Anda di halaman 1dari 50

BAB II

Tinjauan Pustaka
Minimum Invasive Dentistry (MID)
Ketika lesi karies sudah sampai pada tahap tidak mungkin terjadi remineralisasi lagi.
Maka kita harus mengeliminasi bagian
yang terinfeksi dan menggantinya dengan bahan restorasi1.
Sekarang ini, prinsip Mineral Intervention Dentistry telah banyak dilakukan untuk
perawatan lesi karies dini. Minimal intervention memungkinkan untuk menghentikan proses
bakteri dan menyembuhkan lesi dini pada permukaan mahkota gigi.
Prinsip preparasi kavitas yang dipakai hingga tahun 1980 menggunakan prinsip BLACK yaitu

Preparasi kavitas besar/luas, semua jaringan infected dan affectes diambil dan diganti

dengan bahan restorasi


extension for prevention Jika semua jaringan yang terinfeksi diambil, maka
kemungkinan rekurensi karies lebih kecil

Jika jaringan gigi terlalu banyak diambil akan melemahkan struktur dari gigi tersebut, ditambah
dengan material non-adhesive (amalgam) akan meningkatkan resiko fraktur gigi.
Pada abad 20 sekarang ini, prinsip Black sudah digantikan oleh prinsip minimum intervention
dentistry yaitu prevention of extension
Minimal berarti sesedikit mungkin/sekecil mungkin, intervention berarti tindakan yang dilakukan
untuk mengubah apa yang terjadi atau mungkin terutama untuk mencegah sesuatu yang tidak
diinginkan2
Minimum Intervention berarti filosofi perawatan profesional yang bersangkutan dengan kejadian
pertama, deteksi awal, dan menyembuhkan sedini mungkin penyakit pada tingkat (molekul)
mikro, diikuti oleh pengobatan minimal invasif dan ramah-pasien untuk memperbaiki kerusakan
permanen3

Pergeseran Paradigma4

Prinsip Inti MID5

1. Recognition mengidentifikasi dan memeriksa faktor risiko karies secara dini melalui
analisis gaya hidup, tes saliva, dan menggunakan tes diagnostik plak.
2. Reduction untuk mengeliminasi atau meminimalkan faktor risiko karies dengan
mengurangi frekuensi konsumsi diet kariogenik, mengurangi kebiasaan merokok, (gaya
hidup) dan meningkatkan pH rongga mulut..
3. Regeneration untuk menahan dan me-reverse lesi insipien (baru saja terjadi), lesi
subpermukaan enamel yang baru terbentuk, dan menahan pembentukan lesi permukaan
akar menggunakan bahan topikal seperti fluoride dan casein phophopeptides-amorphous
calcium phosphates (CPP-ACP).

4. Repair ketika kavitas sudah terbentuk dan dibutuhkan intervensi bedah, membersihkan
karies secara konservatif agar dapat mempertahankan sisa jaringan sebanyak mungkin.
Bahan bioaktif digunakan untuk merestorasi gigi dan mendorong terjadinya
penyembuhan internal dentin khususnya di kasus karies dentin mendalam yang berisiko
tinggi mengalami radang pulpa akibat trauma iatrogenik.
Agar implementasi MID bisa efektif maka harus mengintegrasikan keempat faktor tersebut ke
dalam proses pemeriksaan pasien dan menentukan rencana perawatan.
4 aspek patient-centred care6:
1. Diagnosis komprehensif (menggunakan pemeriksaan faktor risiko karies untuk
mengidentifikasi kerentanan; deteksi lesi dari demineralisasi awal sampai kavitas)
2. Pencegahan lesi, remineralisasi lesi non-kavitas, dan kontrol biomekanis pasien terhadap
proses penyakit
3. Jika perlu, perawatan non-invasif dan minimally invasive yang menekankan pada
perbaikan restorasi sebelumnya daripada mengganti seluruhnya.
4. Menjaga dan memeriksa hasil dari protocol manajemen karies dan mengedukasi pasien.
Berikut pendekatan untuk preservasi gigi: Manajemen karies menggunakan pendekatan
minimum intervention (MI) dalam praktik kedokteran gigi2:

PASIEN BARU

KONSULTASI UNTUK
MENINJAU KEMBALI
Berdasarkan kerentanan
terhadap karies, karies
baru/rekuren
GDP + DCP

IDENTIFIKASI
(RECOGNISE)
Deteksi, pemeriksaan risiko,
diagnosis/prognosis
GDP + DCP
Pemeliharaan

PENCEGAHAN /
KONTROL
MEMPERBAIKI
(REJUVINATE)
(REPAIR)
Perawatan standar
di rumah
MINIMALLY
INVASIVE
DCP
GDP

Gambar 1. Siklus manajemen intervensi minimum patient-centred2


Komponen recall bisa masuk ke mana saja di dalam siklus tergantung dari kebutuhan setiap
individu pasien. (GDP = general dental practitioner ; DCP = anggota tim dental care
professional, termasuk hygienist, perawat, perawat pemberi edukasi kesehatan mulut)
Berikut modifikasi dari Domejean-Orliaguet et al (2009) / Banerjee & Watson (2011),

Implementasi praktis empat fase minimum intervention care plan2:

IDENTIFIKASI

Pemeriksaan
rongga mulut

Deteksi lesi karies secara


visual (modified ICDAS)

Radiograf /
investigasi khusus
PENCEGAHAN
DAN KONTROL

Faktor etiologi
untuk kerentanan
Kerentanan terhadap karies
Tidak Rendah
ada
lesi
Ireversibel
// lesi
Tinggi
Sedang
Reversibel
lesi
kavitas
non-kavitas
Diagnosis / prognosis : Menetapkan kerentanan pasien terhadap karies
Preventive Active
Active Care/
Care
Preventive
standard care
Care plan
MI Perawatan invasif
MI Perawatan non-invasif
Riwayat
(Anamnesis)

RESTORE
RECALL

Recall patient centred

A. Fase diagnosis (identifikasi)6


Terdiri dari beberapa aspek dalam proses pemeriksaan pasien yang dapat dilakukan
dokter gigi atau didelegasikan kepada anggota dalam tim klinis jika memungkinkan.
1. Anamnesis
a. Menanyakan keluhan utama
b. Menanyakan riwayat dental, sosial, medis, dan perilaku yang nanti perlu
dievaluasi. Informasi mengenai diet, prosedur pembersihan mulut, riwayat

dental dan motivasi pasien dapat membantu membuat gambaran perihal status
karies dan kerentanan pasien.
2. Pemeriksaan klinis
a. Pemeriksaan jaringan lunak fasial dan rongga mulut, dan status periodonsium.
b. Pemeriksaan gigi geligi dan restorasi. Pemeriksaan klinis dilakukan pada
permukaan gigi yang bersih dan kering, idealnya menggunakan perbesaran
loupe dan pencahayaan yang baik. Penting untuk mendeteksi manifestasi
klinis tahap dalam proses karies (dari kolonisasi biofilm awal, demineralisasi
email, sampai terbentuknya kavitas) untuk membantu menentukan opsi
manajemen terapi (mulai dari terapi remineralisasi sampai restorasi operatif).
Pada tahun 2005, Lembaga International Caries Detection and Assessment
System (ICDAS) mengembangkan sistem skoring visual terstandarisasi untuk
digunakan dalam penelitian dan praktik. Indeks ini telah disederhanakan agar
praktis digunakan. Direkomendasikan untuk menggunakan ball-ended
explorer untuk membantu mengkonfirmasi kehilangan integritas email dini.
Radiograf bitewing diwajibkan untuk membantu deteksi demineralisasi
proksimal dini pada enamel-dentine junction. Teknologi klinis lain untuk
deteksi dini seperti laser fluorescence masih dalam investigasi.
3. Pemeriksaan risiko karies
Pencegahan berdasarkan risiko dan manajemen penyakit telah dikenal sebagai
landasan dari manajemen karies MI. Variabel dalam sistem pemeriksaan risiko karies
terdiri dari kombinasi indikator penyakir, faktor patologis, faktor perlindungan yang
bisa digunakan untuk memeriksa risiko karies dan untuk mengarahkan bagaimana
rencana perwatan dan terapinya. Tabel 1 menguraikan faktor yang dapat dilihat yang
bisa diterangkan dari riwayat dan pemeriksaan rongga mulut. Tahap pencatatan ini
berguna unutk mengedukasi pasien.
Tabel 1. Faktor risiko dalam pemeriksaan risiko karies6
Status

Lesi
2 lesi baru/sedang berkembang/telah direstorasi
Faktor umum
Diet : Frekuensi konsumsi gula antar makan utama?
Anoreksia, bulimia?

Ya
RISIKO

Tidak
RISIKO

TINGGI

RENDAH

Fluoride : tidak ada fluoride (pasta gigi/obat kumur


sehari-hari, minuman berfluoride)
Kesehatan : Sindrom Sjogren, kondisi autoimun,
kemoterapi, radiasi kepala dan leher
Medikasi : Medikasi yang menyebabkan hiposalivasi
Sosial : status sosioekonomi? Apakah kesehatan rongga
mulut menjadi prioritas?
Usia : Remaja? Manula?
Faktor rongga mulut
OHI : Frekuensi, instrumentasi, teknik
Saliva : Laju alir saliva terstimulasi <0.7ml/menit?
Kualitas/kuantitas?
Plak : Plak tebal dan terlihat?
Keseimbangan bakteri
B. Kontrol penyakit/pencegahan lesi6
Dua aspek yang saling berhubungan dari preventive care digambarkan berdasarkan
kerentanan pasien dan adanya lesi karies dalam bentuk kavitas : preventive standard care
(atau pemeliharaan) dan preventive active care
- Preventive standard care
Diindikasikan untuk pasien berisiko rendah untuk mengurangi risiko munculnya dan
rekurensi penyakit. Untuk pasien yang tidak terdapat lesi baru dalam 2-3 tahun
terakhir, strategi preventif ini sama dengan terapi pemeliharaan konvensional.
Caranya termasuk pembersihan rongga mulut setiap hari, saran mengenai diet yang
diwajibkan, dan motivasi pasien. Status kebersihan mulut individu

dan lembar

rekomendasi diet bisa digunakan sebagai alat edukasi dan motivasi pasien. Tahap
pendekatan untuk pemeliharaan ini dapat dilaksanakan oleh dental care professional
(DCP), bisa dikombinasikan edukator kesehatan rongga mulut (perawat yang telah
dilatih), hygienist, therapist, dan manajer praktik. Pengarahannya diberikan oleh
dokter gigi utama.
- Preventive active care
Diberikan pada pasien sedang/sangat rentan terhadap karies (dengan atau tanpa lesi
karies dalam bentuk kavitas). Terdiri dari standard care seperti yang dijelaskan di atas
dan manajemen faktor etiologi yang dilakukan oleh tim dental.
1. Desinfeksi

