Anda di halaman 1dari 72

Presentasi Tafsir 502

Modul 15, 17, 18, 19 & 20


Dosen Pengampu:
Ust. Amir Saefullah, B.A., M.A.

Oleh:
Mahasiswa MAIS IOU | Fall 2023 | Kelompok 1:
Irpan Jamaludin (Ketua), Lanlan Tuhfatul Lanfas (Editor PPT), Rinny
Nuraini, Mardiani, Munayya Zafirora, Achmad Ilham Akbar
(Mc/Moderator), Syuhada Hanafi & Rahadian Faisal
z
Daftar Isi
Modul 15 (Slide 4-14) Modul 18 (Slide 34-58)
 Ujian Ketika di Surga  Tidak Beramal Karena Takut Riya’
 Akibat Pengusiran & Sebabnya Oleh: Munayya Zafirota
Oleh: Irpan Jamaludin  Larangan Menyebarkan Berita yang
Belum Jelas Kebenarannya
Oleh: Achmad Ilham Akbar
Modul 17 (Slide 15-33)
 Kekikiran, Kemunafikan & Setan Modul 19 (Slide 59-65)
Oleh: Lanlan Tuhfatul Lanfas  Syayathin dari Umat Manusia & Jin
Oleh: Syuhada Hanafi
 Berlindung dari Riya
Oleh: Rinny Nuraini
Modul 20 (Slide 66-71)
 Menyembunyikan Amal Saleh  Iradah (Kehendak Allah) Kauniyah &
Oleh: Mardiani
Syar’iyah
Oleh: Rahadian Faisal
 Ujian Ketika di Surga
Modul  Akibat Pengusiran & Sebabnya
15 Oleh: Irpan Jamaludin
Ujian Ketika di Surga

Setelah Allah memasukan Adam dan Hawa ke surga yang penuh dengan kenikmatan, Allah
Menguji mereka dengan melarang memakan pohon tertentu. Sebagaimana yang disebutkan di
dalam al-Qur’an:

‫ﵟَو ُقۡل َن ا َٰٓئَـ اَد ُم ٱۡس ُكۡن َأنَت َو َزۡو ُج َك ٱۡل َج َّن َة َو ُك اَل ِم ۡن َه ا َر َغ ًد ا َح ۡي ُث ِش ۡئ ُتَم ا َو اَل َتۡق َرَب ا َٰه ِذِه ٱلَّش َجَر َة َفَتُك وَن ا ِم َن‬
‫َّٰظ‬
‫ٱل ِلِم يَن ﵞ‬
“Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah
kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-
Baqarah [2]: 35),
Setelah mengetahui Adam dan Hawa dimasukan oleh Allah ke surga-Nya, Iblis tidak tinggal
diam justru dia mencari jalan-jalan yang dapat menggelincirkan mereka berdua. Dan iblis
menemukan jalan tersebut, yaitu dia mengetahu bahwasanya Adam dan Hawa merasakan
kenyamanan di surga, mereka ingin kehidupan kekal di tempat yang penuh kesenangan. Dia
menyadari bahwa itu adalah satu-satunya jalan di mana dia benar-benar bisa menipu mereka.
Jadi dia bersumpah demi Allah kepada mereka bahwa dia akan memberi mereka nasihat yang
tulus (Modul 10 hal5), sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an:

‫ﵟَفَو ۡس َو َس َلُهَم ا ٱلَّش ۡي َٰط ُن ِلُيۡب ِدَي َلُهَم ا َم ا ُوۥِر َي َع ۡن ُهَم ا ِم ن َس ۡو َٰء ِتِهَم ا َو َق اَل َم ا َنَهٰى ُك َم ا َر ُّبُك َم ا َع ۡن َٰه ِذِه‬
‫ َف َد َّلٰى ُهَم ا‬٢١ ‫ َو َقاَس َم ُهَم ٓا ِإِّني َلُك َم ا َلِم َن ٱلَّٰن ِص ِح يَن‬٢٠ ‫ٱلَّش َج َر ِة ِإٓاَّل َأن َتُك وَن ا َم َلَك ۡي ِن َأۡو َتُك وَن ا ِم َن ٱۡل َٰخ ِل ِد يَن‬
‫ِبُغ ُر وٖۚر َفَلَّم ا َذ اَق ا ٱلَّش َج َر َة َب َد ۡت َلُهَم ا َس ۡو َٰء ُتُهَم ا َو َطِفَق ا َيۡخ ِص َفاِن َع َلۡي ِهَم ا ِم ن َو َر ِق ٱۡل َج َّن ِۖة َو َناَد ٰى ُهَم ا َر ُّبُهَم ٓا َأَلۡم‬
‫ن ﵞ‬ٞ‫ّو ُّم ِبي‬ٞ ‫َأۡن َهُك َم ا َع ن ِتۡل ُك َم ا ٱلَّش َجَرِة َو َأُقل َّلُك َم ٓا ِإَّن ٱلَّش ۡي َٰط َن َلُك َم ا َع ُد‬
“Dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan
supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal
(dalam surga) Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah
termasuk orang yang memberi nasehat kepada kalian berdua, Maka syaitan membujuk
keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah memakan buah
dari pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah
Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?“ (QS Al-A’raf Ayat 20-22)
Akibat Pengusiran & Sebabnya

Setelah kejadian itu Allah Ta’ala mengusir Adam dan Hawa dari surga, sebagaimana yang
disebutkan di dalam Al-Qur’an:

‫ﵟَفَأَز َّلُهَم ا ٱلَّش ۡي ُن َع ۡن َه ا َفَأۡخ َر َج ُهَم ا ِمَّم ا َك اَن ا ِفيِۖه َو ُق َن ا ٱۡه ِبُط وْا َبۡع ُض ُك ۡم ِلَبۡع ٍض َع ُد َو َلُك ۡم ِفي ٱَأۡلۡر ِض‬
‫ّو‬ٞۖ ‫ۡل‬ ‫َٰط‬
‫ّر َو َم َٰت ٌع ِإَلٰى ِح يٖن ﵞ‬ٞ‫ُم ۡس َتَق‬
“Dan Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi
kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 36)
Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga disebabkan kemaksiatan yang mereka
lakukan, yaitu dengan memakan buah yang Allah larang untuk memakannya. (lihat
Al-Baqarah [2]: 35-36)
Setelah kejadian itu, Adam dan Hawa menyesali kesalahannya dan bertobat kepada
Allah “Keduanya berkata, "Wahai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”(QS Al-A’raf Ayat 23).
Dan ayat inilah yang diisyaratkkan pada firman Allah: “Kemudian Adam menerima
beberapa kalimat dari Rabbnya. Dan Rabbnya memaafkannya. Sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah [2]: 37).
Firman Allah “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, artinya
Allah mengampuni siapa saja yang menyesali kesalahannya dan kembali kepada-
Nya dengan bertaubat. Sebagaimana yang Allah firmankan “Tidakkah mereka
mengetahui, bahwa Allah menerima tobat hambahamba-Nya?” (Surat at-Taubah [9]:
10)
Ayat di atas bersaksi tentang fakta bahwa Allah mengampuni dosa siapa saja yang
bertobat, menunjukkan kebaikan dan belas kasihan-Nya kepada makhluk dan
hamba-Nya. (Modul 15 hal3)
Perintah untuk meninggalkan surga diulangi di beberapa tempat, di antaranya
Allah berfirman, "Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi
sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan
(tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan."
(QS al-A'raf Ayat 24)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Turunlah kamu sekalian, sebagian
kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain,” ditujukan kepada Adam, Hawa, dan
Iblis. Permusuhan yang ada terutama terjadi antara Adam dan Iblis, dan Hawa
mengikuti Adam dalam hal ini sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Thaha
“Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama…” (QS. Thaha [20]: 123) (Modul
15 hal4)
As-Sa’di berkata: "...sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain," berarti
bahwa Adam dan keturunannya adalah musuh Iblis dan keturunannya. Sudah
diketahui dengan baik bahwa musuh akan berusaha dan berjuang untuk menyakiti
musuhnya dan menyebabkan agar keburukan menimpanya dalam segala hal, dan
menghalanginya dari kebaikan dengan segala cara.
Jadi, ayat ini merupakan peringatan bagi keturunan Adam untuk berhati-hati
terhadap setan, sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya setan adalah musuh
bagimu, maka perlakukan ia sebagai musuh.” (QS. at-Taubah [9]: 104) (Modul 15
hal. 5)
Akibat pengusiran inilah Adam dan Hawa menetap di bumi, sebagaimana yang disebutkan di
dalam Al-Qur’an “(Allah) berfirman, “Di sana kamu hidup, di sana kamu mati, dan dari sana
(pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS al-A'raf [7]: 25)
Ayat ini mirip dengan firman Allah yang lain: “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu
dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan
mengeluarkan kamu pada waktu yang lain.” (QS Thaha [20]: 55)
Ibnu Katsir berkata, “Allah menyatakan bahwa Dia telah menjadikan bumi sebagai tempat
tinggal anak cucu Adam, selama sisa kehidupan di dunia. Di atasnya, mereka akan hidup, mati
dan dikuburkan di kuburan mereka; dan darinya mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat.
Pada hari itu, Allah akan mengumpulkan yang pertama dan yang terakhir dari makhluk dan
memberi balasan dan menghukum masing-masing sesuai dengan amal perbuatannya sendiri.”
(Modul 15 hal7)
Syaikh As-Sa'di berkomentar: “Yakni manakala Allah menurunkan Adam, Hawa
serta keturunannya dan menurunkan mereka ke bumi, Dia memberitakan kepada
keduanya tentang keadaan kehidupan mereka di sana, bahwa Dia menjadikan
padanya kehidupan yang akan disusul dengan kematian. Masa kehidupan akan
penuh dengan ujian dan cobaan, dan mereka senantiasa berada di dalamnya, Dia
mengutus rasul-rasul kepada mereka dan menurunkan kitab-kitab sampai
kematian datang kepada mereka dan mereka dikuburkan di dalam bumi kemudian
jika telah sempurna, (mereka semua menyelesaikan masa hidupnya [di dunia ini]),
maka Allah kemudian akan membangkitkan mereka dan mengeluarkan mereka
darinya ke alam yang sebenarnya yang merupakan tempat tinggal abadi. (Modul 15
hal8)
 Kekikiran, Kemunafikan & Setan
Oleh: Lanlan Tuhfatul Lanfas
Modul  Berlindung dari Riya’
17 Oleh: Rinny Nuraini
 Menyembunyikan Amal Saleh
Oleh: Mardiani
Kekikiran, Kemunafikan & Setan

