat untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu gejala alam
seperti perubahan iklim atau bencana alam dan mengambil keuntungan dari
keadaan tersebut. Dalam hal ini adaptasi lebih cenderung kepada usaha untuk
mengelola sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Konsep strategi adaptasi dapat dibedakan menjadi 3 hal yaitu: (1) Proteksi
yaitu perlindungan yang dilakukan masyarakat yang terkena dampak bencana untuk
menyesuaikan diri terhadap dampak yang ditimbulkan dengan cara membangun
bangunan pelindung pantai seperti APO, groin, tanggul laut; (2) Akomodasi yaitu
penyesuaian yang dilakukan masyarakat terhadap lingkungannya seperti mengurug
tanah, meninggikan bangunan rumah; dan
(3) Retreat atau mundur yaitu meninggalkan wilayah pesisir dengan cara pindah
tempat ke daerah yang aman dari bencana alam. (Dahuri, 2012, Sunil, 2011, dan
Putuhena, 2011).
Berikut adalah upaya-upaya adaptasi yang telah dilakukan oleh masyarakat yang
tinggal di kawasan pesisir Kabupaten Demak untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan iklim dan bencana yang mereka hadapi. Upaya-upaya adaptasi ini
sebagian besar atas inisiatif, prakarsa, dan biaya dari masyarakat sendiri dan sedikit
bantuan dari pemerintah
1. Relokasi Permukiman
Desa Bedono, Kecamatan Sayung adalah desa yang terkena dampak paling parah
diantara desa-desa lain di sepanjang pesisir Kabupaten Demak. Dua buah
pedukuhan di desa ini sudah tergenang air dan bahkan bisa dikatakan tenggelam
dan menjadi lautan, yaitu Dukuh Tambaksari dan Dukuh Senik. Dua dukuh ini
mengalami erosi pantai yang cukup parah sehingga hampir seluruh wilayah
daratannya berubah menjadi lautan dan hanya tersisa sedikit daratan. Dua dukuh ini
dipindahkan ke wilayah yang aman dari erosi pantai dan rob atau di daerah yang
lebih tinggi tingkat elevasinya. Dukuh Tambaksari dipindah ke Desa Purwosari dan
menjadi sebuah pedukuhan baru, yaitu Dukuh Tambaksari Baru (Gambar 3).
Sedangkan Dukuh Senik dipindah ke Desa Gemulak dan membentuk sebuah
pedukuhan baru, yaitu Dukuh Senik Baru. Akan tetapi tidak semua warga mau
pindah dari tempat yang telah mereka diami selama bertahun tahun. Di Dukuh
Tambaksari misalnya, ada 5 KK (kepala keluarga) yang enggan meninggalkan
kampong halamannya untuk pindah dan memilih untuk tinggal di dukuh tersebut
meskipun di sekeliling rumahnya sudah digenangi air. Alasan warga yang tidak mau
pindah karena mereka ingin menjaga masjid dan makam Mbah Mudzakir. Bila
mereka pindah, maka tidak ada lagi yang menjaga serta merawat masjid dan makam
tersebut. Makam tersebut merupakan makam seorang kyai atau ulama yang cukup
disegani di wilayah Kabupaten Demak dan sekitarnya. Banyak peziarah yang datang
ke makam itu tiap harinya sehingga berbagai macam upaya dilakukan untuk
menjaga kelestarian makam tersebut seperti pengurugan tanah, pembuatan alat
pemecah gelombang (APO), dan pembuatan jembatan menuju makam.
Gambar 3. Dukuh Tambaksari yang sudah tergenang air laut
(a) dan Dukuh
(b) Tambaksari Baru pasca relokasi

2. Peninggian Lantai Bangunan


Masyarakat mempunyai cara sendiri untuk mengurangi dampak dari banjir rob,
diantaranya adalah peninggian pondasi rumah. Hampir di semua desa yang terkena
rob, beberapa warga meninggikan pondasi rumahnya. Bahkan ada yang beberapa
kali melakukan peninggian karena setiap tahunnya banjir rob selalu meningkat
ketinggiannya akibat land subsidence. Peninggian lantai ataupun pondasi rumah ini
merupakan inisiatif warga dan biayanya juga dari warga sendiri tanpa adanya
bantuan dari pemerintah. Akan tetapi tidak semua rumah warga ditinggikan lantai
bangunannya. Hanya gabi warga yang mampu saja. Sedangkan bagi warga yang
tidak mampu, tidak melakukan peninggian bangunan dan harus rela tiap hari
rumahnya digenangi banjir rob. Ada juga warga yang meninggikan lantainya dengan
memasang kayu seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rumah warga yang ditinggikan pondasi


rumahnya (a) dan yang ditinggikan dengan kayu (b)