Modifikasi dan menghilangkan oral microflora biofilm pada permukaan gigi adalah
tahap esensial dalam manajemen karies dengan pendekatan MI. Beberapa pilihan
untuk menyeimbangkan microflora bisa dipilih satu atau kombinasi dari:
o Pembersihan gigi mekanis professional : pembersihan dan/atau modifikasi
plak dari permukaan gigi menggunakan ultrasonic scaler dan fluoride
prophypaste dnegan polishing brush.
o Menggunakan agen antibakteri : mengurangi jumlah Streptococcus mutans
dengan penggunaan obat kumur chlorhexidine gluconate (CHX) 0.12%
setiap hari selama seminggu dalam setiap bulan. Streptococcus mutans
dihubungkan dalam proses karies, tidak hanya sebagai faktor penyebab
primer.
o Restorasi: ekskavasi infected dentine. Bahan restorasi ideal untuk
menumpat kavitas ini adalah GIC karena sifat perlekatan kimiawinya,
potensinya sebagai reservoir ion fluoride dan kemampuannya untuk
pertukaran aktif ion dengan jaringan gigi yang demineralisasi. Pendekatan
ini berasal dari teknik restorasi atraumatic (ART) yang terdiri dari
ekskavasi manual infected dentin (lunak dan basah) dan restorasi GIC
ditumpat menggunakan teknik tekanan jari. ART dapat dilakukan pada
pasien anak dan dewasa. Restorasi tetap menggunakan teknik yang lebih
mutakhir (seperti restorasi direk dan indirek kompleks) tidak diindikasikan
sampai semua faktor risiko karies dapat dikontrol.
2. Demineralisasi dan remineralisasi6
Efek preventif dari fluoride topikal dalam mencegah demineralisasi email dan
cariostasis banyak didokumentasikan. Pasien berisiko tinggi karies memerlukan
fluoride dengan konsentrasi lebih tinggi. Terbukti dari penelitian selama 2 tahun pada
populasi remaja CPP menunjukkan efek preventif yang superior dari 5000 ppm
dentifrice dibandingkan 1450ppm-F dentrifice. Turunan dari kasein (khususnya
casein

phosphopeptide-amorphous

calcium

phosphate;

CPP-ACP)

memiliki

kemampuan untuk melepaskan ion fosfat dan kalsium dalam kuantitas yang lebih
tinggi pada permukaan gigi untuk membantu deposisi mineral. Terdapat data yang
bertentangan dari literatur. Beberapa clinical trials menunjukkan teknologi CPP-ACP
merupakan perawatan tambahan yang menjanjikan dibandingkan fluoride topical

dalam cariostasis dan dan remineralisasi sebagai manajemen non-invasif lesi karies
dini terutama pada individu berisiko tinggi. Namun pada penelitian yang lebih baru
menunjukkan tidak ada efek yang signifikan dalam mencegah karies ketika pasta
CPP-ACP

ditambahkan

pada

protocol

pembersihan

rongga

mulut

teratur

menggunakan pasta gigi berfluoride


3. Perlindungan fissure
Fissure sealant (perlindungan permukaan gigi) sebagai pembatas fisik dalam
mencegah mikroorganisme dan makanan kumpul di dalam pit dan fisur yang dalam.
Efek pencegahan karies fissure sealant digambarkan pada anak dan remaja ririsko
karies tinggi, serta pada dewasa. Terdapat 2 tipe bahan pit dan fissure sealant:
flowable resin komposit dan GIC. Penelitian klinis yang membedakan kedua bahan
tersebut melaporkan hasil yang bertentangan dilihat dari kriterial evaluasi yang
digunakan: retensi dari sealant atau pencegahan karies. Resin komposit sebagai
sealant memiliki retensi yang lebih tinggi dibandingkan GIC. Namun dari segi
pencegahan karies, secara global lebih mendukung penggunaan GIC. Beiruti et al
(2006) menunjukkan bahwa lebih dari 1 sampai 3 tahun, sealant GIC viskositas tinggi
dapat mencegah perkembangan karies pada pit dan fisur permukaan oklusal molar
satu yang 4 kali lebih tinggi dibandingkan bahan sealant resin komposit. Saat
menumpat GIC, bahannya tidak sesensitif terhadap moisture dibandingkan resin
based sealant sehingga GIC sealant lebih direkomendasikan pada situasi yang sulit
memasang rubber dam dan tidak mungkin mengkontrol moisture seperti pada tahap
post-erupsi dini, pasien fobia, dan anak kecil.
4. Polyols
Bukti terkini mendukung kuat penggunaan tetap polyols khususnya xylitol sebagai
strategi preventif dalam manajemen karies terutama pada pasien usia muda dengan
risiko karies tinggi.
5. Saliva
Peran saliva dalam menetralkan asam di dalam plak dan keterlibatannya sebagai
sumber ion kalsium dan fosfat untuk remineralisasi jaringan keras gigi telah
didokumentasikan dengan baik. Kondisi medis atau perawatan medis mempengaruhi
kualitas atau produksi saliva (seperti medikasi sistemik, radiasi kepala dan leher,
kondisi autoimun) yang bisa mempengaruhi peran protektifnya dalam proses karies,
sehingga meningkatkan kerentanan pasien terhadap penyakit. Kondisi yang mengarah

pada lingkungan rongga mulut yang asam seperti konsumsi minumana sam tinggi,
eating disorder atau gastrooesophageal reflux disease perlu dipertimbangkan dan
dikontrol untuk mencegah kehilangan struktur dan integritas gigi yang lebih banyak.
Selain modifikasi oral microflora (dengan obat antibakteri), saran sederhana bisa
diberikan kepada pasien untuk menyeimbangkan kembali lingkungan rongga
mulutnya. Konsumsi keju atau susu bisa menyeimbangkan konsumsi asam.
Mengunyah permen karet bisa mendorong stimulasi saliva, meningkatkan jumlah
saliva dan meningkatkan kemampuan buffer. Untuk kondisi dry mouth, obat kumur
dan pasta gigi mengandung baking soda dapat menurunkan jumlah Streptococcus
mutans di dalam saliva dan plak. Produk lubrikasi rongga mulut atau pengganti saliva
bisa juga diberikan.
C. Memperbaiki integritas permukaan gigi: nonivasif/minimally invasive operative dentistry
Tujuan primer pendekatan MI adalah untuk menghentikan/mencegah proses karies,
namun jika lesi telah berkembang menjadi kavitas, maka dibutuhkan restorasi integritas
permukaan gigi. Perluasan lesi dan kehilangan jaringan gigi adalah 2 faktor utama yang
mengarah pada pemilihan klinis 1 atau 4 strategi rekonstruktif:
Therapeutic sealant, infiltrasi resin, restorasi primer minimally invasive, dan
memperbaiki/memperbaharui restorasi kurang baik yang sudah ada. Keempat alternatif
ini bertujuan untuk membangun kembali integritas struktural, estetis, dan fungsi fisiologis
dari gigi dan untuk menjamin pembentukan kembali permukaan restorasi gigi yang halus.
Ini akan membantu prosedur pembersihan rongga mulut agar bisa mengurangi kolonisasi
microflora biofilm kariogenik.
1. Therapeutic sealants (restorasi resin preventif)
Jika preventive sealant bertujuan untuk mencegah inisiasi awal lesi karies, maka
therapeutic

sealant

bertujuan

untuk

menutup

lesi

agar

bisa

mencegah

perkembangannya. Sealing diindikasikan untuk lesi email, tahap awal lesi dentin.
Efektivitasnya

karena

membantu

mengurangi

bakteri

di

bawah

ambang

perkembangan lesi.
2. Infiltrasi resin
Teknik infiltrasi subpermukaan minimally invasive menggunakan etsa asam
hydrochloric kuat pada lesi permukaan demineralisasi dini gigi, mendukung infiltrasi
lesi viskositas rendah ke dalam pori-pori lebar dan besar. Seiring pori diisi maka
porositas lesi berkurang, sehingga mengurangi risiko perkembangan lesi lebih jauh.

Penelitian in-vivo menemukan bahwa teknik infiltrasi resin bisa menjadi metode
efektif untuk menghentikan perkembangan karies lesi permukaan halus nonkavitas.
Namun masih dibutuhkan banyak data perihal keberhasilan jangan panjang opsi
perawatan ini, termasuk potensi terjadinya staining permukaan dan kualitas retensi
resin pada daerah yang lebih sulit diaplikasikan seperti permukaan proksimal.
3. Restorasi primer minimally invasive
Intervensi restorasi operatif sebagai bagian dari filosifi MI berdasarkan prinsip
preservasi maksimal struktur gigi asli dan penggunaan bahan biomimetic untuk
mendukung, menutup, dan memperbaiki defek dan kavitas. Hanya mengambil dentin
terinfeksi, lunak, dan basah sedangkan affected dentin dekat pulpa yang memiliki
potensi terjadi remineralisasi tetap dipertahankan.
Pengambilan minimal, bevel atau poles tepi email yang undermined dan unsupported
yang bersifat retensi plak (menggunakan bur diamond halus) dan dilanjutkan dengan
agen remineralisasi seperti fluoride serta perbaikan oral hygiene bisa menjadi teknik
minimally invasive.
Pada manajemen lesi karies dalam yang dekat dengan pulpa, protocol minimally
invasive tidak hanya untuk preservasi jaringan gigi sebanyak mungkin namun juga
untuk mempertahankan vitalitas pulpa sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan
pulpa ireveresibel. Konsep pengambilan sebagian dentin karies (pada 1 pertemuan
atau bagian dari teknik ekskavasi stepwise) telah dibahas dalam literatur. Berdasarkan
tinjauan terkini dan percobaan klinis, pengambilan karies sebagian/tidak seluruhnya
menunjukkan efek menguntungkan jika dibandingkan dengan ekskavasi karies
seluruhnya yang dekat pulpa. Namun belum cukup bukti untuk kesimpulan pasti
secara statistik karena risiko tinggi terjadi bias di beberapa penelitian. Restorasi MI
yang ditumpat dokter gigi dengan pengetahuan mengenai reaksi kimia bahan dental,
mekanisme bondingnya, cara penggunaannya, interaksi histologis dengan struktur
jaringan gigi maka akan bisa terpelihara selama bertahun-tahun dengan asumsi pasien
bisa memelihara lingkungan rongga mulut yang baik. Bahan restorasi yang menjadi
pilihan terdiri dari GIC dan resin komposit. Resin komposit kelebihannya adalah
estetis, resisten terhadap aus, dan kuat. Kelebihan GIC ikatan kimiawi self-adhesive
dengan struktur gigi, berpotensi melepas ion fluoride ke lapisan dentin yang terletak
di bawahnya, dan penumpatannya yang sederhana. Jika dibandingkan dengan resin

komposit, GIC memiliki resistensi terhadap tekanan kompresif yang lebih rendah,
lebih cepat terjadi abrasi pada permukaan, bukti terjadi kebocoran tepi, dan tampilan
estetis jangka panjang yang kurang memuaskan. Namun beberapa tahun belakangan
ini, GIC telah dikembangkan untuk bisa mengatasi masalah-masalah ini terutama
ketik bahan ini digunakan dalam jumlah besar (bulk), memperluas kemungkinan
indikasinya untuk restorasi gigi posterior.
Manajemen inflamasi pulpa akut masih melibatkan prosedur pulp capping indirek.
Perlindungan

pulpa

menggunakan

kalsium

hidroksida

sebagai

liner

perlu

dipertanyakan karena di era modern ini sudah terdapat bahan adesif bioaktif. Ketika
menggunakan amalgam sebagai restorasi tetap pada kavitas yang dalam, disarankan
menggunakan liner GIC
4. Memperbaiki/memperbarui restorasi defek
Beberapa opsi memperbaiki telah dijelaskan

termasuk

pemolesan

atau

memperbaharui restorasi yang sudah ada, menutup defek yang terlokalisasi (tepi yang
defek) dan penggantian sebagian atau seluruhnya dari restorasi yang gagal. Teknik
minimallya invasive sedang dikembangkan untuk membantu pengambilan minimal
bahan restorasi dan struktur gigi termasuk dengan abrasi-udara alumina/bioactive
glass.
D. Strategi recall MI6
MI care plan berdasarkan kerentanan setiap pasien terhadap penyakit dan disesuaikan
dengan faktor etiologi dari setiap kasus. Kesuksesannya bergantung pada upaya preventif
yang disesuaikan dan follow-up regimen yang diberikan oleh tim dental. Konsultasi recall
sistematis unuk menilai hasil dari protokol manajemen karies, untuk mencegah
perkembangan oral disease lebih jauh, dan mendeteksi dan mengatasi tanda-tanda
penyakit di tahap sedini mungkin. Literatur menunjukkan frekuensi recall bervariasi
tergantung dari rekomendasi dan kebijakan setiap negara, dan tidak cukupnya bukti untuk
mendukung praktik mendorong pasien untuk datang ke konsultasi recall dental setiap 6
bulan sekali. Tinjauan sistematis terakhir menunjukkan bukti menggunakan 1-recallinterval-cukup untuk mengurangi insidensi karies lemah. NICE merekomendasikan
frekuensi recall disesuaikan dengan individu pasien dan pasien harus harus
diinformasikan bahwa recall intervalnya akan bervariasi waktunya. Hal penting yang
harus dipertimbangkan dalam MI recall:

1. Proses karies patologis lambat dan dipengaruhi oleh efek fluoride: tempat tinggal di
daerah berfluoride memiliki efek memperlambat perkembangan lesi email dan dentin.
Penelitian klinis yang digunakan di tahun 1996 pada populasi murid sekolah di Brazil
menunjukkan bahwa perkembangan lesi dari permukaan luar email ke
permukaan luar dentin membutuhkan 3-4 tahun di siswa sekolah di area terfluoridasi
dan 2,5 tahun di daerah non-fluoridasi.
2. Usia bisa menjadi faktor predisposisi: pada populasi prevalensi karies rendah,
insidensi lesi baru dan perkembangan lesi lebih lambat pada dewasa muda
dibandingkan remaja.
3. Sistem pelayaan kesehatan negara harus dipertimbangkan: contohnya, di UK,
mengikuti aturan NHS dalam Pelayanan Gigi Umum, dokter gigi didorong untuk
melakukan check-up 6 bulan sekali dan pencatatan dengan dokter gigi NHS menjadi
setiap 15 bulan sekali.

GOLDEN

TRIANGLE

OF

MID7

The histology of the


dental substrate being
treated
The chemistry/handling
of the adhesive materials
used to restore the
cavity
Consideration of the
practical operative
techniques available to
excavate caries
minimally

1. Lesi histology
Karies email
Karies dentin, ada 2 zone histopathology yaitu
zone Perifer yang terinfeksi karies (dekat denganDEJ), rusak ireversibel, nekrotik dan
melunak karena lama terkontaminasi bakteri, denaturasi proteolitik kolagen dan
demineralisasi asam.
Zona affected karies dalam,rusak

reversibel memiliki potensi untuk memperbaiki

dengan kondisi yang baik karena kolagen tidak terdenaturasi


Pulpa
kedekatan lesi pulpa mempengaruhi tingkat perlindungan yang diberikan untuk pulp vital.
Indirect pulp capping dilakukan untuk karies yang terkena dentin dekat dengan pulpa,
meminimalkan risiko eksposur pulpa yang tidak perlu, dan bahan yang cocok
(misalnya,GIC) dengan sifat anti-bakteri serta ikatan dan penyegelan kimia ke dentin yang

tersisa memberi segel potensial, sehingga memungkinkan peremajaan kompleks dentinpulpa


2. Penggunaan material adhesive untuk restorasi kavitas
Interaksi fisika-kimia dari substrat gigi yang relevan dipertahankan pada permukaan rongga
dengan bahan perekat harus menjadi pertimbangan utama operator untuk mencapai hasil
jangka panjang. Seal

restorasi bergantung pada integritas dan morfologi mineral (ion

kalsium, undercut mikromekanik, didukung struktur prismatik di enamel) dan kolagen nanomatriks struktur / tubular di dentin (zona hybrid).
3. Minimal Invasive Operation Technique
Ada beberapa teknologi klinis yang tersedia untuk menghilangkan jaringan karies seminimal
mungkin, bisa menggunakan low speed bur, hand excavator, laser, air abrasion & secara chemomechanical misalnya dengan photo-activated disinfection (PAD) dimana tolonium chloride
dimasukkan dalam kavitas, diserap oleh bakteri sisa pada kavitas dan kemudian diaktifkan
dengan menggunakan cahaya panjang gelombang tertentu menyebabkan sel lisis.
PULP CAPPING
Pengertian Pulp Capping8
Pulp caping adalah suatu perlindungan terhadap Pulpa sehat yang hampir tereksponasi kecil dengan
obat-obat anti septic atau sedatif.agar pulpa sembuh kembali serta mendapatkan vitalitas dan fungsi yang normal
Tujuan Pulp capping
Adapun tujuan pulpa capping adalah untuk menghilangkan iritasi ke jaringan pulpa dan
melindungi pulpa sehingga jaringan pulpa dapat mempertahankan vitalitasnya. Dengan demikian
terbukanya jaringan pulpa dapat terhindarkan.
Kaping pulpa (pulp capping) dibagi menjadi dua, yaitu kaping pulpa indirek (indirect pulp
capping) dan kaping pulpa direk (direct pulp capping). 3
1. IndirectPulpCapping
Prosedur indirect pulp capping digunakan dalam manajemen lesi karies yang
dalam yang jika semua dentin yang karies dibuang mungkin akan menyebabkan
terbukanya pulpa. Kaping pulpa indirek hanya dipertimbangkan jika tidak ada riwayat
pulpitis irreversible.
2. DirectPulpCapping
Ada dua hal yang menyebabkan prosedur ini harus dilakukan yakni jika pulpa

terbuka

secara mekanis (tidak sengaja) dan pulpa terbuka karena karies. Terbukanya pulpa secara

mekanis dapat terjadi pada preparasi kavitas atau preparasi mahkota yang berlebihan,
penempatan pin atau alat bantu retensi. Kedua tipe terbukanya pulpa ini berbeda ; jaringan
pulpanya masih normal pada kasus pemajanan mekanis yang tidak sengaja, sementara pada
pulpa yang terbuka karena karies yang dalam kemungkinan besar pulpanya telah
terinfalamsi.
Direct Pulp Capping ( Pulpa capping secara langsung )8
Direct Pulp Capping adalah perawatan sekali kunjungan. Direct Pulp Capping adalah
Penutupan / perlindungan pulpa yang tereksponasi sedikit dengan obat-obat anti septic dan
sedative untuk menjaga vitalitas dan fungsi normal pulpa Direct Pulp Capping menunjukkan
bahwa bahan diaplikasikan langsung ke jaringan pulpa. Daerah yang terbuka tidak boleh
terkontaminasi oleh saliva, kalsium hidroksida dapat diletakkan di dekat pulpa dan selapis semen
Zinc Okside Eugenol dapat diletakkan di atas seluruh lapisan pulpa dan biarkan mengeras untuk
menghindari tekanan pada daerah perforasi bila gigi direstorasi. Pulpa diharapkan tetap bebas
dari gejala patologis dan akan lebih baik jika membentuk dentin sekunder. Agar perawatan ini
berhasil maka pulpa disekitar daerah terbuka harus vital dan dapat terjadi proses perbaikan.
Indikasi Direct Pulp Capping:10

Pulpa terbuka pada gigi dewasa muda dan akarnya sudah terbentuk sempurna pulpa
sehat / belum meradang

Trauma mekanis pulpa yang baru terjadi <24 jam

Perdarahan tidak ada atau sedikit pada daerah yang terkespos

Tidak ada kalsifikasi pulpa

Memungkinkan dapat dilakukan restorasi yang adekuat

Kontra Indikasi:10

Ada penyakit sistemik : cancer/diabetes

Pulpa terbuka lebar

Perdarahan tidak terkontrol

Ada tanda degenerasi pulpa atau periapikal pada Ro foto

Ada sakit spontan

Ada tanda peradangan

Bahan Pulp Capping yang sering digunakan:9


1. Zinc Oxide Eugenol
2. Calcium Hydroxide Ca(OH)2
3. Mineral Trioxide Aggregate (MTA)
4. Biodentine
1. Zinc Oxide Eugenol8

Toxic ketika kontak langsung dengan jaringanSifat antibakteri

Mengurangi rasa nyeri

Mempunyai segel marginal kuat sehingga mencegah microleakage dan mengurangi


hipersensitifitas pada gigi.

2.

Calcium Hydroxide/CaOH29
Material yang biasa dipakai untuk direct pulp capping
Mempunyai efek antibakteri dan disinfeksi pulpa superficial
PH : 11,5 12,5
Menetralisir asam
Tidak mengiritasi
Menghambat infeksi
Stimulasi pembentukan dentin sekunder

Mekanisme Kerja CaOH29


Kalsium hidroksida menstimulasi perbaikan melalui mekanisme pelepasan molekul bioaktif.
Molekul bioaktif ini adalah Bone Morphogenic Protein (BMP) dan Transforming Growth FactorBeta One (TBF-1) yang mampu menstimulasi perbaikan pulpa dan pembentukan dentinal
bridge. Namun dentinal bridge yang terbentuk terdapat defek di beberapa titik sehingga tidak
efektif melindungi pulpa. Protein-protein ini masuk ke dalam matriks dentin ketika
dentinogenesis.
3. Mineral Trioxide Aggregate (MTA)9
Komposisi:

Tricalcium silicate

Tricalcium oxide

Tricalcium aluminate

Silicate oxide

Dicampur dengan air steril perbandingan powder : liquid = 3:1, MTA setting dalam 5 menit
Mekanisme kerja MTA belum jelas diketahui, tetapi untuk saat ini diketahui bahwa produk reaksi
MTA dengan air adalah calcium hidroksida, jadi sebenarnya pembentukan kalsium hidroksida
yang memberikan biokompatibilitas MTA. Sehingga manfaat dan mekanisme aksi MTA mirip
dengan kalsium hidroksida termasuk efek antibakteri dan biokompatibel, pH tinggi, radiopak dan
kemampuannya membantu melepaskan matriks dentin (protein bioaktif) dan membentuk
dentinal bridge, yang dalam MTA kemampuan sealing-nya lebih baik dibandingkan kalsium
hidroksida dan menstimulasi pembentukan dentinal bridge yang lebih cepat.

