Anda di halaman 1dari 11

MATERI UAS

1) Menjelaskan iman kepada Allah ,malaikat dan kitab


I. Iman kepada Allah swt.
A. Dalil iman kepada Allah

‫هللا ًل اله اًل هو الحي القيو‬

Artinya : ”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Hidup, yang
terus menerus mengurus makhluk-Nya.

B. Sifat Wajib dan mukhal allah swt.

1. Wujud artinya ada, Allah Swt. adalah Tuhan yang wajib kita sembah itu pasti ada. Allah Swt. itu ada
tanpa ada perantara sesuatu dan tanpa ada yang mewujudkan.
2. (Qidam) artinya Terdahulu. Sebagai Dzat yang menciptakan seluruh alam, Alah Swt. pasti lebih dahulu
ada sebelum makhluk.
3. Baqa’ artinya kekal. Allah Swt. senantiasa ada, tidak akan mengalami kebinasaan atau kerusakan.
4. Mukhalafatu lil Hawaditsi artinya Berbeda dengan Makhluk. Allah pasti berbeda dengan makhluknya,
meliputi sifat, dzat, perbuatannya.
5. Qiyamuhu Binafsihi artinya Berdiri Sendiri. Allah Swt. tidak membutuhkan sesuatu apapun (tidak
membutuhkan tempat atau dzat yang diciptakan).
6. Wahdaniah artinya Esa. Allah itu Esa dalam Dzat-Nya (Tidak tersusun dari beberapa unsur/badan dan
tidak ada dzat yang menyamai Dzat Allah Swt.), Esa Sifat-Nya (Sifat Allah Swt. tidak terdiri dari dua
sifat yang sama dan tidak ada satupun yang menyamai sifat Allah Swt.) Esa Perbuatan-Nya (Hanyalah
Allah Swt. yang memiliki kesempurnaan dalam perbuatan dan tidak satupun yang dapat menyamai
perbuatan Allah Swt.).
7. Qudrat artinya Kuasa. Allah Swt. Maha Kuasa dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan Allah
Swt. itu meliputi segala sesuatu, untuk mewujudkan dan meniadakan apapun yang dikehendaki-Nya.
8. Iradah artinya Berkehendak. Allah Maha Berkehendak dan tidak seorangpun yang mampu
menghalanginya. Segala yang terjadi di dunia berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.
9. Ilmun artinya Mengetahui. Allah Swt. mengetahui semua ciptaan-Nya Allah Swt. mengetahui dengan
jelas akan semua perkara yang tampak dan samar tanpa ada perbedaan antara keduanya.
10. Hayat artinya Hidup. Allah Swt. Maha Hidup. Hidup Allah Swt. adalah kehidupan abadi tidak akan mati
11. Sama’ artinya Mendengar. Pendengaran Allah Swt. tidak sama dengan pendengaran manusia yang bias
dibatasi ruang dan waktu. Allah Swt. mendengar dengan jelas semua yang diucapkan hamba-Nya lahir
maupun batin.
12. Bashar artinya Melihat. Allah Maha Melihat segala sesuatu yang tampak maupun samar. Bahkan
andaikata ada semut yang hitam berjalan ditengah malam yang gelap gulita, Allah Swt. dapat melihatnya
dengan jelas.
13. Kalam artinya Berfirman. Firman Allah Swt. tanpa suara dan katakata, tidak sama seperti perkataan
manusia yang terdiri dari suara dan susunan katakata

C. Sifat jaiz Allah swt.

‫ه اوترك ممكن كل فعل‬

Artinya: ”Memperbuat segala sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak memperbuatnya.”

II. Iman kepada Malaikat


A. Dalil tentang adanya Malaikat
Al-Qur’an Surat Al-Hijr (15) ayat 30

‫ن أجمعو كلهم المآلئكة فسجد‬

“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama.”

B. Nama dan Tugas-Tugas Malaikat


Adapun tugas-tugas yang paling besar dilaksanakan oleh 10 malaikat, yaitu:
 Malaikat Jibril, bertugas menyampaikan wahyu dan mengajarkannya kepada para nabi dan rasul.
 Malaikat Mikail, bertugas membagi rezeki kepada seluruh makhluk, menimbang hujan, angin dan juga
bintang-bintang.
 Malaikat Israfil, bertugas meniup sangkakala.
 Malaikat Izrail (malakul maut), bertugas mencabut nyawa.
 Malaikat Munkar dan Nakir, bertugas menanyai amal manusia di alam barzakh.
 Malaikat Raqib dan Atid, bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia.
 Malaikat Malik, bertugas menjaga dan mengendalikan api neraka.
 Malaikat Ridhwan, bertugas menjaga pintu surga.