 Definisi Kekikiran, Kemunafikan & Setan


 Kikir adalah lawan dari sifat dermawan. Bahasa arabnya al-Bukhl yang berarti
enggan memberi apa yang menjadi kewajiban (al-Jauhari, Tajul 'Arus, 26:62).
 Kemunafikan atau nifaq adalah menampakkan Islam dan kebaikan serta
menyembunyikan kekufuran dan keburukan (al-Fauzan, Aqidah Tauhid, hal. 85).
 Setan dalam bahasa arab adalah syaithan dari kata syathana yang berarti jauh
atau menjauh dari kebenaran dan rahmat. Syaitan juga berarti pembuat kerusakan
dan kejahatan, apapun makhluknya (Modul Tafsir 502 hal. 1)
 Tercelanya Sifat Kikir (Tafsir Ringkas QS an-Nisa [4]: 37-38)
Allah Subhanahu WaTaala berfirman:
٣٧ ‫ﵟٱَّل ِذ يَن َيۡب َخ ُل وَن َو َي ۡأ ُم ُروَن ٱلَّن اَس ‌ِبٱۡل ُبۡخ ِل َو َيۡك ُتُم وَن َم ٓا َء اَتٰى ُهُم ٱُهَّلل ِم ن َفۡض ۗۦِلِه َو َأۡع َت ۡد َنا ِلۡل َٰك ِف ِريَن َع َذ اٗب ا ُّم ِهيٗن ا‬
‫ﵞ‬٣٨ ‫َو ٱَّلِذ يَن ُينِفُقوَن َأۡم َٰو َلُهۡم ِرَئٓاَء ٱلَّناِس َو اَل ُيۡؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو اَل ِبٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِۗر َو َم ن َيُك ِن ٱلَّش ۡي َٰط ُن َل ۥُه َقِريٗن ا َفَس ٓاَء َقِريٗن ا‬
"(Yaitu) orang-orang yang kikir, menyuruh orang (lain) berbuat kikir, dan
menyembunyikan karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan. (Allah juga tidak
menyukai) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang (lain)
dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Akhir.
Siapa yang menjadikan setan sebagai temannya, (ketahuilah bahwa) dia adalah
seburuk-buruk teman." (QS. An-Nisā' [4]: 37-38).
Ayat ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya (4:36) di mana pada akhir
ayat tersebut Allah menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Maka pada ayat 37 Allah menjelaskan
karakteristik mereka, yaitu (al-Mukhtashar Fi Tafsir al-Qur'an al-Karim):
(1) Orang-orang yang kikir, yaitu orang-orang yang enggan menunaikan kewajiban
berupa infak dari rejeki yang Allah berikan kepada mereka,
(2) Orang-orang yang menyuruh orang lain untuk bersikap kikir baik dengan
ucapan maupun perbuatan.
(3) Orang-orang yang menyembunyikan karunia yang Allah berikan kepada mereka
berupa ilmu, rejaki dan sebagainya. Mereka bukannya menjelaskan kebenaran
kepada manusia, malah menyembunyikannya dan menampakkan kebatilan.
Di akhir ayat ke 37 surah an-Nisa’ Allah menjelaskan bahwa ketiga perilaku
tersebut merupakan bentuk kekufuran yang mana Allah menyiapkan bagi orang-
orang kafir azab yang menghinakan.
Pada ayat ke-38, Allah menjelaskan bahwa Dia juga menyiapkan azab bagi:
(4) orang-orang yang menginfakkan hartanya dengan tujuan agar dilihat dan dipuji
manusia serta,
(5) mereka juga tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.
Orang-orang seperti itu, Allah siapkan bagi mereka azab yang yang menghinakan.
Dan mereka tidaklah tersesat melainkan karena mereka mengikuti setan. Dan
barang siapa setan menjadi teman dekatnya maka itu seburuk-buruk teman (al-
Mukhtashar Fi Tafsir al-Qur'an al-Karim).
 Para ulama tafsir di antaranya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma menjelaskan
bahwa ayat 37 dari surah an-Nisa' berbicara tentang Yahudi yang menggabungkan
antara sikap sombong, angkuh, kikir terhadap harta dan menyembunyikan sifat
Nabi Muhammad shallallhu alaihi wasallam yang diturunkan oleh Allah dalam
Taurat. Adapula yang berpendapat bahwa ayat ini berkaitan dengan orang-orang
munafik yang berpura-bura dalam infak dan keimanan (al-Qurthubi, 5/193).
 Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat 38 berkaitan dengan orang-orang
munafik berdasarkan firman-Nya: menginfakkan hartanya karena riya kepada
orang (lain) (al-Qurthubi, 5/193).
 Hubungan Antara Kikir, Kemunafikan & Setan
Kelima prilaku yang disebutkan pada ayat di atas (QS. An-Nisa: 37-38) yang di
antaranya adalah kikir merupakan karakteristik orang-orang menafik
(berdasarkan pendapat sebagian ulama) yang menjadikan setan sebagai qarin
(teman) dekatnya (Modul 17 Tafsir 502, hal. 4).
Berlindung dari Riya’
 Definisi Riya’
 Secara Bahasa: berasa dari kata ‫ رأى – يرى‬yang artinya melihat.
 Secara istilah: memperlihatkan suatu amal kepada orang lain, atau melakukan
suatu pebuatan dengan mengharapkan pujian dari orang lain.
‫ﵟَو ٱَّل ِذ يَن ُينِفُق وَن َأۡم َٰو َلُهۡم ِرَئ ٓاَء ٱلَّن اِس َو اَل ُيۡؤ ِم ُن وَن ِبٱِهَّلل َو اَل ِب ٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِۗر َو َم ن َيُك ِن ٱلَّش ۡي َٰط ُن َل ۥُه َقِريٗن ا َفَس ٓاَء َقِريٗن ا‬
‫ﵞ‬٣٨
”Dan (juga) orang – orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang
lain (ingin dilihat dan dipuji), dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan kepada hari kemudian. Barang siapa menjadikan setan sebagai temannya, maka
(ketahuilah) dia (setan itu) adalah teman yang sangat jahat.” (QS. An-Nisa [4]: 38)
 Sebab Riya’
 Kurangnya ma’rifatullah
 Sangat suka dipuji dan disanjung
 Khawatir terhadap penilaian orang lain
 Tergoda bujuk rayu setan

 Dampak Riya’
 Hilangnya pahala (QS. al Baqarah [2]: 264)
 Merupakan syirik asghar
 Tidak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah Subhanahu wa
Taala kelak di akhirat
Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
”Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik
asghar.”
Para sahabat bertanya, ”Apa itu syirik asghar wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
”(syirik asghar) adalah riya’. Allah Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’
pada hari kiamat Ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka:’Pergilah
kalian pada orang yang kalian tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah
apakahkalian mendapatkan balasan dari merela?” (HR. Ahmad )
 Bagaimana Berlindung Dari Riya’
 Senantiasa meluruskan niat
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi
setiap orang memperoleh sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)

 Terus menerus mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala:


“Sesungguhnya orang – orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka
berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-
Nisa [4]: 142)
 Belajar Ikhlas
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk
tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat
(menilai) keikhlasan hatimu.” (HR. Muslim)

 Berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala:


» ‫ َو َأْسَتْغ ِفُر َك ِلَم ا اَل َأْع َلُم‬، ‫«الَّلُهَّم ِإِّني َأُع وُذ ِبَك ‌َأْن ‌ُأْش ِرَك ِبَك َو َأَنا َأْع َلُم‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu
sedangkan aku mengetahuinya dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa
yang tidak aku ketahui” (HR. Ahmad).
 Referensi

Dhofir Lc, F., & Dhofir Lc, M. (2012). Syarah dan Terjemah Riyadhus
Shalihin. Jakarta: Al I'tishom.
Dhofir Lc., M. (2007). Al Wafi Syarah kitab Arba'in An Nawawiyah. Jakarta:
Al I'tishom Cahaya Umat.
Muslim, A. (2002). Aku Seorang Muslim. Pati: Maghza Pustaka.
Menyembunyikan Amal Saleh

