Anda di halaman 1dari 16

TUGAS INDIVIDU BLOK 25

PEMICU 2

“Mayat tak dikenal”

Disusun Oleh:

Suwita

170600035

Kelas A

Kelompok 4

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
Nama Pemicu: Mayat tak dikenal

Penyusun: Yendriwati, drg., M.Kes., Sp.OF; dr. Agustinus Sp.F, Hendry Rusdi, drg., Sp.BM(K),
M.Kes

Hari/Tgl : Senin / 09 November 2020

Jam : 08.00 – 10.00 WIB

Penyidik membawa sesosok mayat tidak dikenal ke RSUP Adam Malik Medan untuk divisum.
Diperkirakan tubuh mayat rusak akibat terjatuh ke dalam sumur. Kondisi tubuh mayat telah
terjadi proses pembusukkan dengan perut gembung dan mulut kaku. Wajah mayat sulit untuk
dikenali. Pemeriksaan ekstra oral diperoleh indeks sefalik 78. Untuk melakukan pemeriksaan
gigi (intra oral) dilakukan reseksi rahang. Gigi-gigi yang akan/sedang erupsi adalah Kaninus dan
Premolar 2 atas. Pemeriksaan intra oral dijumpai: gigi insisivus sentralis atas berbentuk oval,
gigi molar satu atas dijumpai cusp carrabelli. Beberapa gigi belum erupsi dan masih dalam tahap
perkembangan (lihat gambar radiografi).

Pertanyaan:

1. Jelaskan prosedur yang harus dilakukan Tim Forensik untuk membuat visum kasus
pembunuhan diatas?

2. Sudah berapa lamakah mayat tersebut diperkirakan meninggal? Apa alasannya?

3. Jelaskan persyaratan untuk melakukan reseksi rahang dan bagaimana caranya?

4. Jelaskan cara-cara menentukan ras pada mayat dan tentukan perkiraan ras pada mayat
tersebut! Apa alasannya?

5. Jelaskan cara-cara/metode menentukan jenis kelamin dan metode apa yang digunakan pada
kasus di atas? tentukan perkiraan jenis kelamin mayat tersebut?

6. Jelaskan cara-cara/metode yang digunakan untuk menentukan umur dan metode apa yang
digunakan pada kasus di atas! tentukan perkiraan umur mayat tersebut?
7. Apakah diperlukan pemeriksaan DNA untuk kasus ini? Berikan alasannya?

Jawaban:

1. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum


a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter
spesialis yang pengaturannya mengacu pada Standar Prosedur Operasional (SPO).
Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila
kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai
disiplin spesialis.
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang
penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung
jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut
sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering
menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari
penyidik belum ada atau korban (hidup) datang sendiridengan membawa surat
permintaan visum et repertum.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang
pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV.
Sebagai berikut :
1) Setiap pasien dengan trauma
2) Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3) Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4) Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
5) Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum

Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal pencatatan
temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada map rekam
medisnya (tanda “VER”), warna sampul rekam medis serta penyimpanan rekam
medis yang tidak digabung dengan rekam medis pasien umum.
“Ingat ! kemungkinan atas pasien tersebut di atas pada saat yang akan datang, akan
dimintakan visum et repertumnya dengan surat permintaan visum yang datang
menyusul.”
Pada saat menerima surat permintaan visum et repertum perhatikan hal-hal sebagai
berikut : asal permintaan, nomor surat, tanggal surat, perihal pemeriksaan yang
dimintakan, serta stempel surat. Jika ragu apakah yang meminta penyidik atau bukan
maka penting perhatikan stempel nya. Jika stempelnya tertulis “KEPALA” maka
surat permintaan tersebut dapat dikatakan sah meskipun ditandatangani oleh pnyidik
yang belum memiliki panfkat inspektur dua (IPDA).
Setelah selesai meneliti surat permintaan tersebut dan kita meyakini surat tersebut sah
secara hukum, maka isilah tanda terima surat permintaan visum et repertum yang
biasanya terdapat pada kiri bawah. Isikan dengan benar tanggal, hari dan jam kita
menerima surat tersebut, kemudian tuliskan nama penerima dengan jelas dan bubuhi
dengan tanda tangan.
Pasien atau korban yang datang ke rumah sakit atau ke fasilitas pelayanan kesehatan
tanpa membawa Surat Permintaan Visum (SPV) tidak boleh ditolak untuk dilakukan
pemeriksaan. Lakukan pemeriksaan sesuai dengan standar dan hasilnya dicatat dalam
rekam medis. Visum et Repertum baru dibuat apabila surat permintaan visum telah
disampaikan ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah
dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang
mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Ada kemungkinan didapati
benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti
berupa pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak penyidik. Dalam hal pihak
penyidik belum mengambilnya maka pihak petugas sarana kesehatan harus me-
nyimpannya sebaik mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan. Status benda bukti
itu adalah milik negara, dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak
keluarga/ahli warisnya tanpa melalui penyidik.
d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi
memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan
peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah
penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh : “Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata sepanjang lima
senti meter“
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter.
Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi
bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat, sedangkan
dokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu lagi. Dalam hal ini
sering timbul keraguan tentang siapa yang harus menandatangani visum et repertun
korban hidup tersebut. Hal yang sama juga terjadi bila korban ditangani beberapa
dokter sekaligus sesuai dengan kondisi penyakitnya yang kompleks. Dalam hal
korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang menandatangani visum
yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa).
Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang
menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam
penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa
yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan
luka/cedera/racun/tindak pidana.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (diluar kota) atau sudah
tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh
dokter penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit
atau oleh Direktur Rumah Sakit tersebut.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja
dengan menggunakan berita acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.
Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak
penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus
meminta surat visum et repertum. Penasehat hukum tersangka tidak diberi
kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak
boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum
tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari
pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Sumber:
(Afandi D. Visum Et Repertum. Tata Laksana dan Teknik Pembuatan Ed. 2.
2017:812)

2. Perkiraan waktu kematian dapat ditentukan dari tanda tanda kematian yang terdapat pada
jenazah seperti livor mortis (lebam mayat), rigor mortis (kaku mayat), dan dekomposisi
(tanda pembusukan)
 Lebam mayat
a. Lebam mayat disebut juga livor mortis atau postmortem lividity, adalah suatu
keadaan dimana terjadi pengumpulan darah pada bagian-bagian tubuh yang
terletak paling bawah namun bukan daerah yang tertekan akibat berhentinya
pompa jantung dan pengaruh gaya gravitasi.
b. Timbul antara 15 menit sampai 1 jam setelah kematian. Pada awalnya lebam mayat
pada penekanan akan menghilang. Seiring dengan bertambahnya waktu maka
lebam mayat berangsur-angsur semakin jelas dan merata. Dengan munculnya kaku
mayat termasuk pada tunika muskularis pembuluh darah maka lebam mayat akan
menetap walaupun pada bagian tersebut ditekan. Lebam mayat akan menetap
sekitar 12 jam setelah kematian.
c. Periksa bagian terbawah dari jenazah. Tampak sebagai bercak besar pada kulit
berwarna merah keunguan yang kemudian melebar dan merata pada bagian tubuh
yang rendah.
d. Tekan pada bagian yang terdapat bercak merah keunguan, saat dilepas tekanan
memucat atau tidak.
e. Foto untuk dokumentasi pemeriksaan.
f. Catat distribusi lebam mayat, warna, hilang atau tidak pada penekanan.

 Kaku mayat
a. Kaku mayat disebut juga rigor mortis atau postmortem rigidit, adalah suatu
keadaan dimana terjadi pemecahan ATP menjadi ADP dan penumpukan asam
laktat yang tidak bisa diresintesis kembali menjadi ATP karena tidak adanya
oksigen yang masuk ke tubuh. Hal ini mengakibatkan serat otot memendek dan
kaku. Kaku mayat muncul sekitar 2 jam setelah kematian dan setelah 12 jam
menjadi sempurna pada seluruh tubuh dan sukar dilawan.
b. Lakukan saat melepas pakaian (jika berpakaian)
c. Raba kekakuan otot mulai dari otot-otot kecil hingga otot-otot besar.
d. Gerakkan persendian rahang, leher, anggota gerak atas dan bawah sambil
merasakan tahanan pada otot-otot di sekitarnya.
e. Catat distribusi kaku mayat dan intensitas kekakuan.

