Anda di halaman 1dari 30

Sejarah PA Masa Kemerdekaan

PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA
 Pada Tahun 1945, Indonesia merdeka,
yakni pada 17 Agustus 1945 M yang
bertepatan dengan tanggal 10 Ramadhan
1364 H. Setelah Indonesia merdeka, maka
Tahun berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945,
sistem ketatanegaraan Indonesia
melanjutkan sistem ketatanegaraan
1945 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
 Bagaimana sikap politik Pemerintah RI
setelah kemerdekaan terhadap hukum
Islam?
Dalam hal ini, kita temukan pernyataan
Wakil Presiden RI pertama Bung Hatta
yang menyatakan dalam memoarnya
bahwa pada saat pencoretan 7 kata dari
Semangat Piagam Jakarta itu, 5 (lima) orang
Piagam tokoh kemerdekaan tersebut insyaf
Jakarta bahwa semangat Piagam Jakarta tidak
lenyap dan lebih lanjut Bung Hatta
menyatakan sebagaimana berikut ini
dalam memoarnya:
“Dalam Negara Indonesia yang kemudian
memakai semboyan Bhineka Tunggal Ika,
tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariah
Islam, yang hanya mengenai orang Islam,
dapat dimajukan sebagai rencana UU ke
Memoar DPR, yang setelah diterima oleh DPR
mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara
Bung Hatta begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam
Indonesia suatu sistem syariah Islam yang
teratur dalam UU, berdasarkan Qur'an dan
Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan
masyarakat Islam sekarang.”
Pada Tahun 1946, tekad politik
Pemerintah terhadap hukum
Syariah Islam ini kemudian
mulai dilaksanakan yang pada
Tahun waktu itu diawali dengan
1946 pembentukan Kementerian
Agama pada 3 Januari 1946
dengan Penetapan Pemerintah
No.l/S.D.
 Usulan pembentukan Kementerian
Agama pertama kali diajukan kepada
BP-KNIP (Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal
11 Nopember 1945 oleh K.H. Abu
Dardiri, K.H. Saleh Suaidy, dan M.
Pembentukan Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya
Kemenag merupakan anggota KNIP.
 Usulan ini mendapat dukungan dari
Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki
Mahdi, dan Kartosudarmo yang
semuanya juga merupakan anggota
KNIP.
 Dalam Negara Indonesia yang sudah
merdeka ini, masalah agama jangan
diurus secara sambil lalu saja
melainkan harus diurus secara
Dasar Pemikiran sungguh-sungguh oleh sebuah
Pembentukan Departemen yang berdiri sendiri.
Kemenag  Sejarah Departemen Agama tidak
terlepas dari kenyataan historis bangsa
Indonesia yang sedemikian besar
perhatiannya terhadap pembinaan
kehidupan beragama.
 Pembentukan Departemen Agama selain
sebagai imbalan dan penghargaan atas
sikap umat beragama, khususnya umat
Islam yang bersedia mencoret tujuh kata
dalam "Piagam Jakarta", yaitu: kata-kata
"dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
tanggal 18 Agustus 1945, juga sesuai
dengan kesadaran bangsa Indonesia yang
sedemikian besar perhatiannya terhadap
kehidupan beragama.
 Usul tersebut mendapat sambutan dan
dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir
dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa
pemungutan suara, Presiden Soekarno
memberi isyarat kepada Wakil Presiden
Dukungan Mohamad Hatta, yang kemudian
menyatakan, bahwa Adanya Kementerian
Pembentukan Agama tersendiri mendapat perhatian
Kemenag pemerintah.
 Pengumuman berdirinya Kementerian
Agama disiarkan oleh pemerintah melalui
siaran Radio Republik Indonesia. Haji
Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden
Soekarno sebagai Menteri Agama RI.
Menteri Agama, H. M. Rasyidi, waktu itu
segera menghubungi Ketua MIT, Kyai
Adnan, agar MIT mau bergabung kedalam
Kementerian Agama agar Kementerian
Agama segera eksis.
MIT Waktu itu, Kyai Adnan menyetujuinya
Bergabung Ke dengan beberapa catatan, yaitu:
1. Agar Peradilan Agama diurus dengan
Kemenag baik agar tidak terjadi kemrosotan tetapi
agar ada peningkatan;
2. Agar kewenangan Peradilan Agama yang
dahulu telah dicabut pada zaman Belanda
dipulihkan kembali.
 Pada Tahun 1946 itu juga, kemudian atas
usul Menteri Agama yang disetujui oleh
Menteri Kehakiman, Pemerintah
menyerahkan urusan Mahkamah Islam
Tinggi dari Kementerian Kehakiman
kepada Kementerian Agama melalui
Penetapan Pemerintah No. 5/S.D. tanggal
25 Maret 1946.
 Sejak saat itulah pembinaan Peradilan
Agama tidak lagi berada di bawah
Kementerian Kehakiman melainkan
berpindah di bawah Kementerian Agama.
Jadi, Kementerian Agama mengambil alih tugas-
