Anda di halaman 1dari 26

Edisi Juli, 2008

Warta Konservasi

Lahan Basah
ISSN: 0854-963X

Edisi kali ini:


Peran Hutan Mangrove: Menanggulangi Perubahan Iklim Global Menyimak Ekowisata di Pulau Wayaq, Raja Ampat Rehabilitasi Ekosistem Pesisir di Kecamatan Jaya (Green Coast) Manfaat Danau Komplek Malili (D. Matano, Mahalona dan Towuti) di Sulawesi Selatan Avi Fauna Air pada Penghujung Tahun 2007 di Kawasan Pesisir Mbuti

Edisi Juli, 2008


Warta Konservasi Lahan Basah


Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP), dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di Indonesia. Penerbitan Warta Konservasi Lahan Basah ini dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi lahan basah, guna mendukung terwujudnya lahan basah lestari melalui pola-pola pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana serta berkelanjutan, bagi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah sematamata pendapat para penulis yang bersangkutan.

Ucapan Terima Kasih dan Undangan


Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam terselenggaranya majalah ini. Walaupun tanpa imbalan apapun, para penulis terus bersemangat berbagi informasi dan pengetahuannya demi perkembangan dunia pengetahuan dan pelestarian lingkungan khususnya lahan basah di republik tercinta ini. Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk mengirimkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada wadah pertukaran informasi tentang perlahanbasahan di Indonesia ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya tidak lebih dari 2 halaman A4 (sudah berikut foto-foto). Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - Indonesia Programme Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002 tel: (0251) 312-189; fax./tel.: (0251) 325-755 e-mail: publication@wetlands.or.id

Foto sampul muka: Keindahan Pulau Wayaq, memiliki potensi pariwisata (Dok.: Bertha Matatar, 2008)

DEWAN REDAKSI: Penasehat: Direktur Jenderal PHKA; Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP; Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra; Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno

Warta Konservasi Lahan Basah

Dari Redaksi

Roda jaman berputar, teknologi berkembang. Sebuah ketentuan alam yang tidak dapat dihindari oleh bangsa-bangsa manapun di dunia ini. Populasi manusia bertambah, bertambah pula tuntutan kebutuhan hidup yang sering dianalogikan sebagai kebutuhan perekonomian. Teknologi sering dipandang sebagai jawaban atas kebutuhan itu. Benarkah? bila dibandingkan masa-masa lalu dimana teknologi belum sepesat dan secanggih seperti sekarang ini, secara hakiki apakah saat ini kondisinya dirasakan lebih baik?? Teknologi dan perekonomian seakan dua anak busur yang melesat cepat bergandengan mengarah titik-titik tujuan. Ada yang tepat menancap pada lingkar sasaran, disekitarnya, bahkan adapula yang menancap jauh dari lingkar sasaran. Itu pula yang telah terjadi pada kemajuan teknologi dan perkembangan perekonomian yang terjadi saat ini. Seringkali, kemajuan dan perkembangan di satu sisi harus mengorbankan satu sisi lainnya. Pesatnya pembangunan dimana-mana selalu saja diiringi pesatnya kehancuran alam sekitarnya. Meningkatnya nilai-nilai dan angka perekonomian selalu saja dibarengi maraknya kemiskinan. Mengapa??? Tidak bisakah kemajuan teknologi dan peningkatan perekonomian tidak mengorbankan alam? tidak bisakah kemajuan dan perkembangan tsb dapat dirasakan merata dan adil segenap lapisan masyarakat? Goresan-goresan kecil edisi kali ini, diantaranya mengajak kita merenung dan menelaah bahwa peningkatan perekonomian tentu saja dapat dilakukan tanpa harus mengorbankan sisi lingkungan dan manusianya. Pelestarian suatu ekosistem lahan basah tertentu yang dibarengi dengan pengembangan ekowisata di dalamnya, adalah salah satu contoh kecil pola perekenomian yang bijak yang juga dapat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bagi generasi-generasi penerus bangsa. Selamat membaca.

Daftar Isi

Fokus Lahan Basah Peran Hutan Mangrove: Menanggulangi Perubahan Iklim Global Konservasi Lahan Basah Menyimak Ekowisata di Pulau Wayaq, Raja Ampat Berita Kegiatan PRehabilitasi Ekosistem Pesisir di Kecamatan Jaya (Green Coast) Berita dari Lapang Manfaat Danau Komplek Malili (D. Matano, Mahalona dan Towuti) di Sulawesi Selatan Konversi Lahan Gambut Perkebunan: Ancaman Rusaknya Ekosistem Gambut di Kab. Mandaling Natal, Sumatera Utara Lahan Rawa Lebak, Kawasan Penyangga Pangan (Studi Kasus Wilayah Ogan Ilir, Sumatera Selatan) Flora dan Fauna Lahan Basah Jenis Burung di Areal Hutan Mangrove, Raja Ampat Berbagai Jenis Burung Air yang sudah Berbiak di Taman Burung TMII Avi Fauna Air pada Penghujung Tahun 2007 di Kawasan Pesisir Mbuti Dokumentasi Perpustakaan Kotak Katik Lahan Basah 6 4

10 10 12 14 18 20 22 24 24

Edisi Juli, 2008

Fokus Lahan Basah


Peran Hutan Mangrove - Menanggulangi Perubahan Iklim Global


alah satu masalah paling krusial yang dihadapi penduduk dunia saat ini adalah pemanasan global dimana dampaknya mulai terasa akhir-akhir ini di hampir seluruh belahan bumi. Di India, suhu yang mencapai lebih dari 400C membuat beberapa orang meninggal akibat panasnya cuaca kala itu. Hal itu diakui sebagai salah satu dampak dari pemanasan global. Efek rumah kaca atau green house effect sebenarnya bukan hanya berdampak pada kenaikan suhu bumi, tetapi juga berdampak pada hampir semua aspek kehidupan yang akhirnya akan mengakibatkan kerusakan ekosistem dan kepunahan spesies, termasuk manusia. Perubahan iklim akibat pemanasan global disebabkan oleh peningkatan gas karbondioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya, seperti: (Metana (CH4), Dinitrooksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC), dan Sulfur Heksafluorida (SF6)) yang terjebak di atmosphere dan lama-kelamaan menimbulkan apa yang disebut green house effect. Sedangkan penyebab gas rumah kaca dapat berasal dari Pembakaran bahan bakar fosil, pembakaran hutan (termasuk lahan gambut), sawah yang tergenang yang dapat menghasilkan gas metana, pemanfaatan pupuk yang menghasilkan dinitro oksida, pembakaran padang sabana dan sisa-sisa pertanian, kotoran ternak yang membusuk dan akan melepaskan gas metana dan juga sampah yang menghasilkan gas metana dsb.nya. Diperkirakan satu ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana sedangkan 1 m3 tanah gambut yang terbakar ataupun (karena keberadaan parit-parit) teroksidasi akan mengemisikan sekitar 220 kg CO2 (padahal luas lahan gambut tropis di Indonesia sangat luas yaitu 21 juta ha, terluas didunia) . Dari waktu ke waktu penyebab pemanasan global di atas tidak akan mengalami penurunan bahkan akan mengalami peningkatan. Hal ini karena aktivitas manusia yang meningkat seiring jumlah penduduk dunia yang semakin meningkat. Populasi penduduk dunia saat ini diperkirakan telah mencapai angka 6,5 miliar. Meskipun ini adalah nilai perkiraan, tapi kecenderungan pertumbuhan penduduk dunia diperoleh berdasarkan data-data yang mendukung. Pada akhir 2050, jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai 9 miliar (www.kompas.co.id).

Warta Konservasi Lahan Basah

Oleh: Hanifa*

Salah satu dampak pemanasan global di atas yaitu naiknya muka air laut (sea level rise). Dalam kurun waktu 1990 sampai 2000 telah terjadi peningkatan muka air laut di sejumlah daerah di Indonesia. Muka air laut naik rata-rata 8 mm per tahun di Tanjung Priok, Jepara, Semarang, Batam, Kupang Biak, Sorong ; 7.83 mm per tahun di Belawan dan 1.3 mm per tahun di Cilacap. Naiknya muka air laut ini, akan berdampak besar dan menimbulkan berbagai kerugian bio-fisik yang besar di Indonesia. Sebagai gambaran, wilayah pesisir Indonesia dihuni tidak kurang dari 140 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Secara administratif, kurang lebih 42 Kota dan 181 Kabupaten berada di pesisir, serta terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosialekonomi (www.walhi.or.id). Berikut beberapa kerugian yang akan ditimbulkan akibat naiknya muka air: 1. Pulau kecil yang berketinggian di bawah dua meter berpeluang hilang. Jika diasumsikan kenaikan muka air laut satu meter pada kemiringan pantai rata-rata dua persen selama seratus tahun, maka wilayah pesisir Indonesia yang tergenang 4.050 ha dan 2000 pulau kecil berpeluang tenggelam (Kompas, 26/06/ 07). 2. Terjadinya abrasi dan garis pantai akan mundur lebih dari 60 Cm (dengan asumsi tidak ada langkah untuk menekan emisi gas rumah kaca). Hal ini tentu saja mengancam 800 ribu rumah penduduk yang berada di tepi pantai dan infrastruktur pendukung lainnya (www.republika.co.id). 3. Hilang (berkurang) nya luas territorial desa/kota/ kabupaten pantai di Indonesia termasuk infrastrukrtur dan lahan-lahan pertanian/perikanan yang bernilai triliunan rupiah 4. Intrusi air laut meningkat. Hal ini tidak hanya mengancam masyarakat di wilayah pesisir, namun juga penduduk yang tinggal di perkotaan. Pada tahun 2070 diperkirakan 50 % dari 2,3 juta penduduk Jakarta Utara, misalnya, tidak lagi memiliki sumber air minum dan banyak infrastruktur yang rusak akibat salinitas tinggi (www.republika.co.id).

