Anda di halaman 1dari 141

TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP PANDANGAN JAMAAH AHLI TARIKAT


QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH
DI KABUPATEN BREBES MENGENAI POLIGAMI



SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM
ILMU HUKUM ISLAM

OLEH
AZIM IZZUL ISLAMI
08350013

PEMBIMBING
1. DRS. MALIK IBRAHIM, M.Ag
2. DRA. HJ. ERMI SUHASTI, M.SI.

JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
ii

ABSTRAK

Poligami merupakan salah satu pembahasan dalam bidang Hukum Keluarga,
yang menurut pandangan jumhur ulama hukumnya mubah, namun tidak sedikit
ulama yang membatasi kebolehannya, bahkan melarangnya. Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Brebes sebagai salah satu bukti eksistensi tasawuf di Indonesia
menyimpan sebuah fenomena unik terkait masalah poligami, yakni fenomena
mursyid dan beberapa murid yang melakukan poligami. Fenomena ini tidak
ditemukan dalam kelompok tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di wilayah lain,
sebab umumnya pengikut tarikat berusaha menyempurnakan syariat dengan
meninggalkan perbuatan yang masih diperdebatkan hukumnya. Fenomena ini juga
bertentangan dengan doktrin tarikat yang mengajarkan salik untuk meninggalkan
kenikmatan dunia (berlaku zuhud ). Melihat fenomena ini, penyusun tertarik untuk
mengetahui bagaimana pandangan poligami menurut jamaah Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di kabupaten Brebes dan juga bagaimana tinjauan Hukum Islam
terhadap pandangan jamaah Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Kabupaten
Brebes mengenai poligami.
Penyusun menggunakan metode wawancara dalam menggali informasi
mengenai pandangan poligami menurut jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
di Brebes. Wawancara dilakukan terhadap Sembilan orang jamaah yang terdiri dari
badal mursyid, kiai ahli fiqh dan jamaah lain. Narasumber dikelompokkan ke dalam
tiga golongan, antara lain: pelaku poligami, istri yang dipoligami dan jamaah yang
tidak berpoligami.
Penyusun mendapat informasi bahwa semua informan yang terdiri dari
sembilan jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah berpendapat bahwa poligami
boleh hukumnya. Perbedaan nampak pada cara pandang jamaah dalam menafsirkan
adl dalam poligami. Sebagian responden berpendapat bahwa keadilan dalam
poligami hanya sebatas keadilan fisik saja, dan sebagian lain berpendapat bahwa
keadilan meliputi keadilan fisik dan keadilan batin (kasih sayang).
Poligami harus ditinjau dari aspek kemaslahatan yang merupakan inti dari
tujuan Hukum Islam. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, maka dapat
disimpulkan bahwa poligami menurut jamaah Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
di kabupaten Brebes tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh ulama
fiqh konvensional. Persamaan persepsi jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
di Brebes dengan ulama fiqh konvensional disebabkan doktrin normatif dari mursyid
mengingat bahwa Syaikh Abdul Qadir Jaelani sebagai guru para mursyid
menggunakan doktrin fiqh ala Mazhab Syafii dan mazhab Hanbali.

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi huruf Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 05936/U/1987.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab

Nama

Huruf Latin

Nama
















Alif
Ba
Ta
Sa
Jim
Ha
Kha
Dal
Zal
Ra
Za
Sin
Syin
Sad
Dad

Tidak dilambangkan
b
t
.
s
j
h

kh
d
.
z
r
z
s
sy
s

d


tidak dilambangkan
be
te
es (dengan titik diatas)
je
ha (dengan titik di bawah)
ka dan ha
de
zet (dengan titik di atas)
er
zet
es
es dan ye
es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di bawah)

vii














Ta



Za


ain

gain

fa
qaf
kaf
lam
mim
nun
waw
ha
hamzah
ya
t


z
.




g
f
q
k
l
m
n
w
h

y
te (dengan titik di bawah)



zet (dengan titik di bawah)


koma terbalik di atas

ge
ef
qi
ka
el
em
en
w
ha
apostrof
ye

II. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap

---
--

di tulis
ditulis

Mutaaddidah
iddah

III. Tamarbutah di akhir kata
a. Bila dimatikan ditulis h


viii


--=
-,=

ditulis
ditulis

hikmah
jizyah

b. Bila diikuti denga kata sandang al serta bacaan kedua itu terpisah, maka
ditulis h


'--V-,

ditulis
_
Karamah al-auliya

c. Bila tamarbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah
ditulis t


,=--'

ditulis

zaktul fitri

IV. Vokal Pendek

___ _
___ _
____


fathah
kasrah
dammah

ditulis
ditulis
ditulis

a
i
u

V. Vokal Panjang

1

2

3

,''= Fathah + alif

Fathah + ya mati _---

Kasrah + ya mati ,

ditulis

ditulis

ditulis

a jahiliyyah

a tansa

i karim

ix


4


Dammah + wawu mati

ditulis

u furud


VI. Vokal Rangkap

1


2


Fathah ya mati
-,-

Fathah wawu mati
,

ditulis
ditulis

ditulis
ditulis

ai
bainakum

au
qaul

VII. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof


;--
--
;-,-~ Q--

ditulis
ditulis
ditulis

aantum
uiddat
lain syakartum

VIII. Kata sandang Alif + Lam

a. bila diikuti huruf Qomariyah

,--
'---

ditulis
ditulis
_
al-Quran
_
al-Qiyas

b. Bila diikuti huruf Syamsiyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyah
yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)nya.


x


'-~-
Q-~-

ditulis
ditulis
_
as-Sama

asy-Syams

IX. Penulisan kata kata dalam rangkaian kalimat

,--

-~- J

ditulis

ditulis

Zawi al-furd

Ahl as-Sunnah



X. Pengecualian
Sistem transliterasi ini tidak berlaku pada:
a. Kosa kata Arab yang lazim dalam Bahasa Indonesia dan terdapat dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, misalnya: al-Quran, hadis, mazhab, syariat,
lafaz.
b. Judul buku yang menggunakan kata Arab, namun sudah dilatinkan oleh
penerbit, seperti judul buku al-Hijab.
c. Nama pengarang yang menggunakan nama Arab, tapi berasal dari negera
yang menggunakan huruf latin, misalnya Quraish Shihab, Ahmad Syukri
Soleh
d. Nama penerbit di Indonesia yang menggunakan kata Arab, misalnya Toko
Hidayah, Mizan.



xi

MOTTO MOTTO MOTTO MOTTO




IKHTIAR, DOA dan TAWAKKAL IKHTIAR, DOA dan TAWAKKAL IKHTIAR, DOA dan TAWAKKAL IKHTIAR, DOA dan TAWAKKAL

_~ '- V '~->- Q--
(Manusia tiada akan mendapatkan selain apa yang
telah diusahakannya)


xii

KATA PENGANTAR
Q--= -=~ - _-- Q--~,-- '---V ,~ _-- >~- >~- Q---'- = --=-
-=- _-- J~ ;)-- V --- 4-;~ --- -
'---~- ;-~ - _-- -V --- --=- _-- J~ ;)--
-- '-
Puji syukur ke hadhirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmah,
hidayah dan inayah-Nya sehingga atas ridho-Nya penyusun dapat menyelesaikan
skripsi berjudul Tinjauan hukum Islam terhadap Pandangan Jamaaah Tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah tentang Poligami. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
menyampaikan ajaran agama Islam kepada kita sebagai satu-satunya agama yang
diridhai oleh Allah SWT.
Sebagai manusia biasa, penyusun menyadari bahwa skripsi yang berjudul
Tinjauan hukum Islam terhadap Pandangan Jamaaah Tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah tentang Poligami ini masih jauh dari kesempurnaan. Harapan
penyusun semoga skripsi ini mempunyai nilai manfaat bagi seluruh pembaca.
Ucapan terima kasih juga penyusun haturkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyusun dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun
tidak langsung, secara materiil maupun moril. Oleh karena itu, penyusun
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
xiii

1. Bapak Dr. Noorhaidi Hasan, M.Phil., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Bapak Dr. Samsul Hadi, M.Ag selaku Ketua Jurusan (Kajur) al-Ahwal asy-
Syakhsiyyah.
3. Bapak Drs. Abu Bakar Abbak, M.SI selaku Penasihat Akademik.
4. Bapak Drs. Malik Ibrahim, M.Ag dan Ibu Dra. Ermi Suhasti, M.SI selaku
pembimbing I dan II yang selalu bersabar dalam membimbing dan
mengarahkan penyusun demi terselesaikannya skripsi ini.
5. Ayahanda Izzudin Amaith dan Ibunda Siti Mahmudah yang senantiasa
ngomaih saat penyusun sedang malas dan lengah, yang tak pernah bosan
menyisihkan sebagian besar penghasilannya untuk biaya pendidikan dan
hidup anak-anakmu, yang semua itu tak lain merupakan wujud kasih
sayangmu pada penyusun. Terima kasih juga untuk kakakku, mas Izzam Izzul
Islami dan adikku yang rewel, Azmi Izzul Islami.
6. Dek Khikmatul Maulla (De Iik) yang jatuh bangun bersama-sama dalam
menemani penyusun selama kuliah di Jogja. Semoga cinta kita berlanjut ke
pelaminan. Amin.
7. Teman-teman AS angkatan 2008: Zuber, Nanda, Arif, Alex, Eko, Yaumi,
Jeni, H. Opik, Rahmat, Iqbal, Surya, Adi Jegog, Putra, Rohman, Aceng,
Zulfan, Tenggo, Jupe, Khabibi, Amin Rais, Anas, Munir, Damar, Agus,
Laeli, Shirhi, Mba Anif, Mba Leli, Mba Ummi, Devi, Luluk, Latipah, Khoir,

xv

PERSEMBAHAN




Skripsi ini ku persembahkan untuk: Skripsi ini ku persembahkan untuk: Skripsi ini ku persembahkan untuk: Skripsi ini ku persembahkan untuk:
Bapak, ibu, kakak dan adikku Bapak, ibu, kakak dan adikku Bapak, ibu, kakak dan adikku Bapak, ibu, kakak dan adikku
Kekasihku Kekasihku Kekasihku Kekasihku
Kawan Kawan Kawan Kawan- -- -Kawan AS Kawan AS Kawan AS Kawan AS 08 08 08 08
Rekan Rekan Rekan Rekan- -- -Rekan PSKH UIN Su Rekan PSKH UIN Su Rekan PSKH UIN Su Rekan PSKH UIN Su- -- -Ka Ka Ka Ka
Dan Kepada Seluruh Jiwa Dan Kepada Seluruh Jiwa Dan Kepada Seluruh Jiwa Dan Kepada Seluruh Jiwa- -- -Jiwa yang Pernah Hadir dalam Hati Jiwa yang Pernah Hadir dalam Hati Jiwa yang Pernah Hadir dalam Hati Jiwa yang Pernah Hadir dalam Hati

xvi

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
ABSTRAK ii
NOTA DINAS... iii
PENGESAHAN... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN.. vi
MOTTO. xi
KATA PENGANTAR. xii
PERSEMBAHAN xv
DAFTAR ISI xvi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. 1
B. Pokok Masalah 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. 6
D. Telaah Pustaka. 7
E. Kerangka Teoritik 10
F. Metode Penelitian... 16
G. Sistematika Pembahasan. 19
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami 21
B. Dasar Hukum Poligami.. 23
C. Poligami dalam Pandangan Hukum Islam (Fiqh).......... 25
D. Poligami Perspektif Hukum Positif Indonesia.. 37
xvii

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG TARIKAT QADIRIYAH WA
NAQSABANDIYAH DI BREBES.
A. Gambaran Umum Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Kabupaten
Brebes
1. Tasawuf dan Tarikat 44
2. Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dan Sejarah Berdirinya .. 51
3. Penyebaran dan Perkembangan Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah (TQN) di Kabupaten Brebes.. 59
B. Pandangan Jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN)
terhadap Poligami.. 66
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN JAMAAH
TARIKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DI KABUPATEN
BREBES MENGENAI POLIGAMI.. 77
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 93
B. Saran.. 94
DAFTAR PUSTAKA. 95
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I Terjemahan
Lampiran II Biografi Ulama
Lampiran III Pedoman Wawancara
Lampiran IV Surat Rekomendasi Riset
Lampiran V Surat Bukti Wawancara
xviii

Lampiran VI Curriculum Vitae
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
1
Kata nikah dalam al-Quran sering kali ditulis dengan kata -
berarti berhimpun, dan kata yang berarti pasangan. Perkawinan secara
bahasa berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri
sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.
2
Khoirudin
Nasution dalam bukunya menyebutkan lima tujuan perkawinan, antara
lain: memperoleh kehidupan Sakinah, Mawaddah dan Rahmah;
Reproduksi/ Regenerasi; Pemenuhan kebutuhan biologis; Menjaga
kehormatan, dan ibadah.
3

Poligami merupakan salah satu fenomena yang ada dalam
perkawinan. Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,
dari kata poli atau polus yang artinya banyak dan gamein atau gamos yang
berarti perkawinan dan taadzudz al-zaujah dalam hukum Islam; yang

1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 1.

2
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I. (Yogyakarta: ACAdeMIa&TAZZAFA,
2005), hlm. 17.

3
Ibid., hlm. 38.
2

berarti beristeri lebih dari seorang wanita. Bila kata ini digabungkan (polus
dan gamos), maka poligami akan berarti perkawinan banyak, dan bisa jadi
dalam jumlah yang tidak terbatas. Poligami dalam Islam mempunyai arti
perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan
hanya sampai empat wanita. Ada juga yang memahami ayat tentang
poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan
isteri.
4

Poligami memang telah menjadi perbincangan dan perdebatan
yang tidak pernah ada habisnya. Sebut saja praktik poligami yang
dilakukan oleh dai kondang KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan
Syekh Pujiono atau Syekh Puji yang berpoligami dengan menikahi gadis
di bawah umur bernama Ulfa. Kedua fenomena tersebut mendapatkan
respon dan tanggapan yang bervariasi dari masyarakat.
Nabi Muhammad melakukan praktik poligami, sebelumnya ia
hanya beristri satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya meninggal
(Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Mayoritas isteri-
isteri Nabi Muhammad adalah janda yang ditinggal mati suaminya, kecuali
Aisyah (putri Abu Bakar). yang dinikahinya dengan kondisi yang masih
perawan.
Para imam Mahab menggunakan dasar ( .,'-') yang berbeda
dalam memandang masalah poligami. Para ulama konvensional tersebut


4
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiram
Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.
3

mengakui bahwa poligami boleh hukumnya, bukan dianjurkan (sunnah),
apalagi wajib (amar/perintah) seperti yang diasumsikan sebagian orang.
5

Khoirudin Nasution mencatat, bahwa ulama modernis pada
umumnya memperketat kebolehan poligami. Beberapa di antara mereka
mengharamkannya, meski di balik keharaman tersebut masih disertai
dengan kondisi yang masih memberikan kemungkinan untuk
melakukannya. Muhammad Abduh dan Ridha merupakan ulama modernis
yang mengharamkan poligami, meskipun untuk kondisi tertentu
membolehkannya. Letak perbedaan pendapat mereka dengan ulama fiqh
klasik adalah bahwa Muhammad Abduh berpendapat bahwa meskipun
Islam membolehkan poligami, namun kebolehan tersebut dituntut dengan
syarat keharusan meladeni isteri dengan adil. Adil merupakan syarat yang
sangat berat bahkan hal yang mustahil dilakukan oleh manusia sekeras
apapun upaya yang dilakukannya untuk berbuat adil, hal ini sebagaimana
Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Nisa (4): 129.
6

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara tegas menyebutkan,
dasar/prinsip perkawinan adalah monogini/monogami.
7
Poligami menjadi
sebuah pengecualian dengan syarat maksimal empat. Orang yang akan
melakukan poligami harus ada izin dari Pengadilan. Sebaliknya, tanpa izin

5
Khoirudin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA&Tazzafa,
2009), hlm. 265.
6
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiram
Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 103-104
7
Prinsip ini seperti yang tertera pada UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (1).
4

Pengadilan perkawinannya tidak mempuyai kekuatan hukum.
8
PNS
(Pegawai Negeri Sipil) yang mempunyai aturan yang terpisah dalam
pengaturan poligami. PP No. 45 Tahun 1990 menyebutkan bahwa PNS
yang akan berpoligami harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari
pejabat.
9
Wanita yang berstatus PNS tidak boleh menjadi istri kedua/ketiga
dan seterusnya.
10

Pada penelitian ini, penyusun membawa masalah poligami ke
dalam ranah tasawuf. Penyusun mencoba mencari informasi dan mencoba
memahami poligami menurut perspektif ahlu tarikat. Jamaah tarikat yang
dijadikan objek penelitian adalah jamaah tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah. Khususnya tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang
ada di Brebes. Poligami yang dilakukan oleh mursyid
11
dan jamaah
tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di kabupaten Brebes ini menjadi
motivasi bagi penyusun untuk menjadikannya sebagai objek penelitian.
Mayoritas mursyid tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Indonesia tidak
melakukan poligami, namun berbeda dengan mursyid tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Brebes. Kiai Jazuli sebagai salah satu mursyid tarikat

8
Khoirudin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. (Yogyakarta: ACAdeMIa&TAZZAFA,
2009), hlm. 266-267.
9
PP No. 45 Tahun 1990 Pasal 4 ayat (1),
10
PP No. 10 Tahun 1983 Pasal 4 ayat (2); PP No. 45 Tahun 1990, perubahan no. 2
ayat (2).
11
Mursyid merupakan seorang pemimpin dalam tarikat, status mursyid selain
sebagai pemimpin juga sebagai pembimbing spiritual bagi para jamaah tarikat.
5

Qadiriyah wa Naqsabandiyah melakukan poligami yang tidak dilakukan
oleh mursyid lain. Dampaknya, poligami yang dilakukan Kiai Jazuli
seakan menjadi sebuah doktrin (ajaran) mursyid dengan melihat beberapa
jamaah yang juga melakukan poligami.
Jika ditinjau dari aspek tasawuf, poligami bagi seorang salik
merupakan sebuah tantangan bahkan bisa menjadi sebuah larangan
mengingat tirakat atau riyadhah seorang salik dalam upaya mencapai
marifat adalah dengan meninggalkan kenikmatan (tarku an-nimah),
meninggalkan syahwat (tarku asy-syahwah) dan meninggalkan
kesenangan (tarku al-ladzah). Jika poligami dilakukan dengan alasan
pemenuhan kebutuhan biologis, maka dapat disebut salik tersebut telah
gagal dalam upaya mencapai marifat.
Fenomena poligami yang dilakukan oleh mursyid dan jamaah ini
tentunya memiliki korelasi yang sangat jelas, sebab mursyid dalam suatu
tarikat merupakan pimpinan dan guru yang paling dominan dan paling
dipatuhi petuah-petuahnya, sehingga doktrin-doktrin sang mursyid bersifat
normatif dan harus selalu dipatuhi oleh jamaah tarikat. Tarikat sendiri
artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan
ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan dikerjakan oleh sahabat
dan tabiin, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-
menyambung dan berantai-rantai.
12
Pandangan poligami menurut ahli

12
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarikat (Uraian tentang Mistik), (Jakarta:
Ramadhani, 1993), hlm.67.
6

tarikat cukup menarik perhatian, sebab poligami sebagai fenomena sosial
ketika ditinjau dari aspek tasawuf dapat menguji sejauhmana nikah
poligami dapat dilaksanakan sesuai syariat, sehingga hakikat dari
poligami dapat benar-benar dipenuhi.

B. Pokok Masalah
Latar belakang masalah di atas, menimbulkan pertanyaaan-
pertanyaan yang menjadi pokok masalah pada skripsi ini. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan
berikut:
1. Bagaimana pandangan jamaah ahl Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di kabupaten Brebes mengenai poligami?
2. Bagaimana pandangan jamaah ahl Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah tentang poligami menurut perspektif hukum Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan pandangan jamaah ahl tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah mengenai poligami.
b. Untuk menjelaskan pandangan jamaah ahl Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah tentang poligami menurut perspektif hukum Islam.


7

2. Kegunaaan Penelitian
a. Memberikan kontribusi intelektual dalam rangka turut
berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu pengetahuan seputar poligami.
b. Memberikan jawaban atas perilaku poligami bagi para pelakunya
sekaligus memberikan referensi bagi yang ingin mengetahi atau
melakukan poligami.
c. Sebagai studi komparatif (perbandingan) maupun lanjutan bagi
yang ingin mendalami masalah seputar poligami.