tugas keagamaan yang semula berada pada
beberapa kementerian, yaitu:
1. Dari Kementerian Dalam Negeri, yang
berkenaan dengan masalah perkawinan,
Pengambil- peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji;
alihan Urusan 2. Dari Kementerian Kehakiman, yang
berkenaan dengan tugas dan wewenang
Keagamaan Mahkamah Islam Tinggi;
3. Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan, yang berkenaan dengan
masalah pengajaran agama di sekolah-
sekolah.
Kemudian dengan Maklumat
Pemerintah No.II tanggal 23 April
1946, Pemerintah menyerahkan
urusan tugas dan hak mengangkat
Maklumat Penghulu-Landraad, Penghulu dan
anggota serta Penghulu Masjid dan
Pemerintah para pegawainya kepada
No. II/1946 Kementerian Agama, yang
sebelumnya menjadi wewenang
Residen dan Bupati. Itulah tugas
pokok Kementerian Agama pada
awal berdirinya.
 Pada Tahun 1946, diundangkan UU No. 22 Tahun
1946 tanggal 21 November 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (UU-PNTR).
UU ini menggantikan Huwelijksordonnantie S.
1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467,
UU. 22 Tahun Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie
Buitengewesten S. 1932 No. 482 yang tidak
1946 Tentang sesuai lagi dengan keadaan pada masa itu.
PNTR  UU ini menjadi dasar pembentukan Kantor-
kantor Urusan Agama di Kecamatan.
 Keadaan ini menambah beban tugas
kepenghuluan yang memerlukan pemecahan
lebih lanjut.
Pada Tahun 1947, dilaksanakan pemisahan
tugas antara kepenghuluan dan peradilan.
Demi meningkatkan tugas-tugas bidang
kepenghuluan dan pencatatan NTR maka
atas Resolusi Konperensi Jawatan Agama
Tahun seluruh Jawa dan Madura tanggal 12 -16
November 1947, Menteri Agama
1947 mengeluarkan Penetapan No. 6 Tahun 1947
tertanggal 8 Desember 1947 yang
menetapkan bahwa formasi dari Pengadilan
Agama merupakan Instansi yang terpisah
dari Penghulu Kabupaten.
Dengan demikian terjadi pemisahan
fungsi dan tugas antara Penghulu
Kabupaten sebagai Kepala Pegawai
Pencatat Nikah dan Urusan-urusan
Pemisahan Kepenghuluan lainnya, dengan penghulu
Kepenghuluan Hakim sebagai Ketua, yakni sebagai
Qodli atau Hakim Syar'i. Seluruh ongkos
dan Peradilan operasional menjadi tanggungan negara,
Agama sedang para pegawainya mulai dibayar
dengan gaji tetap. Ongkos perkara
maupun ongkos pencatatan NTR
disetorkan ke kas negara.
Pada Tahun 1948, ada kehendak
menghapuskan Peradilan Agama
dan memasukkannya ke dalam
peradilan umum dengan
dikeluarkannya UU No. 19 Tahun
Tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan Kehakiman dan
1948 Kejaksaan. Dalam Pasal 35 ayat (2),
Pasal 75 dan Pasal 33 UU ini, secara
istimewa kewenangan Peradilan
Agama dimasukkan ke dalam
Pengadilan Umum.
 UU ini merupakan peraturan yang penting
tentang peradilan dalam masa pemerintahan RI.
Yogyakarta.
 UU ini bermaksud mengatur mengenai peradilan
dan sekaligus mencabut serta menyempurnakan
Upaya isi UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan
Penghapusan/ Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan
yang mulai beriaku pada 3 Maret 1947.
Peleburan
 Sehubungan dengan lingkungan Peradilan, maka
Peradilan Agama UU ini menetapkan tiga lingkungan Peradilan
yaitu: 1) Peradilan Umum, 2) Peradilan Tata
Usaha Negara dan 3) Peradilan Ketentaraan.
 Dari ketentuan di atas ternyata bahwa tidak ada
lingkungan tersendiri bagi Peradilan Agama.
Lalu bagaimana dengan nasib Peradilan Agama
yang pada waktu itu telah ada? Tidak ada
ketentuan yang tegas menghapuskan Peradilan
Agama. Dalam Pasal 35 ayat (2) dinyatakan
bahwa:
UU. 19/1948 “Perkara perdata antara orang Islam yang
menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan
Pasal 35 diputus menurut hukum agamanya, harus
diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri
Ayat 2 dari seorang Hakim yang beragama Islam
sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama
Islam sebagai anggota yang diangkat oleh
Presiden atas usul Menteri Agama dengan
persetujuan Menteri Kehakiman.”
Upaya peleburan PA ke
dalam PN tersebut tidak
pernah berhasil karena UU
Upaya No. 19 Tahun 1948 tersebut
Peleburan tidak pernah berlaku. Upaya
GAGAL penghapusan Peradilan Agama
ini menunjukkan masih
kuatnya pengaruh teori receptie
buatan Snouck Hurgronje.
 Pada Tahun 1950, di Indonesia berlaku
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS).
 Pada masa Konstitusi RIS, baik peradilan
Tahun federal maupun peradilan daerah, masing-
masing dilakukan oleh badan-badan

