Anda di halaman 1dari 24

PERPAJAKAN

1. DIYAH INTAN NOVALISA - B11.2020.06807

2. SITI NURUL HIKMAH - B11.2020.06809

3. RISKA CLAUDIA - B11.2021.06986

4. PUTRI DESTI S - B11.2021.06994

5. SISKA DWI N - B11.2021.07251

6. NURDIANA T - B11.2021.07123
Saat Terutang dan Tempat Terutang PPN dan PPNBM
Sesuai  (Pasal  17 PP No. 1 Tahun 2012) terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak
Untuk penyerahan BKP berwujud dengan sifatnya termasuk barang bergerak, saat terutang terjadi
ketika BKP diserahkan kepada pembeli, diserahkan untuk pemberian cuma-cuma, saat diberikan ke juru
kirim atau jasa angkutan, atau ketika BKP diakui sebagai piutang atau penghasilan. Selanjutnya, untuk
BKP berwujud untuk barang tidak bergerak apabila barang dikuasai pembeli secara hukum atau secara
nyata.Sementara itu, untuk BKP tidak berwujud terjadi saat harga atas penyerahannya diakui sebagai
utang atau penghasilan, saat faktur diterbitkan, atau saat kontrak ditandatangani. Dalam hal BKP berupa
persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka terutangnya
saat ditandatanganinya akta pembubaran oleh notaris. Selain itu, dapat juga terutang saat berakhirnya
janga waktu berdirinya perusahaan, tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan
dibubarkan atau diketahui perusahaan tidak melakukan kegiatan usaha.
2. Impor Barang Kena Pajak
Terutangnya BKP tersebut terjadi saat barang dimasukkan ke dalam daerah pabean.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Terjadi saat harga atas penyerahan JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, saat diterbitkan
faktur penjualan oleh PKP, saat kontrak ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan yang dipakai.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
Penentuan saat terutangnya pajak terjadi ketika harga perolehan BKP tidak berwujud dan/atau JKP
dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya. Selain itu, saat terutang pajak dapat
jugaditentukan ketika harga jual BKP tidak berwujud dan/atau penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak
yang menyerahkannya atau saat dibayar sebagian atau seluruhnya.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
Terutangnya pada saat ditandatanganinya kontrak.
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
Terutang saat BKP dikeluarkan dari daerah pabean
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Terutang saat penggantian atas BKP tidak berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai
piutang atau penghasilan.
8. Ekspor Jasa Kena Pajak
Terjadi pada saat penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau
penghasilan.

Dapat disimpulkan saat terutangnya PPnBM mengikuti saat terutangnya PPN. Dengan demikian, apabila
dilakukan transaksi penyerahan barang mewah maka dapat terutang PPN dan PPnBM.
Tempat Terutang untuk Penyerahan atau Ekspor BKP dan JKP

Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan dan/atau ekspor BKP atau JKP, terutang pajak di
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan. Dalam hal-hal tertentu,
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.PKP orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau
tempat kegiatan usaha sedangkan bagi PKP badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan
usaha.
Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat
kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak, dan ia wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun jika terdapat lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di
wilayah kerja 1 (satu) KPP, untuk seluruh tempat terutang tersebut, PKP memilih salah satu tempat kegiatan
usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali
apabila ia menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang wajib baginya untuk memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak.

Contoh tempat terutang PKP orang pribadi


Tuan A bertempat tinggal di kota X dan memiliki tempat usaha di kota Y. Apabila Tuan A:
1. melakukan penyerahan BKP atau JKP hanya di tempat usahanya (kota Y), Tuan A wajib melaporkan usahanya
di KPP Y untuk dikukuhkan sebagai PKP;
2. melakukan penyerahan BKP atau JKP hanya di tempat tinggalnya (kota X), Tuan A wajib melaporkan usahanya
di KPP X untuk dikukuhkan sebagai PKP;
3. melakukan penyerahan BKP atau JKP di tempat tinggal (kota X) dan tempat usahanya (kota Y), Tuan A wajib
melaporkan usahanya baik di KPP X maupun di KPP Y untuk dikukuhkan sebagai PKP; dan
4. mendirikan usaha baru yang juga berada di kota Y, tuan A dapat memilih salah satu lokasi usahanya di kota Y
sebagai tempat pajak terutang atau menghendaki kedua tempat usaha tersebut sebagai tempat pajak
terutang dengan melakukan pemberitahuan ke KPP Y.
Contoh tempat terutang PKP badan:
PT A bertempat kedudukan di kota X dan tempat kegiatan usaha di dua lokasi yang berada di kota Y. Dalam
hal ini:
baik tempat kedudukan (kota X) maupun tempat usaha (kota Y) merupakan tempat pajak terutang; dan untuk
dua lokasi usaha di kota Y, PT A dapat memilih salah satu lokasi usaha sebagai tempat pajak terutang atau
menghendaki kedua tempat usaha tersebut sebagai tempat pajak terutang dengan melakukan pemberitahuan
ke KPP Y.

