Anda di halaman 1dari 99

MAKALAH ILMU KEDOKTERAN GIGI KLINIK 4

MODUL 6 SKENARIO 3

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4
AMIRAH HASNA FITRI (1206208006)
ANNISA WIDIANDINI (1206207930)
FIQI NURUL HIDAYAH (1206207640)
HESTI KATARINA (1206241281)
IVANA FLORENTINA (1206244195)
SHEILA SILVIA (1206207924)
UJI TESLI HARALINI SIMBOLON (1206207672)
YOLANDA BILYNOV (1206207666)
HAM JI HOO (1206288846)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS INDONESIA

2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya
penyusun dapat menyelesaikan pembuatan makalah modul 6 skenario 3 blok Ilmu
Kedokteran Gigi Klinik 4 ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada fasilitator
kami drg. Anandina Irmagita, Sp. PM serta seluruh staff pengajar blok yang telah membantu
penyusun selama proses diskusi dan pembuatan makalah ini.

Penyusun berharap agar makalah ini dapat berguna bagi pembaca. Penyusun
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Depok, Mei 2015

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………..…………..……………….. 1

Daftar Isi…………..…………..…………..…………..…………..…………..…... 2

BAB I. Pendahuluan…………..…………..…………..…………..………………. 3

BAB II. Pembahasan

2.1. Klasifikasi Umum Lesi Rongga Mulut..............…………..…………..…….. 5

2.2. Klasifikasi Lesi Putih Berdasarkan Morfologi…………..…………..……….. 8

2.3. Klasifikasi Lesi Putih Berdasarkan Etiologi…………..…………..………….. 37

2.4. Prosedur Pemeriksaan..........…………..…………..…………..……………… 56

2.5. Lesi Inflamasi pada Rahang dan Gambaran Radiograf…………..…………... 62

2.6. Tatalaksana Perawatan Kanker Mulut..............…………..…………..……… 68

2.7. Persiapan Pra-Perawatan Kanker (Radioterapi)...............…………..……..... 76

2.8. Komplikasi Pasca Perawatan Kanker......................................................... 78

2.9. Perawatan Dental Pasca Radioterapi..............................…………..……..... 86

2.10. Farmakologi Anti-Neoplastik......................................…………..……..... 87

BAB III. Kesimpulan…………..…………..…………..…………..……………… 97

Daftar Pustaka…………..…………..…………..…………..…………..………… 98

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Jabaran Skenario
Seorang pria, 47 tahun, supir metromini, datang ke RSKGM FKG UI dengan
keluhan rasa kasar di kedua pipi bagian dalam serta sariawan yang terasa sakit di
lidah sebelah kiri sejak beberapa minggu terakhir dan membuatnya sulit bicara
serta menelan. Sariawan tersebut telah ada sejak 2 tahun yang lalu dan tidak
pernah sakit sebelumnya. Saat ia memeriksa sariawannya, ia melihat adanya
bintik-bintik merah di langitannya. Riwayat merokok sejak 35 tahun yang lalu.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja klasifikasi dari lesi putih (developmental, inflamatori, dan
neoplasia)?
2. Apa saja etiologi dan faktor predisposisi dari lesi putih?
3. Bagaimana patogenesis dari lesi putih?
4. Apa saja gejala klinis dari lesi putih?
5. Apa saja pemeriksaan (subjektif, objektif, penunjang/radiologi) yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis pembanding lesi
putih?
6. Bagaimana tata laksana untuk perawatan lesi putih (kemoterapi/radioterapi)?
7. Bagaimana persiapan sebelum dan sesudah perawatan radioterapi/
kemoterapi?
8. Apa saja manifestasi oral dan komplikasi (jar. keras dan lunak) akibat
perawatan kemoterapi/radioterapi untuk kasus lesi putih?
9. Apa saja obat yang diperlukan untuk menangani lesi putih?
10. Bagaimana prosedur rujukan untuk kasus lesi putih?

3
1.3. Analisis Masalah

1.4. Hipotesis
Pasien pria 47 tahun memiliki lesi putih yang diduga keganasan yang diperberat
oleh kebiasaan merokok.

1.5. Sasaran Belajar


1. Menjelaskan klasifikasi dari lesi putih (developmental, inflamatori, dan
neoplasia)
2. Menjelaskan etiologi dan faktor predisposisi dari lesi putih
3. Menjelaskan patogenesis dan gejala klinis dari lesi putih
4. Menjelaskan pemeriksaan (subjektif, objektif, penunjang) yang diperlukan
untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis pembanding lesi putih
5. Menjelaskan tata laksana untuk perawatan lesi putih (kemoterapi/radioterapi)
6. Menjelaskan persiapan sebelum dan sesudah perawatan
radioterapi/kemoterapi dan informasi ke pasien
7. Menjelaskan manifestasi oral, efek samping, dan komplikasi (jar. keras dan
lunak) akibat perawatan kemoterapi/radioterapi untuk kasus lesi putih
8. Menjelaskan obat yang diperlukan untuk menangani lesi putih
9. Menjelaskan prosedur rujukan untuk kasus lesi putih

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi Umum Lesi Rongga Mulut

Lesi adalah suatu kelainan patologis pada jaringan yang menimbulkan gejala. Lesi
terbagi atas lesi primer (pertama kali timbul) dan lesi sekunder (timbul setelah lesi primer).

Berikut adalah macam-macam lesi lunak pada rongga mulut:


1. Lesi Primer
No Nama Keterangan Gambar Lesi
Lesi
1. Makula - Titik sampai bercak
- Diameter dari beberapa mm hingga
cm
- Datar/ tidak terlihat meninggi
- Warna
o Berasal dari vaskularisasi
 Warna: merah kecoklatan
 Bila ditekan berwarna pucat
 Misalnya hiperemia
o Berasal dari pigmen darah
 Warna: merah kebiruan
 Misalnya petekie, purpura,
ekimosis (hematom)
o Berasal dari pigmen melanin
 Warna: biru kecoklatan
 Misalnya hiperpigmentasi
2. Papula - Lesi padat dan timbul
- Diameter kurang dari 1 cm
- Permukaan papula: erosi atau
deskuamasi
- Makula dan papula terasa gatal,
perih, dan nyeri
- Misal: lichen planus (pada mukosa)
adalah papula putih; fordyce’s spot
adalah anomali pertumbuhan
dimana kelenjar lemak tumbuh
ektopik.
3. Plak - Diameter lebih dari 1 cm
- Misalnya: leukoplakia, yaitu lesi pra-
ganas

5
4. Nodula - Suatu massa yang padat
- Menonjol dengan tebal, diameter
kurang dari 1 cm
- Tumor jinak dari jaringan ikat yang
terjadi karena iritasi kronis (iritasi
ringan yang terus menerus)
- Dapat hilang sendiri atau tidak,
setelah iritasi kronis dihilangkan
(misalnya eksisi)
- Misalnya: iritasi fibroma
5. Vesikula - Suatu benjolan kulit berisi cairan dan
berbatas jelas
- Diameter kurang dari 1 cm
- Misalnya: cacar air

6. Bulla - Suatu benjolan kulit berisi cairan


dengan diameter lebih dari 1 cm
- Dapat terbentuk karena adanya
trauma mekanis atau gesekan
- Misalnya: pemphigus vulgaris

7. Pustula - Suatu vesikel yang berisi eksudat


purulen
- Misalnya: penyakit impetigo, pada
kulit berupa bisul-bisul kecil

8. Keratosis - Penebalan yang abnormal dari


lapisan terluar epitel (stratum
korneum)
- Berwarna putih keabuan
- Misalnya: linea alba bukalis,
leukoplakia, lichen planus
9. Wheal - Suatu papula atau plak yang
berwarna merah muda, edema, dan
berisi serum
- Edema kulit yang menjadi
gelembung yang hanya muncul
singkat dan menimbulkan rasa gatal
- Misalnya: gigitan nyamuk dan
urtikaria

6
10. Tumor - Massa padat, besar, meninggi, dan
berukuran lebih dari 1-2 cm
- Tumor bisa ganas atau jinak
- Misalnya: kanker payudara versus
limfoma (tumor jinak yang sebagian
besar terbentuk dari jaringan
adipose).

2. Lesi Sekunder
No Nama Keterangan Gambar Lesi
Lesi
1. Erosi - Hilangnya epitel di atas lapisan basal
- Dapat sembuh tanpa jaringan parut
- Misalnya: kulit setelah mengalami
suatu lepuhan atau vesikel yang
pecah
2. Ulser - Hilangnya epidermis dan lapisan
kulit yang lebih dalam (hilangnya
epitel yang meluas di bawah lapisan
sel basal)
- Misalnya: SAR, Behcet’s Syndrome

3. Fisura - Retak linier pada kulit yang meluas


melalui epidermis dan memaparkan
dermis
- Dapat terjadi pada kulit kering dan
inflamasi kronis
- Suatu celah dalam epidermis
- Misalnya: fissure tongue, geographic
tongue
4. Sikatriks - Pembentukan jaringan baru yang
berlebihan dalam proses
penyembuhan luka
- Misalnya: keloid
5. Deskuam - Pengelupasan lapisan epitel (stratum
-asi korneum)
- Bisa terjadi secara fisiologis 
pelepasan epitel sehingga kulit
mengalami regenerasi
6. Sinus - Suatu saluran yang memanjang dan
rongga supuratif, kista atau abses
- Misalnya: abses periapikal

7
2.2 Klasifikasi Lesi Putih Berdasarkan Morfologi

Lesi putih adalah perubahan apapun pada mukosa yang dikarakteristikkan dengan
penampilan yang putih, pucat, atau opak tanpa adanya pembesaran yang signifikan, eritema,
atau ulserasi.

Gambaran Diagnostik dan Klasifikasi Lesi Putih di Mukosa

Lesi putih di mukosa tampak putih karena perubahan beberapa jaringan yang mengaburkan
visualisasi dari penampilan normalnya yang berwarna merah muda sebagai hasil dari
vaskularisasi jaringan konetif dibawahnya. Hal ini bisa terjadi karena penebalan epitel,
adanya material di permukaan, atau adanya perubahan mukosa yang menyebabkan penurunan
densitas pembuluh darah. Fitur ini akan berfungsi sebagai dasar dalam klasifikasi diagnosis
banding lesi putih dalam rongga mulut, karena tiga mekanisme ini secara konsisten
menghasilkan perbedaan klinis yangmudah diidentifikasi. Dibawah ini terdapat tabel
diagnosis banding awal untuk lesi putih dalam rongga mulut.

Lesi mukosa putih tanpa


pembesaran

- Asimptomatik - Simptomatik
- Asimptomatik
- Opak - Opak
- Translusen
- Kasar - Kasar
- Lembut
- Tidak dapat hilang jika - Halus
- Tidak dapat hilang jika
diusap - Jika diusap dapat hilang
diusap
- Menetap atau namun akan meninggalkan
- Statis atau
berkembang lecet (merah dan sakit)
berkembang
- Mungkin menjadi - Adanya regresi
- Mungkin terdapat
penyebab atau (penyembuhan)
penyebab
kofaktor - Mungkin terdapat penyebab

Penebalan Epitel Material Permukaan Perubahan Subepitel

8
1. Gambaran Klinis Lesi karena Penebalan Epitel

Penebalan pada permukaan epitel superifisal memberikan kombinasi yang jelas dari
gambaran klinis selain penampilan warna putih. Penebalan epitelium terdiri dari keratin yang
berlebihan sehingga tekstur permukaan akan terlihat kasar ketika dikeringkan dengan udara
atau kapas kasa. Sebagai tambahan, keratin akan menghasilkan penampilan yang opak
dibandingkan translusensi disebagian besar lesi putih. Keratin yang menempel susah untuk
dihilangkan sehingga lesi akan tampak tidak berubah setelah diusapkan dengan kasa atau
dikerik dengan instrumen yang tumpul. Karena epitheliumnya masih utuh maka tidak
terdapat sensasi rasa nyeri, terbakar, atau sakit ketia area ini terkelupas. Kombinasi-
kombinasi ini yang ditemukan pada penemuan klinis dapat menjadi bukti yang kuat bahwa
lesi putih ini merupakan akibat penebalan epitel.

2. Gambaran Klinis Lesi karena Material Permukaan

Lesi putih yang dikarakteristikkan oleh material permukaan juga terlihat opak dan kasar
ketika kering. Perbedannya dengan penebalan epitel, material lesi sering terlihat halus atau
rapuh dan saat diusap lesi putih akan hilang secara signifikan. Pada banyak kasus,
penampilan ulser atau eritema pada mukosa akan terlihat setelah peghilangan debris
superfisial. Hal ini menjelaskan mengapa pasien sering merasa tidak nyaman seperti terbakar.
Jika material permukaan merupkan sisa makanan, akumulasi dari materia alba yang tebal,
atau plak, maka area ini tidak akan terasa sakit dan permukaan mukosa dibawahnya akan
terlihat normal.

3. Gambaran Klinis karena Perubahan Subepitel/Submukosa

Lesi putih atau pucat dikarakteristikkan dengan berkurangya vaskularisasi dibawahnya


ditutupi oleh epitel normal, yang terlihat halus dan translusen dibandingkan dengan lesi putih
lain yang terlihat opak dan kasar. Tidak ada rasa sakit atau sensasi terbakar yang timbuk
karena epitelnya masi utuh dan saat dicoba untuk diusap atau dikerik tidak akan terlihat
adanya perubahan.

2.2.1 Lesi Putih Karena Penebalan Epitel

1. Physiologic Hyperkeratosis
a. Definisi
Physiologic hyperkeratosis terdiri dari penebalan mukosa epitelium
sebagai respon terhadap gesekan yang berulang. Ini adalah analog dari
pembentukan callus pada area kulit yang terkena usapan atau iritasi fisik dalam
periode waktu yang lama. Physiologic hyperkeratosis merupakan lesi putih
akibat penebalan epitel yang paling sering terjadi. Linea alba merupakan bentuk
umum dari physiologic hyperkeratosis dan sudah dianggap sebagai variasi
normal dalam rongga mulut. Chronic chewing dan mengisap pipi menghasilkan

9
lapisan tipis berwarna putih di mukosa bukal, bilateral, dan sejajar dengan
bidang oklusal. Penyebab umum dari physiologic hyperkeratosis termasuk
permukaan gigi yang tajam, appliances, dan fungsi mastikasi pada edentulous
ridge karena tidak adanya protesa. Iritasi galvanik akibat arus listrik lemah yang
dihasilkan oleh restorasi logam yang berbeda juga dilaporkan menyebabkan
terjadinya physiologic hyperkeratosis.
b. Gambaran Klinis
Lesi ini memiliki tampilan opak, putih, homogen, dengan tepi yang tajam.
Prosesnya biasanya fokal dan lokasinya dapat langsung berhubungan dengan
sumber terjadinya gesekan yang berulang. Pasiennya asimptomatik dan tidak
menyadari adanya abnormalitas kecuali secara tidak sengaja terjadi cedera
tambahan pada jaringan. Physiologic hyperkeratosis tidak akan berubah kecuali
sumber iritasi dihilangkan. Pada kasus ini resolusi biasanya dilakukan dalam
beberapa minggu. Hiperkeratosis dapat berkembang menjadi lebih banyak atau
menyebar jika beberapa area, baik itu luas atau banyak, terkena gesekan seperti
orthodontic brackets dan fungsi mastikasi pada pasien edentulous yang tidak
menggunakan gigi tiruan.

c. Diagnosis Banding
Kedekatan sumber gesekan terhadap lokasi dari lesi putih dan resolusi
setelah penghilangan penyebabnya adalah elemen penting dari diagnosis. Tepi
yang tidak jelas, ulserasi fokal, variasi penebalan, atau warna yang heterogen
dari area putih lebih merujuk ke epitel displasia dan squamous cell carcinoma
tahap awal. Palatum lunak, dasar mulut, dan bagian dalam dari facial vestibule
adalah lokasi yang tidak biasa untuk physiologic hyperkeratosis kecuali terdapat
protesa yang overextended.

10
d. Perawatan
Perawatannya adalah penghilangan sumber iritasi dan re-evaluasi lesi
dalam 1-2 minggu. Pada kasus dimana penghilangan penyebab tidak mungkin
dilakukan, seperti cheek biting, pemeriksaan ulang secara periodik untuk
mengkonfirmasi sidat statisnya dapat dilakukan. Frekuensi dan durasi dari
pemeriksaan ulang bergantung pada keyakinan dokter bahwa lesi merupakan
hasil dari respon fisiologis. Kegagalan lesi untuk dihilangkan setelah
penghilangan penyebab memerlukan pemeriksaan biopsy dan histopatologi.

2. Epithelial Dysplasia and Early Squamous Cell Carcinoma


a. Definisi
Epitel displasia adalah perubahan nonmalignant dalam diferensiasi,
pengembangan, dan pematangan lapisan sel epitel. Squamous cell carcinoma
adalah proliferasi neoplastic malignant dari lapisan sel epitel. Kedua kondisi ini
dapat menghasilkan lesi yang identik dari penebalan epitel fokal dengan istilah
klinis leukoplakia. Squamous cell carcinoma adalah penyakit keganasan yang
paling sering ditemukan di rongga mulut dan salah satu dari beberapa kondisi
yang berpotensi fatal. Sayangnya, sebagian dari lesi ini pada akhirnya akan
menghasilkan kerusakan jaringan yang merupakan karakteristik dari neoplasia
ganas, sehingga diagnosis dini dan penghilangan lesi adalah prioritas klinis
dalam diagnosis banding dari lesi putih pada umumnya.
Penyebab umum dari keduanya adalah kebiasaan terpapar oleh tembakau
dan alkohol. Perkembangan lesi displastik akibat paparan tampaknya
membutuhkan waktu yang lama karena leukoplakia tidak biasa terjadi pada
pasien sebelum usia 40 tahun dan lebih khas setelah usia 50 tahun.
Meningkatnya kerentanan terhadap perkembangan lesi epitel premalignant dan
malignant di rongga mulut juga berhubungan dengan beberapa kondisi yang
mempengaruhi sistem lain seperti anemia Fanconi, sindrom Plummer-Vinson,
dan erosive lichen planus.
b. Gambaran Klinis
Epitel displasia dan squamous cell carcinoma tahap awal dapat
menghasilkan bercak putih fokal di oral mukosa yang secara superfisial terlihat
serupa dengan physiologic hyperkeratosis. Pemeriksaan lebih dekat setelah
pengeringan permukaan mukosa, biasanya akan memperlihatkan bahwa tekstur

11
permukaan dari lesi displastik lebih kasar atau lebih berkerut. Variasi dalam
warna merupakan ciri kasnya dan mungkin terdapat campuran warna putih dari
berbagai macam shades, fokus berbintik merah, dan ulserasi, yang semuanya
mencerminkan variabel ketebalan epitel. Tepinya sering tidak jelas atau
irregular pada beberapa area, atau beberapa lesi yang terpisah yang dapat
dikelompokkan dalam wilayah umum yang sama. Pasiennya biasanya berusia 50
tahun keatas dengan riwayat penggunaan alkohol dan tembakau.

c. Diagnosis Banding
Identifikasi sumber spesifik iritasi atau gesekan yang berulang adalah hal
penting dalam membedakan physiologic hyperkeratosis dan displasia atau
neoplasia tahap awal. Tidak adanya penyebab spesifik atau kegagalan lesi untuk
dihilangkan setelah penghilangan penyebab merupakan indikasi kuat bahwa lesi
putih fokal merupakan premalignant atau malignant. Khususnya ketika lesi
terletak di palatum lunak, dasar mulu, dan facial vestibule dimana iritasi akibat
gesekan jarang terjadi. Pengamatan tambahan seperti penampilan yang
heterogen, tepi yang tidak jelas, pasien usia lanjut, atau penggunaan kronis dari
karsinogen dapat memperkuat asumsi klinisi bahwa lesi adalah displastik atau
ganas sempai terbukti sebaliknya.
Lesi putih akibat penebalan epitelium yang menyebar, multifocal, dan
jinak biasanya dapat dibedakan dengan lesi putih displastik dari lokasi, distribusi
beberapa lesi, pernampilan homogen pada permukaan, dan riwayat pasien.
Beberapa kondisi seperti actinic keratosis, lichen planus, dan lesi yang berkaitan
dengan penggunaan tembakau, biasanya berkaitan dengan peningkatan insiden

12
squamous cell carcinoma. Perkembangan dari displasia atau neoplais malignant
pada lesi jinak terlihat oleh adanya penampilan yang heterogen pada fokal area,
ulserasi, atau penebalan nodular.
d. Perawatan
Kecurigaan akan displasia atau neoplasia ganas memerlukan eksisi dan
diagnosis histopatologis dari lesi karena adanya ancaman serius akan morbiditas
dan mortalitas yang ditimbulkan oleh lesi ini. Kecurigaan dapat muncul pada
pemeriksaan awal, setelah masa observasi terlihat perkembangan dari lesi, atau
ketika lesi putih gagal untuk hilang setelah penghilangan penyebab iritasi.
Biopsi insisi mungkin lebih baik pada kasus lesi besar untuk mendapatkan
diagnosis yang pasti dari displasia atau squamous cell carcinoma sehingga dapat
dilakukan prosedur bedah yang luas untuk menghilangkan seluruh lesi. Area
inisisi harus dipilih secara hati-hati agar dapat menggambarkan keseluruhan
spektrum dari gambaran klinis yang diamati. Pemeriksaan sitologi dengan
mengerik permukaan lesi yang dicurigai mengalami perubahan displasia atau
neoplastik umumnya tidak produktif dan menunda diagnosis histopatologi yang
pasti.
Laporan biopsi harus mendapatkan perhatian khusus mengenai indikasi
gambaran sel dari lesi, perpanjangan abnormalitas sel sampai ke margin, dan
setiap rekomendasi perawatan yang diberikan oleh ahli patologi. Ahli patologi
harus dihubungi jika masi terdapat ketidakpastiaan mengenai diagnosis
histopatologis.