C. Sifat-Sifat Malaikat
1. Selalu bertasbih siang dan malam tidak pernah berhenti.
2. Suci dari sifat-sifat manusia dan jin, seperti hawa nafsu, lapar, sakit, makan, tidur,
3. bercanda, berdebat, dan lainnya.
4. Selalu takut dan taat kepada Allah.
5. Tidak pernah maksiat dan selalu mengamalkan apa saja yang diperintahkan-Nya.
6. Mempunyai sifat malu.
7. Bisa terganggu dengan bau tidak sedap, anjing dan patung.
8. Tidak makan dan minum.
9. Mampu mengubah wujudnya.
10. Memiliki kekuatan luar biasa dan kecepatan cahaya.

III. Iman kepada kitab


A. Pengertian Kitab
Secara bahasa kitab merupakan bentuk masdar (gerund). Berasal dari bahasa Arab kataba-yaktubu-katban-
kitaaban yang artinya tulisan. Dalam bahasa Indonesia kitab berarti buku. Jadi secara bahsa Kitab artinya
tulisan atau buku. Secara istilah yang dimaksud dengan Kitab Allah adalah kitab suci yang diturunkan oleh
Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya.

B. Dalil iman kepada kitab terutama alquran


Menunjukkan kitab suci Al-Quran secara khusus. Contohnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 2.

ٰ
ُ ‫َذلِكَ ا ْل ِكت‬
َ‫َاب اَل َر ْي َب ۛ فِي ِه ۛ هُدًى لِ ْل ُمتَّقِين‬

Artinya : "Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa"

C. Macam-Macam Kitab Allah


1. Kitab Taurat
Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa 'Alaihis salam. Kitab taurat menggunakan bahasa Ibrani.
Diturunkan untuk membimbing kaum Bani Israil. Dalil naqli tentang kitab Taurat lihat QS. Al-Maidah
ayat 44 dan QS. Ali Imran ayat 3.

2. Kitab Zabur
Kata Zabur berasal dari kata zabaro yang berarti tulisan. Zabaro juga bisa berarti sepotong besi. Kitab
Zabur diturunkan kepada Nabi Daud dengan bahasa Qibti untuk memberi bimbingan kepada kaum Bani
Israil. Kitab Zabur berisi tentang dzikir, pengajaran, dan hikmah serta berisi 5 jenis kidung (mazmur) yang
mengungkapkan semua pengalaman yang dialami Nabi Daud semasa hidupnya seperti dosa, pengampunan
dosa, suka cita tentang kemenangan atas musuh Allah, dan keagungan Allah. Dalil naqli Allah
menurunkan Zabur kepada Nabi Daud bisa dilihat dalam QS. Al-Isra: 55

3. Kitab Injil
Kitab Injil diturunkan oleh Allah kepada Nabi Isa. Injil asli berbahasa Ibrani. Injil diturunkan untuk
memberi bimbingan/petunjuk kepada kaum Bani Israil. Al-Quran membenarkan akan keberadaan Injil.
Injil yang dibenarkan adalah Injil yang diwahyukan kepada Nabi Isa putra Maryam. Dalil naqli Allah
menurunkan kitab Injil bisa dilihat dalam QS. Ali Imran ayat 3.

4. Kitab Al-Quran 
Al-Qur’an diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. Melalui Malaikat Jibril. Al-Qur’an
diturunkan tidak sekaligus, melainkan secara berangsur - angsur. Waktu turun al-Qur’ān selama kurang
lebih 23 tahun atau tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari. Terdiri atas 30 juz, 114 surat, 6.236 ayat, 74.437
kalimat, dan 325.345 huruf. Wahyu pertama adalah surah al-‘Alaq ayat 1-5, diturunkan pada malam 17
Ramaḍan tahun 610 M. di Gua Hira, Ketika Nabi Muhammad saw. sedang ber-khalwat. Al-Quran
merupakan kitab terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, Nabi akhir zaman,
penutup para Nabi (khatamun nabiyyin). Al-Quran diturunkan menggunakan bahasa Arab. Al-Quran
menurut bahasa berarti bacaan. Menurut istilah Al-Quran artinya kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dan bagi yang membacanya dinilai sebagai ibadah.
Dalil Naqli Allah menurunkan Al-Quran bisa dilihat dalam QS. Al-Baqarah ayat 2 dan QS. Al-Baqarah
ayat 185. Al-Quran diturunkan untuk memberi bimbingan atau menjadi petunjuk bagi seluruh manusia.