Tempat Terutang untuk Impor BKP


Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
Faktur Pajak Dan Nota Retur
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak(PKP) yang melakukan
penyerahan barang kena pajak(BKP) atau penyerahaan jasa kena pajak(JKP).
Pengusaha kena pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap:
• Penyerahaan Barang kena pajak
• Penyerahaan jasa kena pajak
• Ekspor barang kena pajak tidak berwujud
• Ekspor jasa kena pajak
Menurut UU PPN Tahun 2000,Ada 3 jenis Faktur pajak:
 Faktur pajak standar adalah faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP dalam kertas ukuran kuarto.
 Faktur pajak gabungan adalah faktur pajak yang dibuat PKP yang melakukan transaaksi lebih dari satu
kali kepada pihak yang sama dalam satu bulan.
 Faktur pajak sederhana adalah Bukti pungutan pajak oleh PKP yang menyerahkan atau menerima BKP
dan JKP secara eceran.Contohya bon kontan dan invoice.
Fungsi faktur pajak:
 Sebagai bukti pemungutan pajak yang sah
 Sebagai bukti pembayaraan pajak masuk dan yang dapat dikreditkan dengan pajak keluaraan\
 Sebagai data bagi Direktorat jendral pajak dalam melakukan pengecekaan atas berbagai transaksi yang
dilakukan PKP.
Terdapat 7 jenis faktur pajak yang dibedakan oleh skema:

• Faktur pajak keluaraan merupakan faktur pajak yang ditebitkan oleh seorang pengusaha kena pajak saat
melakukan penjualan barang kena pajak,jasa kena pajak atau barang kena pajak yang termasuk kategori
barang mewah.
• Faktur pajak Masukan merupakan faktur pajak yang ditebitkan oleh seorang pengusaha kena pajak saat
melakukan penjualan barang kena pajak,jasa kena pajak atau barang kena pajak yang termasuk kategori
barang mewah dari pengusaha pajak lainya.
• Faktur pajak pengganti merupakan faktur pajak perbaikan atas faktur pajak yang telah diterbitkan namun
terdapat kesalahan dalam pengisian(selain pada data npwp) sehingga harus digantikan dengan faktur pajak
pengganti,.
• Faktur pajak Gabungan merupakan faktur pajak yang dibuat dan diterbitkan oleh PKP yang mencakup
seluruh penjualan kepada pembeli BKP dan JKP yang sama selama 1 bulan.
• Faktur pajak digunggung merupakan Faktur pajak yang dibuat tanpa identitas pihak pembeli dan penjual
serta tanda tangganya,karena diterbitkan oleh pengusaha eceran.
• Faktur pajak Cacat Merupakan Faktur pajak yang pengisian datanya tidak lengkap,tidak jelas,tidak
benar,ataupun belum adanya tanda tangan..Dan bisa juga ketika PKP salah dalam pengisian kode dan nomor
serinya
• Faktur pajak batal merupakan faktur pajak yang dibatalkan karena terjadinya pembatalan transaksi.Pembatan
ini juga terjadi saat kesalahaan pengisian NPWP pada faktur pajak.
NOTA Retur

Nota retur merupakan Dokumen yang wajib dilampirkan saat ada pengembaliaan barang atau pembatalan jasa
kena pajak dari pembeli kepada penjual.
Nota retur faktur pajak terdiri dari 3 rangkap masing –masing ditunjukan bagi PKP penjual,PKP pembeli(dijadikan
sebagai arsip),dan kantor pelayanan pajak (KPP).
Nota retur pajak mempunyai dasar hukum yaitu peraturan Menteri keuangan(PMK) nomor 65/PMK.03/2010
Dalam aturan ini mengatur mengenai tata cara pengurangan pajak pertambahaan nilai(PPnBM)yang terutang oleh
pengusahaan kena pajak penjual dan mengurangi pajak masukan dari pengusaha kena pajak pembeli..
Berikut ini penyebab barang dikembalikan kepada penjual yaitu:
• Barang tidak sesuai saat kesepakataan transaksi
• Barang terjadi kerusakaan atau cacat.
• Terdapat pembatalaan dengan alasan khusus yang sudah didiskusikan.
• Terdapat kesalahan informasi barang yang perlu dikoreksi.
Fungsi nota retur bagi penjual yaitu mengurangi pajak keluaraan atau PPnBM pada masa pajak diterimanya nota
retur.
Fungsi nota retur bagi pembeli yaitu Mengurangi pajak masukan pada masa pajak dibuatnya nota retur,dalam
pajak masukann tersebut telah dikreditkan.
Mengurangi beban atau biaya perolehan aktiva atas pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Dasar pengenaan pajak

