OLEH
KELAS E
INTISARI
Multi-bencana yang terjadi di Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak terkait perubahan iklim
seperti kenaikan muka airluat dan bencana akibat aktivitas manusia seperti erosi pantai, banjir
rob, dan amblesan tanah. Multi-bencana tersebut telah memberi dampak yang cukup besar
berupa rusaknya permukiman warga, hilangnya daratan, kerugian eknomi karena tambak dan
sawah yang rusak tergenang air, serta rusaknya beberapa fasilitas umum seperti jalan, sekolah,
dan sebagainya. Tulisan ini menggali dan menemukenali upaya adaptasi apa yang telah
dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Demak untuk menghadapi perubahan iklim serta
bencana lain yang mereka hadapi diantaranya banjir rob dan erosi pantai. Warga pesisir
Kabupaten Demak yang terkena dampak akibat multi-bencana tersebut meresponnya dengan
cara beradaptasi atau membiasakan diri dengan keadaan tersebut. Diantara upaya adaptasi
yang dilakukan warga adalah relokasi perumahan, peninggian lantai bangunan, penimbunan
tanah, pembuatan rumah panggung, rehabilitasi hutan mangrove, pembuatan kolam
penampungan air hujan, serta perubahan mata pencaharian.
PENDAHULUAN
Pemanasan global yang diikuti oleh perubahan iklim telah menjadi sebuah bencana
baru di dunia. Tidak seperti bencana tsunami, letusan gunungapi, serta gempabumi
yang memberikan dampak besar tetapi bersifat sementara, pemanasan global
memberikan dampak yang lambat tetapi pasti dan bersifat permanen. Pemanasan
global telah menyebabkan mencairnya es di kutub. Suhu air laut yang meningkat
menyebabkan air laut memuai sehingga volume air laut meningkat. (Rif’an dkk,
2012; Diposaptono dkk 2009; dan IPCC, 2007).
Salah satu dampak dari perubahan iklim yang secara nyata dapat kita lihat adalah
naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan luas daratan
berkurang dan garis pantai mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan saat
pasang terjadi, air laut masuk hingga ke permukiman dan penggunaan lahan lain
serta mengganggu aktivitas warga.
Banjir rob adalah peristiwa banjir yang disebabkan oleh masuknya air laut ke
daratan sebagai akibat dari pasang air laut yang tinggi (Marfai dan King, 2008).
Banjir rob tidak akan menjadi suatu ancaman bila tidak mengganggu aktivitas warga
dan jauh dari permukiman warga. Akan tetapi karena garis pantai mengalami
kemunduran dan mendekati permukiman warga, maka banjir rob menjadi masalah.
Banjir rob merupakan sebuah ancaman serius bagi kawasan pesisir karena dapat
menyebabkan kerusakan pada permukiman, fasilitas umum, serta penggunaan
lahan.
Erosi pantai pantai merupakan ancaman lain yang dapat mengancam wilayah
kepesisiran. Erosi pantai dapat menyebabkan kerusakan pantai dan mundurnya
garis pantai atau berkurangnya daratan. Bila daratan berkurang, maka permukiman
penduduk serta asset masyarakat yang berada di kawasan pesisir menjadi hilang
sehingga menyebakan kerugian bagi maasyarakat yang tinggal di pesisir.
Dalam konteks risiko bencana, masyarakat (community) merupakan kelompok
yang merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari sebuah bencana. Karena
itulah mereka harus memberikan tanggapan atau respon terhadap bencana yang
menimpa mereka. Marfai dan Hizbaron (2011) menjelaskan bahwa respon
masyarakat terhadap bencana merupakan suatu hal yang penting dipelajari dalam
pengelolalaan risiko bencana. Keterampilan masyarakat dalam merespon disebut
sebagai kapasitas beradaptasi. Respon masyarakat bisa berwujud dalam
pengembangan ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, serta tingkat
kompetensinya. Berbeda bencana, bisa bebeda pula cara respon masyarakat.
Begitu pula berbeda masyarakat bisa berbeda pula cara menyikapi meskipun
bencananya sama.
