Pertemuan 7 - Sejarah PA Masa Kemerdekaan
Pertemuan 7 - Sejarah PA Masa Kemerdekaan
PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA
Pada Tahun 1945, Indonesia merdeka,
yakni pada 17 Agustus 1945 M yang
bertepatan dengan tanggal 10 Ramadhan
1364 H. Setelah Indonesia merdeka, maka
Tahun berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945,
sistem ketatanegaraan Indonesia
melanjutkan sistem ketatanegaraan
1945 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Bagaimana sikap politik Pemerintah RI
setelah kemerdekaan terhadap hukum
Islam?
Dalam hal ini, kita temukan pernyataan
Wakil Presiden RI pertama Bung Hatta
yang menyatakan dalam memoarnya
bahwa pada saat pencoretan 7 kata dari
Semangat Piagam Jakarta itu, 5 (lima) orang
Piagam tokoh kemerdekaan tersebut insyaf
Jakarta bahwa semangat Piagam Jakarta tidak
lenyap dan lebih lanjut Bung Hatta
menyatakan sebagaimana berikut ini
dalam memoarnya:
“Dalam Negara Indonesia yang kemudian
memakai semboyan Bhineka Tunggal Ika,
tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariah
Islam, yang hanya mengenai orang Islam,
dapat dimajukan sebagai rencana UU ke
Memoar DPR, yang setelah diterima oleh DPR
mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara
Bung Hatta begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam
Indonesia suatu sistem syariah Islam yang
teratur dalam UU, berdasarkan Qur'an dan
Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan
masyarakat Islam sekarang.”
Pada Tahun 1946, tekad politik
Pemerintah terhadap hukum
Syariah Islam ini kemudian
mulai dilaksanakan yang pada
Tahun waktu itu diawali dengan
1946 pembentukan Kementerian
Agama pada 3 Januari 1946
dengan Penetapan Pemerintah
No.l/S.D.
Usulan pembentukan Kementerian
Agama pertama kali diajukan kepada
BP-KNIP (Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal
11 Nopember 1945 oleh K.H. Abu
Dardiri, K.H. Saleh Suaidy, dan M.
Pembentukan Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya
Kemenag merupakan anggota KNIP.
Usulan ini mendapat dukungan dari
Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki
Mahdi, dan Kartosudarmo yang
semuanya juga merupakan anggota
KNIP.
Dalam Negara Indonesia yang sudah
merdeka ini, masalah agama jangan
diurus secara sambil lalu saja
melainkan harus diurus secara
Dasar Pemikiran sungguh-sungguh oleh sebuah
Pembentukan Departemen yang berdiri sendiri.
Kemenag Sejarah Departemen Agama tidak
terlepas dari kenyataan historis bangsa
Indonesia yang sedemikian besar
perhatiannya terhadap pembinaan
kehidupan beragama.
Pembentukan Departemen Agama selain
sebagai imbalan dan penghargaan atas
sikap umat beragama, khususnya umat
Islam yang bersedia mencoret tujuh kata
dalam "Piagam Jakarta", yaitu: kata-kata
"dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
tanggal 18 Agustus 1945, juga sesuai
dengan kesadaran bangsa Indonesia yang
sedemikian besar perhatiannya terhadap
kehidupan beragama.
Usul tersebut mendapat sambutan dan
dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir
dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa
pemungutan suara, Presiden Soekarno
memberi isyarat kepada Wakil Presiden
Dukungan Mohamad Hatta, yang kemudian
menyatakan, bahwa Adanya Kementerian
Pembentukan Agama tersendiri mendapat perhatian
Kemenag pemerintah.
Pengumuman berdirinya Kementerian
Agama disiarkan oleh pemerintah melalui
siaran Radio Republik Indonesia. Haji
Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden
Soekarno sebagai Menteri Agama RI.
Menteri Agama, H. M. Rasyidi, waktu itu
segera menghubungi Ketua MIT, Kyai
Adnan, agar MIT mau bergabung kedalam
Kementerian Agama agar Kementerian
Agama segera eksis.
MIT Waktu itu, Kyai Adnan menyetujuinya
Bergabung Ke dengan beberapa catatan, yaitu:
1. Agar Peradilan Agama diurus dengan
Kemenag baik agar tidak terjadi kemrosotan tetapi
agar ada peningkatan;
2. Agar kewenangan Peradilan Agama yang
dahulu telah dicabut pada zaman Belanda
dipulihkan kembali.
Pada Tahun 1946 itu juga, kemudian atas
usul Menteri Agama yang disetujui oleh
Menteri Kehakiman, Pemerintah
menyerahkan urusan Mahkamah Islam
Tinggi dari Kementerian Kehakiman
kepada Kementerian Agama melalui
Penetapan Pemerintah No. 5/S.D. tanggal
25 Maret 1946.
Sejak saat itulah pembinaan Peradilan
Agama tidak lagi berada di bawah
Kementerian Kehakiman melainkan
berpindah di bawah Kementerian Agama.