Tricalcium Oxide+cairan jaringanCalcium


Hydroxide

Terbentuk formasi
jaringan keras
Perbandingan MTA dengan CaOH2 :12

Merangsang pertumbuhan sel

Kemampuan lebih besar untuk menjaga integritas jaringan pulpa

Jembatan dentin tebal, mengurangi peradangan, kurang hiperemia dan nekrosis jaringan
pulpa

Menginduksi pembentukan jembatan dentin pada tingkat yang lebih cepat

Kemampuan tinggi untuk menahan penetrasi bakteri

4. Biodentine13
Komposisi:
Powder:

Tri-calcium Silicate (C3S)-Main core material

Di-calcium Silicate (C2S)-Second core material

Calcium Carbonate dan Oxide Filler

Iron Oxide Shade

Zirconium Oxide Radiopacifier

Liquid:

Calcium chloride Accelerator

Hydrosoluble polymer Water reducing agent

Indikasi penggunaan Biodentine:

indikasi endodontik (perbaikan perforasi/resorpsi, apexifikasi)

Pengganti dentin permanen dan email sementara

Pemulihan lesi karies mahkota dalam atau besar

Direct pulp capping pada orang dewasa dengan pulpa sehat

Mekanisme Kerja Biodentine:


Kemampuan biodentine untuk elepaskan ion Calcium menstimulasi aksi diferensiasi,
proliferasi dan mineralisasi sel pulpa. Ion Calcium dan hydroxide menstimulasi aktivitas sel
osteopontin, alkaline phosphatase, phyrophosphate, BMP-2. Sel-sel tersebut termasuk bagian
dari TGF- yang membantu proses mineralisasi dentin dan pembentukan jembatan dentin. TGF bertanggung jawab pada mineralisasi awal dentin reparatif.
Tahapan Perawatan yang Dilakukan adalah sebagai berikut :9
1. Anestesi dan isolasi dengan rubber dam
2. Pembuangan jaringan karies dengan bur dan excavator
3. Kontrol perdarahan dengan cotton pelet yang direndam dalam larutan NaOCL 3-6%, Tunggu
1-10 menit
4. Penempatan bahan pulp capping (CaOH2/MTA)
5. Pada teknik pulp capping dengan CaOH2 dengan 1 kali kunjungan, Tumpatan GIC dapat
dilakukan setelah pemberian material pulp capping, Jika perawatan dilakukan dalam 2 kali
kunjungan, maka di atas CaOH2 bisa dilapisi GIC kemudian tambalan sementara. Pada
kunjungan berikutnya, jika tidak ada keluhan, bisa dilakukan tumpatan resin komposit.
6. Pada teknik pulp capping dengan MTA, MTA dicampur dahulu sesuai dengan aturan
pemakaian,

kemudian

ditempatkan

di

daerah

yang

terekspos

setebal

1,5mm,

Direkomendasikan u/ meletakkan cotton pellet lembap (oleh air) kontak langsung dengan
MTA dan ditinggal sampai kunjungan ke-2. Karena kelembapan membantu hidrasi MTA dari

bentuk gel colloid yang akan mengeras dalam waktu 3-4 jam ditutup dengan cotton pellet
lembab dan unbonded resin. Setelah 5-10 hari, bisa ditumpat dengan bonding resin.
7. Jika prosedur MTA dilakukan dalam 1 kali kunjungan, maka diatas lapisan MTA ditumpat
dengan GIC/flow resin & kavitas ditumpat dengan bonding resin
Permanen filling terbaik terdiri dari pelapisan bahan pulp capping dengan RMGIC diikuti dengan
restorasi resin komposit untuk mencegah kebocoran bakteri dan kontaminasi ulang dari exposure
area

Kriteria Keberhasilan:10

Gigi tidak merasa sakit/comfort

Vitalitas : positif

Perkusi-tekanan : negative

Ro foto tidak ada kelainan

Penyebab kegagalan:10

Indikasi salah

Sterilitas tidak sempurna

Obat obat tidak sesuai

Ada karies tersembunyi / proses paradental

Tambalan tidak hermetis

Evaluasi:10

Gigi comfort tidak ada keluhan

Vitalitas : positif

Perkusi : negative

Ro foto : normal

INDIRECT PULP CAPPING


Indikasi14
Lesi dalam dan tanpa gejala yang secara radiografik sangat dekat ke pulpa tetapi tidak mengenai
pulpa.

Pulpa
Bisa

dilakukan

pada

masih
gigi

sulung

dan

vital.

atau

gigi

permanen

Indikasi14

Kontra

muda.

Nyeri

spontan

nyeri

pada

malam

hari.

Pembengkakan.

Fistula.

Peka
Gigi

goyang

Resorpsi

Resorpsi

terhadap

Radiolusensi

di

perkusi.

secara

patologik.

akar

eksterna.

akar
periapeks

atau

interna.
di

antara

akar.

Kalsifikasi jaringan pulpa.


Metode Pulp Capping Indirect, dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Partial Caries Removal (PCR) menggunakan pendekatan pengangakatan/ pengambilan
jaringan karies sebagian dalam satu atau dua kali kunjungan. Jaringan karies
terdemineralisasi di ambil/ diekskavasi, dan lapisan karies dentin di atas pulpa
ditinggalkan, kemudian lining material diaplikasikan dan kemudia ditumpat permanen,
dilakukan dalam 1x sesi kunjungan. Oliveirea et al, Duque et al, Gruthysen et al : teknik
ini mencegah tereksposnya pulpa dan mempertahankan struktur gigi.
2. Step-wise Technique (SWT) pengambilan jaringan karies sebagian dilakukan dalam dua
kali kunjungan dengan interval waktu tertentu. Prosedur indirect pulp capping dengan
cara hilangkan lesi karies aktif, meninggalkan karies residu yang bebas dari substrat
ekstrinsik dan bakteri intraoral pada ekskavasi awal di kunjungan pertama. Prosedur ini

memungkinkan pulp-dentinal kompleks membentuk tertiary dentine, sehingga mencegah


kemungkinan pulpa terekspos saat ekskavasi kunjungan kedua. Prosedur ini memakai
pendekatan pencegahan terintegrasi, yaitu: remineralisasi dan minimal intervention.
Menurut Hume semua drg harus merubah filosofi berpikir dalam penanganan karies,
yaitu jangan mengambil semua jaringan karies lalu ditumpat. Tujuan stepwise excavation, natara
lain: menjaga vitalitas pulpa, dengan cara: sklerotik dentin dapat menghambat invasi bakteri dan
produknya melaluil tubuli dentin, sehingga pulpa memiliki kesempatan utk healing. Gambaran
affected dentin, setelah kunjungan ke-2 dalam teknik stepwise ini tampak: dentin keras, kering
dan nampak gelap. Dentin keras saat kondisi ini, ternyata tahan terhadap gaya / stimulus
mekanis, hambat akumulasi & penetrasi bakteri, dan hambat rekurensi karies aktif. (ten cate,
2001).8

Keterangan gambar: A. Keadaan lesi karies dentin dalam, sebelum ekskavasi pertama, B.
Keadaan lesi karies setelah ekskavasi pertama, C. Peletakan basis kalsium hidroksida dan
tumpatan sementara, D. Selama interval kunjungan demineralisasi dentin mengalami
perubahan klinis: terhambatnya perluasan lesi, ditandai dengan demineraliasi dentin yang
menjadi lebih gelap, E. Kondisi ekskavasi kedua / kunjungan ke-2, F. Gigi telah direstorasi
dengan tumpatan permanen. Sumber gambar: Blackweel. Dentin and pulp reactions to
caries and operative treatment. Endodontic Topics 2:10-23. 2002. 16
Menurut Maltz et al (dalam jurnal A clinical, microbiologic and radiografic study of deep
caries leson after incomplete caries removal, 2000) prosedur stepwise dilakukan dengan jeda 45
hari sehingga diharapkan dentin reparatif dan dentin sklerotik telah terbentuk. Dalam
penelitiannya mereka gunakan calcium hydroxide material dan ditumpat dengan tumpatan
sementara (GIC) evaluasi 6-7 bulan. Setelah periode tersebut, tampak:

perubahan klinis dan konsistensi dentin (terbentuk arrested caries),


peningkatan densitas secara Ro (indikasi terjadi mineralisasi dentin),
secara signifikan organisme/ bakteri anaerob,aerob berkurang (indikasi terjadi penurunan /tidak
adanya aktivitas metabolik bakteri).17
REAKSI PERTAHANAN PULPA (PULPAL DEFENSE)
Pulpa ternyata memiliki kemampuan untuk bertahan dari lesi karies melalui mekanisme
biologi. Tahap IPC yang hilangkan biomass lesi karies dentin dan tinggalkan selapis di atas
pulpa, merubah keasaman dn pH jaringan karies dentin tsb dilanjutkan dengan aplikasi lining di
atas pulpa memicu pembentukan dentin tersier dan sklerotik tubuli dentin sehingga hambat
proses karies lebih dalam. Pembentukan dentin reaksioner dalam teknik IPC, dapat dilihat secara
radiografis: terdapat peningkatan radiopak dan penurunan/penyempitan rediolusensi di pulpa.
(observasi oleh: Oliveira et al & Maltz et al).9
KETEBALAN SISA DENTIN / REMAINING DENTIN THICKNESS (RDT)
Ketebalan sisa jaringan dentin di atas pulpa dan permeabilitas tubuli dentin menjadi
faktor utama dalam respon inflamasi pulpa. McLachlan et al : terdapat sedikit gen ekspresi PMN
dari pulpa ketika RDT 2mm. Reeves & Stanley : RDT 1mmdari pulpa, tidak ada perubahan
patologis signifikan. Murray et al: dentin reaksioner maksimum terbentuk, jika RDT 0.5 - 0.25
mm. Ketebalan dentin 0.25-0.5 mm juga akan merangsang pemulihan jaringan pulpa sehat.9
MICROBIOTA LESI KARIES DALAM
Lesi karies dentin atau meluas ke dentin dalam, terdapat transisi dari bakteri fakultatif,
gram positif (lesi karies awal) menjadi dominan bakteri anaerob, lactobacili. Spesies dominan yg
ditemukan lesi karies dalam: propionibacterium, eubacerium, bifidobacterium, actinomyces,
lactobacillus, sedikit golongan streptococci dan sgt sedikit S.mutans. Maltz et al, Lula et al :
mikroorganisme berkurang signifikan 11-99 % setelah pengambilan/pengangkatan lesi karies
secara incomplete, setara complete caries removal. 9

Sumber: Hoefler et al. Long-term Survival and Vitality outcomes of Permanent Teeth
Following Deep Caries Treatment with step-wise and partial-caries-removal. Journal of
Dentistry. 2016.18
Evaluasi / Follow up sangat penting. Karena adanya kemungkinan perubahan degeneratif
pulpa selama periode waktu observasi. Gejala dan tanda post terapi seperti nyeri, sensitif atau
bengkak, dan vitalitas gigi harus dicek (hasil TAK/ tidak ada keluhan kelainan). Gambaran Ro:
tidak ada internal eksternal resorpsi dan perubahan patologis, maka perawatan indirect
pulpcapping dinyatakan berhasil.

Faktor Keberhasilan
Keberhasilan perawatan pulp capping indirect, ditandai dengan hilangnya rasa sakit, serta
reaksi sensitive terhadap rangsang panas atau dingin yang dilakukan pada pemeriksaan subjektif
setelah perawatan. Kemudian pada pemeriksaan objektif ditandai dengan pulpa yang tinggal
akan tetap vital, terbentuknya jembatan dentin yang dapat dilihat dari gambaran radiografi pulpa,
berlanjutnya pertumbuhan akar dan penutupan apikal.
Sebagian besar peneliti memakai criteria jembatan dentin sebagai indikator keberhasilan
perawatan karena jembatan dentin bertindak sebagai suatu barrier untuk melindungi jaringan
pulpa dari bakteri sehingga pulpa tidak mengalami inflamasi, tetap vital, membantu kelanjutan
pertumbuhan akar dan penutupan apikal pada gigi yang pertumbuhannya belum sempurna.
Jembatan dentin terbentuk karena adanya fungsi sel odontoblas pada daerah pulpa yang terbuka.
Reaksi jaringan dentin terhadap kalsium hidroksida terjadi pada hari pertama hingga minggu
kesembilan, sehingga pasien dapat diminta datang 2 bulan setelah perawatan untuk melakukan
control. Kemudian secara periodic setiap 6 bulan sekali dalam jangka waktu 2 sampai 4 tahun
untuk menilai vitalitas pulpa.

Faktor Kegagalan
Pada saat pengeburan, ada kemungkinan mata bur membuat perforasi atap pulpa. Hal ini
perawatan

pulp

capping

indirect

berganti

menjadi

pulp

capping

direct.