6 Perintah (1000)
6 Larangan (1000)
6 Janji (1000)
6 Ancaman (1000)
Dongeng (1000)
Tauladan (1000) contoh-contoh yang baik

500 Halal Haram


Nasikh Mansur Istigfar dan Dzikir
100 Tahlil Tabih
6666 ayat ini menurut Syekh Nawawi terdiri dari 1000 ayat tentang perintah, 1000 ayat tentang larangan,
1000 ayat tentang janji, 1000 tentang ancaman, 1000 ayat tentang kisah dan kabar, 1000 ayat tentang
‘ibrah dan tamsil, 500 ayat tentang halal dan haram, 100 tentang nasikh dan mansukh, dan 66 ayat tentang
du’a, istighfar dan dzikir. Adapun pendapat Wahbah Az-zuhaily berbeda pada 100 ayat du’a, istighfar dan
dzikir, dan 66 ayat nasikh mansukh.

D. Manfaat Diturunkannya Kitab-kitab Allah


Sebagai penuntun dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup pribadi, keluarga,
lingkungan, dan dalam kehidupan berbangsa serta bernegara.

E. Perilaku yang  Mencerminkan Iman Kepada Kitab-kitab Allah


-  Peduli kepada orang lain - Saling menasehati

2) Menjelaskan iman kepada hari kiamat dan qada dan qadar


I. Iman kepada hari kiamat
A. Pengertian hari akhir
Ingatlah, manusia akan terus bertambah usia dan meninggalkan dunia ini akhirnya kembali
menjadi tanah. Langit dan bumi akan hancur pada saatnya. Matahari akan kehabisan cahayanya, lalu
padam. Maka berakhirlah kehidupan di dunia ini. Hari akhir sering disebut sebagai hari kiamat. Hari
akhir adalah hari dimana dunia dan seiisinya rusak binasa (hancur) dan tidak ada kehidupan lagi.

Beriman kepada hari akhir adalah percaya dengan sepenuh hati bahwa suatu saat alam semesta
dan seisinya akan hancur dan berakhir. Kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan selanjutnya dialam
akhirat yang kekal dan tiada berakhir.

B. 3 (tiga) golongan yang berpendapat tentang hari akhir sebagai berikut:


1. Golongan atheis, yaitu golongan manusia yang mengingkari atau tidak mempercayai adanya hari akhir,
juga disebut mulhid (tidak mempercayai adanya tuhan).
2. Golongan agama ardli, yaitu golongan manusia yang mempercayai adanya reinkarnasi yaitu penjelmaan
roh manusia. Golongan agama ardhi yaitu golongan agama yang dibuat oleh manusia.
3. Golongan agama samawi, yaitu golongn manusia yang mempercayai adanya hari akhir dan adanya
kehidupan akhirat. Golongan ini dianut oleh pemeluk agama yang berasal dari Allah Swt.)

C. Dalil Tentang adanya hari kiamat QS. al-Hajj:7

“dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah
membangkitkan semua orang di dalam kubur” (QS. al-Hajj: 7).

D. Peristiwa yang berhubungan dengan hari akhir

1. Alam Barzakh : Yaitu alam kubur tempat manusia meninggal dunia.

2. Yaumul Ba’ats : Yaitu hari bangkit manusia dari alam kubur.

3. Yaumul Hasyr : Yaitu hari digiringnya manusia ke Padang Mahsyar setelah dibangkitkan dari kubur.

4. Yaumul Hisab : Yaitu hari dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar untuk dihitung amal
perbuatannya selama hidup di dunia

5. Yaumul Mizan : Yaitu hari dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar untuk ditimbang amal
perbuatannya selama hidup di dunia.

6. Sirath : Yaitu jalan menuju surga. Sirath sering disebut sebagai jembatan sirathal mustaqim.

7. Yaumul Jaza (Hari pembalasan)


 Surga : Surga adalah sebutan sebuah tempat yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan di hari akhir
 Neraka : Neraka adalah sebutan sebuah tempat yang penuh penderitaan dan siksaan di hari akhir
E. Tanda tanda terjadinya hari akhir
1. Tanda-tanda kiamat Suhgra