D. Telaah Pustaka
Telaah Pustaka merupakan bagian dalam karya ilmiah yang sangat
penting dan harus selalu ada. Telaah pustaka digunakan untuk menguji
keabsahan suatu penyusunan dan menunjukkan bahwa permasalahan yang
diteliti belum pernah diteliti oleh peneliti lain.
Diskursus tentang poligami sudah lama dan sudah sering dibahas
dan dikaji oleh banyak peneliti. Penyusun telah melakukan telaah terhadap
skripsi-skripsi dan penelitian yang membahas poligami. Skripsi-skripsi
dan penelitian yang membahas masalah poligami sudah banyak
jumlahnya, namun penyusun hanya akan menyebutkan beberapa saja.
Skripsi berjudul Pandangan Kelompok Salafi terhadap Poligami
(Studi Kasus di Pesantren Ihya al-Sunnah, Sleman, Yogyakarta) karya
Desman menjelaskan tentang poligami menurut pandangan kelompok
8

Salafi. Desman juga menganalisis faktor faktor yang melatarbelakangi
pandangan kelompok Salafi tersebut. Analisis poligami pada skripsi ini
menggunakan tinjauan dari sosiologi feminis, sehingga jelas sangat
berbeda dengan penyusunan yang dilakukan oleh penyusun, yaitu
poligami menurut jamaah tarikat dalam sudut pandang hukum Islam.
13

Sunu Budi Priyanto dalam skripsinya yang berjudul Pandangan
Aktivis Perempuan Islam Yogyakarta terhadap Poligami (Studi Kasus
Pandangan Lima Orang Aktivis Perempuan Islam di Wilayah Yogyakarta
terhadap Poligami), dia memaparkan secara jelas dan komprehensif
tentang pandangan lima aktivis perempuan Islam di Yogyakarta mengenai
poligami. Lima orang aktivis tersebut yaitu G.K.R Hemas (Ketua Tim
Penggerak PKK Prop. DIY), Hj. Masruchah (Ketua LKKNU DIY),
Ruhaini Dzuhayatin (Direktur PSW UIN Sunan kalijaga Yogyakarta), Umi
Munawiroh (Ketua Dept. Keputrian DPW PKS DIY) dan Getta
Nurmalasari (PP Nasiyatul Aisiyah). Setelah mengamati skripsi ini,
penyusun tidak menemukan analisis poligami menurut pandangan jamaah
tarikat, melainkan hanya menurut beberapa aktivis perempuan muslim
saja.
14


13
Desman, Pandangan Kelompok Salafi Terhadap poligami (Studi Kasus di
Pesantren Ihya al-Sunnah, Sleman, Yogyakarta), Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas
Ushuludin UIN Sunan kalijaga Yogyakarta, 2010.
14
Sunu Budi Priyanto, Pandangan Aktivis Perempuan Islam Yogyakarta terhadap
Poligami (Studi Kasus Pandangan Lima Orang Aktivis Perempuan Islam di Wilayah
Yogyakarta terhadap Poligami), Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2005.
9

Skripsi berjudul Pandangan Mahasiswa Fakultas Syariah UIN
Sunan kalijaga Yogyakarta terhadap Praktek Poligami di Indonesia karya
Minzahrotil Umami yang menyoroti tentang pandangan poligami dari
kaum akademisi, yaitu mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Perbedaan skripsi ini dengan penyusunan yang penyusun
lakukan adalah pada informan. Skripsi ini menjadikan pendapat
mahasiswa sebagai objek penyusunan, sedang penyusun menjadikan
jamaah tarikat sebagai narasumbernya.
15

Bambang Setiono dalam skripsi berjudul Poligami dalam
Perspektif Kyai Pondok Modern di Kabupaten Ponorogo menjelaskan
pendapat kyai bahwa poligami dibolehkan dengan batasan empat orang
isteri dengan syarat-syarat yaitu kemampuan di bidang ekonomi (nafkah)
dan kemampuan berbuat adil di antara isteri-isteri dan anak-anaknya.
Meskipun menggunakan tinjauan yang sama (hukum Islam), namun
informan pada skripsi ini adalah seorang kyai pondok modern di
Kabupaten Ponorogo, sehingga nampak jelas perbedaannya dengan
penelitian yang dilakukan oleh penyusun.
16

Skripsi berjudul Perbandingan Pandangan Enam Mufassir tentang
Poligami karya Hudaepah yang menjelaskan pendapat-pendapat mufasssir

15
Minzahrotil Umami, Pandangan Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga terhadap Praktek Poligami di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
16
Bambang Setiono, Poligami dalam Perspektif Kyai Pondok Modern di
Kabupaten Ponorogo, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2005.
10

dengan kesimpulan bahwa mayoritas mufassir memperbolehkan poligami
berdasar hadis Nabi. Selain itu, para mufassir mendasarkan konsep
keadilan berdasar An-Nis (4): 3 dan 129. Skripsi ini sama sekali tidak
menyinggung analisis hukum Islam terhadap poligami, melainkan hanya
sebatas mendeskripsikan pandangan-pandangan beberapa mufassir tentang
poligami.
17

Beberapa literatur di atas terkait permasalahan yang telah penyusun
bahas. Namun sejauh penelusuran yang dilakukan, penyusun tidak
menemukan satupun penyusunan tentang poligami dalam pandangan
Jamaah Tarikat. Oleh sebab itu penyusun mencoba meneliti bagaimana
pendapat poligami dari sudut pandang jamaah tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Brebes dan bagaimana pandangan jamaah tersebut
menurut perspektif Hukum Islam.

E. Kerangka Teoritik
Poligami merupakan salah satu dinamika dalam hukum
perkawinan. Poligami merupakan perkawinan antara seorang dengan dua
orang atau lebih (namun cenderung diartikan perkawinan satu orang suami
dengan dua orang isteri atau lebih).
18
Poligami ada dua macam, yaitu
Poligini dan Poliandri. Poligini artinya permaduan atau beristeri lebih dari

17
Hudaepah, Perbandingan Pandangan Enam Mufassir tentang Poligami, Skripsi
tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
18
Farida Hamid, Kamus ilmiah populer Lengkap (Surabaya: Apollo), hlm. 498.
11

satu.
19
Pada pemahaman masyarakat umum, pengertian poligini sering
diidentikkan dengan poligami. Padahal melihat substansinya, terlihat
perbedaan yang jelas. Jenis poligami yang kedua yaitu poliandri, artinya
perkawinan dengan lebih dari satu laki-laki.
20

Di Indonesia, poligami telah diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Undang-undang perkawinan di indonesia
menyebutkan secara tegas bahwa asas perkawinan adalah monogami,
21

namun jika ada persetujuan dari isteri maka poligami dapat dilakukan
dengan izin Pengadilan Agama.
22

Undang-Undang Perkawinan menyebutkan Pengadilan Agama
bisa memberikan izin kepada suami yang ingin berpoligami bila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
23

PNS yang akan melakukan poligami harus mendapat izin dari
pejabat,
24
dan PNS perempuan dilarang secara mutlak untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat.

19
Ibid.
20
Ibid.
21
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal (3) ayat 1.
22
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal (3) ayat 2.
23
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 4 ayat (2). Syarat
serupa juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 57.
12

Khoirudin Nasution menjelaskan bahwa perundang-undangan
perkawinan di Indonesia tentang poligami berusaha mengatur agar laki-
laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar: (1)
mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan
(sandang, pangan dan papan) keluarga (isteri-isteri dan anak-anak), serta
(2) mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Sehingga isteri-isteri dan
anak-anak dari suami poligami tidak disia-siakan. Perundang-undangan
Indonesia terlihat berusaha menghargai isteri sebagai pasangan hidup
suami. Suami yang akan berpoligami, harus lebih dahulu mendapat
persetujuan isteri. Untuk mencapai tujuan ini, semua perundang-undangan
Indonesia memberikan kepercayaan yang sangat besar kepada hakim di
Pengadilan Agama.
25

Asas perkawinan tidak ditemukan secara tegas dalam kitab-kitab
fiqh konvensional karya imam mahab seperti ;~--- karya Imam as-
Sarakhsi (w483/1090) dari Mahab Hanafi, al Muwatta karangan Imam
Malik, V karya Imam Syafii dan pendapat Ibnu Qudamah (w.620.H)
dari Mahab Hanbali. Mayoritas ulama mahab tidak melarang poligami
namun tidak pula menganjurkannya atau mewajibkannya. Kesimpulan lain
yang perlu dicatat adalah ada sejumlah nash yang berhubungan dengan
poligami yang dicatat ulama mahab, yakni:

24
PP Nomor 45 tahun 1990 Pasal 4 ayat (1).
25
Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta:
INIS, 2002), hlm. 111.
13

(1) an-Nis (4): 3,
(2) an-Nis (4): 129,
(3) al-Ahzab (33): 50 yang berbunyi:
,= 4--- ;-- >--- ;)-'-- ~--- '- ;)= - ;)--- '-~,- '- '---- --
26

(4) al-Muminn (23): 5-6 yang berbunyi:
;=-= ;)=,-- ; Q--- . ,-- ;)-'- ;)-'-- ~--- '- ;)= _-- V
Q--;--
27

(5) hadis berupa doa Nabi,
28

(6) hadis tentang ancaman bagi suami yang tidak adil kepada isteri-
isterinya, dan
(7) hadis tentang kasus laki-laki yang masuk Islam dan disuruh Nabi untuk
mempertahankan isterinya maksimal empat.
29

Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh
dijadikan alasan berpoligami, antara lain:


26
al-Ahzab (33): 50
27
al-Muminn (23): 5-6
28
Doa dimaksud adalah ='- '-,- -- +'' , Hadi bersumber dari Aisyah, dalam
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab an-Nikah, Hadi no. 1882; at-Tirmizi, Sunan at-
Tirmizi, Kitab an-Nikah, hadi no. 1059; an-Naasai, Sunan an-Nasai, Kitab Asyratu an-
Nis, hadi no.3882; Ibn Majah, Suna Ibn Majah, Kitab an-Nikah, hadi no. 1961; Ahmad,
Musnad Ahmad, hadi no. 33959; ad-Darimi Sunan ad-Darimi, Kitab an-Nikah, hadi
no.2110. as-Sarakhsi, al-Mabsut, V:217.
29
Dikutip oleh Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi
Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), hlm. 106-107.
14

1. Isteri mandul.
2. Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya
untuk memberikan nafkah batin.
3. Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga
isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat
serong.
4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada
laki-laki. Apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang
berbuat serong.
30

Tuntutan harus berbuat adil yang dikutip oleh Khoirudin Nasution,
bahwa menurut Imam Syafii berhubungan dengan urusan fisik, sedang
untuk urusan keadilan dalam hati, hanya Allah yang mengetahuinya. Imam
Syafii mendasarkan pendapatnya pada ayat:
Q-; ;-=-~- Q ;--- Q-- '~-- ;-~,=;-; >- ;---- J---J-
',--- ----'- ;=-~-Q; ;---; Q'- ,;--Q'- '--=,
31

Ayat tersebut menunjukkan bahwa keadilan dalam poligami hanya
sebatas keadilan fisik (keadilan kuantitatif), sebab hati tidak akan mampu
berlaku adil (keadilan kualitatif). Realisasi sifat adil dapat dijelaskan
dengan suami tidak boleh masuk kamar isteri yang bukan gilirannya
kecuali karena ada kepentingan. Kalau ada kepentingan boleh masuk asal

30
http://petanidakwahmenulis.blogspot.com/2009/07/perspektif-dan-syarat-
poligami-dalam.html, akses pada 4 Juli 2012.
31
an-Nis (4): 129.
15

tidak bermesraan. Jika isteri yang bukan giliran malamnya sedang sakit,
suami hanya boleh mengunjungi isteri tersebut pada malam hari, kecuali
jika dia meninggal dunia, maka baru boleh mengunjungi pada malam
hari.
32

Jika poligami ditinjau dari perspektif Hukum Islam, maka poligami
harus dilihat dan dicermati nilai kemaslahatannya. Poligami yang notabene
masih menjadi perdebatan dalam diskursus kajian Hukum Islam, memang
sangat berpotensi menimbulkan kemadharatan jika dilakukan oleh orang
dan waktu yang salah. Tentu kemadharatan lebih baik dihindari
sebagaimana kaidah fiqhiyyah:
_-'~-- ~-= _-- --- -~'---
33

Jika poligami dirasa dapat menimbulkan mafsadat atau madharat
bagi pihak-pihak yang terlibat, maka sesuai dengan kaidah fiqhiyyah di
atas, poligami harus dihindari (dilarang).
Tarikat sendiri artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu
ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan
dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, turun-temurun sampai kepada guru-
guru, sambung-menyambung dan berantai-rantai.
34
Tarikat merupakan

32
Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta:
INIS, 2002), hlm. 105.
33
Abdul hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah (Jakarta: al-Maktabah al-Saadiyyah
Putra, 1927), hlm. 34.
34
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarikat (Uraian tentang Mistik) (Jakarta:
Ramadhani, 1993), hlm.67.
16

salah satu bagian dari tasawuf. Dalam ilmu tasawuf, ada 4 tingkatan
amalan seseorang yang merupakan dasar pokok ajaran Islam, yaitu:
Syariat, Tarikat, Hakikat dan Marifat. Syariat merupakan peraturan,
tarikat merupakan pelaksanaan, hakikat merupakan keadaan dan marifat
adalah tujuan yang terakhir.
35
Poligami ditinjau dari ranah tasawuf,
penjelasannya adalah:
1. Aturan tentang poligami dalam al-Quran dan al-hadis disebut syariat.
2. Tindakan Nabi dalam berpoligami yang diikuti sahabat-sahabat, tabiin
dan tabiin-tabiin disebut tarikat.
3. Keadaan atau ahwal ketika seseorang merasakan dan memahami
manfaat atau madharat (hikmat at-tasyri) disebut hakikat.
4. Marifat adalah bahwa jika poligami dilakukan sesuai dengan aturan
dan niat berpoligami semata-mata karena ingin mengharap ridha Allah
dan mentaati apa yang telah disuruh oleh Allah, maka tujuan akhir
poligami telah tercapai, yaitu mengenal Allah dan mentaati aturan-Nya
dengan sebaik-baiknya.

F. Metode Penelitian
Metode dalam menyusun karya ilmiah seperti skripsi mempunyai
peranan yang sangat penting. Peranan metode terkait tata cara (prosedur)
memahami dan mengolah inti dari obyek penelitian. Pada penelitian ini,
penyusun menggunakan metode-metode sebagai berikut:

35
Ibid., hlm.68.
17

1. Jenis penelitian.
Jenis penelitian ini adalah field research, yaitu mengambil
informasi dari sumbernya (informan) secara langsung di lapangan yang
diteliti.
36
Obyek utama pada penelitian ini adalah Jamaah Ahli Tarikat
Qadiriyah Wa Naqsabandiyah di Brebes.
2. Sifat Penelitian
Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
metode deskriptif analisis. Metode deskripif dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya.
37
Jadi deskriptif analisis adalah menganalisa data-
data yang menggunakan metode deskripstif.
3. Pengumpulan Data
Penelitian yang penyusun lakukan menggunakan cara-cara
sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur,
dimana penyusun menggunakan pedoman wawancara yang memuat
garis besar pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Penyusun
juga menggunakan wawancara bebas sehingga narasumber dapat
lebih leluasa dalam menanggapi permasalahan yang ditanyakan.

36
Ahmad Pattiroy, Metodologi Penelitian. Hand Out Mata Kuliah Metodologi
Penelitian di Jurusan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta TA 2010/2011, tidak diterbitkan.

37
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta:Teras, 2009), hlm.
15.
18

Jumlah jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di
Brebes mencapai lebih dari lima ribu orang, namun penyusun
mengambil sampel dari objek yang diwawancarai hanya sembilan
jamaah ahli Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang terdiri dari
badal (pengganti) mursyid, kyai ahli fiqh dan jamaah lain.
Informan-informan tersebut dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
tiga orang jamaah dari golongan lelaki yang melakukan poligami,
tiga orang jamaah dari golongan yang tidak melakukan poligami
dan tiga orang jamaah perempuan yang dipoligami.
b. Studi Pustaka
Studi pustaka diperlukan untuk mengkaji beberapa literatur
yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Literatur-
literatur yang dimaksud diantaranya bersumber Al-Quran, Hadis,
kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, peraturan perundang-undangan dan
literatur lain.
4. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam memecahkan masalah
ini adalah pendekatan normatif, dimana penyusun menyoroti
masalah poligami dengan menggunakan konsep fiqh konvensional
dalam menyoroti pandangan masyarakat Tarikat Qadiriyah Wa
Naqsabandiyah di Brebes.


19

5. Analisis Data
Analisis dalam penyusunan ini adalah analisis kualitatif,
yaitu untuk mengungkap fenomena sosial agar ditemukan solusi
atas masalah terkait. Penalaran (pola pikir) yang digunakan yaitu
secara induktif, yaitu setelah data-data terkumpul dari informan,
data-data terkait masalah poligami akan dianalisis dengan teori
yang tercantum dalam kerangka teoritik.

G. Sistematika Pembahasan
Materi yang dibahas dalam penyusunan skripsi ini disusun dalam
beberapa bab yang saling berkaitan agar dapat memudahkan pembaca
dalam memahami skripsi ini, yakni:
Bab pertama pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab. Latar
belakang masalah, pokok masalah dan tujuan dan kegunaan berfungsi
untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti dan signifikansinya. Telaah
pustaka berfungsi untuk menginformasikan bahwa permasalahan yang
diteliti belum pernah diteliti oleh orang lain. Kerangka teoritik berisi teori-
teori yang digunakan untuk menganalisis pandangan jamaah tarikat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Metode penelitian untuk menjelaskan
metode (pendekatan) yang digunakan dalam mengumpulkan dan mengolah
data. Sistematika pembahasan untuk menjelaskan sistematika pembahasan
yang digunakan dalam skripsi.
20

Bab kedua membahas gambaran umum poligami yang meliputi
pengertian, dasar hukum, konteks nash poligami serta pandangan Hukum
Islam dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai poligami.
Bab ketiga, penyusun memaparkan gambaran umum tentang
Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Brebes. Dimulai dari sejarah
hingga sampainya tarikat ini ke wilayah Brebes. Bab ini juga membahas
pandangan beberapa jamaah ahli tarikat terkait tentang poligami.
Bab keempat merupakan analisis terhadap data di lapangan. Pada
bab ini penyusun menggunakan tinjauan (perspektif) hukum Islam dalam
menganalisis pandangan-pandangan jamaah ahli tarikat tentang poligami.
Bab kelima atau bab terakhir, seperti pada umumnya skripsi-skripsi
lain, bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh
isi skripsi. Selain itu pada bab lima ini, diberikan juga sub bab tentang
saran-saran yang bersifat membangun.
Di akhir skripsi ini juga dicantumkan daftar pustaka sebagai
rujukan dalam penyusunan skripsi dan lampiran-lampiran guna menguji
validitas data.