1950 pengadilan yang diadakan atau diakui


dengan atau atas kuasa UU.
 Yang dimaksud dengan pengadilan yang
'diadakan' ialah badan-badan pengadilan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah RIS.
 Sedangkan yang dimaksud dengan pengadilan
yang 'diakui' dengan atau atas kuasa UU ialah
Pengadilan Swapraja, Pengadilan Adat dan
Pengadilan Agama. Karena tidak dijumpai
adanya ketentuan lebih lanjut mengenai
Pengadilan Swapraja, Pengadilan Adat dan
Pengadilan Agama, maka berdasarkan Pasal 192
Konstitusi RIS, ketentuan-ketentuan mengenai
ketiga peradilan tersebut yang selama ini sudah
ada tetap berlaku dan diakui.
 Tegasnya dalam Konstitusi RIS, pengadilan
agama tetap diakui eksistensinya sesuai
Staatsblad. 1882 No. 152.
 Pada Tahun 1950 - 1959 berlaku UU Dasar Sementara
Tahun 1950 (UUDS 1950).
 Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUDS 1950 Juncto
Pasal 192 Konstitusi RIS yang menetapkan bahwa
peraturan-peraturan, UU dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada pada 17 Agustus 1950, tetap
berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri selama
dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh
UU dan ketentuan-ketentuan tata usaha atau kuasa UU
Dasar Sementara, maka keadaan peradilan pada saat
berlakunya UUDS pada pokoknya adalah sama dengan
di zaman RIS. Demikian pula halnya dengan Peradilan
Agama.
 Pada Tahun 1954 diundangkan UU No. 32 Tahun 1954 tanggal
2 Nopember 1954 tentang Pemberlakuan UU No. 22 Tahun
1946 di seluruh wilayah Republik Indonesia.
 Keadaan ini juga berpengaruh terhadap kondisi Peradilan
Agama yang semakin memprihatinkan karena pegawai-
pegawainya harus dibagi antara dan Kantor Urusan Agama, baik