3. Pengurugan Tanah
Untuk menanggulangi banjir pasang yang setip hari terjadi di kawasan pesisir, warga
melakukan pengurugan atau menimbun daratan di tempat tinggal mereka dengan
tanah. Hal ini menyebabkan wilayah daratan menjadi
lebih tinggi dari sebelumnya dan relatif aman dari banjir rob. Beberapa wilayah
diantaranya di Desa Bedono dan Desa Timbulsloko (Kecamatan Sayung) telah
mengalami penimbunan tanah beberapa meter. Salah satu daerah yang dilakukan
pengurugan tanah adalah daerah di sekitar SDN Bedono 3, seperti yang terlihat
pada Gambar 5. Akan tetapi karena wilayah pesisir Demak juga mengalami
amblesan tanah yang tiap tahunnya bisa mencapai 12 cm (Dinlutkan Kab Demak,
2009 dalam Susanto 2010), maka banjir rob masih saja memasuki permukiman
warga.

Gambar 5. Lahan di sekitar SDN Bedono 3 yang


mengalami penimbunan tanah setinggi 2 meter

4. Rumah Panggung
Rumah Panggung merupakan rumah yang dibangun warga yang rumahnya
tergenang air laut dengan cara memberi kaki pondasi dari kayu pada ujung dan
tengah rumah sehingga rumah menjadi lebih tinggi dan air laut tidak masuk rumah.
Sebagian besar rumah panggung yang dibangun konstruksinya merupakan
bangunan non permanen yang terbuat dari kayu dan bambu. Gambar 6 merupakan
contoh rumah warga di Kecamatan Bonang dan Kecamatan Sayung yang diubah
menjadi rumah panggung. Cara ini menjadi alternatif bagi warga yang rumahnya
tergenang air tetapi tidak punya modal untuk pindah rumah.
Gambar 6. Beberapa contoh rumah panggung yang dibangun warga

5. Rehabilitasi Mangrove
Menurut Macnae (1968) dalam Tuwo (2011), hutan mangrove adalah hutan pantai
yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Ekosistem mangrove ini biasanya didominasi oleh tumbuhan dari jenis
Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguira, Ceriops, dan Nypa.
Wilayah Kepesisiran Demak yang mempunyai mangrove terdapat di empat
kecamatan yaitu Kecamatan Sayung, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan
Bonang, dan Kecamatan Wedung. Kondisi mangrove di Kecamatan Sayung
mengalami kerusakan yang paling parah, hampir 50% dari kerusakan di seluruh
wilayah Kepesisiran Demak terjadi di Kecamatan Sayung. Kerusakan mangrove
terjadi sangat parah di Kecamatan Sayung sebagai dampak dari terjadinya erosi
pantai secara besar-besaran di wilayah ini, sehingga banyak dataran yang hilang
dan desa di Kecamatan Sayung sebagian ada yang tengelam dan hilang. Kondisi
ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan di Keamatan Sayung seluas 400
ha, Kecamatan Karangtengah mempunyai luas 70 ha, Kecamatan Bonang seluas 69
ha dan Kecamatan Wedung mempunyai luas 267 ha.
Rehabilitasi dalam UU No.27 tahun 2007 merupakan proses pemulihan dan
perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya
berbeda dengan kondisi semula. Rehabilitasi mangrove wajib dilakukan dengan
memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/ atau keanekaragaman hayati
setempat. Proses rehabilitiasi ini biasanya dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan orang yang memperoleh manfaat dari kawasan kepesisiran.
Fungsi mangrove dari aspek fisik adalah megurangi dampak sea level rise, sebagai
greenbelt pelindung ekosistem yang lainnya di kawasan pesisir, mengurangi
terjadinya erosi pantai, penangkap sediment, mengurangi dampak dari banjir ROB,
mengurangi dampak atau penahan ombak yang besar jika tsunami datang, dan
peredam terjadinya intrusi air laut. Fungsi keterdapatan mangrove dari aspek biologi
dapat meliputi habitat berbagai spesies udang dan ikan, tempat mencari makan,
tempat asuhan dan pembesaran, dan tempat pemijahan. Fungsi mangrove dilihat
dari aspek ekonomi mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan
kondisi
perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan pesisir. Fungsi
mangrove dari aspek ekonomi ini dapat digunakan sebagai penghasil kayu bakar,
penghasil kayu bangunan atau pembuat kapal, sebagai bahan makanan dan
minuman, sebagai bahan obat-obatan, sebagai bahan pupuk, sebagai makanan
ternak, sebagai bahan pembuat kertas, sebagai pembuat peralatan rumah tangga,
sebagai tempat rekreasi, dan sebagai tempat pemancingan.
Kondisi hutan mangrove yang telah direhabilitasi di masing-masing 4 kecamatan
dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kondisi Hutan Mangrove yang ada di Kec Sayung


