Anda di halaman 1dari 23

SEORANG LAKI-LAKI 25 TAHUN DENGAN KELUHAN SAKIT MENELAN DAN SUARA SENGAU KELOMPOK XI

030.08.302 030.08.185 030.08.189 030.08.190 030.08.195 030.08.196 030.08.197 030.08.201 030.08.202 030.08.203 030.08.207

Siti Hanisah bt Samsudin Nurlisha Ardhilla Oryza Sativa Paramitha Dwi Putri Purnamandala Puspita Komalasari Candra Raini Ratna Harumi Renita Arlin Reza Praditya S Rifti

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 23 Maret 2011

BAB I
1

PENDAHULUAN
Abses peritonsil merupakan abses akut di dalam jaringan peritonsil. Abses peritonsil dikenal juga dengan sebutan quinsy. Abses peritonsil adalah akumulasi pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsilar yang terbentuk akibat tonsillitis supuratif. Titik akumulasi terletak diantara kapsul tonsila palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, tonus tubarius (bagian superior) dan sinuspiriformis (bagian inferior) membentuk batas lokasi potensial tersebut. Karena susunan jaringan di daerah tersebut adalah jaringan ikat longgar, maka infeksi bakterial pada daerah tersebut dapat dengan cepat mengarah pada pembentukanmaterial purulen. Inflamasi progresif dan supurasi dapat meluas secara langsung kepalatum molle, dinding lateral faring dan dapat juga ke dasar lidah Insiden abses peritonsil di Amerika Serikat sekitar 30 kasus per 100.000 orang penduduk per tahunnya, dengan 45.000 kasus baru setiap tahunnya. Usia penderita bervariasi, antara 1-76 tahun, dengan puncak usia 15-35 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bias menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil. Pada abses peritonsil terjadi edema akibat inflamasi dapat mengarah kepada kesulitan menelan. Dehidrasi sering terjadi sekunder akibat keengganan pasien untuk mengalami nyeri akibat menelan makanan atau minuman. Perluasan abses dapat mengarah kepada perluasan inflamasi ke kompartemen fasial yang berdekatan padadaerah kepala dan leher, yang berpotensi mengakibatkan obstruksi jalan nafas.

BAB II
2

LAPORAN KASUS Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang dengan keluhan nyeri saat menelan dan suara sengau. Nama Usia Pekerjaan Status Alamat : : : : : Tn. Budi 25 tahun Tukang ojek Belum menikah Jl. Kampung melayu, Jakarta Timur

Anamnesis yang Didapatkan : Seorang laki-laki, umur 25 tahun, mengeluh sakit dan sulit menelan makanan sejak 5 hari. Selain itu ia merasa saat berbicara suaranya sengau atau hot potato voice dan banyak liurnya. Lima hari sebelumnya menderita batuk pilek disertai demam. Pada saat ini nyeri dirasakan sangat hebat menjalar ke telinga kanan disertai nyeri pada persendian. Pasien juga merasakan nyeri dan agak sulit saat membuka mulut. Sebelumnya pasien sering menderita sakit tenggorok dan mengobati sendiri dengan antibiotika yang dibeli secara bebas. Hasil Pemeriksaan STATUS GENERALISATA K.U dan kesadaran Suhu Tekanan darah Frekuensi nafas Nadi Kepala Thorax Abdomen : : : : : : : : Tampak sakit sedang, kompos mentis 170 cm/ 70 kg 38oC 120/70 18x/menit 120x/menit Lihat status THT Normal Normal 3 T.B dan berat badan :

Extremitas STATUS THT:

Normal

Kedua telinga dan hidung normal. Pada rongga mulut terdapat trismus 2 cm. Arkus faring dan uvula terdorong ke kiri. Tonsil T3-T2 dan hiperemis. Bagian superior tonsil kanan menonjol. Dinding posterior faring mengalami edema dan hiperemis. Kelenjar getah bening submandibula kanan membesar dan terdapat nyeri tekan, kenyal pada perabaan. Pemeriksaan Laboratorium Hb Leukosit Trombosit LED : 14 gr/dL : 15.000 uL : 25.000 : 20 ml/jam