 Dekomposisi (tanda pembusukan)


Tubuh terutama mengalami dekomposisi atau putrefaction, mengakibatkan perubahan
warna kehijauan, kembung karena pembentukan gas, dan liquefactive necrosis.
Dekomposisi mayat tergantung pada iklim, musim, berat badan, dan pakaian.
Dekomposisi dapat dibagi menjadi lima tahap yaitu fresh, early decomposition,
advanced decomposition, skeletonization, dan extreme decomposition. Mayat tersebut
masuk tahap early decomposition dimana terjadi bloating / menjadi gembung.
Bloating dapat terlihat paling cepat tiga hari setelah kematian dan biasanya mereda
pada minggu kedua post-mortem, karena gangguan gas perut. Tubuh tampak hijau
kehitaman pada minggu kedua dan akhirnya, tubuh tampak hitam kecoklatan dengan
tampilan kulit yang kasar. Tahap ini biasanya terlihat hingga akhir bulan pertama
tetapi dapat berlangsung hingga dua bulan.

Sumber:
a. Henky Kunthi Yulianti Ida Bagus Putu Alit Dudut Rustyadi. Buku Panduan
Belajar Koas Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Denpasar:
Udayana University Press. 2017
b. Madea B. Methods for determining time of death. Forensic Sci Med Pathol
2016; 12(4): 451-485.

3. Diseksi wajah dan / reseksi rahang, yang mungkin diperlukan untuk akses penuh ke
struktur gigi hanya dilakukan dengan persetujuan petugas / pemeriksa medis. Biasanya,
keadaan yang menentukan keputusan untuk reseksi sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan akses yang jelas dalam rongga mulut pada kasus dengan
pembukaan rahang yang terbatas.
b. Pada korban yang telah membusuk, terbakar, atau terfragmentasi. Reseksi rahang
dalam kasus seperti itu memfasilitasi pencatatan keadaan gigi dan pemeriksaan
radiografi. Pembedahan pada kepala yang terbakar harus dilakukan dengan hati-
hati untuk menjaga struktur gigi yang rapuh dan rahang secara in situ.
Teknik untuk melakukan reseksi rahang:
1) Stryker Autopsy Saw Method: jaringan lunak dan perlekatan otot bagian lateral
mandibula didiseksi dengan melakukan insisi dari mucobuccal fold ke batas
bawah mandibula. Perlekatan otot lingual juga diinsisi dengan cara yang sama.
Pada maxilla, perlekatan otot fasial diinsisi pada prosesus malar dan diatas tulang
nasal anterior. Pemotongan dengan stryker saw dilakukan pada ramus bagian atas
untuk menghindari molar 3 yang mungkin impaksi. Palu dan pahat bedah
kemudian digunakan pada prosesus malar yang telah dipotong dengan stryker saw
untuk menyelesaikan pemisahan maxila.
2) Mallet and chisel method: Palu dan pahat dapat digunakan untuk menyebabkan
fraktur "Le Fort" Tipe I pada maxila. Pukulan pahat dilakukan di bawah lengkung
zygomatik, di atas dinding sinus maksilaris secara bilateral. Pada mandibula
pukulan dapat dilakukan pada sendi temporomandibular.
3) Pruning shears method: melibatkan penggunaan gunting yang besar. Bilah pada
gunting dimasukkan kedalam lubang hidung ke sinus maksilaris. Potongan
kemudian dibuat di sepanjang bidang di atas apeks gigi rahang atas secara
bilateral. Pemotongan tulang mandibula dilakukan dengan memasukkan bilah
gunting pada aspek lingual dari ramus dekat coronoid notch secara bilateral.

Sumber: American Board of Forensic Odontology. www.abfo.org

4. Indeks sefalik adalah perbandingan antara lebar kepala dengan panjang kepala dikalikan
100. Indeks ini menggambarkan bentuk kepala. Indeks sefalik dapat ditentukan
berdasarkan rumus berikut.

