Anda di halaman 1dari 27

Sejarah PA Masa Kolonial

PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA
Kedatangan belanda ke Nusantara
ditandai dengan datangnya Verenigde
Oest Indicshe Compagnie (VOC) di
bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal
Peradilan Van Imhoff pada Tahun 1602. Meski
Agama Masa awalnya tujuan VOC adalah sekedar
Kolonial berdagang, namun seiring dengan
perjalanan waktu, VOC kemudian
Belanda menjajah Nusantara dengan membawa
segala pengaruhnya termasuk di bidang
hukum dan peradilan.
Pada masa penjajahan Belanda terdapat lima
buah tatanan peradilan, yaitu:
1. Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh
daerah Hindia-Belanda. Peradilan ini
merupakan peradilan Pemerintah Hindia
Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu,
5 Sistem yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda
Peradilan Masa dan berlaku untuk semua golongan penduduk
2. Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan
Kolonial Madura, yaitu di Keresidenan Aceh, Tapanuli,
Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu,
Belanda Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan
dan Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku,
dan di pulau Lombok dan Keresidenan Bali
dan Lombok.
3. Peradilan Swapraja, tersebar hampir di
seluruh daerah swapraja, kecuali di
Pakualaman dan Pontianak.
4. Peradilan Agama, tersebar di daerah-
daerah tempat berkedudukan Peradilan
Gubernemen, di daerah-daerah dan menjadi
bagian dari Peradilan Pribumi, atau di
daerah-daerah swapraja dan menjadi bagian
dari Peradilan Swapraja.
5. Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah
tempat berkedudukan Peradilan
Gubernemen. Disamping itu, ada juga
Peradilan Desa yang merupakan bagian dari
Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.
Adanya lima bentuk peradilan ini,
menunjukkan bahwa sebaran dan
intensitas penjajahan Belanda di
Campur Tangan berbagai kepulauan nusantara
Kolonial Belanda berbeda-beda. Oleh karena itu,
Terhadap tingkat campur tangan pemerintah
Peradilan Agama kolonial terhadap Peradilan
Agama Di Indonesia dilakukan
dalam masa dan intensitas yang
berbeda pula.
Sejak tahun 1830, di Jawa dan Madura, oleh
Gubernemen Belanda pengadilan agama
ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan
Peradilan kolonial, yaitu landraad. Hanya landraad
yang berkuasa untuk memerintahkan
Agama dalam pelaksanaan bagi keputusan pengadilan
Pengawasan agama dalam bentuk executoire verklaring.
Landraad Begitu pula pengadilan agama tidak
berwenang untuk menyita uang; dan
merupakan satu-satunya pengadilan dalam
bidang hukum perseorangan.
Pada mulanya pemerintah Belanda
tidak mau mencampuri organisasi
pengadilan agama. Tetapi pada
tahun 1882 dikeluarkan penetapan
Raja Belanda yang dimuat dalam
Staatsblad 1882 Staatsblad 1882 Nomor 152, yang
Nomor 152 mengatur bahwa Peradilan Agama
Di Indonesia di Jawa dan Madura
dilaksanakan di pengadilan
agama, yang dinamakan
Priesterraad atau Majelis Pendeta.
Menurut Notosusanto penamaan
Priesterraad (Majelis Pendeta)
sebenarnya keliru, karena dalam
agama Islam tidak dikenal
Peradilan pranata kependetaan atau padri.
Agama Sebagai Kekeliruan itu dikecam oleh
Snouck Hurgronje yang
Priesterraad
menyatakan bahwa hal itu
sebagai akibat kedangkalan
pengetahuan pemerintah.
Dengan adanya ketetapan
tersebut terdapat perubahan
yang cukup penting, yaitu:
Pengaruh (1) Reorganisasi ini pada
dasarnya membentuk
Staatsblad 1882
pengadilan agama yang baru
Nomor 152 disamping landraad dengan
terhadap PA wilayah hukum yang sama,
yaitu rata-rata seluas wilayah
kabupaten.
(2) Pengadilan itu menetapkan
perkara-perkara yang dipandang
masuk dalam lingkungan
kekuasaannya. Menurut
Notosusanto perkara-perkara itu
umumnya meliputi: pernikahan,
segala jenis perceraian, mahar,
nafkah, keabsahan anak,
perwalian, kewarisan, hibah,
wakaf, shadaqah, dan baitul mal,
yang semuanya erat dengan agama
Islam.
Pengadilan agama tidak
mempunyai daya paksa. Oleh
karena itu apabila salah satu
pihak yang berperkara tidak mau
tunduk atas keputusan tersebut,
maka keputusan itu baru dapat
dijalankan dengan terlebih
dahulu diberi kekuatan oleh
Ketua landraad (sekarang:
Pengadilan Negeri).
