ra’ atau suat al-Qolam karena Allah SWT membukanya dg firman-Nya ayat 1 – 3. Surat ini turun pada permulaan Al- Qur’an diturunkan Nabi bertahannus di gua khira’ Malaikat datang dan mengajarkan 5 ayat dari surat ini Nabi menjawabnya saya tidak bi- sa membaca hingga diulang 3 x Usai itu baru bisa membacanya dengan keadaan ketakutan. Rasul pulang di rumah Khodi- jah dengan ketakutan lalu min- ta diselimuti. Khodijah mengajak Rasul ke Waraqoh bn Nufail anak paman nya dia seorang Alim dan kea- daannya buta kemudian Khodi- jah menanya hal ihwal yang di alami Rasul Waroqoh menjawab yang datang itu adalah Namus yang turun kepada Nabi Musa juga; sekiranya aku masih muda dan aku masih hidup ketika dia diusir oleh kaumnya niscaya aku akan membelanya. HIKMAH CIPTAAN MANUSIA DAN ME - NGAJARKAN MEMBACA DAN MENULIS Bacalah dengan(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (Al-Alaq ayat 1) > Bacalah memulai dengan menyebut nama Tuhan-Mu, atau minta pertolongan dengan nama Tuhan-Mu yang menjadikan segala se- gala sesuatu > Allah mensifati pada Dzat-Nya Al-Kholiq un tuk menyebut awal berbagai nikmat-Nya • Dia telah menciptakan manusia dari segum- pal darah (Al-Alaq ayat 2) Terwujudnya manusia adalah berasal dari segumpal darah yg beku yaitu “ Alaqoh” kemudi- an darinya menjadi janin;pada- hal dia bermula dari sepirma, kemudian dengan iradah Allah menjadi Alaqoh; lalu menjadi “ Mutghoh “ Disini dibaca :” Bismi Rabbika” tidak dibaca: “ Bismillaahirrahmanirrahiim” Karena“Rabbun “ adalah termasuk sifatul Fi’l; sedang Allah termasuk Asmaudzdzat. Adapun bacaan “ Al-Ladzii Kholaq” Setelah bacaan “ Rabbuka “ sebagai pengambilan dalil bahawa Tuhan jua yang mewujudkan manusia ini padahal sebelumnya tidak ada. Bacalah! dan Tuhanmu yang Maha Mulia (al-Alaq ayat -3) Kerjakanlah segala sesuatu yang eng- kau di perintahkan untuk membaca de- ngan nama tuhanmu yang memerintah- kanmu membaca, Dialah Dzat Yang Maha mulia dari segala yang mulia. Sebagai bukti kemuliaanNya adalah memungkinkan kamu dapat membaca sedangkan kamu dalam keadaan umi, hanya saja diulang-ulangnya kalimat Iqro’ adalah untuk ta’kid (penguat), karena membaca itu tidak dapat men- jadi pengertian yang sebenarnya kecuali dengan mengulang-ulangi membacanya. Dzat yang mengajarkan dengan perantaraan qolam (al-Alaq ayat-4) Dia mengajarkan manusia tulis-baca dengan perantaraan qolam, dan ini merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah Azza wajalla serta sebagai perantara untuk memahami diantara manusia sebagaimana ibroh (pela-jaran) melalui lisan dan sekiranya tidak ada tulis menulis tentulah akan lenyap berbagai ilmu dan tidak bisa tetap atsar agama, tidak baik keadaan hidup manusia serta tidak ada pula ketetapan- ketetapan aturan, maka de-ngan tulis baca berbagai ilmu menjadi tercatat. Sabda Rosul SAW yang artinya Hendaklah kamu mengikat ilmu dengan mencatat (HR At-Thobroni dan Hakim) Oleh karena itu permulaan dakwah Islam yang menggembirakan adalah dengan membaca dan menulis sebagaimana keterangan ayat Allah pada mahlukNya dan rahmatNya; sebagai mukjizat nabi Muhammad SAW yang abadi padahal dia adalah bangsa arab yang ummi dengan mukjizatnya Al-Qur’an yang dibaca dan kitab yang tertulis didapat dari seorang yang umi seperti pernyataan Allah SWT dalam surat al-Jum’ah ayat 2 yang artinya “Dialah Dzat yang mengutus seorang Rosul dari mereka dalam keadaan umi, dia membacakan ayat-ayat Allah untuk mereka, menyucikan mereka,mengajarkanal-kitab dan hik-mah kepada mereka padahal keaadaan mereka saat itu dalam kesesatan yang nyata (al-Jum’ah ayat 2) Dialah yang mengajarkan manusia sesuatu yang belum dimengertinya (al-Alaq ayat 5)