Aldrian dkk (2011) menjelaskan bahwa bentuk respon yang dilakukan
maasyarakat terhadap perubahan iklim atau bencana yang dihadapi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu adaptasi dan mitigasi. Tindakan adaptasi lebih
cenderung kepada upaya masyarakat membiasakan atau menyesuaikan diri
terhadap bencana yang dihadapi. Sedangkan tindakan mitigasi lebih kepada upaya
untuk mengurangi dampak tersebut.
Tulisan ini menggali dan menemukenali upaya adaptasi apa yang telah
dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Demak untuk menghadapi
perubahan iklim serta bencana lain yang mereka hadapi diantaranya banjir rob dan
erosi pantai. Diawali dengan gambaran mengenai penjelasan mengenai kondisi
umum wilayah kepesisiran Kabupaten Demak, kemudian menjelaskan dampak yang
ditimbulkan oleh perubahan iklim dan bencana kepesisiran, dan selanjutnya
mengidentifikasi strategi adaptasi apa saja yang telah dilakukan oleh masyarakat
secara mandiri untuk menghadapi bencana yang telah, sedang, dan mereka hadapi.
GAMBARAN UMUM WILAYAH KEPESISIRAN KABUPATEN DEMAK
Berdasarkan RPJMD Kabupaten Demak Tahun 2011-2016, secara geografis
Kabupaten Demak berada pada koordinat 60 43’ 26” - 70 09’ 43”
Lintang Selatan dan 1100 48’ 47” Bujur Timur. Lokasi Kabupaten Demak yang
bersebelahan dengan wilayah perkotaan utama Propinsi Jawa Tengah, yaitu Kota
Semarang membuat Kabupaten Demak menjadi berkembang pesat khususnya pada
aktifitas perindustrian, perdagangan dan jasa, pertanian, perikanan dan peternakan.
Kabupaten Demak terdiri dari 14 kecamatan yang 4 kecamatan diantaranya terletak
di wilayah kepesisiran. Seluruh kecamatan tersebut telah meliputi 243 desa
kelurahan dan 6 kelurahan. Luas keseluruhan Kabupaten Demak sejumlah 89743
Ha. Adapun wilayah administrasi Kabupaten Demak berbatasan dengan wilayah lain
adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Jepara dan Laut Jawa Sebelah Timur : Kabupaten
Kudus dan Kabupaten Grobogan Sebelah Selatan : Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Semarang Sebelah Barat : Kota Semarang
Wilayah kepesisiran (coastal area) merupakan salah satu wilayah yang kaya akan
sumberdaya alam dan cukup berpotensi bagi upaya mendukung program
pembangunan yang berkelanjutan (Gunawan dkk 2005). Menurut Sunarto (2003),
wilayah kepesisiran (coastal area) adalah mencakup wilayah darat dan laut, ke arah
laut dibatasi pada lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut
terendah dan ke arah darat dibatasi oleh batas terluar bentuklahan kepesisiran di
pedalaman. Daerah kepesisiran ini mencakup pesisir, pantai, dan perairan laut dekat
pantai (near shore).
Wilayah Kepesisiran Demak ini termasuk dalam tipologi pesisir primer akibat
deposisional sub-arial (Sub-areal deposition coast). Sub-areal deposition coast
adalah pesisir yang terbentuk akibat akumulasi secara langsung bahan-bahan
sedimen sungai, glacial, angin atau akibat longsor lahan kearah laut. Termasuk
dalam kategori ini adalah rataan pasang surut dan pembentukan delta. Jika dilihat
dari diagram alir identifikasi Geomorfologis Pantai dan Pesisir yang sudah
dikemukaan oleh Sunarto (2003), penyusun mencoba mengidentifikasi bahwa
wilayah kepsesisiran demak berdasarkan reliefnya termasuk relief rendah, materi
penyusun utamanya adalah lembek atau lumpur, proses genetik yang terjadi adalah
oleh proses marine, dan jenis pantai/ pesisirnya ermauk Pesisir Rataan Pasang
Surut.