3. Nicotinic Stomatitis
a. Definisi
Nicotinic stomatitis adalah respon dari jaringan palatal terhadap iritasi
berulang dari kebiasaan merokok tembakau dari pipa atau cerutu. Panas dari
rokok tampaknya menjadi faktor yang sangat berkontribusi terhadap lesi ini
karena asap panas dari cerutu dan pipa dapat menghasilkan lesi yang lebih
menonjol dibandingkan kebiasaan merokok.
b. Gambaran klinis
Palatum keras akan terlihat diffuse, berwarna putih keabu-abuan, terdapat
diskolorasi opak yang secara bertahap memudar menjadi warna merah muda
normal pada palatum lunak. Contoh dari nicotinic stomatitis adalah tampilan

13
permukaan yang berkertu atau ber-fissure dengan sedikit penebalan.
Diskolorasinya biasanya homogen dengan banyak bintik-bintik eritema merata
pada permukaan lesi dibagian posterior dari palatum keras. Penampilan ini
terjadi karena adanya inflamasi pada orifis dari duktus kelenjar saliva minor.
Biasanya juga terdapat eritema pada tonsil/ Noda tembakau pada gigi dan bau
tembakau yang terlihat pada pasien dapat menegakkan penyebab dari lesi.

c. Diagnosis Banding
Kombinasi dari kebiasaan merokok menggunakan pipa atau cerutu dan
penampilan khasnya pada palatum sudah dapat mengeggakan diagnosis pada
sebagian besar kasus. Diagnosis banding pada beberapa kasus adalah kecurigaan
akan epitel displasia atau neoplasia yang berkembang dari nicotinic stomatitis
yang sudah lama terjadi. Terdapat kemungkinan adanya ulserasi yang tidak
sembuh, penampilan fokal yang heterogen, dan penebalan fokal tetapi ini semua
jarang terjadi.
d. Perawatan
Diagnosis pasti dari nicotinic stomatitis biasanya mudah untuk ditegakkan
pada sebagian besar kasus, sehingga biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak
perlu untuk dilakukan. Pasien harus diberitahukan mengenai abnormalitas ini
dan diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya. Jika pasien mengikuti
saran dari dokter, resolusi bertahap dari lesi dapat terjadi dalam beberapa bulan.
Biopsi perlu dilakukan jika terdapat gambaran klinis yang menunjukkan
kemungkinan lesi adalah epitel displasia atau neoplasia.

14
4. Hyperkeratosis disebabkan oleh penggunaan tembakau tanpa rokok
a. Definisi
Penebalan epitel seperti plak yang dihasilkan oleh penggunaan tembakau
tanpa rokok memiliki banyak istilah lain seperti “snuff dipper’s pouch”.
Hubungan sebab akibat dari penggunaan tembakau ditunjukkan dari lokasi
abnormalitas yang berada tepat dimana tembakau biasanya diletakkan. Adanya
efek karsinogenik pada tembakau meningkatkan kecurigaan bahwa karsinoma
dapat berkembang dalam lesi ini. Tetapi untuk dapat berkembang menjadi
karsinoma membutuhkan pemaparan dalam waktu yang lama dan biasanya
jarang terjadi. Bentuk umum dari kanker oral disebabkan oleh tembakau tanpa
rokok adalah squamous cell carcinoma tingkat rendah dan verrucous carcinoma.
Penggunaan tembakau tanpa rokok di wilayah Aisa lebih berisiko untuk menjadi
karsinoma karena adanya material karsinogenik yang ditambahkan pada
tembakau.
b. Gambaran Klinis
Lesi putih hyperkeratosis hasil dari tembakau tanpa rokok biasanya
seragam, penebalan seperti plak dengan warna putih homogen, putih keabu-
abuan, atau gelap. Permukaannya kasar dengan pola reticular yang seragam
dengan kerutan dan lipatan pada lesi. Lesi mempengaruhi mukosa alveolar
labial, buccal, dan fasial pada lokasi dimana pasien biasa meletakkan
tembakaunya. Lesi yang dihasilkan dapat berupa lesi fokal yang besar, terletak
dibanyak tempat, atau perubahan mukosa yang menyebar bergantung pada
kebiasaan pasien. Lesi fokal umunya memiliki margin yang terlihat jelas.

15
c. Diagnosis Banding
Pathognomonik dari lesi ini adalah penampilannya di mukosa dan riwayat
kebiasaan. Seperti nicotinic stomatitis, diagnosis bandingnya adalah efek
kasrinogenik akibat permaparan berulang dari tembakau. Gambaran yang
mengindikasikan adanya transisi dari lesi reaktif menjadi lesi neoplastic adalah
penampilan yang heterogen, ulser yang tidak sembuh, dan penebalan verrucous
yang berlebih di satu atau lebih area lesi. Biasanya terjadi pada pasien dengan
kebiasaan ini selama bertahun-tahun atau kebiassan mengunyahnya dengan
material lain seperti yang dilakukan di Asia.
d. Perawatan
Pasien harus diinformasikan konsekuensi dari kebiasaannya dan diminta
untuk menghentikannya. Jika pasien patuh, maka lesi akan sembuh bertahap
dalam beberapa minggu atau bulan. Lesi yang menetap lebih dari beberapa
bulan setelah kebiasaan dihentikan harus dieksisi dan dilakukan pemeriksaan
histopatologi. Eksisi juga diindikasikan untuk lesi yang pada penemuan klinis
merujuk pada neoplasia ganas.
Masih belum diketahui pendekatan yang perlu dilakukan jika tidak
ditemukan bukti klinis adanya keganasan dan pasien menolak untuk
menghentikan kebiasaannya. Bedah eksisi tidak dilakukan karena ukuran luka
yang besar dan kecenderungan pasien yang meminta untuk menggunakan area
lain. Biopsi insisi tidak perlu dilakukan dalam menegakkan diagnosis, dan
identifikasi dini terhadap lesi displastik atau neoplastik juga tidak diperlukan
karena spesimen insisi tidak bisa mewakili lesi secara keseluruhan. Pada kasus
ini diperlukan evaluasi secara periodik untuk melihat tanda displasia atau
neoplastik.

5. Hairy Tongue
a. Definisi
Hairy tongue adalah papilla filiformis yang memanjang dan menyebar di
dorsum lidah. Organisme candida umumnya berkaitan dengan hairy tongue.
Adanya candidiasis pada permukaan superfisial akan menstimulasi hyperplasia
epitel menghasilkan permukaan yang tebal. Kondisi ini biasanya dijumpai pada
perokok dan pasien dengan OH buruk. Noda sekunder pada permukaan yang

16
menebal akibat kopi, teh, atau tembakau dapat menjelaskan mengapa terdapat
istilah “black hairy tongue”.
b. Gambaran Klinis
Terlihat simetris, “shaggy” matte pada permukaan dorsal lidah.
Perluasannya bervariasi, tetapi lateral border dan ujung dari lidah yang terekspos
oleh gesekan yang berulang jarang terlibat. Warna dari lesi ini bervariasi dari
putih keabu-abuan sampai hitam bergantung dari kebiasaan pasien. Pengerikkan
yang kuat dengan menggunakan instrumen yang tumpul akan menghilangkan
beberapa material yang terletak di superfisial dan memperlihatkan permukaan
putih yang tidak ternoda. Lesi biasanya menebal disekitar midline dan menipis
saat di lateral border dan ujung lidah.

c. Diagnosis Banding
Lokasi, simetri, dan penampilan yang berfilamen pada lidah sudah dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis. Candidiasis juga memilki penampilan
yang serupa, tetapi biasanya biasanya terdapat lesi tambahan, material di
superifisial dapat dengan mudah hilang hanya dengan diusap, dan riwayat yang
secara jelas mengatakan bahwa pasien memiliki resistensi terhadap infeksi.
Lokasinya juga lebih sering pada lateral border dibandingkan dibagian tengah
dari dorsal lidah. Hairy leukoplakia memiliki margin yang tajam, permukaan
putih yang tidak mudah untuk dihilangkan jika diusap, dan pasien biasanya
memiliki gejala lain dari AIDS.

17
d. Perawatan
Tidak ada perawatan yang diperlukan selain peningkatan OH pasien.
Ketika pasien diinstruksikan untuk membersihkan lidah atau mengerik
permukaan lidah secara ruti dengan sendok, biasanya akan terlihat adanya
peningkatan.

6. Actinic Cheilitis
a. Definisi
Actinic cheilitis adalah perubahan pada bibir bawah karena pemaparan
kronis terhadap sinar matahari. Spektrum dari sinar UV dapat menyebabkan
kerusakan sel pada epitelium dan jaringan konektif dibawahnya. Orang berkulit
putih lebih rentan mengalami actinic skin dan kerusakan bubur dibandingkan
dengan yang berkulit hitam dan orang Amerika Latin. Cederanya merupakan
proses kronis yang memerlukan pemaparan sinar matahari berlebih dalam waktu
yang lama. Biasanya pasien berumur lebih dari 60 tahun dan senang beraktivitas
di luar ruangan. Actinic cheilitis merupakan lesi premalignant dan diperluka
biopsi untuk melihat apakah ada tanda-tanda displastik. Perkembangan menjadi
karsinoma bibir biasanya berkaitan dengan kofaktor seperti merokok.
b. Gambaran Klinis
Pasien yang terkena actinic cheilitis biasanya adalah pasien berumur diatas
60 tahun , berkulit putih, dan memiliki riwayat terpapar sinar matahari.
Permukaan bibir bawah yang terpapar sinar matahari biasanya akan menebal
dan mengalami atropi dengan gambaran yang tidak jelas pada vermilion border.
Biasanya terdapat bercak putih seperti susu yang homogen, dan fokal pada
permukaan lidah yang atropi. Area ini terlihat halus disertai sedikit penebalan
dengan kontur yang irregular pada peripheral border. Bercak ini akan menetap
selama bertahun-tahun dan tidak akan berubah setelah pengamatan selama
berbulan-bulan. Biasanya pada kulit fasial terlihat adanaya variasi sepertinoda
pada pigmentasi kulit, scaly atrophic patches, atau plak gelap, tebal disebut
seborrheic keratosis.

18
c. Diagnosis Banding
Actinic cheilitis dapat dibedakan dari cedera akut yang disebabkan oleh
terbakar sinar matahari, kering atau pecah-pecah, lesi herpes sekunder dengan
menyembuhkan lesi dalam beberapa hari atau minggu. Physiologic
hyperkeratosis yang mengenai bibir juga memiliki penampilan yang serupa,
tetapi kebiasaan atau appliances biasanya merupakan penyebab pasti dan pasien
tidak menunjukkan adanya actinic skin lesions. Terkadang terjadi transisi actinic
cheilitis dari premalignant, kondisi reaktif menjadi karsinoma bibir. Hal ini
terjadi secara bertahap dan dalam periode waktu yang lama. Perubahan
penampilan dari bercak putih termasuk warna yang heterogen, penebalan yang
kasar, gambaran tepi yang buruk, dan ulser yang tidak sembuh adalah tanda
awal dari karsinoma.
d. Perawatan
Proteksi dari paparan sinar matahari dengan menggunakan topi dan
pelembab bibir yang mengandung tabir surya disarankan. Penyebab dari actinic
lip injury dan kemungkinan kanker pada bibir bawah harus dijelaskan kepada
pasien dengan actinic cheilitis agar pasien membatasi dirinya terpapar sinar

19
matahari dan menghentikan kebiasaan buruknya yang dapat menjadi faktor
pendukung seperti merokok. Lokasi yang mudah dilihat, membuat pasien dapat
memperhatikan adanya perubahan yang mengarah pada karsinoma. Pemeriksaan
berkala terhadap perubahan yang terjadi atau adanya perkembangan dari lesi
saat kontrol dapat membantu dalam memberikan perawatan yang adekuat. Jika
terdapat indikasi adanya perkembangan dari karsinoma, maka diperlukan biopsi
eksisi. Biasanya dapat dilakukan dengan prosedur “lip stripping” dimana
seluruh permukaan bibir yang terpapar sinar matahari dihilangkan. Prognosis
dari kanker pada bibir bawah dan sinar UV yang menginduksi kanker kulit
adalah baik sampai sangat baik.

7. Leukoedema
a. Definisi
Penyebabnya masih belum diketahui, tetapi biasa terjadi pada beberapa
kelompok pasien, seperti orang berkulit hitam, yang mengindikasikan adanya
pengaruh keturunan. Lokasinya yang dapat dipredikisi dan kondisinya yang
non-progresif membuat leukodema tampak seperti variasi dari jaringan normal
diantara kelompok pasien yang sering terkena.
b. Gambaran Klinis
Adanya lesi di mukosa bukal yang berwarna putih seperti susu, menyebar,
homogen, dan sedikit berkerut dengan distribusi yang simetris. Pada area lesi
tidak terlihat adanya penebalan, tidak bisa di raba, dan tidak hilang saat diusap.
Gejala pathognomonic dari leukodema adalah warna putihnya akan menghilang
atau berkurang secara signifikan ketika mukosa bukal diregangkan.
c. Diagnosis Banding
Lokasi dimana terdapat lesi berwarna putih dan menghilangnya lesi saat
diregangkan dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Distribusi simetris
dari lesi putih yang disebabkan oleh white sponge nevus dan lichen planus
terlihat serupa seperti leukoedema. White sponge nevus tampak lebih tebal.
Reticular atau hyperplastic lichen planus menghasilkan pola seperti renda
berbentuk garis dan bercak putih dibandingkan warna putih yang homogen dan
lesi ini tidak hilang saat diregangkan.
d. Perawatan
Tidak ada perawatan yang diperlukan.

20
8. White Sponge Nevus
a. Definisi
White sponge nevus adalah kondisi genetik yang menghasilkan penebalan
epitel yang kasar dan berwarna putih pada mukosa oral dengan distribusi yang
simetris. Pola terjadinya yang merupakan keturunan menunjukkan adanya
transmisi dominan autosomal. Kondisi ini biasanya terlihat jelas selama masa
anak-anak dan permukaan mukosa lain bisa saja terlibat.
b. Gambaran Klinis
Lesi dari white sponge nevus terlihat tebal, putih, kasar, dengan
permukaan ber-fissure. Ciri khasnya adalah adanya bercak pada kedua
permukaan mukosa bukal dan lesi yang simetris. Lesi ini asimptomatik, tidak
bisa hilang saat diusap, dan tidak menunjukkan adanya perkembangan.

c. Diagnosis Banding
Lesi putih yang menebal, terjadinya karena keturunan, onsetnya pada masa
anak-anak, dan distribusinya yang simetris dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis dari lesi ini. Lesi oral white sponge nevus serupa dengan beberapa
kondisi genetik lain yang jarang terjadi seperti hereditary benign intraepithelial
dyskeratosis, tetapi pada penyakit lainnya biasanya terdapat abnormalitas pada
conjunctiva, kulit, atau kuku.
d. Perawatan
Tidak diperlukan perawatan atau evaluasi secara berkala karena
kondisinya yang asimptomatik dan jinak. Penting untuk meyakinkan pasien dan
keluarganya mengenai keadaan lesi ini. Biopsi insisi untuk menegakkan
diagnosis tidak diperlukan kecuali pada kasus yang sporadis dimana anggota

21
keluarga yang lain tidak ada yang terkena atau jika merupakan kondisi epitel
genetik lain yang ditandai dengan adanya lesi pada permukaan nonmukosa.

9. Lichen Planus
a. Definisi
Lichen planus merupakan kondisi umum dengan ciri lesi multiple
kronispada kulit, membran mukosa, atau keduanya. Lesi ini disebabkan oleh
degenerasi yang termediasi imun diantara permukaan jaringan epitelium dan
ikat. Tampilan klinisnya bervariasi sehingga dapat diklasifikasikan kedalam 5
tipe yang berbeda. Jika bentuk lesi reticular dan papular lichen planus, maka lesi
diklasifikasikan sebagai lesi putih mulut akibat penebalan epitelium. Jika lesi
atrofik, erosif, dan bullous, maka lesi diklasifikasikan sebagai ulser.
Prevalensi pasien yang menderita lichen planus adalah pada usia
pertengahan (>30 tahun), tanpa adanya kecenderungan jenis kelamin. Tipe klinis
dari penyakit ini adalah salah satu lesi persisten dan kronis dengan periode
perubahan untuk peningkatan dan perkembangannya. Faktor predisposisi yang
dapat mempengaruhi keparahan termasuk stress emosional, iritasi lokal, dan
obat tertentu.
Beberapa macam obat, yang seing diresepkan adalah thiazides, dapat
menimbulkan lesi identik dengan lichen planus sebagai efek samping (lichenoid
reaction). Menghentikan penggunaan obat terkadang dapat meredakan lesi.
Hampir 1/3 pasien lichen planus juga memiliki lesi di kulit.
Terdapat beberapa peningkatan insidensi penyakit kanker mulut diantara
pasien dengan penyakit lichen planus, tapi peningkatannya rendah. Peningkatan
insidensi ini biasanya berhubungan dengan bentuk erosif dari lichen planus
dibandingkan dengan bentuk retikuler yang lebih umum terjadi.
b. Gambaran Klinis
Lichen planus retikuler akan memperlihatkan jaringan garis putih berenda
yang sering disebut Wickham’s striae. Tepi perifernya bisa berbatas jelas atau
secara bertahap memudar ke penampilan normalnya. Lesi ini asimptomatik dan
tidak dapat hilang ketika diusap. Lesi multiple dapat ditemukan terdistribusi
simetris dan sering terlihat pada mukosa bukal. Lesi yang terdapat di lidah,
dasar mulut, mukosa labial, dan palatum jarang terjadi. Lichen planus popular
tampak setempat dan sedikit meninggi dengan permukaan datar dan halus

22
sampai kasar. Ketika terdapat lesi pada kulit, terdapat papula tidak berjaringan
parut yang beragregasi dan bersatu. Lesi ini gatal sehingga permukaannya
mungkin berupa krusta akibat pengarukan. Areas yang sering terjadi adalah
permukaan fleksor di ekstermitas, maupun permukaan kulit lainnya.

c. Diagnosis Banding
Tampilan berenda, retikuler, dan distribusi simetris yang didkung dengan
adanya lesi pada kulit sudah dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
lichen planus. Lesi putih bilateral pada mukosa bukal serupa dengan white
sponge nevus dan leukodema. Jika white sponge nevus, maka dapat dibedakan
dengan tampilan yang lebih dramatais, onsetnya pada usia yang lebih muda, dan
adanya faktor keturunan. Jika leukodema, maka lesi putih akan hilang saat
diregangkan, sedangkan lichen planus tidak.
Lichen planus papular dapat tampak serupa dengan lesi leukoplakia dan
perlu diperhatikan adanya kemungkinan epitel displasia atau squamous cell
carcinoma awal. Lichen planus papular akan muncul secara multiple, sedangkan
lesi displasia seringkali terisolasi. Perbedaan dari lichen planus dengan lichenoid
drug reaction pad apasien yang sedang menerima medikasi penyebab reaksi
yang didapat, bisa dilakukan dengan menghentikan obat tersebut. Tentunya
penghentian obat harus dilakukan dengan konsultasi terlebih dahulu. Seteleh
penghentian obat lichenoid reaction akan mereda, tetapi lichen planus tidak.
d. Perawatan
Biopsi insisi mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosisnya
ketika tidak ditemukan adanya lesi kulit. Kondisi ini tidak dapat sembuh dengan
medikasi, tetapi lesi terasa sakit/nyeri dan erosif, sehingga dapat ditangani
dengan kortikosteroid sistemik atau topikal. Tidak ada perawatan lain yang perlu

23
dilakukan, bahkan pada kasus asimptomatik. Reevaluasi klinis secara periodic
untuk mengidentifikasi ulser yang tidak sembuh, pembesaran, dan karsinoma
perlu dilakukan dengan pertimbangan adanya peningkatan insidensi kanker
mulut pada pasien lichen planus.