Salah satu cara untuk menghindari riyaa’ adalah dengan beribadah kepada Allah
dengan diam-diam, Dengan beribadah secara diam-diam, bisa tercapai dua cara.
(Modul 17 Halaman 10)
 Pertama, dengan tidak menunjukkan ibadah kepada orang lain, tidak akan ada
madharat dari keinginan untuk berusaha mengesankan mereka, juga tidak
dapat mengalihkan niat baik kepada pujian. (Modul 17 Halaman 10)
 Kedua, jenis ibadah secara diam-diam bisa meningkatkan Iman seseorang, dan
dengan demikian membantu melindunginya dari riya’. (Modul 17 Halaman 10)
Beberapa ulama Ahlus-Sunnah memberikan nasihat: “Orang-orang (sebelum kita)
suka melakukan ibadah secara sembunyi-sembunyi, sehingga bahkan istri atau
teman dekat mereka pun tidak mengetahuinya.” (Modul 17 Halaman 10)
Dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:
‫ر َّلُك ۚۡم ﵞ‬ٞ ‫ﵟِإن ُتۡب ُد وْا ٱلَّص َد َٰق ِت‌َفِنِع َّم ا‌ِهَۖي َو ِإن ُتۡخ ُفوَها َو ُتۡؤ ُتوَها ٱۡل ُفَقَر ٓاَء َفُهَو َخ ۡي‬
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu” (QS. Al Baqarah [2]: 271).
Ayat ini menunjukkan bahwa menyembunyikan amalan shalih itu lebih utama
secara umum. Karena itu lebih dekat kepada keikhlasan (Sumber:
https://muslim.or.id/40693-kaidah-menampakkan-dan-menyembunyikan-amalan
-sunnah.html
)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
» ‫«ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب اْلَع ْبَد الَّتِقَّى اْلَغ ِنَّى اْلَخ ِفَّى‬
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu
merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.” HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad
bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.

Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang
lain.
 Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Jadilah orang yang suka
mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah
suka dengan popularitas.”
 Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata,
“Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan
amalan kejelekanmu.”
 Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang
alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja
yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan
manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”
Sumber:
https://rumaysho.com/656-tanda-ikhlas-berusaha-menyembunyikan-amalan.htm
l
 Namun, amalan-amalan apa saja yang mesti disembunyikan? Apakah
semua amalan harus disembunyikan?
Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah
sunnah dan shalat sunnah-, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi.
Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan
dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang wajib dan shalat lima
waktu-, lebih utama dengan ditampakkan. (Syarh Shahih Muslim, An Nawawi,
3/481, Mawqi’ Al Islam)
Namun kadang amalan saleh juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah,
misalnya agar memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin memberikan
pengajaran kepada orang lain.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
“Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih
baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”
(Sumber
https://rumaysho.com/656-tanda-ikhlas-berusaha-menyembunyikan-amalan.htm
l
)
Dengan kata lain, ibadah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi adalah bagian
dari karakteristik orang mukmin yang sejati.
 Tidak Beramal Karena Takut Riya’
Modul Oleh: Munayya Zafirota

 Larangan Menyebarkan Berita yang


18 Belum Jelas Kebenarannya
Oleh: Achmad Ilham Akbar
Meninggalkan Amal Karena Takut Riya’
Sebelum membahas tentang meninggalkan amal karena takut riya’, hendaknya
dipahami terdahulu mengenai klasifikasi atau pembagian suatu amal itu sendiri.

 Dari segi Usul Fikih; Amalan sunnah, wajib, mubah, makruh, haram

 Dari segi lain;


1. Perintah (amalan yang berupa perintah langsung dari Allah), seperti sholat,
puasa, sedekah. Berupa amalan wajib & sunnah.
2. Hal yang dibolehkan (amalan yang Allah bolehkan secara umum), seperti hal
duniawi yang berhubungan dengan hidup (makan, minum). Berupa amalan
mubah
3. Larangan (amalan yang diharamkan oleh Allah). Berupa amalan makruh &
haram.
Dari ketiga hal tersebut, amalan yang berhubungan dengan
kehidupan manusia secara umum (hal yang dibolehkan), jika
diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, memerhatikan
batasan-batasan, tidak berlebihan, juga mengikuti sunnah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta memurnikan niat
ikhlas karena Allah, maka ia akan mendapatkan pahala
 Hukum Meninggalkan Amalan Karena Takut Riya’
Ketika seseorang meninggalkan amalan karena takut riya, karena manusia, maka
itu adalah riya’. (Modul 18, hlm. 4)

Sebagaimana Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah berkata:

»‫ َو اِإْل ْخ اَل ُص َأْن ُيَع اِفْيَك ُهّٰللا ِم ْنُهَم ا‬، ‫ َو اْلَع َم ُل َأِلْج ِل الَّناِس ِش ْر ٌك‬، ‫«َتْر ُك اْلَع َم ِل َأِلْج ِل الَّناِس ِر َياٌء‬

“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena


manusia termasuk syirik. Dan ikhlas adalah (amal yang) Allah menyelamatkan
engkau dari keduanya (riya' dan syirik)."” (Majmu’atul Fatawa, Ibnu Taimiyah, 23:
174)
 Maksud dari perkataan tersebut adalah beramal karena manusia termasuk
syirik. Berdasarkan dalil Alquran & Assunnah yang menunjukkan kewajiban ikhlas
karena Allah dalam ibadah dan diharamkannya riya’. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam telah menyebutkan riya’ adalah syirik kecil & perbuatan ini yang
dikhawatirkan terjerumus pada umatnya.

 Adapun meninggalkan amalan karena manusia itu riya’, maka itu tidak secara
mutlak. Ada perincian dan tergantung pada niat. Karena Nabi ‫ ﷺ‬bersabda,
“Setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan.” Jadi niat ini yang jadi patokan, ditambah amalan tersebut harus
bersesuaian dengan tuntunnan Nabi ‫ﷺ‬. Ini berlaku pada setiap amal. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beramal tanpa tuntunan
dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
 Sebagaimana pembagian amalan sebelumnya. Jika seseorang meninggal-
kan amalan yang tidak wajib karena menyangka bahwa hal itu dapat
membahayakan dirinya, maka tidak termasuk riya’. Ini termasuk strategi dalam
beramal.