21

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan
penggalan dari kata poli atau polus yang berarti banyak dan kata gamos atau
gamein yang berarti kawin atau perkawinan. Jika dua kata ini digabungkan
maka akan mempunyai arti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami
dari kata ini, menjadi sah untuk mengatakan, bahwa arti poligami adalah
perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
1

Poligami dalam Islam mempunyai arti perkawinan yang lebih dari
satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita.
Beberapa kelompok lain memahami ayat tentang poligami memperbolehkan
seseorang untuk menikahi wanita lebih dari empat atau bahkan lebih dari
sembilan. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan
menafsirkan ayat al-Nisa (4): 3, sebagai dasar penetapan hukum poligami.
2

Poligami menurut Kamus Ilmiah Populer berarti perkawinan antara
seorang dengan dua orang atau lebih (namun cenderung diartikan perkawinan
satu orang suami dengan dua orang isteri atau lebih).
3
Poligami ada dua

1
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiram
Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.
2
Ibid.,
3
Farida Hamid, Kamus ilmiah populer Lengkap (Surabaya: Apollo), hlm. 498.
22

macam, yaitu poligini dan poliandri. Poligini artinya permaduan atau beristeri
lebih dari satu.
4
Pada pemahaman masyarakat umum, pengertian poligini
sering diidentikkan dengan poligami. Padahal melihat substansinya, terlihat
perbedaan yang jelas. Jenis poligami yang kedua yaitu poliandri, artinya
perkawinan dengan lebih dari satu laki-laki.
5
Jadi, poligami yang dilakukan
oleh seorang laki-laki disebut poligini, sedang poligami yang dilakukan oleh
wanita disebut poliandri.
Situs wikipedia menyebutkan bahwa arti poligami yaitu perkawinan
antara satu orang laki-laki atau wanita dengan lebih dari satu wanita atau laki-
laki, dengan kata lain beristri atau bersuami lebih dari satu orang. Poligami
dibagi menjadi dua yaitu:
1. Poligini, yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang. Poligini
sendiri dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Poligini sororat, bila para istrinya beradik-kakak
b. Poligini non-sororat, bila para istrinya bukan beradik-kakak
2. Poliandri, yaitu seorang istri bersuami lebih dari satu orang. Poliandri
dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Poliandri fraternal, bila para suami beradik-kakak

4
Ibid.
5
Ibid.
23

b. Poliandri non-fraternal, bila para suami bukan beradik-kakak. Poliandri
antara lain terdapat pada orang Eskimo, Markesas (Oceania), Toda di
India Selatan dan beberapa bangsa di Afrika Timur dan Tibet.
6


B. Dasar Hukum Poligami
Ada beberapa ayat-ayat dari al-Quran maupun al-Hadis yang
digunakan oleh ulama dalam menjelaskan masalah hukum poligami. Ayat al-
Quran yang menjelaskan tentang hukum poligami yaitu:
- ;=~--V ;--= Q; Q'- -; --; _--- '~--Q- ;-- ~'= '- ;=--'- _----
-V --= ;-- -=;- -;-V _-- 4-- ;---- ~--- '-; .
7

Ayat lain yang digunakan oleh ulama dalam menjelaskan hukum
poligami adalah:
;--'-- ~--- '- V '~-- Q- '-~=-- .
8

Ayat ini merupakan ayat yang melarang seseorang untuk menikahi
wanita yang terikat dalam perkawinan sehingga menutup kemungkinan
berlakunya perkawinan poliandri dalam islam.
Selain ayat-ayat dalam al-Quran, ada juga beberapa hadis yang
berkaitan dengan poligami. Salah satunya hadis Nabi, seperti yang
diungkapkan oleh Amir Syarifudin yang menjelaskan kasus Ghailan al-
Tsaqafi yang pada saat masuk Islam mempunyai 10 isteri, lalu Nabi

6
http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, akses pada tanggal 18 Mei 2012.
7
An-Nis (4) : 3
8
An-Nis (4) : 24
24

menyuruh menceraikan isteri-isterinya dan memilih 4 orang saja. Hadis
tersebut berbunyi:
Q '~ '- '- 4~- .
9

Jika melihat beberapa dalil nash di atas, maka sangatlah jelas bahwa
poligami telah diperbolehkan oleh Islam. Namun kebolehan tersebut tidak
secara mutlak. Jika seseorang akan melakukan poligami, ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi. Syarat tersebut adalah berlaku adil di antara isteri-isteri.
Bahkan terdapat larangan untuk berpoligami jika tidak mampu berlaku adil
sebagaimana yang tertulis pada QS. An-Nis (4) :3.
Adil memang menjadi syarat yang harus dipenuhi seseorang yang
ingin berpoligami, namun syarat itu tidaklah mudah. Sekeras apapun
manusia berusaha, tidak akan mungkin manusia itu dapat berbuat adil. Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam ayat:
----'- ',--- J---J- ;---- >- ;-~,=;-; '~-- Q-- ;--- Q ;-=-~- Q-;
'--=, ,;--Q'- Q'- ;---; ;=-~-Q; .
10

Amir Syarifudin menambahkan bahwa para fuqaha terdahulu
membatasi adil pada hal yang bersifat zahir, seperti adil dalam memberi
nafkah, adil dalam memberikan giliran dan adil dalam hal-hal yang bersifat
zahir lain, sedang untuk adil dalam hal batin, seperti adil dalam cinta kasih
tidak disyaratkan. Golongan ini berdalih dari hadis nabi yang berbunyi:

9
Malik Ibnu Anas, al-Muwatta (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Kitab Talak, Hadis
nomor. 76, hlm. 586.
10
An-Nis (4) : 129.
25

Q)~-- -=-- '- Q- -- 4-- V '--- --='- '--- _--~- - ;)-- .
11

Hal ini disebabkan kecenderungan seseorang terhadap salah satu
isteri yang sudah alamiah, sehingga adil dalam hal batin sangat tidak
dimungkinkan untuk dilakukan.

C. Poligami dalam Pandangan Hukum Islam (Fiqh).
Jumhur ulama berpendapat bahwa surat An-Nis (4): 3 turun seusai
perang Uhud ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) gugur di medan
perang. Konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati
oleh ayah dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim yang terabaikan
kehidupan, pendidikan dan masa depannya.
12

Khoirudin Nasution mengutip pendapat Al-Sarakhsi dari mahab
Hanafi yang menyebutkan kewajiban berlaku adil bagi suami terhadap isteri-
isterinya. Keharusan berlaku adil ini berdasar pada An-Nis (4): 3, dan
hadis dari Aisyah yang berbunyi:
- ;)-- ;-- '- -'~- Q-- -~-- - -- '- ;-~ --- -~ ---
'--- _--~- Q)~-- -=-- '- Q- -- 4-- V '--- --='-
13


11
Abi Daud, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Fikr), Juz 1, hadis nomor 2134 hlm.
242. Hadis diriwayatkan oleh dari Abu al-Walid, dari Qatadah, dari Nasr bin Anas, dari
Basyar bin Nahilah, dari Abi Hurairah.
12
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiram
Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 85.
13
Abi Daud, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Fikr), Juz 1, hadis nomor 2134 hlm.
242.Diriwayatkan oleh Musa bin Ismail, dari Ayub, dari Abi Qilabah, dari Abdullah bin
Yazid, dari Aisyah. Dalam teks lain --='- diganti dengan ----.
26

ditambah hadis Nabi
;-~ --- -~ --- Q- -'- ~ - ,- - '-- '- _ -= '- -'--- ;- '=
-~ J-'-
14

Poligami menurut Imam Malik hukumnya boleh dan hanya sebatas
empat isteri. Imam malik mendasarkan pendapatnya berdasar hadis Nabi
yang menceritakan seorang pria Thaqif yang masuk Islam dan mempunyai
sepuluh isteri, dan ternyata Nabi menyuruh mempertahankan maksimal empat
isteri dan menceraikan yang lainnya.
15

Imam Syafii, pendiri mahab Syafii membolehkan seorang muslim
mempunyai isteri maksimal empat. Imam Syafii mendasarkan pendapatnya
pada An-Nis (4): 3 tentang kebolehan menikahi wanita maksimal empat,
al-Ahzab (33): 50 tentang berhubungan dan giliran para isteri, nafkah dan
waris, al-Muminun (23): 5-6 tentang kebolehan menikah dengan wanita
merdeka dan budak dan kebolehan melakukan aktifitas senang-senang (--- )
dengan kemaluan isteri dan budak, tetapi tidak boleh dengan binatang. Dasar
hadis yang digunakan oleh Imam Syafii dalam menghukumi poligami sama
seperti dasar hadis yang digunakan oleh Imam Malik, yaitu kisah seorang
pria Thaqif yang masuk Islam dengan kondisi mempunyai sepuluh Isteri.
16


14
Abi Daud, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 1, hadis nomor 2133, hlm.
242. Diriwayatkan oleh Abi Hurairah.
15
Khoirudin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA&Tazzafa,
2009), hlm. 260.
16
Ibid., hlm. 261-262.
27

Ibnu Qudamah dari Mahab Hanbali berpendapat bahwa seorang laki-
laki boleh menikahi wanita maksimal empat. Dasar yang digunakan adalah
An-Nis (4): 3, kasus Ghailan bin Salamah dan kasus Nawfal bin
Muawiyah.
17

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa meskipun menggunakan dasar
yang berbeda, mayoritas ulama mahab tidak melarang poligami. Kebolehan
ini menurut Imam Syafii harus diirngi dengan tuntutan berbuat adil. Keadilan
yang dimaksud Imam Syafii adalah keadilan yang berhubungan dengan
urusan fisik, misalnya mengunjungi isteri di siang atau malam hari. Konsep
keadilan dalam hati, menurut Syafii hanya Allah yang mengetahuinya.
18

Mayoritas ulama membolehkan poligami dengan syarat adanya
perlakuan adil terhadap isteri-isteri. Imam Syafii menjelaskan bahwa
tuntutan berbuat adil di antara para isteri berhubungan dengan urusan fisik,
misal mengunjungi isteri di siang atau malam hari. Keadilan dalam hati
menurut Syafii hanya Allah yang mengetahui.
19
Al-Athar berpendapat
bahwa maksud surat An-Nis (4): 129 adalah agar suami tidak berlaku berat
sebelah yang mengakibatkan isteri yang lainnya menjadi tidak mendapat
posisi yang jelas. Al-Athar kemudian memberikan perumpamaan kasih
sayang bapak terhadap anak-anaknya, yang kesimpulannya tidak akan bisa

17
Ibid., hlm. 264.
18
Ibid., hlm. 262.
19
Dikutip oleh Khoirudin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA&Tazzafa,
2009), hlm. 262.
28

dilakukan orang tua untuk berlaku adil yang sama persis kepada semua anak-
anaknya. Maka kira-kira begitu juga tuntutan kemampuan seorang suami
dalam berlaku adil kepada sejumlah isteri yang dinikahinya, baik secara lahir
maupun secara batin. Kesimpulannya, Al-Athar lebih melihat tuntutan adil
dalam bentuk dan sifat materi daripada kasih sayang dan kebutuhan batin.
Kaum Mutazilah mempunyai pendapat yang berbeda dengan
pendapat Imam Al-Syafii dan Al-Athar. Kaum Mutazilah berpendapat arti
kata An-Nis dalam ayat An-Nis (4): 129 bermakna perlakuan adil
tehadap para isteri dalam segala hal, termasuk perasaan dan hati seperti rasa
cinta dan sebagainya yang berkaitan dengan kebutuhan batin isteri.
20

Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat Muammal Humaidy yang
menafsirkan keadilan dalam surat An-Nis (4): 129 sebagai keadilan yang
lebih ditekankan pada perasaan batin, seperti perlakuan adil dalam
hubungannya dengan cinta dan perasaan.
21

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz menyebutkan bahwa tidak
ada pertentangan di dalam An-Nis (4): 3 dan ayat 129, tidak pula ada
penghapusan hukum oleh salah satu dari kedua ayat tersebut terhadap yang
lainnya. Perbuatan adil yang diperintahkan adalah yang sesuai kemampuan,
yaitu adil di dalam pembagian waktu bermalam dan pemberian nafkah.

20
Dikutip oleh Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas
Pemikiram Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
101.
20
Ibid., hlm. 86.
21
Ibid., hlm. 105.
29

Sedangkan adil dalam masalah cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya
seperti perbuatan intim dan sejenisnya, maka hal ini tidak ada kemampuan.
22

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah bahwa
mayoritas ulama mahab berpendapat bahwa hukum poligami adalah mubah
(boleh) bagi seseorang yang sudah memenuhi kriteria tertentu dan dengan
syarat harus berlaku adil. Khoirudin Nasution mengutip pendapat beberapa
ulama yang memperbolehkan poligami, antara lain:
1. Ibn Jarir Al-Thabari (w.310H)
Al-Thabari menjelaskan bahwa pendapat yang mendekati
kebenaran adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna An-Nis (4) :
3 merupakan kekhawatiran tidak mampunyai seorang wali berbuat adil
terhadap harta anak yatim. Jika sudah khawatir terhadap harta anak yatim,
seharusnya juga khawatir terhadap wanita. Maka janganlah menikahi
mereka kecuali dengan wanita yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu
sampai empat wanita. Sebaliknya, kalau ada kekhawatiran masih ada,
maka cukup menikahi seorang saja.
23

2. Al-Jashshash (m.370/980)
Al-Jashshash berpendapat kebolehan poligami harus disertai
dengan syarat kemampuan berbuat adil di antara para isteri. Ukuran
keadilan ini menurut Al-Jashshas, termasuk keadilan material dan non

22
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/04/15/apa-yang-dimaksud-adil-dalam-
poligami/, akses pada tanggal 18 Mei 2012.
23
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiram
Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 85
30

material. Namun Al- Jashshash mencatat bahwa kemampuan berbuat adil
di bidang non material ini sangat berat. Hal ini disebutkan sendiri oleh
Allah dalam surat An-Nis (4) : 129.
24

3. Al-Zamakhsyari (w.538)
Arti surat An-Nis (4) :3 menurut al-Zamakhsyari adalah bahwa
jika seorang laki-laki khawatir tidak bisa memberikan hak-hak anak yatim
secara adil, maka jauhilah mereka. Demikian juga jika takut berbuat zina,
maka menikahlah dengan wanita yang halal. Kata ' dalam ayat ini
diartikan dengan halal. Penetapan hukum halal ini disebabkan karena
alasan orang arab pra Islam menikahi wanita yatim di bawah
pengampuannya karena kecantikan dan hartanya dengan tanpa
memberikan mahar pada saat menikahinya. Hal ini sama dengan menikahi
wanita dengan jalan haram. Untuk menjahui perbuatan itu, maka
disuruhlah untuk menikahi wanita di luar anak yatim yang halal.
Al-Zamakhsyari juga membahas bahwa huruf waw (;) pada kata
-; --; _--- berupa waw athaf yang berfungsi sebagai penjumlahan
(li al-jami). Jadi jumlah wanita yang boleh dinikahi bukan empat,
melainkan sembilan. Selain itu, dia menambahkan bahwa ;---- ~--- '-;
berarti agar halalnya hubungan seorang tuan dengan budak harus dinikahi
terlebih dahulu.

24
Ibid., hlm. 86.
31

Konsep keadilan pada surat An-Nis (4): 129 menurut Al-
Zamakhsyari adalah bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil terhadap
isteri sesuai dengan kemampuan maksimal. Dia berpendapat bahwa
memaksakan diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuan manusia
adalah perbuatan aniaya (dhulm), sebagaimana firman Allah:
- >=-'- 4- '- ---- .
25

4. Al-Qurthubi (m.671/1272)
Al-Qurthubi berpendapat bahwa adil dalam surat An-Nis (4) : 3
berkaitan dengan keadilan kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan dan
pembagian nafkah. Kebolehan poligami yang diisyaratkan oleh al-Quran
menurut Al-Qurthubi hanya sebatas empat isteri dengan mencatat kasus
yang pernah terjadi di masa Rasulullah, ketika Hari ibn Qais yang
mempunyai delapan isteri ingin masuk Islam, Nabi menyuruh memilih
empat saja dan menceraikan yang lainnya.
Perihal hubungan tuan dan budak, Al-Qurthubi mempunyai
pendapat yang sama dengan Al-zamakhsyari, dimana untuk mensahkan
hubungan budak dengan tuannya harus melalui akad perkawinan. Sebab
menurut dia kata ;---- ~--- '-; sama statusnya dengan kata -= yang
secara implisit maknanya -= ;=--'- ; ;=-- ;---- ~--- '- .



25
Fushshilat (41): 46.
32

5. Ibnu Al-Qayyim (w.751H)
Ibnu Al-Qayyim mengutip pendapat Al-Kasai. Beliau mengatakan
bahwa poligami sampai empat dibolehkan dengan syarat bisa berbuat adil
terhadap isteri-isterinya dan tidak berbuat aniaya. Jika tidak mampu
berbuat adil ataupun akan menimbulkan aniaya, maka hendaklah menikahi
satu wanita saja atau budak. Menurutnya -;-V _-- 4-- sama artinya
dengan ;=- V atau ;---- V.
6. Al-Syawkani (w.1250/1832)
As-Syawkani berpendapat bahwa asbab al-nuzul surat An-Nis
(4): 3 berkaitan dengan kebiasaan orang arab pra Islam dimana wali
menikahi anak yatim tanpa memberikan mahar padanya. Sehingga Allah
menyuruh menikahi wanita non yatim saja maksimal empat wanita dengan
syarat berbuat adil. Jika takut tidak bisa adil, maka cukup satu isteri saja.
Al-Syawkani mencatat bahwa Abu Ubaidah membahas makna ;--=
berarti yakin, dalam arti yakin tidak bisa berbuat adil. Ibnu Athiyah
memberi arti lafa ;--= sebagai prasangka (keraguan), sehingga jika
mempunyai prasangka tidak bisa berbuat adil, maka cukup menikahi satu
wanita saja.
Larangan menikahi wanita lebih dari empat ditegaskan oleh Al-
Syawkani dengan dasar sunnah Nabi yang hanya membolehkan sahabat
memiliki isteri maksimal empat wanita. Dasar lain yang digunakan Al-
Syawkani dalam menolak pendapat yang memperbolehkan sampai
Sembilan isteri adalah karena bertentangan dengan pemahaman Bahasa
33

Arab, baik dari tata Bahasa Arab yang umum maupun dari tinjauan
nadham Al-Quran.
Al-Syawkani mengatakan bahwa untuk menjadikan budak sebagai
isteri tanpa harus menikahinya, namun cukup dengan memilikinya. Alasan
yang dikemukakan adalah karena budak lebih disandarkan kepada harta
milik meskipun juga berfungsi sebagai manusia. Al-Syawkani memaknai
surat An-Nis (4): 129 bahwa bagaimanapun usaha untuk berbuat adil,
manusia tidak akan mampu, lebih-lebih kemampuan di bidang non materi.
Namun usaha berbuat adil terhadap isteri-isterinya harus senantiasa
diupayakan secara maksimal.
7. Al-Qasimi (m.1332/1914)
Al-Qasimi berpendapat bahwa untuk bisa menikahi wanita lebih
dari satu tergantung pada keluasan berfikir suami, kemampuan
mengendalikan rumah tangga dan kematangan dalam mengurusi segala hal
dalam masyarakat. Al-Qasimi menekankan, hanya pria istimewa yang bisa
melakukan hal tersebut, sebagaimana tertuang dalam An-Nis (4): 129.
8. Al-Maraghi
Al-Maraghi menjelaskan bahwa kebolehan poligami adalah
kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Poligami diperbolehkan hanya
dalam keadaan darurat yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
benar-benar membutuhkan. Al-Maraghi berpendapat bahwa alasan-alasan
yang membolehkan seseorang melakukan poligami adalah:
34

a. Isteri mandul, sedang keduanya atau salah satunya sangat
mengharapkan keturunan.
b. Suami mempunyai hasrat seks yang tinggi, sedangkan isteri tidak
mampu melayani sesuai dengan kebutuhannya.
c. Jika suami mempunyai banyak harta sehingga mampu memenuhi biaya
semua kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai
kepentingan anak.
d. Jika jumlah wanita lebih banyak disbanding jumlah pria yang mungkin
disebabkan karena perang.
Al-Maraghi menafsirkan surat An-Nis (4): 129 adalah bahwa
yang terpenting adalah upaya maksimal dari suami untuk berbuat adil.
Adapun di luar kemampuan manusia, bukanlah suatu keharusan yang
harus dilaksanakan manusia.
9. Sayyid Qutub (w.1966)
Sayyid Qutub berpendapat bahwa poligami merupakan suatu
perbuatan rukhsah yang bisa dilakukan dalam keadaan darurat. Kebolehan
poligami maksimal empat isteri disertai dengan syarat untuk berbuat adil
dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan serta pembagian malam. Bagi
suami yang tidak bisa berbuat adil, maka cukup satu isteri saja.
10. Al-Shabuni
Al-Shabuni membolehkan poligami maksimal empat isteri dengan
dasar ijma ulama. Kebolehan poligami bisa dilakukan dalam keadaan
darurat dan dengan syarat berlaku adil.
35

Hikmah poligami menurut Al-Shabuni ada tiga, antara lain:
a. Mengangkat harkat dan martabat wanita itu sendiri.
b. Untuk keselamatan dan terjaganya sebuah keluarga.
c. Untuk keselamatan masyarakat secara umum.
11. Al-Athar
Sehubungan dengan menikahi budak, Al-Athar berpendapat
bahwa mengawini budak lebih ditekankan pada pemberian contoh pada
umat lain bagaimana Islam memperlakukan tawanan, yaitu dengan
mengawini mereka yang lambat laun akan memerdekakannya. Perlakuan
adil terhadap budakpun menjadi kewajiban, sebab menyebut budak
sebagai tangan kanan (;---- ~--- '- ) menunjukan kemuliaan mereka.
Isyarat ini bisa dilihat dengan penggunaan tangan kanan dalam keseharian
digunakaan untuk hal-hal yang baik dan terpuji.
12. Al-Mizan
Al-Mizan menjelaskan bahwa surat An-Nis (4): 3 turun
berkenaan dengan kebiasaan orang arab pra Islam yang menikahi anak
yatim karena kecantikan dan hartanya, tetapi mereka tidak memberikan
mahar seperti yang diberikan kepada wanita di luar anak yatim. Bahkan
ada pria yang begitu habis hartanya kemudian isterinya dicerai. Ayat ini
turun sebagai peringatan bahwa perbuatan mereka termasuk perbuatan
yang tercela.
36