(a), KecBonang(b), Kec Karangtengah (c), dan (d) Kec
Wedung

6. Kolam Penampungan Air Hujan


Perubahan iklim telah menyebabkan tidak menentunya cuaca. Terkadang dalam
satu tahun terjadi musim penghujan yang berkepanjangan dan terkadang pula
musim kemarau yang berkepanjangan. Pada waktu musin penghujan air terlalu
melimpah dan susah ditampung oleh tanah sehingga menyebabkan musibah banjir.
Ketika musim kemarau datang hal yang kontradiktif terjadi, yaitu terjadi kekeringan.
Untuk mengatasi terbatasnya air pada musim kemarau, masyarakat berinisiatif
membuat sebuah kolam penampungan air hujan. Kolam penampungan air hujan
adalah sebuah kolam besar yang dibangun oleh masyarakat di kawasan pesisir
Kecamatan Wedung untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan air pada musim
kemarau datang. Ketika hujan datang, air hujan dialirkan ke kolam tersebut dan
disimpan didalamnya. Air dalam tersebut banyak digunakan oleh
penduduk untuk mencuci pakaian dan mandi, tetapi tidak digunakan untuk air
minum. Kolam tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kolam Penampungan Air Hujan di Kecamatan Wedung

7. Perubahan Mata Pencaharian


Perubahan iklim dan bencana yang melanda Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak
berdampak luas terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir, seperti para
nelayan dan petani tambak, yang merupakan mata pencaharian utama saat itu.
Masyarakat pesisir bergantung pada ekosistem yang amat rentan dengan
perubahan yang sangat kecil saja. Akibat erosi pantai dan kenaikan muka air laut,
sebagian besar tambak milik masyarakat di pesisir rusak dan telah berubah menjadi
lautan. Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak untuk
mereka, perubahan mata pencaharian merupakan salah satu upaya adaptasi
mereka terhadap bencana yang harus dihadapi. Di empat kecamatan yang langsung
berbatasan dengan pesisir, yaitu Kecamatan Sayung, Kecamatan Karangtengah,
Kecamatan Bonang, dan Kecamatan Wedung, banyak masyarakat yang merubah
mata pencaharian untuk tetap mencari nafkah dan tetap bertahan hidup. Contohnya
bapak Mardi yang berprofesi sebagai petani tambak udang windu dulunya, akibat
banjir genang pasang air laut yang melanda, maka ia merubah mata pencahariannya
menjadi buruh pabrik dan buruh tambak garam di Kecamatan Wedung.
Setiap aparat pemerintahan di tiap Kecamatan saat ini sedang mencari alternatif
strategi untuk para warganya untuk dapat tetap bertahan hidup walaupun bencana
kerap kali terjadi. Menurut Sekcam di Kecamatan Bonang saat ditemui di kantor
camat, wilayah mereka saat ini sedang menggalakkan unit usaha mandiri yang telah
diadakan sejak 2011 yang lalu, usaha mandiri ini dibuat untuk menuruni angka
penggangguran yang ada serta untuk menambah penghasilan ketika musim paceklik
berlangsung. Bentuk usaha mandiri (Gambar 9) yang ada diantaranya : pembuatan
usaha terasi, pembuatan kapal perahu, dan pembuatan jaring untuk menangkap
ikan. Sejauh ini, usaha yang telah berjalan cukup lancar dan membantu masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Gambar 9. (a) Tambak milik penduduk yang telah berubah menjadi lautan di
Desa Sidogemah, Kec Sayung, (b) Salah satu bentuk usaha masyarakat
ketika musim paceklik berlangsung