BAB III
4

PEMBAHASAN
Data Pasien Nama Usia Pekerjaan Status Alamat : Tn. Budi : 25 tahun : Tukang ojek : Belum Menikah : Jl. Kp Melayu

Keluhan Utama Nyeri menelan dan suara sengau

Daftar Masalah pada Pasien : Masalah Disfagi (Odinofagi) Dasar Masalah Keluhan nyeri dan sulit saat menelan Hipotesis Laringo-faringitis Tonsilitis Abses Peritonsil Disfonia Reffered pain ke telinga kanan / Otalgia Trismus Keluhan suara sengau (hot potato voice) Keluhan nyeri sangat hebat menjalar ke telinga kanan Keluhan nyeri dan agak sulit membuka mulut, status THT Pengobatan yang yang kurang adekuat Infeksi terdapat trismus 2 cm Riwayat penggunaan antibiotik yang dibeli secara bebas Riwayat 5 hari sebelumnya batuk, pilek, demam. Suhu 38oC, KGB submandibula Takikardia Nyeri sendi membesar, nyeri tekan, kenyal. Nadi 120x/menit Keluhan pasien Radang pada supraglotis Laringitis Abses Peritonsil Reffered pain melalui N. IX Infiltrasi ke m. Pterygoideus internus Faktor predisposisi Infeksi saluran nafas atas Common cold Faringitis demam Infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A 5

Hipersalivasi Abses Peritonsil

Keluhan Radang supraglotis Arkus faring dan uvula terdorong Abses Peritonsil ke kiri. Bagian superior tonsil kanan posterior menonjol. faring Dinding mengalami dan Tonsilitis

Tonsilitis

edema dan hiperemis. Keluhan sulit menelan

gangguan dalam bersuara, status THT tonsil T3-T2 dan hiperemis. Anamnesis Tambahan Riwayat penyakit sekarang : Sejak kapan keluhan dirasakan? Apakah pasien merasa nyeri, gatal, mengering atau mengganjal pada tenggorokan? Apakah terdapat penurunan nasu makan? Apakah terdapat penurunan berat badan? Bagaimana sifat batuk?berdahak atau batuk kering?bagaimana sekretnya? Apakah mengalami sesak/ kesulitan bernafas? Apakah terdapat gangguan tidur? Bagaimana pola tidur, pola makan dan higienitas pasien?

Riwayat Penyakit dahulu: Apakah pernah mengalami penyakit atau gejala yang sama? Apakah pasien pernah mengalami trauma?

Riwayat pengobatan: Obat apakah yang dikonsumsi secara bebas oleh pasien?

Riwayat kebiasaan: Apakah pasien merokok?

Hasil Pemeriksaan STATUS GENERALIS K.U dan kesadaran Suhu Tekanan darah Frekuensi nafas Nadi STATUS THT Pada rongga mulut terdapat trismus 2 cm yang disebabkan oleh iritasi m.pterigoid internus. Arkus faring dan uvula terdorong ke kiri yang disebabkan oleh pembesaran tonsil kanan. Tonsil T3-T2 dan hiperemis menunjukan bahwa tonsil mengalami peradangan dan pembesaran dimana tonsil kanan memiliki ukuran yang lebih besar dari tonsil kiri. Bagian superior tonsil kanan menonjol yang menunjukkan terdapatnya abses pada daerah itu, karena bagian superior dan lateral tonsil terdiri dari jaringan ikat longgar sehingga infiltrasi supuratif mudah terjadi pada daerah ini. Dinding posterior faring mengalami edema dan hiperemis yang menunjukan terdapat peradangan faring. Kelenjar getah bening submandibula kanan membesar dan terdapat nyeri tekan, kenyal pada perabaan. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan Hb Leukosit Trombosit LED hasil 14 gr/dL 15.000 uL 250.000 20 ml/jam Nilai Normal 13-17 gr/dL 5.000-10.000 Ul 200.000-400.000 0-10 ml/jam Interpretasi Normal Leukositosis (Infeksi Bakteri) Normal Meningkat (Penyakit Kronis sedang berlangsung pada pasien) : : : : : Tampak sakit sedang, kompos mentis 170 cm/ 70 kg (BMI = 22,4 Normal) 38oC (Subfebris; N: 36,5 37,2oC) 120/70 (Normal) 18x/menit (Normal) 120x/menit (Takikardia) T.B dan berat badan :