Al-Mizan berpendapat bahwa lafa (;---- ~--- '-;) bermaksud
menjelaskan adanya alternatif memperisteri hamba adalah cukup dengan
pemilikan tanpa harus dinikahi terlebih dahulu.
13. Thabathabai
Thabathabai mengatakan, kalau diteliti secara mendalam ayat An-
Nis (4): 3 menjadi jelas bahwa ayat (;--= Q; ) menduduki puncak
masalah dari ayat sebelumnya, yakni larangan memakan harta anak yatim.
Jika ada kekhawatiran untuk berbuat adil terhadap anak yatim yang
dijadikan isteri, maka tinggalkanlah mereka menikahlah dengan wanita
selain mereka yang engkau suka, dua, tiga atau empat.
26

Selain ulama-ulama tersebut di atas, ada beberapa ulama yang
memperbolehkan poligami lebih dari empat. Pendapat tersebut dikemukakan
oleh Dhahiri dengan alasan bahwa dari tinjauan bahasa tidak ada larangan
untuk menikahi wanita lebih dari empat. Mereka berpendapat bahwa ; dalam
surat An-Nis (4): 3 berfungsi sebagai penghubung (kata sambung). Alasan
lain yang digunakan adalah bahwa Rasul sendiri menikahi wanita muslim
lebih dari empat orang.
27

Khoirudin Nasution mencatat, bahwa ulama modernis pada umumnya
memperketat kebolehan poligami. Beberapa di antara mereka
mengharamkannya, meski di balik keharaman tersebut masih disertai dengan

26
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiram
Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 85-92.
27
Ibid., hlm. 102.
37

kondisi yang masih memberikan kemungkinan untuk melakukannya.
Muhammad Abduh dan Ridha merupakan ulama modernis yang
mengharamkan poligami, meskipun untuk kondisi tertentu membolehkannya.
Letak perbedaan pendapat mereka adalah bahwa Muhammad Abduh
berpendapat bahwa meskipun Islam membolehkan poligami, namun
kebolehan tersebut dituntut dengan syarat keharusan meladeni isteri dengan
adil. Adil merupakan syarat yang sangat berat bahkan hal yang mustahil
dilakukan oleh manusia sekeras apapun upaya yang dilakukannya untuk
berbuat adil, hal ini sebagaimana Allah telah menyebutkan dalam surat An-
Nis (4): 129.
28
Pendapat serupa dengan argumentasi yang sedikit berbeda
diungkapkan oleh Ridha. Menurut Ridha poligami merupakan perbuatan yang
haram, kalau suami takut tidak bisa berbuat adil terhadap isteri-isterinya.
Kebolehan poligami menurutnya, merupakan tindakan yang benar-benar
darurat atau sangat terpaksa.
29


D. Poligami dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
mengatur perkawinan poligami. Peraturan perundang-undangan tersebut
antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 yang diganti dengan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan

28
Ibid., hlm. 102-103.
29
Ibid., hlm. 104.
38

dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan, poligami
juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Sekian banyak aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang, tidak lain bertujuan untuk memiinimalisir prilaku poligami di
kalangan masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan
bahwa asas perkawinan pada dasarnya adalah monogami atau monogini.
30

Meski demikian, kemungkinan untuk berpoligami masih dapat dilakukan
setelah mendapat izin dari pengadilan agama dan persetujuan dari pihak-
pihak yang bersangkutan, dalam hal ini isteri dan calon isteri.
31
Jika
perkawinan poligami tersebut tidak mendapat izin dari Pengadilan Agama,
maka konsekuensinya perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
32

Dampaknya, isteri yang dinikahi tanpa izin pengadilan dan anak-anaknya
tersebut tidak memperoleh hak-hak hukum dari negara.
Salah satu prosedur jika seseorang akan melakukan poligami adalah
dengan mengajukan permohonan poligami ke Pengadilan Agama.
33
Sebelum
hakim membacakan putusan pengadilan tentang izin poligami, hakim akan

30
Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (1).
31
Ibid., pasal 3 ayat (2).
32
Kompilasi hukum Islam Pasal 56 Ayat (3).
33
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tetntang Perkawinan Pasal 4 Ayat (1).
39

melakukan pemeriksaan dengan memanggil isteri dan mendengarkannya.
34

Jika pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan akan memberikan izin bagi
pemohon untuk berpoligami.
35
Pelanggaran terhadap aturan poligami ini
dapat dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-.
36

Pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap
aturan ini dapat dihukum dengan empat kemungkinan:
1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah.
2. Pembebasan jabatan
3. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS
4. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
37

Usaha meminimalisir poligami yang dilakukan oleh negara dilakukan
dengan memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh lelaki
yang ingin berpoligami. Khoirudin Nasution menyebutkan bahwa izin
poligami dapat diberikan apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu
syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif.
38
. Syarat alternatif yang
dimaksud yaitu:

34
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 42.
35
Ibid., Pasal 43.
36
Ibid., Pasal 45 Ayat (1a)
37
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 Pasal 15 Ayat (1).
38
Khoirudin Nasution, Status Wanita di asia Tenggara (Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontermporer di Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta:
INIS, 2002), hlm. 108. Syarat ini sebagaimana tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
10 Tahun 1983 Pasal 10 Ayat (1).
40

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
39
.
Selain syarat alternatif, ada juga syarat kumulatif yang wajib dipenuhi.
syarat ini harus dipenuhi secara keseluruhan bagi suami yang akan
berpoligami dan telah memenuhi salah satu syarat alternatif. Syarat-syarat
tersebut yaitu:
1. Ada persetujuan tertulis dari isteri/isteri-isteri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri
dan anak-anak mereka.
3. Ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anaknya.
40

Peraturan perundang-undangan juga mengatur prilaku poligami
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan tersebut berupa Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri sipil (PNS) yang diamandemen dengan Peraturan
Pemerintah(PP) Nomor 45 Tahun 1990. Peraturan Pemerintah (PP) yang
ditetapkan pada tanggal 21 April 1983 ini lahir atas dasar kasus yang terjadi
di tahun 1980, yaitu perilaku seorang pejabat negara yang menikahi seorang
wanita simpanan yang sebelumnya merupakan babysitter dari anak sang
pejabat tersebut. Akibat tindakan tersebut, sang isteri merasa tidak mendapat

39
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 Ayat (2).
40
Ibid., Pasal 5 Ayat (1).
41

perlindungan hukum. Oleh sebab itu isteri sang pejabat tersebut mengusulkan
dibuatnya aturan yang dapat melindungi para isteri PNS. Sumber lain
mengatakan bahwa PP ini konon juga dibentuk dalam rangka memenuhi
keinginan isteri presiden pada waktu itu (Soeharto). Proses awal dari
penerimaan usulan ini adalah dengan turunnya instruksi BAKN (Badan
administrasi Kepegawaian Negara) untuk membentuk tim yang bertugas
membuat rancangan PP dimaksud. Akhirnya, PP yang yang mengatur dua hal
pokok (poligami dan perceraian bagi PNS) ini diabsahkan pemberlakuannya
pada 21 April 1983.
41

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1983 ini juga memberikan syarat
kepada PNS yang akan berpoligami untuk mendapatkan izin dari atasan,
42

sedang wanita yang berstatus PNS tidak diizinkan berpoligami atau menjadi
isteri kedua/ketiga/keempat.
43
Syarat lain bagi PNS yang akan berpoligami
adalah harus memenuhi salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat
kumulatif sebagaimana tertera pada pasal 10 ayat (1). Syarat alternatif
tersebut yaitu:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

41
Khoirudin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA&Tazzafa,
2009), hlm. 49-50.
42
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 Pasal 4 Ayat (1)
43
Ibid., Pasal 4 Ayat (2).
42

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
44

Selain itu ada juga syarat kumulatif yang meskipun substansinya sama
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, namun objeknya berbeda
dengan PP ini. Syarat kumulatif tersebut yaitu:
1. Ada persetujuan tertulis dari isteri;
2. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan
yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya
yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
3. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa
ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
45

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa persetujuan isteri harus
dipertegas di pengadilan.
46
Persetujuan ini diucapkan secara lisan di
pengadilan. Kecuali isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
dari isteri selama minimal dua tahun, atau sebab-sebab lain yang perlu
mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka persetujuan dari isteri-isteri
tidak diperlukan.
47


44
Ibid., Pasal 10 Ayat (2).
45
Ibid., Pasal 10 Ayat (3).
46
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 58 Ayat (2).
47
Dikutip oleh Khoirudin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA&Tazzafa,
2009), hlm. 268. Pernyataan ini sebagaimana tertera pada Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 5 Ayat (2) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 58 Ayat (3).
43

Salah satu syarat kumulatif yang harus dipenuhi lelaki yang akan
berpoligami adalah kemampuan suami dalam menjamin keperluan hidup
keluarga. Kemampuan ini dibuktikan dengan menggunakan surat keterangan
mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani bendahara tempat bekerja,
atau surat keterngan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat
diterima pengadilan.
48
Sedang jaminan untuk berbuat adil terhadap isteri-
isterinya kelak dapat dibuat dalam bentuk perjanjian.
49

Jika poligami telah dilakukan, maka berlaku ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
1. suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri
dan anaknya
2. isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama
yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu
terjadi.
3. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi
sejak perkawinan masing-masing.
50

Ketentuan ini bisa tidak berlaku jika ada ketentuan lain yang
disepakati sebelumnya.

48
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 41 huruf c.
49
Ibid., huruf d.
50
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 65 Ayat (1).
44

BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG TARIKAT QADIRIYAH WA
NAQSABANDIYAH DI KABUPATEN BREBES.
A. Gambaran Umum Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Kabupaten
Brebes
1. Tasawuf dan Tarikat.
Ada berbagai macam pendapat mengenai asal mula kata tasawuf.
Abu Bakar Aceh menjelaskan bahwa perkataan itu (tasawuf) mungkin
berasal dari sufah yang sudah dikenal sebelum Islam sebagai gelar dari
seorang anak Arab, Khaus bin Murr yang selalu mengasingkan diri di
dekat Kabah guna mendekati Tuhannya. Tasawuf juga berasal dari kata
sufah yang digunakan untuk nama surat ijazah orang naik haji. Tasawuf
juga berasal dari kata safa yang berarti bersih dan suci. Sophia dalam
bahasa Yunani merupakan istilah yang juga dianggap sebagai asal kata
tasawuf yang berarti hikmah atau filsafat. Tasawuf juga berasal dari kata
suffah yaitu nama suatu ruang dekat Masjid Madinah tempat Nabi
memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya. Tasawuf juga
berasal dari kata suf yang berarti bulu kambing yang biasanya menjadi
bahan pakaian orang-orang sufi yang berasal dari Syiria.
1

Sri Mulyati mengutip perkataaan Ibnu Khaldun bahwa secara
istilah tasawuf merupakan salah satu ilmu syariah yang timbul kemudian

1
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarikat (Uraian tentang Mistik) (Jakarta:
Ramadhani, 1993), hlm.27.
45

dalam Islam, yang asalnya tekun beribadah dan memutuskan perhatian
dengan segala selain Allah, hanya mengharap pada Allah semata,
menolak hiasan dunia, serta membenci perkara yang selalu memperdaya
orang kepada kelezatan harta benda dan kemegahan dunia, menyendiri
menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.
2

Tasawuf adalah kesadaran yang murni (fitrah) yang mengarahkan
jiwa yang benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh
menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Tuhan, untuk mendapatkan perasaan berhubungan yang erat dengan
wujud Yang Mutlak (Tuhan).
3

Al-Ghazali menyebutkan bahwa tasawuf mempunyai dua
karakter:
a. Istiqamatu maa Allahi Taala (Istiqamah terhadap Allah taala)
b. As-sukunu ani al-khalqi (tenang terhadap makhluk).
4

Penjelasannya adalah barangsiapa sanggup menjalani istiqamah,
berakhlak baik terhadap sesama dan bergaul dengan santun, maka dia
adalah seorang sufi. Istiqamah adalah kerelaan seorang hamba
mengorbankan kepentingan pribadinya demi melaksanakan perintah-
perintah Allah, sedang akhlak yang baik terhadap sesama adalah tidak

2
Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (et.al), Mengenal dan memahami Tarikat-Tarikat
Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 8.

3
Drs. Usman Said dkk, , Pengantar Ilmu Tasawuf (Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981/1982), hlm. 15.

4
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Prinsip-Prinsip Menapaki
Jalan Spiritual Islami, alih bahasa Muhammad Hilal, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Diamond),
hlm. 44.
46

memaksa orang lain untuk menuruti keinginan dirinya tetapi memaksa
dirinya untuk menuruti kehendak orang lain selama tidak bertentangan
dengan syariat.
5

Orang yang menempuh jalan tasawuf disebut dengan salik. Al-
Ghazali menyebutkan kewajiban bagi pengembara (salik) adalah
memiliki guru penuntun (mursyid) dan pendidik untuk
menghindarkannya dari akhlak buruk dan melatihnya berakhlak yang
baik.
6
Al-Ghazali kemudian melanjutkan, seorang pengembara harus
mempunyai seorang guru yang bisa menuntun dan membimbingnya ke
jalan Allah. Demikian itu karena Allah telah mengutus seorang Rasul
untuk menuntun hamba-hamba-Nya ke jalan-Nya. Setelah Nabi
Muhammad SAW meninggal, maka para pengganti beliau yang akan
mewarisi tugas dan kedudukan beliau untuk membimbing umat ke jalan
Allah. Guru pembimbing yang pantas menjadi pengganti Rasul adalah
orang yang berilmu, namun tidak semua orang yang berilmu pantas
menjadi pembimbing pengganti beliau. Al-Ghazali kemudian
menceritakan ciri-ciri (kriteria) seseorang bisa menjadi pembimbing
(mursyid) antara lain:
a. Dia adalah sosok yang selalu berpaling dari cinta harta dan
kehormatan duniawi.

5
Ibid.,

6
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Prinsip-Prinsip Menapaki
Jalan Spiritual Islami, alih bahasa Muhammad Hilal, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Diamond),
hlm. 39.
47

b. Dia telah mengikuti bimbingan seorang syaikh yang memiliki silsilah
pembimbingan sampai kepada Rasulullah SAW.
c. Dia menempa dirinya (riyadhah) dengan baik, dengan tidak makan
terlalu banyak, tidak terlalu banyak bicara, tidak terlalu banyak tidur,
sering mengerjakan shalat (wajib dan sunnah), serta sering bersedekah
dan sering berpuasa.
d. Selama proses penempaannya, sang syaikh telah berhasil mencapai
berbagai pekerti yang mulia seperti sabar, rajin melakukan shalat dan
berdoa, syukur, tawakkal, yakin, qanaaah (menerima segala
ketentuan Allah dengan hati yang lapang, berjiwa tenang dan
tenteram, belas kasih, rendah hati, berpengetahuan, jujur, malu,
menepati janji, berwibawa, berpembawaan tenang, tidak terburu-buru,
dan lain sebagainya.
7

Sekelompok salik yang menyandarkan dirinya pada seorang
mursyid (menjadi pengikut mursyid) menamakan kelompok mereka
sebagai kelompok tarikat tertentu. Orang yang menyandarkan dirinya
pada Syaikh Abdul Qadir Jaelani dinamakan jamaah tarikat Qadiriyah,
orang yang menyandarkan dirinya pada Muhammad bin Muhammad
Baha al-Din al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqsabandi disebut jamaah tarikat
Naqsabandiyah. Tarikat berasal dari Bahasa Arab (--,=-) yang berarti
jalan, keadaan, aliran dalam garis pada sesuatu. Kata tarikat telah

7
Ibid., hlm 40-41.
48

dibakukan menjadi Bahasa Indonesia.
8
Tarikat menurut Abu Bakar Aceh
artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan
ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan dikerjakan oleh
sahabat dan tabiin, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-
menyambung dan berantai-rantai.
9

Kesimpulannya, pengertian tarikat ialah hasil pengalaman dari
seorang sufi yang diikuti oleh para murid, yang dilakukan dengan aturan
atau cara tertentu dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam perkembangannya tarikat digunakan sebagai nama sekelompok
mereka yang menjadi pengikut bagi seorang syaikh yang mempunyai
pengalaman tertentu dalam cara mendekatkan diri kepada Allah dan cara
memberikan tuntutan dan bimbingan pada muridnya.
10

Pada suatu tarikat dapat ditemukan unsur-unsur pokok meliputi
guru yang digelari dengan mursyid atau syaikh, wakilnya digelari
khalifah dan sejumlah pengikut yang disebut dengan murid. Tempat
untuk latihan disebut ribath atau zawiyah atau taqiyah dan dalam bahasa
persia disebut khanaqah. Tujuan tarikat yang sebenarnya adalah agar
para pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat mungkin

8
Drs. Usman Said dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf (Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981/1982), hlm. 257.

9
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarikat (Uraian tentang Mistik) (Jakarta:
Ramadhani, 1993), hlm.67.

10
Drs. Usman Said dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf (Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981/1982), hlm. 259.
49

dengan Allah sesuai dengan bimbingan seorang guru atau mursyid.
Pelaksanaan tarikat diantaranya melalui:
a. Zikir
Zikir yaitu ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati dan
menyebutkan secara lisan. Beberapa orang membedakan zikir itu
dengan zikir lisan (lidah), zikir qalbu (hati) dan zikir sirri (rahasia).
b. Ratib
Ratib yaitu mengucap kalimat tahlil ( V -V) dengan gaya, gerak
dan irama tertentu.
c. Musik
Musik yaitu pada saat membacakan wirid-wirid dan syair-syair
tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumentalia), seperti
memukul rebana.
d. Menari
Menari yaitu gerak yang dilakukan untuk mengiringi wirid-wirid dan
bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
e. Bernafas
Bernafas yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir-
zikir tertentu.
11

Ada 4 tingkatan amalan seseorang dalam ilmu tasawuf yang
menjadi pokok dalam ajaran Islam, yaitu: Syariat, Tarikat, Hakikat dan

11
Ibid., hlm. 260-261.

50

Marifat. Syariat merupakan peraturan, tarikat merupakan pelaksanaan,
hakikat merupakan keadaan dan marifat adalah tujuan yang terakhir.
12

Tasawuf secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada
Tuhan melalui pensucian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha
mendekatkan diri ini selalu berada di bawah bimbingan seorang guru
atau syaikh. Ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan jalan yang harus
ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah tarikat. Jadi dapat
dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Tuhan,
sedang tarikat adalah jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya
mendekatkan diri kepada Tuhan.
13
Hubungan antara tasawuf dengan
tarikat adalah bahwa tarikat bermula dari tasawuf dan berkembang
dengan berbagai macam faham dan aliran, yang tergambar dalam adanya
thuruqus sufyah (aliran-aliran tarikat) sehingga belakangan ini seseorang
yang hendak berkecimpung dalam kehidupan tasawuf pada umumnya
adalah melalui tarikat yang sudah ada.
14

Peralihan tasawuf yang bersifat personal kepada tarikat sebagai
suatu lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf
itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf ini, semakin banyak orang
yang berhasrat mempelajari tasawuf. Alasan itu yang membuat mereka
menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas

12
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarikat (Uraian tentang Mistik) (Jakarta:
Ramadhani, 1993), hlm. 68.

13
Drs. Usman Said dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf (Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981/1982), hlm. 272.

