Anda di halaman 1dari 5

PUASA RAMADHAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Elviandri, S.HI., M.Hum (Dosen Universitas Muhammadiyah Riau)

Puasa dalam Al Quran disebut dengan kata shiyam, berakar pada kata sha-wa-ma yang bermakna menahan, berhenti, dan tidak bergerak. Oleh karena itu, secara syariat puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan upaya melakukan hubungan seksual dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Menurut M Quraish Shihab (2000), kata shiyam atau shaum makna esensinya adalah menahan atau mengendalikan diri. Maka, puasa itu memiliki kesamaan dengan sifat sabar, baik secara esensi maupun ketika berpuasa. Menurut kajian tasawuf, ibadah puasa bertujuan memperteguh hati guna menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela dan melanggar ajaran Islam. Oleh karena itu, puasa bukan sekadar amal ibadah fisik, melainkan juga amal ibadah rohani yang dapat menyelamatkan dan menyejahterakan manusia dari kehidupan lahir dan batin, di dunia dan di akhirat. Dari berbagai definisi dan pengertian itu, sejatinya puasa amat relevan dengan agenda besar bangsa ini. Ketika bangsa ini tengah dibingungkan oleh formulasi menata karakter dan moralitas generasi penerus, yaitu agenda untuk membangun dan memperbaiki karakter bangsa. Dengan kata lain, puasa menjadi sarana efektif penanaman sekaligus pengaplikasian pendidikan karakter. Beberapa karakter penting yang bisa digali dari pelaksanaan ibadah puasa diantaranya: Pertama, puasa mengajari kita untuk senantiasa menahan dan mengendalikan diri. Karakter ini sangat dibutuhkan bukan hanya oleh orang kaya, miskin, pandai, bodoh, pejabat, rakyat dan sebagainya. Jika karakter ini sudah tertanam dan tumbuh subur dalam setiap pribadi bangsa, maka tidak akan ada lagi praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), atau praktik-praktik tercela lain. Kedua, ketika berpuasa kita juga dilatih dan ditempa untuk sabar, peduli akan sesama, rajin dalam beribadah dan aktivitas-aktivitas positif lainnya, disiplin dan peneladanan sifat-sifat Tuhan kepada diri manusia. Karakter sabar, disiplin, rajin dan peduli ini, sangat penting perannya guna membawa bangsa bangkit dari krisis berkepanjangan. Sikap sabar dan tabah juga akan menempa setiap pribadi bangsa untuk berlapang dada ketika segenap usaha yang dilakukan, belum menemukan titik keberhasilan.

Ketiga, puasa mengajari kita untuk memiliki kepekaan (sense of responsibility). Sensibilitas adalah tanggungjawab sosial maupun pribadi. Salah satu hikmah puasa, tulis Ahmad Fuad Fanani (2007), adalah penanaman solidaritas sosial dengan anjuran berbuat baik sebanyak-banyaknya, terutama dalam bentuk tindakan menolong beban kaum fakir miskin. Jika hal ini bisa terus berjalan pada waktu lain di luar bulan puasa, maka akan menjadi karakter bangsa yang patut disyukuri. Tafsir yang lebih luas, menyatakan bahwa solidaritas sosial yang terpancar dalam diri setiap pribadi muslim, menjadi bukti menyatunya keimanan dan amal saleh (perbuatan kebajikan). Dengan kata lain, puasa yang mulanya merupakan implementasi dari rukun agama semata, kemudian menjadi sebuah laku sosial yang sangat konstruktif. Karakter utama inilah yang diharapkan mampu menempa setiap pribadi bangsa sehingga menjadi pendulum perubahan dan perbaikan. Keempat, melalui puasa, selama sebulan penuh kita dan umat muslim pada umumnya akan dilatih, digembleng mempererat dan memperkokoh persaudaraan, senasib-sepenanggungan, mencintai dan menyayangi keluarga, memakmurkan tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Ibadah puasa sebagai sebuah pendidikan karakter adalah upaya pembangunan yang bertata nilai. Pembangunan yang berorientasi pada manusia sebagai subyek pembangunan (human oriented development). Pembangunan yang akan melahirkan manusia yang berkarakter unggul. Manusia-manusia yang akan membentuk masyarakat yang baik (good society). Ibadah puasa dan ibadah ramadhan lainnya adalah laboratorium pendidikan karakter umat Islam yang relevan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Jika hakikat dan makna puasa bisa diwujudkan pada mayoritas ummat, tentu menjadi sumbangan yang besar bagi perbaikan karakter bangsa Indonesia. Ibadah puasa sebagai wahana perbaikan karakter bangsa berarti merintis jalan untuk tercapainya suatu tata pemerintahan yang baik, atau good governance. Perbaikan karakter bangsa berarti mengatasi berbagai persoalan bangsa secara substansial. Upaya mengurai benang kusut dan meretas jalan bagi kemakmuran dan kemajuan bangsa. Upaya membangun peradaban yang tinggi. Puasa dan tiga level pendidikan karakter Proses puasa dalam menyediakan pendidikan karakter bekerja dalam tiga level yaitu individu, organisasi dan negara. Dalam konteks individu, seorang