a. Hancurnya dunia dan banyaknya i. Semakin sedikit perlaku orang yang Qur’ani
kemaksiatan j. Banyak berdatangnan di majlis ta’lim tetapi
b. Banyak orang tidak tahu malu sehingga yang didapat hanya kumpul-kumpul saja
berbuat maksiat tidak merasa dosa/ salah/ k. Banyak orang yang enggan mengaji dan
malu mengkaji ilmu agama
c. Banyak masjid megah tapi hanya sedikit l. Banyak orang yang hanya memikirkan
jamaah kepentinga duniawi saja
d. Semakin banyak generasi muda dalm m. Menghambur-hamburkan harta dan enggan
pergaulan bebas bershadaqah
e. Banyak yang durhaka kepada orang tuanya n. Menggunakan media sosial tidak pada
f. Semakin banyak generasi muda yang tempatnya (menggunakan untuk hal-hal
terlibat dalam pergaulan bebas o. yang tidak ada manfaatnya bahkan untuk
g. Ilmu agama sudah diabaikan maksiat).
h. Korupsi meraja lela dan hidup bermegah-
megan

2. Tanda Kubra (Tanda-tanda kiamat kubra)


a. Turunnya Dajjal
b. Munculnya binatang melata yang aneh
c. Matahari terbit dari sebelah barat (tempat terbenamnya, berlawanan dengan tempat terbitnya)
d. Keluarnya gas beracun dari semua sudut bumi

II. Iman kepada Qada dan Qadar


A. Pengertian Qada dan Qada

Secara bahasa pengertian qadha adalah ketetapan, ketentuan, keputusan, kehendak, hukum,
pemberitahuan dan penciptaan. Secara istilah qadha adalah ketetapan, ketentuan dan keputusan Allah
Swt. dari sejak zaman azali atas segala sesuatu yang berkaitan dengan iradah atau kehendak-Nya, baik itu
kebaikan dan keburukan, hidup dan mati. Qadha sebagai rencana Allah Swt. sejak zama azali.

Qadar secara bahasa artinya kepastian, peraturan dan ukuran. Qadar secara istilah adalah aturan
atau ukuran yang diciptakan oleh Allah Swt. sebagai perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala
sesuatu yang berkaitan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman Azali dan pastinya sesuai
dengan iradah-Nya. Qadar sebagai pelaksanaan rencana (qadha) Allah Swt. Perpaduan/ gabungan antara
qadha dan qadar disebut takdir. Takdir berlaku kepada semua makhluk hidup baik yang telah, sedang,
maupun yang akan terjadi.

Orang yang beriman kepada qadha dan qadar (takdir) adalah orang yang percaya dengan
sepenuh hati bahwa ketentuan atau ketetapan Allah Swt. benar adanya, di mana telah dtentukan sejak
zaman azali maupun sejak diciptakannya makhluk-Nya. Hal ini berlaku bagi semua makhluk-Nya. Qadha
dan qadar Allah Swt. wajib dipercayai sebagai bukti keyakinan terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah
Swt

Q.S. Al-Qamar ayat 49:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Al-Qamar: 49).

Maksud ayat di atas adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt. sudah diukur/ ditakar
ketetapannya. Walau demikian manusia tetap berusaha walaupun yang menetapkan Allah Swt.

B. Contoh – contoh Qada dan Qadar


 Bu Ani figur seorang ibu dan istri yang mandiri. Keadaan suami yang sakit-sakitan dan memiliki 4
(empat) orang anak yang masih usia sekolah, beliau tidak patah semangat mencari nafkah. Semula
perasaan pesimis sempat dirasa bu Ani karena suaminya yang bekerja sebagai karyawan swasta disebuah
pabrik roti tibatiba terserang sakit asam urat yang kambuhan. Jika penyakit suaminya sedang kambuh
tidak dapat bekerja dan otomatis tidak punya upah. Bahkan bu Ani mencarikan uang untuk berobat
suaminya. Bu Ani tidak patah semangat. Bu Ani membuka catering dan dibantu oleh anak-anaknya
sendiri. Usaha catering yang tidak besar itu lambat laut menjadi besar dan sudah memilki beberapa
karyawan. Kini anak-anak bu Ani besar-besar dan bahkan sudah ada yang bekerja. Doapun selalu
dipanjatkan kepada Allah Swt. agar diberi kelancaran dalam berusaha dan suaminya disembuhkan.
Akhirnya suami sembuh dan dapat membantu usaha bu Ani. Kini kateringnya cukup terkenal di kotanya.
 Sebuah kejadian gempa bumi menggegerkan sebuah wilayah. Banyak korban yang meninggal dunia
akibat terkena reruntuhan bangunan dan pepohonan yang tumbang di mana-mana. Namun ada seorang
kakek tua terselamatkan dari bahaya maut itu walaupun sudah sehari semalam laki-laki renta yang sudah
tidak dapat berjalan itu berada di bawah reruntuhan bangunan rumahnya. Sang kakek terlindungi dengan
reruntuhan langit-langit rumahnya yang tidak sampai hancur dan tidak sampai jatuh ke lantai. Kakek
yang sedang tidur di bawah langit-langit kamarnya itu masih bisa bernafas karena udara bisa masuk
lewat sela-sela lubang reuntuhan yang ada. Inilah takdir kakek yang belum saatnya menghadap Allah
Swt. sementara yang lebih muda, sehat, dan bisa berlari malah meninggal dunia