14
Ibid., 274.
51

dalam pengamalan tasawuf yang dapat menuntun mereka, sebab belajar
dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan
pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal merupakan suatu
keharusan. Oleh karena itu, bertemunya dua kepentingan itu kemudian
seorang guru tasawuf memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf
berdasar pengalamannya ( ,-=) sendiri dalam mengajarkan tasawuf.
Sistem pengajaran itulah yang menjadi ciri khas bagi suatu tarikat dan
yang membedakannya dengan tarikat yang lain.
15

2. Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) dan Sejarah
Berdirinya.
Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah ialah gabungan antara
tarikat Qadiriyah dan tarikat Naqsabandiyah. Tarikat ini didirikan oleh
Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872). Sambas merupakan nama
sebuah kota di pontianak, Kalimantan Barat. Syaikh Naquib al-Attas
mengatakan bahwa Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan
tarikat gabungan antara tarikat Qadiriyah dan tarikat Naqsabandiyah
karena Syaikh Sambas adalah seorang Syaikh dari kedua tarikat dan
mengajarkannya dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis zikir
sekaligus yaitu zikir yang dibaca keras (jahr) dalam tarikat Qadiriyah
dan zikir yang dilakukan dalam hati (khafi) dalam tarikat
Naqsabandiyah.
16


15
Ibid, 274-275.

16
Sri Mulyati (et.al), Mengenal dan memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 253.
52

Syaikh Sambas berangkat ke Makkah pada usia sembilan belas
tahun untuk meneruskan studinya dan menetap disana hingga wafatnya
pada tahun 1289 H/ 1872 M. Beliau belajar ilmu-ilmu Islam termasuk
tasawuf, dan mencapai posisi yang sangat dihargai di antara teman-teman
sejawatnya dan kemudian menjadi tokoh yang berpengaruh di seluruh
Indonesia. Gurunya antara lain Syaikh Daud bin Abd Allah bin Idris al-
Fatani, Syaikh Syams al-Din, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan
menurut sebuah sumber Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani. Syaikh
Sambas merupakan murid Syaikh Syams al-Din yang mencapai tingkat
tertinggi dan kemudian ditunjuk sebagai Syaikh Mursyid Kamil
Mukammil.
17

Kitab Fath al-Arifin merupakan kitab karangan Syaikh Ahmad
Khatib Sambas yang dianggap sebagai sumber ajaran Tarikat Qadiriyah
wa Naqsabandiyah. Manuskripnya hanya terdapat satu buah yang berada
di Perpustakaan Nasional Jakarta yang disusun oleh Maruf al-Palimbani,
murid Syaikh Sambas.
18






17
Ibid., hlm 254-255

18
Ibid., hlm.258.

53

Izzudin Amaith menjelaskan hal-hal yang menjadi amalan tarikat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang diajarkan oleh KH. Abu Nur Jazuli
NA
19
adalah pembinaan sikap taat kepada guru mursyid yang diwujudkan
dalam beberapa ritual sebagai berikut:
a. Mubayaah
Mubayaah merupakan ritual yang wajib diamalkan pada saat
seseorang akan mengikuti sebuah tarikat. Mubayaah atau baiat
adalah mengadakan ikatan lahir batin antara calon murid dengan guru
untuk mengamalkan zikir dan amalan-amalan tarikat dengan kaifiat
atau cara tertentu. Kaifiat yang diamalkan oleh seorang musrsyid
belum tentu sama dengan mursyid yang lain. Inti dari mubayaah ini
adalah membentuk ikatan antara mursyid dengan murid.
Jika mubayaah telah selesai, berarti murid telah rela
mengikatkan diri dengan guru untuk dibimbing dan kemudian
dilanjutkan dengan tawajjuh.
20

b. Tawajjuh
Tawajjuh ialah murid berzikir di bawah bimbingan guru
mursyid. Guru dan murid berhadap-hadapan dalam melaksanakan

19
KH. Abu Nur Jazuli Nahrawi Amaith Alm. Atau Kiai Jazuli (1925-2010 M)
adalah seorang tokoh masyarakat dan ulama yang berasal dari Bumiayu Brebes. Beliau
merupakan salah satu mursyid Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Jawa Tengah yang di
baiat oleh KH. Muslih Mranggen Demak Jawa Tengah. Beliau juga merupakan pendiri
Jamiyyah Ahli Mujahadah Salawat Ummi (JAMSU). Aktivitasnya di Jamiyyah Tarikat
begitu jelas dengan ditunjuknya beliau sebagai Rais Am Mustafad pada Muktamar VIII
Jamiyyah Ahli thariqah Mutabarah Indonesia (JATMI) Di Pati Jawa Tengah pada tahun
1998.

20
Izzudin Amaith, Dari Buta Mata Menjadi Ulama Luar Biasa (Biografi KH. Abu
Nur Jazuli NA), (Brebes: tnp., 2008), hlm. 116-117.
54

zikir tersebut, oleh karenanya disebut tawajjuh yang berarti berhadap-
hadapan.
c. Zikir Nafi Itsbat
Zikir Nafi Itsbat menjadi ciri khas dari zikir yang diamalkan
oleh pengikut tarikat Qadiriyah. Acara zikir Nafi Itsbat yang diajarkan
antara mursyid satu dan mursyid yang lain biasanya terdapat sedikit
perbedaan. Namun pada intinya zikir Nafi Itsbat dilakukan dengan
membaca kalimat V -V (la ilaha illallah) sebanyak tiga kali dengan
cara sebagai berikut:
1) Panjangkan kalimat V (la) dengan dibayangkan seolah-olah ditarik
dari bawah pusat (latifah al-qalabi) ke otak (latifah al-nafsi)
kemudian jika sudah sampai otak baca kalimat i ( ).
2) Hendaklah dalam mengucapkan kalimat V (la) diarahkan ke bawah
payudara kanan (latifah al-ruhi).
3) Mengucapkan kalimat (ha) pada latifah khofi (di atas payudara
kanan).
4) Mengucapkan kalimat (il) pada latifah akhfa (di tengah dada).
5) Mengucapkan kalimat V (law) diarahkan ke atas payudara kiri
(latifah sirri) dengan tekanan suara yang kuat supaya sampai pada
makna kalimat.
6) Mengucapkan kalimat - (lah) diarahkan ke latifah qalbi (di bawah
payudara kiri).

55

d. Zikir Ismu Dzat
Zikir Ismu Dzat merupakan ciri khas dari tarikat
Naqsabandiyyah. Jadi ritual tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyyah
juga memadukan amalan zikir dari kedua tarikat ini. Zikir Ismu Dzat
dilakukan dengan menghadapkan hati kepada Allah dan meminta
anugerah kepada-Nya dengan mengharap kesempurnaan cinta dan
marifat kepada-Nya, dengan perantara guru (rabithah guru) dengan
membayangkan seolah-olah guru ada di hadapannya, ini disebut
dengan wukuf al-qalbi. Lafadz Zikir Ismu Dzat sendiri yaitu ,
yang diucapkan dalam hati (sirri) yang diedarkan ke latifah tujuh
(latifah al-sabah). Caranya yaitu dengan mengangkat lidah ke langit-
langit mulut, bibir dikatupkan rapat, kedua mata dipejam dan kepala
ditundukkan. Membaca Ismu Dzat setiap seratus kali diselingi dengan
membaca doa:
4--,- 4--=- _-=- _-;-=- '~ ;~-- ~- _)-
Pada setiap latifah minimal membaca Ismu Dzat seribu kali,
sehingga tujuh latifah menjadi tujuh ribu kali.
21

e. Muraqabah
Muraqabah secara bahasa berarti mengawasi, mengintai,
menjaga dan menunggu. Menurut ahli hakikat muraqabah adalah
pengetahuan (keyakinan) seorang hamba secara terus menerus
terhadap pengawasan Tuhan atas dirinya dalam semua keadaan.

21
Ibid., hlm. 121-122.
56

Muraqabah merupakan metode pendekatan diri kepada Allah
dengan mengawasi terus menerus gerak-gerik hati agar jangan
sampai Allah lepas dari pengetahuannya. Muraqabah menurut
doktrin Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah memiliki dua puluh
tingkatan, antara lain:
1) Muraqabah Ahadiyah
2) Muraqabah Maiyah
3) Muraqabah Aqrabiyah
4) Muraqabah Mahabbah fi Dairat al-Ula
5) Muraqabah mahabbah al-Tsaniyah
6) Muraqabah Mahabbah fi dairat al-Qaus
7) Muraqabah Wilayah Ulya
8) Muraqabah Kamalatu al-Nubuwah
9) Muraqabah Kamalatu al-Risalah
10) Muraqabah Kamalatu Ulul Azmi
11) Muraqabah Mahabbah fi Dairat al-Khillah
12) Muraqabah Mahabbah al-Sirfah
13) Muraqabah Dzatiyah al-Muhtizajati bi al-Mahabbah
14) Muraqabah Mahbubiyah al-Shirfah
15) Muraqabah al-Hubbi al-Shirfa
16) Muraqabah la Tayin
17) Muraqabah Haqiqatu Kabah
18) Muraqabah Haqiqat al-Quran
57

19) Muraqabah Haqiqat al-Shalat
20) Muraqabah Mabudiyah al-Shirfah
Keseluruhan muraqabah ini tidak dapat dilaksanakan secara
serentak melainkan setahap demi setahap sesuai izin guru, dalam
waktu yang cukup panjang, bahkan terkadang salik telah beberapa
tahun masih belum diizinkan oleh guru untuk pindah dari muraqabah
satu ke muraqabah lain disebabkan menurut penilaian guru ia belum
mampu menjalankan muraqabah yang lebih tinggi.
22

f. Mujahadah al-Nafs
Mujahadah secara bahasa berarti bersungguh-sungguh.
Menurut istilah mujahadah berarti bersungguh-sungguh dalam
mengamalkan zikir dan wirid, beribadah kepada Allah baik yang
diwajibkan maupun yang nawafil, dan bersungguh-sungguh dalam
usaha menghilangkan sifat-sifat madmumah (tercela).
Mujahadah ada dua macam, yaitu mujahadah ataqah
(pemerdekaan) dan mujahadah salawat ummi.
23
Masing-masing
mempunyai dua jenis, yaitu sughra dan kubra. Ataqah sughro
dilakukan dengan membaca surat Al-Ikhlas dengan ketentuan
sebanyak seribu kali hingga sepuluh ribu kali, sedang ataqah kubra
sebanyak seratus ribu kali. Mujahadah salawat sughra dilakukan

22
Ibid., hlm. 122-128.

23
Salawat Ummi ada dua macam, yaitu; salawat ummi abdika dan salawat ummi
taslima. Salawat ummi abdika bunyi lafaznya adalah :
- J~ ;)-- -V --- 4-;~ --- --=- _-
sedang salawat ummi taslima bunyi lafaznya adalah:
'---~- ;-~ - _-- -V --- --=- _-- J~ ;)-- .
58

dengan membaca salawat ummi sebanyak seribu kali dan surat Al-
Ikhlas seribu kali. Mujahadah salawat kubra mempunyai tiga
peringkat:
1) Peringkat pertama membaca empat puluh satu ribu (41.000) kali
salawat ummi taslima dan tiga puluh enam ribu (36.000) kali
salawat ummi abdika dalam waktu tiga hari.
2) Peringkat kedua membaca seratus empat puluh tiga ribu dua ratus
(143.200) kali salawat ummi taslima dan dua ratus delapan ribu
lima ratus (208.500) kali salawat ummi abdika dalam waktu tujuh
hari.
3) Peringkat ketiga membaca satu juta empat ratus tiga puluh dua
ribu (1,432.000) kali salawat ummi taslima dan dua juta delapan
puluh lima ribu (2.085.000) kali salawat ummi abdika dalam
waktu tujuh puluh hari.
24

g. Manaqib
Manaqib merupakan salah satu acara membaca riwayat hidup
Syaikh Abdul Qadir Jailani dan wirid ratib dengan cara dan maksud
tertentu. Tujuan membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani
ialah:
1) Tabarruk-an, mengharap barakah wali dan tawassul.
2) Tadhim, sebagai penghormatan murid terhadap syaikh (guru)
untuk menunjukkan rasa cinta murid terhadap guru

24
Ibid., hlm. 128-130.
59

3) Tawassul kepada Allah dalam memohon suatu keperluan,
terutama memohon ampun, memohon bertambahnya mahabbah
dan marifah.
Ada beberapa cara manaqiban yang biasa diajarkan dan
dilaksanakan oleh jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di
Brebes, yaitu:
1) Seorang guru membaca manaqib dan murid atau peserta
membaca wirid yang telah ditentukan.
2) Guru memimpin dan seorang petugas membaca manaqib, sedang
para peserta mengikuti guru melakukan wirid.
3) Membaca manaqib secara bergiliran tanpa ada wirid.
4) Salah seorang membaca manaqib dan peserta yang lain
mendengarkan dengan khusyu.
25

3. Penyebaran dan Perkembangan Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah (TQN) di Kabupaten Brebes.
Kabupaten Brebes adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Jawa Tengah, Indonesia. Luas wilayahnya 1.657,73 km, jumlah
penduduknya sekitar 1.732.719 jiwa (2010). Ibukotanya ada di
Brebes. Brebes merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk
paling banyak di Jawa Tengah. Kabupaten Brebes terletak di
bagian Utara paling Barat Provinsi Jawa Tengah, di antara
koordinat 108 41'37,7" - 109 11'28,92" Bujur Timur dan 6

25
Ibid., hlm. 131.
60

44'56'5" - 7 20'51,48 Lintang Selatan dan berbatasan langsung
dengan wilayah Provinsi Jawa Barat. Kecamatan-kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Brebes, yaitu:
a. Banjarharjo
b. Bantarkawung
c. Brebes
d. Bulakamba
e. Bumiayu
f. Jatibarang
g. Kersana
h. Ketanggungan
i. Larangan
j. Losari
k. Paguyangan
l. Salem
m. Sirampog
n. Songgom
o. Tanjung
p. Tonjong
q. Wanasari
Perekenomian masyarakat kabupaten brebes ditopang oleh
beberapa sektor usaha seperti pertanian, perkebunan, peternakan,
61

kehutanan, pertambangan, cadangan batu bara muda, perikanan
dan industri.
26

Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Jawa Tengah
berpusat di Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak.
Pesantren ini didirikan oleh Kiai Abd al-Rahman pada 1905, yang
kemudian diteruskan oleh putra Kiai Abd al-Rahman, Kiai Muslich,
yang merupakan mursyid Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
27

Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Brebes dikembangkan oleh
KH. Abu Nur Jazuli NA atau Kiai Jazuli yang berbaiat kepada Kiai
Muslich pada tahun 1968.
28
Sebelum berbaiat kepada Kiai Muslich,
sekitar tahun 1966-1967, Kiai Jazuli sudah mengikuti tarikat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah Kholidiyah dari guru mursyid KH. M.
Rifai yang berasal dari Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah. Pada
tahun tersebut kegiatan yang harus dilakukan Kiai Jazuli cukup
padat, sehingga merasa berat untuk mengikuti ketentuan guru. Atas
izin guru, beliau diizinkan untuk tidak mengikuti tarikat ini
selanjutnya. Setelah diizinkan untuk tidak mengikuti tarikat ini, Kiai
Jazuli dilanda rasa rindu yang berat dengan Allah sehingga beliau
berbaiat kepada Kiai Muslich. Setelah melakukan tawajjuh, Kiai
Jazuli sudah dianggap memenuhi syarat untuk diangkat menjadi

26
W id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Brebes, akses tanggal 2 Mei 2012.

27
Sri Mulyati, (et.al), Mengenal dan memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 259.

28
Izzudin Amaith, Dari Buta Mata Menjadi Ulama Luar Biasa (Biografi KH. Abu
Nur Jazuli NA), (Brebes: tnp., 2008), hlm. 43.
62

Mursyid.
29
Sejak Kiai Jazuli diangkat menjadi mursyid oleh Kiai
Muslich, Kiai Jazuli sudah berhak untuk membaiat orang-orang
yang ingin menjadi pengikut Syaikh Abdul Qadir Jaelani, dan sejak
saat itu juga beliau mulai menyiarkan pentingnya mengikuti tarikat
kepada jamaah-jamaahnya.
30

Sejak berbaiat kepada Kiai Muslich dan diangkat menjadi
mursyid, Kiai Jazuli diundang untuk menghadiri Konferensi
Jamiyyah Ahlu Thariqah Mutabaroh di Semarang pada tahun 1968.
Pada Muktamar VII JATMI
31
tahun 1998 Kiai Jazuli masuk ke
dalam mustafad DPP JATMI dengan ketua umum Imdhaiyyahnya
KH. Drs. Damanhuri Ramli dan Sekjennya KH. Drs. Maktub
Effendi. Pada Muktamar JATMI VIII di Pati Jawa Tengah, Kiai
Jazuli dijadikan Rais Am Mustafad dengan ketua umum
Imdhaiyyahnya KH. Drs. Maktub Effendi dan Sekjennya H. Johny
Yusuf Abdullah MBA.
32

Ritual kegiatan Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di
Brebes dan sekitarnya berpusat di Pondok Pesantren An-Nuriyyah
Bumiayu yang biasanya dipimpin langsung oleh Kiai Jazuli. Pasca
wafatnya KH. Abu Nur Jazuli NA pada 2010 lalu, semua rutinitas

29
Ibid., hlm. 107.

30
Ibid., hlm. 43.

31
JATMI merupakan singkatan dari Jamiyyah Ahlu Thariqah Mutabarah
Indonesia.

32
Izzudin Amaith, Dari Buta Mata Menjadi Ulama Luar Biasa (Biografi KH. Abu
Nur Jazuli NA), (Brebes: tnp., 2008), hlm. 67.
63

dan ritual keagamaan jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
dipimpin oleh putra Kiai Jazuli, yaitu bapak Izzudin Amaith (Gus
Izz). Status Gus Izz dalam Terekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
bukan guru mursyid, melainkan hanya sebagai pengasuh dan imam
dalam setiap ritual mujahadah dan kegiatan tarikat yang lain. Pasca
wafatnya Kiai Jazuli, jamaah sepakat untuk menunjuk Gus Izz
sebagai pengganti beliau. Usulan tersebut disampaikan dengan alasan
bahwa Gus Izz mempunyai hubungan darah (nasab) dengan beliau
dan Gus Izz merupakan putra Kiai Jazuli yang paling rajin
melakukan mujahadah dan ritual tarikat yang lain.
Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Brebes
berkembang cukup pesat, hal ini terbukti dengan jumlah jamaaah
tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Brebes mencapai lebih dari
lima ribu orang yang tersebar ke seluruh wilayah Brebes. Kiai Jazuli
mengembangkan tarikat ini tidak hanya sebatas di wilayah
Kabupaten Brebes saja, namun beliau juga menjadi mursyid bagi
jamaaah Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang berada di
wilayah Tegal dan Banyumas.
33

Silsilah dalam tarikat merupakan suatu keharusan untuk
melacak asal-usul tarikat tersebut, apakah sanadnya bersambung
kepada Rasulullah SAW atau tidak. Hal ini diperlukan sebab dalam
doktrin tarikat jika sesorang mengikuti tarikat tanpa guru dipandang

33
Wawancara dengan Bapak Izzudin Amaith, pengasuh (badal mursyid) jamaah
Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Bumiayu, Brebes, tanggal 23 April 2012.
64

tidak sah dan gurunya adalah syaitan. Silsilah Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah yang dikemukakan oleh guru Mursyid Kiai Jazuli
Bumiayu Brebes adalah sebagai berikut:
1. Allah SWT
2. Malaikat Jibril
3. Nabi Muhammad SAW
4. Ali bin Abi Thalib
5. Husain bin Ali
6. Zainal Abidin
7. Muhammad al-Bakir
8. Jafar al Shadiq
9. Musa al-Hadim
10. Al-Hasan Ali al-Ridho
11. Abi Mahfud Maruf al-Kharqi
12. Al-Sari al-Syaqati
13. Abi al-Qasim Junaidi al-Baghdadi
14. Abu Bakar Dilf bin Jahdar al-Sibli
15. Abi al-Faraj al-Thurtusi
16. Abi al-Hasan Ali bin Abi Yusuf al-Qursisyi al-Hakkari
17. Abu Said al-Mubarak bin Ali al-Makzumi
18. Sulthan al-Aulian Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
19. Abdul Azizi
20. Muhammad al-hataki
65

21. Syamsudin
22. Syarofudin
23. Nurudin
24. Waliyuddin
25. Hisyamuddin
26. Yahya
27. Abu bakar
28. Abdurrakhim
29. Utsman
30. Abdul fatah
31. Muhammad Murod
32. Syamsuddin
33. Ahmad Khatib Sambas al-Makki
34. Abdul Karim al-Bantani
35. Asnawi al-bantani
36. Maulana Abdul latif bin al-Bantani
37. Muslich bin Abdurrahman al-Maraqi
38. KH. Abu Nur Jazuli Nahrawi Amaith
34

Silsilah di atas menjelaskan bahwa tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Brebes mempunyai sanad yang menyambung
hingga kepada Rasulullah SAW, dimulai dari Kiai Jazuli sampai ke

34
Izzudin Amaith, Dari Buta Mata Menjadi Ulama Luar Biasa (Biografi KH. Abu
Nur Jazuli NA), (Brebes: tnp., 2008), hlm. 108.
66

shahib al-Tariqah Syaikh Abdul Qadir Jaelani dan diteruskan
kepada Rasulullah SAW dan berakhir pada Allah Azza wa Jalla.