Diagnosis Kerja : Tonsilitis Akut dengan Komplikasi Abses Peritonsil Diagnosis banding : Tonsilitis Kronis 7

Abses Submandibula Infiltrat Peritonsil

Perjalanan Penyakit TONSILITIS AKUT 5 hari kemudian Batuk, pilek, deman (sering sakit tenggorokan) Antibiotika yang tidak adekuat sakit/nyeri menelan reffered pain ke telinga Nyeri sendi, trismus Patofisiologi Infeksi bakteri Infiltrasi bakteri ke mukosa jaringan Merangsang pengeluaran sel-sel radang akut(PMN) Peradangan demam tacycardia Tonsil(tonsilitis)nyeri tenggorokreffered pain otalgia ABSES PERITONSIL

Terapi AB inadekuat Penumpukan detritus Abses infiltrasi ke jaringan di sekitarnya

Tonsil Bengkak, hiperemis Arkus faring dan uvula terdorong ke arah kontralateral

palatum mole palatum mole bengkak Isi detritus : - Kumpulan leukosit - Bakteri patogen - Sel epitel yang mati Pemeriksaan tambahan : 1. Aspirasi jarum

m.pterigoid interna trismus

persendian nyeri sendi

Anjuran untuk dilakukan kultur bakteri untuk mengetahui bakteri penyebab dan menenukan terapi yang sesuai 2. Uji resistensi antibiotik 3. Pemeriksaan elektrolit darah Terapi Non-medikamentosa : pengamanan jalan nafas istirahat hindari makanan atau minuman panas dan dingin makan makanan lunak kumur dengan cairan hangat kompres dingin di bagian leher terpi cairan jika pada hail observasi didapatkan tanda-tanda dehidrasi Antibiotik spektrum luas Obat simptomatik : o analgetik o antipiretik Rujuk ke spesialis THT 9

Medikamentosa :

Prinsip terapi : 1. Pungsi, insisi dan drainase abses 2. Tonsilektomi Prognosis Ad vitam Ad sanationam Ad functionam : bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Tonsil Palatina dan Ruang Peritonsil 10

Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan bagian dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs)9. Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle, orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula4. Tonsil palatina terdiri dari8: Korteks : Didalamnya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan limfosit, plasma sel. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong tonsil & berhubungan dengan kripta. Batas-batas tonsil palatina8: Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-basilaris yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke dalam parenkim tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf. Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan mikrokripta.

11

Posterior : pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle. Anterior : pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle. Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring9. Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris (supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoid dan disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara kelenjar mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil, kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman9. Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior, sehingga tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa 12

embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan limphoid4. Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari m.konstriktor faring superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap m.konstriktor faring superior terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsilla7. Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang merupakan cabang dari arteri facialis, cabang cabang a. lingualis, a. palatina ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n. glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl. cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae9. Ruang Peritonsiler2 Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior. Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

Abses Peritonsil PENDAHULUAN Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang 13

menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun4. Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina)3. Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior4. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring5. PTA merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang

terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

14

Gambar 1. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya. ETIOLOGI Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anakanak yang lebih tua dan dewasa muda2. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalahFusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik6. PATOLOGI Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).

15

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis). GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation)1. Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.