Indeks sefalik = lebar kepala (eu-eu) panjang kepala (g-op) × 100


Lebar kepala diukur dari jarak antara kedua euryon (eu-eu), yaitu titik paling distal pada
sisi neurocranium. Panjang kepala diukur dari glabella (g) sampai opisthion (g-op).
Glabella (g) adalah titik paling depan pada dahi terletak di antara tonjolan supraorbital
pada bidang median-sagital. Opisthion (op) adalah titik di bidang sentral pada tulang
kepala belakang (occipital) paling jauh dari glabella. Berdasarkan indeks sefalik, tipe
kepala pada manusia dibagi menjadi enam, dapat dilihat pada table

Tabel klasifikasi Tipe Kepala Berdasarkan Indeks Sefalik menurut Saller

Tipe Kepala Laki-Laki Perempuan


Hyperdolicocephal x-70,9 x-71,9
Dolicocephal 71,0-75,9 72,0-76,9
Mesocephal 76,0-80,9 77,0-81,9
Brachycephal 81,0-85,4 82,0-86,4
Hyperbrachycephal 85,5-90,9 86,5-91,9
Ultrabrachycephal 91,0-x 92,0-x

Indeks kranial berdasarkan ras:


1) Kaukasoid → Mesokranium, 75-80
2) Negroid → Dolicosepaly, <75
3) Mongoloid → Brachycephal, >80

Dari kasus diketahui indeks sefalik pada korban adalah 78, hal tersebut menunjukkan
tipe kepala korban adalah mesocephal yang berarti ras kaukasoid.

Sumber:
Romdhon AR. IDentifikasi Forensik Rekonstruksi Menggunakan Indeks
Kefalometri. J Majority. 2015; 4(8): 23-27.

5. Identifikasi jenis kelamin dalam ruang lingkup antropologi dan kedokteran gigi forensik
dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang dapat dilakukan antara lain
melalui metode karakteristik morfologi, metode morfometrik (pengukuran), pemeriksaan
histologis, serta pemeriksaan analisis DNA baik dari tulang maupun gigi.
Pada kasus-kasus tertentu, tulang tidak dapat memberikan hasil identifikasi yang optimal,
lain halnya dengan gigi. Gigi digunakan sebagai media identifikasi karena gigi
merupakan bagian tubuh yang paling keras dan secara kimiawi merupakan jaringan
paling stabil dan paling tahan terhadap degradasi dan dekomposisi, sehingga membuat
gigi dapat bertahan untuk periode yang lama dibandingkan dengan jaringan tubuh
lainnya. Gigi juga memiliki ketahanan terhadap temperatur yang tinggi sehingga sangat
bermanfaat dalam identifikasi pada korban terbakar. Hal ini disebabkan sedikitnya
jaringan organik yang dikandungnya, terutama lapisan enamel, yang merupakan jaringan
paling keras pada tubuh manusia.
Metode karakteristik morfologi maupun morfometrik merupakan metode penentuan jenis
kelamin yang paling sederhana, namun umumnya lebih bersifat subjektif dan
membutuhkan data berbasis populasi untuk dapat diterapkan dalam identifikasi
individual. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemeriksaan dengan metode analisis lain yang
dapat memberikan hasil yang lebih objektif dan akurat dalam penentuan jenis kelamin
seseorang. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas metode pemeriksaan
jenis kelamin lain melalui gigi yaitu secara histologis dan analisis DNA.
Metode identifikasi jenis kelamin melalui gigi ada beberapa metode dan identifikasi jenis
kelamin melalui gigi.
Pada kasus dalam menentukan jenis kelamin digunakan metode karakteristik morfologi
gigi yang mana diketahui gigi insisivus sentralis atas berbentuk oval yang berarti pasien
berjenis kelamin perempuan karena pada laki-laki bentuk gigi insisivus sentralis atasnya
square.
Sumber:
Syafitri K, Auerkari E, Suhartono W. Metode Pemeriksaan Jenis Kelamin Melalui
Analisis Histologi dan DNA dalam Identifikasi Odontologi Forensik. Jurnal PDGI
2013; 62(1): 11-13