Fokus Lahan Basah Mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Sebagai perangkat mitigasi alami, mangrove memiliki beberapa keuntungan antara lain, penanganan abrasi lebih murah dibanding dengan membuat bangunan laut lain, dan mangrove dapat memberi dampak yang menguntungkan kualitas perairan disekitarnya; mangrove memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan menahan intrusi air laut; secara estetika mangrove lebih baik daripada bangunan laut lainnya; bangunan laut dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi di tempat lain; kawasan pertambakan dapat ditata ulang dengan sistem wanamina (silvofishery), yaitu perpaduan antara hutan mangrove dan perikanan; mangrove dapat menetralisir lahan yang telah tercemar oleh logam berat; menyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain. Saat ini, luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas Gambar: tambak Silvo-fishery di Desa Lham Ujong 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan (difasilitasi oleh Wetlands International-IP, 2007) penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 5. Berbagai kegiatan matapencaharian masyarakat 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan yang mengandalkan habitat pesisir (seperti konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan pertambakan, sawah dekat pantai) akan hancur sebagainya (Dahuri, 2002). dan akibatnya pengangguran akan meningkat Melihat kondisi mangrove saat ini, maka pengelolaan dan serta timbulnya berbagai keresahan sosial pengembangan kawasan ekosistem hutan mangrove, 6. Perpindahan perkampungan/pemukiman pesisir perlu didasarkan atas azas kelestarian, manfaat dan ke arah daratan berpotensi menimbulkan konflik keterpaduan. Oleh karena itu, sasaran kebijakan lahan serta terjadinya re-alokasi penggunan lahan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara umum bagi pemukiman yang bergeser kearah darat/ perlu diarahkan pada tiga aspek yaitu: menjauhi pantai a. mengurangi tekanan terhadap ekosistem hutan Untuk menghadapi fenomena yang sudah di depan mangrove dalam bentuk pengawasan yang ketat mata dan sudah terjadi ini diperlukan upaya mitigasi terhadap penebangan liar, perburuan liar dan ancaman dan adaptasi. Adaptasi terhadap dampak perubahan kerusakan hutan lainnya, menindak petambak liar iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang yang beroperasi, dan melakukan penataan kawasan dilakukan secara spontan atau terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang b. revitalisasi fungsi ekosistem hutan mangrove dalam diprediksi atau yang sudah terjadi. Mitigasi adalah bentuk melakukan penghutanan kembali kegiatan jangka panjang yang dilakukan untuk (reforestration) daerah yang telah rusak tegakan menghadapi dampak dengan tujuan untuk mengurangi mangrovenya, dan menata dan memperbaiki aliran resiko atau kemungkinan terjadi suatu bencana. pasang surut di dalam kawasan yang sudah Kegiatan lebih lanjut dari mitigasi dampak adalah terganggu kesiapan dalam menghadapi bencana, tanggapan ketika bencana dan pemulihan setelah bencana terjadi (Murdiyarso, 2001 dalam Hidayati 2001).
..... bersambung ke halaman 16

Edisi Juli, 2008

Konservasi Lahan Basah


Menyimak Ekowisata di Pulau Wayag Raja Ampat


Oleh : Alfredo O. Wanma1 dan Bertha Matatar2

KEADAAN UMUM

eragamnya keanekaragaman hayati di kepulauan Raja Ampat yang terhampar dilautan bagian paling barat pulau Papua adalah pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya dan tepat dijantung segitiga terumbu karang dunia. Gugusan kepulauannya terdiri dari 610 buah pulau, seluas 4,6 juta hektar dan memiliki keanekaragaman terumbu karang yang tinggi, hamparan padang lamun, hutan bakau, dan pantai tebing berbatu yang indah. Karena keanekaragaman hayati dan kekayaan sumberdaya laut yang luar biasa tersebut menyebabkan kawasan ini menjadi prioritas dunia untuk pelestarian sumberdaya laut dan oleh para ahli kelautan ditetapkan Raja Ampat sebagai situs warisan dunia. Kepulauan Raja Ampat dikenal memiliki beranekaragam potensi laut yang sangat tinggi, salah satunya adalah potensi pariwisata. Hal ini didukung oleh keadaan alam dari kepulauan ini yang memberikan nilai jasa dalam bentuk potensi keindahan alamnya. Strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berbasis pada sumber daya kelautan dan tata ruang yang berwawasan lingkungan melengkapi visi pembangunan Raja Ampat sebagai kabupaten maritim/bahari yang didukung oleh potensi sumber daya pariwisata, kelautan dan perikanan. Beragamnya keanekaragaman hayati darat maupun laut menjadikan banyak pilihan kegiatan kepariwisataan di Kabupaten Raja Ampat. Saat ini, ada beberapa tempat yang sudah sering dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara seperti di Pulau Kri yang dikelola oleh Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), dimana wisatawan yang datang lebih banyak melakukan aktifitas penyelaman di

Warta Konservasi Lahan Basah

sepanjang Selat Dampier, atau di gugusan pulau-pulau karang di Wayaq. Pulau Wayaq merupakan salah satu pulau di kepulauan Raja Ampat yang memberikan sumbangan keindahan alamnya untuk nilai pariwisata dari kepulauan Raja Ampat. Pulau Wayaq, terletak di sebelah Barat Pulau Waigeo, kabupaten Raja Ampat. Pulau ini dapat dijangkau dengan transportasi laut seperti speed dan longboat. Jarak dari ibukota kabupaten, Saonek dengan pulau Wayaq dapat ditempuh 4-5 jam perjalanan menggunakan speed/longboat.

Keindahan Pulau Wayaq, memiliki potensi pariwisata (Dokumentasi : Bertha Matatar, 2008)

Konservasi Lahan Basah


Keindahan bawah laut dan pemandangan di sekitar Pulau Wayaq, menarik para wisatawan untuk menyelam dan bertamasya dengan perahu dayung. (Dokumentasi : Bertha Matatar, 2008)

POTENSI PARIWISATA
Pulau Wayaq memiliki keindahan alam yang sangat indah dan memberikan daya tarik yang besar bagi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Beberapa potensi sektor pariwisata yang dapat dikembangkan berupa gugusan pulau-pulau karang yang tertata rapi, pantai tebing berbatu yang indah, perairan yang belum tercemar, keindahan pasir putih sepanjang pesisir pantai, terumbu karang yang menghiasi dasar laut pulau ini dan beberapa biota laut yang mendiami perairan disekitar pulau ini. Selain itu, pulau ini bukan merupakan daerah sasaran sektor penambangan di kabupaten Raja Ampat, membuat daerah ini diprioritaskan sebagai daerah pariwisata. Potensi bawah laut dan pemandangan alam yang indah merupakan potensi pariwisata terbesar yang dapat dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung di pulau ini dan umumnya Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para wisatawan adalah penyelaman (diving) untuk menikmati keindahan alam bawah laut dan bertamasya mengelilingi sekitar pulau ini dengan perahu-perahu dayung.

tempat. Tercatat enam (6) kawasan konservasi yang telah ditetapkan yaitu Cagar Alam (CA) Batanta Barat, 10.000 ha (SK No.912/Kpts/Um/I/ 1978), CA Salawati Utara, 62.962 ha (SK Menhut:14/Kpts/Um/I/1978), CA Misool Selatan, 84.000 ha (SK No.716/Kpts/Um/I/1982), CA Waigeo Barat, 153.000 ha (SK No.395/Kpts/ Um/ 1981), Suaka Marga Laut Kep. Raja Ampat, 60.000 ha (SK Menhut No.81/Kpts-II/1993), CA Waigeo Timur, 119.500 ha (SK No.251/Kpts-II/ 1996). Selain itu juga Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat mengusulkan beberapa kawasan untuk menjadi kawasan konservasi, karena mengandung kekayaan flora dan fauna, dan habitat yang unik. Conservation International (CI) merupakan Salah satu badan yang menangani usaha perlindungan terhadap sumberdaya laut di kepulauan Raja Ampat termasuk dipulau Wayaq. Dalam pelaksanaannya, CI melakukan monitoring dan pengawasan terhadap keanekaragaman hayati laut yang ada di Raja Ampat.

Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Peternakan dan Ilmu Kelauatan, Universitas Negeri Papua, Manokwari
2

UPAYA PERLINDUNGAN
Karena pentingnya kepulauan Raja Ampat ini, Pemerintah Indonesia sebelumnya telah menetapkan kawasan konservasi di beberapa

Dosen Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua, Manokwari

Edisi Juli, 2008

Berita Kegiatan

Rehabilitasi Ekosistem Pesisir di Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya


GREEN COAST PROJECT

etlands International Indonesia Programme (WIIP) bersama WWF Indonesia melalui proyek Green Coast (didanai oleh Oxfam) telah memfasilitasi beberapa LSM lokal dan Kelompok Swadaya Masyarakat untuk membina masyarakat korban tsunami dalam melakukan rehabilitasi ekosistem pesisir yang digabungkan dengan upaya-upaya penciptaan matapencaharian alternatif di Aceh-Nias sejak Oktober 2005. Sejauh ini, pendekatan semacam ini telah memberikan hasil yang baik, karena partisipasi masyarakat dalam merehabilitasi lahan dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, penyiapan dan penanaman bibit serta perawatannya. Partisipasi aktif mereka, diperlihatkan dari tingginya nilai persentase hidup tanaman yang ditanam, dihargai (appreciated) melalui pemberian pinjaman modal usaha (tanpa agunan dan tanpa bunga) yang dapat digunakan untuk menciptakan alternatif matapencaharian. Kegagalan untuk mempertahankan persentase keberhasilan hidup tanaman rehabilitasi (< 75%) akan memiliki kosekwensi terhadap pengembalian modal usaha yang telah diberikan kepada pihak proyek; namun sebaliknya keberhaslan >75% akan menjadikannya sebagai hibah. Semua prasarat (hak dan kuajiban) kelompok masyarakat untuk dapat menerima bantuan modal usaha yang dikaitkan dengan keberhasilan rehabilitasi dituangkan dalam suatu kontrak kerja yang disaksikan tokoh masyarakat.