10. Hyperplasic Candidiasis


a. Definisi
Hyperplastic candidiasis merupakan infeksi superfisial pada mukosa mulut
karena jamur Candida albicans dan beberapa spesies lainnya dari genus yang
sama. Pada semua pasien, jumlah organisme tersebut sangat banyak di mulut
tetapi infeksi umumnya tidak akan terjadi sampai ada kondisi predisposisi.
Hampir semua kondisi berpengaruh terhadap resistensi host terhadap infeksi
oportunis candida dengan mengubah resistensi lokal, defisiensi spesifik sistem
imun, atau kelemahan fisiologis umum pasien.

Dokter gigi perlu berhati-hati terhadap berbagai kemungkinan penyebab


sekunder dari oral candidiasis. Contoh yang sering terjadi adalah terapi
antibiotik untuk mengontrol infeksi bakteri yang dapat mengubah atau menekan
flora normal rongga mulut, sehingga terjadi pertumbuhan opurtunistik dari
organisme jamur, seperti spesies Lactobacillus. Sekuel dari terapi kortikosteroid
topikal untuk mengontrol kondisi lesi ulseratif mulut adalah timbulnya oral
adalah penyebab munculnya oral candidiasis. Pemasangan gigi tiruan dengan
OH buruk juga dapat menjadi penghalang dalam pembersihan organisme
superfisial dengan cara gesekan normal sehingga berujung infeksi.

24
Candidiasis dapat menimbulkan lesi yang bervariasi yang harus disadari
diagnosis bandingnya berupa lesi yang diffuse dan multifocal di mukosa oral
tanpa pembesaran. Hyperplastic candidiasis adalah infeksi jamur/yeast kronis
berupa lesi putih disertai dengan penebalan epitel dan tidak dapat hilang dengan
usapan. Pseudomembranous candidiasis sering dikenal dengan thrush dengan
karakterstik lesi putih karena penebalan akut dan dapat hilang saat diusap.
Atrophic candidiasis adalah lesi merah akibat adanay infeksi kronis dengan
tampilan kemerahan dan permukaan tipis. Baik atrophic maupun
pseudomembranous dapat menimbukan rasa sakit, terbakar, dan penipisan area
karena terjadi kehilangan integritas epitel. Pada intraoral akan terlihat adanya
candidiasis sedangkan di ekstraoralnya tepatnya di komisura labial akan terlihat
adanya infeksi akibat fissure yang tidak sembuh disebut sebagai angular
cheilitis.
b. Gambaran Klinis
Lesi putih multiple atau menyebar dengan ketebalan yang bervariasi, dan
tidak hilang dengan diusap sudah dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
huperplastic candidiasis. Tepi yang tidak jelas terlihat serupa dengan epitel
displasia jika distribusi multifocalnya tidak terihat. Area yang sering terlibat
adlaah lidah dan dapat berkembang ke berbagai permukaan mulut. Pada
pemeriksaan seringkali menunjukkan adanya eritematosa atau atropic di pinggir
lesi putih, penampilan hairy tongue, pseudomembranous lesion, atau angular
cheilitis. Pada beberapa kasus, riwayat medis atau temuan klinis menunjukkan
adanya kondisi hilangnya resistensi host terhadap infeksi. Banyak perempuan
yang mengalami candidiasis oral yang disertai juga dengan gejala kegatalan
vagina.

25
c. Diagnosis Banding
Kondisi candidiasis biasanya ditandai dengan kombinasi lesi multifocal,
tampakan lesi yang beragam, area putih setempat yang dapat hilang, dan adanya
kehilangan resistensi host. Lichen planus dapat terlihat serupa, tetapi
karakteristiknya yaitu penampilan striate (seperti jala), adanya lesi kulit, tidak
adanya resistensi host, dan lesi putih yang tidak bisa hilang dengan diusap dapat
membantu dalam membedakannya dengan candidiasis. Hyperplastic candidiasis
juga sering disamakan dengan hairy leukoplakia. Hyperplastic candidiasis akan
menunjukkan adanya perubahan ketika diberikan antimycotic, sedangkan hairy
leukoplakia tidak berubah ataupun berkembang.
d. Perawatan
Dalam menegakkan diagnosisnya, harus dilakukan konfirmasi dengan
sitologi eksfoliatif atau kultur. Ketika diagnosis candidiasis telah ditegakkan,
pasien dapat diterapi dengan agen antifungal topikal hingga 1 minggu setelah
lesi resolusi secara klinis. Pemberian agen antimycotic secara sistemik seperti
fluconazole mungkin dibutuhkan untuk infeksi resisten.
Pembersihan permukaan mukosa yang efektif dengan sikat atau dikerik
dengan sendok dapat memicu resolusi infeksi karena pembuangan fisik dari
akumulasi superfisial keratin, organisme, dan material yang berperan sebagai
reservoir. Pembersihan ini penting dilakukan khusunya pada penebalan dorsum
lidah, pemanjangan papilla, dan gigi tiruan. Perawatan yang efektif salah
satunya adalah perendaman gigi tiruan semalam dilarutan ½ sendok teh pemutih
pada 1 cangkir air atau agen antimycotic.

11. Hairy Leukoplakia


a. Definisi
Hairy leukoplakia adalah lesi putih di lidah yang unik dan umum
menyertai pasien AIDS. Lesi disebabkan oleh infeksi oportunistik Epstein-Barr
Virus pada pasien immunokompromis AIDS atau HIV-seronegatif.
b. Gambaran Klinis
Lesi putih asimptomatik yang tidak hilang dengan diusap dan umumnya
mengenai tepi lateral lidah. Ciri khas dari hairy leukoplakia adalah keterlibatan
simetris tepi lidah, dan terkadang dapat mengenai permukaan ventral dan dorsal.
Tektur permukaannya kasar, buram , bergelombang, dan kusam. Tepi lesi

26
umumnya ireguler atau bergerigi dan jelas. Hairy leukoplakia seringkali
berkembang sebelum ditemukan gambaran klinis AIDS dan bersamaan dengan
oral candidiasis.

c. Diagnosis Banding
Lesi yang memiliki penampilan serupa adalah hyperkeratosis fisiologis,
leukoplakia indiopatik, lichen planus, dan hyperplastic candidiasis.
Hyperkeratosis fisiologis disebabkan oleh permukaan gigi yang tajam atau
kebiasaan menggigit lidah, dan kurang simetris dibandingkan hairy leukoplakia.
Leukoplakia idiopatik biasanya tunggal, lesi kurang dapat dijelaskan, kebiasaan
merokok, usia yang lebih tua, dan tidak ada faktor risiko infeksi HIV. Lesi
reticular lichen planus tidak biasa timbul di tepi lateral lidah tanpa lesi di
permukaan lain dan tepi berstriata. Hyperplastic candidiasis dapat juga
mempengaruhi lidah dan mirip dengan hairy leukoplakia, tetapi lesi ini lebih
diffuse dan ada ciri khas yaitu atrofi, eritema, dan plak pseudomembranous yang
bisa dihilangkan di beberap area. Pada beberapa kasus, terlihat juga adanya
candidiasis saat teriidentifikasi hairy leukoplakia.
d. Perawatan
Biopsi inisi mungkin diperlukan jika diagnosis masih diragukan atau
infeksi HIV tidak terlihat. Tetapi, test serum HIV penting dilakukan dalam
menyimpulkan diagnosis. Hairy leukoplakia terbukti akan mengalami resolusi
setelah terapi agen antiviral seperti acyclovir. Prioritas klinis adalah rujuk medis
pasien untuk diagnosis dan penatalaksanaan penyakit.

27
2.2.2 Lesi Putih Karena Material Superfisial

Perbedaannya dengan lesi putih akibat penebalan epitel adalah lesi ini dapat dibuang
melalui penekanan perlahan ke lateral dengan kain kasa atau instrumen tumpul. Hal ini
akan memperlihatkan eritematosa atau permukaan mukosa berulser/ Perbedaannya
dengan lesi putih akibat penebalan epitel adalah lesi ini dapat dibuang melalui penekanan
perlahan ke lateral dengan kain kasa atau instrumen tumpul. Hal ini akan memperlihatkan
eritematosa atau permukaan mukosa berulser. Pasien juga mengeluhkan rasa sakit karena
ulser yang ada di bawah material superfisial tersebut. Pasien dengan OH sangat buruk
juga akan terlihat ada permukaan putih di mukosanya yang mengandung plak bakteri dan
makanan, tetapi setelah diusap akan terlihat mukosa normal.

1. Pseudomembranous Candidiasis
a. Definsi
Faktor klinis yang penting dalam menggambarkan hyperplastic candidiasis
secara umum juga berlaku dalam menggambarkan pseudomembranous
candidiasis. Perbedaannya adalah pada pseudomembranous candidiasis terjadi
infeksi mukosa superifisial yang akut sedangkan hyperplastic dan atrophic
candidiasis yang terjadi adalah fase kronis. Individu yang paling sering terkena
adalah bayi yang perkembangan sistem imunnya belum sempurna, dan pasien
imunokompeten. Hal ini dapat disebabkan oleh terapi kortikosteroid sistemik,
kemoterapi, AIDS, atau sakit akut yang melumpuhkan.
b. Gambaran Klinis
Palk putih yang tebal, diffuse, buram, atau globular yang terlihat pada
beberapa permukaan mukosa. Daerah yang paling sering terkena adalah lidah,
palatum lunak, dan mukosa bukal. Pada kasus berat, hampir seluruh rongga
mulut bisa terkena. Material terlihat opak dengan tekstur permukaan yang kasar
atau bergelatin dan dapat dengan mudah hilang saat diberi tekanan lateral
sehingga mukosa akan terlihat eritematosa, atropik, dan ulserasi. Pasien sering
menggambarkan ada rasa nyeri terbakar yang ringan dan semakin parah ketika
koagulum/gumpalan superfisial tersebut dikerik.

28
c. Diagnosis Banding
Adanya permukaan putih yang mudah dihilangkan di beberapa area serta
adanya resistensi host terhadap infeksi (pada bayi dan pasien yang berubah
status kesehatannya) sudah dapat membantu dalam menegakkan diagnosisnya.
Material superfisial putih dari luka bakar kimiawi di mukosa umumnya tipis dan
halus jika dibandingkan dengan penebalan yang terjadi pada
pseudomembranous candidiasis. Selain itu adanya riwayat pasien terkena
paparan terhadap zat kimiawi yang menyebabkan luka di mukosa oralnya juga
dapat membantu. Sedangkan ulser dengan permukaan fibrinoid putih lebih tipis
dan setempat dibandingkan dengan lesi putih candidiasis.
d. Perawatan
Pada sebagian besar kasus gambaran klinisnya saja biasanya sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, sehingga tidak diperlukan kultur atau sitologi
exfoliatif. Infeksi pada pseudomembranous candidiasis akan cenderung
menyebar ke permukaan orofaringeal dan esophageal. Jika pasien sudah
mengeluhkan adanya ketidaknyamanan, maka diperlukan terapi yang tepat dan
efektif. Rujukan medis untuk membantu mengklarifikasi kemungkinan kondisi
gangguan kesehatan dapat dilakukan.

2. Chemical Mucosal Burns


a. Definisi
Luka bakar mukosa akibat zat kimiawi korosif jarang terjadi karena
sebagian besar individu sudah cukup sadar mengenai bahaya penggunaan
substansi tersebut di mulut. Dokter gigi terkadang menemukan pasien yang
menaruh tablet aspirin di permukaan bukal alveolar dekat gigi dimana pasien
mengganggap hal ini dapat mengurangi rasa sakit di giginya. Luka bakar
mukosa akibat iatrogenik oleh bahan asam terjadi pada etsa permukaan gigi

29
yang tidak disertai dengan pemasangan rubber dam. Selain itu luka bakar
kimiawi di mukosa dapat terjadi pada anak-anak karena salah meminum cairan
kimia rumah tangga dan pada kasus bunuh diri melalui penelanan material
kausatif, tetapi kadang luka bakar ini bukan menjadi prioritas masalah.
b. Gambaran Klinis
Penampilan yang akan terlihat adalah lapisan putih lembut, tipis, dan
homogen. Penekan lateral yang lembut dapat menghilangkan material putih ini
dan akan meninggalkan ulser sentral yang sangat sakit disertai pelekatan
material putih ditepinya. Luka bakar akibat aspirin tampak setempat dengan tepi
yang jelas, tetapi ketika terkena paparan kimia yang lebih ekstensif akan terlihat
luka bakar yang diffuse. Pasien umumnya akan mengatakan bahwa mereka
memang sengaja meletakkan aspirin untuk melawan sakit giginya. Bayi dan
pasien dengan mentally compromised yang telah menelan agen kimia kausatif
mungkin tidak dapat menyebutkan sumber luka kimianya.

c. Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya biasanya tidak diperlukan selama sumber paparan
kimianya jelas diketahui dan tampak permukaan putih yang tipis dan halus serta
mudah untuk dihilangkan. Selain itu, penampilan membrane dari luka bakar
kimiawi yang tipis tidak perlu dibingungkan dengan lesi candidiasis yang
multifocal dan diffuse.
d. Perawatan
Perawatan paliatif dengan anastesi topikal atau penggunaan coating lunak
adalah batasan dari perawatan yang tersedia. Untungnya lesi ini dapat sembuh
dengan cepat. Pasien dengan luka bakar aspirin seharusnya diingatkan agar

30
menelan aspirin dan mengoleskan minyak cengkeh atau anestesi topikal untuk
meredakan sementara sakit giginya.

3. Ulser
a. Definisi
Umumnya akan terlihat seperti lesi putih di awal karena adanya gumpalan
fibrinoid superfisial sebagai bagian dari proses repair. Sariawan atau ulser
aphthous adalah contoh umumnya. Pembentukan bulla (pemisahan epitel dengan
jaringan ikat adalah karakteristik beberapa ulser mulut) dapat menunjukkan
lapisan putih tipis. Sama seperti luka bakar mukosa, pada lesi ulseratif juga
terlihat hilangnya permukaan material superifsial putih dengan tekanan lateral
yang perlahan.
b. Gambaran Klinis
Ulser yang dilapisi material superfisial putih disertai rasa sakit dan
ketidaknyamanan saat penghilangan material putih tersebut. Tampilan putihnya
lebih tipis dan sangat berbeda dengan lesi putih kasar dan tebal yang
sebelumnya telah dijelaskan. Permukaan putihnya tampak homogen atau sedikit
buram dengan tepi perifer yang jelas dan disertai halo eritema. Berdasarkan
penyebabnya, mungkin dapat terlihat lebih dari satu lesi dan pasien akan
menceritakan adanya riwayat penyembuhan dan rekurensi.
c. Diagnosis Banding
Adanya rasa sakit dan material permukaan putih yang bisa dihilangkan
dapat menjadi batasan diagnosis ulser, candidiasis, dan luka bakar kimiawi.
Sebgaian besar luka putih akibat penebalan epitel tidak merasakan sakit, tidak
hilang saat diusap, dan tidak tampak adanya halo eritematosa. Candidiasis dapat
dibedakan dengan kondisi penyerta sepertinya resistensi host yang menurun,
distribusi lesi yang diffuse, dan campuran berbagai bentuk lesi fungal. Luka
karena bahan kimia dapat ditegakkan melalui riwayat pasien. Ulser dapat
dikenali melalui manifestasi primernya.
d. Perawatan
Dibutuhkan diagnosis yang lebih spesifik.

31
2.2.3 Lesi Putih Karena Perubahan Subepitel/Submukosa

Lesinya biasanya terlihat pucat karena vaskularitas pada jaringan ikat mukosa yang
normal menjadi sedikit. Perbedaannya dengan lesi putih lainnya adalah pada permukaan
epitelnya yang normal, halus, dan translusen. Lesi ini tidak dapat hilang saat diusap serta
asimptomatis.
1. Fordyce Granules
a. Definsi
Merupakan kelenjar sebasea ektopik (salah lokasi) yang terletak di mukosa
mulut. Seiring bertambahnya usia, penonjolan akan meningkat. Umumnya
ditemukan pada mukosa bukal dan jarang pada mukosa labial. Biasanya sering
dijumpai pada orang tua dan gambaran dari penyakit ini dapat dianggap sebagai
variasi normal jaringan.
b. Gambaran Klinis
Akan terlihat spot ovoid kecil dengan diameter 1-2 mm berwarna putih
kekuningan, tumbuh lateral simetris di perukaan bukal atau labial. Terlihat
sedikit menonjol, tetapi halus dan translusen yang menunujukkan adanya
perubahan bagian dalam permukaan epithelium. Pasien umumnya adalah orang
tua.

c. Diagnosis Banding
Tidak ada kondisi lain yang mirip dengan Fordyce granules.
Pseudomembranous candidiasis dapat berupa granular fungal multiple, tetapi
akan hilang oleh pengusapan dengan kain kasa.
d. Perawatan
Tidak diperlukan perawatan atau observasi.

2. Scar
a. Definisi
Penyembuhan dan perbaikan jaringan lunak yang terluka dengan densitas
jaringan ikat berkolagen seringkali menghasilkan tampilan warna pucat

32
dibandingkan jaringan normal disekitarnya. Ini terlihat dari adanya jaringan
mukosa yang longgar atau kendur pada palatum lunak, mukosa bukal, labial,
dan dasar mulut. Palatum keras dan gingiva tersusun atas jaringan ikat fibrosa
dimana jaringan parut tidak terlalu disadari keberadaannya.
b. Gambaran Klinis
Karakteristiknya adalah setempat, area homogen pucat dengan tekstur
permukaan halus dan tepi yang jelas. Tidak ada rasa sakit, nyeri, atau gejala lain.
Jika luka atau prosedur bedah menghasilkan aposisi jaringan yang tidak bagus,
maka dapat dijumpai pit atau fissure. Sebagai contoh adalah pola stelata dengan
garis pucat dan penurunan antara tonsilar pillar yang menandakan adanya
penyembuhan pasca tonsilektomi. Pasien terkadang ingat akan prosedur bedah
atau luka traumatik jika jaringan parutnya besar.
c. Diagnosis Banding
Adanya permukaan pucat yang halus dan setempat serta riwayat
pembedahan atau luka sudah dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Fibrosis submukosa lebih umum terjadi dan Fordyce granules lebih banyak,
kecil, dan rata-rata berukuran sama. Lesi traumatik seperti traumatic fibroma
tampak pucat, tetapi manifestasi primernya adalah pembesaran jaringan. Depresi
berupa fissure atau pit di jaringan parut adalah asal dari pathologis sinus, lalu
terdapat sedikit eritematosa di mukosa yang berdekatan. Biasanya sering
ditemukan pada area dekat gigi yang mengalami inflamasi periapikal dan
ekstraksi gigi M3
d. Perawatan
Jaringan parut tidak membutuhkan perawatan. Pada beberapa kasus
diagnosis mungkin masih diragukan, tetapi observasi berkala akan menunjukkan
adanya tampilan statis pada penampilan abnormal ini.

3. Submucous Fibrosis
a. Definisi
Fibrosis submukosa adalah fibrosis/keloid yang umum dijaringan ikat
mukosa oral sebagai respon kebiasaan mengunyah sirih dan rempah-rempah.
Kebiasaan ini umum pada wilayah India dan Asia Tenggara.

33
b. Gambaran Klinis
Tampilan yang ditunjukkan adalah tekstur permukaan halus dengan
diskolorasi warna putih kekuningan yang menyeluruh di mukosa oral. Intensitas
perubahan warna beragam tergantung regio di rongga mulut. Hilangnya
elastisitas dan kekencangan saat palpasi akibat dari fibrosis yang menyerluruh
sering terjadi di palatum lunak dan mukosa bukal. Fibrosis submukosa parah
dapat menyebabkan trismus dan kesulitan mengunyah. Riwayat pasien
menunjukkan kebiasaan penggunaan sirih atau kebiasaan mulut lainnya.

c. Diagnosis Banding
Adanya fibrosis yang menyeluruh di mukosa oral dan riwayat kebiasaan
mengunyah sirih dapat membantu dalam menegakkan diagnosis fibrosis
submukosa. Penyakit autoimun atau kolagen seperti sistemik sclerosis dapat
menimbulkan fibrosis, tetapi hanya sebagian struktur mulut yang terkena.
Fibrosis kronis radiasi karena radioterapi di kepala dan leher dapat menunjukkan
tampilan yang serupa, tetapi biasanya melibatkan kulit superfisial serta riwayat
yang mengklarifikasi penyebabnya.
d. Perawatan
Pasien harus diberitahu untuk menghentikan kebiasaannya sehingga dapat
mencegah perkembangan prosesnya. Sayangnya, fibrosis ini bersifat
irreversible. Pemberian kortikosteroid akan memberikan manfaat yang terbatas
pada kasus berat. Pemeriksaan klinis kembali secara berkala pada pasien
sangatlah penting, karena 1/3 kasus dapat berkembang menjadi squamous cell
carcinoma.

