Dalam perkembangannya tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak pasal dari UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang secara mutlak diambil dari KUHP. Penting sekali bagi penegak hukum untuk memahami riwayat dibuatnya suatu pasal pada undang-undang dan asalnya dari pasal dalam KUHP. Misalnya bila merujuk pada ketentuan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 (sebelum diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 209 KUHP (1) Dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500,-: 1. barang siapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai negeri dengan maksud hendak membujuk dia, supaya dalam pekerjaannya ia berbuat atau mengalpakan sesuatu apa, yang bertentangan dengan kewajibannya. 2. barang siapa memberi hadiah kepada seorang pegawai negeri oleh sebab atau berhubungan dengan pegawai negeri itu sudah membuat atau mengalpakan sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang bertentangan dengan kewajibannya 2) Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yang tersebut dalam Pasal 35 No. 1-4 (KUHP 92, 149, 210, 418) Apabila rumusan pasal tersebut di atas, baik yang tertulis dalam undang-undang maupun yang tertulis dalam KUHP sebagai pasal asalnya, maka dapat juga dirujuk penjelasan pasal, putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi), doktrin, dan juga MvT (memorie van toelichting) atau risalah pembentukan KUHP untuk mendapatkan gambaran dan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai maksud dan tujuan pasal ini pada saat dibentuknya (mengetahui maksud pembuat undang-undang) Misalkan dalam contoh ini penulis akan merujuk pendapat R. Soesilo (Soesilo, 1995:166) mengenai pasal terkait, yaitu: 1. Kejahatan ini biasa disebut “menyuap” atau “menyogok” pegawai negeri 2. Unsur yang penting dalam pasal ini ialah, orang itu harus mengetahui, bahwa ia berhadapan dengan seorang “pegawai negeri”, jika bukan pegawai negeri ia tidak dapat dihukum. 3. Maksud pemberian hadiah atau perjanjian itu harus membujuk supaya pegawai negeri itu dalam pekerjaannya berbuat atau mengalpakan sesuatu yang “bertentangan dengan kewajibannya”, jadi kalau untuk berbuat atau mengalpakan sesuatu yang sah menurut kewajiban jabatannya, tidak dapat dihukum. 4. Pegawai negeri yang menerima pemberian, hadiah, atau perjanjian semacam itu dapat dipersalahkan “menerima suap” dalam Pasal 418 atau 419 KUHP 5. Apa yang disebut “pegawai negeri” lihat catatan pada Pasal 92 KUHP. Tabel delik korupsi yang secara mutlak diambil dan dikembangkan dari pasal-pasal KUHP Terdapat 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, yang mana dapat dikerucutkan menjadi 7 macam perbuatan utama, yaitu: 1. Merugikan keuangan negara. 2. Suap. 3. Penggelapan dalam jabatan. 4. Paksaan mengeluarkan uang (pemerasan). 5. Perbuatan curang. 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (penipuan oleh pemborong). 7. Gratifkasi. TERIMA KASIH