Prognosis
Pulp capping indirect lebih dari dua kunjungan, lebih disukai oleh banyak klinisi, pulp
capping dirasa lebih konservatif dan lebih memberi hasil yang diharapkan dari metode direct.
Pendukung-pendukung teori ini lebih suka untuk tidak menimbulkan trauma pada gigi dengan
melakukan prosedur eksploratori guna menentukan apakah mereka menghadapi pulpa yang
terbuka atau hanya lesi karies yang dalam.
Tindakan ini memberi keuntungan dari gigi yaitu ditinggalkannya dentin karies yang
meragukan diatas daerah pulpa dan menutupinya. Kadang-kadang, setelah beberapa waktu
kemudian, sesudah mineralisasi ulang terjadi lesi dibuka ulang kembali, setelah itu semua semen
dan dentin karies disingkirkan lalu kavitas dirawat dengan prosedur sama seperti lesi karies yang
dalam. Prognosis baik juga tergantung pada kekooperatifan pasien dalan perawatan.15
CAVITY LINER
Liner adalah bahan sebagai lapisan tipis pada dinding kavitas dan berfungsi untuk
memberikan penghalang bagi iritasi kimia, melindungi pulpa pada kavitas yang dalam sebagai
pulp capping, merangsang pembentukan dentin sekunder, sebagai bahan terapeutik dan bersifat
bakteriostatik.
Liner merupakan material yang diletakan diantara dentin (kadang-kadang pulpa) dan
restorasi untuk memberikan perlindungan pulpa. Kebutuhan akan pelindung sebelum merestorasi
bergantung pada perluasan, lokasi preparasi dan material restorasi yang akan digunakan.
Perbedaan liner dengan basis; liner ketebalan (0,5-1mm), basis ketebalan (1-2mm) dan dapat
meneruskan tekanan restorasi
Beberapa jenis semen yang dapat digunakan sebagai liner,yaitu: Calcium hydroxide, ZOE
dengan viskositas rendah, ionomer kaca, Biodentine, MTA. Bahan bahan ini diletakan selapis
tipis pada dasar pulpa agar dapat menjaga adhesi permukaan antar restorasi gigi, mencegah
masuknya mikroorganisme ke dentin dan iritasi jaringan.

Kesuksesan Indirect pulp capping 73%-97%, namun material IPC masih menjadi
perdebatan (Petrou et al, 2014). AAPD memberikan pedoman liner IPC yang bersifat
biocompatible : Calcium hydroxide, zinc oxide eugenol, GIC, MTA (mineral trioxide aggregate).
Calcium hydroxide gold standard utk klinisi, terbukti percepat pembentukan dentin tersier pasca
aplikasi (Hayasi et al, 2011).5 (Sumber : Choung et al. Tertiary dentin formation after indirect
pulpcapping using protein CPNE7. 2016)
Zinc Oxide Eugenol
ZOE adalah suatu tipe sedative yang biasanya disediakan dalam bentuk bubuk (ZnO)dan
cairan (Eugenol), dan berguna sebagai basis insulatif (penghambat). Kelebihan ZOE adalah
meminimalkan kebocoran mikro dan memberikan perlindungan terhadap pulpa. Sifat Eugenol,
dapat membentuk struktur fenol, merusak dinding sel bakteri menyebabkan lisis (bakterisid).
Liner ini sudah lama ditinggalkan karena ZOE beri efek nekrosis pada jaringan pulpa atas
(zona fiksasi). Dan tidak merangsang pembentukan dentinal bridge. Masih digunakan pada
teknik indirect pulpcapping gigi sulung.

Calcium Hydroxide (CaOH)


Kalsium hidroksida bersifat soluable dalam cairan rongga mulut dibandingkan zinc
phosphate dan adhesive cement sehingga kompatibel dengan segala jenis bahan restorasi. CaOH
bersifat bakteriostatik karena sifat basanya juga antiseptic dari ethylene toluende sulfonamide.
Efek CaOH terhadap pulpa-dentin:
Melindungi pulpa dari iritasi kimia dengan kemampuan sealing yang dimiliki
Menstimulasi pembentukan dentin reparatif
Stimulasi pembentukan dentinal bridge ketika diaplikasikan langsung pada jaringan pulpa
Mengurangi permeabilitas dentin
Jangka panjang: deposisi intratubular garam mineral dalam dentin
Calcium hydroxide memiliki kemampuan remineralisasi karena ion hydroksil menghambat
enzim bakteri di membran sel (bersifat antibakteri); aktivasi enzim jaringan sehingga memiliki
efek remineralisasi. Pembentukan jaringan dentin yang teremineralisasi terjadi hari ke-7 sampai
ke-10 setelah CaOH berkontak dengan jaringan. (Estrella et al, 1995, Ingle et al 2002)

Ionomer Kaca (Glass Ionomer)


Fungsi liner ionomer kaca adalah sebagai bahan pengikat antara gigi dan restorasi
komposit. Karena adanya adhesi pada dentin, maka kemungkinan dari formasi celah pada tepi
gingiva yang terletak pada dentin, sementum atau keduanya disebabkan oleh penyusutan
polimerisasi dari resin. GIC bersifat bikompatibel dan memiliki efek sitotoksik minimal, untuk
pulp capping indirect.
Fuji IX terbukti dapat merangsang remineraliasi karies dentin melalui pelepasan ion
fluoride dan strontium (Sr) (Ngo et al 2006). Keuntungan dari ionomer kaca menjamin ikatan
adhesive, mengurangi sensitivitas dan membentuk mekanisme anti kariogenik.
MTA (Mineral Trioxide Aggregate)
Tersusun atas kalsium oksida (CaO) dan silikon dioksida (SiO2). MTA memiliki mekanisme
kerja seperti kalsium hidroksida karena melepaskan kalsium hidroksida pada proses hidrasinya.
Keberhasilan MTA lebih tinggi dibanding CaOH dalam menginduksi pembentukan dentinal
bridge, mungkin disebabkan partikelnya yang lebih kecil, kemampuan penutupan/sealing sangat
baik, pH tinggi, biokompatibilitas dan kemampuan dalam melepaskan ion kalsium secara
perlahan.
MTA sebagai non resorbing material dapat digunakan sebagai pilihan terapi untuk lesi karies
dalam.20
Calcium silicate : Biodentine
Calcium silicate cements (Biodentine; Septodont, Saint Maur des Fosses, France) dapat
digunakan untuk pulpcapping dengan efek merangsang pembentukan dentinal bridge tanpa
respon inflamasi pulpa melalui sekresi Transforming Growth Factor TGF-1 untuk membentuk
dentin reparatif (Laurent et al. 2012; Zanini et al. 2012; Nowicka et al. 2013). Biodentine,
bersifat alkali tinggi, memiliki efek degradasi/ perubahan komponen kolagen pada dentin, dentin
menjadi porus sehingga ion calcium, hydroxyl, carbonate konsentrasi tinggi dapat berdifusi,
memicu deposit mineral, (formasi pembentukan apatite) sehingga rangsang remineralisasi .
(Atmeh et al. 2012; Watson et al. 2014).21

Remineralisasi Biomimetik
Terminologi biomimetik dalam kamus kedokteran diartikan sebagai suatu metode tiruan
yang mengimitasi proses biokimia tubuh. Remineralisasi biomimetik merupakan suatu
metodologi yang mengimitasi proses natural mineralisasi struktur gigi dengan mengikutsertakan
peran kolagen dalam tingkat nanostruktural.28 Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
remineralisasi intrafibrilar dan extrafibrillar dari matriks kolagen dalam kondisi tidak adanya
kristal apatit yang tersisa akibat proses demineralisasi.29
Komposisi Dentin
Dentin merupakan bagian dari struktur gigi yang secara volume tersusun dari 40-45%
mineral apatit, 30% matriks organik, dan 20-25% air.3 Matriks organik dentin mempunyai
komposisi 90% kolagen yang didominasi oleh kolagen tipe 1 (pembentukannya diawali dengan
prekusor rantaian alpha) dan 10% protein non-kolagen seperti dentin matrix protein-1 (DMP-1),
osteopontin, dan matrix ekstraselular phospoglikoprotein (MEPE).Pembentukan kolagen diawali
dengan penyusunan tiga gugus asam amino prekursor rantaian alpha (triple helix), kemudian
membentuk tropokolagen sepanjang 300 nm dan diameter 1.23 nm. Tropokolagen ini kemudian
tersusun secara sejajar terhadap tropokolagen yang lain dengan jarak 40 nm dan bersusun seperti
tangga, menghasilkan gap zone sepanjang 40 nm diikuti dengan zona overlap sepanjang 27 nm.
Rangkaian tropokolagen ini kemudian disebut dengan fibril kolagen.36,37 (Gambar1).

Gambar 1. Struktur kolagen. Pembentukan kolagen diawali dengan prekursor rantaian


alpha9
Kolagen pada dentin mempunyai komposisi yang berbeda dengan kolagen bagian tubuh
manusia lainnya, kolagen pada dentin mempunyai mineral yang terdiri dari intrafibril dan
ekstrafibril mineral, kedua mineral tersebut terlibat dalam proses remineralisasi dentin. Kolagen
terutama terletak pada dentin intertubular, sedangkan pada dentin peritubular hampir tidak ada
kolagen dan diisi oleh 95% mineral. 3,5 Kolagen mempunyai peranan penting dalam menjaga

stabilisasi struktur dentin, diantaranya untuk memberikan sifat fisik dentin berupa kekuatan dan
kelenturan.57 Protein non kolagen, walaupun hanya terdapat 10% pada dentin, memiliki peran
yang sangat penting dalam regulasi mineralisasi dentin.8

Gambar 2. Nanostruktur kolagen.36,37


Remineralisasi Biomimetik
Remineralisasi pada dentin mempunyai dua cara yang berbeda; remineralisasi secara
klasik (top-down) dan non-klasik (bottom-up). Remineralisasi secara klasik merupakan
mineralisasi dentin yang berbasis epitaxial growth, remineralisasi atau pembentukan kristal apatit

dari kristal apatit yang tersisa. Kristal apatit yang tersisa menjadi nucleation site untuk presipitasi
ion kalsium dan fosfat ketika kristal bersentuhan dengan bahan bioaktif, dengan kata lain, jika
tidak ada kristal apatit atau mineral yang tersisa, tidak akan terjadi mineralisasi secara klasik. 38
Beberapa studi menyatakan bahwa remineralisasi klasik menghasilkan remineralisasi yang tidak
sempurna dan non-fungsional. Remineralisasi ini tidak membentuk kristal apatit pada matrix
intrafibril, mineralisasi hanya terjadi pada matrix ekstrafibril, hal ini disebabkan oleh kurangnya
kontrol dari penempatan dan ukuran kristal apatit yang dibentuk. 11,12 Konsep kristalisasi
berdasarkan pendekatan klasik efektif jika terjadi pada email, karena 90% dari komposisi email
merupakan kristal apatit. Remineralisasi pada dentin lebih kompleks terkait dengan sedikitnya
kristal apatit yang tersisa dan tereksposnya matriks organik pada lesi dentin yang
terdemineralisasi. Konsep kristalisasi berdasarkan ikatan ionik (remineralisasi klasik) yang
terjadi pada email tidak dapat diaplikasikan untuk melakukan remineralisasi pada dentin.28
Remineralisasi non-klasik (Guided Tissue Remineralization) merupakan pendekatan yang
yang mengemukakan strategi dalam biomineralisai kolagen. Strategi ini mempergunakan
teknologi nano dan prinsip biomimetik.28,29 Dengan perkembangan ilmu teknologi nano, struktur
dentin dalam skala nano dapat dipetakan dan diketahui bahwa mineral pada dentin terdeposit
diantara gap zone dari fibrilar kolagen yang disebut sebagai mineral intrafibrilar dan terdeposit
pada rongga interstisial yang memisahkan fibrilar-fibrilar kolagen yang disebut sebagai mineral
ekstrafibrilar.29 Remineralisasi non-klasik menggunakan materi sintetik untuk mensubsitusi
protein matrix dentin yang berperan dalam proses bioremineralisasi, menggunakan partikel
berukuran nano yang menyesuaikan ukuran stuktur dentin yang sebenarnya.28 Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan remineralisasi intrafibrilar dan extrafibrillar dari matriks kolagen dalam
kondisi tidak adanya kristal apatit yang tersisa.2,11
Peran Material Analog dalam Mengantikan Peran Protein Non- kolagen
Penggunaan materi analog dari protein non-kolagen dikemukakan untuk memperoleh
remineralisasi biomimetik. Asam poliakrilik dan asam poliaspartik digunakan sebagai analog
untuk memisahkan ion kalsium yang dilepaskan oleh semen kalsium silika atau cairan kalsium
fosfat. Analog ini berfungsi dengan berperan sebagai surfaktan untuk mencegah amorphous
calcium phosphate (ACP) dalam bentuk partikel nano beragregasi menjadi partikel yang lebih
besar. Selain itu analog ini juga berfungsi untuk mencegah transformasi partikel nano ACP
berubah menjadi krristal apatit sebelum masuk ke kompartemen intrafibrilar.