hamba yang sedang berpuasa dilatih untuk mengerjakan hal-hal terpuji dan menghindari hal-hal tercela. Dalam teropong psikologi, kurun puasa yang dilakukan selama 29 atau 30 hari menyediakan waktu untuk proses repetisi dalam menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik. Proses ini tentu tidak mudah. Al Ghazali dalam sebuah bukunya menggambarkan bahwa jiwa manusia adalah ibarat kerajaan. Nafsu ibarat petugas pajak yang selalu memaksakan kehendak untuk minta dipenuhi. Amarah ibarat polisi kerajaan yang kasar dan sewenang-wenang. Akal ibarat para menteri yang membantu raja melaksanakan tugas dan hati ibarat raja yang mengkontrol semua proses dalam kerajaan. Nafsu dalam jiwa sering melakukan serangan gencar kepada manusia untuk dipenuhi. Menangnya hati dan rasio atas nafsu akan melahirkan karakter yang baik. Sebaliknya menangnya nafsu akan menghantarkan kita pada karakter dan perilaku buruk. Bukankah korupsi terjadi karena bisikan nurani kalah oleh nafsu kerakusan untuk menumpuk kekayaan? Bukankan perselingkuhan terjadi karena rasio ditundukkan oleh syahwat ingin memperoleh kenikmatan. Puasa digunakan untuk melatih agar hati dapat memenangkan nafsu-nafsu daya rendah dalam jiwa individu sehingga melahirkan karakter positif. Dalam konteks organisasi, kualitas sebuah organisasi akan sangat ditentukan oleh kualitas karakter para anggotanya. Jika para anggotanya disiplin, kerja keras, kerja cerdas, tepat waktu dan berkomitmen tentu performance organisasi tersebut akan bagus. Sebaliknya, penampilan organisasi akan menjadi buruk ketika para anggotanya menampilkan karakter seperti; malas, enggan untuk belajar, tidak menghargai waktu dan berkomitmen rendah. Karena pentingnya karakter positif dari para anggotanya, banyak organisasi yang mengembangkan konsep corporate culture atau budaya organisasi yang intinya sebenarnya pengembangan karakter dan kebiasaan baik dalam organisasi. Ilham amar maruf nahi mungkar dari puasa dapat member inspirasi organisasi dan perusahaan untuk membangun corparte culture dengan fondasi nilai-nilai transedental-illahiah seperti kerja sama, keadilan, kejujuran, menghargai waktu, dan profesionalisme. Dalam konteks masyarakat dan negara, keberhasilan individu dalam memfungsikan ibadah puasa sebagai sarana membangun karakter akan sangat menentukan apakah masyarakat akan memiliki perilaku yang terpuji atau tercela. Karakter masyarakat tentu akan mewujud dalam akhlak warga negara dan elit pemimpinnya. Berkenaan dengan watak dan karakter bangsa ada sebuah temuan penelitian yang menarik dalam buku culture matters.

Studi yang dilakukan oleh para profesor Harvard ini mengungkapkan bahwa sikap mental dan karakter sebuah bangsalah yang menentukan kemajuan dan kemundurannya. Karakter manusia-manusia bangsa maju cenderung mengarah kepada karakter positif atau akhlakul karimah seperti; taat peraturan, disiplin, tepat waktu, komitmen pada janji, menegakkan hukum, bertanggung jawab dan penghargaan yang tinggi kepada hak asasi manusia. Sebaliknya bangsa kurang maju cenderung berwatak sebaliknya. Tidak berlebihan jika ada sebuah adagium yang mengatakan bahwa jika akhlak masyarakatnya kokoh negara akan kokoh, jika akhlak masyarakatnya buruk negara akan runtuh. Keteladanan Agar pendidikan karakter yang dibawa puasa bisa optimal, khususnya bagi anak-anak dan generasi muda, faktor keteladanan menjadi penting. Artinya, orang tua atau yang dituakan harus menjadi tauladan baik itu laku, amal, pikir, kata dan perbuatan. Ketika anak melihat orang tuanya disiplin menjalankan ibadah puasa, melakukan tadarus, sholat-sholat sunat, bersedekah, dan prilaku mulia lainnya, dengan perlahan-lahan mereka akan melakukannya. Hal itu karena keteladanan sudah dibuktikan banyak peneliti pendidikan sebagai media pembelajaran yang bisa optimal dan efektif. Sudah saatnya, pendidikan karakter dan misi mulia lain yang dibawa puasa, kita gali bersama-sama untuk selanjutnya dimanifestasikan bagi perbaikan bangsa. Maka pemahaman kita terhadap ibadah puasa, mestinya tidak hanya dalam bentuk formalitas atau rutinitas belaka. Pemaknaan tentang pahala yang dijanjikan dalam teks-teks keagamaan mesti dilihat secara holistik, baik makna tersurah (nyata) maupun yang tersirat (simbolis). Kita berharap, dengan berakhirnya ibadah puasa nanti, sedikit-banyak karakter dan moralitas setiap pribadi bangsa akan terbangun. Dengan kata lain, karakter mulia itu akan membangun sebuah kesalehan baik vertikal maupun horisontal, yang terejawantahkan dalam laku dan perbuatan sehari-hari. Sungguh amat banyak manfaat, hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari ibadah puasa. Pantas kiranya bila suatu ketika Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan seandainya umat manusia tahu dan rasakan apa saja keistimewaan Ramadan, mereka akan memohon kepada Allah agar seluruh bulan menjadi Ramadan. Mari kita renungkan sabda nabi yang mengungkapkan bahwa banyak orang yang puasa namun tidak tidak memperoleh hasil apa-apa.

Pertanyaannya, apakah puasa telah menjadikan karakter individu, organisasi dan bangsa mulia dan unggul? Jika belum, selayaknyalah Ramadhan tahun 2011 ini dapat dijadikan momentum bagi para umaro, ulama, masyarakat dan individu anak-anak bangsa untuk melecut diri, menjadikan puasa sebagai alat bagi pendidikan dalam membentuk karakter bangsa yang mulia menuju bangsa yang berderajat dan beradab. Amin.

Anda mungkin juga menyukai