Dasar Pengenaan Pajak PPN merupakan istilah yang mengacu pada penggunaan nilai
tertrntu sebagai dasar perhitungan untuk menentukan besaran Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) yang harus dipungut. Nilai yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak PPN
ini tidak hanya satu macam, sebab pengenaan pungutan PPN tidak bisa dipukul rata
antara Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Untuk BKP memiliki lebih
dari satu nilai yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak PPN. Demikian juga
dengan JKP, yang juga tak hanya berlandaskan satu nilai saja untuk menentukan dasar
pengenaan pajak PPN.
Jenis-Jenis Dasar Pengenaan Pajak
1. Harga Jual
Penggunaan harga jual sebagai dasar pengenaan pajak PPN didasarkan atas Pasal 1 Ayat (18) UU PPN dan PPnBM.
Dalam UU PPN dan PPnBM, yang dimaksud dengan harga jual adalah nilai berupa uang. Nilai berupa uang ini
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM, serta potongan harga yang dicantumkam dalam faktur pajak.
2. Penggantian
Dalam UU PPN dan PPnBM Pasal 1 Ayat (19), yang dimaksud dengan penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP
atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM serta
potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. Penggantian juga termasuk nilai berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP tidak
berwujud karena pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.
3. Nilai Impor dan Ekpor
Pengertian nilai impor dalam UU PPN dan berupa PPnBM Pasal 1 Ayat (20) adalah nilai berupa uang yang menjadi
dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan yang mengatur mengenai kepabean dan cukai
untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM. Sementara itu, nilai
ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya uang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
4. Nilai Lain
Penggunaan nilai lain dimaksudkan untuk mengindentikasi dasar pengenaan pajak PPN yang bisa dikenakan pada
beberapa transaksi tertentu, khususnya yang berada diluar klasifikasi dasar pengenaan pajak PPN pada umumnya.
Pengenaan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ini telah diatur dalam Undang-
Undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa, dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang telah diubah beberapa kali. Perubahan terakhir pada kententuan ini
tertuang dalam Undang-Undang No.42 Tahun 2009.

Namun, perlu diketahuu adanya karakteristik dari pada PPnBM ini, setidaknya ada 4
karakteristik umum dari PPnBM, yaitu :
1. Pengenaan PPnBM hanya terjadi satu kali saja pada waktu penyerahan barang yang
dilakukan oleh pabrik atau penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha kepada produsennya
yang menghasilkan barang kena jasa yang termasuk dalam kategori barang mewah.
2. PPnBM tidak akan memberlakukan pengkreditan atas PPNnya, namun jika eksportir
melakukan pengeksporan Barang Kena Pajak yang termasuk kategori mewah, maka PPnBM
yang sudah dibayarkan saat perolehan dapat diajukan kembali sebagai restitusi.
3. Tidak ada pajak masukan dalam PPnBM.
4. Jika suda melakukan penyerahan, maka penyerahan selanjutnya tidak akan dikenakan
pajak penjualan atas barang mewah kembali.
Perhitungan

Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM)

PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP).

Tarif PPN dan PPnBM

1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).


2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
b. ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus
persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).
Contoh Perhitungan
1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00
4. . Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar
Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM
misalnya dengan tarif 20%. Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
PPN = 10% x Rp5.000.000,00
= Rp 500.000,00
PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00
= Rp 1.000.000,00
5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas
penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah
dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat
ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya. Misalnya PKP
“D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN
sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00
tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP
“X”.
Pelaporan
TATA CARA PELAPORAN
1. Pelaporan PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh
PKP dilakukan setiap bulan dan disampaikan ke KPP tempat
badanusaha tertentu terdaftar paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak, dengan
menggunakan formulir "Surat Pemberita.huan Masa PPN bagi
Pemungut PPN".
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang
menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus
dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
4. Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN wajib
dilampiri dengan daftar nominatif Faktur Pajak dan Surat
Setoran Pajak sesuai format.
Kredit Pajak Masukan
Definisi
Pengkreditan pajak masukan merupakan suatu upaya dari PKP untuk memasukkan kembali PPN yang
telah dibayar melalui pajak keluaran yang telah dipungut.