16

Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

Gambar 2. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan). Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan7: 1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). 2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly. 3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik. 4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. 5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement. 6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography. KOMPLIKASI 17

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah2: 1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. 3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini. DIAGNOSIS BANDING Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan adenitis tonsil2,8,9. TERAPI Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum.

18

Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses2. mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera10.

Gambar 3. tonsilektomi Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan PROGNOSIS

19

Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada saat oprasi. Tonsilitis Kronis ETIOLOGI Tonsilitis kronis disebabkan oleh kuman yang bukan penyebab tonsilitis akut (bakteri gram positif). Namun kadang-kadang bakteri gram positif ini berubah menjadi bakteri gram negatif. Faktor predisposisi tonsilitis kronis antara lain rangsangan kronis rokok, makanan tertentu, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. PATOLOGI Radang berulang akan mengikis epitel mukosa tonsil dan jaringan limfoid. Selama proses penyembuhan, jaringan limfoid akan terganti oleh jaringan parut yang akan mengkerut sehingga melebarkan kripti yang terisi oleh detritus. Bila keadaan ini (proses radang) terus berlangsung maka dapat menembus kapsul tonsil sehingga melekatkan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Anak disertai oleh pembesaran kelenjar submandibula. GEJALA DAN TANDA Tonsilitis kronis memiliki tanda berupa pembesaran tonsil yang permukaannya tidak rata, pelebaran kriptus, dan sebagian kripti terisi oleh detritus. Gejala tonsilitis kronis berupa tenggorok rasa mengganjal & kering dan napas berbau. TERAPI Tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut, obat kumur, obat hisap, dan tonsilektomi.

20

Indikasi tonsilektomi :

Infeksi berulang & kronis. Terjadi gejala sumbatan. Curiga neoplasma : tumor jinak & tumor ganas ? Infeksi berulang dan kronis yang menjadi indikasi tonsilektomi antara lain :
o o o o o

Infeksi telinga tengah yang berulang. Rinitis & sinusitis kronis. Abses peritonsil & abses kelenjar limfe leher berulang. Tonsilitis kronis dengan nyeri tenggorok yang menetap dan napas berbau. Tonsil sebagai fokal infeksi dari organ lain.

Gejala sumbatan sebagai indikasi tonsilektomi antara lain :


Sumbatan jalan napas akibat hiperplasia tonsil. Sleep apnea. Gangguan menelan dan berbicara. Cor pulmonale.

Indikasi Tonsilektomi (HTA 2004). A. Indikasi Absolut : 1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas, disfagiaberat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner 2. Abseb peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase 3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam 4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi B. Indiaksi Relatif : 1. Terjadi episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat 2. Halitosis akibat tonsillitis kronis yang tidak membaik dengan pemberian terapimedisc) 21

3. Tonsilitis kronis berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten KONTRAINDIKASI. - Gangguan perdarahan - Resiko anestesi yang besar atau penyakit berat - Anemia - Infeksi akut yang berat KOMPLIKASI Gangguan tonsilitis kronis dapat menyebar dan menimbulkan komplikasi melalui perkontinuitatum, hematogen atau limfogen. Penyebaran perkontinuitatum dapat menimbulkan rinitis kronis, sinusitis, dan otitis media. Penyebaran hematogen atau limfogen dapat menyebabkan endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, urtikaria, furunkulosis, dan pruritus.

DAFTAR PUSTAKA 1. Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
2. Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal. 185. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

22

3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89. 4. Rusmarjono & Efiaty Arsyad Soepardi. Penyakit Serta Kelainan Faring & Tonsil dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
5. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com.

Accessed at March 23, 2011. 6. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308- 09. EGC, Jakarta.
7. Abidin, Taufik. ABSES PERITONSIL. Available from. www.scribd.com.

Accessed at March 23, 2011


8. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248. 9. Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). accessed: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/. 10. STEYER, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment. accessed: http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html
11. Hatmansjah.Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

23

Anda mungkin juga menyukai