Artinya : ”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Hidup, yang
terus menerus mengurus makhluk-Nya.
1. Wujud artinya ada, Allah Swt. adalah Tuhan yang wajib kita sembah itu pasti ada. Allah Swt. itu ada
tanpa ada perantara sesuatu dan tanpa ada yang mewujudkan.
2. (Qidam) artinya Terdahulu. Sebagai Dzat yang menciptakan seluruh alam, Alah Swt. pasti lebih dahulu
ada sebelum makhluk.
3. Baqa’ artinya kekal. Allah Swt. senantiasa ada, tidak akan mengalami kebinasaan atau kerusakan.
4. Mukhalafatu lil Hawaditsi artinya Berbeda dengan Makhluk. Allah pasti berbeda dengan makhluknya,
meliputi sifat, dzat, perbuatannya.
5. Qiyamuhu Binafsihi artinya Berdiri Sendiri. Allah Swt. tidak membutuhkan sesuatu apapun (tidak
membutuhkan tempat atau dzat yang diciptakan).
6. Wahdaniah artinya Esa. Allah itu Esa dalam Dzat-Nya (Tidak tersusun dari beberapa unsur/badan dan
tidak ada dzat yang menyamai Dzat Allah Swt.), Esa Sifat-Nya (Sifat Allah Swt. tidak terdiri dari dua
sifat yang sama dan tidak ada satupun yang menyamai sifat Allah Swt.) Esa Perbuatan-Nya (Hanyalah
Allah Swt. yang memiliki kesempurnaan dalam perbuatan dan tidak satupun yang dapat menyamai
perbuatan Allah Swt.).
7. Qudrat artinya Kuasa. Allah Swt. Maha Kuasa dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan Allah
Swt. itu meliputi segala sesuatu, untuk mewujudkan dan meniadakan apapun yang dikehendaki-Nya.
8. Iradah artinya Berkehendak. Allah Maha Berkehendak dan tidak seorangpun yang mampu
menghalanginya. Segala yang terjadi di dunia berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.
9. Ilmun artinya Mengetahui. Allah Swt. mengetahui semua ciptaan-Nya Allah Swt. mengetahui dengan
jelas akan semua perkara yang tampak dan samar tanpa ada perbedaan antara keduanya.
10. Hayat artinya Hidup. Allah Swt. Maha Hidup. Hidup Allah Swt. adalah kehidupan abadi tidak akan mati
11. Sama’ artinya Mendengar. Pendengaran Allah Swt. tidak sama dengan pendengaran manusia yang bias
dibatasi ruang dan waktu. Allah Swt. mendengar dengan jelas semua yang diucapkan hamba-Nya lahir
maupun batin.
12. Bashar artinya Melihat. Allah Maha Melihat segala sesuatu yang tampak maupun samar. Bahkan
andaikata ada semut yang hitam berjalan ditengah malam yang gelap gulita, Allah Swt. dapat melihatnya
dengan jelas.
13. Kalam artinya Berfirman. Firman Allah Swt. tanpa suara dan katakata, tidak sama seperti perkataan
manusia yang terdiri dari suara dan susunan katakata
Artinya: ”Memperbuat segala sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak memperbuatnya.”
C. Sifat-Sifat Malaikat
1. Selalu bertasbih siang dan malam tidak pernah berhenti.
2. Suci dari sifat-sifat manusia dan jin, seperti hawa nafsu, lapar, sakit, makan, tidur,
3. bercanda, berdebat, dan lainnya.