34
35
36
2.3 Klasifikasi Lesi Putih Berdasarkan Etiologi
2.3.1 Lesi Reaktif
1. Hiperkeratosis Fisiologis (Frictional Keratosis/Focal Keratosis)
- Etiologi:
Gesekan atau friksi kronis pada permukaan mukosa, contohnya akibat gigi tiruan yang
tidak pas, kebiasaan buruk (cheek biting, tongue chewing, tongue thrusting), atau
trauma. Lesi ini timbul sebagai reaksi untuk proteksi mukosa.
- Tampilan klinis:
 Tampilan: lesi opak dan terkeratinisasi dengan tampilan homogen di area trauma,
batas atau tepi jelas, tidak hilang walau digosok.
 Lokasi: area yang sering mengalami trauma seperti bibir, tepi lateral lidah,
mukosa buccal di sepanjang garis oklusal, dan alveolar ridge edentulous.

- Histopatologis: gambaran mikroskopis menunjukkan hyperkeratosis dengan infiltrasi


sel radang kronis di sekitar jaringan ikat

- Diagnosis: dari anamnesis dan pemeriksaan klinis sudah dapat terlihat penyebabnya.
Bila bukan karena trauma, lakukan pemeriksaan biopsy.

37
- Diferensial diagnosis:

- Perawatan: observasi dan kontrol kebiasaan buruk yang dapat menyebabkan lesi.
- Prognosis: baik, karena tidak ada potensi malignansi

2. Hiperkeratosis akibat smokeless tobacco


Etiologi:
- Etiologi utama: kontak langsung mukosa dengan tembakau, terutama jenis snuff
(partikulat atau tembakau yang terpotong-potong halus)
- Paling sering dialami oleh pria
- Respon mukosa oral terhadap tembakau topikal berupa inflamasi dan keratosis.
- Tembakau kunyah dan snuff mengandung karsinogen berupa nitrosonornikotin (dapat
memicu keganasan) dan pH snuff yang basa, berkisar antara 8,2-9,3 menyebabkan
perubahan mukosa.
- Perubahan displastik dapat terjadi walaupun potensi dan risiko keganasannya rendah.
Tampilan Klinis:
- Lokasi utama: mucobuccal fold rahang bawah regio insisif dan molar
- Tampilan: mukosa tampak bergranular hingga tampak kerutan
- Terdapat kerusakan pada gigi dan jaringan periodontal di sekitar lesi
- Terkadang ditemukan eritroplakia atau kemerahan di sekitar keratosis
- Gejala: asimtomatis, tidak sakit, dan baru sadar ditemukan saat pemeriksaan

38
Histopatologi:
- Gambaran mikroskopis: parakeratosis ringan hingga sedang, epitel superficial tampak
edema atau vakuolisasi, ditemukan beberapa sel radang kronis. Pada beberapa kasus,
ditemukan dysplasia epitel terutama pada individu yang sudah lama mengonsumsi
tembakau. Terdapat pula zona stromal basofilik yang difus, ditemukan berdekatan
dengan kelenjar saliva minor yang terinflamasi.

Perawatan:
- Menghilangkan etiologi  hentikan kebiasaan mengonsumsi tembakau
- Prognosis: baik, namun paparan jangka panjang terhadap tembakau dapat
meningkatkan risiko transformasi keganasan menjadi karsinoma sel squamosa,
walaupun risikonya rendah.

3. Stomatitis Nikotina
Etiologi:
- Etiologi utama: pipe & cigar smoking
- Pada perokok dengan kebiasaan reverse smoking (ujung rokok diposisikan di dalam
mulut)  meningkatkan risiko malignansi karena adanya kombinasi karsinogen dan
panas
Tampilan Klinis:
- Lokasi utama: palatum
- Tampilan: lesi awal berupa kemerahan yang diikuti dengan keratinisasi. Khasnya,
tampak lesi putih generalis (hyperkeratosis) di palatum durum dengan titik-titik merah
yang dikelilingi cincin keratotik putih. Titik-titik merah (red spots) tersebut
merupakan orifis kelenjar saliva minor yang meradang.

39
Histopatologi:
- Gambaran mikroskopis: hiperplasia epitel dan hiperkeratosis. Kelenjar saliva minor
mengalami inflamasi dan duktus ekskretori mengalami metaplasia skuamosa.

Perawatan:
- Menghilangkan etiologi  hentikan kebiasaan merokok
- Observasi seluruh mukosa
- Edukasi bahwa stomatitis nikotina merupakan marker atau indikator yang
menunjukkan bahwa perokok (terutama reverse smoker) berisiko tinggi mengalami
displasia epitel dan neoplasia oral, orofaring dan saluran pernapasan.

4. Hairy Leukoplakia
Etiologi:
 Infeksi oportunistik EBV (Epstein Barr Virus)
 Manifestasi oral AIDS pada pasien HIV seropositif
 Kondisi immunosuppressed  pasien transplantasi organ, keganasan
hematologi (leukemia), konsumsi kortikosteroid sistemik jangka panjang.
Tampilan Klinis:
- Lesi putih dengan demarkasi jelas yang bervariasi bentuknya, dari datar seperti plak
hingga papillary/filiform atau corrugated.
- Bisa unilateral, seringkali bilateral
- Asimtomatis
- Lokasi umum : tepi lateral lidah, mungkin meluas hingga ke permukaan dorsum.

40
- Pada kasus yang jarang, hairy leukoplakia dapat ditemukan di mukosa buccal, dasar
mulut, atau palatum.
- Mungkin terinfeksi sekunder oleh Candida albicans.

Histopatologi:
- Permukaan epitel tampak hiperparakeratotik dengan pembentukan iregularitas dan
keratotic ridges
- Ditemukannya inklusi nuklus viral pada keratinosit di permukaan epitel
- Hifa C.albicans tampak memanjang ke dalam lapisan superficial epitel
- Di bawah permukaan epitel, di dalam lapisan sel spinosa, sel-sel mengalami
degenerasi ballooning dan perinuclear clearing

41
Diferensial Diagnosis:
- Leukoplakia idiopatik
- Frictional hyperkeratosis (akibat tongue biting)
- Leukoplakia akibat konsumsi tembakau/ rokok
- Lichen planus
- Lupus eritematous
- Hyperplastic candidiasis
Perawatan:
- Untuk pasien yang status imunnya belum diketahui  perlu dilakukan biopsy, tes
serologi untuk investigasi HIV
- Untuk yang sudah didiagnosis menderita infeksi virus  konsumsi antiviral dan
antiretroviral dapat mendorong pemulihan lesi oral

5. Hairy Tongue
Hairy tongue merupakan elongasi atau pertumbuhan berlebih dari papilla filiformis di
permukaan dorsum lidah dengan warna yang bervariasi.
Etiologi dan Patogenesis:
- Etiologi: perubahan mikroflora oral  proliferasi fungi dan bakteri kromogenik
disertai pertumbuhan berlebih papilla filiformis
- Faktor predisposisi:
 Penggunaan antibiotic spectrum luas dan kortikosteroid sistemik
 Penggunaan obat kumur oksigenasi yang mengandung hydrogen peroksida,
natrium perborat, karbamid peroksida
 Rokok
 Radioterapi di kepala dan leher
 Pasien dengan transplantasi organ
Tampilan Klinis:
- Lokasi: dorsum lidah
- Hiperplasia asimtomatis dari papilla filiform dan retardasi laju deskuamasi yang
normal  menyebabkan terbentuknya lapisan permukaan yang tebal, berbulu (seperti
karpet) dan berwarna (warna bervariasi dari putih, coklat gelap, hingga hitam) yang
dapat menjadi tempat akumulasi bakteri, fungi, debris seluler, dan material asing.

42
Warna lapisan tersebut bergantung pada diet, OH, medikasi, dan komposisi bakteri
yang berkoloni di permukaan papilla.

- Asimtomatis  namun tampilan sangat mengganggu estetis


- Apabila elongasi papilla terlalu berlebihan, pasien kerap merasakan sensasi ingin
muntah dan kesemutan.
Histopatologi:
- Elongasi papilla filiformis di permukaan dorsum lidah dengan kolonisasi sekelompok
mikroorganisme dan fungi
- Lamina propria di bawahnya mengalami inflamasi ringan
Diagnosis:
- Lesi ini memiliki karakteristik yang khas sehingga dengan pemeriksaan klinis saja
sudah dapat ditegakkan diagnosis.
- Pemeriksaan sitologi atau kultur mungkin sedikit diperlukan.
Perawatan:
- Terapi kausatif: identifikasi dan hilangkan etiologi  stop pemakaian antibiotic
spectrum luas atau obat kumur
- Terapi simtomatis: sikat lidah dan berkumur dengan baking soda (natrium bikarbonat)
- Edukasi pasien bahwa lesi ini self limiting asalkan pasien rutin melakukan
pembersihan fisik dan mekanis rongga mulut serta menjaga oral hygiene.

6. Dentifrice-Associated Slough
Etiologi:
- Superficial chemical burn
- Reaksi mukosa terhadap komponen pada produk kedokteran gigi yang mengandung
sanguinaria yaitu detergent atau senyawa perasa pada pasta gigi, atau essential oil
pada obat kumur.

43
Tampilan Klinis:
- Lokasi: seringkali di vestibulum maksila
- Tampilan: slough (lesi seperti rawa) keputihan pada permukaan mukosa buccal, yang
tampak seperti oral peeling dan mudah dibersihkan
- Tidak sakit dan tidak menyebabkan kelainan yang signifikan

Histopatologi: tampak keratosis

Perawatan:
- Mengganti produk pasta gigi atau obat kumur.

2.3.2 Lesi Inflamatori


1. Oral Lichen Planus
- Definisi: Lichen planus adalah penyakit peradangan kronik mukokutan yang sering
ditemui pada mukosa oral dan kulit. Lichen planus biasanya lebih sering ditemukan
pada perempuan dibandingkan laki-laki. Lichen planus memiliki resiko rendah
berkembang menjadi kanker. Lichen planus yang berbentuk eritematous biasanya
yang dianggap sebagai lesi premalignant.
- Etiologi: Etiologi sesungguhnya hingga saat ini belum diketahui. Namun
diperkirakan akibat adanya reaksi imun seperti hipersensitivitas dan autoimun yang
di mediasi sel-T.
- Tampilan Klinis: Secara umum akan tampak striae keratotik yang berwarna putih
(wickman’s striae). Terdapat enam variasi gambaran klinis dari lichen planus,
yaitu:

44
 Reticular: Jenis yang paling umum adalah bentuk retikuler, yang ditandai
dengan banyak garis putih keratotik/striae yang saling terhubung dan
menghasilkan pola annular atau berenda. Mukosa bukal adalah tempat yang
paling sering terlibat.
 Erosive (ulser): Pada bentuk ini, daerah pusat lesi berbentuk ulser. Sebuah plak
fibrinous atau pseudomembran menutupi ulkus tersebut.
 Plak (hiperkeratosis): Pada bentuk ini tampak seperti plak berwarna putih pada
umumnya. Lesi tersebar pada satu tempat yang luas dan banyak dijumpai pada
dorsum lidah dan mukosa bukal.
 Papular: Tampak papula berwarna putih pada mukosa oral dan biasanya diikuti
dengan adanya lesi lichen planus bentuk retikular.
 Eritematous (atropik): Lichen planus tampak sebagai bercak merah dengan
striae putih yang sangat halus. Proporsi daerah berkeratin ke daerah atrofi
bervariasi dari satu daerah ke daerah lain . Biasanya terjadi pada attached
gingiva dan terjadi sering dalam empat kuadran. Pasien biasanya mengeluh ada
rasa terbakarpada mulut, sensitivitas, dan tidak nyaman.
 Bullous: Lichen planus ini jarang ditemui. Ukuran bullae bervariasi dari
beberapa milimeter hingga centimeter. Bullae biasanya bertahan dalam waktu
pendek dan pecah menjadi ulser yang akut.
 Pemeriksaan Lab: Pemeriksaan histopatologi dan direk immunoflouroesence.
- Diagnosis banding: Discoid lupus erythematosus, candidiasis, graft-versus-host
disease, geographic tongue, leukoplakia, erythroplakia,cicatricial pemphigoid,
pemphigus, bullous pemphigoid
- Perawatan: Tidak ada pengobatan yang diperlukan pada lesi asimtomatik. Steroid
topikal ( salep bentuk Orabase, injeksi intralesi ) mungkin dapat membantu. Steroid
sistemik dalam dosis rendah dapat digunakan pada kasus berat dan luas.
Penggunaan obat kumur antiseptik topikal harus dihindari.

Retikular & Papular Form

45
Plak & Erosive form

2. Reaksi Likenoid
Merupakan lesi yang identik dengan lesi liken planus tetapi disebabkan oleh
pemakaian obat-obatan. Bila pemakaian obat dihentikan, maka lesi akan hilang. Obat-
obatan yang dapat menginduksi adalah obat antihipertensi, antibiotik, antiparasit,
antiartritis, obat antihiperglikemia, dan lain-lain. Anamnesis harus lengkap sehingga
diketahui riwayat pemakaian obat pada pasien. Penatalaksanaannya adalah mengganti
jenis obat.

3. Lupus Eritematous
- Definisi: Merupakan penyakit kronik autoimun yang bermanifestasi pada rongga
mulut.
- Etiologi: Autoimun
- Tampilan Klinis: Terdapat Dua bentuk utama dari penyakit lupus yaitu: diskoid (
DLE ) dan sistemik ( SLE ) . Lesi oral berkembang 15-25 % kasus di DLE dan 30-
45 % kasus pada SLE, biasanya berkaitan dengan lesi kulit. Lesi oral ditandai
dengan daerah yang didefinisikan dengan pusat atrofi merah dikelilingi oleh
perbatasan peningkatan tajam penyinaran striae keputihan. Telangiectasia,
petechiae, edema, erosi, ulserasi, dan plak hiperkeratosis putih.
- Pemeriksaan Lab: Pemeriksaan histopatologi dan direk immunofluoroescence
- Diagnosis banding: Lichen planus, geographic glossitis, speckled leukoplakia,
erythroplakia, cicatricial pemphigoid, syphilis.
- Perawatan: Pengobatan dengan steroid dan immunosupresi

46
2.3.3 Lesi Premalginan

1. Idiopatik Leukoplakia
1.1. Definisi
Leukoplakia merupakan lesi putih prekanker pada rongga mulut yang memiliki
resiko bertransformasi menjadi ganas (malignan). Leukoplakia didefinisikan sebagai
patch atau plak putih yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai entitas penyakit
lainnya (WHO, 1978).
1.2. Etiologi dan Patogenesis
Tembakau, alkohol, candidiasis, reaksi elektrogalvanik, dan herpes simpleks dan
papillomavirus terlibat sebagai faktor penyebab terjadinya leukoplakia. True
leukoplakia paling sering dihubungkan dengan penggunaan tembakau, lebih dari 80%
pasien yang menderita leukoplakia adalah perokok. Perkembangan leukoplakia pada
perokok bergantung pada dosis dan durasi penggunaan. Insidensi terjadinya
leukoplakia lebih tinggi pada perokok berat daripada perokok ringan.
Konsumsi alkohol saja tidak terkait dengan peningkatan resiko perkembangan
leukoplakia, tetapi alkohol diduga berfungsi sebagai promotor yang memiliki efek
sinergis yang kuat dengan tembakau.
Radiasi ultraviolet juga diketahui sebagai faktor penyebab terjadinya leukoplakia
pada vermillion border bibir bawah. Candida albicans ditemukan pada 60% kasus
nodular/speckled leukoplakia, sedangkan pada kasus homogenous leukoplakia hanya
3%. Human papillomavirus, khususnya HPV-16 dan HPV-18 telah teridentifikasi
pada beberapa oral leukoplakia. Peran dari virus ini masih belum diketahui secara
pasti, tetapi terdapat bukti bahwa HPV-16 dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko
transformasi menjadi ganas.

47
1.3. Epidemiologi
Prevalensi leukoplakia bervariasi berdasarkan hasil studi. Sebuah tinjauan global
yang komprehensif menunjukkan prevalensinya 2,6%. Kebanyakan oral leukoplakia
terlihat pada pasien dengan usia >50 tahun dan jarang ditemui pada pasien yang
usianya <30 tahun. Berdasarkan studi populasi, leukoplakia lebih umum terjadi pada
laki-laki.
1.4. Gambaran Klinis
Terdapat tiga variasi gambaran klinis dari leukoplakia yaitu:
1. Homogeneous
Homogenous leukoplakia (thick leukoplakia) merupakan patch putih yang
terdefinisi dengan baik, lokal atau ekstensif, tebal dan permukaannya berfissure,
wrinkle, atau bergelombang. Pada palpasi, lesi ini terasa kasar.

2. Nodular/Speckled
Nodular/speckled merupakan lesi yang bergranular atau tidak homogen. Terdiri
dari campuran lesi putih dan merah dimana nodul atau patch putih keratosis
tersebar pada background eritema atrofi. 2/3 dari kasus ini menunjukkan displasia
epitel atau karsinoma.

3. Verrucous
Verrucous leukoplakia merupakan lesi putih tebal dengan permukaan papilla pada
rongga mulut. Lesi ini sangat terkeratinisasi dan paling sering terlihat pada orang
tua yang usianya sudah masuk dalam dekade keenam dan kedelapan kehidupan.
Beberapa lesi ini dapat menunjukkan pola pertumbuhan eksofitik (menonjol
keluar).

48
Jenis nodular/speckled dan verrucous memiliki resiko yang lebih besar untuk
bertransformasi menjadi ganas. Sekitar 70% leukoplakia ditemukan pada mukosa
bukal, vermillion border bibir bawah, dan gingiva. Leukoplakia lebih jarang
ditemukan pada palatum, mukosa maksila, area retromolar, dasar mulut, dan lidah.
Namun, lesi pada lidah dan dasar mulut lebih dari 90% kasus menunjukkan displasia
atau karsinoma.

FIGURE 5-26 Hyperkeratosis of the palate in a heavy pipe smoker appears as an area of leukoplakia.

1.5. Gambaran Histopatologi


Perubahan histologis mulai dari hiperkeratosis, displasia, dan karsinoma in situ
menjadi karsinoma sel skuamosa. Istilah displasia mengindikasikan enamel yang
abnormal dan kelainan pertumbuhan. Peningkatan derajat displasia ditetapkan dengan
ringan, sedang, dan berat. Karakteristik mikroskopis dari dysplasia meliputi :
- Drop-shaped ridge epitel
- Sel basal yang crowding
- Stratifikasi irregular
- Mitosis yang meningkat dan abnormal
- Prematur keratinisasi
- Pleomorfisme dan hiperkromatisme nuklir
- Peningkatan rasio nuklir sitoplasma

49
Jika perubahan epitel lebih parah, semakin besar kemungkinan lesi untuk
berkembang menjadi kanker.
1.6. Differential Diagnosis
Langkah awal dalam menentukan DD dari leukoplakia pada mukosa mulut adalah
dengan menentukan apakah lesi dapat dihilangkan dengan pisau lidah. Jika lesi dapat
hilang, dapat merupakan pseudomembran, koloni jamur, atau debris. Jika terdapat
penyakit mukosa bukal bilateral, kondisi herediter, cheek chewing, lichen planus, dan
LE dapat dipertimbangkan. Hairy leukoplakia dan geographic tongue juka dapat
menjadi DD untuk leukoplakia pada lidah. Jika lesi tidak dapat dihilangkan dan tidak
terdiagnosis secara klinis, dapat dianggap sebagai leukoplakia idiopatik dan biopsi
harus dilakukan.

50
1.7. Rencana Perawatan
Jika lesi merupakan displastik ringan, beberapa penilaian klinis harus dilakukan
dalam perawatan pasien. Penghilangan lesi displastik ringan penting untuk dilakukan
pada pasien jika tidak ada faktor penyebab yang jelas dan lesi kecil. Jika dapat terjadi
morbiditas karena ukuran dan lokasi lesi, follow-up pengawasan dapat dilakukan,
asalkan tingkat displasia epitel ringan.
Bedah eksisi merupakan perawatan yang lebih digunakan saat ini, meskipun tidak
dapat menghilangkan atau mengurangi secara signifikan risiko rekuren atau
tranformasi keganasan. Manajemen dengan topikal belum terbukti efektif. Jika
displasia berat, wajib dilakukan eksisi. Berbagai metode bedah seperti eksisi,
cryosurgery, electrosurgery, dan bedah laser efektif terhadap perawatan lesi ini.