B. Pandangan Jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN)
terhadap Poligami.
Poligami, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, merupakan
perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih (namun
cenderung diartikan perkawinan satu orang suami dengan dua orang
isteri atau lebih).
35
Fenomena poligami merupakan salah satu bagian
dari hukum perkawinan di dunia Islam. Banyak nash yang membahas
poligami. Mayoritas ulama menggunakan An-Nis (4): 3 untuk
menetapkan status kebolehan poligami. Metode penafsiran yang berbeda
menimbulkan pendapat yang berbeda pula dalam menetapkan status
hukum poligami. Jumhur ulama membolehkan poligami dengan syarat
adil, namun tidak sedikit yang mengharamkannya. Berikut adalah
beberapa pendapat beberapa jamaah Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah terkait masalah poligami:
1. H. A. Ghazali
H.A. Ghazali merupakan salah satu pengikut Kiai Jazuli yang
mempunyai karir cemerlang dalam dunia politik. Beliau pernah
menjabat sebagai ketua komisi D DPRD Kabupaten Brebes. Beliau
menyebutkan bahwa status hukum poligami adalah boleh dengan

35
Farida Hamid, Kamus ilmiah populer Lengkap, (Surabaya: Apollo), hlm. 498.
67

disertai syarat adil. Pendapatnya ini didasarkan pada An-Nis (4): 3
yang mengandung makna kebolehan melakukan poligami, bahkan
dia menuturkan, tidak ditemukan lafa (kata) yang berisi perintah
untuk tidak melakukan poligami. Konsep keadilan yang dimaksud
dalam Islam menurut dia hanya sebatas keadilan materiil, sebab
tidak mungkin syariaat memperbolehkan manusia melakukan
poligami dengan syarat yang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh
manusia itu sendiri, yakni syarat keadilan non-materi (perasaan cinta
dan kasih sayang) yang secara jelas telah Allah sebutkan dalam An-
Nis (4) : 129. Ketika isteri menuntut keadilan non materi, beliau
akan membicarakan permasalah ini dari hati ke hati (musyawarah)
sebab cara seperti ini adalah cara yang ampuh untuk
mempertahankan keutuhan rumah tangga.
Beliau menambahkan bahwa poligami tidak dapat dikatakan
sebagai penghambat bagi seorang salik yang tengah berusaha
mencari marifat Allah. Beliau memberikan contoh, bahwa Kiai
Jazuli adalah pelaku poligami yang juga berstatus guru mursyid.
Fenomena ini memberikan kesimpulan bahwa poligami tidak dapat
dikategorikan ke dalam hal-hal yang menghambat seorang salik
menuju marifat jika dilakukan sesuai dengan syariat.
36




36
Wawancara dengan H. A. Ghazali, Pelaku Poligami, Pruwatan, Bumiayu, pada
tanggal 16 April 2012.
68

2. KH. Labib
KH. Labib merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren
al-Hikmah Benda, Sirampog, Brebes. Beliau mengatakan bahwa An-
Nis (4): 3 digunakan oleh ulama untuk menetapkan status hukum
poligami. Beliau juga menggunakan dasar tersebut untuk
menetapkan kebolehan poligami. Selain ayat tersebut, beliau juga
menggunakan dasar hadis yang berisi anjuran untuk mempunyai
anak yang banyak, yang menurutnya bisa dilakukan dengan cara
melakukan poligami. Beliau menentang pendapat orang yang
mengharamkan poligami, bahkan beliau juga menantang orang-
orang maupun pemerintah yang mengharamkan poligami untuk
memberikan solusi yang tepat selain poligami terhadap maraknya
kasus perzinaan yang ada. Beliau berpendapat bahwa poligami
merupakan lembaga yang jauh lebih baik untuk menyalurkan hasrat
seksual dibanding dengan jajan di luar .
Kebolehan poligami yang diamanatkan oleh al-Quran bukan
tanpa syarat, melainkan orang yang berpoligami harus mempunyai
kemampuan untuk berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anaknya di samping kemampuan dalam hal nafkah. KH. Labib
berpendapat bahwa keadilan yang menjadi syarat bagi pelaku
poligami hanya sebatas keadilan yang bersifat materi/ fisik
sebagaimana dijelaskan dalam An-Nis (4): 129, bahwa keadilan
69

non-fisik merupakan hal yang tidak akan mungkin bisa dicapai oleh
manusia sekeras apapun dia berusaha.
Beliau menambahkan, terkait masalah apakah poligami dapat
mengganggu seseorang salik dalam mencapai marifat, beliau
menjawab, bahwa hal semacam itu tergantung pada individu masing-
masing. Jika orang tersebut mampu me-manage hatinya antara
kehidupan dunia (hablu min an-nas) dan ukhrawinya (hablu
minallah), maka insya Allah dengan atau tanpa melakukan poligami
orang tersebut mampu mencapai cita-cita tertinggi tasawuf.
37

3. Kiai Tauchid S.
Beliau dikenal sebagai seorang muballigh yang cukup
kondang di desanya. Pendapat Kiai Tauhid mengenai poligami pada
dasarnya sama seperti pendapat para ulama pada umumnya, yaitu
memperbolehkan poligami dengan syarat adil. Adil yang dimaksud
dalam hal poligami hanya sebatas adil dalam urusan materi. Beliau
mengatakan bahwa adil bukan berarti menyamaratakan nafkah antara
isteri yang satu dengan isteri yang lain, tetapi adil adalah
memberikan nafkah sesuai dengan kebutuhan isteri-isterinya. Jadi
antara isteri yang satu dan isteri yang lain belum tentu mendapatkan
nafkah yang sama, namun kuantitasnya menurut kebutuhan masing-
masing (proporsional). Meski demikian, dalam hal giliran malam
Kiai Tauhid memberikan jatah yang sama terhadap isteri-isterinya.

37
Wawancara dengan KH. Labib, pelaku poligami, Benda Sirampog, Brebes, pada
tanggal 18 April 2012.
70

Kiai Tauhid merupakan orang yang tekun dalam
melaksanakan ibadah, beliau kerap mengamalkan ritual zikir yang
pernah diajarkan oleh sang guru mursyid. Bahkan, poligami yang
dilakukannya semakin membuat dirinya merasa dekat dengan Allah,
sebab beliau merasa bahwa poligami yang dilakukannya membuat
dirinya belajar untuk lebih memahami arti keadilan dan tanggung
jawab sebagai seorang suami.
38

4. Drs. Izzudin Amaith, M.Pd. (Gus Izz)
Pasca wafatnya sang guru mursyid Kiai Jazuli, sebagaimana
telah dijelaskan di atas, segala rutinitas ritual keagamaan tarikat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Brebes dipimpin oleh putra ke-9
dari anak pertama beliau, yaitu Izzudin Amaith atau lebih akrab
disebut Gus Izz. Gus Izz berpandangan bahwa poligami hukumnya
boleh sebagaimana dijelaskan dalam An-Nis (4): 3. Keadilan ini
bersifat fisik dan batin. Keadilan batin, menurut beliau, meski
memang sangat sulit untuk dilakukan namun tetap harus selalu
diupayakan. Beliau berpendapat bahwa pandangan kebolehan
poligami yang banyak disampaikan oleh jamaah tidak lain karena
poligami yang dilakukan mursyid, sebab afal (perbuatan) seorang
mursyid secara tidak langsung memberikan tanda bahwa perbuatan
tersebut boleh dilakukan, bahkan dalam perspektif tarikat dianjurkan
untuk dilakukan, begitu pula sebaliknya, jika mursyid tidak

38
Wawancara dengan Kiai Tauhid. S, pelaku poligami, Caruban, Tonjong,, Brebes,
pada tanggal 19 April 2012.
71

melakukan dan melarang (mengharamkan) seorang murid
berpoligami, maka dia tidak akan berpoligami dan berpendapat
bahwa poligami haram hukumnya.
Seorang salik yang berpoligami, menurut Gus Izz sangat sulit
untuk mencapai tujuan tasawuf (marifat) jika tujuannya berpoligami
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Hal ini disebabkan karena
riyadhah seorang salik dalam upaya mencapai marifat adalah
dengan meninggalkan nikmat (tarku an-nimah), meninggalkan
syahwat (tarku asy-syahwah) dan meninggalkan kesenangan (tarku
al-ladzah).
39

5. Kiai Munirudin
Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Subulussalam di
Desa Kali Langkap Kecamatan Bumiayu. Pendapat beliau tentang
An-Nis (4): 3 adalah bahwa fungsi huruf pada lafadz -; --; _---
adalah wawu takhyir, yaitu huruf athaf yang befungsi untuk memilih.
Artinya, poligami diperbolehkan dua atau tiga atau empat.
Kebolehan melakukan poligami disertai dengan syarat adil yang
harus dipenuhi. Keadilan dalam poligami menurut Kiai Munirudin
hanya sebatas keadilan fisik, sebab keadilan batin tidak disyaratkan
dengan alasan keadilan batin tidak mungkin untuk bisa dipenuhi.
Kiai Munirudin tidak menganjurkan pengikut Tarikat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah untuk melakukan poligami meski sang

39
Wawancara dengan Drs. Izzudin Amaith, M.Pd, informan yang tidak
berpoligami, Kauman, Bumiayu, Brebes, pada tanggal 23 April 2012.
72

mursyid melakukan hal itu. Beliau berpendapat poligami merupakan
perbuatan atau hal yang dilaksanakan mursyid, namun perbuatan
tersebut tidak dianjurkan untuk diikuti karena syarat yang berat. Jika
ada jamaah yang melakukan poligami karena mengikuti perbuatan
mursyid, beliau juga tidak memberikan apresiasi terhadapnya karena
bagi beliau hukum poligami adalah mubah, bukan sunnah. Meski
mursyid (yang notabene merupakan pemimpin tertinggi dalam tarikat
dan sudah memperoleh marifat) melakukan poligami dengan
sukses, belum tentu dampak yang sama akan diperoleh oleh jamaah,
sebab setiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam menjalin
komunikasi dengan keluarga. Artinya, poligami belum tentu dapat
membuat diri semakin cinta kepada Allah dan belum tentu juga
dapat menghambat seorang salik dalam mengenal Allah, namun
tergantung masing-masing individu dalam mengatur hatinya.
40

6. Gautsul Audhom, S.Pd.I.
Beliau adalah seorang guru agama di salah satu sekolah
swasta di Bumiayu. Pendapat Bapak Gauts tentang poligami hampir
sama dengan pendapat Kiai Munirudin, yaitu memperbolehkan
poligami dengan syarat adil. Pak Gauts memberikan makna adil
sebagai mahallu al-haal fii al-haal (menempatkan sesuatu sesuai
pada tempatnya), artinya keadilan bersifat relatif. Beliau
menambahkan, bahwa Allah menggunakan lafadz khaf pada kalimat

40
Wawancara dengan Kiai Munirudin, informan yang tidak poligami, Kali Langkap,
Bumiayu, Brebes, pada 22 April 2012.
73

wa in khiftum karena lafadz khaf (takut) mempunyai makna yang
lebih komprehensif, artinya pada saat seseorang akan melakukan
poligami, dia paham bahwa perbuatannya mempunyai
pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Berbeda jika Allah
menggunakan lafadz hazn (sedih), lafadz hazn meski mengandung
mengandung resiko namun tidak ada pertanggung jawaban lebih
lanjut atas perbuatan tersebut. Pemenuhan kebutuhan isteri
tergantung pada cara orang memahami lafadz khaf. jika dia bisa
memahami lafadz tersebut, maka kebutuhan materi maupun non
materi dapat dipenuhi.
41

7. Ibu Nyai Siti Muzakiyah
Ibu Nyai Siti Muzakiyah merupakan isteri ke-empat Kiai
Jazuli. Beliau juga menjadi pengasuh Pondok Pesantren An-
Nuriyyah Komplek Rabiah al-Adawiyah, salah satu komplek asrama
putri dari Pondok Pesantren An-Nuriyyah yang didirikan Kiai Jazuli.
Ibu Nyai Zakiyah berpendapat bahwa poligami diperbolehkan jika
suami mampu berbuat adil. Adil menurut Ibu Nyai bersifat relatif
dan proporsional. Keadilan ini tidak hanya bersifat fisik saja, namun
keadilan yang bersifat batin juga harus dipenuhi. Keadilan batin,
menurut beliau juga bersifat relatif, beliau memberi contoh jika isteri
pertama lebih taat terhadap suaminya dibanding isteri-isteri yang
lain, maka sudah sepatutnya suami lebih condong kepada isteri

41
Wawancara dengan Gautsul Audhom, S. Pd.I, informan yang tidak poligami, Kali
Langkap, Bumiayu, Brebes, pada 22 April 2012.
74

pertama. Keadilan seperti ini, meski terdapat kesenjangan (timpang),
inilah keadilan batin yang harus dipenuhi oleh suami.
Hal yang menarik adalah bahwa Ibu Nyai Zakiyah
merupakan isteri Kiai Jazuli yang menawarkan diri untuk dipoligami
(dijadikan isteri ke-empat). Keinginan beliau untuk menjadi isteri
Kiai Jazuli adalah karena kecintaanya kepada Allah. Kecintaan
beliau kepada Allah beliau terapkan dengan menikah dengan
waliyullah (Kiai Jazuli), karena beliau beranggapan bahwa menikah
dengan waliyullah dapat semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Beliau menambahkan, bahwa wanita yang dipoligami harus ikhlas
dan harus meneguhkan hatinya untuk mengharap ridha Allah
semata, sebab dengan ikhlas dan ridha akan semakin mendekatkan
diri kepada Allah.
42

8. Ibu Nunik Parwati
Ibu Nunik merupakan isteri ke-dua dari H. A. Ghazali. Beliau
tinggal daerah Bantarkawung, Brebes. poligami menurut Ibu Nunik
adalah boleh dengan syarat adil. Keadilan dalam poligami bersifat
fisik dan non fisik. Meski keadilan non fisik (keadilan perasaan)
sangat susah untuk dicapai, suami harus senantiasa berusaha sekeras
mungkin untuk menyayangi dan memberikan perhatian kepada
isteri-isteri dengan kadar yang sama.

42
Wawancara dengan Ibu Nyai Siti Muzakiyah, isteri yang dipoligami, Krajan,
Bumiayu, Brebes, pada tanggal 23 April 2012.
75

Kehidupan rumah tangga pasangan poligami memang tidak
selalu berjalan mulus. Problematika rumah tangga seperti pembagian
nafkah yang kurang adil, perhatian berlebih terhadap salah satu isteri
memang sering terjadi dalam rumah tangga. Jika hal seperti itu
terjadi, Ibu Nunik akan mengintrospeksi diri, sebelum kemudian
curhat dengan suami.
Ibu Nunik merasa bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan
oleh seorang salik yang ingin melakukan poligami. Jika poligami
dilakukan sesuai dengan praktek poligami Rasulullah, insya Allah
akan terbentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dan
akan semakin mendekatkan diri salik kepada Allah.
43

9. Ibu Tasripah
Sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan masalah
poligami, Ibu Tasripah tidak menganjurkan wanita lain untuk
bersedia dipoligami. Poligami bagi Ibu Tasripah hanya
diperbolehkan, bukan disunnahkan. Beliau mengutip An-Nis (4): 3
sebagai dasar bagi seseorang untuk melakukan poligami. Beliau
berpendapat, meski konteks ayat tersebut adalah larangan memakan
harta anak yatim namun ayat tersebut juga mempunyai aturan
tentang kebolehan poligami. Tidak ada ayat-ayat al-Quran maupun
al-Hadits yang melarang (mengharamkan) seseorang melakukan
poligami dan tidak ada pula yang menyuruh (mewajibkan atau

43
Wawancara dengan Ibu Nunik Parwati, isteri yang dipoligami, Bantarkawung,
Brebes, pada 17 April 2012.
76

menganjurkan) melakukannya. Namun jika melihat dampak-dampak
yang mungkin ditimbulkan oleh poligami, sebisa mungkin untuk
menghindari melakukan poligami, sebab wanita yang dipoligami
harus mempunyai mental dan kesabaran yang kuat.
Keadilan dalam poligami menurut Ibu Tasripah meliputi
keadilan fisik dan batin. Keadilan batin, bagi beliau merupakan
syarat yang harus diupayakan meski tidak mungkin untuk dicapai,
sebab batin (perasaan) perempuan pada umumnya menolak untuk
dimadu, sehingga sebisa mungkin suami harus memberikan
perhatian yang sama agar tidak menimbulkan kecemburuan di antara
isteri-isteri.
44


44
Wawancara dengan Ibu Tasripah, Isteri yang dipoligami, Pruwatan, Bumiayu,
pada tanggal 16 April 2012.


77

BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TEHADAP PANDANGAN JAMAAH
TARIKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DI BREBES
MENGENAI POLIGAMI
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1

Akad dalam perkawinan bukan sekedar akad muammalah biasa, namun
merupakan akad yang kokoh (mitsaqan ghaliza). Tujuan akad ini tidak lain
untuk membentuk keluarga bahagia yang sakinah (tenteram), mawaddah
(kasih) dan rahmah (sayang). Tujuan lain dari lembaga perkawinan adalah
pemenuhan kebutuhan biologis, fungsi reproduksi, menjaga kehormatan dan
ibadah.
Undang-Undang Perkawinan Indonesia menjelaskan bahwa asas
perkawinan pada dasarnya adalah monogami,
2
yaitu perkawinan antara
seorang lelaki dan seorang perempuan. Pada kondisi tertentu poligami, atau
menikah lebih dari seorang, dibolehkan oleh undang-undang.
3
Kebolehan
melakukan poligami tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan, namun

1
UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1.
2
Ibid., pasal 3 ayat 1
3
Ibid., pasal 4 ayat 2.
78

sebenarnya kebolehan poligami masih menimbulkan banyak polemik. Jumhur
ulama memperbolehkan poligami dengan syarat yang cukup ketat, namun
tidak sedikit pula yang mengharamkan poligami. Imam mazhab seperti Imam
Syafii, Imam Hanbali, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pada umumnya
tidak pernah menyebutkan kata haram pada saat berbicara masalah
poligami dan tidak pula menyebutkan kata wajib maupun sunnah.
Poligami menurut ulama mazhab hukumnya hanya sebatas mubah.
Penyusun mendapat informasi di lapangan bahwa status hukum
poligami menurut jamaah Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di
Kabupaten Brebes secara global (umum) adalah boleh (mubah). Pernyataan
ini dapat dilihat pada bab sebelumnya bahwa semua informan membolehkan
poligami dan tidak ada yang mengharamkannya. Pendapat para informan ini
tidak lain merupakan salah satu doktrin yang diajarkan oleh sang guru
mursyid meski tidak secara langsung. Peran guru mursyid dalam sebuah
tarikat sangatlah dominan. Guru mursyid merupakan tempat jamaah
berkeluh kesah dan berkonsultasi tentang permasalahannya di bidang fiqh,
tauhid, tasawuf dan lain-lain. Perbuatan atau perilaku sang mursyidpun
menjadi uswah atau teladan bagi para jamaah. Jika mursyid melakukan
amalan tertentu, maka jamaah akan berasumsi bahwa perbuatan itu boleh,
sunnah bahkan wajib dilakukan juga olehnya. Begitu pula sebaliknya, jika
guru mursyid melarang sang murid (jamaah) melakukan perbuatan tertentu,
maka murid tersebut tidak akan melakukan.
79

Penyusun telah melakukan pengumpulan data melalui wawancara
dengan sembilan informan yang merupakan anggota (jamaah) Tarikat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Pendapat pertama dari H. Ghazali yang
memperbolehkan poligami dengan syarat adil dalam hal materi saja. Alasan
poligami dari H. Ghazali adalah karena umur isteri pertama yang sudah lanjut
usia, sehingga tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan suami.
4
Alasan ini
dibenarkan oleh pendapat al-Maraghi dan Muhammad Rasyid Ridha yang
memperbolehkan poligami dengan alasan menghindari zina melalui lembaga
perkawinan yang sah dengan isteri kedua dan seterusnya. Pendapat kedua
oleh KH. Labib yang pendapatnya tidak jauh berbeda dengan pendapat H.
Ghazali. KH. Labib menambahkan bahwa Rasulullah juga menyuruh
ummatnya untuk mempunyai banyak anak, sehingga poligami dapat dijadikan
sarana untuk memperbanyak keturunan.
5
Pendapat ketiga dari Kiai Tauhid
yang memandang kebolehan poligami dengan alasan yang sama
6
dengan H.
Ghazali.
Pandangan selanjutnya yaitu pandangan keempat dari Gus Izz yang
memperbolehkan poligami dengan syarat adil materi dan non materi. Beliau
menyarankan kepada para salik agar sebisa mungkin tidak melakukan

4
Wawancara dengan H. A. Ghazali, Pelaku Poligami, Pruwatan, Bumiayu, pada
tanggal 16 April 2012.
5
Wawancara dengan KH. Labib, pelaku poligami, Benda Sirampog, Brebes, pada
tanggal 18 April 2012.
6
Wawancara dengan Kiai Tauhid. S, pelaku poligami, Caruban, Tonjong,, Brebes,
pada tanggal 19 April 2012.
80

poligami demi menjaga tirakatnya.
7
Argumen ini sangat logis mengingat
poligami masih menjadi perdebatan dan sangat berpotensi menyebabkan
konflik yang tentu dapat merusak tirakat seorang salik. Pendapat yang kelima
dari Kiai Munirudin yang memperbolehkan poligami dengan syarat adil
materi saja. Beliau berpendapat bahwa poligami yang dilakukan oleh mursyid
bukan hal yang wajib diikuti, sebab metode komunikasi antar individu dengan
masing-masing keluarga berbeda.
8
Pendapat keenam dari Bapak Gauts yang
berpendapat bahwa lafaz khaf mempunyai makna bahwa an-Nis (4): 3
mensyaratkan pelaku poligami menunaikan keadilan materi dan non materi.
9

Asumsi ini menunjukkan bahwa kewajiban memenuhi keadilan mempunyai
pertanggung jawaban hingga ke akhirat, bahwa poligami bukan sekedar
perbuatan yang serta merta diperbolehkan oleh syara, namun mempunyai
dampak yang sangat luar biasa. Akibatnya, keadilan poligami menjadi syarat
yang wajib untuk dilakukan dan diperhatikan.
Pendapat ketujuh dari Ibu Muzakiyah yang memperbolehkan poligami
dengan syarat adil fisik dan adil non fisik. Ibu Muzakiyah berasumsi bahwa
menikah dengan waliyullah dapat semakin meningkatkan iman dan taqwa

7
Wawancara dengan Drs. Izzudin Amaith, M.Pd, informan yang tidak berpoligami,
Kauman, Bumiayu, Brebes, pada tanggal 23 April 2012.
8
Wawancara dengan Kiai Munirudin, informan yang tidak poligami, Kali Langkap,
Bumiayu, Brebes, pada 22 April 2012.
9
Wawancara dengan Gautsul Audhom, S. Pd.I, informan yang tidak poligami, Kali
Langkap, Bumiayu, Brebes, pada 22 April 2012.
81

terhadap Allah.
10
Perkawinan dengan seorang mursyid memang dapat
dianalogikan seperti perkawinan Nabi Muhammad dengan isteri-isterinya
yang dapat membuat seorang isteri dapat lebih intens dalam menggali ilmu
agama. Pendapat kedelapan dari Ibu Nunik Parwati yang memperbolehkan
poligami dengan syarat keadilan fisik dan non fisik. Ibu Nunik menambahkan
bahwa konflik dalam keluarga, baik keluarga biasa maupun keluarga
poligami, dapat diredam dengan musyawarah antar anggota keluarga,
sehingga musyawarah menjadi kunci sukses dalam membangun keluarga
harmonis.
11
Musyawarah dapat menjadi solusi awal jika dalam rumah tangga
poligami mengalami konflik akibat kesenjangan keadilan suami. Musyawarah
juga menjadi salah satu prinsip perkawinan. Pendapat terakhir atau
kesembilan dari Ibu Tasripah yang membolehkan poligami namun tidak
menganjurkan isteri-isteri untuk dipoligami, sebab poligami hanya bisa
dilakukan secara sukses oleh wanita yang mempunya kesabaran dan mental
yang kuat.
12
Pendapat ini mengandung sebuah pemahaman bahwa pada
hakikatnya poligami bukanlah perkawinan yang ideal karena mempunyai
potensi yang lebih besar dalam munculnya konflik dalam rumah tangga,
meskipun pada kondisi yang lain poligami dapat menjadi solusi dalam
menjawab permasalahan sosial yang ada.