4. Selalu takut dan taat kepada Allah.
5. Tidak pernah maksiat dan selalu mengamalkan apa saja yang diperintahkan-Nya.
6. Mempunyai sifat malu.
7. Bisa terganggu dengan bau tidak sedap, anjing dan patung.
8. Tidak makan dan minum.
9. Mampu mengubah wujudnya.
10. Memiliki kekuatan luar biasa dan kecepatan cahaya.
ٰ
ُ َذلِكَ ا ْل ِكت
ََاب اَل َر ْي َب ۛ فِي ِه ۛ هُدًى لِ ْل ُمتَّقِين
Artinya : "Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa"
2. Kitab Zabur
Kata Zabur berasal dari kata zabaro yang berarti tulisan. Zabaro juga bisa berarti sepotong besi. Kitab
Zabur diturunkan kepada Nabi Daud dengan bahasa Qibti untuk memberi bimbingan kepada kaum Bani
Israil. Kitab Zabur berisi tentang dzikir, pengajaran, dan hikmah serta berisi 5 jenis kidung (mazmur) yang
mengungkapkan semua pengalaman yang dialami Nabi Daud semasa hidupnya seperti dosa, pengampunan
dosa, suka cita tentang kemenangan atas musuh Allah, dan keagungan Allah. Dalil naqli Allah
menurunkan Zabur kepada Nabi Daud bisa dilihat dalam QS. Al-Isra: 55
3. Kitab Injil
Kitab Injil diturunkan oleh Allah kepada Nabi Isa. Injil asli berbahasa Ibrani. Injil diturunkan untuk
memberi bimbingan/petunjuk kepada kaum Bani Israil. Al-Quran membenarkan akan keberadaan Injil.
Injil yang dibenarkan adalah Injil yang diwahyukan kepada Nabi Isa putra Maryam. Dalil naqli Allah
menurunkan kitab Injil bisa dilihat dalam QS. Ali Imran ayat 3.
4. Kitab Al-Quran
Al-Qur’an diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. Melalui Malaikat Jibril. Al-Qur’an
diturunkan tidak sekaligus, melainkan secara berangsur - angsur. Waktu turun al-Qur’ān selama kurang
lebih 23 tahun atau tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari. Terdiri atas 30 juz, 114 surat, 6.236 ayat, 74.437
kalimat, dan 325.345 huruf. Wahyu pertama adalah surah al-‘Alaq ayat 1-5, diturunkan pada malam 17
Ramaḍan tahun 610 M. di Gua Hira, Ketika Nabi Muhammad saw. sedang ber-khalwat. Al-Quran
merupakan kitab terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, Nabi akhir zaman,
penutup para Nabi (khatamun nabiyyin). Al-Quran diturunkan menggunakan bahasa Arab. Al-Quran
menurut bahasa berarti bacaan. Menurut istilah Al-Quran artinya kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dan bagi yang membacanya dinilai sebagai ibadah.
Dalil Naqli Allah menurunkan Al-Quran bisa dilihat dalam QS. Al-Baqarah ayat 2 dan QS. Al-Baqarah
ayat 185. Al-Quran diturunkan untuk memberi bimbingan atau menjadi petunjuk bagi seluruh manusia.
6 Perintah (1000)
6 Larangan (1000)
6 Janji (1000)
6 Ancaman (1000)
Dongeng (1000)
Tauladan (1000) contoh-contoh yang baik
Beriman kepada hari akhir adalah percaya dengan sepenuh hati bahwa suatu saat alam semesta
dan seisinya akan hancur dan berakhir. Kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan selanjutnya dialam
akhirat yang kekal dan tiada berakhir.
“dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah
membangkitkan semua orang di dalam kubur” (QS. al-Hajj: 7).
3. Yaumul Hasyr : Yaitu hari digiringnya manusia ke Padang Mahsyar setelah dibangkitkan dari kubur.
4. Yaumul Hisab : Yaitu hari dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar untuk dihitung amal
perbuatannya selama hidup di dunia
5. Yaumul Mizan : Yaitu hari dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar untuk ditimbang amal
perbuatannya selama hidup di dunia.