Sampai April 2008 tercatat tak kurang 1000ha lahan pesisir (dari target 1,178 ha hingga akihir 2008) telah direhabilitasi baik dengan penanaman mangrove, tanaman pantai dan perlindungan terumbu karang di seluruh Aceh dan Nias. Di Kecamatan Jaya, pengembangan kegiatan Green Coast telah dimulai sejak Agustus 2007 hingga Maret 2009 dan terletak di Desa Krueng Tunong, Gle Jong, Keude Unga dan Ceunamprong. Empat kegiatan utama yang dikembangkan yaitu: (1) Rehabilitasi ekosistem pesisir; (2) Pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan; (3) Pembuatan peraturan desa yang mendukung upaya rehabilitasi eksositem pesisir dan (4) Foto udara Muara Krueng Tunong sebelum tsunami Kampanye pendidikan lingkungan. (Juni 2003, kiri) dan setelah tsunami (Juni 2005, kanan). Lingkaran
kuning lokasi rehabilitasi mangrove (M) dan hutan pantai (P) Sumber foto: Laporan ADB-ETSP

Warta Konservasi Lahan Basah

Oleh: Ita Sualia

PENCAPAIAN KEGIATAN GREEN COAST DI KECAMAYAN JAYA


Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya, terletak di pantai barat Aceh berjarak sekitar 80 km dari Kota Banda Aceh ke arah selatan. Kecamatan Jaya atau lebih sering disebut Lamno dikenal masyarakat Aceh sebagai tempat wisata religi karena sarat dengan sejarah perkembangan Islam dan sejarah masuknya Portugis ke Aceh yang ditandai dengan adanya makam Sultan Alaaddin Riayatsyah di Desa Gle Jong. Topografi sepanjang pantai yang landai dan dibelakangnya berbukit menghasilkan pemandangan yang indah sehingga Kecamatan Jaya juga banyak dikunjungi untuk tujuan wisata alam. Mata pencaharian utama penduduk adalah sebagai petambak, nelayan dan petani musiman. Tsunami 2004 telah mengakibatkan perubahan bentang alam yang cukup serius seperti hilang(ambelas) nya daratan dan terbentuknya rawa-rawa pesisir. Selain memakan korban sekitar 5906 jiwa (wanita 3210 dan pria 2696), banyak desa yang hilang dan mengalami kerusakan fasilitas mata pencaharian. Sebagai contoh, sebagian besar tambak di Desa Keude Ungah dan Ceunamprong belum dapat dioperasikan sehingga banyak petambak yang harus menjalankan profesi lain seperti buruh bangunan dan nelayan sebagai alternatif mata pencaharian bahkan hingga saat ini masih ada yang menganggur. Terkait pada kondisi tersebut, maka upaya rehabilitasi pesisir dan penciptaan mata pencaharian alternatif perlu dilakukan.

Berita Kegiatan

Desa Krueng Tunong Tsunami menghancurkan hampir seluruh daratan di sisi utara desa bahkan menyebabkan semenanjung Desa Ujung Sudeun dan Gua di Bukit Temega terputus. Kawasan yang dulunya Desa Ujung Sudeun kini berubah menjadi pulau yang terpisah sama sekali dari daratan dan tidak lagi berpenghuni dan diperkirakan telah memakan lebih dari 1000 jiwa. Bersama dua kelompok masyarakat yang terdiri dari 50 orang, sejak Agustus 2007 proyek Green Coast telah merehabilitasi sekitar 40 ha lahan pesisir dengan menanam tidak kurang dari 71.000 mangrove (umumnya di muara sungai dan tepi pematang tambak) dan 7.100 tanaman pantai (di kawasan pantai berpasir). Sejak Juni 2008, WIIP melalui proyek yang didanai FoN (Force of Nature) Malaysia, kegiatan rehabilitasi pesisir di desa ini diperluas 50 ha lagi (dengan jumlah tanaman mangrove sebanyak 50,000 dan tanaman pantai 5000) dan bukit Temega 20 ha (dengan 12.500 tanaman terdiri dari asam jawa, durian, pala, mangga, jambu keling, rambutan dll.). Selain kegiatan rehabilitasi, kedua proyek di atas juga memberi bantuan pendanaan kepada kelompok masyarakat untuk mengembangkan alternatif matapencaharian berupa berternak ayam, sapi, kambing, tambak udang serta modal warung maupun berkebun kacang.

Desa Gle Jong Desa Gle Jong masih berada dalam satu lingkup kemukiman dengan Desa Krueng Tunong. Lokasi keduanya hanya dibatasi atau diapit oleh satu desa lain. Desa Gle Jong ramai dikunjungi warga Aceh terutama saat Idul Adha untuk berziarah ke makam Sultan Alaaddin Riayatsyah yang diyakini sebagai salah seorang pemimpin dan penyebar Islam penting di Aceh. Desa Gle Jong di masa lalu juga diyakini tempat sekumpulan orang Portugis membentuk pemukiman (enclave) dan akhirnya berasimilasi dengan penduduk setempat dengan memeluk agama Islam. Tsunami 2004 menyebabkan tewasnya 1500 warga dan hilangnya satu dusun dari tiga dusun yang ada di Desa Gle Jong. Selain itu, tsunami telah menyebabkan mundurnya garis pantai hingga 500 meter ke darat, menghancurkan vegetasi hutan pantai dan rawa-rawa, serta mengubah sawah menjadi rawa baru berair payau yang saat ini digunakan masyarakat sebagai tempat menangkap udang menggunakan jaring anco, liftnet. Ancaman aktivitas manusia di wilayah pesisir yang saat ini terjadi adalah penambangan pasir oleh individu desa. Setiap hari sekitar 600 m3 atau 100 truk pasir ditambang. Berdasarkan informasi warga, salah satu dampak dari penggalian pasir adalah masuknya air laut ke darat lebih jauh 3m saat

Stop Press
FAO bekerjasama dengan Wetlands International - IP telah menerbitkan sebuah buku Panduan Burung liar dan Flu Burung: Pengantar riset lapangan terapan dan tehnik pengambilan sampel penyakit. Buku tersebut merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul Wild birds and avian influenza: An introduction to applied field researchand disease sampling techniques, terbitan FAO. Dengan dilengkapi foto-foto berwarna sebagai penunjang informasi, panduan ini diharapkan dapat mendukung ketersediaan informasi yang akurat, tepat serta dapat menjadi bahan pendidikan yang benar, baik dan mudah dimengerti, khususnya dalam menanggapi penyebaran virus H5N1 ganas di Indonesia

Edisi Juli, 2008

Berita Kegiatan

pasang dari sebelumnya. Kondisi diatas berpeluang menimbulkan konflik karena kecilnya nilai sumbangan yang diberikan penambang pasir kepada kas desa dibanding kerusakan lingkungan yang ditibulkan. Upaya rehabilitasi ekosistem pesisir (umumnya berupa rawa air payau dan pantai berpasir) dilakukan oleh 25 orang warga yang tergabung dalam satu kelompok dan telah menanam sekitar 73.000 tanaman rehabilitasi yang terdiri dari 70.000 mangrove 2000 tanaman pantai dan 950 tanaman pekarangan. Modal usaha yang diberikan oleh proyek GC digunakan oleh anggota kelompok untuk membeli sampan bekas (sebagai nelayan tangkap), berternak itik, ayam, kambing, usaha warung, menjahit, membuat kue dan pembuatan ikan asin.

Desa Keude Unga Desa Keude Unga terletak disebuah dataran antara Bukit Barisan bagian Barat dan Samudera Hindia yang juga merupakan muara/Kuala Unga. Saat gempa bumi terjadi pada pagi hari 26 Desember 2004, polisi-polisi para militer yang berpos di Desa Keudeu Unga menyadari akan datangnya gelombang tsunami lalu segera menyuruh penduduk untuk naik ke perbukitan. Hal tersebut menyebabkan hampir seluruh penduduk Desa Keude Unga selamat, sedangkan wilayah Desa Keude Unga sendiri termasuk mangrove yang tumbuh disekitar pemukiman hilang berubah menjadi laut. Pemukiman yang ditempati oleh warga saat ini, pada awalnya adalah sawah yang berubah menjadi rawa asin lalu ditimbun untuk dijadikan perumahan. Kegiatan rehabilitasi di Desa Keude Unga dilakukan oleh 2 kelompok (total 38 orang) masyarakat binaan WIIP. Dari sekitar 80.000 bibit tanaman yang telah ditanam, umumnya terdiri dari mangrove (70.000), tanaman pantai (9.650) dan tanaman pekarangan (350). Dari komponen modal usaha yang diberikan oleh proyek GC, ternyata pengelolaan kegiatan ekonomi di Desa Keude Unga lebih maju bila dibandingkan dengan tiga desa lainnnya di Kecamatan Jaya. Dua kelompok masyarakat dengan total anggota yang terdiri dari 38 orang ini telah berhasil mengembangkan usaha simpan pinjam (dana bergulir) anggota dan sampai dengan saat ini tidak ada kendala dalam pengembalian cicilan tiap bulannya. Dana ini dikelola oleh Kelompok dengan jenisjenis usaha yang dikembangkan terdiri dari berternak ayam, itik, membuat kerupuk, membuka warung dan membuat tempe. Dari kesemua jenis usaha tersebut,

10

Warta Konservasi Lahan Basah

ternyata usaha tempe mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada mulanya dalam seminggu hanya menggunakan 5kg kedele sebagai bahan baku pembuat tempe, sekarang 10kg kedele.hari. Perhitungan kasar pendapatan dari usaha tempe saat ini mencapai Rp1,5juta/ bulan. Disamping itu kelompok juga memiliki usaha ternak sapi yang dikelola secara berkelompok/ bersama sebanyak 2 ekor.

Desa Ceunamprong Desa Ceunamprong bersebelahan dengan Desa Keude Unga dan masih berada dalam satu kemukiman yaitu Kemukiman Kuala Unga. Jumlah korban jiwa akibat tsunami sekitar 150 jiwa, sebagian besar penduduk yang selamat sebelumnya menyelamatkan diri ke perbukitan yang letaknya tidak jauh dengan desa. Keanekaragaman hayati di desa ini cukup tinggi, hal ini terlihat dari sekitar 23 jenis burung yang dijumpai saat survey oleh WIIP, lima jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan undang-undang Indonesia. Jenis yang dilindungi tersebut, yaitu: Kuntul besar Egretta alba Kuntul kecil E. garzetta, Cekakak sungai Halcyon chloris, Burung-madu kelapa Anthreptes malacensis, dan Burung-madu sriganti Nectarinia jugularis. Selain itu, berdasarkan informasi warga, sebelum tsunami di pantai berpasir Desa Ceunamprong sering ditemukan penyu bertelur. Di desa Ceunamprong, proyek GC dilaksanakan agak terlambat (yaitu sekitar November 2007) dibanding ketiga lokasi lainnya di atas (umumnya telah dimulai pada April 2007). Tapi keterlambatan ini tidak menjadi hambatan bagi berhasilnya kegiatan rehabilitasi di desa ini. Hal ini terlihat dari telah selesai ditanamnya sebanyak 73.000 tanaman rehabilitasi yang terdiri dari 71.000 mangrove, 1.650 tanaman pantai dan 350 tanaman pekarangan (lihat Tabel 4). Saat ini pengembangan alternatif matapencaharian (kegiatan ekonomi) sedang dalam tahap identifikasi jenis usaha yang akan dilakukan kelompok. Dari hasil pengamatan WIIP dan diskusi dengan masyarakat, usaha yang cukup potensial untuk dikembangkan di desa ini adalah pertanian sayuran, kacang tanah, semangka, cabe dan usaha perikanan tangkap. Memanfaatkan keberadaan kotoran ternak (misal sebagai kompos) yang cukup banyak di desa ini diharapkan dapat mendukung usaha-usaha alternatif yang telah diidentifikasi di atas.