KESIMPULAN
Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak mengalami beberapa bencana alam
diantaranya bencana yang terkait perubahan iklim seperti kenaikan muka air luat dan
bencana akibat aktivitas manusia seperti erosi pantai, banjir rob, dan amblesan
tanah. Multi-bencana tersebut telah memberi dampak yang cukup besar berupa
rusaknya permukiman warga, hilangnya daratan, kerugian eknomi karena tambak
dan sawah yang rusak tergenang air, serta rusaknya beberapa fasilitas umum
seperti jalan, sekolah, dan sebagainya.
Warga pesisir Kabupaten Demak yang terkena dampak akibat multi-bencana
tersebut meresponnya dengan cara beradaptasi atau membiasakan diri dengan
keadaan tersebut. Diantara upaya adaptasi yang dilakukan warga adalah relokasi
perumahan, peninggian lantai bangunan, penimbunan tanah, pembuatan rumah
panggung, rehabiltasi hutan mangrove, pembuatan kolam penampungan air hujan,
serta perubahan mata pencaharian.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Karmini M, Budiman. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di


Indonesia. Jakarta: BMKG.
Bappeda Kabuaten Demak. 2011. RPJMD Kabupaten Demak Tahun 20112016.
Demak: Bappeda Kabupaten Demak.
Dahuri., 2012. Strategi Adaptasi Sektor Kelautan dan Perikanan dalam Menghadapi
Perubahan Iklim Global. LIPI : Jakarta Diposaptono. 2001. Erosi Pantai dan
Klasifikasinya, Kasus di Indonesia. Prosiding Konferensi Esdal 2001 .Jakarta: BPPT.
Gunawan, T., Santosa, L., W., Muta’ali, L., dan Santosa, S., H, M, B., 2005,
Pedoman Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran, Fakultas Geografi:
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Diposaptono, S., Budiman, dan Firdaus Agung 2009. Menyiasati
Perubahan Iklim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penerbit PT. Sarana Komunikasi Utama,
Bogor. ISBN 978-979-1291-06-3 Gunawan T, Santosa LW, Muta’ali,
Santosa SHMB. 2005. Pedoman Survey Cepat Terintegrasi Wilayah
Kepesisiran. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada.
IPCC, 2001. Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change
2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers
and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.
IPCC. 2007. Climate Change 2007. The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. United Kingdom and New
York, USA: Cambridge University Press, Cambridge.
Kordi K., M. G. H, 2012, Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan
Pengelolaan, Jakarta: Rineka Cipta.
Kustanti, A., 2011, Management Hutan Mangrove, Bogor: IPB Press Mavi,
H.S. dan Tupper G.J. 2004. Agrometeorology. New York : The Haworth
Press, Inc.
Marfai MA dan King. 2008. Coastal Flood Management in Semarang.
Environmental
Geology Journal DOI 10.1007/s00254-007-1101-3 Volume 55 halaman
1507- 1518.
Marfai MA dan Hizbaron DR. 2011. Community Adaptive Capacity Due to
Coastal Flooding
in Semarang Coastal City, Indonesia. Analele UniversitaNii din Oradea -
Seria Geografie, Tahun XXI, no. 2/2011 (December), halaman. 209-221
Putuhena. 2011. Perubahan Iklim dan Resiko Bencana pada Wilayah
Pesisir dan PulauPulau Kecil. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan
Pulau-Pulau Kecil hal 287-298.
Rif’an AA, Nurrohmah E, Hidayat A. 2012. The Roles of Coastal Ecosystem
to Reduce The Impacts of Global Warming. Proceeding of Geography
International Symposium p1-20. Yogyakarta: BPFG Universitas Gadjah
Mada.
Singh, R. D dan Kumar, C. 2007. Impact of Climate Change on
Groundwater Resources. Uttarakhand : National Intitute of Hydrology India.
Sunarto. 2003. Geomorfologi Pantai : Dinamika Pantai, Laboratorium
Geomorfologi Terapan, Jurusan Geografi Fisik, Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sunil, Santha. (2011). Community-based adaptation to coastal hazards: A scoping
study among traditional fishing communities in Kerala, India. Disaster, Risk
and Vulnerablity Conference 2011, Mahatma Gandhi University, India.
Susanto, Kelik Eko. 2010. Proyeksi Kenaikan Permukaan Laut dan Dampaknya
terhadap
Banjir Genangan Kawasan Pesisir (Studi Kasus: Wilayah Pesisir Demak, Provinsi
Jawa Tengah). Master Thesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada.
Tuwo, A., 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut (Pendekatan Ekologi,
SosialEkonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah). Surabaya: Penerbit
Brilian Internasional.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
PulauPulau Kecil.
Ward P.J, Marfai MA, Yulianto F, Hizbaron, Aerts. 2011. Coastal Inundation And
Damage Exposure Estimation: A Case Study For Jakarta. Natural Hazards
DOI 10.1007/s11069-010-9599-1. Volume 56, halaman 899-916.

Anda mungkin juga menyukai