Dai et al. (2011) mengemukakan mengenai peran analog dalam proses biomineralisasi
dentin. Analog berbasis asam polikarboksilat yang bersifat biomimetik berperan sebagai agen
stabilisasi amorphous calcium phosphate

yang berasal dari semen Portland yang bereaksi

dengan cairan tubuh dalam bentuk nano-partikel yang dapat mengilfiltrasi air yang berada pada
fibrila kolagen.29 Analog dari matriks fosfoprotein berbahan dasar fosfat juga menempel pada
kolagen via ikatan eletrostatik atau mekanisme fosforilasi kimia untuk menarik nano-prekursor
mengarah ke gap zones diantara molekul kolagen. Penyusunan nano-prekursor ACP dan
transformasi menjadi nano-kristal apatit menghasilkan mineralisasi intrafibrilar.29

HALITOSIS
1

Pengertian Halitosis
Halitosis berasal dari bahasa latin halitus (nafas) dan Yunani osis (keadaan). Jadi
halitosis merupakan keadaan dari bau nafas. Umumnya istilah ini mengacu pada suatu
keadaan bau mulut yang berasal dari keadaan metabolic secara sistemik termasuk saluran
pencernaan. Halitosis dapat berupa halitosis fisiologi maupun patologis.
Halitosis fisiologis adalah halitosis yang bersifat sementara dan terjadi bila
substansi yang menimbulkan bau tersebut secara hematologi menuju paru-paru dan
biasanya berasal dari makanan, seperti bawang dan lobak dan bisa juga berasal dari
minuman, seperti the, kopi, serta minuman beralkohol. Halitosis patologis adalah
halitosis yang dasarnya terjadi dalam suatu mekanisme yang sama dengan halitosis
fisiologis, dalam hal ini bahan-bahan yang secara hematologis menuju paru-paru.
Penyebab utama keadaan keadaan ini karena adanya kelainan yang bersifat lokal maupun
sistemik seperti diabetes mellitus, uremia, gastritis, tukak lambung, dan hepatitis.
Halitosis adalah kondisi kesehatan mulut yang ditandai dengan napas yang berbau
konsisten. Meskipun rongga mulut terjaga, sudah menghindari makanan yang berbau
tidak sedap.

1.2 Etiologi Terjadinya Halitosis

Halitosis dapat disebabkan oleh faktor-faktor fisiologis dan patologis yang


berasal dari rongga mulut atau intra oral dan faktor- faktor sistemik atau ekstra oral.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Amerika Serikat, penyebab utama halitosis
sebagian besar (90%) adalah karena faktor-faktor yang melibatkan rongga mulut. Perlu
ditekankan bahwa halitosis bukanlah suatu penyakit, tetapi dianggap sebagai gejala dari
penyakit sistemik tertentu. Namun bukan berarti bahwa setiap bau yang tidak sedap
menandakan adanya suatu penyakit tertentu.

1.2.1 Faktor Fisiologis Intra Oral


Dalam rongga mulut seseorang, terdapat substrat-substrat protein

eksogen

(sisa makanan) dan protein endogen (deskuamasi epitel mulut, protein saliva dan darah)
yang banyak mengandung asam amino yang mengandung sulfur (S). Selain itu halitosis
juga dihasilkan oleh bakteri yang secara normal hidup di permukaan lidah dan dalam
kerongkongan yang membantu proses pencernaan makanan dengan memecah protein.
Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu
menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau
proteoliti, yaitu menggunakan protein, peptida, asam amino sebagai sumber utamanya.
Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat
proteolitik.
Menurut penelitian yang dipelopori oleh Prof. Dr. Joseph.Tozentich dari Universitas of
British Columbia, Vancouver, berhasil mendeteksi bahwa terdapat suatu senyawa sulfur
yang mudah menguap dan berbau tak sedap sebagai hasil produksi penguraian protein
oleh bakteri anaerob gram negatif di dalam mulut. Senyawa
menguap

ini

disebut

sebagai Volatile

mengandung Hidrogen

sulfur

yang

mudah

Sulfur Compounds (VSCs)

yang

sulfida (H2S), Methil mercaptan (CH3SH)

dan Dimetil

sulfida (CH3SCH3) yang merupakan penyebab utama halitosis yang berasal dari rongga
mulut.
Kondisi mulut yang dapat memicu terjadinya bau mulut ialah kurang atau berhentinya
flow (aliran)
jumlah

saliva,

protein

meningkatnya

makanan,

pH

bakteri
rongga

gram

negatif

anaerob, meningkatnya

mulut

yang

lebih bersifat alkali dan

meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik di dalam mulut. (Ravel, 2006)
Walaupun penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, sebagian besar penyebab
diketahui berasal dari sisa makanan

yang tertinggal di dalam rongga mulut yang

diproses oleh flora normal rongga mulut. Beberapa faktor rongga mulut yang perlu
mendapat perhatian khusus karena mempunyai peranan serta pengaruh besar terhadap
timbulnya halitosis pada seseorang diantaranya adalah saliva, lidah, ruang interdental, dan
gigi geligi.

2.2.2 Faktor Fisiologis Ekstra Oral


Beberapa jenis masakan dan substansi makanan yang dikonsumsi sehari-hari juga
dapat menimbulkan bau nafas yang kurang sedap. Makanan yang digoreng dan dan
banyak mengandung bumbu seperti bawang dapat menimbulkan bau yang bertahan di
mulut selama 10-12 jam. Bahkan bau tersebut masih tetap terasa setelah gigi-gigi
dibersihkan.
Bau ini timbul karena substansi makanan tersebut diserap oleh saluran pencernaan
dan dikeluarkan dengan lambat melalui paru-paru. Keadaan ini telah dibuktikan oleh
Morris dan Read dengan memberikan suatu kapsul yang mengandung bawang putih
kepada pasien yang diteliti dan menghasilkan bau yang bertahan lama pada udara
pernafasan. Peneliti lainnya juga membuktikan bahwa bau bawang putih tersebut dalam
waktu singkat telah dapat dirasakan pada pernafasan dan
beberapa

jam

walaupun

saluran

bertahan

selama

pencernaan seperti jejunum merupakan bagian

yang terpisah dari perut.


2.2.3 Faktor Patologis Intra Oral
Faktor penyebab halitosis yang paling sering terlihat adalah disebabkan karena
kurang terjaganya kebersihan dan kesehatan rongga mulut. Pada pasien yang oral
higienenya

buruk

cenderung

terjadi

pembusukan

sisa-sisa

makanan

yang

menumpuk di sela-sela gigi oleh bakteri yang ada di dalam rongga mulut. Keadaan ini
akan bertambah parah pada pasien yang memiliki kecenderungan untuk membentuk
kalkulus dengan cepat.
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum
terjadi dan memicu terjadinya halitosis disebabkan bakteri gram negatif seperti

veilonella, fusobacterium nucleatum dan porphyromonas gingivalis tersembunyi di


dalam jaringan periodontal yang sakit dan menimbulkan gas yang bau.
Selain karena pembusukan sisa-sisa makanan yang terperangkap di dalam poket,
pada kondisi ini saliva juga dapat cepat membusuk sehingga
bau

mulut

individu.

Disamping

menambah

parah

itu, jaringan nekrotik yang terbentuk dan

suplai darah yang berkurang menyebabkan kadar oksigen di daerah infeksi juga
berkurang. Dengan demikian bakteri akan berkembang terus dan membebaskan zat-zat
yang berfungsi sebagai virulensi serta dapat menimbulkan eksudat purulen
keluar melalui sulkus gingiva. Reaksi metabolik timbul menghasilkan
dan

NH2 (Amino)

sehingga

yang

gas H2S

terjadi peninggian konsentrasi sulfur yang mudah

menguap dalam udara di rongga mulut.


2.2.4 Faktor Patologis Ekstra Oral
Keadaan septik hidung dan struktur-struktur

yang berhubungan dengannya

menimbulkan ozena atau rinitis atropik yang ditandai dengan rasa kering dan atrofi
membrane sehingga rongga hidung menjadi besar, bergerak, dan menimbulkan bau.
Hanya saja rinitis atropik jarang dijumpai, sedang sinusitis kronis sering disertai
dengan nafas yang bau. Hal ini terlihat nyata pada kasus sinusitis maxilaris kronis,
terutama karena disebabkan gigi terinfeksi oleh bakteri Streptokokus viridans yang
mampu

mengeluarkan

bau

tidak

sedap. Septik

adenoid dan tonsilitis dapat

menyebabkan menyumbatan pada hidung yang disertai dengan fetor ex ore. Bedah
tonsilektomi sendiri dapat menghasilkan bau yang serupa dengan bau darah busuk yang
terjadi setelah dilakukan operasi mulut.
2.3 Klasifikasi Halitosis
Berdasarkan faktor etiologinya, halitosis dibedakan atas halitosis sejati
(genuine), pseudohalitosis, dan halitophobia. Halitosis sejati dibedakan lagi atas fisiologis
dan patologis. Halitosis fisiologis merupakan bersifat sementara dan tidak membutuhkan
perawatan, sebaliknya halitosis patologis merupakan halitosis bersifat permanen dan
tidak dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral hygiene saja, tetapi membutuhkan
suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber penyebab halitosis.
2.3.1 Genuine Halitosis (halitosis sejati)

a. Halitosis Fisiologis
Halitosis fisiologis merupakan halitosis yang

bersifat sementara dan tidak

membutuhkan perawatan. Pada halitosis tipe ini tidak ditemukan adanya kondisi patologis
yang menyebabkan halitosis. Contohnya adalah morning breath, yaitu bau nafas pada
waktu bangun pagi. Keadaan ini disebabkan tidak aktifnya otot pipi dan lidah

serta

berkurangnya aliran saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi dengan
merangsang aliran saliva dan menyingkirkan sisa makanan di dalam mulut dengan
mengunyah, menyikat gigi atau berkumur.
b. Halitosis Patologis
Halitosis patologis merupakan halitosis yang bersifat permanen dan tidak dapat
diatasi hanya dengan pemeliharaan oral

higiene saja, tetapi membutuhkan suatu

penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber penyebab halitosis. Adanya pertumbuhan
bakteri

yang

penyebab

dikaitkan

halitosis

dengan

patologis

kondisi

intraoral

oral higiene yang


yang

paling

buruk merupakan

sering dijumpai. Tongue

coating, karies dan penyakit periodontal merupakan penyebab utama halitosis berkaitan
dengan kondisi tersebut.Infeksi kronis pada rongga nasal dan sinus paranasal, infeksi
tonsil(tonsilhlith), gangguan pencernaan, tukak lambung juga dapat menghasilkan gas
berbau. Selain itu, penyakit sistemik seperti diabetes ketoasidosis, gagal ginjal, dan
gangguan hati juga dapat menimbulkan bau nafas yang khas. Penderita diabetes
ketoasidosis mengeluarkan nafas berbau aseton. Udara pernafasan pada penderita
kerusakan ginjal berbau amonia dan disertai dengan keluhan dysgeusi, sedangkan pada
penderita gangguan hati dan kantung empedu seperti sirosis hepatis akan tercium
bau nafas yang khas, dikenal dengan istilah foetor hepaticus.
2.3.2

Pseudo Halitosis (Halitosis Semu)


Pada kondisi ini, pasien merasakan dirinya memilki bau nafas yang buruk, namun

hal ini tidak dirasakan oleh orang lain disekitarnya ataupun tidak dapat terdeteksi dengan
tes ilmiah. Oleh karena tidak ada masalah pernapasan yang nyata, maka perawatan yang
perlu diberikan pada pasien berupa konseling untuk memperbaiki kesalahan konsep yang
ada (menggunakan dukungan literature, pendidikan dan penjelasan hasil pemeriksaan)
dan mengingatkan perawatan oral hygiene yang sederhana.