Wilayah Kepesisiran Demak material utama penyusunnya adalah lumpur, sehingga
dapat di klasifikasikan menjadi pantai berlumpur, dengan proses utama sedimentasi
lumpur dan pasang surut air laut, yang menunjukkan perkembangan wilayah
berlumpur yang pesat. Wilayah kepesisiran Demak termasuk wilayah kepesisiran
yang landai. Lingkup wilayah kepesisiran pada daerah rataan pasang surut dimulai
dari zona pecah gelombang (breakers zone), pantai (shore), rataan pasang surut,
pesisir (coast), dan lahan buritan atau hinterland. Rataan pasang surut dapat berupa
rataan lumpur (mud flat) jika seluruh materi penyusun lumpur tidak ada vegetasi
apapun, tetapi dapat berupa rawa payau (saltmarsh). Jika di
atas lumpur telah tumbuh vegetasi seperti bakau atau tumbuhan rawa lainnya,
hingga daerah - daerah yang secara morfogenesis pembentukannya masih
dipengaruhi aktivitas marin (seperti dataran alluvial plain) yang termasuk dalam
pesisir/ coast (dirumuskan berdasarkan konsep CERC, 1984 : Pethick, 1984 dan
Sunarto, 2000 dalam Gunawan dkk, 2005).
Selain itu, perubahan iklim global, jika tidak segara ditanggulangi (mitigasi),
dapat mengakibatkan tenggelamnya kawasan-kawasan pesisir yang landai, fakta
yang terjadi adalah sudah ada 2 desa yang keseluruhannya tenggelam dan rata
menjadi laut akibat bencana banjir rob tersebut, peristiwa ini terjadi disalah satu
kecamatan yang berbatasan langsung dengan semarang, yaitu Kecamatan Sayung.
Menurut Dahuri (2012) menyebutkan bahwa jika emisi gas rumah kaca (CO2,
metana, dan nitrogen oksida) tidak segera dikurangi sesuai rekomendasi IPCC
(2007), sekitar 2.000 pulau kecil Indonesia diperkirakan akan tenggelam/hilang.
Selain itu, kawasan-kawasan pesisir yang landai (low-laying coastal areas) seperti
Pantai Timur Sumatera, Pantura, dan Kalimantan juga bakal tenggelam.
3. Pengurugan Tanah
Untuk menanggulangi banjir pasang yang setip hari terjadi di kawasan pesisir, warga
melakukan pengurugan atau menimbun daratan di tempat tinggal mereka dengan
tanah. Hal ini menyebabkan wilayah daratan menjadi
lebih tinggi dari sebelumnya dan relatif aman dari banjir rob. Beberapa wilayah
diantaranya di Desa Bedono dan Desa Timbulsloko (Kecamatan Sayung) telah
mengalami penimbunan tanah beberapa meter. Salah satu daerah yang dilakukan
pengurugan tanah adalah daerah di sekitar SDN Bedono 3, seperti yang terlihat
pada Gambar 5. Akan tetapi karena wilayah pesisir Demak juga mengalami
amblesan tanah yang tiap tahunnya bisa mencapai 12 cm (Dinlutkan Kab Demak,
2009 dalam Susanto 2010), maka banjir rob masih saja memasuki permukiman
warga.
4. Rumah Panggung
Rumah Panggung merupakan rumah yang dibangun warga yang rumahnya
tergenang air laut dengan cara memberi kaki pondasi dari kayu pada ujung dan
tengah rumah sehingga rumah menjadi lebih tinggi dan air laut tidak masuk rumah.
Sebagian besar rumah panggung yang dibangun konstruksinya merupakan
bangunan non permanen yang terbuat dari kayu dan bambu. Gambar 6 merupakan
contoh rumah warga di Kecamatan Bonang dan Kecamatan Sayung yang diubah
menjadi rumah panggung. Cara ini menjadi alternatif bagi warga yang rumahnya
tergenang air tetapi tidak punya modal untuk pindah rumah.