Pengkreditan faktur pajak masukan memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:


1. Pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa
pajak yang sama.
2. Pajak masukan atas perolehan barang modal sebelum berproduksi (sehingga belum
melakukan penyerahan kena pajak) dapat dikreditkan.
3. Pajak masukan dapat dikreditkan sepanjang BKP atau JKP terkait berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak.
Kegiatan mengkreditkan pajak masukan ini akan menghasilkan tiga kemungkinan, yakni:
1. Nominal pajak masukan dalam suatu masa pajak lebih kecil ketimbang jumlah pajak
keluaran yang dipungut. Konsekuensinya, selisih kelebihan pajak keluaran wajib
disetorkan ke kas negara.
2. Nominal pajak masukan dalam suatu masa pajak lebih besar dibandingkan nominal pajak
keluaran yang dipungut. Atas hal ini, selisih kelebihan pajak masukan tersebut dapat
dikompensasi ke masa pajak berikutnya atau bisa dimintakan pengembalian (restitusi).
3. Nominal pajak masukan dan keluaran sama besar.
Syarat Pengkreditan Faktur Pajak Masukan
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang
usaha. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang diperlakukan sama dengan faktur
pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Sementara, pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi jenis pengeluaran
sebagai berikut:
1. Pengeluaran atas BKP atau JKP saat pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP.
2. Pengeluaran atas BKP atau JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan
usaha. Artinya, pengeluaran yang bukan untuk kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen, tidak bisa dikreditkan.

Batas Waktu Pengkreditan Pajak Masukan


Dalam dunia usaha tak jarang terjadi kesalahan administrasi yang sering dilakukan tidak disengaja.
Contohnya, faktur pajak belum dikirimkan kepada lawan transaksi. Hal ini membuat lawan transaksi yang
menerima BKP atau JKP tidak dapat membuat faktur pajak masukan untuk dilaporkan. Pengkreditan faktur
pajak masukan sebagaimana diatur dalam UU PPN menyebutkan adanya toleransi keterlambatan yakni 3
bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan.
Pengertian Jurnal PPnBM
Jurnal PPnBM dapat diartikan sebagai kegiatan pencatatan akuntansi terkait Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), baik transaksi penjualan ataupun pembelian
barang mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jurnal PPnBM ini ditulis atas setiap PPnBM yang dikenakan terhadap penyerahan dan impor
barang mewah. Jenis barang mewah yang dikenakan PPnBM ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Sementara, tarif PPnBM ditetapkan serendah-rendahnya 10% dan setinggi-
tingginya 50%. Penerapan tarip PPnBM tersebut ditentukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP).

Sedangkan, untuk ekspor barang mewah, PKP dikenakan tarif PPnBM 0%.
PPnBM dihitung berdasarkan tarif yang ditetapkan dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak
(DPP). Seperti PPN, DPP untuk PPnBM adalah nilai jual atau nilai impor, namun
perbedaannya dengan PPN adalah, PPnBM yang sudah dibayar pada saat perolehan atau
impor barang, tidak dapat dikreditkan terhadap PPN yang dipungut.
Sementara, untuk barang mewah yang diekspor, jika PKP telah atau pernah membayar
PPnBM, maka PKP dapat mengajukan pengembalian atau restitusi.
Pencatatan Jurnal PPnBM untuk Transaksi Pembelian Barang Mewah

PKP atau perusahaan yang melakukan pembelian atau impor barang mewah akan dikenai PPnBM, dengan
besaran tarif tergantung dari macam dan jenis BKP yang diimpor.
Contoh, PT ABC membeli BKP untuk bahan baku, yang tergolong barang mewah dengan tarif PPnBM
20%. Sedangkan, nilai pembelian adalah sebesar Rp 200 juta. Penghitungan PPN dan PPnBM atas
transaksi tersebut adalah sebagai berikut:

Terkait transaksi pembelian tersebut, jurnal PPnBM yang dibuat oleh perusahaan adalah sebagai berikut:
Pencatatan Jurnal PPnBM atas Pembelian yang Bisa Restitusi

Terkait dengan transaksi pembelian barang mewah seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
memang pencatatan PPnBM dalam jurnal PPnBM dikapitalisasikan dalam biaya karena tidak bisa
dikreditkan. Namun, apabila pembelian bahan baku yang dimaksud adalah untuk diproduksi dan kemudian
menjadi barang yang akan diekspor, PPnBM sebesar Rp 40 juta (menggunakan contoh di atas), yang telah
dibayar dapat diminta kembali (restitusi). Jika dimaksudkan untuk direstitusi, maka ada baiknya PPnBM
dicatatkan secara terpisah dalam jurnal PPnBM, sehingga pencatatannya adalah sebagai berikut:

Ketika PKP memperoleh restitusi terkait PPnBM yang sudah dibayarkan, maka pencatatan jurnal PPnBM-
nya adalah sebagai berikut:
Jurnal PPN bisa diartikan sebagai pencatatan akuntansi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang melekat pada
suatu transaksi, baik transaksi penjualan maupun pembelian.

