Anda di halaman 1dari 3

HAJI MABRUR DAN REFORMASI MORAL

Elviandri, S.HI., M.Hum (Dosen Universitas Muhammadiyah Riau)

Haji merupakan ibadah yang sangat mahal. Karena itu, agama memberikan syarat bahwa hanya orang mampu (istathaa) saja yang wajib menunaikan ibadah ini. Meskipun makna mampu masih dapat diinterpertasikan dalam berbagai makna. Namun demikian, pemahaman umum yang terjadi dalam masyarakat adalah mampu sering dimaknai dalam pengertian mampu secara material. Pemahaman seperti ini melahirkan jamaah haji yang berangkat ke tanah suci dengan modal uang tanpa modal pengetahuan tentang haji. Maka dari itu, makna mampu harus diartikan tidak hanya mampu secara ekonomi, tetapi juga mampu secara pengetahuan. Terlepas dari perdebatan di atas, semua masyarakat kita yang menunaikan ibadah haji tahun ini menginginkan agar mereka pulang ketanah air membawa predikat haji mabrur (dua tingkatan haji lainnya: haji maqbul atau haji yang diterima oleh Allah dan haji mardud atau haji yang ditolak oleh Allah). Dengan kata lain, memperoleh haji mabrur merupakan cita-cita dan idaman setiap jamaah yang melaksanakan haji. Hal ini disebabkan adanya janji dari Nabi Saw melalui sabda-Nya bahwa Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali syurga (HR. Bukhari Muslim). Terlebih, motivasi ibadah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita adalah agar terbebaskan dari masuk neraka alias surga. Perolehan haji mabrur tidak ditentukan oleh latar belakang pendidikan, setiap jamaah yang melaksanakan haji. Hal ini disebabkan adanya janji dari Nabi Saw melalui sabda-Nya bahwa Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali syurga (HR. Bukhari Muslim). Terlebih, motivasi ibadah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita adalah agar terbebaskan dari masuk neraka alias surga. Perolehan haji mabrur tidak ditentukan oleh latar belakang pendidikan, harta, tingkatan sosial atau budaya seseorang. Sesungguhnya hal yang paling urgen dari pelaksanaan ibadah haji adalah efek atau manfaat setelah pelaksanaan haji. Bagi saya, sangat berani orang yang pergi menunaikan ibadah padahal secara psikologis belum siap untuk berperilaku seperti seorang haji. Maka dari itu, berhaji itu adalah sebuah ujian yang prestasinya akan tampak dalam kehidupannya setelah kembali dari tanah suci melakukan haji. Berdasarkan sikap perilaku pasca haji itu pulalah dapat diukur bahwa hajinya seseorang mabrur atau tidak. Menurut Cak Nur panggilan akrab almarhum Nurcholish Madjid--, haji mabrur itu adalah orang yang melaksanakan haji mampu melakukan transformasi pada dirinya yang kemudian di bawa ke tempat asalnya. Quraish Shihab mengatakan bahwa haji mabrur adalah berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di tanah suci, sehingga maknamakna tersebut teraktualkan dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari. Cendekiawan Islam lainnya, Ali Syariati mendefinisikan mereka yang memperoleh mabrur adalah yang telah meninggalkan Siti Hajar-nya, menyembelih Ismail-nya, melempar setan-setan dalam jiwanya, lalu kembali ke kampung halaman membangun rumah-rumah Allah (Ka'bah) dalam hatinya.

Menurut Cak Nur panggilan akrab almarhum Nurcholish Madjid--, haji mabrur itu adalah orang yang melaksanakan haji mampu melakukan transformasi pada dirinya yang kemudian di bawa ke tempat asalnya. Quraish Shihab mengatakan bahwa haji mabrur adalah berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di tanah suci, sehingga makna-makna tersebut teraktualkan dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari. Cendekiawan Islam lainnya, Ali Syariati mendefinisikan mereka yang memperoleh mabrur adalah yang telah meninggalkan Siti Hajar-nya, menyembelih Ismail-nya, melempar setan-setan dalam jiwanya, lalu kembali ke kampung halaman membangun rumah-rumah Allah (Ka'bah) dalam hatinya. Sedangkan Qasim Mathar mendefinisikan haji mabrur sebagai haji yang diterima oleh Allah Swt setelah seorang jamaah mengakui kesalahan-kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kembali. Hamka Haq mengartikan haji mabrur adalah haji yang dilakukan seseorang, di mana setelah melakukan haji amalanya kian mabrur, bertambah, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. haji yang mampu membawa kebajikan bagi akhlaq yang berhaji sehingga memancarkan kebajikan kepada semua orang tanpa kecuali. Persoalannya adalah mengapa haji mabrur itu langsung dapat jaminannya surga? Tolok ukur apa yang kita gunakan untuk mengukur kemabruran haji seseorang dan dimana sesungguhnya haji mabrur itu diperoleh? Jika definisi haji mabrur yang dilontarkan oleh keempat cendekiawan muslim di atas dijadikan paradigma dan parameter, maka kita bisa mengatakan bahwa seseorang bisa dikatakan haji mabrur manakala ia mampu mereformasi (bahasa Cak Nur: mentransformasi) dirinya dalam berbagai hal, terutama dalam hal sikap prilaku ketika kembali di tengah-tengah masyarakatanya. Kata "mabrur" berasal dari bahasa Arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Kata "mabrur" berasal dari kata barra (birrun, al-birr) yang artinya berbuat baik atau patuh. Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang medapatkan kebaikan. Dalam arti kata, haji mabrur adalah haji yang pelakunya menjadi baik setelah selesai menunaikan haji. Maka dari itu, haji mabrur dapat termanifestasikan dari perilaku sosialnya setelah ia menunaikan ibadah haji. Maknanya adalah, mabrur tidaknya haji seseorang itu paramaternya adalah amal saleh sosial yang dilakukannya setelah pulang dari tanah suci. Bukan gaya dan mode pakaian serta parfum wangi yang dipakai ketika kembali di kampung halaman seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji kita. Padahal Ustaz Abdul Madjid (pembimbing ibadah dari jamaah haji Kabupaten Muna) telah mengingatkan bahwa menggunakan harumharuman dengan niat untuk orang lain adalah haram, kecuali untuk suami. Namun peringatan dari sang ustaz tidak dihiraukan oleh sebagian jamaah. Menurut Kang Jalal, haji adalah perjalanan ruhani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung mereka menuju Rumah Tuhan. Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyah (ketuhanan). Ketika Abu Bashir terpesona mendengarkan gemuruh zikir orang-orang yang melakukan thawaf, Jafar al-Shadiq mengusap wajahnya. Abu Bashir terkejut karena ia kemudian menyaksikan banyak sekali binatang di sekitar Baytullah. Dia sadar bahwa zikir saja tidak cukup untuk mabrur, diperlukan transformasi spiritual. Olehnya itu, sungguh ironis bangsa ini yang tiap tahun mengurus begitu banyak masyarakat

yang ingin menunaikan ibadah haji, namun tidak berbanding lurus dengan perubahan dalam masyarakat. Semoga bisa menjadi renungan kita bersama..!!!!!!!! Wallahu alam bishawab.***

Anda mungkin juga menyukai