2.3.3 Halitophobia
Pada kondisi ini, walaupun telah berhasil mengikuti perawatan genuine
halitosis maupun telah mendapat konseling pada kasus pseudo halitosis, pasien masih
kuatir dan terganggu oleh adanya halitosis. Padahal setelah dilakukan pemeriksaan yang
teliti baik kesehatan gigi dan mulut maupun kesehatan umumnya ternyata baik dan tidak
ditemukan suatu kelainan yang berhubungan dengan halitosis, begitu pula dengan tes
ilmiah yang ada tidak menunjukkan hasil bahwa orang tersebut menderita halitosis.
Pasien juga dapat menutup diri dari pergaulan sosial, sangat sensitif terhadap komentar
dan tingkah laku orang lain. Maka dari itu, diperlukan pendekatan psikologis untuk
mengatasi masalah kejiwaan yang melatar belakangi keluhan ini yang biasanya dapat
dilakukan oleh seorang ahli seperti psikiater ataupun psikolog.
2.4 Mekanisme Terjadinya Halitosis
Mekanisme terjadinya halitosis sangat dipengaruhi oleh penyebab yang
mendasari keadaan tersebut. Pada halitosis yang disebabkan oleh makanan tertentu, bau
nafas berasal dari makanan yang oleh darah ditransmisikan menuju paru-paru yang
selanjutnya dikeluarkan melalui pernafasan. Secara khusus, bakteri memiliki peranan
yang penting pada terjadinya bau mulut yang tak sedap atau halitosis. Bakteri dapat
berasal dari rongga mulut sendiri seperti plak, bakteri yang berasal dari poket yang dalam
dan bakteri yang berasal dari lidah memiliki potensi yang sangat besar menimbulkan
halitosis.
VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsure utama penyebab halitosis.
VSC merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut
yang berupa senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah menguap sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain disekitarnya. Di dalam
aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada.
Protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein,
sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang
terkelupas dari mukosa mulut. Seperti yang telah diketahui, di dalam mulut banyak
terdapat bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Kebanyakan bakteri gram positif
adalah bakteri sakarolitik artinya di dalam aktivitas hidupnya banyak memerlukan
karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri gram negatif adalah bakteri proteolitik

dimana untuk kelangsungan hidupnya banyak memerlukan protein. Protein akan dipecah
oleh bakteri menjadi asam-asam amino.
Sebenarnya terdapat beberapa macam VSC serta senyawa yang berbau lainnya di
dalam rongga mulut, akan tetapi hanya terdapat 3 jenis VSC penting yang merupakan
penyebab utama halitosis, diantaranya metal mercaptan (CH3SH), dimetil mercaptan
(CH3)2S, dan hidrogen sulfide (H2S). Ketiga macam VSC tersebut menonjol karena
jumlahnya cukup banyak dan mudah sekali menguap sehingga menimbulkan bau.
Sedangkan VSC lain hanya berpengaruh sedikit, seperti skatole, amino, cadaverin dan
putrescine.
2.5 Gejala Halitosis
Kita sering tidak menyadari bahwa diri kita mengidap halitosis. Kalaupun tahu bau
mulut sering membuat kita rendah diri. Karena itu, kita perlu mengenali beberapa gejala
tersebut :
1.

Sering merasa tidak enak dalam mulut.

2.

Orang lain berkomentar mengenai bau nafas anda kemudin menawarkan sejenis
permen atau obat penyedap bau nafas.

3.

Tanpa sadar anda sering menggunakan produk penghilang bau mulut, penyegar
nafas.

4.

Orang lain tidak mau berdekatan saat berbicara dengan anda.

5.

Anda merasakan mulut kering atau kondisi air liur lebih kental daripada biasanya.
Kondisi ini tidak dapat diperbaiki walau dengan segala usaha yang anda lakukan.

2.6 Diagnosis dan Pengukuran Halitosis


Diagnosis halitosis sangat penting dilakukan untuk mengetahui penyebab dan
mencegah terjadinya halitosis sehingga memungkinkan untuk melakukan evaluasi
terhadap keberhasilan pencegahan yang telah dilakukan. Kondisi umum pasien,
pemeriksaan kondisi oral hygiene, karies, status periodontal diperlukan untuk
mendukung diagnosa yang tepat. Metode diagnosis dibedakan atas metode langsung dan
tidak langsung
2.6.1 Metode Langsung
Metode langsung dilakukan dengan menghirup langsung bau yang terpancar atau
mengakur gas-gas yang mengandung sulfur penyebab timbulnya halitosis. Metode

langsung meliputi self diagnosis and home diagnosis pengukuran organoleptik,


pengukuran dengan menggunaknan instrument seperti gas Kharomatografi, monitor
sulfide/portable (halimeter) dan elektronik nose.
2.6.2 Metode Tidak Langsung
Metode ini biasanya dilakukan di laboratorium dengan mengidentifikasi
mikroorganisme yang berperan menghasilkan VSC secara secara invivo atau
mengidentifikasi produk-produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut secara
invitro.
Terdapat beberapa metode untuk memeriksa kondisi halitosis. Metode yang paling umum
digunakan adalah pengukuran organoleptic, gas chromatography, pengukurn sulfide, the
BANA (benzoyl-DL-argininr-naphtylamide) test, dan metode dengan menggunakan sensor
kimia. Metode yang jarang digunakan, yaitu quantification of the -galactosidase activity,
salivary incubation tests, monitoring of ammonia, and the ninhydrin method.
A Metode Organoleptic
Metode ini merupakan teknik yang subjektif, sehingga diperlukan kalibrasi pada
pemeriksa untuk mendapatkan hasil yang akurat. Teknik yang digunakan adalah dengan
menginstruksikan pasien mengucapkan ah dengan kencang (pasien dapat melakukannya
dengan menutup mata) atau menghitung 1 sampai 10. Jarak ketika pemeriksa dapat
mencium bau mulut pasien menjadi penentuan tingkat keparahan halitosis. Skala yang
digunakan, yaitu:

Grade 1, jika bau mulut dapat dirasakan dari jarak 10 cm


Grade 2, jika bau mulut dapat dirasakan dari jarak 30 cm
Grade 3, jika bau mulut dapat dirasakan dari jarak 1 m

Keuntungan metode ini adalah teknik pemeriksaan yang paling mudah dan murah.

Gambar 2. Visualisai
pengukuran orgonleptic. (Skala
pada gambar tidak dalam jarak
yang sebenarnya) 1

Pada metode organolepti juga terdapat teknik lain dalam menilai kondisi halitosis, yaitu
dengan spoon test, dental floss odour test, dan saliva odour test. Pada spoon test, dilakukan
scraping pada bagian dorsum lidah dengan menggunakan sendok plastic. Lima detik kemudian,
bau sendok dievaluasi pada jarak kurang lebih 5 cm dari hidung pemeriksa. Pada dental floss
odour test, dilakukan dengan memakai unwaxed floss yang dilewatkan pada kontak
interproksimal gigi posterior. Kemudian pemeriksa mengevaluasi bau dental floss dari jarak
kurang lebih 3 cm. Pada saliva odour test, pasien diinstruksikan untuk mengeluarkan air ludah
sebanyak kurang lebih 1-2 ml ke dalam petri dish. Kemudian dish ditutup dan diinkubasi pada
suhu 37C selama 5 menit dan dilakukan evaluasi bau saliva dengan jarak 4 cm dari hidung
pemeriksa.
B Pengukuran Dengan Menggunakan Sistem
Pengukuran yang objektif dilakukan dengan dengan metode pengukuran VSC ketika
pasien mengeluarkan nafas. Sistem yang paling umum digunakan adalah Halimeter (Interscan)
dan the gas chromatograph OralChroma (Abimedical).
Pada system Halimeter, VSC dihitung dalam parts per billion (ppb; pengukuran
sulfide), sedangkan pada OralChroma menggunakan analisis VSC individual dalam ppb serta
ng/10ml

udara yang dihembuskan (H2S, CH3, (CH3)2SH). Pada system OralChroma dapat

diketahui penyebab halitosis karena analisis juga dilakukan pada komposisi dari hydrogen
sulfide. Cara pengambilan sampel gasa pada system OralChroma adalah dengan mengekstrak gas
dari rongga mulut dengan disposable syringe yang kemudian diinjeksikan dengan menggunakan
cannula ke dalam sebuah perangkat. Sistem melakukan analisis dalam waktu 8

Gambar 3. Perangkat yang digunakan dalam OralChroma Test dan hasil


pemeriksaan yang didapatkan

menit dan selama waktu itu pemeriksa dapat melakukan metode organoleptic serta pemeriksaan
diagnosis lebih lanjut. Pada pemeriksaan dengan Halimeter, disposable tubes disambungkan ke
sebuah perangkat untuk mengekstrak gas dari beberapa region (hidung, dasar lidah, bagian
anterior rongga mulut, dan lainnya). Hasil analisis dari pengukuran dengan system Halimeter
kemudian akan segera dapat dilihat. Pada pemeriksaan halitosis direkomendaskan untuk
mengikuti standar prosedur yang sudah dibuat supaya hasil yang didapatkan akurat.
Metode lainnya yang dapat dilakukan adalah BANA test. Metode ini mengunakan test
strip. Biofilm diekstraksi dari rongga mulut (tongue coating, supragingival/subgingival plaque)
kemudian diaplikasikan pada test strip dan hasil jenis bakteri yang ada (porphyromonas
gingivalism Treponema denticola, dan Tannerella forsythia) dibuktikan oleh hasil perubahan
warna pada strip.

Gambar 4. Teknik pengambilan gas yang


berada di dalam rongga mulut untuk analisis
dengan OralChroma

2.7 Pencegahan dan Perawatan Halitosis


Manajemen halitosis memerlukan pemeriksaan dan diagnosis yang akurat untuk
mengetahui penyebab utamanya sehingga dapat dilakukan penyusunan rencana terapi yang
sesuai. Pemeriksaan riwayat medis umum dan kesehatan gigi pasien serta riwayat konsumsi
makanan pasien dapat membantu dalam menentukan penyebab halitosis.
Manajemen halitosis mencakup:
1
2
3

Terapi penyebab utama halitosis


Melakukan prosedur scaling dan root planing
Edukasi pasien untuk meningkatkan kebersihan ronga mulut dengan sikat gigi, dental floss,

tongue cleaner, dan antimicrobial agent


Edukasi pola diet pasien, seperti hindari makanan yang dapat menyebabkan halitosis,
konsumsi makanan yang dapat meningkatkan laju alir saliva (sayur, buah, permen karet

5
6

bebas gula) serta konsumsi air putih yang cukup


Edukasi mengenai kebiasaan dan pola hidup, seperti mengurangi konsumsi rokok
Pada pasien halitophobia dirujuk ke psikolog

IMPAKSI MAKANAN
Definisi: Masuknya makanan secara paksa ke dalam jaringan periodonsium.
Area yang umum mengalami impaksi makanan:
1

Vertical impaction:
A

Open contacts

Irregular marginal ridge

Plunger cusps (cusp yang cenderung memaksa masuk makanan/menyebabkan


impaksi makanan secara interproksimal
Penyebab: occlusal wear, perubahan/pergeseran posisi gigi normal

Horizontal (lateral) impaction pembesaran embrasur gusi

MEKANISME IMPAKSI LATERAL


Penyakit periodontal

Kerusakan jaringan

Resesi gusi

Embrasur gusi membesar


Ada tekanan lateral dari bibir,
pipi, dan/atau lidah

Impaksi Makanan
KLASIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB IMPAKSI MAKANAN
CLASS I

: Occlusal wear

CLASS II

: Loss of proximal contact

CLASS III : Extrusion beyond the occlusal plane


CLASS IV : Congenital morphological abnormality
CLASS V
1

: Improperly constructed restoration

CLASS I : Occlusal wear


A Tipe A: Gaya wedging yang disebabkan oleh adanya plunger cusp ke bagian facet
oblique dari gigi antagonisnya.