Berita Kegiatan

PELATIHAN REHABILITASI DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN BAGI MASYARAKAT


Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota kelompok masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan rehabilitasi, proyek GC terlebih dahulu memberikan pelatihan-pelatihan rehabilitasi. Di dalamnya termasuk tehnik memilih dan menyiapkan bibit di dalam pesemaian, menetapkan lokasi penanaman dan menanam serta merawat bibit di lokasi penanaman. Semua upaya-upaya di atas, oleh WIIP didukung dengan berbagai buku panduan yang mudah dipahami. Selanjutnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan pesisir, proyek GC juga telah melakukan berbagai upaya kampanye dan pendidikan lingkungan dengan target masyarakat luas (termasuk para guru dan murid sekolah serta anggota masyarakat). Kegiatan ini dilakukan di dalam ruang kelas maupun di lapngan terbuka. Beberapa kompetisi penanaman mangrove juga dilakukan untuk para murid sekolah. Untuk mendukung kegiatan ini, WIIP telah menyebarluaskan berbagai bahan-bahan kampanye lingkungan (termasuk brosur, leaflet, poster, komik dsb.).

HASIL PEMBELAJARAN
Kegiatan rehabilitasi pesisir di Kecamatan Jaya telah memberikan beberapa pembelajaran yang bermanfaat bagi masyarakat maupun pembelajaran bagi keberhasilan upaya-upaya serupa di tempat lain. Berikut ini adalah hasil pembelajaran yang diperoleh: Masyarakat sangat menyukai pendekatan yang dilakukan oleh proyek GC, Pertama: karena fasilitator tingal di desa bersama masyarakat binaannya sehinga timbul hubungan yang akrab diantara mereka. Kedua: penggabungan pemberian modal usaha yang dikaitkan dengan kegiatan rehabilitasi dipandang sangat mendidik sehinga masyarakat merasa ikut memiliki/bertanggung jawab akan hasil rehabilitasinya. Ketiga: pemberian berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tentang tehnik rehabilitasi telah memperluas wawasan masyarakat sehingga ke depan, hal ini dapat diterapkan untuk menyiapkan bibit-bibit tanaman (bernilai ekonomi) lainnya. Keempat: kegiatan rehabilitasi (melalui pemulihan ekosistem mangrove) diyakini akan dapat melindungi pemukiman dari bencana badai maupun air pasang dan memulihkan sumber matapencahrian masyarakat pesisir. Namun demikian, beberapa hal/pembatas yang berpontensi menggagalkan kegiatan rehabilitasi di Aceh Jaya juga perlu diantisipasi, diantaranya: (a) Pembangunan jalan raya Banda Aceh-Meulaboh (meski lokasi jalan relatif jauh) berpotensi melintasi sebagian kawasan mangrove yang telah tumbuh secara alami di utara desa Keude Unga. (b). Keberadaan ternak (seperti kambing dan kerbau) di sekitar lokasi rehabilitasi berpeluang menggagalkan upaya rehabilitasi, oleh karenanya dibutuhkan biaya besar untuk memagari tanaman. (c). adanya penambangan pasir laut telah menggerus garis pantai di desa Gle Jong dan ini berpeluang membahayakan pemukiman di belakangnya dan menggagalkan upaya rehabilitasi. Untuk mengatasi hal demikian peraturan desa perlu segera dibuat dan ditaati. (d) pola iklim yang tidak menentu/berubah (diantaranya musim hujan) dan berubahnya pola arus telah menyebabkan berpindahnya endapan lumpur di muara Krueng Tunong dan ini menyebabkan tercerabutnya beberapa tanaman rehabilitasi.

Edisi Juli, 2008

11

Berita dari Lapang


Manfaat Danau Komplek Malili


(D. Matano, Mahalona dan Towuti) di Sulawesi Selatan

anau Komplek Malili adalah sekelompok danau yang terdiri dari tiga danau yang saling berdekatan dan saling berhubungan (D. Matano, Mahalona dan Towuti) dan 2 danau lain di atasnya yang jauh lebih kecil, (D. Masapi dan Lantoa) di Kabupaten Malili Timur, Sulawesi Selatan. Ketiga danau yang pertama terjadi secara tektonik di Indonesia. Danau Matano yang lokasinya paling atas (382 m dpl) luasnya 164 km2 dengan kedalaman 590m, D. Mahalona di bagian hilirnya (310 m dpl) seluas 24 km2 dengan kedalaman 73 m dan D. Towuti yang paling hilir (293 dpl) seluas 651km2 dengan kedalaman 203m. Danau tersebut memiliki perairan yang jernih dan melimpah sepanjang tahun dengan fluktuasi kedalaman yang semula kecil, karena terdukung oleh hutan primer yang masih bagus di sekitarnya. Tetapi kini fluktuasi kedalamannya agak meningkat karena adanya kegiatan HPH legal dan illegal disekitarnya. Dan adanya kegiatan penambangan Nikel oleh PT INCO, meskipun PT INCO memperhatikan kewajiban penghutanan kembali di kawasan hutan yang telah ditambang. Airnya yang jernih dan melimpah sejak dua dekade silam telah dimanfaatkan untuk keperluan perusahaan PT. INCO yang juga membangun pembangkit tenaga listrik di hilir D. Towuti yang telah dimanfaatkan pula untuk kepentingan Pemda dan masyarakat setempat. Pemanfaatan air danau untuk kepentingan yang lain memang ada tetapi belum optimal. Penduduk telah lama memanfaatkan produk ikan dari nelayan lokal untuk konsumsi sumber protein masyarakat setempat. Perahu motor telah banyak dimiliki masyarakat untuk kepentingan alat transport antar kampung yang beda lokasi, untuk pengangkut hasil hutan dan penangkapan ikan di danau. Karena pemandangan di sekitarnya yang indah serta kejernihan airnya melimpah ruah dan mengalir dari Matano kearah Towuti, maka Pemda setempat sejak 1979 telah memanfaatkan pula sebagai Taman Wisata Alam dengan SK dari Menteri Pertanian No. 274/Kpts/Um/1979. Tetapi sayangnya tidak ada program pengembangan wisata yang jelas, sehingga fungsinya sebagai obyek wisata kurang berhasil. Fasilitas infrastruktur untuk wisatawan masih minim, belum ada petugas pengelola wisata yang khusus

12

Warta Konservasi Lahan Basah

Oleh: Dr. Soetikno Wirjoatmodjo*

sehingga tampak belum ada dampak positif bagi Pemda maupun masyarakat lokal. Peningkatan infrastuktur untuk publik memang telah ada berkat bantuan PT. INCO.

POTENSI D. KOMPLEK MALILI Secara umum biasanya potensi air danau adalah untuk irigasi pertanian dan usaha perikanan karena dimungkinkan untuk pengembangan kultur jenis-jenis ikan konsumsi seperti di banyak danau dan bendungan di P. Jawa. Demikian pula potensi sebagai pembangkit listrik tenaga air. Apabila masih banyak kawasan yang lebih rendah dari lokasi danau, pemanfaatan sebagai air irigasi pertanian / perkebunan dan usaha kultur perikanan serta sebagai stasiun pembangkit listrik sumber air minum masih bisa dikembangkan / ditingkatkan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tetapi Danau Komplek Malili menurut pemahaman penulis memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan lebih optimal jika didasarkan kepada pemanfaatan kekayaan jenis-jenis fauna akuatik yang hidup didalamnya, terutama jenis-jenis endemik yang hanya dijumpai hidup di danau tersebut dari seluruh wilayah di dunia, yang umumnya amat menarik sebagai obyek ekowisata internasional jika dikelola dengan baik dan profesional. D. Komplek Malili mempunyai potensi tersebut, tetapi selama ini belum pernah diketahui. Bahkan sebaliknya potensi tersebut terancam hilang karena kesalahan kita dalam memanfaatkan potensinya. Pemanfaatan danau tersebut sebagai obyek Wisata Alam selama ini hanya menarik wisatawan lokal (anakanak sekolah) untuk mandi di danau pada hari libur, sementara potensi lain dari danau yang merupakan tempat hidup dari ikan, ketam dan mungkin udang masih belum digali secara optimal pemanfataannya. Dari hasil studi terakhir tahun 2002 Danau Komplek Malili memiliki 30 jenis ikan endemik, yang 14 jenis diantaranya dijumpai hidup di D. Matano, 19 jenis hidup di D. Towuti dan 10 jenis hidup di D. Mahalona. Meskipun ketiga danau saling berhubungan ternyata 11