C. Prilaku beriman kepada Qada dan Qadar.


1. Berusaha bersungguh-sungguh untuk mencapai keberhasilan (Ikhtiar)
2. Menyerahkan segala persoalan kepada Allah Swt. (Tawakal)
3. Selalu bertemia kasih kepada Allah Swt (Syukur)

D. Macam-macam takdir ada 2 (dua), antara lain:


1. Takdir Mubram, yaitu yang tidak dapat dibantah dan di tawar-tawar oleh manusia. Takdir mubram
sifatnya paten (sudah baku) sehingga manusia tinggal menunggu dan menjalankan saat takdir itu datang.
Contoh: kematian, dan ciptaan-ciptaan Allah Swt. lainnya seperti ada manusia yang dilahirkan dengan
kulit sawo matang sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih, berhidung pesek, bermata sipit, dan lain
sebagainya. Semua itu tidak dapat dibantah dan ditawar-tawar oleh manusia.
2. Takdir Mua’llaq, yaitu takdir yang masih dapat diusahakan oleh manusia. Takdir mu’allaq sifatnya
fleksibel (belum baku alias masih dapat diusahakan) sehingga manusia dapat merubah takdir (nasib)nya.
Contoh: Rafi yang bercitacita ingin menjadi dosen bahasa Arab, maka untuk mencapai cita-citanya itu ia
belajar dengan tekun serta mendalami ilmu Bahasa Arab atau mengambil kuliah pada jurusan bahasa
Arab. Akhirnya Rafi tersebut berhasil menjadi seorang dosen Bahasa Arab di sebuah Perguruan Tinggi.

3) Menjelaskan makna ma’rifat


A. Kedudukan Dan Fungsi Ma’rifat
Dari segi bahasa, ma’rifat berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah sufi,
ma’rifat diartikan sebagai kearifan yang dalam akan kebenaran spiritual. Beberapa sufi
mendefinisikannya sebagai perkembangan pengetahuan tentang Allah dalam kesadaran seseorang, yang
berarti naiknya diri seseorang ke titik yang merealisasikan kemanusiaannya dengan semua dimensi dan
nilai intrinsiknya.

Ma’rifat adalah cahaya yang dipancarkan kepada hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Ini
merupakan pengetahuan hakiki yang datang melalui “penyingkapan” (kasyf), “penyaksian”
(musyahadah), dan “cita rasa” (dzauq). Pengetahuan ini berasal dari Allah. Imam Ja’far al-Sadiq
mengatakan, “Para ahli ma’rifat(arifin) berada bersama orang-orang, sedangkan hatinya bersama Allah.
Jika hatinya melupakan Alah sekejab saja, ia akan mati karena kerinduannya kepada Allah.

Dzū al-Nūn al-Misrī menyebutkan ada tiga tingkatan Ma’rifat.

 Pertama, ma’rifat kalangan awam (orang banyak pada umumnya), mereka mengetahui tidak ada Tuhan
selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran syahadat.
 Kedua, ma’rifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini,
mereka mengetahui adanya Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran.
 Ketiga, ma’rifat kalangan para wali dan orang-orang suci, mereka mengenal Allah berdasarkan
pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifat tingkat ketiga inilah yang
kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf sebagai ma’rifat hakiki dan tertinggi.

Junaid al-Baghdadi mengatakan: “ Seseorang tidak akan menjadi ‘arif sebelum ia menjadi bumi diinjak
oleh orang yang saleh dan jahat, menjadi seperti awan yang menaungi semua makhluk, dan menjadi
hujan menyirami segala sesuatu baik yang mencintainya maupun yang membencinya.”