Seringkali Ketua landraad tidak
bersedia memberi kekuatan atas
keputusan pengadilan agama; atau
membuat keputusan baru yang
berlainan dengan keputusan
pengadilan agama. Pangkal terjadinya
pertentangan itu adalah sumber
hukum yang digunakan oleh kedua
pengadilan itu. Pengadilan agama
mendasarkan keputusannya kepada
hukum Islam, sedangkan landraad
mendasarkan keputusannya kepada
hukum Adat.
Timbulnya kecaman dan terjadinya konflik
hukum mendorong adanya peninjauan
kembali terhadap Priesterraad (dalam bahasa
Indonesia: Raad Agama) dengan
pembentukan komisi untuk keperluan
tersebut. Berdasarkan pertimbangan komisi
Peninjauan itu, pemerintah menarik kesimpulan sebagai
berikut:
Terhadap 1. Hanya perkara-perkara yang oleh rakyat
Priesterraad dianggap demikian erat hubungannya
dengan agama Islam yang harus diperiksa
dan diputus oleh hakim agama, dan
perkara-perkara tersebut yaitu keabsahan
perkawinan, segala jenis perceraian,
mahar, dan keperluan isteri yang wajib
disediakan oleh suami;
2. Pengadilan agama yang terdiri atas ketua
dan para anggota yang mempunyai hak
suara, selanjutnya harus terdiri atas
seorang hakim saja yang memberikan
keputusan sendiri. Hal itu dipandang
sesuai dengan kekuasaan qadhi;
3. Untuk menghindarkan hal-hal yang
kurang adil dan untuk meningkatkan
derajat pengadilan agama, maka para
hakim harus mendapat gaji tetap dari
perbendaharaan negara;
4. Harus diadakan sebuah majelis
pengadilan banding (appel) untuk
menerima, jika perlu, memperbaiki
keputusan hakim-hakim agama.
Perubahan itu memiliki arti penting
terhadap perkembangan Peradilan
Agama Di Indonesia pada masa
berikutnya. Di satu pihak adanya
kemauan politik untuk
menempatkan Peradilan Agama Di
Indonesia dalam tata peradilan yang
diakui dan diatur secara sah,
berjenjang, dan pemberian gaji bagi
para hakim; namun di pihak lain
penyelenggara Peradilan Agama Di
Indonesia, yaitu pengadilan agama,
kekuasaannya dikurangi.
Hal itu berupa pengalihan wewenang
pengadilan agama menjadi wewenang
landraad khususnya yang berkenaan dengan
perselisihan harta benda yang mencakup
perkara kewarisan dan perwakafan.
Perubahan itu mencerminkan konflik hukum
yang ditentukan oleh keputusan politik yang
berupa pengalokasian kewenangan badan
peradilan. Dalam hal ini, Pengadilan Agama
memiliki kewenangan melaksanakan hukum
Islam, sedangkan landraad memiliki
kewenangan untuk melaksanakan hukum
Adat.
Keputusan politik itu diwujudkan dalam
bentuk perubahan dan tambahan
Staatsblad 1882 Nomor 152 dengan
Staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610,
mulai tanggal 1 April 1937. Dalam
Mahkamah Staatsblad Nomor 116 ditentukan
Islam Tinggi kewenangan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama Di
(MIT). Indonesia. Sedangkan dalam Staatsblad
Nomor 610 dibentuk suatu majelis
pengadilan tingkat banding, yaitu Hof
voor Islamietische Zaken atau
Mahkamah Islam Tinggi (MIT).
Catatan:
Tahun 1882 merupakan Tahun
dimulainya Peradilan Agama masuk
ke dalam sistem ketatanegaraan
Pemerintah Hindia Belanda melalui
Arti penting Keputusan (Konninklijk Besluit) Raja
Staatsblad 1882 Belanda (Raja Wilem III) tanggal 19
Januari 1882 No. 24 yang dimuat
No. 152 dalam Staatsblad 1882 No. 152 tanggal
21 Juni 1882 dan dengan Rapat Agama
atau Raad Agama dan terakhir disebut
dengan PA dan berlaku mulai tanggal
1 Agustus 1882.
Dengan demikian maka secara yuridis
formal PA memiliki kedudukan sebagai
Pengadilan Negara dalam sistem
ketatanegaraan Pemerintah Hindia
Belanda dan 1 Agustus 1882 merupakan
tanggal pengakuan terhadap Badan
Peradilan Agama sebagai Pengadilan
Negara dalam sistem ketetanegaraan
Hindia Belanda di Indonesia. Staatsblad
1882 No. 152 ini telah memberikan
pengaruh positf terhadap perkembangan
kedudukan Peradilan Agama dalam sistem
ketatanegaraan Pemerintah Hindia
Belanda meskipun secara realitas belum
berpengaruh secara signifikan.