2. Eritroplakia
2.1. Definisi dan Etiologi
Eritroplakia adalah istilah klinis yang mengacu pada red patch pada membrane
mukosa oral. Penyebab lesi ini diyakini mirip dengan yang menyebabkan kanker
mulut. Oleh karena itu, penggunaan tembakau mungkin memiliki peran penting dalam
induksi lesi ini, seperti halnya konsumsi alkohol berat. Defisit nutrisi dan faktor lain
mungkin memiliki peran memodifikasi.
2.2.Gambaran Klinis
Lesi muncul sebagai velvety (beludru) red patch dengan batas yang jelas. Daerah
yang umum terlibat adalah dasar mulut, lidah, mukosa retromolar, dan palatum lunak.
Individu yang terkena biasanya berusia antara 50 dan 70 tahun. Eritroplakia biasanya
lentur saat disentuh kecuali lesi invasif.

51
2.3.Gambaran Histopatologi
Sekitar 40% dari eritroplakia menunjukkan perubahan displastik parah; sekitar
50% adalah karsinoma sel skuamosa dan 9% displasia ringan atau sedang. Varian
histologis karsinoma in situ menunjukkan perubahan analog dengan lesi kulit yang
disebut penyakit Bowen. Fitur mikroskopis yang memisahkan dengan karsinoma in
situ yaitu ditandai dengan pertumbuhan yang tidak teratur, keratinosit multinuclear,
large hyperchromatic keratinocyte nuclei, dan atypical individual cell keratinozation.

52
2.4.Differential Diagnosis
DD termasuk Kaposi’s sarcoma, ekimosis, reaksi alergi kontak, malformasi
vascular, dan psoriasis. Riwayat dan pemeriksaan klinis dapat membedakan sebagian
besar lesi ini. Biopsi dapat memberikan diagnosis yang pasti.
2.5.Rencana Perawatan
Pilihan perawatan untuk eritroplakia adalah bedah eksisi. Umumnya lebih penting
untuk eksisi luas dari pada eksisi yang dalam. Pada pasien dengan displastik parah
dan lesi in situ umumnya menjadi invasif. Waktu yang dperlukan dapat berkisar dari
bulan ke tahun. Follow-up pemeriksaan penting untuk dilakukan pada pasien ini
karena potensi efek dan genetik terkait serta perubahan molekular disebabkan oleh
agen etiologi.

2.3.4 Lesi Malignan

Karsinoma Sel Skuamosa


Karsinoma sel skuamosa adalah proliferasi neoplastik malignan dari sel epitel.
Karsinoma sel skuamosa merupakan penyakit malignan yang paling sering terjadi di
rongga mulut. Lokasi karsinoma sel skuamosa yang paling sering adalah pada dasar
mulut dan lateral lidah.
1. Etiologi, Faktor Risiko, dan Patogenesis
Insidensi kanker rongga mulut berhubungan dengan usia dimana menggambarkan
waktu akumulasi perubahan genetik dan durasi paparan pemicu kanker, penuaan sel, dan
penurunan imun seiring pertambahan usia. Karsinoma sel skuamosa biasanya diawali
oleh lesi premalignan seperti leukoplakia atau eritroplakia.
Penyebab paling umum yang terlibat dalam perkembangan displasia epitel oral dan
karsinoma sel skuamosa adalah kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol. Tembakau
mengandung bahan karsinogenik sedangkan alkohol dapat mendehidrasi mukosa,
meningkatkan permeabilitas mukosa, dan juga bersifat karsinogenik.
Faktor lain seperti iritasi karena gigi tiruan, gigi atau restorasi yang tajam, dan
kebiasaan cheek biting dapat menghasilkan trauma kronis dan dapat mendukung
transformasi sel epitel dan meningkatkan risiko SCC.
2. Gambaran Klinis
Pasien biasanya teridentifikasi mengalami karsinoma sel skuamosa pada stage akhir
penyakit. Pasien biasanya baru datang ke dokter saat kondisinya sudah sangat tidak
nyaman dan khawatir terhadap adanya masa/benjolan pada mulut atau lehernya.

53
Disfagia, odinofagia, otalgia, keterbatasan pergerakan, perdarahan mulut, benjolan leher,
dan kehilangan berat badan dapat terjadi pada kondisi karsinoma sel skuamosa yang
sudah lanjut.
Pemeriksaan rutin kepala, leher, dan rongga mulut perlu dilakukan agar kondisi
malignan dapat teridentifikasi lebih awal. Area di rongga mulut yang berisiko tinggi
terhadap karsinoma harus diperiksa dengan teliti yaitu bibir bawah, dasar mulut bagian
anterior, dan tepi lateral lidah. Perubahan jaringan pada pasien harus diperiksa yaitu
mencakup lesi merah, lesi putih, perubahan tekstur permukaan menjadi halus, granular,
kasar, atau crusted, serta munculnya masa/benjolan dan ulserasi. Lesi bisa datar maupun
timbul, terdapat ulserasi maupun tidak, tidak terasa saat palpasi maupun ada indurasi.

Penyebaran limfatik oral karsinoma biasanya melibatkan nodus submandibular dan


digastric, kemudian nodus servikal atas, lalu terakhir menyebar ke nodus lain pada rantai
servikal. Nodus yang biasanya terlibat adalah nodus yang berada pada sisi yang sama
dengan tumor primer. Sedangkan jika tumor dekat dengan midline atau berada di
posterior rongga mulut atau orofaring, maka keterlibatan nodus limfe biasanya bilateral
atau kontralateral. Nodus limfe yang pada pasien kanker menjadi membesar dan keras.
Jika ada infeksi sekunder atau respon inflamasi (mungkin terjadi setelah biopsi), maka
nodus limfe menjadi lunak. Fiksasi nodus ke jaringan di sekitarnya menunjukkan
penyakit yang agresif. Fiksasi tumor primer ke jaringan di atas tulang menunjukkan

54
keterlibatan periosteum dan kemungkinan penyebaran ke tulang. Diketahuinya
penyebaran tumor dan status nodus limfe sangat penting sebelum biopsi dilakukan dan
penting untuk pemilihan perawatan.

3. Pemeriksaan
Pemeriksaan kepala, leher, dan intraoral yang menyeluruh merupakan syarat untuk
mendeteksi lesi malignan. Selain itu, lesi yang diduga malignan memerlukan biopsi dan
diagnosis histopatologis. Dapat dilakukan biopsy eksisi untuk lesi kecil, biopsy insisi
untuk lesi besar, atau fine-needle aspiration pada nodus limfe.
Pemeriksaan penunjangnya yaitu pemeriksaan radiologi, pewarnaan jaringan vital
menggunakan toluidine blue, dan pemeriksaan sitologi dengan teknologi komputer.
Toluidine blue dapat diaplikasikan secara langsung ke lesi yang diduga malignan
atau digunakan sebagai obat kumur. Retensi positif toluidine blue mengindikasikan

55
bahwa perlu dilakukan biopsi. Retensi warna false-positive dapat terjadi pada lesi
ulserasi dan lesi inflamasi, sedangkan false-negative jarang terjadi.
Biopsi tetap merupakan pemeriksaan definitif yang harus dilakukan. Sedangkan
toluidine blue ini akan memprediksi lesi premalignan pada rongga mulut yang berisiko
berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa (terlihat retensi warna) sehingga akan
membantu pemilihan area biopsi dan mempercepat keputusan dilakukannya biopsi. Pada
pemeriksaan follow-up pasca radioterapi, retensi toluidine blue menunjukkan ulser yang
belum sembuh dan lesi yang persisten atau rekuren.
4. Rencana Perawatan
Perawatan untuk lesi malignan yaitu:
1. Operasi bedah
2. Radioterapi
3. Kemoterapi

2.4 Prosedur Pemeriksaan


Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan subjektif dilakukan berdasarkan riwayat pasien. Data dikumpulkan
termasuk riwayat masalah spesifik yang diinvestigasi sebaik mungkin terkait riwayat
medis dan social pasien. Hal spesifik yang perlu ditanyakan terkait dengan lesi oral:
- Durasi
Persepsi pasien mengenai durasi lesi sangat penting untuk menetukan apakah lesi
merupaka lesi jinak atau ganas. Namun terkadang keakuratan riwayat pasien
berkurang karena kurangnya perhatian pasien, kapasitas mental pasien terbatas, atau
penyakit yang disangkal.
- Gejala
Gejala terkait denga nyeri atau tekanan penting untuk menentukan diagnosis.
Nyeri/sakit atau tenderness biasanya terkait dengan gejala inflamasi atau proses
infeksi, walaupun keganasan juga dapat memiliki gejala tersebut. Gejala lainnya
seperti paresthesia atau baal juga dapat berhubungan dengan kelainan saraf akibat lesi
kistik atau massa tumor.
- Perubahan pada lesi
Perubahan yang terjadi pada lesi juga sangat penting ditanyakan kepada pasien.
Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi seperti lesi yang membesar, perubahan
gejala seperti peningkatan atau penurunan rasa sakit.

Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis dilakukan setelah mereview riwayat medis dan riwayat kondisi
lesi yang ada. Parameter lesi yang harus dievaluasi yaitu:
- Site (letak)
- Size (ukuran)

56
- Karakter (misalnya macula, ulkus, massa, dll)
- Warna, termasuk pemeriksaan homogenitas
- Morfologi permukaan (misalnya smooth, pebbly, granular, verrucous)
- Tepi/border (misalnya smooth, irregular, indistinct, sharply defined)
- Konsistensi saat palpasi
- Gejala local
- Distribusi jika terdapat lesi multiple

Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi
Biopsi merupakan pengambilan jaringan dari tubuh untuk pemeriksaan diagnostic
mikroskopik. Biopsi adalah prosedur paling tepat dan akurat untuk semua diagnostik
jaringan dan harus dilakukan ketika diagnostic definitive tidak dapat dilakukan
menggunakan prosedur yang kurang invasif. Tujuan utama biopsi yaitu menentukan
diagnosis yang tepat sehingga perawatan dapat direncanakan dengan baik, khususnya
untuk lesi-lesi yang memiliki gambaran klinis dan radiografik mirip.

a. Biopsi Insisi
Biopsy insisi adalah prosedur biopsy yang mengambil hanya porsi kecil lesi. Jika
ukuran lesi besar atau terdapat beberapa karakteristik lesi berbeda pada lokasi yang
berbeda pula maka lebih dari satu area lesi diambil sebagai sampling. Incisional
sampling digunakan untuk lesi yang besar (diameter >1 cm), berlokasi di tempat yang
berisiko atau merugikan, atau untuk menentukan diagnosis definitive.

57
b. Biopsi Eksisi
Biopsy eksisi merupakan pengambilan keseluruhan lesi, termasuk 2-3 mm perimeter
jaringan normal di sekitarnya. Penambahan 2-3 mm jaringan dibutuhkan untuk
specimen yang dicurigai keganasan. Biopsy ini dilakukan untuk lesi dengan ukuran
kecil (diameter <1 cm).

- Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilaukan untuk melihat jaringan abnormal, merupakan
pemeriksaan yang dilakukan setelah dilakukan biopsi. Biasanya menggunakan teknik
punch biopsy dan dilakukan pewarnaan untuk melihat jaringan di bawah mikroskop.
- Sitopatologi
Pemeriksaan sitopatologi digunakan untuk melihat sel pada jaringan yang abnormal.
Tes ini secara umum digunakan sebagai screening atau follow-up pemeriksaan klinis.
Terdapat beberapa bentuk utama tes sitologi oral yang digunakan, tergantung pada
metode pemeriksaannya.
a. Exfoliative cytologic examination
Penggunaan metode ini untuk mukosa oral masih menjadi kontrovesi, sebab paling
umum digunakan untuk kanker servikal. Beberapa studi menunjukkan hasil yang tida
reliable terhadap jaringan mulut terkeratinisasi dan sering menunjukkan diagnosis
yang salah.

58
b. Oral brush cytologic examination

Pemeriksaan lesi putih dan diagnosisnya


Beberapa kondisi , khususnya fordyce granule dan geographic tongue lebih
kekuningan warnanya dibandingkan dengan putih, namun dapat menyebabkan
kebingungan saat diagnosis. Kumpulan derbris (material alba) atau fungi (candidiasis)
juga dapat terlihat putih, namun biasanya dapat dapat mudah dibersihkan dengan
gauze. Lesi lain muncul dengan warna putih biasanya karena mengandung keratin
yang tebal, dimana terlihat tebal saat basah. Lesi ini melekat pada mukosa, tidak
mudah untuk dihapus dengan gauze swab.
Lesi putih biasanya tidak sakit, tapi dapat fokal, multifocal, striated atau difus,
dan fiturnya dapat memberikan panduan untuk diagnosis. Sebagai contoh:
 Lesi fokal sering disebabkan karena cheek-biting pada garis oklusal, dimana terdapat
bula yang seperti sudah pecah atau keratosis.
 Lesi multifokal biasanya pada pseudomembranous candidiasis dan lichen planus.
 Lesi yang striated biasanya lichen planus.
 Area putih yang berdifusi terlihat pada mukosa bukal pada leukoedema, dan palatal
pads stomatitis nicotina.
Diagnosis lesi putih umumnya didapatkan dari pemeriksaan klinis; lesiharus
dicari pada kulit atau mukosa lainnya. Melalui riwayat pasien, penting untuk
diagnosis. Sebagai contoh, apakah pasien memiliki riwayat sebagai perokok berat,
dimana terdapat patch bewarna putih yang tidak sakit dan kronis, harus dicurigai
sebagai neoplasia. Kemungkinan akan kondisi sistemik juga harus dipertimbangkan,
sebagai contoh penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi lichenoid
sepanjang lesi kulit dicurigai oral lichem planus. Pada pemeriksaan, lokasi,
karakteristik dan permukaan subepitel merupakan factor penting dalam menegakkan
diagnosis.

59
Pada area yang memiliki resiko tinggi terhadap lesi putih, seperti pada
permukaan ventral lidah, dasar mulut, memiliki kecenderungan terhadap perubahan
neoplastic. Debris pada permukaan yang dapat dihapus dapat dicurigai sebagai
candidiasis, dimana bintik-bintik patch putih yang tidak dapat dihapus dicurigai lesi
prekanker, carcinoma in situ, atau squamous cell carcinoma. Bercak putih yang
homogeny dan striated dimana permukaannya tidak ada keretakan (breach), dicurigai
jinak. Lesi putih dapat berbentuk seperti kutil. Verrucoid-papillary leukoplakia
(verrucous hyperplasia), dikarakteristikan seperti kutil exophytic irregular, dilaporkan
menjadi premalignant dan memiliki potensi menyebar secara local. Lesi dapat
memperlihatkan perkembangan yang sementara. Leukoplakia awal dapat
digambarkan lesi putih pucat yang sedikit menonjol, tetapi dapat berkembang menjadi
tebal dan warnanya menjadi lebih putih dan menjadi seperti ‘jaket’ dan permukaan
yang berfisur.
Jika tidak adanya penyebab lokal yang jelas, pemeriksaan hematologi dan atau
biopsy atau pemeriksaan radiograf dapat dilakukan. Jika penyebab lokalnya diketahui,
perlu direview kembali setelah menghilangkan penyebab tersebut sebelum biopsy
direncanakan. Seperti contoh, frictional keratosis yang disebabkan gigi tiruan yang
tidak sesuai atau alat orthodonti diatasi dengan menghilangkan stimulus tersebut.

60
61
2.5 Lesi Inflamasi pada Rahang dan Gambaran Radiograf
1. Perikoronitis
Merupakan inflamasi jaringan disekitar mahkota gigi yang erupsi sebagian. Sering
terlihat berhubungan dengan M3 mandibula pada dewasa muda. Gingiva sekitar
bagian erupsi mahkota menjadi inflamasi ketik debris makanan atau mikroba terjebak
dibawah jaringan lunak. Gingiva kemudian menjadi bengkak dan dapat menjadi
traumatik sekunder oleh oklusal lawannya. Inflamasi dapat meluas pada tulang
disekitar mahkota gigi.
Karakteristik radiografi utama, termasuk :
 Batas kurang terdefinisi dengan transisi bertahap dari pola trabekular normal
hingga ke daerah sklerotik
 Struktur internal tulang yang dekat dengan pericoronitis seringnya sklerotik
dengan trabecular tebal.
 Pada kasus pericoronitis meluas, tampak formasi tulang periosteal baru pada
korteks inferior, batas posterior ramus, dan sepanjang coronoid notch
mandibula.

2. Osteomielitis
Osteomyelitis merupakan inflamasi pada sum-sum tulang dengan kecenderungan
semakin parah. Insidensi osteomyelitis lebih tinggi pada mandibula akibat vaskularisasi yang
buruk pada lempeng kortikal. Di era antibiotik ini, osteomyelitis sudah jarang terjadi.
Berkurangnya pertahanan tubuh akibat faktor lokal ataupun sistemik dapat berperan dalam
timbulnya penyakit ini. Beberapa penyakit sistemik yang berhubungan dengan terjadinya
osteomyelitis yaitu DM, autoimun, malignansi, malnutrisi, dan sindrom imunodefisiensi.
Obat-obatan seperti steroid, agen kemoterapi, dan biphosponat juga dapat menjadi penyebab
timbulnya osteomyelitis. Sementara itu faktor lokal yang dapat menyebabkan timbulnya
osteomyelitis yaitu terapi radiasi, osteoporosis, dan kelainan tulang lainnya yang
mempengaruhi suplai darah.
Patogenesis
Pada awalnya osteomyelitis muncul akibat penyebaran infeksi odontogenik atau
akibat trauma. Penyebaran infeksi tersebut menyebabkan bakteri berinokulasi di tulang
rahang dan terjadi proses inflamasi pada area tersebut. Pada pasien normal, kondisi ini

62
merupakan self-limiting dan merupakan komponen proses penyembuhan. Namun tetap saja
baik pada pasien normal ataupun pada pasien dengan gangguan fungsi imun, terdapat potensi
kelanjutan dari kondisi tersebut menjadi kondisi patologis.
Karena terjadi inflamasi, maka pada area tulang rahang tersebut akan terjadi hiperemi
dan peningkatan aliran darah. Sejumlah leukosit juga bermihrasi ke area tersebut untuk
memerangi bakteri dan debris selular. Ketika pus dan proses inflamasi selanjutnya terjadi
pada area tersebut, tekanan intermedular akan meningkat sehingga terjadi penurunan aliran
darah. Pus yang terbentuk dapat mengalir melalui kanal Volkman’s dan Haversian sehingga
dapat menyebar ke luar dari tulang medular dan tulang kortikal. Pus yang perforasi dari
tulang kortikal, pus tersebut akan terkumpul di bawah lapisan periosteum. Hal tersebut
menyebabkan terganggunya suplai darah di area periosteal dan trjadi kerusakan lokal lebih
lanjut. Akhir dari patogenesis osteomyielitis adalah ketika pus perforasi ke jaringan lunak
intraoral ataupun ekstraoral, membentuk fistula.
Mikrobiologi
Bakteri patogenik yang paling sering menyebabkan infeksi oral yaitu sterptococci dan
bakteri anaerob sepeti bacteriodes atau peptostreptococci. Dokter gigi harus memberikan
antibiotik secara empiris berdasarkan patogen penyebabnya. Maka dari itu jenis antibiotik
yang dapat diberikan adalah klindamisin (obat tunggal) atau penisilin dengan metronidazole
(obat ganda).
Klasifikasi
Menurut Lew dan Waldvogel
 Supuratif
 Nonsupuratif
Menurut Hudson (digunakan dalam praktik klinis)
 Akut
- Contigous focus
- Progressive
- Hematogenous
 Kronik
- Rekuren multifokal
- Garre’s
- Supuratif atau nonsupuratif
- Sklerosis

63
Gejala Klinis
 Nyeri
 Bengkak dan eritema
 Adenophaty
 Demam
 Parastesis saraf inferior alveolar
 Trismus
 Malaise
 Fistul
Perawatan
Manajemen dari osteomyelitis harus dilakukan dengan medikasi dan intervensi bedah.
Langkah pertama yang dilakukan dalam manajemen osteomyelitis adalah menegakan
diagnosis dengan melakukan pemeriksaan klinis, radigrafis, dan histologi. Pemeriksaan
histologi diperlukan untuk membedakan osteomyelitis dengan keganasan. Respon klinis
terhadap perawatan dapat tidak optimal apabila faktor-faktor lokal ataupun sistemik yang
terganggu belum diperbaiki. Maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang
mengindikasikan adanya kondisi imunokompromis. Salah satu pemeriksaannya yaitu kontrol
gula darah pada pasien diabetes.
A. Medikasi
Antibiotik empiris yang diberikan harus sesuai dengan stain Gram hasil
pemeriksaan eksudat. Namun tetap diperlukan kultur definitif dan pemeriksaan
sensitivitas untuk menentukan antibiotik yang paling tepat digunakan selanjutnya.
B. Intervensi bedah
 Sequestrectomi
Mengambil area yang terinfeksi dan bagian tulang yang avaskularisasi.
 Saucerization
Mengambil tulang kortikal sehat disekitarnya untuk menginisiasi proses
enyembuhan sekunder.
 Dekortikasi
Mengambil densitas tulang kortikal yang terinfeksi kronis dan tervaskularisasi
dengan buruk kemudian meletakan vaskular periosteum di area tulang medula
untuk memberikan aliran darah yang dapat memfasilitasi proses penyembuhan.
 Reseksi

64
Biasanya dilakukan sebagai pilihan terakhir atau dilakukan apabila tindakan
sebelumnya tidak memberikan hasil yang baik. Reseksi dan rekonstruksi
diindikasikan ketika pasien sudah mengalami parastesis.
Setelah tindakan bedah dilakukan, pasien perlu dipasangkan fiksasi eksternal
untuk menopang area yang melemah akibat tindakan bedah yang dilakukan. Hal ini
digunakan untuk mencegah terjadinya fraktur. Antibiotik dosis tinggi yang diberikan
secara lokal juga diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Terapi hiperbaric
oksigen akan meningkatkan kadar oksigenase, sehingga juga dapat membantu
memerangi bakteri anaerob yang ada pada area tersebut.