Berita dari Lapang jenis hanya hidup di D. Matano, 7 jenis hanya dijumpai di D. Towuti. Hanya satu jenis, Telmatherina bonti yang dijumpai hidup di ketiga danau tersebut. Di antara jenis-jenis yang ada tadi yang terbanyak di D. Matano adalah Telmatherina antoinae dan yang terjarang adalah Nomorhamphus brembachi. Di D. Towuti yang terbanyak adalah Paratherina striata dan yang terjarang adalah Oryzias marmoratus dan T. Bonti. Sedangkan di D. Mahalona yang terbanyak adalah Telmatherina celebensis dan Paratherina striata dan yang terjarang adalah T. Bonti dan P. Labiosa. Di Danau Masapi hanya dijumpai Oryzias marmoratus dan di D.Lantoa hanya O. Marmoratus dan T. celebensis. Ikan-ikan tersebut adalah obyek tangkapan bagi nelayan lokal untuk konsumsi. Meski potensial sebagai ikan hias tetapi belum termanfaatkan karena masih sulit untuk dipelihara di aquarium. Jenis-jenis endemik di perairan tawar adalah tergolong rawan punah jika ditangkap secara berlebihan oleh nelayan. Selain penangkapan berlebih introduksi jeni-jenis baru juga membahayakan sebagai pesaing makan atau pesaing breeding ground / spawing ground / feeding ground. Kondisi-kondisi seperti inilah yang dapat kita lihat di D. Komplek Malili sekarang. Di D. Towuti kini nelayan telah menggunakan 19 bagang yang dapat menangkap berbagai jenis dan ukuran ikan dalam jumlah banyak pada malam hari dengan bantuan lampu petromax sebagai penarik berkumpulnya ikan yang sedang mencari makan. Juga untuk menambah obyek tangkapan kini telah dijumpai adanya jenis-jenis ikan konsumsi lain yang di masukkan ke danau secara illegal, seperti ikan gabus, lele, mujaer, mas, betok yang semuanya bukan asli dari Sulawesi. Hal ini jelas merupakan pesaing jenis lokal. Bahkan ikan gabus adalah tergolong predator yang dapat memangsa jenis ikan lokal, sehingga semuanya itu mengancam kepunahan jenis ikan lokal endemik yang secara ilmiah dan ekonomis amat perlu kita jaga kelangsungan hidupnya di danau tersebut. Karena itu Pemda bersama Dept. Kehutanan, Dept. Kelautan dan Perikanan perlu mengambil langkah penting untuk pengamanan kelangsungan hidup ikan-ikan endemik tersebut. Cara yang tepat dan bijak untuk mengatasi masalah tersebut adalah : 1. Jenis-jenis ikan endemik tersebut harus diusulkan untuk dilindungi sebagai obyek bisnis perikanan. Penangkapan ikan dengan sistem bagang harus dihentikan. Mencegah meningkatnya populasi ikan gabus yang tergolong predator dan ikan mujair sebagai penyaing potensial. 2. Untuk meningkatkan manfaat D. Komplek Malili, potensi jenis-jenis ikan endemik perlu ditingkatkan sebagai obyek kunjungan program ekowisata yang terkoordinasi dengan baik demi pelestarian konservasinya. Hal ini berarti penetapan sebagai TWA yang telah dimulai Tahun 1979 perlu didukung penuh dengan menyiapkan segala program pengembangannya sebagai obyek ekowisata dengan sistem paket yang dapat menjadi obyek pekerjaan yang diharapkan bisa meningkatkan kesejahteran SDM muda lokal, menampung para pekerja yang dilarang dari penggunaan bagang maupun pembalak liar hutan. 3. Sarana dan prasarana untuk mengembangkan program ekowisata perlu disiapkan dengan baik dan terinci, yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan ekowisata yang juga bisa melibatkan keikutsertaan masyarakat; 4. Pemukiman padat penduduk dan perusahaan penggergajian ditepi danau perlu dimundurkan atau dipindahkan agar sepanjang tepian danau tidak tampak kumuh; 5. Jenis-jenis ikan endemik dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik perhatian pengunjung dengan cara melihat kehidupannya didalam perairan dengan cara diving kelokasi breeding ground / spawing ground / feeding ground atau melihat dari permukaan air dengan sistem snorkeling ataupun dengan lomba kemampuan menangkap jenisnya dengan alat yang disediakan untuk diberi hadiah yang berbeda untuk masing-masing jenis. Pelaksanaan program butir (5) akan memicu kehadiran wisatawan dalam dan luar negeri dan memberikan tambahan pengetahuan bagi para pengunjung tentang jenis-jenis ikan endemik istimewa di dunia (hanya hidup di danau Komplek Malili). Makin banyaknya wisatawan pengunjung secara paket akan dapat meningkatkan pendapatan daerah dan mensejahterakan masyarakat lewat penjualan produk wisata Malili yang spesial. IWF dapat membantu perencanaan dan penyiapan program Ekowisata Malili jika diminta oleh Pemda setempat (Propinsi / Kabupaten). PT INCO yang punya kegiatan pertambangan nikel di kawasan Malili agaknya dapat diminta untuk membantu penyiapan / pengadaan infrastruktur ataupun sarana penunjang program Ekowisata Malili.
Yayasan Pelestarian Alam dan Kehidupan Liar Indonesia The Indonesian Wildlife Conservation Foundation (IWF) Jl. H. Batong Raya No.3 Cilandak Jakarta Selatan 12430 Email :Soetikno@yahoo.com

Edisi Juli, 2008

13

Berita dari Lapang


Konversi Lahan Gambut ke Perkebunan:


Ancaman Rusaknya Ekosistem Gambut di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara

ahan Gambut, khususnya di Propinsi Sumatera Utara kondisinya semakin memprihatinkan. Kerusakan lahan gambut yang dialaminya paling banyak disebabkan perluasan areal perkebunan. Areal perkebunan dengan cepat menggantikan lahan-lahan hutan termasuk kawasan hutan bergambut. Alasan lahan lebih produktif bila ditanami tanaman perkebunan seperti kelapa sawit lebih mudah diterima daripada mempertahankan lahan gambut secara alami. Lahan Gambut yang terlihat masih cukup luas terdapat di Desa Sikapas Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Ketebalan gambut bervariasi antara lebih dari 1 m hingga lebih dari 3 m. Areal lahan Gambut merupakan daerah tangkapan Air dimana di dalamnya mengalir sungai Aek Siriam. Lahan Gambut Sikapas saat ini masuk dalam areal perkebunan swasta seluas sekitar 5.000 ha. Secara fungsi hutan, areal gambut Sikapas masuk dalam APL (Areal Penggunaan Lain) dimana dulunya bekas areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Lahan Gambut Sikapas memiliki nilai penting bagi masyarakat Desa Sikapas.

14

Warta Konservasi Lahan Basah

Oleh: Achmad Siddik Thoha

SUMBER IKAN
Ekosistem gambut di desa Sikapas telah menjadi tumpuan hidup masyarakat desa yang bermata pencaharian sebagai pencari ikan. Sungai Aek Siriam yang melintasi desa Sikapas merupakan sumber muara bagi aliran air yang berasal dari hutan rawa gambut. Hutan rawa gambut memberikan hasil ikan yang melimpah bagi masyarakat desa Sikapas dan sekitarnya. Hasil ikan utama adalah limbat (lele rawa) yang ditangkap secara tradisional dengan perangkap ikan (bubu). Bubu dibuat dari rotan yang terdapat pintu masuk lubang kecil dan lubang besar dimana sekali ikan masuk tidak dapat keluar. Di dalam bubu, diletakkan bungkusan ampas kelapa yang telah busuk sebagai umpan ikan. Cara tersebut dilakukan secara turun tmurun dan tidak merusak ekosistem gambut. Setiap hari penangkap ikan tradisional berangkat ke hutan gambut melewati alur sungai memakai sampan (biduk). Mulai pukul 8.00 mereka mendayung biduk lalu masuk ke rawa-rawa dalam

Gambar 1. Sungai Aek Siriam (Kiri) dan Penulis Memegang Bubu, Alat Perangkap Ikan Limbat (Tengah) dan Ikan Lele yang Diasapi (Kanan)

Berita dari Lapang


Rata-rata penangkap ikan mendapatkan limbat 1 kg per bubu. Tiap penangkap ikan umumnya bermodal 8 10 bubu. Sehingga paling tidak setiap hari 8 - 10 kg limbat bisa mereka peroleh. Bila limbat dibeli langsung dari penangkap ikan yang baru turun dari biduk, dengan Rp. 10.000,- kita bisa membawa satu kilogram limbat segar. Selain dijual dalam kondisi segar, sebagian besar ikan limbat diawetkan dengan cara diasapi yang dikenal dengan ikan sale.

Sampai saat penulis berada di lapangan, konversi lahan gambut menjadi perkebunan semakin meluas. Perusahaaan perkebunan dengan ijin Bupati mendominasi kegiatan konversi lahan dari hutan atau ekosistem gambut menjadi kebun kelapa sawit. Beberapa lokasi juga dijumpai areal perkebunan di lahan gambut yang menjadi milik koperasi maupun perorangan. Ditetapkannya Hutan Gambut Sikapas sebagai areal perkebunan, dapat mengancam kondisi ekologi, keberlangsungan mata pencaharian dan merusak sumber ekonomi masyarakat.. Konversi lahan gambut menjadi perkebunan akan mengancam fungsi lindung gambut Sikapas. Areal Gambut yang sampai saat ini berfungsi sebagai reservoir air akan rusak. Hujan tak akan mampu lagi ditahan dan akan meluapkan Aek Siriam. Sementara pada musim kemarau ancaman kebakaran gambut akan semakin terbuka. Pendapatan utama masyarakat Sikapas dari ikan rawa akan menurun dan bahkan terancam hilang. Rawa-rawa gambut sebagai habitat ikan limbat akan musnah akibat dikonversi menjadi perkebunan. Disamping itu, satwa langka harimau sumatera yang kini masih ditemukan jejaknya juga akan berpindah tempat bahkan musnah akibat berubahnya habitat. Dengan semakin giatnya perluasan areal perkebunan di Sumatera Utara, maka semakin sulit menghindari rusaknya lahan gambut. Otonomi daerah yang menggenjot Pendapatan Asli daerah dengan segala upaya yang memungkinkan menyebabkan perlindungan kawasan lindung semakin terabaikan.

KEANERAGAMAN HAYATI HUTAN GAMBUT SIKAPAS


Terdapat berbagai flora dan fauna yang hidup di hutan gambut Sikapas. Flora yang tumbuh di atas lahan gambut menurut nama lokalnya antara lain; Jangkang, Rengas, Bacang, Meranti Rawa, Kuranji, Jambu-jambu, Bongal, Melako, Mahe. Jenis Bongal, Kuranji, Mahe, Bacang mendominasi areal gambut yang terletak di pinggir sungai Aek Siriam, dimana ketebalan gambut melebihi 3 m. Pertumbuhan vegetasi di lahan gambut desa Sikapas menyesuaikan tempat tumbuhnya. Pada Areal rawa gambut yang agak dangkal tumbuh jenis Rengas, Meranti Rawa, Melako dan Jambu-jambu. Pada gambut dalam (lebih 3 m) beberapa jenis pohon yang tumbuh membentuk akar lutut seperti Bacang, Bongal dan Mahe. Disamping itu ditemukan pohon yang memiliki akar tunjang seperti pada jenis Kuranji, Jangkang dan Jambu-jambu serta pohon berbanir yang ditemukan pada jenis Melako, Kompas/kempas dan Rengas. Fauna yang dijumpai dari mamalia antara lain siamang (Hylobates sp), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca sp), harimau (Panthera tigris sumatranus), beruang madu, macan.dahan. Fauna burung diantaranya rangkong (enggang/Bucheros rhinoceros), beo, elang, perkutut dan butbut. Ditemukan pula jenis reptil yaitu ular dan biawak serta amphibi berupa penyu.