 Begitu pula jika seseorang meninggalkan amalan sunnah di hadapan manusia


karena khawatir dipuji yang dapat membahayakan diri atau memudaratkannya,
maka ini bukanlah riya’.

 Adapun amalan wajib tidak boleh ditinggalkan karena takut dipuji


manusia kecuali jika ada udzur syar’i.

(Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 1: 768-769).


 Solusi & Himbauan
Setan akan terus menjerumuskan hamba-Nya ke dalam kesesatan. Ketika ia tak
bisa menjatuhkan seseorang pada keburukan, yaitu riya’. Maka ia akan memilih
rute lain, yaitu meyakinkan seseorang bahwa ia terjatuh pada riya’, sehingga karena
takut itu, seseorang meninggalkan amalannya sama sekali. Sehingga sebagian
ulama mengatakan, inilah “tipuan” setan untuk menjauhkan seseorang melakukan
amalan-amalan kebaikan.

Rasa takut pada riya ini sangat bagus & mulia. Orang ikhlas harus takut pada riya’.
Akan tetapi jangan sampai rasa takut ini menguasai diri, hingga berlebihan &
menjauhinya. Atau bahkan meninggalkan amalan itu sendiri. (Modul 18, hlm. 3).
Larangan Menyebarkan Berita
yang Belum Jelas Kebenarannya
Seiring berkembangnya zaman, berkembangnya teknologi, arus informasi
bisa diakses dengan mudah dan cepat. Hal ini tentu memberi dampak yang
berlawanan: positif dan negatif. Dinilai positif karena kita dapat dengan
mudah mendapat info dari segala penjuru dunia, kapanpun itu. Sedangkan
dampak negatifnya adalah penyebaran berita yang tak dapat dipastikan
kebenarannya karena terlalu cepatnya suatu info menyebar. Hal ini bisa
merembet sampau pada berbagai kerusakan seperti kekacauan, fitnah,
provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah tengah masyarakat akibat
cepatnya penyebaran informasi. (Hukum Menyebar Berita Hoax dalam Islam -
DalamIslam.com. diakses pada 25 September 2023, 10.29 AM)
‫‪ Dalil Larangan Menyebarkan Berita Belum Jelas Kebenarannya‬‬
‫‪Allah berfirman:‬‬

‫ﵟِإَّن ٱَّلِذ يَن َج ٓاُء و‌ِبٱِإۡل ۡف ِك ُع ۡص َب‪ٞ‬ة ِّم نُك ۚۡم اَل َتۡح َس ُبوُه َش ّٗر ا َّلُك ۖم َبۡل ُهَو َخ ۡي ‪ٞ‬ر َّلُك ۚۡم ِلُك ِّل ٱۡم ِر ٖٕي ِّم ۡن ُهم َّم ا ٱۡك َتَسَب‬
‫ِم َن ٱِإۡل ۡث ِۚم َو ٱَّل ِذ ي َت َو َّلٰى ِكۡب َر ۥُه ِم ۡن ُهۡم َل ۥُه َع َذ اٌب َع ِظ ي‪ٞ‬م ‪َّ ١١‬ل ۡو ٓاَل ِإۡذ َس ِم ۡع ُتُم وُه َظَّن ٱۡل ُم ۡؤ ِم ُن وَن َو ٱۡل ُم ۡؤ ِم َٰن ُت ِبَأنُفِس ِهۡم‬
‫َٰٓل‬
‫َخ ۡي ٗر ا َو َق اُلوْا َٰه َذ ٓا ِإۡف ‪ٞ‬ك ُّم ِبي‪ٞ‬ن ‪َّ ١٢‬ل ۡو اَل َج ٓاُء و َع َلۡي ِه ِبَأۡر َبَع ِة ُش َهَد ٓاَۚء َف ِإۡذ َلۡم َي ۡأ ُتوْا ِبٱلُّش َهَد ٓاِء َفُأْو ِئ َك ِع نَد ٱِهَّلل ُهُم‬
‫ٱۡل َٰك ِذ ُبوَن ‪َ ١٣‬و َل ۡو اَل َفۡض ُل ٱِهَّلل َع َلۡي ُك ۡم َو َر ۡح َم ُت ۥُه ِفي ٱل;ُّد ۡن َيا َو ٱٓأۡلِخ َر ِة َلَم َّس ُك ۡم ِفي َم ٓا َأَفۡض ُتۡم ِفيِه َع َذ اٌب َع ِظ يٌم‬
‫‪١٤‬ﵞ‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi
kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil
bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
(11) Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin
dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa
tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata".(12) Mengapa mereka
(yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?
Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi
Allah orang-orang yang dusta.(13) Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-
Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang
besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.(14)” (QS. An-Nur [24]:
11-14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan tentang balasan
bagi pendusta dalam Islam,
» ‫«َك َفى ِباْلَم ْر ِء َك ِذ ًبا َأْن ُيَح ِّد َث ِبُك ِّل َم ا َسِمَع‬
“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua
yang didengar.” (HR. Muslim no. 7)(Syamsuddin As-Sakhowi, 1426)
Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang mencari ketenangan dalam islam,
» ‫ َو اْلَعَج َلُة ِم َن الَّش ْيَطاِن‬, ‫«الَّتَأِّني ِم َن ِهللا‬
“Ketenangan datangnya dari Allah, sedangkan tergesa gesa datangnya dari setan.”
(HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 10/104 dan Abu Ya’la dalam Musnad nya
3/1054)(Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali Al Baihaqi, 2003)
Dalam Qur’an, Allah juga mengimbau perihal menyebarkan berita bohong atau
belum pasti kebenarannya,

‫ﵟَٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا ِإن َج ٓاَء ُك ۡم ‌َفاِس ُۢق ‌ِبَنَبٖإ َفَتَبَّيُنٓو ْا َأن ُتِص يُبوْا َقۡو َۢم ا ِبَج َٰه َلٖة َفُتۡص ِبُحوْا َع َلٰى َم ا َفَع ۡل ُتۡم َٰن ِدِم يَن ﵞ‬
“Wahai orang orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu informasi, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpamengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(QS. Al Hujuraat [49]: 6).