6. Sirath : Yaitu jalan menuju surga. Sirath sering disebut sebagai jembatan sirathal mustaqim.
a. Hancurnya dunia dan banyaknya i. Semakin sedikit perlaku orang yang Qur’ani
kemaksiatan j. Banyak berdatangnan di majlis ta’lim tetapi
b. Banyak orang tidak tahu malu sehingga yang didapat hanya kumpul-kumpul saja
berbuat maksiat tidak merasa dosa/ salah/ k. Banyak orang yang enggan mengaji dan
malu mengkaji ilmu agama
c. Banyak masjid megah tapi hanya sedikit l. Banyak orang yang hanya memikirkan
jamaah kepentinga duniawi saja
d. Semakin banyak generasi muda dalm m. Menghambur-hamburkan harta dan enggan
pergaulan bebas bershadaqah
e. Banyak yang durhaka kepada orang tuanya n. Menggunakan media sosial tidak pada
f. Semakin banyak generasi muda yang tempatnya (menggunakan untuk hal-hal
terlibat dalam pergaulan bebas o. yang tidak ada manfaatnya bahkan untuk
g. Ilmu agama sudah diabaikan maksiat).
h. Korupsi meraja lela dan hidup bermegah-
megan
Secara bahasa pengertian qadha adalah ketetapan, ketentuan, keputusan, kehendak, hukum,
pemberitahuan dan penciptaan. Secara istilah qadha adalah ketetapan, ketentuan dan keputusan Allah
Swt. dari sejak zaman azali atas segala sesuatu yang berkaitan dengan iradah atau kehendak-Nya, baik itu
kebaikan dan keburukan, hidup dan mati. Qadha sebagai rencana Allah Swt. sejak zama azali.
Qadar secara bahasa artinya kepastian, peraturan dan ukuran. Qadar secara istilah adalah aturan
atau ukuran yang diciptakan oleh Allah Swt. sebagai perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala
sesuatu yang berkaitan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman Azali dan pastinya sesuai
dengan iradah-Nya. Qadar sebagai pelaksanaan rencana (qadha) Allah Swt. Perpaduan/ gabungan antara
qadha dan qadar disebut takdir. Takdir berlaku kepada semua makhluk hidup baik yang telah, sedang,
maupun yang akan terjadi.
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar (takdir) adalah orang yang percaya dengan
sepenuh hati bahwa ketentuan atau ketetapan Allah Swt. benar adanya, di mana telah dtentukan sejak
zaman azali maupun sejak diciptakannya makhluk-Nya. Hal ini berlaku bagi semua makhluk-Nya. Qadha
dan qadar Allah Swt. wajib dipercayai sebagai bukti keyakinan terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah
Swt
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Al-Qamar: 49).
Maksud ayat di atas adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt. sudah diukur/ ditakar
ketetapannya. Walau demikian manusia tetap berusaha walaupun yang menetapkan Allah Swt.
Ma’rifat adalah cahaya yang dipancarkan kepada hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Ini
merupakan pengetahuan hakiki yang datang melalui “penyingkapan” (kasyf), “penyaksian”
(musyahadah), dan “cita rasa” (dzauq). Pengetahuan ini berasal dari Allah. Imam Ja’far al-Sadiq
mengatakan, “Para ahli ma’rifat(arifin) berada bersama orang-orang, sedangkan hatinya bersama Allah.
Jika hatinya melupakan Alah sekejab saja, ia akan mati karena kerinduannya kepada Allah.
Pertama, ma’rifat kalangan awam (orang banyak pada umumnya), mereka mengetahui tidak ada Tuhan
selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran syahadat.
Kedua, ma’rifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini,
mereka mengetahui adanya Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran.
Ketiga, ma’rifat kalangan para wali dan orang-orang suci, mereka mengenal Allah berdasarkan
pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifat tingkat ketiga inilah yang
kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf sebagai ma’rifat hakiki dan tertinggi.
Junaid al-Baghdadi mengatakan: “ Seseorang tidak akan menjadi ‘arif sebelum ia menjadi bumi diinjak
oleh orang yang saleh dan jahat, menjadi seperti awan yang menaungi semua makhluk, dan menjadi
hujan menyirami segala sesuatu baik yang mencintainya maupun yang membencinya.”