Pedoman Penyusunan Jurnal PPN:


Prosedur pembukuan atau pembuatan jurnal PPN terdiri dari tiga faktor, yakni:
• Pembelian BKP/JKP, dimana PPN dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
• Penjualan dan PPN terutang.
• PPN yang masih harus dibayar dan lebih bayar PPN.

Sementara, untuk metode pencatatan jurnal PPN terdiri dari tiga cara/metode, yaitu:
• PPN masukan dan PPN keluaran dibukukan pada satu perkiraan. Pembukuan dengan cara ini, hanya
menggunakan satu perkiraan yaitu PPN yang saldonya mungkin debit atau kredit, tergantung mana yang
lebih besar antara pajak masukan atau pajak keluaran untuk suatu masa  pajak tertentu.
• PPN masukan dan PPN keluaran dibukukan secara terpisah, tanpa prosedur offset pada setiap masa pajak.
Dengan cara seperti ini, saldo masing-masing perkiraan akan bertambah terus-menerus karena terjadi
akumulasi PPN masukan dan PPN keluaran selama periode tertentu. PPN masukan dan PPN keluaran yang
dibukukan secara terpisah, dengan prosedur offset pada setiap akhir masa pajak. Prosedur pembukuan
sampai dengan penyetoran selisih PPN masukan dan PPN keluaran ke kas negara atau penerimaan
restitusi sama seperti prosedur pembukuan pada cara kedua kedua
• Pada akhir masa pajak dilakukan penjurnalan untuk meng-offset perkiraan PPN masukan dan PPN keluaran
pada saat selesainya pembuatan Surat Pemberitahuan (SPT) masa pajak PPN bulan yang bersangkutan.
Berikut ini akan dibahas perlakuan pencatatan jurnal PPN untuk transaksi penjualan alias PPN keluaran.
a. Jurnal PPN untuk Penjualan Tunai
Apabila penjualan barang/jasa dilakukan secara tunai, misalnya nilai barang sebesar Rp 3,5 juta,
.
ditambah PPN 11% yaitu Rp 385.000, maka pencatatan jurnal PPN-nya adalah sebagai berikut:
Kas                         Rp 3.885.000,00
Penjualan                                        Rp 3.500.000,00
PPN Keluaran                                 Rp    385.000,00

Untuk transaksi penjualan tunai, pencatatan jurnal PPN tidak rumit, apalagi jika penjualan tunai
tersebut tidak retur di masa mendatang. Sebab, begitu melakukan penjualan, PKP penjual
menerbitkan faktur pajak sekaligus menyerahkan barang kepada PKP pembeli.

b. Jurnal PPN untuk Penjualan Kredit


Jika misalnya penjualan dilakukan secara kredit, dilihat dari sisi perpajakan, karena faktur pajak belum
diterbitkan, meskipun barang/jasa telah diserahkan, PPN belum terutang sehingga belum perlu
dicatat. Namun, dilihat dari prinsip akuntansi, penyerahan BKP/JKP merupakan salah satu saat
pengakuan pendapatan atau pelepasan aktiva. Oleh karena itu, pencatatan jurnal PPN keluaran harus
mempertimbangkan hal tersebut.
Contoh, pada tanggal 1 November 2018, PT ABC menjual BKP secara kredit seharga Rp 3,5 juta, ditambah
PPN 11% sebesar Rp 385.000. BKP telah diserahkan, namun faktur belum dibuat. Maka, pencatatan jurnal
PPN adalah sebagai berikut:

Piutang Dagang                                      Rp 3.885.000,00


Penjualan                                                                         Rp 3.500.000,00
PPN Keluaran Belum Difakturkan                                    Rp    385.000,00

Ketika pada tanggal 1 Desember 2018 faktur pajak keluaran dibuat dan diserahkan kepada PKP pembeli,
maka PKP penjual membuat jurnal PPN sebagai berikut:

PPN Keluaran Belum Difakturkan                 Rp 385.000,00


PPN Keluaran                                                                   Rp 385.000,00

Seperti yang diketahui bahwa tarif PPN telah berubah dari 10% menjadi 11% sejak 1April 2022 lalu. Kenaikan
ini diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan . (UU HPP).
THANK
YOU

Anda mungkin juga menyukai