Anda di halaman 1dari 7

Pengaruh doa terhadap

qodho dan qodar


Terdapat dalam hadis Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,
 ‫إ‬Sesungguhnya seorang hamba terhalangi dari rizkinya karena dosa yang
dilakukannya. Sesungguhnya takdir itu tidaklah berubah kecuali dengan doa.
Sesungguhnya doa dan takdir saling berusaha untuk mendahului, hingga hari
kiamat. Dan sesungguhnya perbuatan baik (kepada orang tua) itu
memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 22438, Ibnu Majah no. 22438,
dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad)
 Maka, perbuatan berdoa itu adalah bagian dari takdir, dan takdir itu pasti
terjadi. Atas kehendak Allah-lah terjadi dan tercegahnya segala sesuatu. Dia
juga yang menakdirkan dan mencegah segala sesuatu baik dengan sebab doa,
sedekah, atau amal salih. Dan Dia menjadikan perkara-perkara ini sebagai
sebab-sebab dari semua itu (rizki, panjang umur, dll), yang tidak lepas dari
ketetapan-Nya.
 Suatu takdir bisa saja diperbaiki dengan takdir lain. Takdir dan doa saling
mendahului satu sama lain. Contohnya, ketika Anda menggembala kambing
atau unta, terkadang Engkau mendapati mereka di ladang yang sangat baik.
Ini terjadi karena takdir Allah. Terkadang Engkau mendapati mereka berada di
ladang yang cukup baik dan terkadang Engkau dapati mereka di ladang yang
buruk dan tandus. Ini juga karena takdir Allah. Bahkan terkadang yang buruk
adalah perlakuanmu kepada mereka. Namun yang menjadi kewajiban bagimu
adalah berusaha memastikan bahwa hewan ternak tersebut dalam keadaan
baik serta menjauhkannya dari keburukan. Namun, semua ini terjadi atas
takdir Allah
 Hal tersebut serupa dengan apa yang dikatakan ‘Umar radiyallahu
‘anhu kepada orang-orang terkait turunnya tha’un (wabah menular) di Syam
yang merupakan wilayah kaum Muslimin. ‘Umar memerintahkan agar manusia
masuk ke rumahnya masing-masing dan melarang orang-orang masuk ke Syam
(karena sedang terjadi tha’un). Sebagian orang berkata, “Bukankah ini bentuk
lari dari takdir Allah?” ‘Umar radiyallahu ‘anhu pun berkata,

 “Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah (yang lain).”
 Maksudnya, kita tetap di Syam adalah atas takdir Allah dan kita kembali (ke
tempat asal) juga atas takdir Allah. Semuanya adalah takdir Allah. Maka, kita
(hakikatnya) berlari dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain.
 Sebagaimana Engkau berlari dari keburukan dengan bertaubat kepada Allah
‘azza wa jalla. Engkau berlari dari penyakit dengan melakukan pengobatan
menggunakan jarum, biji-bijian, atau obat yang lainnya, semuanya adalah
bentuk lari dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain.
Kemudian ‘Umar membuat permisalan kepada manusia, dia berkata,
 “Tidakkah kalian melihat ketika seseorang menggembala unta atau kambing
ke sebuah ladang yang subur, bukankah itu terjadi atas takdir Allah? Dan hal
ini wajib untuk disyukuri. Jika dia menggembala atau membawanya ke ladang
yang tandus dan gersang, atau ladang yang tidak tersedia air dan rerumputan,
maka hal ini akan merugikannya. Dan ini juga terjadi atas takdir Allah.”
 Kesimpulan, sesungguhnya ketika manusia mengikuti sesuatu yang benar, itu
adalah takdir Allah. Dan ketika dia mengikuti sesuatu yang salah, itu juga
merupakan takdir Allah. Seluruhnya terjadi karena takdir Allah. Kita berlari
dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain. Kalaupun manusia
bermaksiat, maka maksiatnya terjadi dan dia tidak bisa berdalil untuk lepas
dari hukuman yang telah Allah syariatkan. Hal itu (maksiat dan hukuman) juga
merupakan takdir Allah. Maka, tegaknya hukuman adalah karena takdir Allah.
Maksiat apa pun yang terjadi juga merupakan takdir Allah. Seseorang
memperoleh yang halal adalah takdir, memperoleh yang haram adalah takdir.
Akan tetapi, dia diperintahkan untuk memperoleh yang halal dan dilarang
untuk memperoleh yang haram, dan semuanya terjadi karena takdir Allah.
 Tidak mungkin seseorang keluar dari takdir Allah. Akan tetapi, dia
diperintahkan untuk berusaha memperbaikinya. Dia diperintahkan untuk
melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah menjadikan baginya
(manusia) akal pikiran, Allah ciptakan baginya kemampuan memilih untuk
membedakan antara yang satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, manusia
hendaknya menyalahkan dirinya jika dia tunduk kepada keburukan dan
kemaksiatan, seperti mabuk-mabukan, zina, dan selainnya.
 Hendaknya, dia (manusia) bersyukur ketika dia condong untuk berbuat taat,
berpegang teguh pada ketaatan, istiqamah dalam ketaatan, karena dia
memiliki akal, kehendak, kemampuan memilih, serta kemampuan
membedakan yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang mudharat,
yang benar dan yang salah. Demikianlah syariat dan takdir Allah subhanahu
wa ta’ala. Allah jalla wa‘ala tetapkan takdir bagi hamba-Nya dan memberi
akal kepada para hamba-Nya yang dapat mereka gunakan untuk membedakan
yang benar dengan yang salah, membedakan petunjuk dan bimbingan Allah
dengan kesesatan, dan membedakan petunjuk Allah dengan selainnya.

Anda mungkin juga menyukai