Al-Qusyairi menjelaskan, bahwa hati adalah sarana untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, mencintai-Nya,
dan melihat-Nya

Hati manusia mempunyai tiga kapasitas, yaitu:


(1) potensi untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, disebut qalb (hati),
(2) potensi untuk mencintai Tuhan, disebut rūh,
(3) potensi untuk melihat Tuhan, disebut sirr.

Al-Ghazali berpendapat bahwa kemampuan ma’rifat kepada Allah bersifat fitrah, dengan pengertian
setiap manusia mempunyai potensi bawaan yaitu terletak pada hati. Setiap hati secara fitrah memiliki
potensi mengetahui hakikat-hakikat dari segala yang ada karena hati itu adalah substansi rabbani yang
mulia. Hati inilah pemikul amanah yang diletakkan Tuhan pada manusia, ma’rifat tersebut tidak lain dari
ma’rifat dan tauhid.

Hati itu menurut al-Ghazali memiliki dua gerbang, yaitu:


(1) gerbang yang menghadap ke alam yang dapat ditangkap oleh indera badan,
(2) gerbang yang menghadap ke alam gaib, yang tidak dapat ditangkap oleh indera badan.

Oleh sebab itu, hati mempunyai dua potensi, yaitu: pertama potensi untuk memiliki pengetahuan
yang masuk melalui gerbang pertama yang menghadap ke alam materi. Itulah pengetahuan indrawi
yang diupayakan oleh para ilmuwan dan pemikir, dan kemudian pengetahuan-pengetahuan inderawi itu
diolah, dianalisa, dan dipertimbangkan akal, sehingga dihasilkan pengetahuan rasional, termasuk
pengetahuan rasional tentang Tuhan. Pengetahuan inderawi dan rasional yang dicapai melalui gerbang
pertama ini masuk ke dalam kategori pengetahuan biasa.

Kedua, potensi untuk memiliki pengetahuan yang masuk melalui gerbang kedua yang
menghadap ke alam gaib. Pengetahuan itu baru dapat diperoleh bila gerbangnya terbuka, atau bila semua
hijab yang menutupnya tersingkap. Pengetahuan itu disebut pengetahuan kasy, pengetahuan laduni,
pengetahuan wahyu, atau ma’rifat hakiki.

Ma’rifat hakiki tentang Tuhan dan alam gaib menghasilkan keyakinan yang hakiki, yang tidak
dapat digoncang atau digoyahkan oleh apapun, seperti tak tergoyahkannya keyakinan bahwa sepuluh
lebih banyak dari tiga. Hati sebagai sarana untuk memperoleh ma’rifat hakiki, menurut al-Ghazali adalah
bagaikan cermin yang harus diupayakan bersih, bening, dan tembus cahaya, serta dapat merekam dan
menampakkan gambar-gambar dari realitas yang ada. Pengetahuan adalah gambar-gambar dari realitas
yang ada itu, baik realitas inderawi maupun realitas gaib.

Untuk memperoleh ma’rifat hakiki harus melalui proses yang berlangsung secara kontinyu atau
berulang-ulang. Semakin banyak keterbukaan hati maka semakin banyak hakikat atau rahasia ketuhanan
yang diketahui sang ārif. Kendati bisa semakin banyak, ma’rifat hakiki tidak dapat menjadi ma’rifat yang
penuh tentang Tuhan karena Tuhan itu tidak terbatas (infinite) sedangkan sang ārif sebagai manusia dan
makhluk bersifat terbatas (finite). Al-Junaid al-Baghdadi mengisyaratkan hal itu dengan mengatakan:
“Cangkir teh tidak akan bisa menampung segala air yang ada di laut.”

Sebagaimana halnya dengan mahabbah, ma’rifat kadang-kadang dipandang sebagai maqam dan
kadang-kadang dianggap sebagai hal. Dalam pandangan al-Junaid alBaghdadi, ma’rifat dianggap sebagai
hal, sedangkan dalam Risalah Qusyairiyah, ma’rifat dianggap sebagai maqam. Sementara itu al-Ghazali
dalm Ihya’ Ulumuddin memandang ma’rifat datang sebelum mahabbah, tetapi al-Kalabazi memandang
bahwa ma’rifatdatang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifat dan
mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan
dekatnya hubungan seorang sufí dengan Tuhan.
Adapun alat yang digunakan untuk ma’rifat adalah qalb (hati), namun artinya tidak sama dengan
heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain alat untuk merasa adalah juga untuk berfikir. Bedanya
qalb dengan akal adalah bahwa akal tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan,
sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.

Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan
tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal
ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak mulia dan amal ibadah. Sedangkan
tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Kemungkinan manusia mencapai
tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya tuhan dapat pula dilihat dari isyarat ayat berikut ini:

“cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki”(QS. An-Nur [24]: 35)

4) Menjelaskan hakikat Mahabah


Mahabbah adalah konsep tasawuf yang pertama kali dikenalkan oleh Rabiatul Adawiyah. Konsep ini
kemudian dikenal dengan nama mahabbatullah yang artinya kecintaan kepada Allah. Mahabbah adalah
konsep tasawuf yang pertama kali dikenalkan oleh Rabiatul Adawiyah. Konsep ini kemudian dikenal
dengan nama mahabbatullah yang artinya kecintaan kepada Allah.

Mahabbah mengajarkan manusia akan rasa cinta kepada Allah Swt dan makhluk-Nya. Dengan ini,
manusia akan meraih ridho Allah dan ditempatkan ke dalam surga. Agar lebih memahaminya, berikut
penjelasan tentang konsep mahabbah lengkap dengan penerapannya dalam kehidupan umat Islam.

A. Cara Mencapai Mahabbah Kepada Allah


a) Taubat
Dosa merupakan penghalang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seorang Muslim yang hendak
mencapai mahabbah dianjurkan untuk membersihkan dosanya terlebih dahulu.
b) Wara’
Wara’ berarti menahan dan memegang. Maksudnya, seorang Muslim harus menahan diri agar tidak
melakukan penyimpangan dan tetap memegang teguh ajaran agama, sehingga terpelihara darinya segala
macam dosa. Bagi kaum sufi, wara’ diartikan meninggalkan yang syubhat (samar), baik dalam bentuk
perkataan maupun perbuatan.
c) Zuhud
Secara bahasa, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan. Maksudnya, seorang Muslim harus berpaling
dan meninggalkan segala sesuatu yang dapat menjadi sebab lalai mengingat Tuhan, terutama yang
berhubungn dengan duniawi dan segala kemewahannya.
d) Sabar
Sabar berarti menahan dan meninggikan sesuatu. Umat Islam dianjurkan untuk menahan diri dari segala
hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, sehingga kontrol dirinya pun semakin meningkat. Karena itu,
kesabaran hal yang penting untuk mempertahahankan diri dari lubang kemaksiatan.

5) Menjelaskan makna dan penerapan zuhud


I. Pengertian
Kata zuhud berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar kata zahada- yazhadu-zuhdan yang memilik
arti meninggalkan, tidak menyukai dan menjauhkan diri. Secara etimologis, zuhud berarti ragaba
‘ansyai’inwa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkanya. Zahada fi al-dunyā,
artinya mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk beribadah. Secara bahasa, lafazh zahida fiihi wa
‘anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkannya karena kehinaannya
atau karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya. Lafazh zahudafiasy-syai’i artinya tidak
membutuhkannya. Apabila dikatakan zahida fi addunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang halal dari
dunia karena takut hisabnya dan meninggalkan yang haram dari dunia karena takut siksaannya.
Secara terminologis zuhud memiliki arti suatu metode kehidupaan. Pondasinya adalah
mengurangi nikmat kelezatan hidup, dan berpaling dari keterpesonaan kelezatan itu, sehingga
terwujudlah kebebasan manusia, yang tercermin dalam keterhindaranya dari hawa nafsunya, dengan
kesadaranya sendiri. Meskipun pada saat itu dia sebernarnya dapat memenuhi hawa nafsunya, akan tetapi
keimananya kepada Allah SWT, pahala-Nya dan azab-Nya di akhirat menjadikan dirinya tidak
melakukan perbuatanperbuatan tersebut. Zuhud juga merupakan upaya menjauhkan diri dari kenikmatan
dunia dan menghindari kenikmatan tersebut meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang terkadang
pelaksanaanya melebihi ketentuan agama. Yang mana hal tersebut bertujuan untuk memperoleh
keuntungan akhirat dan menggapai tujuan tasawuf, yaitu ridā, bertemu dan ma’rifat kepada Allah SWT.

II. Dalil tentang Zuhud

ّ ٰ َ‫س د ََرا ِه َم َم ْع ُدوْ َد ٍة َۚوكَانُوْ ا فِ ْي ِه ِمن‬


َ‫الز ِه ِديْن‬ ٍ ‫َو َشرَوْ هُ بِثَ َم ۢ ٍن بَ ْخ‬

Artinya : “Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja, sebab
mereka tidak tertarik kepadanya.”