*Staf Pengajar Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara - Medan Jl Tri Darma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155 E-mail: achmadsiddik@hotmail.com

hutan untuk mengambil bubu yang dipasang hari kemarin dan menggantinya dengan yang baru. Menjelang sore sekitar pukul 14.00 penangkap ikan kembali ke pangkalan perahu untuk beristirahat dan menunaikan shalat.

ANCAMAN KERUSAKAN

Edisi Juli, 2008

15

Berita dari Lapang


Lahan Rawa Lebak, Kawasan Penyangga Pangan (Studi Kasus Wilayah Ogan Ilir, Sumatera Selatan)

awasan Ogan Ilir merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003. Secara geografis terletak diantara 30 02' LS sampai 30 48' LS dan diantara 1040 20' BT sampai 1040 48' BT. Luas wilayah Kabupaten Ogan Ilir adalah 2.666,07 km2 atau 266.607 hektar meliputi enam wilayah kecamatan. Kabupaten Ogan Komiring Ilir (OKI) merupakan kabupaten yang memiliki lahan lebak terluas yang mencapai 55,2 % dari luasan lahan lebak di Propinsi Sumatera Selatan (Tabel 1). Wilayah Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai Ogan yang mengalir mulai dari Kecamatan Muara Kuang, Rantau Alai, Tanjung Raja, Indralaya Pemulutan Selatan, Pemulutan Barat dan Pemulutan, serta bermuara di Sungai Musi di Kertapati, wilayah Palembang. Sedang sungai kecil antara lain sungai Kelekar, sungai Rambang, sungai Keramasan, sungai Kuang, dan sungai Randu. Secara umum jenis tanah tergolong tanah alluvial dan podsolik. Tanah alluvial terdapat di daerah aliran sungai (DAS) yang tersebar di sebagian besar wilayah Ogan Ilir, tanah mengandung humus yang bermanfaat untuk pertanian. Sedangkan lahan kering umumnya tergolong tanah podsolik yang tidak tergenang. Tabel 1. Luas lahan lebak per kabupaten di propinsi Sumatera Selatan
Luas Lahan Lebak (ha) 122.463 39.372 19.877 12.684 12.371 8.425 6.702 221.894 Presentase 55, 19 17,74 8,96 5,72 5,58 3,79 3,02 100,00

No 1 2 3 4 5 6 7

Nama Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Banyu Asin Musi Banyu Asin Muara Enim Ogan komiring Ulu (OKU) Musi Rawas Palembang Jumlah

16

Warta Konservasi Lahan Basah

Pemanfaatan lahan lebak wilayah ini utamanya untuk pengembangan tanaman pertanian pangan khususnya padi. Pada tahun 2005 luas panen sawah padi lahan

Oleh: Agus Supriyo* lebak mencapai 37.736 ha dengan produksi 132.077 ton (Diperta, Ogan Ilir, 2005) Agroekosistem lahan kering dan tadah hujan luasnya relatif kecil, untuk padi ladang seluas 2.369 ha dengan produksi sebesar 4.027 ton dan padi tadah hujan seluas 457 ha dengan produksi sebesar 2.285 ton. Penduduk di wilayah Ogan Ilir pada Tahun 2005 mencapai 356.983 jiwa, terdiri atas 178.556 jiwa pria dan 178.427 jiwa wanita dengan kepadatan penduduk 134 jiwa/km2, berarti kabupaten ini mempunyai jumlah penduduk laki-laki lebih besar dari penduduk perempuan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk di Kabupaten Ogan Ilir mencapai 72,34 %.(Suseda OKI, 2005). Mayoritas penduduk dengan sumber mata pencaharian utama petani, sebagian peternak itik dan nelayan.

Gambar 1. Pemukiman penduduk di daerah lahan rawa lebak, Kotadaro, Kab. Ogan Ilir

Secara umum usaha tani padi sawah lahan lebak di lokasi studi masih dilakukan secara turun temurun dan masih mengandalkan kondisi alam. Teknologi budidaya pertanian yang diterapkan baik komoditas tanaman pangan (padi) dan ternak Itik secara konvensional. Keberadaan air, baik untuk lahan pertanian terutama lahan sawah lebak berasal dari air Sungai Ogan maupun air hujan, untuk kebutuhan rumah tangga ketersediaan airnya dipenuhi dari air sungai dan air tanah (air sumur).

Berita dari Lapang

BUDIDAYA PADI DI LAHAN LEBAK


Berdasarkan kedalaman air, lahan rawa lebak dibagi menjadi 3 macam: yaitu lebak dangkal (kedalam genangan air < 50 cm selama < 3 bulan), lebak tengahan (genangan air 50 100 cm selama 3 6 bulan) dan lebak dalam (kedalaman air > 100 cm selama > 6 bulan). a. Persiapan lahan, dilaksanakan tanpa olah tanah yaitu meliputi pembersihan bekas jerami padi pada tahun sebelumnya dan rumput-rumput air dengan di tebas kemudian dibiarkan membusuk dikumpulkan pada jalur (galangan) sawah sekitar 12 minggu. Kemudian pada minggu ketiga dengan pengait (kayu) untuk meratakan gulma yang telah membusuk ke lahan. b. Persemaian dan penanaman Kegiatan penyemaian padi lebak tergantung dari tipologi lahan dan ketinggian air pada areal yang ditanami, persemaian padi dapat dilakukan 2 sampai 3 kali pindah semai tergantung dari waktu tanam yang disesuaikan dengan ketinggian air. Pada lahan lebak dangkal umumnya penyemaian dilakukan hanya 1 2 kali dan tanam dilakukan pada umur persemaian 30 sampai 40 hari. Sedang pada lahan lebak tengahan dan lebak dalam penyemaian dapat berlangsung sampai tiga kali. Hal ini karena petani baru menanam padi bila air telah menyurut dengan ketinggian air maksimal antara 15 - 25 cm. Kegiatan tanam padi di lahan lebak disesuaikan dengan keadaan genangan air. Pada lebak dangkal air surut lebih cepat sehingga masa tanam bulan FebuariMaret, Lebak tengahan masa tanam bulan Maret-April, sedangkan pada lahan Lebak masa tanam pada bulan MeiJuni.

Gambar 3. Persemaian apung pada lahan lebak tengahan di Kotadaro, Kab. Ogan Ilir

c. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, pemupukan, pengendalian gulma dan hama serta penyakit. Pemupukan umumnya jarang dilaksanakan, walau dilaksanakan hanya pupuk urea dengan takaran dibawah rekomendasi. Hama utama yang menyerang tanaman padi adalah hama tikus, hama kepinding air dan wereng hijau namun intensitasnya terglong rendah. d. Panen Panen dilakukan setelah 80 - 90 % gabah menguning. Alat panen yang digunakan sabit bergerigi (dominan) terutama untuk padi unggul dan sebagian petani menggunakan aniani terutama untuk gabah yang digunakan untuk benih. Rerata hasil padi unggul pada lahan lebak dalam 3,5 4,0 t/ha, lebak tengahan 3,0 3,5 t/ha dan lebak dangkal 2,5 3,0 t/ha. Hal ini diduga karena akumulasi sediment dan status kesuburan yang lebih tinggi pada lahan lebak dalam dibanding dengan lahan lebak tengahan dan lebak dangkal.

Gambar 2. Persiapan lahan pada rawa lebak tengahan di Kotadaro, Kab. Ogan Ilir

Produksi komoditas beras dari Kab. Ogan Ilir pada tahun 2005 menunjukkan Surplus beras sebanyak 42.264 ton dari produksi beras yang mencapai 95.111 ton, sehingga dapat menyumbang stok pangan Sumatera Selatan khususnya beras dalam rangka mendukung SUMATERA SELATAN SEBAGAI LUMBUNG PANGAN. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan pencapaian produksi padi Kabupaten Ogan Ilir yang mencapai 153.250 ton gabah kering giling atau 95.111 ton setara beras, dari areal panen padi seluas 43.219 ha (Tabel 2).

SURPLUS BERAS

Edisi Juli, 2008

17

Berita dari Lapang


Gambar 4. Kegiatan tanam padi Ciherang pada lahan lebak tengahan di Kotadaro, Ogan Ilir

Fokus Lahan Basah


- Luas Panen Padi - Produksi Padi (gabah) - Surplus Beras Jeruk Manis Nenas Segar

Uraian/komoditi

Tabel 2. Perkembangan tanaman pangan hortikultura di Kab. Ogan Ilir Th 2004-2005


Tahun 2004 41.358 ha 147.795 ton 43.437 ton 14.580 ton 54.874 ton Tahun 2005 43.219 ha 153.250 ton 42.264 ton 22.431 ton 69.187 ton Perkembangan Naik 4,49 % Naik 3,69 % Turun 2,77 % Naik 53,84 % Naik 26,08 %

Sumber : Dinas Tan Pangan Hortikultura dan Ket Pangan Kab Ogan ilir, 2006.

..... Sambungan dari halaman 5

Peran Hutan Mangrove - menanggulangi perubahan iklim ...........


c. mengembangkan manfaat sosial ekonomi kawasan, dalam bentuk, menata dan memperbaiki sistem budidaya perikanan yang ada dengan sistem mina hutan, mengembangkan program wisata alam ekosistem hutan mangrove yang menarik dan profesional, dan merumuskan kembali sistem kelembagaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang menjamin adanya sinergi antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung fungsi ekologi dan ekonomis kawasan tersebut. Rehabilitasi mangrove yang merupakan bagian dari pengelolaan dan pengembangan yang berkelanjutan dan juga sebagai upaya adaptasi terhadap naiknya muka air laut (sea level rise) akibat pemanasan global (global warming) sangat perlu untuk segera dilakukan. Selain itu, rehabilitasi mangrove tidak

18

Warta Konservasi Lahan Basah

Untuk memelihara keberhasilan pencapaian swasembada pangan (beras) ini, beberapa hal yang perlu terus diupayakan antara lain revitalisasi jaringan irigasi, dukungan eksternal (penyediaan sarana produksi & penyuluh), kebijakan pemerintah dan partisipasi aktif petani berdasarkan pengalaman (kearifan) petani dalam mengelola usahatani.

