Anda di halaman 1dari 27

Tinjauan Pustaka Senin ,27 April 2021

PERANAN DOKTER DALAM


PENANGANAN KORBAN HIDUP
PADA KASUS PERLUKAAN

dr. Panusunan Simatupang, M.Ked(For)., Sp.FM


• Tingkat kejahatan di kota-kota besar >>>
• 50-70 % kasus di IGD RS  Perlukaan/Trauma
Kecelakaan, penganiayaan, bunuh diri, bencana, terorisme.
• Di RSCM, permintaan pemeriksaan kedokteran forensik
dari penyidik 2000 pertahun
• Di RSU Tangerang, permintaan visum korban luka 800-
1000 pertahun
• Perlukaan  implikasi hukum  Peradilan
• Kasus Perlukaan pada manusia  Dokter memberikan
keterangan  Visum et repertum  alat bukti di pengadilan
Direktorat Reserse Mabes POLRI

1980 – 1989

Penganiayaan berat Pembunuhan (1.607 kasus)


(10.103 kasus) Perkosaan (1.341 kasus)
Alat Bukti Pengadilan “Visum Et Repertum”
• Negara lain  Anglo Saxon dikenal Forensic
pathologist dan clinical forensic specialist
• Di Indonesia kompetensi tsb digabung
• Visum et repertum dibuat oleh tidak hanya dokter
forensik  kualitas visum bervariasi
• Penelitian di Jakarta  15,4 % visum berkualitas
baik
• Penelitian di Pekanbaru  97,06% visum
berkualitas jelek
Aspek Medikolegal
Visum et repertum Perlukaan

Pasal 351 dan 352 KUHP

 Ringan
 Sedang
 Berat
PROSES PERADILAN

Konsekuensi terhadap
Deskripsi luka
kesehatan

Physical evidence Opinion evidence

Visum dapat menyajikan deskripsi kecederaan dan kesimpulan


kualifikasi luka pengambilan keputusan oleh hakim
• Definisi penganiayaan ringan dalam KUHP pasal 352 ayat 1
 penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian
• Menurut literatur, dalam merumuskan definisi penganiayaan,
untuk membedakan dari penganiayaan ringan, dalam
rumusan deliknya diberi tambahan “sementara”,
 sehingga rumusan delik penganiayaan menjadi
menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian untuk sementara waktu.
• Rumusan luka-luka berat telah didefinisikan secara jelas
dalam KUHP pasal 90
Sejarah

HUKUM PIDANA
HUKUM PIDANA HINDIA BELANDA
BELANDA (INDONESIA)

• 2 jenis penganiayaan: • 3 jenis penganiayaan:


– Penganiayaan – Penganiayaan ringan
– Penganiayaan berat – Penganiayaan
– Penganiayaan berat
• Sistimatika: penganiayaan ringan (pasal 352)
terletak setelah penganiayaan dan penganiyaan
berat (pasal 351)
• Terbit penganiayaan ringan: “Teknis administrasi
peradilan”
• Luas wilayah >> dan jumlah Pengadilan Tinggi <<
(6 buah)
• Sebelum 1918, kasus penganiayaan hukuman > 3
bulan  Pengadilan (landraad)  ibukota
karesidenan
• Perkebunan: >>> penganiayaan ringan
• Tidak dapat di Pengadilan terdekat (landgerecht)
ibukota kabupaten
• Wewenang: mengadili kasus ancaman pidana < 3
bulan
• Solusi: Diciptakan delik penganiayaan ringan 
ancaman maks 3 bulan
• Delik penganiayaan ringan (lichte mishandeling) :
berlaku di Hindia Belanda (Indonesia) per 1 Januari
1918 hingga sekarang
Penentuan Derajat Luka