Karakteristik radiograf utama dari osteomyelitis akut, termasuk :


 Daerah radiolusensi yang tidak rata, patchy atau seperti tergigit ngengat / moth
eaten – outline daerah destruksi irregular dan kurang terdefinisi.
 Tampak sekuestra kecil radiopak dari tulang nekrotik kadang-kadang didalam
radiolusensi
 Tampak formasi tulang subperiosteal baru biasanya diluar daerah nekrosis,
terutama sepanjang border bawah mandibula.

Karakteristik radiograf utama dari osteomyelitis kronik, termasuk :


 Daerah patchy terlokalisasi atau moth eaten dari destruksi tulang
 Sklerosis tulang disekitarnya
 Tampak sequestra kecil radiopak dari tulang nekrotik kadang didalam daerah
destruksi tulang
 Tampak involucrum disekitar daerah destruksi diikuti dengan formasi tulang
subperiosteal meluas. Involucrum adalah selubung radiopak diluar squestra
yang terjadi bila fase akut reda dan merangsang osteoblast membentuk tulang
baru di sekitar squestra.

65
Catatan : Tampilan radiografi pada kelainan osteomyelitis bervariasi tergantung dari
tipe yang mendasari respon inflamasi
3. Osteoradionekrosis
Dosis tinggi radiasi yang digunakan dalam radioterapi dapat menurunkan
vaskularisasi dan kekuatan reparatif tulang secara drastis. Terutama sangat rentan
pada mandibula. Trauma (contohnya ekstraksi gigi) atau infeksi setelahnya dapat
menyebabkan osteomielitis dengan destruksi cepat tulang iradiasi, formasi sequestra
dan poor healing. Secara radiografi, osteoradionekrosis menyerupai tipe lain
osteomielitis, walaupun perbatasan antara tulang nekrotik dan normal dapat lebih
terdefinisi jelas dan formasi tulang subperiosteal baru biasanya tidak tampak. Riwayat
radioterapi memungkinkan terbentuknya diferensial diagnosis.
Karakteristik radiograf utama, termasuk :
 Daerah radiolusen yang tidak rata, patchy, atau moth eaten dari destruksi
tulang
 Kadang tampak sequestra radiopak dari tulang nekrotik
 Tampak sedikit bukti penyembuhan

Osteoradionekrosis merupakan kondisi inflamasi tulang (osteomielitis) yang


muncul setelah tulang terpapar dosis terapi radiasi yang biasanya diberikan untuk
keganasan pada area kepala dan leher. Ini dikarakteristikkan dengan adanya tulang
yang terekspos pada waktu setidaknya 3 bulan muncul setelah terapi radiasi. Dosis di
atas 50 Gy menyebabkan kerusakan irreversibel. Tulang yang teradiasi menjadi
hiposeluler dan hipovaskular. Gangguan vaskularisasi menghasilkan lingkungan yang
hipoksia dimana penyembuhan tulang tidak memungkinkan. Walaupun infeksi dapat
menjadi faktor yang juga berperan, tetapi tidak terlalu menjadi masalah setelah
adanya kerusakan akibat radiasi. Pada banyak kasus, ekstraksi gigi dan trauma gigi
setelah terapi radiasi dapat menjadi faktor etiologinya. Karena kesulitan dalam
menangani, komplikasi serius ini membawa morbiditas yang tinggi

66
Gambaran klinis
Mandibula lebih sering terkena daripada maksila. Hal ini terjadi karena mikroanatomi
dan penurunan vaskular pada tulang ini. Lebih sering pada posterior mandibula
daripada anterior. Ini dibsebabkan karena posterior body mandibula merupakan area
yang terkena langsung perawatan radiasi karena tumor primer dan lesi metastasis pada
nodus limfe diatasi dekat area mandibula ini. kehilangan mukosa yang melapisi dan
tereksposnya tulang merupakan tanda khas dari osteoradionekrosis. Fraktur patologi
dapat terjadi. tulang yang terekspos menjadi nekrotik karena kehilangan vaskularitas
dari periosteum dan kemudian sekuestra, sering mengarahkan untuk terekspos nya
semakin banyak tulang. Rasa sakit dapat ataupun tidak muncul. Nyeri yang mendalam
dapat muncul dengan pembengkakan intermiten dan drainase ekstraoral. Namun,
kebanyakan pasien tidak merasakan sakit setelah terpapar tulang.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaannnya sama dengan pemeriksaan osteomielitis fase kronis, dengan CT
yang menjadi pilihan.
Gambaran radiografik
Mirip dengan osteomielitis kronis. Tidak selalu didiagnosis secara radiograf.
 Lokasi
Terutama pada mandibula area posterior. Maksila dapat terlibat dalam beberapa
kasus.
 Batas tepi
Sulit dibedakan sama seperti osteomielitis lainnya. Jika lesi mencapai batas inferior
mandibula, dapat terjadi resorpsi ireguler dari tulang korteks.
 Struktur internal
Muncul variasi dari pembentukan tulang sampai kerusakan tulang, dengan lebih
banyak pembentukan tulang, memberikan tampilan sklerotik dan radiopak pada tulang
yang terkena. Ini sangat mirip dengan osteomielitis kronis. Pola tulangnya
bergranular. Dapat terlihat area radiolusen yang bertaburan dengan dan tanpa
sekuestra pusat. Tulang maksila yang terkena juga sangat sklerotik dan ada area
resorpsi tulang.
 Efek terhadap sekitar
Periosteal tulang baru yang terinflamasi jarang terjadi, yang mungkin terjadi karena
efek merusak dari radiasi pada potensial osteoblas di periosteum. Pada kasus yang
sangat jarang, periosteum muncul untuk distimulasi menghasilkan tulang, sehingga
terbentuk tulang baru diluar korteks dengan bentuk yang tidak biasa. Paparan radiasi
dapat juga menstimulasi resorpsi tulang, terutama di maksila, dimana tampilannya
mirip dengan kerusakan akibat neoplasma ganas. Efek yang paling sering disekitar
tulang adalah stimulasi sklerotik.
Diagnosis pembanding
 Neoplasma ganas rekuran (squamous cell carcinoma). Jika ada rekurensi,
perlu gambaran CT dan MRI utnuk melihat keterlibatan jaringan lunak
 Lesi sklerotik lainnya seperti osteomielitis kronis.

67
Penanganan
Penanganannya kurang memuaskan. Dekortikasi dengan sekuetrektomi dan
hyperbaric oxygen dengan antibiotik menampilkan keberhasilan yang terbatas karena
penyembuhan yang buruk setelah pembedahan. Pendekatan konservatif adalah tujua
terapi untuk memelihara integritas tepi bawah mandibula dan area bebas infeksi serta
nyeri. Untungnya, insiden osteoradionekrosis dihambat melalui terapi pencegahan
yang terbukti sedikit efektif, seperti pencabutan gigi dengan penyakit periodontal atau
berprognosis buruk sebelum perawatan radiasi dan menjaga OH dengan baik.

2.6 Tatalaksana Perawatan Kanker Mulut

Prinsip perawatan oral cancer adalah menyembuhkan pasien. Pilihan perawatan tergantung
beberapa faktor seperti tipe sel dan derajat diferensiasi :
 site, size dan lokasi primer lesi ;
 status nodus limfe ;
 keterlibatan tulang ;
 kemampuan surgical margin yang adekuat ;
 kemampuan mempertahankan fungsi bicara & fungsi pengunyahan ;
 status mental dan fisik ;
 pemeriksaan keseluruhan komplikasi terapi
 pengalaman surgeon dan redioterapis (fasilitas)
 pilihan dan kerjasama pasien (keuangan)
Jika lesi tidak dirawat dengan terapi awal, pilihan perawatan akan dibatasi dan kemungkinan
kesembuhan berkurang.

Tujuan pengobatan :
 kuratif (sembuh)
apabila memungkinkan menyembuhkan tumor/ kanker hilang dan tidak kembali lagi.

68
 Kontrol
Apabila sembuh tidak mungkin, tujuannya adalah untuk menghentikan penyakit
(kanker tidak tumbuh dan menyebar lagi).
 Paliatif
Apabila kontrol tidak mungkin atau kanker sudah stadium lanjut. Kemoterapi
bertujuan mengurangi gejala dan mempertahankan kualitas hidup yang baik.
TNM staging cancer

Pilihan perawatan oral cancer :


1. Surgery
Surgery merupakan perawatan primer atau bagian dari kombinasi perawatan
dengan terapi radiasi. Surgery diindikasikan untuk :
 Tumor yang melibatkan tulang

69
 Ketika keterlibatan bagian yang surgery diperkirakan kurang signifikan
daripada radiasi
 Untuk tumor yang kurang sensitif radiasi
 Untuk rekuren tumor pada area yang sebelumnya menerima dosis maksimum
radiasi.
Surgery juga digunakan untuk kasus paliatif, untuk mengurangi besarnya tumor
dan meningkatkan drainase dari kavitas yang terblock (contohnya antrum). Surgery
bisa gagal karena incomplete eksisi, inadekuat reseksi margin, benih tumor pada luka,
unrecognized lymphatic atau hematogenous spread, neural invasion, atau perineural
spread. Margin bedah yang adekuat dibutuhkan, namun tidak dapat dicapai karena
lokasi dan size dari tumor. Hasil surgery dibutuhkan untuk struktur kesehatan,
pertimbangan estetik dan fungsional. Saran perawatan yaitu perawatan kombinasi
dengan kemoterapi sistemik, dan imunoterapi dan juga rekonstruksi.
Pada beberapa kasus, keterlibatan tulang yang minimal dari alveolar crest,
mandibulektomi parsial dibolehkan diikuti dengan perawatan mandibula. Pada
beberapa kasus, mandibulektomi dan dilanjutkan dengan reseksi dengan keterlibatan
nodus.
Diseksi radikal leher dilakukan sebagai bagian reseksi enbloc tumor dengan
metastasis nodus limfe dan dapat dikombinasikan dengan terapi radiasi ketika tumor
primer dirawat dengan radioterapi. Tumor dengan keterlibatan nodus harus dirawat
agresif karena prognosisnya buruk, hal ini terlihat pada nodus yang positif.
Eksisi bedah diplasia dan lesi malignansi bisa diselesaikan dengan terapi laser.
Terapi laser untuk lesi mempunyai toleransi yang baik dan dapat menurunkan periode
hosptalisasi, namun sayangnya kekurangan terapi ini keterbatasan pemeriksaan
margin lesi untuk konfirmasi histopatologi.

70
General indikasi untuk pos-operatif terapi radiasi termasuk :
 Positif soft tissue margin
 Lebih dari satu nodes limfa yang positif tanpa ekstracapsular invasi
 Satu atau lebih nodus limfa dengan ekstracapsular invasi
 Bone invasi pleh cancer, bahkan margin tulang yang negatif
 Perineural invasi pada spesimen
 Adanya penyakit imunosupresif, seperti HIV/AIDS.
2. Terapi Radiasi
Terapi radiasi diatur dengan tujuan untuk menyembuhkan, sebagai bagian dari
terapi kombinasi radiasi-bedah dan atau kemoterapi atau untuk paliatif. Radikal terapi
diharapkan untuk penyembuhan. Dosis total yang tinggi dan pemberian radiasi yang
lama, efek radiasi akan tampak cepat atau lambat pada umumnya. Pada perawatan
paliatif, radiasi memberikan gejala bebas dari sakit, bleeding, ulserasi dan
oropharyngeal obstruction. Hiperfraksionasi radiasi (dosis selalu 2kali sehari)
digunakan lebih ekstensif untuk komplikasi kronik yang timbul, walaupun komplikasi
akut lebih parah.
Radiasi membunuh interaksi sel dengan molekul air pada sel, memproduksi
muatan molekul yang berinteraksi dengan proses biokimia pada sel. DNA terganggu
dan kerusakkan kromosom terjadi. Sel yang terkena bisa mati atau tidak mampu lagi
membelah. Karena lebih besar potensi untuk sel memperbaikki diri pada sel normal
daripada sel maligna dan kerentanan terhadap radiasi lebih besar karena pecahan
pertumbuhan sel kanker yang lebih tinggi. Untuk mencapai hasil efek terapi, radiasi
dilakukan dalam beberapa bagian setiap hari untuk beberapa hari yang telah
ditentukan.

71
Efek biologi radiasi tergantung dosis per fraksi, jumlah fraksi perhari, total
waktu perawatan dan total dosis radiasi. Penggunaan time dose fractions (TDF) dan
nominal standard dose (NSD) akan memfasilitasi pemahamanefek biologi. Toleransi
vaskular dan kconnective tissue terhadap radiasi mempengaruhi kesuksesan dalam
mengontrol tumor dan perkembangan komplikasi perawatan. Komplikasi akhir
radioterapi karena efek vaskular, connective dan proliferasi yang lama jaringan
parenkim.
Terapi radiasi bermanfaat untuk merawat penyakit in situ dan mencegah
pengambilan jaringan, dan bisa untuk perawatan tumor T! & T2. Radioterapi bisa
diatur untuk lesi terlokalisasi dengan teknik implant (brachytheraphy) atau regio
kepala dan leher menggunakan external beam radiation.
Sumber Radiasi
Untuk perawatan superficial tumor radiasi dengan penetrasi lemah bisa
digunakan. Low kilovolt radiation (50-300 kV) bisa digunakan untuk perawatan lesi
bibir dan kulit. Electron beam theraphy digunakan untuk radiasi superfisial dan
digantikan dengan mesin low kilovolt x-ray yang lebih luas karena elektron
memproduksi dosis yang cepat dan tajam, oleh karena itu kedalaman penetrasi bisa
dikontrol. Elektron radiasi digunakan pada lesi kulit, tumor parotid, dan cervical
nodes.

Treatment Planning
Rencana perawatan ditentukan dengan tumor site, size total volume yang akan
diradiasi, total hari perawatan dan toleransi pasien. Rencana perawatan terapi radiasi
termasuk sparing jaringan atau organ yang tidak terlibat. Dosis untuk mata, spinal
cord, salivary gland, alveolar bone, dan soft tissue bisa dibatasi melalui pemilihan
sumber radiasi, pengaturan area radiasi.

72
Untuk dosis terapi yang diulang, penggunaan lokasi perawatan, pasien dan
area perawatan harus imobilisasi. Kepala bisa diimobilisasi dengan berbagai teknik
dan material termasuk head holder, bandage, menggunakan landmark leher dan
kepala/tato, custom acrylic shells (mould room technique). Teknik bisa dikombinasi
dengan oral device terhadap posisi mandibula, mengikuti maksila, atau mandibula
diposisikan mengarah ke area radiasi. Oral device bisa memasukkan lidah keposisi
lidah atau keluar dari area radiasi.
Perawatan radiasi membutuhkan lokalisasi tumor dan rencana radiasi. Margin
tumor bisa ditandai dengan radiopak gold seeds atau lead wire.
Untuk malignansi pada umumnya, radiasi umumnya digunakan dalam 1.8
sampai 2 Gy per fraksi selama 5 minggu untuk total dosis 6000-6500 cGy. Terapi bisa
dipercepat dengan memberikan dosis 5000cGy dalam 3 minggu. Limfoma pada leher
dan kepala biasanya dirawat dengan total dosis 3500-5000 cGy dengan pemberian
180-200 cGy per hari.

73
Efek Terapi Radiasi

74
3. Kemoterapi
Kemoterapi dianggap sebagai perawatan individu dengan tumor tingkat lanjut
atau penyakit rekuren yang mana surgery atau radiasi tidak memperlihatkan
perubahan dalam perawatan. Kemoterapi sering digunakan sebagai terapi induksi
prior terhadap terapi lokal sebagai simultan kemoradioterapi dan sebagai adjuvant
kemoterapi setelah perawatan lokal. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi yang
diinvestigasi ; kemunduran tumor terlihat tetapi tetapi tidak ada perbaikan
kelangsungan hidup secara konsisten selama 5 tahun. Objektifitas penambahan
kemoterapi yaitu untuk meningkatkan reduksi awal tumor dan untuk perawatan awal
bagi mikrometastasis.
Potensi efek toksik termasuk mucositis, nausea, vomiting, bone marrow
supression. Kemoterapi untuk kanker kepala dan leher menghasilkan reduksi ukuran
tumor namun tidak meningkatkan keberlangsungan hidup, atau mengontrol umor
primer atau menurunkan insiden metastasis. Tumor yang awalnya respon terhadap
kemoterapi sebelum radioterapi diprediksi tumor responsif terhadap radiasi.
4. Kombinasi radiasi dan surgery
Manfaat radioterapi adalah kemampuan memberantas well-oxtgenated tumor
cells pada perifer tumor dan mengendalikan penyakit regional subklinis. Sedangkan
surgery lebih bagus dalam mengendalikan massa tumor dengan resisten radiasi sel
hypoxic dan tumor yang melibatkan tulang. Dengan demikian kombinasi terapi dapat
menghasilkan penyembuhan yang lebih baik pada kasus tumor yang sudah stadium
lanjut dan tumor yang menunjukkan keagresifan.
Tidak ada kesepakatan umum pengobatan kombinasi yang tepat apakah pre-
operatif atau post-operatif radiasi. Manfaat radiasi pre-operatif yaitukerusakan perifer
sel tumor, potensi dalam kontrol penyakit subklinis, kemungkinan konversi lesi yang
awalnya inoperable menjadi operable. Sedangkan kerugiannya termasuk kesulitan
dalam menentukan luas tumor yang tepat, keterlambatan surgery dan keterlambatan
penyembuhan post-surgical.
Surgery sebelum radioterapi dapat digunakan untuk mengangkat massa tumor
yang besar yang mengandung hypoxic cell. post-operatif radioterapi bisa digunakan
untuk merawat sel yang tetap ada pada margin reseksi dan mengontrol penyakit
subklinis. Post-operatif radioterapi dipilih pada kasus spesifik, seperti ekstensif
karsinoma (yang mengalami delayed healing karena pre-operatif radioterapi yang
mungkin kritis), tumor yang meluas ke margin spesimen dan perluasan ekstracapsular

75
tumor. Kontrol pemeriksaan klinis dibutuhkan untuk pedoman pemilihan pre-operatif
atau post-operatif radioterapi.

2.7 Persiapan Pra-Perawatan Kanker (Radioterapi)

1. Evaluasi Gigi Geligi


Evaluasi oral dibutuhkan untuk mengidentifikas keberadaan kondisi-kondisi yang
harus dirawat sebelum dilakukan perawatan kanker. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi risiko atau keparahan dari komplikasi, mengurangi risiko infeksi yang
melibatkan gigi geligi dan mukosa, serta meminimalisir komplikasi hiposalivasi.
Tindakan praperawatan yang dilakukan adalah menjaga integritas mukosa, integritas
tulang, gigi, kesehatan periodontal, fungsi kelenjar saliva, dan pencegahan hal-hal yang
berpotensi menimbulkan komplikasi. Riwayat pasien juga harus diketahui, meliputi
riwayat perawatan gigi geligi, keluhan oral dan dental yang sedang terjadi, dan
keberadaan serta kondisi protesa. Evaluasi pra perawatan kanker harus komprehensif.
Selain mengevaluasi kondisi intraoral, evaluasi juga harus mencakup pemeriksaan kepala
dan leher.