* Peneliti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru. Kotak Pos 31. Kal-Sel E-mail : agssupriyo@yahoo.com

hanya sebagai upaya adaptasi terhadap naiknya muka air laut akibat pemanasan global, akan tetapi juga sebagai upaya penyerapan karbon penyebab gas rumah kaca. Hal ini karena mangrove dapat menyerap 1.5 metrik ton C/ha/tahun (www.mangroveactionproject.org). Salah satu cara merehabilitasi mangrove adalah dengan merealisasikan Reboisasi untuk kawasan ekosistem hutan mangrove yang sudah terlanjur digunakan untuk usaha perikanan tetapi dengan proporsi yang tidak seimbang, yaitu 80% tambak dan 20% hutan (atau bahkan mangrovenya ditebang habis), menjadi sebaliknya dan pada kawasan mangrove yang terkena abrasi. Kendala upaya reboisasi di daerah tambak adalah keberadaan teritip dan ketam yang sering menjadi hama bagi mangrove yang masih muda.

Fokus Lahan Basah Adapun kendala reboisasi di daerah abrasi adalah tidak adanya media lumpur yang memadai untuk tumbuh bibit bakau dan daerahnya labil karena selalu terkena ombak. Untuk reboisasi di wilayah ini, terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan prakondisi berupa pengamanan dari pukulan ombak dan penyediaan media tumbuh. Caranya adalah dengan pembuatan groin dari batu sepanjang garis pasang surut. Namun pembuatan groin ini memerlukan biaya yang cukup besar. Alternatif lain adalah membuat terucuk bambu yang rapat. Pembuatan groin atau terucuk bambu ini bertujuan untuk menahan lumpur yang terbawa ombak sehingga lama-kelamaan akan tersedia media tumbuh yang sesuai bagi pertumbuhan pohon. Pada kasus seperti ini, Jenis pohon yang cocok untuk daerah yang terkena abrasi adalah api-api (Avicenia sp). Dalam merealisasikan reforestation hutan mangrove, maka diperlukan kesadaran dan partisipasi dari seluruh masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upayaupaya antara lain, pelatihan, pengembangan dan implementasi program pendidikan dan kesadaran publik, membangun Pusat Informasi Pemanfaatan Mangrove Secara Lestari, membuat dan mempublikasikan website untuk demonstration site, memfasilitasi penyusunan kebijakan pengelolaan mangrove lestari yang berbasis masyarakat. Selain itu, perlu dilakukan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan berbagai peluang usaha mandiri melalui berbagai kegiatan antara lain, mengembangkan kegiatan wisata alam dan mengembangkan usaha budidaya perikanan. Satu bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan adalah dengan menerapkan pola silvofishery yaitu pola budidaya ikan secara terpadu di ekosistem mangrove. Penerapan silvofishery dikawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Terkait, yang antara lain berisi kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Informasi yang diperoleh penulis dalam wawancara dengan petani di daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika perbandingan hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut. Dengan pengembangan Silvofishery secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak. Adapun sistem silvofishery yang dapat diaplikasikan adalah sistem empang parit dan sistem empang inti. Sistem empang parit adalah sistem mina hutan dimana hutan bakau berada di tengah dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999b). Pendekatan yang diterapkan tentu saja pendekatan bottom-up dimana dalam hal ini masyarakat dilibatkan dan berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaannya. Melalui pendekatan Bottom-up, masyarakat secara keseluruhan mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai kuli, melainkan merasa memilikinya dan dengan rasa tersebut, masyarakat merasa mempunyai andil dalam rehabilitasi hutan mangrove.

*(Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan- IPB)

Edisi Juli, 2008

19

Flora & Fauna Lahan Basah


Jenis Burung di Areal Hutan Mangrove Raja Ampat


Luasan hutan mangrove Papua seluas 3 juta ha menyebar di beberapa daerah diantaranya di Kepulauan Raja Ampat di Sorong. Fungsi dan manfaat hutan mangrove tidak dapat diragukan lagi karena sebagai suatu kesatuan eksosistem dan pendukung komponen biotik manfaat hutan mangrove antara lain (1) lahan tambak, pertanian dan kolam garam, (2) arena pariwisata dan pendidikan, (3) chips sebagai bahan baku kertas, (4) industri papan dan plywood, (5) sumber kayu bakar dan arang berkualitas dan (6) pendukung kehidupan fauna; 52 jenis ikan dan 61 jenis udang, 54 jenis burung berasosiasi dengan mengrove serta sebagai sarang lebah madu (Onrizal, 2006). Menurut Nontji (1987), eksosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi karena didalamnya dapat ditemukan 35 species tanaman, 9 species perdu, 9 species liana, 5 species hewan dan 29 species epifit dan parasit. Hal ini cukup beralasan karena sebagai suatu kesatuan, ekosistem mangrove bukan hanya sebagai penyedia makanan bagi biota, tetapi berperan dalam pendauran serasah yang melibatkan sejumlah besar mikroorganisme yang mampu menciptakan ikllim yang baik bagi kehidupan biota (Ridd et al., 1990). Sebagai pendukung kehidupan fauna, areal hutan mangrove di Raja Ampat karena sudah dikenal secara Tabel 1. Jenis Mangrove di Kampung Waisai

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Nama Ilmiah Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera cylindrica Xylocarpus sp.

20

Warta Konservasi Lahan Basah

Oleh: Sadik Mayor1 & Freddy Pattiselanno2

mendunia apalagi kekayaan biota lautnya menyajikan atraksi bawah laut yang terkenal dalam mendukung wisata laut berbasis ekologi. Namun demikian hal yang jauh lebih penting yaitu fungsi hutan mangrove sebagai tempat dimana proses pembelajaran juga bisa berlangsung. Pada bulan Mei sampai dengan Juni 2007 penelitian tentang Analisis Vegetasi Mangrove di Kampung Waisai Distrik Waigeo Selatan Kabupaten Raja Ampat telah dilakukan dan tulisan ini coba melihat sisi lain hutan mangrove sebagai habitat berbagai jenis satwa khususnya burung. Kampung Waisai terletak di bagian selatan Pulau Waigeo yang merupakan salah satu dari 4 (empat) pulau terbesar yaitu Waigeo, Batanta, Salawati dan Misol serta terdiri dari 600 Pulau-pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat. Kampung Waisai dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi laut yang terdiri dari speed boad, long boad dan kapal perintis dengan waktu tempuh yang bervariasi dari kota Sorong. Secara geografis Kampung Waisai berada pada pulau Waigeo bagian Selatan dan terletak pada Koordinat 1300 10 sampai 1310 20 Bujur Timur dan 00 sampai 00 28Lintang Selatan. Berdasarkan hasil inventarisasi, jenis mangrove yang terdapat di Kampung Waisai seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Famili Sonneratiaceae Sonneratiaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Meliaceae

Nama Umum Jangkar bogem Jangkar bogem Api-api Api-api Jangkar kandeka Jangkar kandeka Jangkar nyiri

Nama Lokal Suai/ tawawir Suai/ tawawir Kor Kor Ayuwon Ayuwon Kabau/ awayu

Gambar 1 2 3

Flora & Fauna Lahan Basah Hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa sebaran jenis mangrove ini sangat berkaitan dengan jenis substrat sebagai tempat tumbuhnya. Di kampung Waisai, terdapat tiga jenis substrat masing-masing tanah berpasir, tanah berkarang dan dan tanah berlumpur. Di tanah berlumpur, jenis dari famili Rhizophoraceae (R. apiculata, R. mucronata, B. cylindrical dan B. gymnorrhiza), pada tanah berkarang jenis yang ditemukan adalah S. alba dan S. caseolaris, sedangkan di tanah berpasir jenis dari famili Rhizophorceae kembali ditemukan dengan Xylocarpus sp. Kawasan hutan mangrove yang ada ternyata dimanfaatkan oleh kelompok burung tertentu sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan dan tempat bermain mereka. Dikaitkan dengan telah dikenalnya Raja Ampat sebagai objek wisata bahari yang selama ini menjadi primadona, fungsi kawasan sebagai penyedia atraksi jenis satwa lain seperti burung bisa juga dikembangkan sebagai pendukung potensi wisata berbasis ekologi. Dari pengamatan yang dilakukan Tabel 2. Jenis burung yang memanfaatkan kawasan mangrove
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Nama Ilmiah Accipiter novaehollandiae Artamus sp Cacatua galerita Coracina melaena Corvus orru Dacelo gaudichaud Ducula pinon Eclectus roratus Egretta sp Goura cristata Haliaeetus leucogaster Larus novaehollandiae Larus ridibundus Lorius lorry Megatriorchis doriae Probosciger aterrimus Rhyticeros plicatus Famili Accipitridae Artamidae Psittacidae Campephagidae Corvidae Alcedinidae Columbidae Psittacidae Ardeidae Columbidae Accipitridae Laridae Laridae Psittacidae Accipitridae Psittacidae Bucerotidae Nama umum Elang-Alap kelabu Kekep Kakatua koki Kepudang-sungu hitam Gagak orru Kukabura perut-merah Pergam pinon Nuri bayan Kuntul Mambruk ubiaat Elang-laut perut-putih Camar perak Camar kepala-hitam Kasturi kepala hitam Elang-alap doria Kakatua raja Julang Papua Mangkang-kang Maninei Maninei Manyouri Mangkang-kang Manang-kris Mandawam Aweko Manwawa Manwawa Mangkoi ingkainum Mangkaua Mandar Mansorom Nama Lokal Mangkang-kang Manfaat kawasan Makan, main Makan, main Makan, main Makan, main Makan, main Makan, main, tinggal Makan, main Makan, main Makan, main, tinggal Makan, main Makan, main Makan, main Makan, main Makan, main Makan, main, tinggal Makan, main, tinggal Makan, main, tinggal

kelompok burung yang ditemukan pada areal mangrove di Raja Ampat disajikan pada Tabel 2, sehingga kawasan ini dapat dimanfaatkan untuk aktivitas bird watching menjadi salah satu wisata alternatif di Kampung Waisai. Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa areal hutan mangrove yang ada memainkan peranan yang sangat penting terhadap ketersediaan habitat burung yang hidup dan memanfaatkan kawasan sebagai tempat bermain dan mencari makan. Oleh karena diharapkan hasil yang diperoleh ini menyajikan suatu potret baru kawasan yang selama ini dikenal karena objek wisata baharinya. Akhirnya jika kelestarian mangrove di Raja Ampat tetap dijaga, bukan hanya keberadaan biota lautnya yang tetap terjaga tetapi kehadiran jenis burung tertentu yang memanfaatkan kawasan ini sebagai tempat hidupnya dapat menyuguhkan suatu atraksi menarik bagi penggemar bird watching.