Al-Qusyairi menjelaskan, bahwa hati adalah sarana untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, mencintai-Nya,
dan melihat-Nya
Al-Ghazali berpendapat bahwa kemampuan ma’rifat kepada Allah bersifat fitrah, dengan pengertian
setiap manusia mempunyai potensi bawaan yaitu terletak pada hati. Setiap hati secara fitrah memiliki
potensi mengetahui hakikat-hakikat dari segala yang ada karena hati itu adalah substansi rabbani yang
mulia. Hati inilah pemikul amanah yang diletakkan Tuhan pada manusia, ma’rifat tersebut tidak lain dari
ma’rifat dan tauhid.
Oleh sebab itu, hati mempunyai dua potensi, yaitu: pertama potensi untuk memiliki pengetahuan
yang masuk melalui gerbang pertama yang menghadap ke alam materi. Itulah pengetahuan indrawi
yang diupayakan oleh para ilmuwan dan pemikir, dan kemudian pengetahuan-pengetahuan inderawi itu
diolah, dianalisa, dan dipertimbangkan akal, sehingga dihasilkan pengetahuan rasional, termasuk
pengetahuan rasional tentang Tuhan. Pengetahuan inderawi dan rasional yang dicapai melalui gerbang
pertama ini masuk ke dalam kategori pengetahuan biasa.
Kedua, potensi untuk memiliki pengetahuan yang masuk melalui gerbang kedua yang
menghadap ke alam gaib. Pengetahuan itu baru dapat diperoleh bila gerbangnya terbuka, atau bila semua
hijab yang menutupnya tersingkap. Pengetahuan itu disebut pengetahuan kasy, pengetahuan laduni,
pengetahuan wahyu, atau ma’rifat hakiki.
Ma’rifat hakiki tentang Tuhan dan alam gaib menghasilkan keyakinan yang hakiki, yang tidak
dapat digoncang atau digoyahkan oleh apapun, seperti tak tergoyahkannya keyakinan bahwa sepuluh
lebih banyak dari tiga. Hati sebagai sarana untuk memperoleh ma’rifat hakiki, menurut al-Ghazali adalah
bagaikan cermin yang harus diupayakan bersih, bening, dan tembus cahaya, serta dapat merekam dan
menampakkan gambar-gambar dari realitas yang ada. Pengetahuan adalah gambar-gambar dari realitas
yang ada itu, baik realitas inderawi maupun realitas gaib.
Untuk memperoleh ma’rifat hakiki harus melalui proses yang berlangsung secara kontinyu atau
berulang-ulang. Semakin banyak keterbukaan hati maka semakin banyak hakikat atau rahasia ketuhanan
yang diketahui sang ārif. Kendati bisa semakin banyak, ma’rifat hakiki tidak dapat menjadi ma’rifat yang
penuh tentang Tuhan karena Tuhan itu tidak terbatas (infinite) sedangkan sang ārif sebagai manusia dan
makhluk bersifat terbatas (finite). Al-Junaid al-Baghdadi mengisyaratkan hal itu dengan mengatakan:
“Cangkir teh tidak akan bisa menampung segala air yang ada di laut.”
Sebagaimana halnya dengan mahabbah, ma’rifat kadang-kadang dipandang sebagai maqam dan
kadang-kadang dianggap sebagai hal. Dalam pandangan al-Junaid alBaghdadi, ma’rifat dianggap sebagai
hal, sedangkan dalam Risalah Qusyairiyah, ma’rifat dianggap sebagai maqam. Sementara itu al-Ghazali
dalm Ihya’ Ulumuddin memandang ma’rifat datang sebelum mahabbah, tetapi al-Kalabazi memandang
bahwa ma’rifatdatang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifat dan
mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan
dekatnya hubungan seorang sufí dengan Tuhan.
Adapun alat yang digunakan untuk ma’rifat adalah qalb (hati), namun artinya tidak sama dengan
heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain alat untuk merasa adalah juga untuk berfikir. Bedanya
qalb dengan akal adalah bahwa akal tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan,
sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan
tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal
ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak mulia dan amal ibadah. Sedangkan
tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Kemungkinan manusia mencapai
tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya tuhan dapat pula dilihat dari isyarat ayat berikut ini:
“cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki”(QS. An-Nur [24]: 35)
Mahabbah mengajarkan manusia akan rasa cinta kepada Allah Swt dan makhluk-Nya. Dengan ini,
manusia akan meraih ridho Allah dan ditempatkan ke dalam surga. Agar lebih memahaminya, berikut
penjelasan tentang konsep mahabbah lengkap dengan penerapannya dalam kehidupan umat Islam.