A. Kondisi gigi geligi yang ada


 Kondisi gigi geligi dan kondisi lain yang memerlukan tindakan pencabutan juga
harus segera didiagnosis dan ditindak, karena tindakan pencabutan yang dilakukan
pasca radioterapi akan berisiko menimbulkan komplikasi osteoradionekrosis.
Radioterapi sebaiknya ditunda hingga 3 minggu pasca ekstraksi. Teknik yang
digunakan adalah atraumatik eksodonsia. Hal yang perlu diperhatikan adalah
dalam kasus ini yaitu dokter gigi harus mempertimbangkan durasi penyembuhan
paska ekstraksi. Apabila penyembuhannya gagal / lambat, maka radioterapi akan
semakin ditunda. Apabila radioterapi tetap dilaksanakan tanpa menunggu
penyembuhan, maka proses penyembuhan akan bertambah lama mencapai bulan
bahkan tahunan. Berikut merupakan beberapa kondisi yang memerlukan tindakan
ekstraksi pra radioterapi :
a) Gigi yang sudah tidak bisa direstorasi lagi
b) Radiks
c) Gigi yang memiliki permasalahan periodontal (di area yang akan menerima
tindakan radioterapi)

76
 Pemeriksaan radiograf perlu dilakukan untuk mengevaluasi kondisi patologis yang
berada pada gigi, area periapikal, dan tulang secara detail.
 Pemeriksaan kultur diperlukan apabila pasien diduga mengalami suatu infeksi
tertentu
 Pemeriksaan kultur bakteri kariogenik diperlukan untuk mengetahui tingkat risiko
kejadian karies dan mengidentifikasi kebutuhan perawatan.
 Tindakan scaling dan root planning perlu dilakukan
 Area yang berpotensi menyebabkan iritasi mekanis harus diliminasi
 Apabila tersedia waktu yang masih cukup, sebaiknya dilakukan perawatan pada
lesi-lesi periapikal.
B. Patient’s dental awareness
 Jaringan periodontal yang telah menerima terapi radiasi cenderung akan
mengalami kehilangan perlekatan yang lebih parah, sehingga perlu dilakukan
probing periodontal lengkap sebagai pertimbangan praradioterapi.
 Laju produksi saliva juga perlu dievaluasi pra radioterapi, untuk memprediksi
terjadinya komplikasi apabila ditemukan adanya perubahan lanju produksi saliva
pasca radioterapi.
C. Kesegeraan radioterapi
Apabila radioterapi harus segera dilakukan, maka dokter gigi tidak bisa
melakukan tindakan ekstraksi yang dibutuhkan. Dalam kasus ini, dokter gigi harus
tetap memantau dan menjaga kondisi gigi geligi pasien agar tetap seoptimal mungkin.
D. Lokasi Radiasi
Semakin banyak area tulang dan kelenjar saliva yang terpapar radiasi, semakin
banyak kerusakan yang terjadi pada sel asini dan vaskularisasi tulang rahang. Maka
dari itu, dokter gigi perlu melakukan diskusi mengenai lokasi pajanan radiasi oleh
radioterapis. Apabila pasien benar-benar harus mendapatkan pajanan radiasi di area
kelenjar saliva mayor dan tulang rahang mandibula, maka pasien harus mendapatkan
tindakan ekstraksi terhadap gigi-gigi yang diindikasikan, sebelum dilakukan terapi
radiasi.
E. Dosis radioterapi
Semakin besar dosisnya, semakin parah kerusakan jaringanya. Maka dokter
gigi perlu berdiskusi dengan radioterapis dalam menentukan dosis. 90% malginansi

77
yang terjadi pada rongga mulut berupa squamous sel karsinoma. Malignansi ini akan
terjadi pada saat terpajan dosis radiasi > 6000 rad (60 Gyl).

2. Persiapan Gigi Geligi dan Maintenance Pasca Iradiasi


Sebelum perawatan berlangsung
 Pembuatan dental casting untuk membuat fluoride tray yang digunakan untuk
profilaksis fluoride topikal dan pemberian fluoride topikal pasca iradiasi
 Reinforce oral hygiene, instruksi, dan demonstrasi
 Lakukan penghilangan iritan mekanis (misal : cusp yang tajam)
 Berikan pasien anjuran untuk berhenti mengonsumsi tembakau dan alkohol

Ketika perawatan berlangsung


 Instruksikan pasien untuk berkumur dengan saline 10x perhari
 Dokter gigi harus memantau kondisi gigi geligi pasien seminggu sekali untuk
mengevaluasi oral hygiene dan kemampuan mobilitas rahang
 Dokter gigi harus memantau status nutrisi dengan menimbang BB pasien seminggu
sekali
Setelah perawatan berlangsung
 Dokter gigi harus memantau pasien setiap 3-4 bulan sekali
 Berikan fluoride topikal
 Pantau tanda-tanda timbulnya trismus dan cegah dengan menginstruksikan jaw
exercising (therabyte)

2.8 Komplikasi Pasca Perawatan Kanker


1. Komplikasi Pasca Perawatan Radioterapi

Terhadap Mukosa dan Jaringan Lunak


1. Mukositis
Ulseratif oral mukositis merupakan kondisi yang nyeri dan melemahkan yang
berhubungan dengan dosis dan toksisitas dari terapi kanker. Hal-hal yang berpotensi
terjadi ketika mukositis terjadi diantaranya adalah nyeri parah, peningkatan risiko infeksi
lokal dan sistemik, penurunan fungsi oral dan faringeal, dan perdarahan oral yang
mempengaruhi kualitas hidup. Nyeri mukositis dirawat dengan analgesik. Peningkatan
risiko mukositis berkaitan dengan kondisi OH buruk, hiposalivasi, usia lanjut, dan

78
pengunaan tembakau. Tingkat keparahan mukositis akut akibat radiasi dapat dideteksi
dengan melihat konsentrasi plasma GSH (Glutamyl-Cysteinyk-Glycine). GSH memiliki
peran radioprotektif untuk mencegah kerusakn DNA dan oksidasi membran lipid.
a) Evaluasi
Pemeriksaan klinis pada perubahan jaringan, evaluasi gejala oral, skala fungsi,
dan perhitungan kerusakan jaringan merupakan prinsip yang penting dalam
mengevaluasi kejadian mukositis. Skala yang dapat digunakan adalah OMAS (Oral
Mucositis Assessment Scale).
b) Patogenesis
Penipisal epitelium  perubaan molekul sel permukaan dan epidermal growth
factor sehingga mukosa menjadi rentan  ada kehadiran mikroflora yang
menyebabkan ulserasi  penyembuhan terhambat akibat pertahanan tubuh menurun
dan produksi saliva menurun.
Mukositis akan terjadi pada mukosa non-keratinisasi terlebih dahulu.
Penampakan awal dari mukositis berupa warna putih pada mukosa. Hal ini
disebabkan karena proses hiperkeratinisasi dan edema intraepitelial. Selain itu bisa
juga berwarna merah akibat penipisan epitel dan hiperemia. Kemudian terbentuk
pseudomembran yang membentuk ulserasi dengan eksudat fibrinous yang
mengandung mikroflora dan debris.
c) Perawatan mukositis
 Sistemik
- Manajemen nyeri
Pemberian analgesik untuk manajemen nyeri mukositis harus mengacu
pada prinsip WHO, yaitu memberikan analgesik non opioid tunggal atau
dengan kombinasi opiod dan kombinasi adjuvant apabila keparahan nyeri
meningkat. Terapi adjuvant dalam manajemen nyeri diantaranya adalah
relaksasi, imagery, biofeedback, hipnosis, dan stimulasi saraf transkutan.
- Radioprotector (Amifostine)
Amifostine akan mengatasi pembentukan radikal bebas pada jaringan
dan menginisiasi proses perbaikan DNA yang rusak. Efek sampingnya dapat
berupa mual, muntah, dan hipotensi. Amifostine diberikan melalui intravena
setiap sebelum terapi radiasi dan harus didahului dengan prehidrasi.
- Biologic Response modifier

79
Biologic Response modifie merupakan molekul yang mempengaruhi
fungsi selular termasuk pertumbuhan dan proses perbaikan jaringan. Berikut
ini adalah beberapa contohnya :
o G-CSF (Granulocyte Colonystimulating Factor)  mengurangi risiko
mukositis
o GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colonystimulating Factor)
o KGF (Keratinocyte Growth Factor)  mempercepat proses penyembuhan
luka, memodifikasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel, melindungi sel
dari kerusakan
 Topikal
Untuk penggunaan obat topikal, disarankan menggunakan obat dengan
bahan dasar lanolin daripada minyak. Karena dalam penggunaan jangka panjang,
obat berbahan dasar minyak akan menyebabkan atrofi epitel dan risiko infeksi.
Obat topikal yang digunakan dapat berupa coating agent, analgesik topikal, dan
anestesi topikal. Yang termasuk ke dalam coating agent adalah magnesia, liquid
amphogel, kaopectate. Anestesi topikal yang poten harus digunakan secara hati-
hati karena berpotensi menurunkan gag refleks, depresi SSP atau eksitasi, serta
menimbulkan efek kardiovaskuler.
- Benzidiamine
Benzidiamin merupakan obat dengan efek antiinflamasi, analgesik, dan
anestesi. Obat ini menstabilkan membran sel, menghambat degranulasi
leukosit, mempengaruhi produksi sitokin, dan mengganggu sintesis
prostalglandin. Pemberian profilaksis obat ini dapat mengurangi keparahan
mukositis.
- Sucralfate
Merupakan obat untuk ulser gastrik namun dapat mengurangi keparahan
mukositis.
- Misoprostol
Sebenarnya digunakan untuk mencegah ulser gastric akibat obat NSAID,
namun berdasarkan penelitian dinyatakan ampuh untuk digunakan sebagai
obat topikal di area kepala leher yang terkena terapi iradiasi.
- Hidroksipropil selulosa
Digunakan untuk meredakan gejala yang timbul akibat mukositis.
Penggunaannya bisa dikombinasikan dengan anestesi topikal benzokain.
80
- Povidone iodine
Dadapt digunakan sebagai profilaksis pra iradiasi, untuk mengurangi risiko
mukositis
- Oral capsaicin
Brupa permen yang dapat mengurangi rasa sakit sementara waktu
2. Disfungsi mandibula
Sindrom muskuloskeletal dapat timbul akibat fibrosis otot-otot pasca bedah atau
terapi radiasi. Contohnya, perawatan radiasi pada otot lateral pterigoid dapat
menimbulkan limitasi pembukaan mulut. Sebelum komplikasi menjadi parah, pencegahan
atau pengurangan keparahan fibrosis dan limitasi pergerakan pada mandibula masih dapat
dicegah dengan latihan stretching dan prostethic aid. Terapi yang dilakukan untuk
mengatasi komplikasi ini dapat berupa stabilisasi oklusi, penggunaan perangkat,
fisioterapi, latihan fisik, pemberian medikasi berupa analgesik, trisiklik, dan muscle
relaxant, serta manajemen nyeri.
3. Abnormalitas fungsi bicara dan mastikasi
Hal ini bisa disebabkan oleh hiposalivasi dan fibrosis yang mempengaruhi
mobilitas lidah, pergerakan mandibula, dan fungsi palatum lunak. Untuk abnormalitas
bicara, perlu dilakukan terapi bicara. Abnormlitas mastikasi dan deglutasi akibat defek
palatal perlu diberikan protesa.

Terhadap Kelenjar Saliva


Hiposalivasi, Xerostomia
Pajanan terapi radiasi > 3000 cGy bilateral pada kelenjar saliva mayor berisiko
menyebabkan penurunan produksi saliva. Penurunan produksi saliva disebabkan oleh atrofi
dan nekrosis sel asini, perubahan vaskular jaringan ikat, dan gangguan fungsi neurologis. Hal
tersebut akan menyebabkan terjadinya kondisi xerostomia. Efek yang ireversibel terjadi
apabila dosis total yang diterima pasien mencapai 6000 Gy dalam waktu 5 minggu. Pada saat
terapi radiasi, sel yang paling awal mendapatkan efeknya adalah sel serous acini
dibandingkan dengan sel mucinous acini, sehingga salova yang diproduksi menjadi kental.
Setelah pasien mendapatkan terapi radiasi selama seminggu, penurunan produksi saliva bisa
mencapai 50%. Keadaan xerostomia dapat kembali normal, biasanya dalam kurun waktu 6
bulan. Awaktu penyembuhan tergantung dari jumlah jaringan kelenjar saliva yang terkena
efek, namun lebih sering terjadi kasus komplikasi xerostomia yang permanen. Penurunan dari
produksi saliva akan menyebabkan pengurangan sekresi IgA, pengurangan kapasitas buffer,

81
dan penurunan pH. Perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi kuantitas flora
rongga mulut dan potensi remineralisasi gigi-geligi. Tindakan untuk mengatasi komplikasi ini
yaitu :
a) Stimulasi fungsi saliva
Pengunyahan permen bebas gula dapat menstimulasi fungsi saliva. Sialgogues
juga dapat digunakan untuk menstimulus sekresi saliva. Sebelum pasien diresepkan
sialagogues, perlu dilakukan pengukuran laju sekresi salivanya, agar obat yang
diresepkan sesuai dengan kondisi pasien. Berikut adalah contoh agen sialogogues :
- Pilocarpine (in doses of up to 15mg/d)
Agen parasimpatomimetik yang meningkatkan sekresi saliva dengan efek samping
kardiak cukup kecil.
- Anetholetrithione
Untuk mengatasi mulut kering dengan mekanisme meningkatkan jumlah reseptor
sel permukaan pada sel asinar.
- Bethanechol (75-200 mg/d in divided doses)
Menstimulasi sistem saraf parasimpatetik, tidak memberikan efek terhadap
saluran pencernaan
- Bromhexine
Digunakan untuk perawatan Sjogren syndrome.
Stimulasi kelenjar saliva ketika mendapatkan terapi radiasi dapat mengurangi
kerusakan pada kelenjar tersebut. Pasien yang memiliki laju saliva yang lebih tinggi
akan memiliki laju saliva yang lebih tinggi juga dibanding pasien lainnya, pasca
radioterapi, walaupun sama-sama mengalami penurunan laju. Untuk melindungi
kelenjar parotid dari kerusakan, dapat diberikan sialogogues yaitu Pilocarpine 5mg
qid atau Amifostine IV sebagai profilaksis.
b) Paliasi
Merupakan tindakan pemberian mouth wetting agent atau disebut juga dengan
saliva substitusi. Karateristik dari saliva subtitusi yaitu melumasi jaringan dengan
baik, membasahkan permukaan, menghambat pertumbuhan berlebih dari
mikroorganisme patogenik, menjaga kekerasan struktur gigi, memberikan pengecapan
yang baik, efek lama, dapat memperpanjang shelf life, dan murah. Produk yang
tersedia yaitu berupa komponen carbometilselulosa.

82
Terhadap Jaringan Keras
1. Karies
Kondisi hiposalivasi menyebabkan potensi remineralisasi menurun, penurunan
kapasitas buffer, perubahan pH menjadi asam, dan perubahan flora rongga mulut,
sehingga gigi geligi rentan mengalami karies. Karies yang berasosiasi dengan kondisi
hiposalivasi biasanya terjadi di area 1/3 gingival dan cusp tip. Tindakan yang perlu
dilakukan untuk mengatasi komplikasi ini yaitu :
- Menjaa OH
- Manajemen hiposalivasi
- Pemberian fluoride topikal untuk menguatkan gigi geligi (co :
menggunakan vinyl tray)
- Pertimbangan pemberian antimikroba, berdasarkan evaluasi kuantitas
mikroba (CHX)
2. Postradiation osteonecrosis (PRON)
Terapi radiasi mempengaruhi vaskularitas sehingga menyebabkan
hipovaskularisasi, hiposelular, dan hipoksia. Hal tersebut membuat jaringan tidak dapat
melakukan proses repair atau remodelling apabila diperlukan sehingga terjadi nekrosis.
Risiko terbentuknya PRON pasca iradiasi berlangsung hingga 20 tahun kedepan. Risiko
tersebut meningkat seiring dengan semakin banyaknya area tulang dan gigi yang terpapar
radiasi. PRON lebih sering terjadi di mandibula daripada maksila.
Ketika PRON terjadi, tindakan yang harus dilakukan adalah pencegahan iritan
mukosa, pemberhentian pemakaian perangkat dental yang berkontak dengan area lesi,
menjaga status nutrisi, berhenti merokok, dan mengurangi konsumsi alkohol. Medikasi
yang bisa diberikan berupa antibiotik topikal dan antiseptik. Untuk PRON kronik, perlu
dilakukan follow-up rutin. Pemberian hyperbaric oksigen dapat dilakukan untuk
meningkatkan oksigenasi jaringan, meningkatkan angiogenesis dan menginisiasi fungsi
osteoblas dan fibroblas. Perawatan HBO diberikan dalam 20-30 dives dalam 100%
oksigen dan 2-2.5 tekanan atmosfer.
3. Abnormalitas dentofasial
Anak-anak yang menerima perawatan radioterapi pada skeleton fasial berpotensi
mengalami gangguan perkembangan dan pertumbuhan lebih lanjut pada area tersebut.
Gangguan-gangguan tumbuh kembang gigi geligi yang dapat timbul berupa agenesis gigi,
agenesis akar, abnormalitas bentuk akar, atau abnormalitas kalsifikasi. Sementara itu
gangguan tumbuh kembang skeletal yang dapat timbul yaitu micrognathia, retrognathia,

83
gangguan pertumbuhan maksila, dan pertumbuhan yang asimetris. Selain itu gangguan
pertumbuhan dan perkembangan juga dapat terjadi pada kelenjar saliva pituitary.

Lain-Lain
1. Candidiasis
Pada pasien yang sedang mendapatkan terapi radiasi, jumlah kolonisasi dan proses
infeksi Candida spp akan meningkat. Kondisi peningkatan ini akan terus bertahan selama
pasien masih mengalami hiposalivasi. Candidiasis dapat menyebabkan rasa tidak nyaman
dan perubahan pengecapan. Kolonisasi Candida spp dan candidiasis berkaitan dengan
penggunaan tembakau dan gigi tiruan. Risiko kolonisasi jamur pasca terapi radiasi dapat
dikurangi dengan pemberian profilaksis antifungal.
Tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasi komplikasi ini adalah pemberian
antifungal topikal. Karena antifungal topikal memiliki kandungan sukrosa, maka perlu
diperhatikan potensinya dalam menimbulkan karies, khususnya pada pasien dengan
rongga mulut yang kering.
2. Malnutrisi
Terapi radiasi menyebabkan perubahan presepsi rasa dan aroma pada pasien.
Perubahan rasa dapat disebabkan secara langsung oleh efek taste buds ataupun secara
tidak langsung oleh efek hiposalivasi dan infeksi sekunder. Perubahan rasa ini seringkali
dapat kembali seperti semula setelah beberapa bulan, namun bisa juga bersifat permanen.
Suplemen zinc dapat diberikan pada pasien yang mengalami gangguan pengecapan
seperti ini.
Konseling nutrisi untuk menjaga asupan kalori dan nutrisi perlu dilakukan untuk
mempertimbangkan rasa, tekstur, kalori dan konten dari asupan nutrisi. Dalam konseling
nutrisi juga perlu dipertimbangkan komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi dalam
jangka panjang yang dapat mempengaruhi asupan nutrisi, yaitu hiposalivasi, kesulitan
mengunyah, kesulitan membentuk bolus makanan, dan kesulitan menelan (disfagia).
3. Nyeri
Manajemen perawatan nyeri kanker perlu memperhatikan beberapa hal yang
berpotensi sebagai penyebab nyerinya, misal :
- Nyeri akibat penyakit dental atau penyakit periodotal  terapi definitid,
analgesik dan antibiotik
- Nyeri akibat infeksi mikroba  antimikroba spesifik, antiseptik
- Nyeri neurologi  antidepresant, antikonvulsan

84
- Nyeri kronik yang presisten  konseling, terapi relaksasi, pemeriksaan
radiologi, biofeedback, hipnosis, stimulasi saraf transkutana
Pemberian analgesik harus disesuaikan dengan tingkat keparahan nyeri yang
terjadi, aksi farmakologi obat, dan durasi aksi dari obat tersebut. Analgesik sebaiknya
dikombinasikan dengan adjuvant sesuai dengan kondisi pasien. Pemberian analgesik lebih
baik secara reguler, bukan hanya ketika timbul gejala. Pemberian medikasi terkait nyeri
harus dibarengi dengan strategi kontrol nyeri meliputi terapi fisik, konseling, terapi
relaksasi, hipnosis, biofeedback, dan stimulasi transkutan.