» ‫ «َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َو الَيْو ِم اآلِخ ِر َفْلَيُقْل َخ ْيرًا َأْو ِلَيْص ُم ْت‬: ‫ َقاَل‬ ‫ َأَّن َر ُسْو َل ِهللا‬ ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
berkata yang baik atau diam.”(HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 74)
(Muhammad bin Ismail al Bukhari, 1400)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’adz,
apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa
hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-nya
yang lebih mengetahui.’ Beliau pun bersabda, ‘Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh
para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak
berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi
oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik
kepada-Nya.’ Lalu aku berkata, ’Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku
mengabarkan berita gembira ini kepada banyak orang?’ Rasulullah menjawab,
’Jangan, nanti mereka bisa bersandar.’” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)
(Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Nisaburi, 1374)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
suatu berita (ilmu) kepada Mu’adz bin Jabal, namun beliau melarang Mu’adz
bin Jabal untuk menyampaikannya kepada sahabat lain, karena beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kalau mereka salah paham terhadap
kandungan hadits ini.
Artinya, ada suatu kondisi sehingga kita hanya menyampaikan suatu berita
kepada orang tertentu saja. Dengan kata lain, terkadang ada suatu maslahat
(kebaikan) ketika menyembunyikan atau tidak menyampaikan suatu ilmu
pada waktu dan kondisi tertentu, atau tidak menyampaikan suatu ilmu
kepada orang tertentu. (Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, Al-Qaulul
Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid, 1/55)(Syaikh Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin, 2011)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
suatu berita (ilmu) kepada Mu’adz bin Jabal, namun beliau melarang Mu’adz
bin Jabal untuk menyampaikannya kepada sahabat lain, karena beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kalau mereka salah paham terhadap
kandungan hadits ini.
Artinya, ada suatu kondisi sehingga kita hanya menyampaikan suatu berita
kepada orang tertentu saja. Dengan kata lain, terkadang ada suatu maslahat
(kebaikan) ketika menyembunyikan atau tidak menyampaikan suatu ilmu
pada waktu dan kondisi tertentu, atau tidak menyampaikan suatu ilmu
kepada orang tertentu. (Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, Al-Qaulul
Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid, 1/55)(Syaikh Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin, 2011)
Mu’adz bin Jabal akhirnya menyampaikan hadits ini ketika beliau
hendak wafat karena beliau khawatir ketika beliau wafat, namun masih
ada hadits yang belum beliau sampaikan kepada manusia. Mu’adz bin
Jabal juga menyampaikan kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika itu, agar manusia tidak salah paham dengan hadits
tersebut. (al-Allaamah Saalih al-Fauzan, i'anatul-mustafid bi sharh kitab
at-tawhid, 1/50).(Sholih Al Fauzan bin Abdullah Fauzan, t.t.)
Seseorang itu tidak layak menjadi contoh teladan (panutan), sampai dia
mampu memilah dan memilih berita mana yang akan disebarkan
Mu’adz bin Jabal akhirnya menyampaikan hadits ini ketika beliau
hendak wafat karena beliau khawatir ketika beliau wafat, namun masih
ada hadits yang belum beliau sampaikan kepada manusia. Mu’adz bin
Jabal juga menyampaikan kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika itu, agar manusia tidak salah paham dengan hadits
tersebut. (al-Allaamah Saalih al-Fauzan, i'anatul-mustafid bi sharh kitab
at-tawhid, 1/50).(Sholih Al Fauzan bin Abdullah Fauzan, t.t.)
Seseorang itu tidak layak menjadi contoh teladan (panutan), sampai dia
mampu memilah dan memilih berita mana yang akan disebarkan
Ibnu Wahab rahimahullah berkata,

‫ َو اَل َيُك وُن ِإَم اًم ا َأَبًد ا َو ُهَو ُيَح ِّد ُث ِبُك ِّل َم ا َسِمَع‬، ‫ اْع َلْم َأَّنُه َلْيَس َيْس َلُم َر ُجٌل َح َّد َث ِبُك ِّل َم ا َسِمَع‬: ‫َقاَل ِلي َم اِلٌك‬
“Imam Malik berkata kepadaku, “Ketahuilah, tidak akan selamat (dari dusta)
seseorang yang menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidaklah layak
menjadi panutan (menjadi tokoh) ketika dia menceritakan semua berita yang
dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)
Perkataan Imam Malik tersebut menunjukkan bahwa jika seseorang
bermudah-mudah menyebarkan semua berita yang dia dengar atau dia
baca, dia tidak akan selamat dari dusta. Selain itu, atsar di atas
menunjukkan bahwa di antara sikap orang yang layak dijadikan sebagai
tokoh, teladan, atau pemimpin adalah ketika dia tidak menyebarkan
semua berita yang dia dengar. Namun dia mampu memilah dan memilih,
manakah berita yang valid dan layak untuk disebarluaskan, dan manakah
berita bohong yang tidak boleh disebarluaskan.
 Contoh Berita yang Belum Jelas Kebenarannya
 Zaman Dahulu
Peristiwa/ Hadits Ifki
 Zaman Sekarang
Sekarang kita berada di zaman di mana kita mudah untuk mennyebarkan suatu
link informasi, entah informasi dari status facebook teman, atau informasi
online, dan sejenisnya, terlebih jika informasi tersebut berkaitan dengan
kehormatan saudara muslim atau informasi yang menyangkut kepentingan
masyarakat secara luas. Betapa sering kita jumpai, suatu informasi yang dengan
cepat menjadi viral di media sosial, di-share oleh ribuan netizen, namun
belakangan diketahui bahwa informasi tersebut tidak benar..
 Hukuman bagi yang Sembarangan Menyebar Informasi atau Berita
Hoax
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan mimpi beliau:
“Tadi malam aku bermimpi melihat ada dua orang yang mendatangiku, lalu
mereka memegang tanganku, kemudian mengajakku keluar ke tanah lapang.
Kemudian kami melewati dua orang, yang satu berdiri di dekat kepala temannya
dengan membawa gancu dari besi. Gancu itu dimasukkan ke dalam mulutnya,
kemudian ditarik hingga robek pipinya sampai ke tengkuk. Dia tarik kembali,
lalu dia masukkan lagi ke dalam mulut dan dia tarik hingga robek pipi sisi
satunya. Kemudian bekas pipi robek tadi kembali pulih dan dirobek lagi, dan
begitu seterusnya.” (HR Al Bukhari, hadits nomor 1297)
Apabila kita sudah berusaha meneliti, namun kita belum
bisa memastikan kebenarannya, maka diam tentu lebih
selamat. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