Allah jua yang mengajarkan berbagai macam ilmu
dengan perantaraan qolam yang mulanya tidak diketahui oleh manusia. Tidak heran juga bila Allah mengajarkan kepada manusia dapat mengajar dan banyak lagi dari berbagai ilmu dan berguna bagi umatNya. Sekali-kali jangan, sesungguhnya manusia dalam melampaui batas untuk melihatnya dalam kecukupan (Al-alaq ayat 6 &7) Kebanyakan manusia menjadi kufur nikmat kepada Allah ketika dalam berkecukupan sebagai dampaknya mereka banyak bertindak pelanggaran hukum agama, hal ini dapat anda lihat kebanyakan mereka disebabkan oleh kecukupan harta, kekuatan dan hal-hal yang lain. Dikatakan juga maksud ayat tersebut adalah kenyataan sesungguhnya keadaan manusia itu mengherankan dia merasa rendah dan lemah ketika keaadaannya miskin dan dia sombong dan banyak durhaka kepada Allah apabila keada-anya berkecukupan. Sedangkan menurut kebanya-kan mufassirin bahwa yang dimaksudkan manusia di sini adalah Abu Jahal. Sesungguhnya kepada Tuhanmu akan kembali (al-Alaq ayat 8) Tempat kembali (semua mahluk) ha-nyalah kepada Allah semata tidak kepada yang lain. Dia pula Dzat yang Maha menghisab semua manu-sia terhadap harta benda yang dikumpulkan serta kemana ia belanjakan, sabda Rosul dari Abi Hatim dari Abdullah bin Mas’ud dikatakan Terdapat dua sifat yang tanpa kunjung puas yaitu ahli ilmu dan sohibud dunya (ambisius dunia) keduanya tidak sama, adapun ahli ilmu dia senantiasa mempersiapkan perolehan ridlo Allah, sedang ambisius dunia ia menjadi keras hati dalam keingkaran kemudian Abdullah membaca ayat tersebut. Apakah engkau melihat orang yang melarang. Hamba apabila sedang sholat? (Al-alaq ayat 9 &10) Sababunnuzul ayat 9 berdasarkan riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas Ia berkata adalah Rosulullah SAW sedang sholat kemudian datang Abu Jahal kepada-nya lalu dia melarangnya maka turunlah ayat terse-but. Bagaimana keadaan keingkaran Abu Jahal sampai dia melarang nabi dan pengikutnya untuk melaksanakan sholat dan beribadah kepada Allah robbul ‘alamin dan dia menghendaki ketaatan Rosul untuk menyembah berhala serta meninggalkan ibadah kepada alkholik pemberi rizki. Maksud ayat ini adalah betapa bodohnya orang yang mencegah mahluk untuk beribadah sholat dan yang demikian ini adalah perbuatan tercela menurut akal sehat. Apakah engkau melihat jika keadaan orang yang kau larang sholat itu berada pada petunjuk atau melaksanakan ketakwaan (Al-alaq ayat 11&12) Khithob ayat ini ditujukan kepada Nabi SAW supaya pembicaraan itu pada satu penyembah. Dan dikatakan kepada orang kafir apakah engkau melihat wahai orang kafir jika sholat seorang hamba yang mendapat petunjuk itu dilarang dan seruan kepada agama untuk bertakwa kepada Allah engkau larang juga? Padahal takwa itu adalah berbuat ikhlas, mengesakan Allah dan beamal sholeh yang dapat menyelamatkan dari siksa neraka. Apakah engkau melihat jika mendustakan dan berpaling (Al-alaq ayat 13) Beritakan kepadaku tentang keadaan kafirnya Abu Jahal jika ia mendustakan dalil-dalil tauhid yang jelas kekuasaan Allah yang nyata sesuatu yang dibawa oleh Rosul SAW dan berpaling dari iman yangKau serukan? Maka jawabannya adalah apakah dia tidak mengerti dengan akalnya bahwa Allah melihat segala sesuatu amal darinya maka sesungguhnya ia akan dibalas dengan siksa segala kedurhakaanya. Ulama’ berkata ayat ini turun menceritakan tentang keadaan yang menghalang-halangi ketaatan kepada Allah. Apakah dia tidak mengerti bahwa Allah Maha tahu (Al-alaq ayat 14) Adapun Maha tahunya Allah terhadap larangan ini untuk orang yang mendapat petunjuk bahwa Allah itu Maha