2. Komplikasi Pasca Perawatan Kemoterapi

Terhadap Mukosa Oral


Sejumlah agen kemoterapi membuat epitel menjadi atrofi. Hal tersebut bermanifestasi
menjadi kemerahan dan ulserasi yang nyeri pada mukosa oral. Efek ini biasanya banyak
ditemukan pada mukosa unattached dan jarang ditemukan pada gingiva. Efek ini akan
muncul 1 minggu terhitung dari pemberian awal kemoterapi dan akan hilang dengan
sendirinya dalam waktu 2-3 minggu setelah kemoterapi diberhentikan.
Terhadap Sistem Hematopoetik
Kemoterapi menimbulkan efek myelosupresif yang bermanifestasi sebagai kelainan
darah yaitu leukopenia, neutropenia, trombositopenia, dan anemia. Dalam waktu 2 minggu
terhitung dari awal diberikannya kemoterapi, jumlah leukosit akan menurun dengan drastis.
Efek myelosupresi terhadap rongga mulut berupa gingivitis marginalis, infeksi tingkat

85
sedang, dan penrdarahan gingiva. Efek myelosupresi akan menghilang setelah 3 minggu
pasca kemoterapi diberhentikan.
Terhadap Mikrobiologi Oral
Agen kemoterapi memiliki efek samping imunosupresif sehingga dapat berpengaruh
terhadap jumlah flora oral. Hal tersebut menyebabkan beberapa flora oral menjadi meningkat
dan risiko infeksipun meningkat. Infeksi yang terjadi dapat melibatkan sistemik. Apabila hal
tersebut terjadi, tingkat morbiditasnya mencapai 70%. Untuk mencegah terjadinya infeksi,
pasien yang menerima perawaatan kemoterapi biasanya diberikan medikasi antimikroba
secara terus menerus.
2.9 Perawatan Dental Pasca Radioterapi

Ekstraksi
Ekstraksi pasca radioterapi dapat dilakukan dengan menggunakan terapi tambahan
yaitu HBO 4-6 minggu sebelum ekstraksi dan 2 minggu setelah ekstraksi. Terapi HBO ini
dapat mengurangi risiko osteoraionekrosis. Selain itu, ketika ekstraksi, perlu diberikan
antibiotik sebagai profilaksis. Teknik ekstraksi yang dilakukan harus tanpa tindakan bedah /
alveoloplasti / primary soft tissue closure.
Konservasi
Gigi yang mengalami karies pasca radioterapi harus segera dirawatn untuk mencegah
penyebaran infeksi. Material yang menjadi pilihan dalam kasus ini adalah komposit dan
amalgam. Mahkota tiruan penuh tidak dianjurkan untuk digunakan karena lebih berisiko
terjadi karise sekunder yang sulit terdeteksi di bawah crown. Apabila pasien sudah
mengalami karies pasca radioterapi, dokter gigi perlu lebih menekankan lagi mengenai oral
hygiene dan pemakaian fluoride topikal. Apabila pasien mengalami karies hingga nekrosis
pulpa, dapat dilakukan perawatan saluran akar dengan antibiotik sistemik. Namun biasanya
prosedur ini akan sulit karena terjadi sklerosis yang progresif pada kamar pulpa gigi yang
telah terpajan radiasi.
Gigi Tiruan dan Dental Implan
Pasien pasca iradiasi yang membutuhkan gigi tiruan sebaiknya diberikan soft denture
liners. Pemasangan gigi tiruan pada pasien yang beru mendaat terapi iradiasi harus
dikontruksi dengan hati-hati dan sesuai dengan bidang oklusalnya. Hal tersebut dimaksudkan
untuk mendistribusikan gaya ke seluruh alveolar ridge dengan adil dan mencegah
terbentuknya gaya lateral. Pasien yang sudah mendapatkan terapi iradiasi biasanya sudah
tidak memiliki anatomi sesuai dengan anatomi normal lagi, sehingga pembuatan protesa

86
konvensional yang sesuai sangat sulit untuk dilakukan. Maka dari itu, dental implant lebih
dipilih. Namun dokter gigi tetap harus memperhatikan dan mempertimbangkan beberapa hal
sebelum pemasangan dental implan ini. Yaitu :
 Semakin banyak dosis yang didapat, semakin besar risiko kegagalan implan
 Semakin lama durasi antara terapi radiasi dengan pemasangan implan, semakin besar
risiko kegagalan
 Ketika terjadi kegagalan, biasanya kegagalan tersebut akan terjadi secara cepat, yaitu
sebelum dilakukannya rekonstruksi prostetik
 Kombinasi radioterapi dan kemoterapi akan memberikan efek buruk terhadap proses
oseointegrasi
 Implan pada pasien iradiasi lebih cenderung berhasil pada rahang atas daripada
rahang bawah
 Semakin pendek implan, prognosis semakin buruk
 Penurunan risiko kegagalan dapat dilakukan dengan perawatan HBO (hyperbaric
oksigenase)
Proses oseointegrasi implan pada pasien iradiasi biasanya memakan waktu lebih lama
dari normalnya, yaitu mencapai 6 bulan.

2.10 Farmakologi Anti-Neoplastik

Pengobatan neoplasia dapat berupa tindakan bedah, radioterapi, kemoterapi, terapi hormon
dan imunoterapi yang sekarang masih dalam tahap penelitian.

Pada pengobatan neoplasia, perlu memperhatikan beberapa prinsip penggunaan obat-obat


kemoterapi berikut.

 Sel neoplastik harus sensitif terhadap obat terpilih karena tidak semua sel neoplastik
memberikan respon yang sama terhadap satu obat kemoterapi.
 Destruksi sel oleh obat mengikuti first order kinetic
 Sel neoplastik dapat resisten terhadap obat kemoterapi sehingga obat yang tadinya
efektif menjadi tidak efektif; resistensi pada kemoterapi kanker lebih sering timbul
pada penggunaan obat tunggal. Penyebab resistensi antara lain penetrasi obat
berkurang karena berkurangnya aliran darah, terjadinya mutasi sel akibat obat
kemoterapi dimana sel neoplastik dapat mengubah ambilan obat. Sel neoplastik juga
dapat mengubah aktivitas metabolisme obat, mengubah enzim dalam sel, atau
melakukan metabolisme alternatif.

87
 Kombinasi intermiten; ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan:
o Tempat kerja/mekanisme kerja obat harus berbeda
o Bekerja pada sel dan dalam fase yang berbeda
o Tidak menekan sumsum tulang pada interval pemberian kedua obat.
Oleh karena itu, dalam pemilihan oabt harus memperhatikan:
 Obat yang efektif sebagai obat tunggal, yang mungkin jarang ada
 Toksisitas tidak tumpang tindih
 Keamanan kombinasi dapat diketahui
 Pemilihan obat berdasarkan tempat kerja
 Obat kemoterapi harus dapat ditoleransi secara lokal dan sistemik.
 Dosis dan waktu pengobatan harus diperhitungkan untuk memaksimalkan kontak obat
dengan sel neoplastik dan obat harus terdapat dalam konsentrasi yang cukup selama
siklus metabolik sel. Terapi hormonal diberikan pada tumor yang perkembangannya
dipengaruhi oleh hormon, biasanya yang diberikan adalah antagonis hormonnya.
 Penilaian pengobatan harus dilakukan terutama untuk efektivitas, toksisitas, dan efek
samping. Disamping itu harus dilakukan pemeriksaan darah rutin dan bila diperlukan
pemeriksaan radiologi.
Efek samping yang paling sering timbul:
o Depresi sumsum tulang
o Gangguan saluran cerna, misalnya mual, muntah, diare, stomatitis, dan tukak
saluran cerna
o Rambut rontok
o Penyembuhan luka lama
o Nefropati
o Gangguan perkembangan sel germinal (sel telur dan sperma) beberapa
gangguan pada jaringan lain.
 Semua antikanker menghambat pembelahan sel, sehingga dikontraindikasikan pada
kehamilan karena berbahaya untuk janin.

Klasifikasi antineoplastik menurut mekanisme aksi

Golongan Alkilator Nitrogen mustar, mekloretamin, siklofosfamid, klorambusil,


busulfan, BCNU-karmustin, CCNU-lomustin, metil-CCNU
Golongan Metotrexat, 5-fluorourasil, sitosin arabinosid-Ara-C, 6-
Antimetabolit merkaptopurin, 6-tioguanin, fludarabin, kladibrin
Golongan Antibiotik Daktinomisin, doxorubisin, daunorubisin, idarubisin, epirubisin,
bleomisin, plikamisin, mitomisin
Penghambat Mitosis Vincristin, vinblastin, vinorelbin
Hormon Prednison, tamoksifen, estrogen, leuprolid
Lain-lain Interferon, cisplatin, prokarbazin, I-asparaginase, etoposid
Antibodi monoklonal Alemtezumab, bevacizumab, gemtuzumab, rituximab, imatinib
Obat yang Interferon, aldesleukin, levamisol
memodifikasi respon
biologik

88
Kombinasi terapi pada penyakit neoplastik

Obat-obat dengan mekanisme kerja berbeda dapat diberikan bersamaan untuk menghambat
perkembangan sel kanker yang ada dalam berbagai fase untuk mendapatkan efek terapi yang
maksimal. Kombinasi ini dapat bersifat sinergistik dan meningkatkan efek sitotoksiknya
dengan harapan efek samping minimal.

Jenis Nama Terapi Obat yang digunakan


Kanker CMF Cyclophosphamide+methotrexate+fluorourasil
payudara
Kanker - Fluorouracil+leucovorin
colorectal
Hodgkin’s MOPP Mechlorethamine+Vincristine(Oncovin®)+Procarbazine+P
rednisone
ABVD Doxorubicin(Adruamycin®+Bleomycin+Vinblastin+Dacar
bazine
Leukemia MTX+MP+CTX Methotraxate+Mercaptopurine+Cyclophosphamide
limfositik akut
Kepala dan - Cisplatin+Fluorouracil±Leucovorin atau
leher, sel Bleomycin+Cisplatin±Methotraxate
skuamosa

Hal-hal yang harus diperhatikan dokter gigi

Kebersihan mulut dan gigi harus diperhatikan dengan baik pada pasien yang mendapat
kemoterapi kanker. Sebelum menggunakan antikanker, kebersihan mulut dan gigi harus
optimal. Pada saat terapi kanker berlangsung biasanya jumlah sel darah putih akan sangat
menurun (agranulositosis) dan kemungkinan timbulnya infeksi lebih sering. Kadang-kadang
diikuti dengan menurunnya kadar trombosit (trombositopenia) sehingga sering timbul
perdarahan.

89
Sebelum Kemoterapi
 Bila ada infeksi harus diobati
 Bila ada penyakit karies dan periodontitis harus dirawat terlebih dahulu
 Jelaskan cara menjaga kebersihan mulut
Selama Kemoterapi
 Lakukan konsultasi sebelum pemberian kemoterapi
 Lakukan pemeriksaan hematologi
 Jelaskan cara menjaga kebersihan mulut/gigi
 Sikat gigi teratur
 Kumur dengan obat kumur antiseptik (klorheksidin atau fluor) bergantung
kondisi gigi dan mulut
 Jangan gunakan gigi tiruan pada malam hari
 Berikan fluorid pada xerostomia jangka lama
 Lakukan pembuatan kultur, bila ada infeksi
Setelah Kemoterapi
 Lanjutkan pemeliharaan kebersihan mulut

1. Alkilator
Golongan alkilator memperlihatkan efek sitotoksik terhadap berbagai konstituen sel.
Obat ini digolongkan sebagai mustar nitrogen yang merupakan zat kimia dalam
perang. Mustar nitrogen dapat menghambat perkembangan sel, terutama sel sumsum
tulang. Alkilasi DNA merupakan suatu reaksi yang merusak sel tumor. Golongan ini
sering juga disebut mempunyai efek radiomimetik, karena efeknya menyerupai radiasi
ion. Golongan alkilator tidak bersifat spesifik untuk fase tertentu, tetapi lebih toksik
terhadap sel yang sedang membelah.
Mekanisme Kerja
Mustar nitrogen menghambat pembelahan sel karena terikat dengan DNA sel kanker
secara reversible. Ikatan spesifik ini disebut alkilasi, sehingga obat golongan ini
disebut alkilator. Setelah terjadi alkilasi, DNA tidak dapat bereplikasi dan selanjutnya
tidak dapat mensistesis protein. Nitrosourea sangat larut lemak sehingga dapat masuk
ke otak dan digunakan untuk mengobati kanker otak.
Cara Pemberian

Efek Samping
Efek samping alkilator berupa mual dan muntah, terutama akibat pemberian
mekloretamin. Efek ini segera terlihat setelah pemberian obat dan biasanya berakhir

90
setelah 1-2 hari. Berbagai tahapan depresi sumsum tulang dapat terjadi (anemia,
leukemia, dan trombositopenia) pada hampir semua pasien. Lakukan pemantauan
eritrosit, leukosit, dan trombosit untuk menghindari timbulnya anemia aplastik. Efek
samping lain dapat berupa ulkus saluran cerna dan dikulit, serta rambut rontok.
Karena obat ini menghambat perkembangan sel, maka obat antineoplastik bersifat
teratogenik. Obat ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil, terutama pada trimester
pertama kehamilan.

2. Antimetabolit
Struktur kimia antimetabolit mirip dengan metabolit sel normal tertentu.
Antimetabolit berkompetisi dengan substansi normal dalam tubuh untuk digunakan
oleh sel. Bila sel menggunakan analog antimetabolit akan terjadi blokade fungsi atau
reaksi kimia yang diperlukan pada pembelahan sel. Pada umumnya obat antimetabolit
mengganggu prekursor asam folat, purin atau pirimidin nukleotida dan dengan
menghambat sintesis atau dengan berkompetisi pada saat sintesis DNA atau RNA.
Efel sitotoksik maksimum terjadi pada saat sel dalam fase S. Antimetabolit
digolongkan sesuai dengan substansi yang terganggu, yaitu
a. Antagonis asam folat
Asam folat diperlukan pada sintesis asam nukleat. Defisiensi asam
folat akan menurunkan produksi dan replikasi DNA. Gejala defisiensi asam
folat terlihat dengan terjadinya berbagai anemia dan gangguan saluran cerna.
Enzim asam folat reduktase mengubah asam folat menjadi bentuk aktif yaitu
tetrahidrofolat.
Metotreksat adalah suatu antimetabolit yang menghambat asam folat
reduktase dan menghambat pembentukan tetrahidrofolat. Karena metabolisme
metotreksat lebih cepat, sel kanker akan mengambil metotreksat lebih cepat
daripada sel normal. Metotreksat diberikan PO atau IV setiap hari selama 5
hari, dan biasanya diulang setelah 4 minggu. Penggunaan utama metotreksat
adalah untuk koriokarsinoma dan leukemia akut. Overdosis metotreksat dapat
diperbaiki dengan pemberian asam folinat, yang disebut leucovorin rescue,
untuk menghambat efek samping akibat terapi dengan metotreksat. Pemberian
leucovorin setelah metotreksat akan menyebabkan sumsum tulang mendapat
asam folat yang telah diaktifkan untuk memperbaiki produksi sel darah. Efek
samping metotreksat antara lain mual, muntah, diare, depresi sumsum tulang,
ulkus saluran cerna.
b. Antagonis purin
Beberapa jenis purin dibutuhkan untuk sintesis DNA, dua diantaranya
adalah adenin dan guanin. Merkaptopurin, suatu antagonis purin mempunyai
struktur kimia mirip adenin. Merkaptopurin berkompetisi dengan adenin
dalam pembentukan asam adenilat nukleotida. Bila yang digunakan
merkaptopurin maka terbentuk nukleotida abnormal yang akan menghambat
replikasi DNA.
Merkaptopurin diberikan per oral untuk pengobatan leukemia akut dan
kronik. Efek samping utama antara lain mual, muntah, depresi sumsum tulang

91
dan hepatotoksik. Cladribin, suatu antagonis purin baru, digunakan untuk
hairy cell leukemia; fludarabin digunakan untuk leukemia limfositik kronik,
dan pentostatin yang juga digunakan untuk hairy cell leukemia. Semua obat
tersebut diberikan IV dan menimbulkan depresi sumsum tulang yang
merupakan efek samping utama.
c. Antagonis pirimidin.
Tiga basa pirimidin diperlukan untuk sintesis DNA dan RNA, yaitu
sitosin, timin, dan urasil. Dua antagonis pirimidin yang digunakan akhir-akhir
ini adalah fluorourasil dan sitarabin. Fluorourasil berkompetisi dengan urasil
dan sitarabin dengan sitosin. Antagonis pirimidin mencegah sintesis normal
dan replikasi DNA. Fluorourasil digunakan untuk tumor solid, diberikan PO
atau IV. Sitarabin diberikan IV untuk beberapa leukemia. Efek samping
fluorourasil dan sitarabin yang paling sering adalah mual, muntah, ulkus
saluran cerna, depresi sumsum tulang dan alopesia.

3. Alkaloid Tanaman
Alkaloid tanaman vinka dapat menghambat perkembangan sel tumor. Dua
jenis yang penting adalah vinkristin dan vinblastin yang mana dapat menghambat
proses mitosis dengan mengikat mikrotubulin dan menghentikan metafase. Efek
samping vinkristin adalah neurotoksik (parestesi dan hilangnya refleks), sedangkan
efek samping vinblastin adalah lekopenia. Hindari terjadinya ekstravasasi karena
dapat menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan.
Etoposid dan teniposid juga merupakan alkaloid tanaman yang dapat
menghambat enzim yang diperlukan untuk berfungsinya DNA. Efek samping
etoposid adalah leukopenia, mual, dan muntah.
Paclitaxel juga merupakan alkaloid yang berasal dari kulit pohon tanaman
Taxus brevifolia. Obat ini juga terikat mikrotubuli dan menghambat mitosis. Efek
samping obat ini terutama depresi sumsum tulang dan neuropati perifer.

4. Antagonis Hormon
Beberapa tumor yang berhubungan dengan sistem reproduksi (prostat, rahim,
dan payudara) biasanya perkembangan kankernya tergantung hormon (hormon
diperlukan untuk perkembangan kanker). Berkembangnya kanker testis tergantung
kadar hormon testorteron sedangkan kanker payudara atau rahim tergantung kadar
hormon estrogen. Obat yang digunakan adalah antagonis hormonnya, yang akan
berikatan dengan reseptor hormon dan menghambat kerja hormon kelamin.
Tamoksifen adalah antagonis estrogen yang bekerja menghambat reseptor
estrogen. Obat ini terutama digunakan untuk kanker payudara, biasanya setelah
operasi, untuk mencegah perkembangan sel kanker yang masih tertinggal. Efek
samping berupa mual. Hot flushes (vasodilatasi daerah muka dan leher), kemerahan
dan perdarahan vagina.
Leuprolid adalah analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang
merangsang pengeluaran Follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH) dari hipofisis. Terapi obat ini akan menyebabkan penghambatan

92
sekresi FSH dan LH yang selanjutnya akan menghambat pengeluaran hormon
kelamin (estrogen dan progesteron). Obat ini diindikasikan untuk kanker prostat dan
kanker yang berhubungan hormon kelamin, baik laki-laki dan perempuan, bila
diperlukan penghambatan produksi hormon. Efek samping berupa sakit kepala,
vasodilatasi di muka dan leher, dan impotensi pada laki-laki. Goserelin adalah obat
mirip leuprolid dalam mekanisme dan indikasinya diberikan subkutan.

5. Antibiotik
Beberapa antibiotik, seperti daktinomisin, doxorubisin, bleomisin, idarubisin dapat
mengganggu sintesis DNA dan selanjutnya menghambat pembelahan sel. Antibiotik
ini tidak dianjutkan untuk infeksi kuman karena sangat toksik. Efek samping dapat
berupa depresi sumsum tulang.

93
94
95
96
BAB III

KESIMPULAN

Pasien pria, 47 tahun diduga mengalami lesi keganasan squamous cell carcinoma pada
lateral lidah. Hal ini diketahui dari gejala klinis berupa lesi putih dengan tepi lesi irregular,
menjadi simptomatik setelah 2 tahun, dan diperberat oleh kebiasaan merokok. Selain itu,
pasien juga diduga mengalami lesi putih stomatitis nikotina pada palatum pasien akibat
kebiasaan merokok sejak 35 tahun yang lalu. Pasien juga diduga mengalami lesi putih yang
dapat berupa liken planus atau white sponge nevus pada mukosa bukal. Diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan histopatologi melalui biopsi untuk menegakkan
diagnosis definitif. Perawatannya dapat berupa pemberian KIE termasuk menghentikan
kebiasaan merokok, informasi mengenai lesi yang diderita dan persiapan sebelum perawatan
keganasannya, serta pemberian obat antiseptik dan anestesi topikal. Karena diduga
keganasan, pasien harus dirujuk ke spesialis penyakit mulut, onkologi, atau bedah mulut
untuk dilakukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.

97
DAFTAR PUSTAKA

1. Coleman GC, Nelson JF. Principles of Oral Diagnosis. 1st ed, Mosby Year Book,
1993
2. Greenberg MS, Glick M. Burket’s Oral Medicine, Diagnosis and Treatment. 11th ed.
BC Decker Inc. New York. 2008
3. Regezi, Sciubba, Jordan. Oral Pathology, Clinical pathologic Correlations. 5th ed.
Saunders. St. Louis, 2008.
4. Scully, Cawson. Medical Problems in Dentistry, 5th ed. Elsevier Science. 2003.
5. Dewi F, Sri Angky S, Azalia A. Farmakologi Kedokteran Gigi. Badan Penerbit FKUI
2012
6. Hupp, Ellis, Tucker: Contemporary of Oral and Maxillofacial Surgery 5th ed. 2013
7. White SC, Pharoah MJ, Oral Radiology Principles and Interpretation; 5th ed. 2004
8. Peterson, Ellis, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 3rd ed., Mosby, 1998
9. Cawson R.A. Odell E.W. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine.
8th ed. Churchill Livingstone. 2008

98

Anda mungkin juga menyukai