»‫«َم ْن َص َم َت َنَج ا‬
“Barang siapa diam, dia selamat.” (HR.Tirmidzi no. 2501)
 Sikap seorang muslim yang benar
Seorang muslim yang menjadikan hadits dan atsar-atsar di atas sebagai
pegangan maka akan bersikap hati-hati dalam memilah berita online, dari
surat kabar cetak, atau dari grup whatsapp, atau dari sumber-sumber
berita yang lainnya.
Namun perlu kita pahami bahwa bisa jadi cara (metode) untuk
memastikan dan menyaring berita itu berbeda-beda tergantung pada
topik beritanya. Berita-berita terkait masalah kesehatan, pasti memiliki
indikator untuk dinilai apakah berita tersebut valid ataukah tidak.
Betapa banyak keresahan yang terjadi di masyarakat akibat penyebaran
berita kesehatan yang tidak benar, alias informasi hoaks. Demikian pula,
berita terkait dengan masalah ekonomi dan politik, tentu memiliki
indikator tertentu untuk menilai apakah suatu berita itu valid ataukah
tidak.
Kemampuan untuk menyaring berita semacam ini, tentu tidak dimiliki
oleh semua orang, bahkan ustadz sekalipun. Sehingga sikap yang terbaik
adalah tawaqquf, atau kita serahkan kepada orang yang ahli dalam bidang
tersebut untuk menilai.
.
 Referensi
Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali Al Baihaqi. (2003). As Sunan Al Kubra. Darul Kutub Al-’Alamiyyah.
Muhammad bin Ismail al Bukhari. (1400). Al Jami’ As-Shohih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi
(Vol. 1). Maktabah Salafiyyah.
Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Nisaburi. (1374). Sohih Muslim (Al Musnad As-Shohih Al Mukhtashor min As-Sunan
bi Naqli Al-’Adli ’An Rasulillah Sallallahu Alaihi Wasallam) (Vol. 1). Darul Kutub Al-’Alamiyyah.
Sholih Al Fauzan bin Abdullah Fauzan. (t.t.). I’anatul-mustafid bi sharh kitab at-tawhid (2 ed.). Daru Imam Ahmad.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. (2011). Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid. Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin.
Syamsuddin As-Sakhowi. (1426). Fathul Mughits Bi Syarhi Alfiyatil Hadits. Darul Manahij.
Referensi Tambahan
Hukum Menyebar Berita Hoax dalam Islam - DalamIslam.com.
Larangan Menyebarkan Hoax Dalam Perspektif Islam | Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (lsisi.id)
Kumpulan Ayat Al-Qur'an tentang Larangan Menyebar Hoax - Akurat - Halaman 2
Penjelasan Tentang Syayathin Umat
Modul Manusia & Jin
19 Oleh: Syuhada Hanafi
 Ayat Tentang Syayathin Umat Manusia dan Jin
Di antara ayat al-Quran yang menjelaskan tentang Syayathin umat manusia dan jin
adalah firman Allah Ta’ala:

‫ُز ۡخ ُر َف ٱۡل َقۡو ِل ُغ ُروٗر ۚا‬ ‫ۡع‬‫َب‬ ‫ٰى‬‫َل‬‫ِإ‬ ‫ۡم‬‫ُه‬ ‫ُض‬ ‫ۡع‬‫َب‬ ‫ي‬ ‫ِح‬ ‫ُيو‬ ‫ِّن‬ ‫ِج‬ ‫ﵟَو َك َٰذ ِلَك َجَع ۡل َنا ِلُك ِّل َنِبٍّي َع ُد ّٗو ا َش َٰي ِط يَن ٱِإۡل ن َو ٱۡل‬
‫ٖض‬ ‫ِس‬
‫ﵞ‬١١٢ ‫َو َلۡو َش ٓاَء َر ُّبَك َم ا َفَع ُلوُۖه َفَذۡر ُهۡم َو َم ا َيۡف َتُروَن‬
Artinya: “Dan demikianlah untuk setiap Nabi Kami jadikan musuh, yang terdiri dari
setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang
lainperkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki,
niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlahmereka bersama
(kebohongan) yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am [6]: 112)
 Penjelasan Ayat:
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah
menjadikan musuh para Nabi berupa setan-setan
manusia dan jin.
Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna
“ ‫”َش َٰي ِط يَن ٱِإۡل نِس َو ٱۡل ِج ِّن‬, Di antaranya adalah:
Pendapat Pertama:
Setan merupakan spesies yang berbeda dari jin dan manusia. (modul 19, hal: 8)
Pendapat ini sebagaimana yang dinukil juga oleh Ibnu katsir dengan jalan hadits
yang banyak, di antaranya dari Abi Umamah bahwa Rasulullah bersabda;