10
Wawancara dengan Ibu Nyai Siti Muzakiyah, isteri yang dipoligami, Krajan,
Bumiayu, Brebes, pada tanggal 23 April 2012.
11
Wawancara dengan Ibu Nunik Parwati, isteri yang dipoligami, Bantarkawung,
Brebes, pada 17 April 2012.
12
Wawancara dengan Ibu Tasripah, Isteri yang dipoligami, Pruwatan, Bumiayu,
pada tanggal 16 April 2012.
82

Berdasarkan hasil data yang penyusun dapatkan di lapangan, terdapat
kesamaan pendapat informan dalam menetapkan status kebolehan melakukan
poligami, namun terdapat perbedaan dalam memberikan makna pada keadilan
poligami berbeda-beda. Klasifikasinya adalah sebagai berikut:
1. Informan yang berpendapat bahwa keadilan dalam poligami sebatas
keadilan materi.
Keadilan kuantitatif (disebut juga keadilan materi atau keadilan
fisik) merupakan keadilan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang
akan melakukan poligami. Undang-Undang Perkawinan Indonesia
menyebutkan bahwa suami yang akan melakukan poligami harus
memenuhi syarat yang salah satunya adalah jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
13
Fiqh mazhab
juga menyebutkan bahwa keadilan yang disyaratkan oleh al-Quran adalah
keadilan materi saja.
Informan yang berpendapat bahwa keadilan dalam poligami
sebatas keadilan fisik saja antara lain; H.A. Ghazali, KH. Labib, Kiai
Tauchid dan Kiai Munirudin. Alasan yang dikemukakan oleh informan
pada golongan ini secara garis besar mempunyai persamaan, yaitu karena
keadilan non materi tidak mungkin dilakukan oleh manusia sekeras apapun
manusia berusaha sebagaimana tertera pada an-Nis (4): 129.


13
Ibid., Pasal 5 ayat 1c.
83

2. Informan yang berpendapat bahwa keadilan dalam poligami mencakup
keadilan materi dan keadilan batin.
Informan yang berpendapat bahwa keadilan poligami meliputi
keadilan materi dan non materi yaitu Gus Izz, Ghautsul Audhom, Ibu Nyai
Muzakiyah, Ibu Nunik Parwati dan Ibu Tasripah. Pendapat para informan
ini mempunyai alasan bahwa pada dasarnya tidak ada wanita yang secara
benar-benar lapang dada bersedia untuk dimadu. Meski bersedia, dalam
hati kecilnya pasti dia lebih memilih untuk menjadi satu-satunya isteri
sang suami. Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa setiap manusia,
khususnya wanita, diberi rasa iri dan cemburu oleh Allah. Jika suami
condong pada salah satu isteri, maka isteri yang lain pasti akan merasa
cemburu. Kecemburuan ini merupakan tanda atau barometer bahwa terjadi
kesenjangan keadilan suami.
Keadilan non materi juga ditunaikan oleh Rasulullah SAW,
sehingga keadilan non materi harus selalu diupayakan meski tidak
mungkin dipenuhi secara maksimal.
Mayoritas informan dari kelompok ini mengkaitkan QS. An-Nisa
(4): 3 dan 129, bukan memaknainya secara terpisah. Meski keadilan non
materi sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk dilakukan, suami yang
berpoligami wajib berusaha sekeras mungkin untuk berlaku adil dalam
membagi perhatian dan kasih sayang terhadap isteri-isterinya.
Kelompok informan kedua yang berpendapat bahwa keadilan
poligami meliputi keadilan fisik dan batin terlihat didominasi oleh kaum
84

perempuan yang dipoligami, sehingga pendapat bahwa keadilan poligami
yang diungakapkan terkesan sangat subjektif. Namun beberapa informan
dari lelaki yang tidak berpoligami juga mengungkapkan hal senada, seperti
Gus Izz dan Kiai Munirudin yang mengkaitkan kewajiban menununaikan
keadilan poligami fisik dan batin dengan upaya pencapaian kesempurnaan
syariat.
Tujuan setiap orang yang mengikuti jalan tasawuf (salik) tidak lain
adalah untuk mencapai marifat atau kesempurnaan iman. Marifat adalah
pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui
hakikat ketuhanan dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal
dari yang satu.
14

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sebelum mencapai
marifat seorang salik wajib berjalan dalam koridor syariat dan berusaha
memahami hikmah dari syariat Allah tersebut (hikmatuttasyri). Jika
syariat yang ia jalankan sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi, maka dia
akan merasakan manfaat dari syariat tersebut. Semakin banyak hakikat
tasyri yang ia rasakan, pengetahuan dan rasa cinta kepada Allah akan
semakin besar, hingga sampailah ia pada tingkat marifat. Salah satu
syariat dalam Islam adalah aturan poligami yang tertera pada An-Nis

14
http://fadilhafiz.multiply.com/reviews/item/16?&show_interstitial=1&u=%2Frevie
ws%2Fitem, akses pada 21 Mei 2012
85

(4): 3. Jika poligami dilakukan sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi,
maka sudah tentu dia akan semakin merasakan hikmah dari syariat
tentang poligami tersebut. Beberapa narasumber berpendapat bahwa
poligami tidak bisa dikategorikan sebagai masalah yang dapat
menghalangi seorang salik untuk bermarifat, dengan alasan bahwa untuk
mencapai marifat tergantung pada setiap individu dalam memandang dan
melakukan poligami. Bahkan orang yang tidak melakukan poligamipun
belum tentu dapat mencapai tingkat marifat. Sebagian lain berpendapat
bahwa orang yang berpoligami akan semakin sulit untuk mencapai
marifat jika tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, sebab
tasawuf mengajarkan pada seorang salik untuk zuhud dan tidak cinta pada
kenikmatan dunia.
Perkawinan ideal dalam Islam adalah monogami, namun tidak
menutup kemungkinan diperbolehkannya seseorang untuk melakukan
poligami. Izin poligami dapat diberikan kepada seorang suami dengan
syarat-syarat yang wajib dipenuhi baik sebelum maupun sesudah
melakukan poligami.
Hukum Islam diciptakan untuk memberikan kemasalahatan hidup
bagi manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial.
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja, tetapi juga
untuk kehidupan di akhirat kelak. Jika menganalisis status hukum poligami
dari aspek Hukum Islam harus melalui pertimbangan manfaat (maslahat)
dan mafsadatnya. Hukum Islam terdiri dari syariat dan fiqh, dimana
86

syariat adalah wahyu Allah dan sabda Rasulullah
15
sedang fiqh berupa
pemahaman (interpretasi) terhadap ilmu yang berupa wahyu (yaitu al-
Quran dan al-Hadis).
16

Al-Quran menyebutkan kebolehan poligami yang tertuang dalam
An-Nis (4):3, yang berbunyi:
- ;=~--V ;--= Q; Q'- -; --; _--- '~--Q- ;-- ~'= '- ;=--'- _----
-=;- ;---V --= _-- 4-- ;---- ~--- '-; -;-V
17

Jumhur ulama berpendapat bahwa syarat poligami adalah berbuat adil dan
maksimal empat orang isteri. Adil menjadi syarat yang harus dipenuhi
pelaku poligami berdasar An-Nis (4): 129 yang berbunyi:
-- >- ;-~,=;-; '~-- Q-- ;--- Q ;-=-~- Q-; ----'- ',--- J---J- ;--
'--=, ,;--Q'- Q'- ;---; ;=-~-Q;
18

Pemaparan sebelumnya menyebutkan bahwa Hukum Islam dibuat
dengan tujuan demi mendatangkan maslahat dan meninggalkan mafsadat.
Tujuan Hukum Islam (maqashid as-syariah) ini melindungi agama, jiwa,
akal, harta dan nasab. Konsep maslahat ini juga disebutkan dalam sebuah
kaidah fiqhiyyah:
_-'~-- -= _-- -- ~'---
19


15
http://wigunaharis.wordpress.com/2011/02/01/hukum-islam-syari%E2%80%99at-
dan-fiqih/, akses pada 25 Mei 2012
16
Ibid.
17
An-Nis (4) : 3
18
An-Nis (4) : 129.
87

Maksud kaidah fiqh di atas adalah jika poligami dirasa dapat menimbulkan
mafsadat atau madharat bagi pihak-pihak yang terlibat, maka sesuai
dengan kaidah fiqhiyyah di atas, poligami harus dihindari (dilarang).
Poligami dalam tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah juga harus
dicermati kemaslahatannya. Umumnya jamaah tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Brebes berpendapat bahwa poligami diperbolehkan
dengan alasan:
1. Poligami disyariatkan oleh al-Quran dan tidak dilarang sebagaimana
dalam ayat:
- ;=~--V ;--= Q; -; --; _--- '~--Q- ;-- ~'= '- ;=--'- _----
Q'- -=;- ;---V --= ~--- '-; -;-V _-- 4-- ;----
20

Jamaah yang berpendapat demikian antara lain; Gus Izz, Kiai
Munirudin, Bapak Gauts, Ibu Nunik dan Ibu Tasripah.
2. Poligami bagi orang tertentu dapat menjadi sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah, seperti poligami yang dialami oleh Ibu Siti
Muzakiyah yang bersedia menjadi isteri keempat dari seorang mursyid.
Beliau mengetahui resiko menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat,
namun beliau beranggapan bahwa menikah dengan waliyullah dapat
semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Perkawinan ini dapat
dianalogikan seperti Aisyah dan isteri-isteri Nabi yang lain yang secara

19
Abdul hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah (Jakarta: al-Maktabah al-Saadiyyah
Putra, 1927), hlm. 34.
20
An-Nis (4) : 3
88

umum lebih banyak meriwayatkan hadis karena intensitas bertemu
dengan Rasul lebih tinggi, sehingga isteri-isteri Rasul menjadi lebih
tahu banyak mengenai ilmu agama.
3. Poligami sebagai sarana penyaluran hasrat seksual yang sesuai dengan
syariat dibanding melakukan zina. Alasan ini didukung dengan ayat
berikut:
;=-= ;)=,-- ; Q--- . ,-- ;)-'- ;)-'-- ~--- '- ;)= _-- V
Q--;--
21

Alasan ini sebagaimana diungkapkan oleh H. A. Ghazali, KH. Labib
dan Kiai Tauchid. Alasan ini diikuti oleh alasan lain seperti: ingin
memperbanyak keturunan, isteri yang sudah tidak mampu melayani
kebutuhan seksual suami dan sebagainya. Alasan pemenuhan hasrat
seksual ini dapat menjadi terbukanya pintu darurat poligami
sebagaimana yang diungkapkan al-Maraghi dan Muhammad Rasyid
Ridha, yaitu karena suami mempunyai hasrat seks yang tinggi,
sedangkan isteri tidak mampu melayani sesuai dengan kebutuhannya.
Penalaran atau pola pikir jamaah dalam memandang
permasalahan poligami secara garis besar memiliki kesamaan dengan
model berfikir ulama fiqh klasik. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh
doktrin tarikat yang begitu kuat mengingat peran guru mursyid yang
memang sangat dominan dalam tarikat. Hubungan fiqh dan tasawuf

21
Al-Muminn (23): 5-6.
89

terlihat pada kesamaan persepsi jamaah tarikat dengan persepsi ulama
fiqh, sebab seperti diterangkan dalam beberapa literatur Syaikh Abdul
Qadir Jaelani senantiasa memberikan fatwa dan doktrin fiqh ala mazhab
Hanbali dan mazhab Syafii.
22

Ilmu tasawuf mengenal adanya pokok ajaran Islam yang
menjadi tingkatan amalan seseorang. Poligami yang dijalankan sesuai
dengan syariat tentu dapat menimbulkan rasa cinta (mahabbah) dan
menambah kedekatan seorang makhluk terhadap Tuhan, dengan catatan
jika pelaku poligami tersebut mengetahui hakikat poligami. Poligami
yang dilakukan oleh Rasul pada hakikatnya bukanlah sebagai lembaga
penyaluran hasrat seksual, namun perlindungan terhadap janda-janda
dan anak yatim masa itu. Hakikat ini harus dipahami oleh salik demi
sempurnanya syariat yang ia lakukan. Jika poligaminya tidak sesuai
dengan syariat dan hakikat yang telah dijelaskan di atas, maka
poligami tentu dapat menghambat salik dalam mencapai marifat.
Ketika poligami menghambat riyadhah atau tirakat seorang salik
dalam menjalani jalan tasawuf, tentu poligami harus dihindari demi
tercapainya cita-cita bertasawuf.
Poligami memang masih menjadi diskursus panjang yang
hingga detik ini masih menimbulkan perseteruan pendapat dari kubu
pro dan kubu kontra. Kubu Pro-Poligami berpendapat bahwa tidak ada

22
Abdul Razaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani Guru Para Pencari Tuhan
(Bandung: Mizania, 2009), hlm. 137.
90

satupun dalil yang mengharamkan poligami secara tegas. Poligami juga
dapat dijadikan sebagai solusi atau alternatif terhadap maraknya kasus
perselingkuhan dan perzinahan. Pada sisi yang lain Kubu yang kontra
berpendapat bahwa poligami telah mengusik kesetaraan gender dan Hak
Asasi Manusia, yang dalam hal ini korbannya adalah wanita.
Pada kesempatan ini penyusun mencoba ikut menganalisis
poligami. Poligami disebutkan secara tersurat dan tersirat dalam nash
(al-Quran dan hadis), seperti pada An-Nis (4) : 3, 24 dan 129, lalu
al-Ahzab (33): 50 dan al-Muminn (23): 5-6. Jika dicermati secara
tekstual, poligami dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang
hukumnya boleh karena tidak ada satupun nash yang
mengharamkannya. Ayat tentang poligami umumnya adalah ayat-ayat
zanni, sehingga tidak dapat dipungkiri akan adanya pendapat yang
menganggap bahwa poligami hanya sebagai alternatif saja, bukan
merupakan perbuatan yang dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun
dan dimanapun. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk
diberlakukan status haram terhadap poligami jika memang poligami
dapat menimbulkan mafsadat tertentu atau pada saat poligami tidak
relevan diterapkan pada kondisi tertentu.
23
Jika pada tataran empiris

23
Pernyataan ini sejalan dengan konsep Nazariyah Itibar al-mal (sebagaimana
dikutip oleh Drs. Fuad Zan, MA) yang diterapkan oleh Umar bin Khattab, yang menerapkan
Hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi tertentu tanpa meninggalkan ruh nash
(maqashid syariah). Nazariyah Itibar al-mal sejalan dengan kaidah:
---V --V ,-'--'- '-=V ,-'-
91

poligami menimbulkan mafsadat tertentu, maka sudah seharusnya
poligami dihindari. Atas dasar ini penyusun berpendapat, meski
poligami hukum asalnya adalah boleh namun dalam kondisi tertentu
status hukum ini bisa menjadi haram.
Pandangan poligami menurut jamaah tarikat yang umumnya
masih berpegang teguh pada doktrin ulama fiqh konvensional.
Relevansinya dengan konteks poligami di zaman Rasul memang sedikit
berbeda. Poligami yang dilakukan Rasulullah semata-mata adalah
karena kepentingan dakwah dan perlindungan terhadap janda dan anak
yatim, namun Rasulullah sendiri tidak pernah melarang sahabat untuk
melakukan poligami dengan alasan pemenuhan kebutuhan seksual.
Rasulullah hanya melarang sahabat menikahi wanita lebih dari empat.
Ketika melihat pandangan poligami di kalangan jamaah Tarikat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang umumnya memperbolehkan dengan
alasan pemenuhan kebutuhan biologis, maka dapat juga disimpulkan
bahwa poligami karena alasan pemenuhan kebutuhan biologis tidak
dapat disalahkan oleh Hukum Islam. Terkait dengan alasan untuk
memperbanyak keturunan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi,
hendaknya ditafsirkan secara kontekstual. Rasulullah memang
menganjurkan umatnya untuk mempunyai keturunan dalam jumlah

(Fuad Zen, Ijtihad dan Nazariyah Itibar al-Mal. Hand Out Mata Kuliah Fiqh
Kontemporer di Jurusan al Ahwal al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta TA 2011/2012, tidak diterbitkan.)
92

yang banyak, namun peningkatan kuantitas yang banyak tersebut harus
diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia itu.
Terkait pandangan jamaah Tarikat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah, penyusun mempunyai pendapat yang sama terhadap
kebolehan poligami. Makna an-Nis (4): 3 dan 129 menurut penyusun
pada dasarnya menunjukkan kebolehan poligami dengan tuntutan syarat
adil, bukan mewajibkan, mensunnahkan atau mengharamkan meski
pada kondisi tertentu hukumnya dapat berubah. Kebolehan ini tidak
serta merta dapat dilakukan tanpa melihat kondisi yang ada. Poligami
harus diperketat kebolehannya sebab poligami mempunyai potensi yang
cukup besar dalam memicu terjadinya berbagai macam konflik di dalam
rumah tangga. Upaya minimalisasi poligami ini dapat diterapkan
sebagaimana yang diterapkan di Indonesia, yakni harus adanya izin dari
Pengadilan Agama bagi orang yang akan melakukan poligami. Izin
poligami sangat efektif untuk mencegah timbulnya konflik dalam
rumah tangga yang diakibatkan oleh poligami.
93

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar uraian seputar pandangan jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
terkait masalah poligami di atas, keseluruhan uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pandangan jamaah tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah tentang poligami adalah
mubah (boleh), bukan sunnah (anjuran) maupun wajib (keharusan). Semua informan
yang diminta keterangan terkait poligami menafsirkan bahwa poligami tidak
diharamkan oleh syariat, sebagaimana tertera pada an-Nis (4): 3. Meski
memberikan jawaban yang sama terhadap status hukum poligami, namun perbedaan
terdapat pada saat para informan menafsirkan lafadz adl yang merupakan syarat yang
diwajibkan oleh syariat, fiqh dan perundang-undangan Indonesia. Beberapa informan
menafsirkan bahwa adil yang dimaksud oleh al-Quran hanya sebatas materi, dimana
keadilan kualitatif atau keadilan dalam hal cinta dan kasih sayang tidak wajib dipenuhi
karena hal itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Sebagian lain berpendapat
bahwa keadilan kualitatif juga menjadi syarat yang dituntut oleh syariat, dengan
alasan bahwa keadilan dalam poligami mencakup semua hal. Alasan lain bahwa
keadilan batin juga ditunaikan oleh Nabi Muhammad. Jadi, meski keadilan non materi
tidak mungkin dapat ditunaikan oleh manusia, sebagaimana tertera dalam an-Nis (4):
129, keadilan non materi ini wajib diupayakan sekeras mungkin oleh suami. Hal ini
untuk menghindari timbulnya rasa cemburu dan iri hati dari salah seorang isteri.
94

2. Pandangan poligami menurut jamaah Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah secara
garis besar mempunyai kesamaan dengan pendapat ulama fiqh klasik, artinya
pandangan poligami menurut jamaah Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Brebes
terhadap poligami sejalan dengan konsep fiqh ulama konvensional (Hukum Islam).