III. Tanda-tanda zuhud yang dirasakan dalam batin seseorang adalah:


1. Tidak merasa senang dengan hal-hal duniawi yang didapatnya, tidak bersedih atas hilangnya hal-hal
keduniawian dari dirinya.
2. Seseorang tidak risau jika dicela dan tidak berbangga hati jika dipuji. Mendapat pujian atau hinaan
sama saja dalam bersikap.
3. Merasa sangat cinta kepada Allah dan perasaan itu membuat ketaatannya menjadi semakin kuat.

IV. Zuhud Sebagai Maqam Dalam Tasawuf


Secara harfiah maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau
pangkat mulia. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga,
Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan
apa yang telah diusahakan nya, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu,
maqamat berarti jalan panjang menuju fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat
mungkin kepada Allah.

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat
dari pendapat para ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang
maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda-beda al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam
urutan maqam: al-wara’, al-zuhud, al-tawakkal, dan al-ridla. Dan al-Thusi menempatkan zuhud dalam
dalam sistematika: al-taubah, al-wara’, al-zuhud, alfaqr, al-sabr, al-ridla, al-tawakkal dan al-ma’rifah.
Sedangkan al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,
altawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Penjelasan semua tingakatan itu sebagai berikut:

1. Taubat
Taubat berasal dari bahasa Arab taba- yatubu- taubatan yang berarti “kembali” dan “penyesalan”.
Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai
dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah. Taubat menurut Dzun
Nun al Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2)
orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang
kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam
tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.

2. Zuhud
Secara harfiah berarti tidak tertarik oleh kesenangan dunia. Menurut pandangan para sufi, zuhud
secara umum diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dan rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi.

3. Sabar
Sabar secarah harfiah berarti tabah hati. Secara terminology sabar adalah suatu keadaan jiwa yang
kokoh , stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri sabar
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika
mendapat cobaan dan menempatkan sifat cukup, walaupun sebenarnya dalam kefakiran.

4. Wara‟
Wara” secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan
pengertian wara dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya,
baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut qamar kaialani yang
dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara‟ dibagi menjadi dua: wara‟ lahiriyah dan wara‟ batiniyah. Wara
lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan,
sedangkan wara‟ bathiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat
Allah.

5. Faqr
Faqr mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah bekerja tidak mencukup
kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup.
Sedangkan dalam konteks eksistensi manusia faqr mengandung makna bahwa semua manusia secara
universal membutuhkan Allah. Dalam pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari
apa yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sehingga tidak menginginkan sesuatu
yang lain.

6. Tawakkal
Tawakkal berarti menyerahkan segalanya kepada Allah setelah melakukan suatu rencana atau
usaha. Sikap ini erat kaitannya dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena Allah
dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut al-Misri mendifinisikan tawakkal yaitu berhenti
memikirkan diri sendiri dan merasa tidak memiliki daya dan kekuatan. Initnya adalah penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan apapun.

7. Ridha
Ridha secara harfiah berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiananya secara umum adalah
tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan
gembira. Merasa senang menenrima cobaan sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak
meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.

8. Ma‟rifah
Rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umunya, dan
merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi bersifat bathin yaitu
pengetahuan mengenai rahaisa tuhan melalui pancaran cahaya ilahi. Adapun alat untuk memperoleh
ma‟rifat bersandar pada sur, qalb, dan ruh. Qalb yang suci akan dipancari cahaya ilahi dan akan dapat
mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah seorang sufi sampai pada tingkatan ma‟rifat .

Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf karena melalui maqam zuhud seorang sufi akan dapat
membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain Allah SWT. Dan terpenuhinya kalbu
dengan zikir atau ingat kepada Allah. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam kalbu secara
bersamaan dengan Tuhan.

Keutamaan zuhud adalah memiliki posisi paling utama setelah bertakwa kepada Allah SWT, tidak
adanya rasa tamak, suka memberi kepada orang lain dan menjadi faktor keselamatan untuk diri sendiri
dalam kesibukan dunia.

V. Contoh perilaku zuhud yang dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari sebagai berikut:
1. Bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan Allah SWT.
2. Mencukupkan diri pada harta yang dimiliki, kendati hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
3. Jika memiliki banyak uang, menyisihkannya untuk bersedekah dan tidak berfoya-foya berlebihan.
4. Sederhana dalam berpenampilan, baik dari segi tempat tinggal, pakaian, ataupun makanan. Meskipun
memiliki banyak uang, ia tidak pamer dan hidup bermewah-mewahan.

Anda mungkin juga menyukai