Tahun di tingkat kabupaten maupun kecamatan. Bagi daerah Maluku,


untuk mengatasi kesukaran dalam penyelesaian perkara
perselisihan suami istri yang beragama Islam yang dahulu
1954 menjadi kekuasaan hakim-hakim syarak, maka kepala kantor
urusan agama Provinsi setempat mengadakan tindakan
sementara dengan menunjuk hakim-hakim syarak di tiap-tiap
ibukota kecamatan sebagai penyederhanaan adanya hakim-
hakim syarak yang dahulu ada di tiap tiap negeri. Hal ini terjadi
karena banyak pegawai yang direkrut untuk mengisi formasi di
Kantor Urusan Agama sehingga urusan pelayanan hukum
menjadi tidak terurus dengan baik.
 Pada Tahun 1957, mulai dijalankan politik pemulihan
kembali kewibawaan, kedudukan dan kelembagaan
Peradilan Agama.
 Keadaan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat
memprihatinkan sebagaimana telah diutarakan di atas. Hal
ini karena beberapa faktor, yaitu:
1. Belum mendapatkan perhatian yang cukup
Tahun 2. Banyak pejabat Badan Peradilan Agama yang
dipindahkan untuk mengisi formasi pada Kantor Urusan
Agama sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22 Tahun
1957 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan
nikah, talak, rujuk, sehingga seolah-olah Badan
Peradilan Agama itu terhapus;
3. Masih banyak daerah yang belum memiliki Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah. Hal ini membawa akibat
perkara-perkara yang menjadi wewenangnya tidak
mendapat perhatian atau pelayanan semestinya.
Untuk mengatasi keadaan tersebut dan juga untuk
melaksanakan Pasal 1 ayat (4) UU No. 1 Tahun 1951,
maka untuk daerah luar Jawa dan Madura diadakan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang mengatur
pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah
untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura serta
Kalimantan Selatan. PP No. 45 Tahun 1957 isinya sama
dengan PP No. 29 Tahun 1957, sehingga oleh karena itu
PP No. 29 Tahun 1957 itu dicabut oleh PP No. 45 Tahun
1957 ini. PP No. 45 Tahun 1957 ini tidak berlaku untuk
daerah Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan
Timur karena daerah ini termasuk dalam daerah hukum
dari Pengadilan Kadi yang sudah diatur dengan Ordonansi
yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1937 No. 638 dan
639. Pada Tahun 1959 mulai dibentuk kantor-kantor
cabang baru di Jawa dan Madura dan Pengandilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah baru untuk daerah-daerah di
luar Jawa dan Madura.
Pada Tahun 1964 diundangkan UU NO. 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Pada Pasal 7 UU tersebut terdapat
beberapa pengaturan mengenai Peradilan Agama
sebagai berikut:
1. Peradilan Agama diakui sebagai salah satu
Tahun pelaksana kekuasaan kehakiman yang
berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan
fungsi hukum sebagai pengayoman dalam sistem
1964 Peradilan Agama Dalam Sistem Kotatanegaraan
Indonesia peradilan nasional;
2. Peradilan Agama ditempatkan dalam lingkungan
peradilan tersendiri, yaitu lingkungan Peradilan
Agama dan masuk sebagai subsistem dalam sistem
kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berpuncak
pada Mahkamah Agung;
3. Ditempatkannya Mahkamah Agung sebagai puncak
peradilan bagi semua pengadilan (termasuk pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama) dalam bidang teknis
peradilan;
4. Sebagai pengadilan perdata, maka harus tetap membuka
kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara secara
perdamaian di luar pengadilan;
5. Semua pengadilan dari empat lingkungan peradilan secara
organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah
Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan
Departemen-departemen di lingkungan Angkatan
Bersenjata.
Dengan demikian maka pada masa itu pengakuan adanya
Peradilan Agama sebagai simbol syariah dan upaya
membangun kewibawaan dan kedudukannya mulai
dilaksanakan.
1) Kekuasaan Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan
yang menjalankan fungsi hukum sebagai pengayoman,
dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
Isi Pasal 7 d. Peradilan Tata Usaha Negara.
2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung,
UU. No. 19 yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua
Tahun 1964 lingkungan peradilan.
3) Peradilan-peradilan tersebut dalam ayat (1) di atas teknis
ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi
organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah
kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama
dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan
Bersenjata.
Rekomendasi  Perkaya materi ini dengan bahan bacaan yang relevan

Anda mungkin juga menyukai