B. Saran
1. Poligami masih menimbulkan banyak polemik, baik di antara pelaku maupun
pemerhatinya. Oleh sebab itu, saat berusaha menetapkan status hukum poligami dan
konsep keadilan dalam poligami hendaknya tidak menggunakan dalil yang terpisah
(parsial). Kemaslahatan dalam poligami juga harus menjadi pertimbangan. Sebab
kemaslahatan merupakan tujuan dari pembentukan hukum itu sendri.
2. Bagi para jamaah hendaknya lebih berhati-hati dalam mengamalkan nash yang zanni
yang masih diperdebatkan penafsirannya. Sebab dikhawatirkan akan merusak tirakat-
tirakat dalam rangka mencapai maqam marifat.
3. Penelitian terkait poligami masih terbuka selebar-lebarnya untuk diteliti. Selain karena
penyusun masih belum secara sempurna dalam menyampaikan pandangan jamaaah
tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Brebes terhadap kasus poligami, masih
banyak aspek-aspek yang belum digunakan dalam menganalisis permasalahan
poligami.
96

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Hadis
Al- Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1984.
Kitab Hadis
Anas, Malik Ibnu, al-Muwatta. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Daud, Abi, Sunan Abi Daud. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Fiqh/ Ushul Fiqh
Anshori, Fahmi. Siapa bilang Poligami itu Sunnah. Depok: Pustaka IIMAN,
2007.
Dahlan, Abdul Rahman, Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
Gusmian, Islah. Mengapa Nabi Muhammad SAW Berpoligami. Yogyakarta:
Pustaka Marwa, 2007.
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyyah. Jakarta: al-Maktabah al-Saadiyyah
Putra, 1927.
Hudaepah, Perbandingan Pandangan Enam Mufassir tentang Poligami,
Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2010.
Jaelani, Abdul Qadir, al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq fi al-Akhlaq wa at-
tashawwuf wa al-Adab al-Islamiyyah. Dar al-Fikr, t.t., t.p., Penerjemah:
Muhammad Abdul Ghafur, Fiqh Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah,
2006.
Khalaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh. Alih bahasa oleh Muhammad Zuhri dan
Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama, 1994.
Kompilasi Hukum Islam
Mubarak, Saiful Islam. Poligami Antara Pro dan Kontra. Bandung: Syamiil,
2007.
Nasution, Khoirudin, Hukum Perkawinan I. Yogyakarta:
ACAdeMIa&TAZZAFA, 2005.
97

Nasution, Khoirudin, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiram
Muhammad Abduh). Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1996.
Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia muslim. Yogyakarta:
ACAdeMIA&Tazzafa, 2009.
Nasution, Khoirudin, Status Wanita di asia Tenggara (Studi Terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontermporer di Indonesia
dan Malaysia. Leiden-Jakarta: INIS, 2002.
Priyanto, Sunu Budi, Pandangan Aktivis Perempuan Islam Yogyakarta terhadap
Poligami (Studi Kasus Pandangan Lima Orang Aktivis Perempuan Islam
di Wilayah Yogyakarta terhadap Poligami), Skripsi tidak diterbitkan,
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005.
Setiono, Bambang, Poligami dalam Perspektif Kyai Pondok Modern di
Kabupaten Ponorogo, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005.
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,cet ke-3. Jakarta:
Kencana, 2009.
Umami, Minzahrotil, Pandangan Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga terhadap Praktek poligami di Indonesia, Skripsi tidak
diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Lain-lain
Amaith, Izzudin, Dari Buta Mata Menjadi Ulama Luar Biasa (Biografi KH. Abu
Nur Jazuli NA). Brebes: tnp., 2008.
Atjeh, Aboe Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik). Jakarta:
Ramadhani, 1993.
Desman, Pandangan Kelompok Salafi Terhadap poligami (Studi Kasus di
Pesantren Ihya al-Sunnah, Sleman, Yogyakarta), Skripsi tidak
diterbitkan, Fakultas Ushuludin UIN Sunan kalijaga Yogyakarta, 2010.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-, Ayyuhalwaladu. Surabaya:
al-Hidayah, tt.
98

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-, Prinsip-Prinsip Menapaki
Jalan Spiritual Islami, alih bahasa Muhammad Hilal, cet. Ke-1.
Yogyakarta: Diamond, 2010.
Hamid, Farida, Kamus ilmiah populer Lengkap . Surabaya: Apollo, tt.
Kailani, Abdul Razaq al-, Syaikh Abdul Qadir Jailani Guru Para Pencari Tuhan.
Bandung: Mizania, 2009.
Mulyati, Sri, (et.al), Mengenal dan memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Pattiroy, Ahmad, Metodologi Penelitian. Hand Out Mata Kuliah Metodologi
Penelitian di Jurusan al Ahwal al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta TA 2010/2011, tidak diterbitkan.
Said, Usman dkk, , Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981/1982.
Tanzeh, Ahmad, Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta:Teras, 2009.
Zen, Fuad Ijtihad dan Nazariyah Itibar al-Mal. Hand Out Mata Kuliah Fiqh
Kontemporer di Jurusan al Ahwal al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta TA 2011/2012, tidak diterbitkan.

Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Website
http://fadilhafiz.multiply.com/reviews/item/16?&show_interstitial=1&u=%2Frevi
ews% 2Fitem, akses pada 21 Mei 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, akses pada tanggal 18 Mei 2012.
http://petanidakwahmenulis.blogspot.com/2009/07/perspektif-dan-syarat-
poligami-dalam.html, akses pada 4 Juli 2012.
99

http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/04/15/apa-yang-dimaksud-adil-dalam-
poligami/, akses pada tanggal 18 Mei 2012..
http://wigunaharis.wordpress.com/2011/02/01/hukum-islam-syari%E2%80%99at-
dan-fiqih/, akses pada 25 Mei 2012.
Www.id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Brebes, akses tanggal 2 Mei 2012.



LAMPIRAN
LAMPIRAN I
TERJEMAHAN TEKS ARAB
BAB I
Halaman Footnote Terjemahan
13 26 Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami
wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan
hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu.
13 27 Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
14 31 Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
15 33 Menolak kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan.

BAB II
Halaman Footnote Terjemahan
23 7 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
23 8 dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
24 9 Tahanlah (dalam perkawinan) sebanyak empat orang dan
ceraikanlah yang lainnya.
24 10 Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
25 11 Beginilah cara adil yang dapat saya lakukan dan janganlah
Engkau mencela saya terhadap keadilan yang hanya
mungkin Engkau yang memilikinya dan saya tidak mampu
melakukannya.
25 13 Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berlaku adil terhadap
isteri-isterinya dan beliau berdoa Beginilah cara adil yang
dapat saya lakukan dan janganlah Engkau mencela saya
terhadap keadilan yang tidak mungkin aku miliki yakni
bertambahnya rasa cinta kepada sebagian yang lain.
26 14 Rasulullah SAW bersabda, Apabila seorang laki-laki
memiliki dua istri kemudian tidak berlaku adil terhadap
keduanya, maka akan datang pada Hari Kiamat dalam
keadaan pincang/lumpuh.
31 25 dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-
hambaNya.

BAB III
Halaman Footnote Terjemahan
55 - Tuhanku, Engkau adalah tujuanku dan ridha-Mu yang aku
cari, Berilah aku cinta-Mu dan marifat-Mu.

BAB VI
Halaman Footnote Terjemahan
86 17 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
86 18 Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
86 19 Menolak kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan.
87 20 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
88 21 dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki

maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.

LAMPIRAN II

BIOGRAFI ULAMA

Imam al-Syafii
Muhammad ibn Idris Asy-Syafii Al-Quraish, lahir di Ghazzah tahun 150 H. Di usia
kecilnya beliau telah hafal al-Quran dan mempelajari Hadist dari Ulama hadist di
Makkah. Pada usia 20 tahun, beliau meninggalkan Makkah untuk belajar fiqh dari
Imam Malik, kemudian dilanjutkan belajar fiqh dari murid Imam Abu Hanifah yang
masih ada. Karya tulis beliau diantaranya adalah: kitab al- Um, Amali Kubra, Kitab
Risalah, Ushul al-Fiqh dan memperkenalkan Kaul Jadid sebagai mazhab baru Imam
asy-Syafii dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang
tersebut.

Imam Abu Hanbal
Imam Hambali (Mazhab Hambali) dilahirkan di Madinah pada tahun 164 H= 780 M
(imam keempat dari empat imam mazhab). Beliau adalah seorang yang gemar dan
berlomba-lomba dalam menuntut ilmu. Beliau pernah melawat ke beberapa negeri
untuk mencari ilmu, serta beliau pernah belajar kepada imam Syafi'i. Salah satu kitab
yang disusun oleh beliau adalah Al Musnad yang berisi 30.000 hadits. Beliau
meninggal dunia pada tahun 241 H= 855 M, di masa-masa kejayaan beliau.

Imam Malik
Imam Maliki (Mazhab Maliki) dilahirkan di Madinah pada tahun 92 H= 712 M
(imam kedua dari empat imam mazhab). Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah
Anas bin Malik Al Ashbahi. Beliau adalah seorang yang amat keras dalam beragama.
Oleh karena suatu fitnah yang ditujukan kepada beliau, beliaupun mendapat hukuman
cambuk.
Pada masa pemerintahan khalifah Al Manshur, beliau diminta untuk menyusun
sebuah kitab yang digunakan sebagai pegangan seluruh lapisan masyarakat di
Madinah, maka beliaupun menyusun kitab yang berjudul Al Muwaththa sebagai
pemenuh permintaan khalifah Al Manshur. Beliau meninggal dunia pada tahun 179
H= 798 M.

Imam Abu Hanifah
Imam Hanafi (Mazhab Hanafi) lahir di Kufah pada tahun 80 H= 699 M. Beliau
adalah orang yang mula-mula membuka pintu qiyas (imam pertama dari empat imam
mazhab). Nama lengkap beliau adalah Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit at-Taimi.
Setelah beliau besar, beliau beliau berkemauan besar untuk berhijrah guna
mempelajari ilmu-ilmu agama pada ulama-ulama yang menerima ilmu-ilmu dari para
Sahabat Nabi.
Di antara kitab-kitab beliau yang disusun oleh murid-muridnya, ialah Al Musnad
(dalam bidang hadis) dan Al Makharij (dalam urusan fiqih). Beliau meninggal dunia
pada tahun 150 H= 767 M, bertepatan dengan tahun lahirnya Imam Syafi'i.

Khoirudin Nasution
Prof. Dr. H. Khoirudin Nasution, MA., lahir di Simangambat, Siabu, Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara pada tahun 1964. Beliau adalah guru besar Fakultas Syariah
dan Hukum dan Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Tenaga Pengajar
di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Karya-karyanya antara lain: Riba dan Poligami, Sebuah Studi Pemikiran Muhammad
Abduh, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer Indonesia dan Malaysia, Fazlur Rahman tentang
Wanita, Hukum Perkawinan I, Pengantar Studi Islam, Pengantar dan Pemikiran
Hukum Keluarga (Perdata) Islam dan sebagainya.

Syaikh Abdul Qadir Jaelani
Nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Muhammad Abdul Qadir
bin Abu Shalih Musa Jankidous bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan
al-Mutsanna bin Hasan bin Ali r.a bin Abu Thalib. Al-Jailani adalah seorang tokoh
sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif,
Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya.
Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu
Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu
Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di
zamannya, seperti Abu al-Wafa bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-
Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Yala,
Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia
mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami.
Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun.
Karya beliau yang terkenal adalah; al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haq, al-Fath ar-
Rabbany, dan Futuh al-Ghayb.

Syaikh Ahmad Khatib Sambas
Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan
Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah
bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib
terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange.
sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim
dan wara di wilayah tersebut. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut
adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami Kesultanan Sambas.
Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan
pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya ke Mekkah. Maka pada tahun 1820 M.
Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga
keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan
Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan
untuk menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.

Syaikh Bahaudin an-Naqsabandi
Syeikh Bahauddin dilahirkan pada tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang
kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat
di mana ia wafat pada tahun 1389.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata
rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual
oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi
merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan yang lebih penting lagi
adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang
merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Bahauddin. Bahauddin mendapat
latihan dasar dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat
dekatnya selama bertahun-tahun.
Pada suatu saat, Bahauddin mendapat instruksi secara ruhani oleh Abdul Khaliq
Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara
hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul
Khaliq, Amir Kulal mempraktekkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara.
Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Bahauddin lantas absen
dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.

KH. Muslich Mranggen
Abdurrahman adalah ulama allamah yang pernah mengasuh pon-pes Futuhiyyah
Mranggen sejak tahun 1936-1981 Masehi. Beliau sangat berjasa dalam
mengembangkan dan membesarkan pon-pes Futuhiyyah Mranggen brkat fodlol dan
rahmat Allah s.w.t hingga dapat melahirkan banyak kiai dan ulama yang terbesar di
Jawa khususnya di Indonesia umumnya. Dan Beliau berjasa pula dalam menyebarkan
thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Jawa / Indonesia, hingga melahirkan
banyak Kiai dan Guru Mursyid Thoroqoh tersebut. Disamping berjasa sebagai salah
seorang pendiri dan salah seorang Rois Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mutabaroh
di Indonesia yang dikenal sekarang dengan jamiyyah ahlith Thoriqoh Nahdriyyah itu
beliau juga ikut aktif mengembangkan dan membesarkan Jamiyyah tersebut hingga
akhir hayat pada tahun 1981 Masehi.

KH. Abu Nur Jazuli Nahrawi Amaith
KH. Abu Nur Jazuli Nahrawi Amaith Alm. (1925-2010 M) adalah seorang tokoh
masyarakat dan ulama yang berasal dari Bumiayu Brebes. Beliau merupakan salah
satu mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Jawa Tengah yang di baiat
oleh KH. Muslih Mranggen Demak Jawa Tengah. Beliau juga merupakan pendiri
Jamiyyah Ahli Mujahadah Salawat Ummi (JAMSU). Aktivitasnya di Jamiyyah
Tarekat begitu jelas dengan ditunjuknya beliau sebagai Rais Am Mustafad pada
Muktamar VIII Jamiyyah Ahli thariqah Mutabarah Indonesia (JATMI) Di Pati
Jawa Tengah pada tahun 1998.

LAMPIRAN III
PEDOMAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN SUAMI YANG POLIGAMI
1. Apa pengertian poligami menurut bapak?
2. Bagaimana status hukum poligami menurut bapak?
3. Berapa jumlah isteri bapak?
4. Apa yang mendasari bapak melakukan poligami?
5. Sejauh yang bapak ketahui, bagaimana konsep keadilan dalam islam?
6. Apakah penerapan keadilan dalam rumah tangga bapak sudah sesuai dengan konsep
keadilan dalam Islam?
7. Apa yang mendasari bapak melakukan poligami?
8. Apakah bapak mengetahui regulasi terkait masalah perkawinan poligami?
9. Apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sudah
terpenuhi?
10. Bagaimana pandangan bapak mengenai tarikat dan apa yang membuat bapak tertarik
untuk mengikuti tarikat, khususnya tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah?
11. Apakah poligami yang bapak lakukan mempunyai keterkaitan (atas doktrin / ajaran)
dengan poligami yang dilakukan mursyid?
12. Seperti yang diketahui bahwa tujuan tasawuf (mengikuti tarikat) adalah untuk mencapai
marifat (mengenal Allah sebaik-baiknya). Ketika poligami yang notabene masih
diperdebatkan status hukumnya oleh banyak ulama (belum jelas status hukumnya),
apakah poligami dapat dikategorikan sebagai penghambat menuju marifat (tujuan
tasawuf) atau malah justru poligami membuat diri bapak menjadi lebih dekat dengan
Allah?
PEDOMAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN ISTERI YANG DIPOLIGAMI
1. Apa pengertian poligami menurut Ibu?
2. Bagaimana status hukum poligami menurut ibu?
3. Berapa jumlah isteri suami ibu?
4. Apa yang mendasari ibu mau dimadu/ dijadikan isteri kedua atau ketiga dst.?
5. Sejauh yang ibu ketahui, bagaimana konsep keadilan dalam islam?
6. Apakah penerapan keadilan dalam rumah tangga ibu sudah sesuai dengan konsep
keadilan dalam Islam?
7. Apakah ibu mengetahui regulasi terkait masalah perkawinan poligami?
8. Apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sudah
terpenuhi?
9. Bagaimana pandangan ibu mengenai tarikat dan apa yang membuat ibu tertarik untuk
mengikuti tarikat, khususnya tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah?
10. Seperti yang diketahui bahwa tujuan tasawuf (mengikuti tarikat) adalah untuk mencapai
marifat (mengenal Allah sebaik-baiknya). Ketika poligami yang notabene masih
diperdebatkan status hukumnya oleh banyak ulama (belum jelas status hukumnya),
apakah poligami menjadi penghambat menuju marifat (tujuan tasawuf) atau malah justru
poligami membuat diri ibu menjadi lebih dekat dengan Allah?




PEDOMAN WAWANCARA DENGAN INFORMAN JAMAAH LAIN YANG TIDAK
BERPOLIGAMI
1. Apa pengertian poligami menurut bapak/ibu?
2. Bagaimana status hukum poligami menurut bapak/ibu?
3. Sejauh yang bapak/ibu ketahui, bagaimana konsep keadilan dalam islam?
4. Apa tanggapan bapak/ ibu atas mursyid dan jamaah tarikat yang melakukan poligami?
5. Apakah ada hubungan antara poligami yang dilakukan oleh mursyid dengan poligami
yang dilakukan oleh jamaah tarikat?
6. Apakah bapak/ibu mengetahui regulasi terkait masalah perkawinan poligami?
7. Apakah regulasi tersebut efektif dan berlaku (diterapkan) di masyarakat?
8. Bagaimana pandangan bapak/ibu mengenai tarikat dan apa yang membuat bapak/ibu
tertarik untuk mengikuti tarikat, khususnya tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah?
9. Seperti yang diketahui bahwa tujuan tasawuf (mengikuti tarikat) adalah untuk mencapai
marifat (mengenal Allah sebaik-baiknya). Ketika poligami yang notabene masih
diperdebatkan status hukumnya oleh banyak ulama (belum jelas status hukumnya),
apakah poligami dapat dikategorikan sebagai penghambat menuju marifat (tujuan
tasawuf) atau malah justru poligami dapat dikategorikan menjadi factor yang dapat
menjadikan kita lebih dekat dengan Allah?


LAMPIRAN VI
CURRICULUM VITAE

Nama : Azim Izzul Islami
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Brebes, 31 Juli 1991
Alamat : Jl. Ali Karta no. 20 RT 04 RW 06 Jatisawit Bumiayu
Brebes, Jawa Tengah
Riwayat Pendidikan
SD : SDN Bumiayu 05
SMP : SMP An-Nuriyyah Bumiayu
MA : MAN Purwokerto 2
Perguruan Tinggi : Jur. Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Nama Orang Tua
Ayah : Drs. Izzudin Amaith, M.Pd
Ibu : Siti Mahmudah
Pengalaman Organisasi
PLT Kabid Pendidikan dan Pengkaderan Badan Otonom Mahasiswa Fakultas ( BOM-F)
Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (2010-2011)
Sekretaris Umum Badan Otonom Mahasiswa Fakultas ( BOM-F) Pusat Studi dan
Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2011-2012)
Kadiv Penelitian, Pengembangan dan Advokasi (Litbangad) Keluarga Pelajar Mahasiswa
Daerah Brebes (KPMDB) Wilayah Yogyakarta (2010-2011)

Anda mungkin juga menyukai