Gambar 6. Beberapa contoh rumah panggung yang dibangun warga
5. Rehabilitasi Mangrove
Menurut Macnae (1968) dalam Tuwo (2011), hutan mangrove adalah hutan pantai
yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Ekosistem mangrove ini biasanya didominasi oleh tumbuhan dari jenis
Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguira, Ceriops, dan Nypa.
Wilayah Kepesisiran Demak yang mempunyai mangrove terdapat di empat
kecamatan yaitu Kecamatan Sayung, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan
Bonang, dan Kecamatan Wedung. Kondisi mangrove di Kecamatan Sayung
mengalami kerusakan yang paling parah, hampir 50% dari kerusakan di seluruh
wilayah Kepesisiran Demak terjadi di Kecamatan Sayung. Kerusakan mangrove
terjadi sangat parah di Kecamatan Sayung sebagai dampak dari terjadinya erosi
pantai secara besar-besaran di wilayah ini, sehingga banyak dataran yang hilang
dan desa di Kecamatan Sayung sebagian ada yang tengelam dan hilang. Kondisi
ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan di Keamatan Sayung seluas 400
ha, Kecamatan Karangtengah mempunyai luas 70 ha, Kecamatan Bonang seluas 69
ha dan Kecamatan Wedung mempunyai luas 267 ha.
Rehabilitasi dalam UU No.27 tahun 2007 merupakan proses pemulihan dan
perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya
berbeda dengan kondisi semula. Rehabilitasi mangrove wajib dilakukan dengan
memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/ atau keanekaragaman hayati
setempat. Proses rehabilitiasi ini biasanya dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan orang yang memperoleh manfaat dari kawasan kepesisiran.
Fungsi mangrove dari aspek fisik adalah megurangi dampak sea level rise, sebagai
greenbelt pelindung ekosistem yang lainnya di kawasan pesisir, mengurangi
terjadinya erosi pantai, penangkap sediment, mengurangi dampak dari banjir ROB,
mengurangi dampak atau penahan ombak yang besar jika tsunami datang, dan
peredam terjadinya intrusi air laut. Fungsi keterdapatan mangrove dari aspek biologi
dapat meliputi habitat berbagai spesies udang dan ikan, tempat mencari makan,
tempat asuhan dan pembesaran, dan tempat pemijahan. Fungsi mangrove dilihat
dari aspek ekonomi mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan
kondisi
perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan pesisir. Fungsi
mangrove dari aspek ekonomi ini dapat digunakan sebagai penghasil kayu bakar,
penghasil kayu bangunan atau pembuat kapal, sebagai bahan makanan dan
minuman, sebagai bahan obat-obatan, sebagai bahan pupuk, sebagai makanan
ternak, sebagai bahan pembuat kertas, sebagai pembuat peralatan rumah tangga,
sebagai tempat rekreasi, dan sebagai tempat pemancingan.
Kondisi hutan mangrove yang telah direhabilitasi di masing-masing 4 kecamatan
dapat dilihat pada Gambar 7.
KESIMPULAN
Wilayah Kepesisiran Kabupaten Demak mengalami beberapa bencana alam
diantaranya bencana yang terkait perubahan iklim seperti kenaikan muka air luat dan
bencana akibat aktivitas manusia seperti erosi pantai, banjir rob, dan amblesan
tanah. Multi-bencana tersebut telah memberi dampak yang cukup besar berupa
rusaknya permukiman warga, hilangnya daratan, kerugian eknomi karena tambak
dan sawah yang rusak tergenang air, serta rusaknya beberapa fasilitas umum
seperti jalan, sekolah, dan sebagainya.
Warga pesisir Kabupaten Demak yang terkena dampak akibat multi-bencana
tersebut meresponnya dengan cara beradaptasi atau membiasakan diri dengan
keadaan tersebut. Diantara upaya adaptasi yang dilakukan warga adalah relokasi
perumahan, peninggian lantai bangunan, penimbunan tanah, pembuatan rumah
panggung, rehabiltasi hutan mangrove, pembuatan kolam penampungan air hujan,
serta perubahan mata pencaharian.
DAFTAR PUSTAKA