Tipe B: Cusp gigi maksila yang telah mengalami keausan secara oblique
menyebabkan adanya overhanging dari permukaan distal gigi antagonis.

Tipe C: Sama seperti tipe B, hanya gigi yang mengalami keausan adalah gigi
mandibula.

CLASS II : Loss of proximal support


A Tipe A: Kehilangan penyangga distal gigi akibat ekstraksi gigi sebelah distal dari
gigi yang mengalami impaksi.

Tipe B: Kehilangan penyangga mesial akibat ekstraksi.

Tipe C: Terjadi pergeseran gigi secara oblique karena gigi yang hilang tidak diganti
dengan gigi yang baru (gigi tiruan).

D Tipe D: Adanya ruang interdental cukup lebar untuk terjadi oklusi terbuka permanen
dari gigi antagonis. Disebabkan oleh 4 hal:
i Drifting pasca ekstraksi gigi proksimal
ii Kebiasaan mendorong-dorong gigi keluar dari posisi normal (anterior)
iii Penyakit periodontal
iv Karies gigi
3

CLASS III : EXTRUSION A TOOTH RETINING CONTIGUITY WITH THE


ADJACENT MESIAL AND DISTAL MEMBERS

CLASS IV : CONGENITAL MORPHOLOGIC ABNORMALITIES


A Tipe A: Posisi gigi secara torsi
B

Tipe B: Adanya embrasur cukup besar diantara 2 gigi yang servikalnya tebal

Tipe C: tilting gigi fasio-lingual

D Tipe D: malposisi (fasial atau lingual)


5

CLASS V : IMPROPERLY CONSTRUCTED RESTORATION


A Tipe A: Kehilangan titik kontak
B

Tipe B: Lokasi titik kontak yang tidak baik

Tipe C: Kontur oklusal yang buruk

D Tipe D: restorasi cantileber yang buruk


TANDA DAN GEJALA
1

Keluhan
A Rasa tidak nyaman/ada tekanan

Nyeri ringan

Muncul karies akar

Perubahan jaringan periodonsium


A Inflamasi gusi gusi berdarah
B

Resesi gusi

Periodontitis

D Adanya abses periodontal


E

Kehilangan tulang alveolar secara vertikal

PENCEGAHAN DAN PERAWATAN


1

Terapi periodontal: Scaling, flossing, stimulasi gusi, kuretase

Occlusal Adjustment (penyesuaian oklusi)


A Plunger cusp: Ujung cusp yang tajam dihaluskan dan dibundarkan/ditumpulkan
terutama pada cusp yang paling sering membuat impaksi makanan.

Perbaiki tinggi oklusal dari marginal ridge


i

ii

Pilih antara restorasi atau grinding berdasarkan:

Relasi dengan struktur gigi antagonis serta bidang oklusinya

Derajat celah/jarak interproksimal yang terbentuk

Faktor iatrogenik
Perhatikan jug lereng dari marginal ridge (internal/eksternal)

iii

Saat marginal ridge diperbaiki umumnya fossa proksimal mengalami


keruskan, fossa ini juga harus diperbaiki.

Grooves and fossa


Recarving fossa yang hilang atau rusak sesuai dengan bentuk anatomis normalnya.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya impaksi makanan lagi baik secara
interproksimal, fasial, maupun lingual.

Memerbaiki titik kontak yang ideal: Kontak proksimal yang baik dapat mencegah
terjadinya impaksi makanan secara interproksimal melindungi papila interdental.
A Kontak ideal dilihat dari aspek:

Location

ii

Width

iii

Height

iv

Tightness

Setelah diperbaiki periksa menggunakan dental floss secara hati-hati agar tidak
melukai papila interdental

Restorasi Permanen

Faktor yang harus diperhatikan dalam membuat restorasi permanen:


i

Kontak proksimal

ii

Kontur permukaan oklusal

iii

Kontur fasial dan lingual

Restorasi yang dapat digunakan bisa dari restorasi direct (jarang digunakan) atau
menggunakan inlay logam/porselen. Apabila perbaikan gigi mencapai hampir seluruh
permukaan dapat digunakan restorasi crown.

Daftar Pustaka
1. Mount GJ, Hume WR. Preservation and Restoration of Tooth Structure. 2nd Ed. 2005.
2. Mount GJ. Minimal intervention in dentistry. Minim Interv Dent 2011; 4 (6)
3. Tyas MJ, Anusavice KJ, Frencken JE, Mount GJ. Minimal intervention dentistry --a review.
Int Dent J 2000 Feb; 50(1): 1-12.
4. Murdoch CA, Kinch. Minimally invasive dentistry, JADA, Vol. 134, January 2003
5. Walsh LJ, Brostek AM. Minimum intervention dentistry principles and objectives.
Aust.dent.jrnl 2013 Jun;58 Suppl 1:3-16
6. Banerjee A, Domejean S. The contemporary approach to tooth preservation: minimum
intervention (MI) caries management in general practice. Primary dental journal Vol 2, no 3 Juli
2013 hlm 30-37
7. Banerjee A, Minimal intervention dentistry: part 7. Minimally invasive operative caries
management: rationale and techniques. British Dental Journal. Vol 214 No 3. 2013
8.Torabinejad M, Walton RE, Endodontic Principles and Practices. 4th ed. St.Louis: Saunders.
2009
9.Chandra BS, Khrisna VG. Grossmans Endodontic Practice. 12th ed. Wolters Kluwer. 2010
10.Ingle JI, Bakland LK, Baumgartner JC. Ingles Endodontic.6th ed. BC Decker. 2008
11.Hilton TJ. Keys to Clinical Success with Pulp Capping: A Review of the Literature. Journal of
Operative Dentistry. 2009.
12.Mineral trioxide aggregate pulpotomies A case series outcomes assessment J Am Dent Assoc
2006;137;610-618
13.Malkondu O, Kazandag MK, Kazazoglu E. A Review on Biodentine, a Contemporary
Dentine Replacement and Repair Material. BioMed Research International. 2014
14. Fejerskov O, Kidd EAM., Dental caries : The disease and its clinical management. 2003.
UK: Blackwell Munksgaard.
15. Stephen Cohen, Hargreaves. Pathways of the Pulp, eleven edition, St. Louis missouri, ,2014
16. Smith et al. Reactionary dentinogenesis. International J.Dev. 1995.
17. Opal et al. Minimally Invasive CLinical Approach in Indirect Pulp Therapy and Healing of
Deep Carious Lesions. Journal of Clinical Pediatric Dentistry. Vol 38, number 3. 2014.

18. Blackweel. Dentin and pulp reactions to caries and operative treatment. Endodontic Topics
2:10-23. 2002.
19. Choung et al. Tertiary dentin formation after indirect pulpcapping using protein CPNE7.
2016.
20. Maltz et al. A clinical, microbiologic and radiografic study of deep caries leson after
incomplete caries removal, 2000.
21. Hoefler et al. Long-term Survival and Vitality outcomes of Permanent Teeth Following Deep
Caries Treatment with step-wise and partial-caries-removal. Journal of Dentistry. 2016.
22. Petrou et al. A randomized clinical trial on the use of Cement Potland, MTA in indirect pulp
treatment. Clinical in oral invest. 2013.
23. Hashem et al. Clinical and radiografic assesment of the efficacy of calcium silicate indirect
pulp capping. Jounal of dental Research. 2015.
24. Bjorndal et al. Teratment of Deep Caries Lesion in Adult: Randomized clinical trial
comparing stepwise technique vs direct complete excavation. Eur j oral Sci. 2010.
25. Hayasi et al. Ways to Enhancing Pulp Preservation by Stepwise Excavation: Clinical Review.
Journal of Dentistry. 2011.
26. Hilton TJ. Keys to Clinical succecess with Pulp Capping: a literature review. Clinical
Dentistry. 2009.
27. Benoist et al. Evaluation of mineral trioxide aggregate (MTA) versus calcium hydroxide in
formation of dentinal bridge : a randomized controlled trial. International Dental Journal.
2012.
28. Cao C, Mei M, Li M, Lo E, Chu C. Methods for biomimetic remineralization of human
dentine : a systematic review. Int J. Mol. Sci.2015 ;16(3) :4615-27 (2 fitha)
29. Dai L, Liu Y, Salameh Z, Khan S, Mao J, Pashley D, Tay F. Can caries-affected dentin be
completely remineralized by guided tissue remineralization?. Dent Hypotheses. 2011
Jan;2(2):74-82 (1 fitha)
30. Goldberg M. Dentin: Structure , composition and mineralization NIH Public Access. 2011;
(January) (20 aryo)
31. Dentine as a Bioactive Extraceluller Matriks, 2012, Journal of Oral Biology, Vol 57, p.109121 (8 101)
32. Bedran-Russo AK, Pauli GF, Chen SN, et al. Dentin biomodification: Strategies, renewable
resources and clinical applications. Dent Mater. 2014;30(1):62-76 (21 aryo)

33. Bertassoni LE, Orgel JPR, Antipova O, Swain M V. The dentin organic matrix - Limitations
of restorative dentistry hidden on the nanometer scale. Acta Biomater. 2012;8(7):2419-2433
(22 aryo)
34. Habelitz LEBS, Marshall JHKSJ, Jr GWM. Biomechanical Perspective on the
Remineralization of Dentin. 2009;0758:70-77 (23 aryo)
35. Cao CY, Mei ML, Li QL, Lo ECM, Chu CH. Methods for biomimetic remineralization of
human dentine: A systematic review. Int J Mol Sci. 2015;16(3):4615-4627 (19 aryo)
36. Uskokovi v, Bertassoni L. Nanotechnology in Dental Sciences : Moving towards a finer
way of doing dentistry. Materials 2010, 3(3), 1674-1691 (5 fitha)
37. Bertassoni L, Habelitz S, Kinney J, Marshall S, Marshal G. Biomechanical perspective on the
remineralization of dentin. Caries Research .2009 ; 43 :70-77 (13 fitha)
38. Timothy F. Watson et al, Present and future of GIC & calcium-silicate cements as bioactive
material in dentistry, 2014, Journal of elsevier, Vol. 30, pg. 50-61
39. Steven R. Jefferies, Bioactive and Biomimetic Restorative Materials, 2013, Journal of
Esthetic and Restorative Dentistry, Vol. 26, No.21, pg. 14-26
40. Zhen Chen et al, Biomimetic Remineralization of Demineralized Dentine Using Scaffold of
CMC/ACP Nanocomplexes in an In Vitro Tooth Model of Deep Caries, 2015, Plos One
Journal

Anda mungkin juga menyukai