Artinya : “Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja, sebab
mereka tidak tertarik kepadanya.”
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat
dari pendapat para ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang
maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda-beda al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam
urutan maqam: al-wara’, al-zuhud, al-tawakkal, dan al-ridla. Dan al-Thusi menempatkan zuhud dalam
dalam sistematika: al-taubah, al-wara’, al-zuhud, alfaqr, al-sabr, al-ridla, al-tawakkal dan al-ma’rifah.
Sedangkan al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,
altawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Penjelasan semua tingakatan itu sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat berasal dari bahasa Arab taba- yatubu- taubatan yang berarti “kembali” dan “penyesalan”.
Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai
dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah. Taubat menurut Dzun
Nun al Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2)
orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang
kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam
tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
2. Zuhud
Secara harfiah berarti tidak tertarik oleh kesenangan dunia. Menurut pandangan para sufi, zuhud
secara umum diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dan rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi.
3. Sabar
Sabar secarah harfiah berarti tabah hati. Secara terminology sabar adalah suatu keadaan jiwa yang
kokoh , stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri sabar
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika
mendapat cobaan dan menempatkan sifat cukup, walaupun sebenarnya dalam kefakiran.
4. Wara‟
Wara” secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan
pengertian wara dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya,
baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut qamar kaialani yang
dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara‟ dibagi menjadi dua: wara‟ lahiriyah dan wara‟ batiniyah. Wara
lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan,
sedangkan wara‟ bathiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat
Allah.
5. Faqr
Faqr mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah bekerja tidak mencukup
kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup.
Sedangkan dalam konteks eksistensi manusia faqr mengandung makna bahwa semua manusia secara
universal membutuhkan Allah. Dalam pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari
apa yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sehingga tidak menginginkan sesuatu
yang lain.
6. Tawakkal
Tawakkal berarti menyerahkan segalanya kepada Allah setelah melakukan suatu rencana atau
usaha. Sikap ini erat kaitannya dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena Allah
dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut al-Misri mendifinisikan tawakkal yaitu berhenti
memikirkan diri sendiri dan merasa tidak memiliki daya dan kekuatan. Initnya adalah penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan apapun.
7. Ridha
Ridha secara harfiah berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiananya secara umum adalah
tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan
gembira. Merasa senang menenrima cobaan sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak
meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.
8. Ma‟rifah
Rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umunya, dan
merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi bersifat bathin yaitu
pengetahuan mengenai rahaisa tuhan melalui pancaran cahaya ilahi. Adapun alat untuk memperoleh
ma‟rifat bersandar pada sur, qalb, dan ruh. Qalb yang suci akan dipancari cahaya ilahi dan akan dapat
mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah seorang sufi sampai pada tingkatan ma‟rifat .
Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf karena melalui maqam zuhud seorang sufi akan dapat
membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain Allah SWT. Dan terpenuhinya kalbu
dengan zikir atau ingat kepada Allah. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam kalbu secara
bersamaan dengan Tuhan.
Keutamaan zuhud adalah memiliki posisi paling utama setelah bertakwa kepada Allah SWT, tidak
adanya rasa tamak, suka memberi kepada orang lain dan menjadi faktor keselamatan untuk diri sendiri
dalam kesibukan dunia.
V. Contoh perilaku zuhud yang dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari sebagai berikut:
1. Bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan Allah SWT.
2. Mencukupkan diri pada harta yang dimiliki, kendati hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
3. Jika memiliki banyak uang, menyisihkannya untuk bersedekah dan tidak berfoya-foya berlebihan.
4. Sederhana dalam berpenampilan, baik dari segi tempat tinggal, pakaian, ataupun makanan. Meskipun
memiliki banyak uang, ia tidak pamer dan hidup bermewah-mewahan.