‫ ُقْلُت َي ا َر ُس وَل وهل لإلنس َش َياِط يَن ؟ َق اَل «َنَعْم » َش ياِط يَن اِإْل ْنِس‬: ‫َيا َأَب ا َذ ٍّر َتَع َّو ْذ َت من َش َياِط يِن اِإْل ْنِس َو اْلِج ِّن » َق اَل‬
‫َو اْلِج ِّن ُيوِح ي َبْع ُضُهْم ِإلى َبْع ٍض ُز ْخ ُرَف اْلَقْو ِل ُغ ُرورًا‬
Dan Ibnu katsir memberikan komentar bahwa dengan jalan yang banyak ini
menunjukan akan kekuatan hadits ini. (Ibnu Katsir, 1998)
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Ibnu Jarir sebagaimana yang disebutkan
oleh imam ibnu katsir. Kata beliau
‫ َفَيْلَقى َشْيَطاُن اِإْل ْنِس‬، ‫ َو ِلْلِج ِّنِّي َشْيَطاٌن‬، ‫ ِلِإْل ْنِس ِّي َشْيَطاٌن‬: ‫ِفي َقْو ِلِه ُيوِح ي َبْع ُض ُهْم ِإلى َبْع ٍض ُز ْخ ُرَف اْلَقْو ِل ُغ ُرورًا َقاَل‬
)Ibnu Katsir, 1998( ‫ ُز ْخ ُرَف اْلَقْو ِل ُغ ُروًرا‬،‫ َفُيوِح ي َبْع ُضُهْم ِإَلى َبْع ٍض‬، ‫َشْيَطاَن اْلِج ِّن‬
Pendapat Kedua:
Setan dari kalangan jin. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu
Taimiyyah. Menurut beliau jin berasal dari syetan sebagaimana manusia berasal
dari adam. (‘Alamul jinni was syayathin, 1984)

Pendapat Ketiga:
Setan merupakan sifat jahat, keji dan makna lain yang semisal. Sehingga segala
yang jahat dan keji bisa disebut setan, baik dari golongan manusia maupun jin.
(modul 19, hal: 9).
Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan;
‫الشيطان في لغة العرب يطلق على كل عاد متمرد‬
Artinya: setan dalam bahasa arab digunakan untuk menyebut setiap makhluk yang
menentang dan membangkang. (‘Alamul jinni was syayathin, 1984)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu katsir, sebagaimana perkataan beliau;
‫َفالَّص ِح يُح َم ا َتَقَّد َم ِم ْن َح ِد يِث َأِبي َذ ٍّر ‪ِ ،‬إَّن ِلِإْل ْنِس شياطين منهم‪ ،‬وشيطان كل شيء ما رده‪َ ،‬و ِلَهَذ ا َج اَء ِفي‬
‫َص ِح يِح ُم ْس ِلٍم َع ْن َأِبي َذ ٍر ‪َ ،‬أَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َق اَل «اْلَك ْلُب اَأْلْس َو ُد َش ْيَطاٌن » «‪َ »2‬و َم ْعَن اُه‬
‫َو ُهَّللا َأْع َلُم ‪َ -‬ش ْيَطاٌن ِفي اْلِكاَل ِب (‪)Ibnu Katsir, 1998‬‬

‫‪Pendapat yang Benar:‬‬


‫‪- ini adalah pendapat yang mendekati kebenaran. Sehingga karena‬هللا تعالى أعلم‪Dan -‬‬
‫‪setan itu adalah sifat maka bisa melekat pada diri manusia dan jin. Hal ini juga‬‬
‫من الجنة والناس ;‪semakna dengan surat An-naas ayat 6‬‬
 Referensi
 Transkrip modul 19. Tafsir 502. IOU
 Ismail (1998). Tafsir Al-Quran Al-Adzim. ‫دار الكتب العلمية‬, jilid 3 hal. 285-288
 Sulaiman, Umar (1984). ‘Alamul jin was syayathin. Maktabah Al-Falah, 16-18
Penjelasan Tentang Iradah (Kehendak)
Modul Allah Kauniyah & Syar’iyah
20 Oleh: Rahadian Faisal
Kehendak (Iradah) Allah ada 2 macam yaitu Iradah Kauniyyah dan Iradah
Syar’iyyah. (Philips, 2004)

Iradah Kauniyah
Iradah Kauniyyah disebut juga kehendak universal. Iradah kauniyyah meliputi
segala sesuatu yang ada dan terjadi. Segala sesuatu terjadi setelah Allah
mengizinkannya. Allah mengizinkan dan menciptakan pilihan bebas kita. Kita
dapat memilih melakukan kebaikan atau keburukan.
Hal ini tidak berarti bahwa Allah suka atau mencintai hal tersebut. Jika kita
memilih berbuat keburukan maka kita akan mempertangungjawabkannya
nanti. Kehendak universal ini mengizinkan kejahatan yang ada menjadi ada.
Sesuatu ada karena Allah mengizinkannya, sebaliknya sesuatu tidak ada karena
Allah tidak mengizinkannya. (Philips, 2004)
Allah tidak memaksa seseorang berbuat kejahatan, akan tetapi
kejahatan yang dia lakukan kembali pada pelakunya, dan akhirnya
akan dihisab. Bukan berarti Allah mencintai atau meridhoi
kejahatan, bukan berarti pula Allah ingin manusia melakukannya.
(Transkrip modul 20 halaman 2)
Iradah Syar’iyah
Jenis yang ke-2 yaitu Iradah Syar’iyyah, disebut juga sebagai kehendak
hukum. Jenis kehendak ini sesuai dengan ridha dan cinta Allah. Hal-hal
yang sesuai dengan panggilan Allah. (Philips, 2004)
Semua perintah dan larangan Allah dalam syari’at-Nya termasuk ke
dalam Iradah Syar’iyyah. Artinya Allah memerintahkan kepada kebaikan
dan melarang keburukan, hal ini termasuk kehendak hukum Allah.
Segala kebaikan pasti datangnya dari Allah, akan tetapi kemungkaran
tidak boleh disandarkan kepada Allah. (Transkrip modul 20 halaman 3)
Perbedaan Dua Iradah
Perbedaan kedua jenis kehendak Allah ini yaitu Iradah Kauniyyah
meliputi semua yang terjadi di jagad raya ini, baik berupa kebaikan
maupun keburukan, kekafiran maupun keimanan, ketaatan maupun
kemaksiatan.
Di sini lain, Iradah Syar’iyyah khusus berkaitan dengan apa saja yang
diridhai Allah yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kedua iradah tersebut terdapat dalam diri seorang muslim yang taat.
Adapun orang yang bermaksiat dan kafir hanya mengikuti iradah
kauniyyah. (Al-Qahthaniy)
 Referensi
 Transkrip modul 20. Tafsir 502. Islamic Online University
 Philips, Billal (2004). Syaithan dalam Qur’an. Islamic Online University, 221-222
 Al-Qahthaniy, Said bin Ali bin Wahf. Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. At-Tibyan, 42-45
‫َج َز اُك ُم ُهللا َخ ْيًر ا‬

Anda mungkin juga menyukai