melihat, mendengar dan segala sesuatu yang ada pada manusia maka Diapun akan memberikan balasan yang sempurna. Kata ya’lam seakar dengan ‘ilm artinya gambaran kejelasan sesuatu. Dari kata ini timbul kata alamat artinya tanda yang jelas. Dan alam berarti bendera atau gunung yang tinggi. Semuanya itu menggambarkan kejelasan. Dengan demikian ilmu dan ya’lamu adalah pengetahuan yang jelas pula. Mengetahui sesuatu ada yang sifatnya hanya terbatas kemampuan mengekspresikannya dalam bentuk kalimat dan ada pula yang sampai menyentuh hati sehingga melahirkan amal-amal sesuai dengan apa yang diketahui itu. Pengetahuan yang kedua inilah yang dimaksud dengan ya’lam yakni menimbulkan kesadaran diri manusia sebagai makhluk dhoif dihadapan Allah yang Maha perkasa lagi Maha mengetahui. Hati-hatilah apabila ia tidak berhenti pasti Kami akan seret ubun-ubunnya; ubun-ubun yang pembohong lagi durhaka (Al Alaq:15-16) Abu Jahal atau siapapun apabila tidak berhenti menggangu, mencegah dan melarang Nabi dalam mengembangkan Islam maka pasti kami seret ubun-ubunnya atau kami bakar ia sehingga hangus dan berubah warna kulitnya disebabkan oleh ubun-ubun yakni sosok yang pembohong lagi pendurhaka Kata kalla sebagai ancaman guna menghalangi manusia dalam kejahatan sekaligus untuk membuktikan kekuasaaan Allah dalam menghalangi siapapun termasuk Abu Jahal Kata la nasfa’an terampil dari akar kata safa’a yang antara lain berarti menarik dengan keras/menyeret atau menghanguskan, mengubah warna akibat sengatan panas. Kata Nashiyah biasa diterjemahkan ubun- ubun. Ia mulanya berarti rambut yang terdapat pada dahi, tetapi dalam pemakaian lebih jauh ia diartikan sebagai temapat tumbuhnya rambut tersebut. Orang-orang yang berdosa kelak di hari kiamat akan disiksa Allah seperti Firman Allah dalam surah Ar rahman ayat 41 yang artinya: “Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandanya dan diseret ubun-ubun dan kaki mereka”. Kata khathi’ah terambil dari kata khatha’a- yakhta’u, bukannya dari kata akhta’a- yukhthi’u. Pelaku dari kata pertama ini disebut khathi’ sedang pelaku dari kata yang kedua disebut mukhthi’. Yang pertama menunjukkan seseorang yang telah mengetahui larangan (dari Tuhan) namun ia tetap melakukannya. Ia sejak semula tidak memiliki itikad baik. Yang kedua digunakan untuk menunjukkan seseorang yang melakukan sesuatu pelanggaran akibat kekeliruan, kelengahan dan semacamnya. Jadi ia tidak bermaksud buruk, hanya teledor. Bentuk kata ini hanya ditemukan dua kali dalam al-Qur’an, pertama pada surah al-’Alaq ini – yang menunjuk kepada Abu Jahal, dan kedua dalam surah al-Haqqah:9 dalam rangkaian pembicaraan tentang Fir’aun dan penduduk negeri-negeri yang dijungkirbalikkan oleh Tuhan karena kedurhakaan mereka yang keterlaluan. Allahswt. tidak menjatuhkan hukuman-Nya kepada seseorang yang bersatu atau keliru yang sebetulnya bermaksud baik. Bahkan Dia tidak menjatuhkan hukuman-Nya kepada seseorang yang baru sekali atau dua kali melakukan dosa. Sanksi dan hukuman-Nya hanya tertuju kepada mereka yang telah berulang-ulang kali melakukan pelanggaran. Hendaklah ia memanggil kelompoknya Kami akan memanggil az-Zabaniyah (al-Alaq: 17-18) Ayat-ayat yang lalu mengancam Abu Jahal. Menurut riwayat at-Tirmidzi, ketika Abu Jahal mendengar ancaman tersebut, ia berkata kepada Nabi saw: “Sesungguhnya engkau tahu bahwa di Mekkah ini tidak ada seorang pun yang memiliki kelompok yang lebih banyak anggotanya dari pada aku”. Menanggapi ucapan Abu Jahal itu Allah berfirman: Hendaklah ia memanggil kelompoknya atau siapa pun yang dikehendakinya untuk membelanya Kami akan memanggil az-Zabaniyah yakni petugas- petugas neraka. Kata nadi berarti tempat pertemuan. Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang berkumpul di tempat itu. Menurut Thahir Ibn ‘Asyur bahwa tempat pertemuan yang dikenal buat suku Quraisy dinamai Dar an-Nadwah. Ini tadinya berlokasi di sekitar Masjid al- Haram, kemudian pada masa Khalifah al- Manshur al-’Abbasi sebagian darinya dimasukkan dalam pekarangan masjid. Lalu sejak masa pemerintahan Raja Sa’ud (1379 H) tempat pertemuan itu keseluruhannya telah masuk pada areal Masjid al-Haram Kata az-zabaniyah berarti mendorong. Dalam al-Qur’an kata ini yang hanya ditemukan sekali saja dan ia diartikan sebagai “malaikat- malaikat yang berugas menghadapi orang- orang yang berdosa di akhirat kelak. Firman Allah dalam al-Qur’an surah ath-Thur ayat 13- 14 yang artinya: Pada hari (kiamat) mereka (orang-orang yang mendustakan agama) di doroang ke neraka Jahannam dengan (dorongan) yang keas dan (dikatakan kepada mereka): “inilah mereka yang dahulu selalu kamu dustakan”. Abu Jahal adalah nama julukan yang diberikan kepada Amr Ibn Hisyam Ibn Mughirah. Sebenarnya ia mempunyai dua nama panggilan, yaitu Abu al-Hakam dan Ibn al- Hazaliyah. Namun kedua gelar tersebut tidak populer lagi setelah gelar Abu Jahal diperolehnya. Gelar ini diberikan kepadanya akibat permusuhannya terhadap Nabi saw. Ia lahir sekitar tahun 570 Masehi, atau sebaya dengan Rasulullah Muhammad saw. Ibunya bernama Asma’ adalah seorang muslimah yang taat dan hidup sampai setelah tahun 13 H (635 M) Abu Jahal termasuk salah salah seorang tokoh yang paling membenci Rasulallah saw. dan selalu berupaya menyulitkan beliau. Lima belas tahun lamanya ia mengganggu Nabi saw., selama itu pula Allah menunda hukuman-Nya, dan akhirnya pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah (624 M) berkecamuklah peperangan Badr. Sekitar 70 orang tokoh kaum musyrikin tewas terbunuh, termasuk tokoh utamanya, Abu Jahal. Sekali-kali jangan, jangan patuh padanya, sujud dan dekatkanlah dirimu (kepada Allah) (al-Alaq ayat 19) Kata sujud berarti ketundukan dan kerendahan diri. Bahasa Arab sering menunjuk bagian terpenting atau yang mulia, indera mata, wajah atau dahi, digunakan untuk menggambarkan totalitas manusia, maka sujud pada ayat tersebut menurut ulama sebagai keseluruhan rangkaian ibadah sholat sebab peletakan dahi di bumi merupakan puncak ketundukan pada Alllah dalam bentuk sujud. Kata iqtarib terambil dari kata qaruba/dekat. Perintah dalam bentuk tersebut hanya ditemukan sekali ini dalam al-Qur’an. Demikian surat ini ditutup oleh Allah dengan perintah mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan berbagai aktifitas yang menunjang. Surah ini turun di Makkah sebelum Nabi hijrah ke Madinah.Al Baqi’ berkata rahasia tujuan surah yang lalu,surah Alam Nasrah yaitu pembuktian kekuasaan Allah yang sempurna. Penciptaan buah tin dan zaitun menunjukkan kuasanya juga lebih-lebih dalam penekanan tentang kejadian manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya adalah ciptaan Allah yang menakjubkan. Surah ini merupakan yang ke 28 yang diterima Nabi SAW. Ia turun sebelum surat al-Buruj dan sesudah surat al-Quraisy. Ayatnya 8 ayat. Demi tin dan zaitun dan demi bukit sinai dan demi kota yang aman ini Surat At Tin ini menguraikan keadaan jenis manusia dengan baik buruknya.Bila manusia ingin mengembangkan potensi baiknya maka menjadi wajar bila mereka mencapai derajat kenabian,seperti Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, suri tauladan, megikuti petunjuk-petunjuk Allah SWT yang telah memberi wahyu kepadanya. Ayat-ayat di atas yang menyatakan sumpah Allah SWT dengan menggunakan beberapa makhluknya seperti pohon Tin, Zaitun, dsb. Banyak Hadist yang menyatakan seorang muslim bila bersumpah hendaklah menggunakan nama Allah, dan tidak diperbolehkan bersumpah atas nama makhluk, meskipun makhluk itu agung atau mulya.Tetapi mengapa Allah bersumpah dengan makhluknya? Ada yang menjawab bahwa Allah bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya. Surat Al Anbiya’:23. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat- Nya, tetapi merekalah yang akan ditanya”. Kata At Tin dan Zaitun ulama Tafsir berbeda pendapat: > Yang dimaksud dengannya adalah nama tempat (bukit) Nabi Isa AS menerima wahyu di Syria, sedang pendapat lain Azzaitun sebuah gunung di Yerussalem tempat Isa diselamatkan dari usaha pembunuhan. > Ayat kedua berkaitan dengan Nabi Musa AS, dan ayat ketiga berkaitan dengan Nabi Muhammad. > Alqasimi mengatakan: AT Tin adalah nama pohon tempat berdiri agama Budha mendapat bimbingan Ilahi. Orang Budha menamakan pohon ini sebagai pohon Bodhi atau pohon Ara Suci, terletak di kota kecil Gaya di daerah Bihar. > Budha menurut Alqasimi adalah salah satu Nabi, meski tidak termasuk kelompok 25 Nabi. Dengan bersumpah menyebut tempat-tempat suci itu, tempat memancarkan cahaya Tuhan yang benderang, ayat-ayat ini seakan akan menyampaikan pesan bahwa manusia yang diciptakan Allah dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya akan bertahan dalam keadaan seperti itu, selama mereka mengikuti Petunjuk-petunjuk yang disampaikan kepada para nabi tersebut di tempat-tempat suci itu. “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” Kata khalaqna/Kami telah menciptakan terdiri atas kata khalaqa dan na yang berfungsi sebagai kata ganti nama. Kata na (Kami) yang menjadi kata ganti nama itu menunjuk kepada jamak (banyak), tetapi bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksud mengagungkan pelaku tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Kata Al-Insan/manusia yang dimaksud oleh ayat ini, menurut Al Qurthubi adalah manusia- manusia yang durhaka kepada Allah. Pendapat ini banyak ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikut yaitu, kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Kata taqwim diartikan sebagai menjadikan sesuatu memiliki (qiwam) yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya. Ar-Raghib al-Ashfahani, pakar bahasa al-Qur’an, memandang kata taqwim sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia dibanding binatang, yaitu : akal, pemahaman dan bentuk fisiknya yang tegak lurus. Jadi kalimat ahsan taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Allah berfirman (QS. Al-Isra : 17) yang artinya : ”Kami mengutamakan mereka atas banyak yakni bukan semua dari makhluk- makhluk yang kami ciptakan dengan pengutamaan yang besar”. Allah berfirman (QS. As-Sajdah : 32) yang artinya : ”Dia yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”. “Kemudian kami mengembalikannya ke (tingkat) yang serendah-rendahnya.” (QS. At-Tiin : 5) Pendapat para tafsir tentang arti asfalasafililin sedikitnya ada tiga macam : Pertama keadaan kelemahan fisik dan psikis dikala tuanya seperti dikala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sebagian pakar, mengingat ayat tersebut ada pengecualian (kecuali orang-orang beriman dan beramal saleh) karena orang beriman juga mengalami keadaan serupa. Kedua. Neraka dan kesengsaraan, pendapat ini pun disanggah oleh pakar dengan pertanyaan : “Apakah sebelum ini manusia pernah berada disana ?” Ketiga. Keadaan ketika ruh ilahi belum menyatu dengan diri manusia. o Seperti proses kejadian manusia melalui dua tahap utama : penyempurnaan