6. Metode menentukan usia dari gigi :


 METODE DEMIRJIAN
Metode ini didasarkan pada tahapan perkembangan 7 gigi permanen rahang bawah
kiri melalui foto rontgen panoramic, didasarkan pada kriteria bentuk dan nilai
relative, dan bukan pada panjang mutlak gigi. Metode ini didasarkan pada estimasi
usia kronologis yang disederhanakan dengan membatasi jumlah tahapan
perkembangan gigi menjadi delapan tahapan dan memberinya skor mulai dari “A”
hingga “H”. Delapan tahapan tersebut mewakili kalsifikasi masing-masing gigi, mulai
dari kalsifikasi mahkota dan akar hingga penutupan apeks gigi.
Pemberian skor setiap gigi dan setiap tahap perkembangan berasal dari metode
Tanner yang menggambarkan maturasi tulang. Pemberian skor terbatas pada tujuh
gigi permanen pertama kuadran kiri bawah dan dibandingkan dengan representasi
grafis tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan memiliki kriteria khusus dan
satu, dua, atau tiga kriteria tertulis. Jika hanya terdapat satu kriteria, harus dipenuhi
untuk mencapai tahap tertentu, jika terdapat dua kriteria maka dianggap terpenuhi jika
yang pertama telah ditemukan, jika terdapat tiga kriteria maka dua yang pertama
harus ditemukan agar dianggap terpenuhi. Analisis statistik skor maturasi digunakan
untuk masing-masing gigi dari tujuh gigi dari tiap-tiap tahap dari 8 tahap
perkembangan. Standar penghitungan anak laki-laki dan perempuan dipisah.
Demirjian menggunakan penilaian gigi yang diubah ke dalam skor dengan
menunakan tabel untuk anak laki-laki dan anak perempuan secara sendiri-sendiri.
Semua skor untuk masing-masing gigi dijumlah dan skor maturasi dihitung. Skor
maturasi kemudian dikonversi langsung ke dalam usia gigi dengan menggunakan
tabel konversi.
 METODE NOLLA
Metode Nolla membagi periode kalsifikasi gigi permanen menjadi 10 tahapan dimulai
dari terbentuknya benih gigi sampai dengan penutupan foramen apikal gigi.
Pembentukan crypte hingga penutupan apeks akar gigi yang dapat dilihat pada foto
radiograf disebut tingkat 1, dan selanjutnya sampai penutupan apeks akar gigi adalah
tingkat 10. Masing-masing tahapan juga diberi nilai skor. Dengan foto panoramic,
cukup menggunakan satu sisi dengan mengabaikan geraham 3, gigi permanen rahang
atas dan rahang bawah dianalisis, dicocokkan tahapannya dan diberi skor. Skor
masing-masing tahapan ditotal. Metode Nolla juga menggunakan tabel konversi.

 METODE GUSTAFSON
Merupakan metode penentuan usia berdasarkan perubahan makrostruktural gigi
geligi. Skala nilai adalah 0, 1, 2, 3.
Gustafon membagi menjadi 6 tahapan, yaitu:
a. Derajat atrisi
b. Jumlah dentin sekunder
c. Posisi perlekatan gingiva
d. Derajat resorpsi akar
e. Transparansi dentin akar
f. Ketebalan sementum
Nilai masing-masing perubahan dijumlah (X) dan kemudian dihitung dengan rumus
Y=3,52X+8,88. Sampel yang digunakan adalah gigi insisivus. Standard error sekitar 4,5
tahun.

Metode yang dapat digunakan pada kasus adalah metode Nolla, dimana gigi yang terlihat
jelas pada kasus yang dapat dipakai untuk pengukuran adalah M1 kiri bawah yang berada
pada tahap 9.7, dimana akar sudah terbentuk sempurna dan apex terbuka. Kemudian
disesuaikan ke tabel mandibula gigi 6 berada antara nilai 9.7 dan 10, yaitu umur 9-10
tahun. Gigi lain yang dapat dilihat adalah P2 maksila kanan atas, berada pada tahap 8,
dimana pada 2/3 akar telah terbentuk, dan tabel berada di antara nilai 7.4 dan 8.1 yaitu
umur 9-10 tahun.

7. Analisis DNA merupakan identifikasi primer dalam mengidentifikasi mayat. Identifikasi


terhadap mayat dapat dikatakan positif apabila minimal satu dari metode identifikasi
primer (sidik jari, DNA, dental record) adalah cocok atau jika tidak ada yang cocok dari
metode identifikasi primer, maka seluruh metode identifikasi sekunder harus cocok.
Karakter urutan DNA bervariasi pada setiap individu sehingga DNA dapat dijadikan
sebagai sumber identitas seseorang yang sudah meninggal (post mortem) ataupun yang
masih hidup.
Pada kasus tersebut, pemeriksaan DNA perlu dilakukan jika pemeriksaan sidik jari dan
gigi geligi hasilnya meragukan atau tidak dapat dilakukan karena mayat yang dibawa
penyidik, wajahnya sudah sulit dikenali dan kondisi tubuh mayat sudah rusak dan
mengalami pembusukan.

Anda mungkin juga menyukai