Secara yuridis, Staatsblad 1882 No. 152 ini
telah mengangkat kedudukan Peradilan Agama
menjadi Lembaga Negara, mengakui eksistensi
Peradilan Agama yang telah ada selama ini;
menjadi dasar bagi kewajiban Pemerintah
membentuk Peradilan Agama pada setiap
daerah yang di tempat itu sudah ada
Landraad; Hal ini kelak menjadi dasar bagi
dibentuknya Peradilan Agama di daerah-
daerah di mana sudah ada pengadilan negeri.
Teori receptio in complexu ini terus berjalan
sampai tahun 1929 ketika politik hukum
Belanda mulai terjadi perubahan dengan
dimunculkan dan diterapkannya teori receptie.
Wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura berdasarkan ketentuan baru itu
diatur dalam Pasal 2a, yang meliputi perkara-
perkara sebagai berikut:
1. Perselisihan antara suami isteri yang
Kewenangan beragama Islam.
PA Berdasar 2. Perkara-perkara tentang:
a. nikah,
Staatsblad 1882 b. talak,
No. 152 c. rujuk
d. perceraian antara orang-orang yang
beragama Islam, yang memerlukan
perantaraan hakim agama Islam.
3. Menyelenggarakan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk
jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq
al-thalaq) telah ada.
5. Perkara mahar atau maskawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan
isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Namun demikian, perkara-perkara itu tidak
sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan
Agama. Dalam perkara-perkara tersebut
apabila terdapat tuntutan pembayaran uang
dan pemberian harta benda atau barang
tertentu, maka harus diperiksa atau diputus
oleh Landraad.
Tahun 1942-1945 merupakan masa penjajahan
Jepang di Indonesia. Pada masa penjajahan
Pemerintah bala tentara Dai Nippon
(Gunseikanbu), keadaan Peradilan Agama
tidak mengalami perubahan kecuali sedikit di
bidang urusan agama, yakni dibentuknya
Peradilan Agama SHUMUBU sebagai Kantor Agama Pusat yang
Di Indonesia: fungsinya mirip dengan Kantoor voor
Islamietische Zaken, dan SHUMUKA sebagai
Masa Kolonial Kantor Agama Karesidenan, dengan
Jepang menempatkan tokoh-tokoh pergerakan Islam
sebagai pemimpin kantor itu. Kebijakan Jepang
ini bertujuan untuk menarik simpati umat
Islam agar membantu "cita-cita Kemakmuran
Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon."
Pada Tahun 1942, tepatnya pada 29 April 1942,
Pemerintah Bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU
No. 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Dai
Nippon. Di dalam Pasal 1 disebutkan bahwa di tanah
Jawa dan Madura telah diadakan "Gunsei Hooin", yakni
Pengadilan Pemerintah Balatentara. Pasal 3 UU ini
menyebutkan bahwa buat sementara waktu "Gunsei
Hooin" (Pengadilan Pemerintah Bala tentara) terdiri atas:
1. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri),
2. Keizai Hooin (Hakim Polisi),
3. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten),
4. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan),
5. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam tinggi),
6. Sooryo Hooin (Rapat Agama).
Pada masa akhir pendudukan Jepang di bulan Januari
1945, kedudukan Peradilan Agama pernah terancam
tatkala Pemerintah Bala tentara Jepang (Guiseikanbu)
mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan
Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) Jepang dalam
rangka persiapan Jepang bermaksud akan memberikan
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yaitu:
bagaimana sikap Dewan ini terhadap susunan penghulu
dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya
dengan kedudukan agama dalam Negara Indonesia
Merdeka kelak? Pada 14 April 1945, Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) memberikan jawaban
sebagai berikut:
Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara
dengan urusan agama, maka tidak perlu mengadakan
sebagai pengadilan istimewa. Untuk mengadili urusan
seseorang yang bersangkut-paut dengan agamanya
cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan
biasa yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli
agama.
Namun dengan menyerahnya
Jepang kepada sekutu maka
Indonesia pun memproklamirkan
kemerdekaannya. Dengan
proklamasi ini, maka kekuasaan
Jepang pun telah berakhir dan
pertimbangan yang diberikan
oleh DPA bikinan Jepang itu mati
sebelum lahir dan Peradilan
Agama pun tetap eksis bersama
peradilan-peradilan yang lain.
Untuk memperkaya kajian,
silahkan membaca buku, artikel,
hasil penelitian, dan lain-lain
Rekomendasi khususnya tentang sejarah
Peradilan Agama pada masa
kolonial

Anda mungkin juga menyukai