fisiknya dan penghembusan ruh kepadanya. Firman Allah : (QS. Al-Hijr [15]:15 dan QS. Shad [38]:72. dalam QS. Al-Mu’minun [23]:12-14 dijelaskan proses reproduksi manusia: dari saripati tanah, kemudian nuthfah (pertemuan sperma dan ovum) kemudian ‘alaqah (berdempetnya Zygot ke dinding rahim) kemudian mudhghat dan izham (segumpal daging dan tulang). Inilah proses kejadian fisiknya. Kemudian “dijadikan ia oleh Allah makhluk yang berbeda dari yang lain”, yaitu dengan jalan menghembuskan ruh Ilahi kepadanya. o Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh Ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala safilin. “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus- putusnya.” (QS. At-Tin:6) Ayat di atas mengecualikan sekelompok dari mereka. Allah berfirman: kecuali atau tetapi orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan kebenaran imannya dengan mengerjakan amal-amal yang saleh; maka bagi mereka secara khusus pahala agung yang tiada putus-putusnya. Kata iman biasa diartikan dengan pembenaran. Ulama mendefinisikan iman dengan “Pembenaran hati terhadap seluruh yang disampaikan Rasulullah saw.” Dengan demikian, iman tidak terbatas pada pengakuan akan keesaan Tuhan, tetapi mencakup pembenaran tentang banyak hal. Bahkan tidak sedikit pakar yang menekankan tiga aspek pembenaran, yaitu hati, lidah dan perbuatannya. Seorang beriman dituntut untuk mengucapkan pembenaran tersebut, tak hanya disimpan dalam hati, melainkan harus dapat dibuktikan dengan perbuatan. Hakikat iman harus digambarkan antara lain oleh ‘Abbas Mahmud al-Aqqad. Menurut pakar dari Mesir ini, hakikat iman berbeda dengan hakikat pengetahuan. Iman mempunyai kesamaan dengan rasa kagum, karena keduanya bersumber dari hati manusia. ‘Abdul Karim al-Khatib menulis lebih jauh dalam bukunya, Qadhiyyat al-Uluhiyyah baina ad-Din wa al-Falsafah, bahwa iman bagaikan rasa cinta yang menggelora. Seseorang selalu ingin dekat kepada yang dicintainya dan pada saat yang sama ada Semacam tanda tanya di dalam dirinya, si kekasih juga benar-benar cinta atau tetap cinta kepadanya. Iman dalam tahap ini terus menggelora dan hati pun ketika itu belum mencapai kemantapannya. Kata amilu berarti “menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu”. Amal yang diterima dan dipuji oleh Allah SWT, disebut amal saleh dan orang-orang yang mengerjakannya dilukiskan dengan kalimat ‘amilu ash-shalihat. Kata ash-shalihat adalah berbentuk jamak dari kata ash-shalih/baik. Suatu amal menjadi shalih yang memenuhi pada dirinya nilai-nilai tertentu sehingga ia dapat berfungsi sesuai dengan tujuan kehadirannya. Tema utama surat ini adalah penenangan hati Nabi Muhammad saw, menyangkut masa lalu dan masa datang beliau, serta tuntunan untuk berusaha sekuat tenaga dengan penuh optimisme. Menurut al-Biqa’i tujuan utama surah ini adalah rincian apa yang diuraikan pada akhir surah yang lalu-surah adh-Dhuha- menyangkut nikmat Allah swt, serta penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perintah fa haddist (sampaikan) yakni nikmat Allah. Kondisi kejiwaan Rasul saw menjelang turunnya surah adh-Dhuha jauh berbeda dengan ketika turunnya surah al-Insyirah. Menjelang turunnya surah adh-Dhuha, Rasul saw sangat gelisah dan bimbang, akibat ketidakhadiran wahyu, sedangkan ketika turunnya surah Alam Nasyrah dada Rasul saw sedemikian lapang, jiwanya sedemikian tenang sehingga Allah swt mengingatkan beliau tentang anugerah tersebut pada awal surah ini. Ini bukan berarti bahwa kedua surah itu tidak berhubungan secara serasi dari segi kandungan, namun keserasian itu tidak mengantar kepada kesatuan kedua surah.