• visum et repertum  jenis luka yang ditemukan, jenis


kekerasan yang menyebabkan luka serta kualifikasi atau
derajat luka
• membantu hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku.
• setiap jenis penganiayaan memiliki sanksi yang berbeda-beda
• Tindak penganiayaan ringan menurut Pasal 352 KUHP
diancam pidana penjara paling lama 3 bulan, penganiayaan
menurut Pasal 351 ayat 1 KUHP diancam pidana penjara
paling lama 2 tahun 8 bulan, sedangkan penganiayaan berat
menurut Pasal 351 ayat 2 KUHP diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun
Langkah pertama oleh dokter pemeriksa adalah
mengecek apakah luka-luka tersebut sesuai
dengan luka berat menurut Pasal 90 KUHP yaitu:
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya
maut.
2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pencaharian
3. Kehilangan salah satu panca indera
4. Mendapat cacat berat
5. Menderita sakit lumpuh
6. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
 Jika memenuhi salah satu kriteria diatas maka
dikategorikan sebagai luka derajat 3
 Bila tidak memenuhi salah satu dari Pasal 90 KUHP maka
dokter pemeriksa perlu memperhatikan :
 apakah luka-luka tersebut mutlak perlu perawatan dokter
 apakah ada gangguan fungsi yang ditimbulkan oleh luka tersebut
 mempertimbangkan lokasi dan jumlah luka yang ditimbulkan
 Bila memenuhi salah satu atau lebih kriteria diatas
maka dikategorikan sebagai luka derajat 2
 Tidak memenuhi semua kriteria yang dijabarkan pada
luka derajat 2 dan 3, dikategorikan sebagai luka derajat
1
Tata Laksana Visum et Repertum
pada Korban Hidup
1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban
hidup :
• Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat
(1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI.
• Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133
ayat (1) adalah dokter.
• Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa
permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah
diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
• Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan kepada Penyidik yang
memintanya
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik adalah
dokter, perawat dan petugas administrasi
3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et
repertum pada korban hidup :
a. Penerimaan korban yang dikirim oleh penyidik
– Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter
– Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan
kesehatannya dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah
ditangani aspek medikolegalnya.
– Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam
penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.
b. Penerimaan surat permintaan visum et
repertum
• Dokter meneliti apakah surat permintaan tersebut
telah sesuai ketentuan yang berlaku.
• kenyataannya seringkali pada saat korban datang
surat permintaan dari penyidik belum ada atau
korban datang sendiri dengan membawa surat
permintaan visum et repertum.
• Untuk mengantisipasi hal tersebut maka terhadap pasien-
pasien IGD dibawah ini harus ditatalaksana seperti
pasien dengan surat permintaan visum et repertum:
1. Setiap pasien dengan trauma
2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
c. Pemeriksaan korban secara medis
• dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu
forensik yang telah dipelajarinya.
• Pemeriksaan fisik terhadap korban harus dilakukan
secara teliti agar tidak ada data yang terlewat dalam
pemeriksaan.
• Saat pemeriksaan, ada kemungkinan pemeriksa
menemukan benda bukti dari tubuh korban misalnya
anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti setelah
diperiksa dan dicatat datanya harus diserahkan kepada
penyidik.
• Dalam hal pihak penyidik belum mengambilnya maka
pihak petugas sarana kesehatan harus menyimpannya
sebaik mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan.
• Status benda bukti itu adalah milik Negara, dan secara
yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli
warisnya tanpa izin dari penyidik.
d. Pengetikan visum et repertum
• Pengetikan visum et repertum oleh petugas administrasi
memerlukan perhatian khusus, karena bentuk/formatnya
adalah baku.
e. Penandatangan visum et repertum
• yang berhak menandatanginya adalah dokter pemeriksa.
• Jika korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka
yang menandatangani visumnya adalah setiap dokter
yang terlibat langsung dalam penanganan korban, yaitu
dokter yang melakukan pemeriksaan luka/cedera/racun.
• Jika dokter pemeriksa tidak ada di tempat atau sudah
tidak bekerja lagi di Rumah Sakit tersebut, maka visum
et repertum ditandatangani oleh dokter penanggung
jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk oleh
Rumah Sakit atau oleh Direktur Rumah Sakit tersebut

F. Penyerahan barang bukti yang telah selesai


diperiksa
• Barang bukti yang telah selesai diperiksa dan dibuat
berita acaranya diserahkan kepada penyidik dengan
penandatanganan berita acara penyerahan barang bukti.
g. Penyerahan visum et repertum.
• Visum et repertum yang telah selesai dibuat
diserahkan kepada penyidik yang meminta.
KEPUSTAKAAN
1. Atmadja DS. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan dan
Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004.
2. Sugiharto AF. Metode Diagnosis Derajat Luka Ringan Sedang dengan Menggunakan TRISS sebagai
Landasan Obyektifitas Kesimpulan Visum et Repertum [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2009.
3. Herkutanto. Pemberlakuan Pedoman Pembuatan Visum et Repertum Korban Hidup dan Trauma-Related
Injury Sevisum et repertumity Score (TRISS) untuk Meningkatkan Kualitas Visum et repertum [disertasi].
Jakarta: Universitas Indonesia; 2005.
4. Herkutanto. Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di Jakarta dan Faktor yang Mempengaruhinya.
Majalah Kedokteran Indonesia, September 2004 ; 54 (9) : 55-60.
5. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The Quality of Visum et Repertum of the Living Victims in Arifin
Achmad General Hospital during January 2004 – September 2007. Jurnal Ilmu Kedokteran, Maret 2008 2
(1) : 19-22
6. Idris AM. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi Hukum. Jakarta: Sagung Seto; 2009.
Hal 49-53
7. Atmadja DS. Kuliah Penganiayaan dan Pembuktiannya. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Atmajaya,
26 Oktober 2009.
8. Atmadja DS. Lokakarya Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan dan
Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 17 – 19 Mei 2004.
9. Afandi D. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran, September 2009 2 (3) : 79 -
84

Anda mungkin juga menyukai