Jadi, Kementerian Agama mengambil alih tugas-
tugas keagamaan yang semula berada pada
beberapa kementerian, yaitu:
1. Dari Kementerian Dalam Negeri, yang
berkenaan dengan masalah perkawinan,
Pengambil- peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji;
alihan Urusan 2. Dari Kementerian Kehakiman, yang
berkenaan dengan tugas dan wewenang
Keagamaan Mahkamah Islam Tinggi;
3. Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan, yang berkenaan dengan
masalah pengajaran agama di sekolah-
sekolah.
Kemudian dengan Maklumat
Pemerintah No.II tanggal 23 April
1946, Pemerintah menyerahkan
urusan tugas dan hak mengangkat
Maklumat Penghulu-Landraad, Penghulu dan
anggota serta Penghulu Masjid dan
Pemerintah para pegawainya kepada
No. II/1946 Kementerian Agama, yang
sebelumnya menjadi wewenang
Residen dan Bupati. Itulah tugas
pokok Kementerian Agama pada
awal berdirinya.
Pada Tahun 1946, diundangkan UU No. 22 Tahun
1946 tanggal 21 November 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (UU-PNTR).
UU ini menggantikan Huwelijksordonnantie S.
1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467,
UU. 22 Tahun Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie
Buitengewesten S. 1932 No. 482 yang tidak
1946 Tentang sesuai lagi dengan keadaan pada masa itu.
PNTR UU ini menjadi dasar pembentukan Kantor-
kantor Urusan Agama di Kecamatan.
Keadaan ini menambah beban tugas
kepenghuluan yang memerlukan pemecahan
lebih lanjut.
Pada Tahun 1947, dilaksanakan pemisahan
tugas antara kepenghuluan dan peradilan.
Demi meningkatkan tugas-tugas bidang
kepenghuluan dan pencatatan NTR maka
atas Resolusi Konperensi Jawatan Agama
Tahun seluruh Jawa dan Madura tanggal 12 -16
November 1947, Menteri Agama
1947 mengeluarkan Penetapan No. 6 Tahun 1947
tertanggal 8 Desember 1947 yang
menetapkan bahwa formasi dari Pengadilan
Agama merupakan Instansi yang terpisah
dari Penghulu Kabupaten.
Dengan demikian terjadi pemisahan
fungsi dan tugas antara Penghulu
Kabupaten sebagai Kepala Pegawai
Pencatat Nikah dan Urusan-urusan
Pemisahan Kepenghuluan lainnya, dengan penghulu
Kepenghuluan Hakim sebagai Ketua, yakni sebagai
Qodli atau Hakim Syar'i. Seluruh ongkos
dan Peradilan operasional menjadi tanggungan negara,
Agama sedang para pegawainya mulai dibayar
dengan gaji tetap. Ongkos perkara
maupun ongkos pencatatan NTR
disetorkan ke kas negara.
Pada Tahun 1948, ada kehendak
menghapuskan Peradilan Agama
dan memasukkannya ke dalam
peradilan umum dengan
dikeluarkannya UU No. 19 Tahun
Tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan Kehakiman dan
1948 Kejaksaan. Dalam Pasal 35 ayat (2),
Pasal 75 dan Pasal 33 UU ini, secara
istimewa kewenangan Peradilan
Agama dimasukkan ke dalam
Pengadilan Umum.
UU ini merupakan peraturan yang penting
tentang peradilan dalam masa pemerintahan RI.
Yogyakarta.
UU ini bermaksud mengatur mengenai peradilan
dan sekaligus mencabut serta menyempurnakan
Upaya isi UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan
Penghapusan/ Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan
yang mulai beriaku pada 3 Maret 1947.
Peleburan
Sehubungan dengan lingkungan Peradilan, maka
Peradilan Agama UU ini menetapkan tiga lingkungan Peradilan
yaitu: 1) Peradilan Umum, 2) Peradilan Tata
Usaha Negara dan 3) Peradilan Ketentaraan.
Dari ketentuan di atas ternyata bahwa tidak ada
lingkungan tersendiri bagi Peradilan Agama.
Lalu bagaimana dengan nasib Peradilan Agama
yang pada waktu itu telah ada? Tidak ada
ketentuan yang tegas menghapuskan Peradilan
Agama. Dalam Pasal 35 ayat (2) dinyatakan
bahwa:
UU. 19/1948 “Perkara perdata antara orang Islam yang
menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan
Pasal 35 diputus menurut hukum agamanya, harus
diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri
Ayat 2 dari seorang Hakim yang beragama Islam
sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama
Islam sebagai anggota yang diangkat oleh
Presiden atas usul Menteri Agama dengan
persetujuan Menteri Kehakiman.”
Upaya peleburan PA ke
dalam PN tersebut tidak
pernah berhasil karena UU
Upaya No. 19 Tahun 1948 tersebut
Peleburan tidak pernah berlaku. Upaya
GAGAL penghapusan Peradilan Agama
ini menunjukkan masih
kuatnya pengaruh teori receptie
buatan Snouck Hurgronje.
Pada Tahun 1950, di Indonesia berlaku
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS).
Pada masa Konstitusi RIS, baik peradilan
Tahun federal maupun peradilan daerah, masing-
masing dilakukan oleh badan-badan