Sadik Mayor Jurusan Biologi FMIPA UNIPA Manokwari


1 2 Freddy Pattiselanno Laboratorium Produksi Ternak FPPK UNIPA Manokwari Email: freddy_pattiselanno@unipa.ac.id

Edisi Juli, 2008

21

Flora & Fauna Lahan Basah


Berbagai Jenis Burung Air yang Sudah Berbiak di Taman Burung TMII

erdapat 31 jenis burung air dipelihara di Taman Burung TMII. Seluruhnya mewakili 9 famili, yaitu Pelecanidae, Phalacrocoracidae, Ardeidae, Ciconiidae, Anatidae, Gruidae, Rallidae, Charadriidae dan Alcedinidae. Dengan memberikan pemeliharaan dan sarana berbiak yang memadai, maka 26 jenis telah mampu berbiak. Bahkan 10 jenis di antaranya tergolong burung langka yang dilindungi (Peraturan Pemerintah. No. 7 / 1999), seperti Bangau tongtong, Bangau putih, Kuntul kecil, Kuntul kerbau, Roko-roko dan Ibis putih.
Sepasang angsa Boha (Anseranas semipelmata) dengan 7 ekor anaknya yang menetas di Taman Burung TMII. (Foto : Taman Burung TMII)

PEMELIHARAAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP


Secara umum pemeliharaan burung-burung air di Taman Burung TMII tidaklah berbeda dengan tempat-tempat ex-situ yang lain. Setiap hari tempat hidupnya dan sangkar dibersihkan. Pemberian pakan diberikan sekali dalam sehari secara ad libitum. Pakan yang diberikan berupa ikan mujair mati bagi burung-burung pemakan ikan, dan bijibijian dan sayuran untuk burung keluarga Anatidae (Bebek-Angsa) Gruidae (Jenjang), Rallidae (Tikusan-Mandar), dan Charadriidae (Kenanga). Tempat hidupnya berupa suatu sangkar kubah raksasa, yang di dalamnya telah tersedia kolam air, berbagai jenis pohon dan tanaman, serta disediakan pula tempat bersarang, berupa ranting-ranting dan dedaunan kering, dan kotak-kotak sarang. Untuk pencegahan penyakit dilakukan desinfektasi lingkungan berupa penyemprotan sangkar seminggu sekali, dan pemeriksaan feces terhadap berbagai jenis burung secara acak.

22

Warta Konservasi Lahan Basah

Oleh : Widyabrata Prahara

Seekor induk Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) dengan 2 ekor piyiknya yang menetas di Taman Burung TMII (Foto : Taman Burung TMII).

Flora & Fauna Lahan Basah Daftar Jenis Burung Air yang Dipelihara di Taman Burung TMII
No A 1 B 2 C 3 4 5 6 7 8 9 D 10 11 12 E 13 14 F 15 16 17 18 19 20 21 22 G. 23 24 H 25 26 27 I 28 J 29 30 31 Nama Indonesia Pelecanidae Undan kacamata Phalacrocoracidae Pecuk padi Ardeidae Kowak malam Kowak merah Cangak merah Cangak abu Kuntul kecil Lanjutan Kuntul kerbau Blekok Ciconiidae Bangau tongtong Bangau hitam Bangau putih Threskiornitidae Roko roko Ibis putih Anatidae Belibis tutul Belibis kembang Belibis batu Boha Angsa Bebek Itik manila Angsa hitam Gruidae Jenjang mahkota hitam Jenjang mahkota kelabu Rallidae Sribombok Mandar Tikusan Charadriidae Kenanga Alcedinidae Rajaudang jawa Rajaudang paruh bangau Rajaudang kalung putih Nama Umum Australian Pelican Black Cormorant Nama Ilmiah Pelecanus conspicilatus Phalacrocorax sulcirostris Nycticorax nycticorax Nycticorax caledonicus Ardea purpurea Ardea cinerea Egretta garzetta Bulbucus ibis Ardeola speciosa Leptoptilos javanicus Ciconia epicopus Mycteria cinerea Plegadis falcinelus Threskiornis aethiopicus Dendrocygna guttata Dendrocygna arcuata Dendrocygna javanica Anseranas semipelmata Anser domesticus Anas platyrhynchos Cairina moschata Cygnus atratus Balearica pavonina Balearica regulorum Status kelangkaan Dilindungi Berbiak Status Perbiakan

Black-crowned Night Heron Rufous Night Heron Purple Heron Grey Heron Little Egret Cattle Egret Javan Pond Heron Lesser Adjutant White-necked Stork Milky Stork Glossy Ibis Black-headed Ibis Spotted Whistling Duck Greater Tree Duck Lesser Tree Duck Magpie Goose Domestic Swan Domestic Mallard Muschovy Duck Black Swan Black-crowned Crane Grey-crowned Crane

Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi -

Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Berbiak Bebiak Berbiak -

White-breasted Waterhen Purple Swamphen Banded Landrail Masked Plover Javan Kingfisher Stork-billed Kingfisher White-collared Kingfisher

Amaurornis phoenicurus Porphyrio porphyrio Rallus philippensis Vanellus miles Halcyon cyanoventris Pelargopsis capensis Halcyon chloris

Dilindungi Dilindungi Dilindungi

Berbiak Berbiak Berbiak Bebiak Berbiak Berbiak -

*Alamat rumah : Jl. Tebet Timur Dalajm VIII U No.1 Jakarta Selatan 12820 Alamat kantor : Taman Burung TMII, Jl. Taman Mini Jakarta Timur 13560 Telp. : 081808710088

Berbiak

Edisi Juli, 2008

23

Flora & Fauna Lahan Basah


Avifauna Air pada Penghujung Tahun 2007 di Kawasan Pesisir Mbuti


esisir Mbuti merupakan salah satu kawasan di bagian selatan Papua dan di ujung timur nusantara tepatnya kota Merauke. Kawasan pesisir ini berada di sebelah barat Kota Merauke dan dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor 10 menit. Kawasan pesisir ini merupakan hamparan lumpur (mudflat) yang cukup luas pada saat surut dan memiliki kondisi pantai yang sangat datar. Kawasan ini memiliki potensi burung air yang cukup tinggi baik jenis maupun jumlah individu per jenis serta habitat bagi spesies migran Australia pada saat musim dingin. Beberapa sungai yang bermuara pada kawasan ini juga terdapat vegetasi mangrove yang tumbuh bagai pagar hidup dan barier gempuran ombak pada saat pasang. Pada kawasan ini terdapat perkampungan masyarakat (lokal dan pendatang) yang sudah menyatu dengan kondisi pantai. Hal ini terlihat dalam penggunaan lahan pesisir pantai oleh masyarakat sebagai tempat mencari udang dan ikan serta pada saat surut digunakan sebagai tempat tambatan perahu/kapal nelayan. Selain itu, pada saat air laut surut digunakan sebagai tempat rekreasi dan arena olah raga (sepak bola). Aktivitas masyarakat tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi kaum wisatawan (lokal maupun domestik) dalam menikmati keindahan pantai Mbuti menjelang terbenamnya mentari di ufuk barat. Selain itu, kawasan ini juga merupakan habitat bagi beberapa avifauna air yang cukup menarik. Bagi pengamat/pemerhati burung air, pesisir Mbuti merupakan tempat yang ideal

24

Warta Konservasi Lahan Basah

Oleh : Petrus I. Bumbut

dengan karakteristik alam yang mempesona dan dibarengi dengan tontonan aktivitas burung air yang sangat menarik. Pada pertengahan bulan Desember 2007, berdasarkan pengamatan di kawasan pesisir Mbuti ditemukan beberapa spesies burung air diantaranya gajahan timur (Numenius madagascariensis) dan kedidi putih (Calidris alba). Kedua jenis burung tersebut beraktivitas secara individu dan berkelompok (2 4 ekor) bahkan mereka tidak menghiraukan aktivitas para nelayan dan masyarakat yang sedang menikmati keindahan pantai Mbuti. Kedua jenis burung tersebut dapat diamati dari jarak yang cukup dekat ( 7 meter) dan sedang melakukan aktivitas mencari makan. Selain kedua jenis burung air di atas, kawasan ini juga digunakan sebagai habitat spesies burung migran diantaranya kelompok pelikan. Namun pada akhir bulan Desember tidak ditemukan kelompok jenis tersebut dan jenis burung air. Apakah pertanda bahwa habitat burung migran sudah semakin terdesak oleh aktivitas manusia?

Flora & Fauna Lahan Basah


Penggunaan Kawasan Pesisir Mbuti Pada Waktu Surut (Foto : Petrus I. Bumbut)

Aktivitas Gajahan dan Kedidi pada Hamparan Lumpur Pesisir Mbuti (Foto : Petrus I. Bumbut)

Mengingat kawasan pesisir Mbuti sebagai salah satu habitat lahan basah bagi beberapa spesies migran maka perlu upaya konservasi dan pengelolaan yang melibatkan para stakeholder termasuk masyarakat adat setempat sebagai kawasan lindung atau konservasi. Hal ini disebabkan karena kondisi kawasan pesisir terlihat sepintas telah mengalami kerusakan baik secara alami oleh gempuran ombak dan aktivitas manusia seperti pengambilan pasir/ tanah untuk dijual serta pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar dan bangunan. Dengan demikian perlu tindakan preventif sesegera

*Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua Manokwari Email : petrus_bumbut@yahoo.com

mungkin dan perlu dipikirkan alternatif pengelolaannya. Memang banyak tantangan dan resiko yang harus dihadapi namun perlu upaya perlindungan atau konservasi terhadap lahan basah tersebut untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang.

Edisi Juli, 2008

25

Dokumentasi Perpustakaan

Kotak-Katik

26

Warta Konservasi Lahan Basah

Asdak, C., D. Hidayati, T. Soetopo (dkk.). 2007. Pengelolaan DAS: Dari Wacana Akademis Hingga Praktek Lapangan. LIPI, ix + 179. Darnaedi, D., E.A. Widjaja dan S.D. Sastrapradja. 2008. Sumber Daya Hayati dan Pertanian. P2 Biologi LIPI/NATURE INDONESIANA/ PPROSEA/KEHATI, 13. Hasudungan, F. 2008. Ekosistem Laguna Teluk Belukar Serta Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Teluk Belukar, Kecamatan Gunung Sitoli Utara, Kabupaten Nias Propinsi Sumatera Utara. Laporan Teknis, Wetlands International-IP, xiv + 97.

Hasudungan, F. 2008. Prosiding Lokakarya: Upaya Pengelolaan Ekosistim Laguna Teluk Belukar Secara Berkelanjutan. Wetlands International-IP, vii + 39. Hasudungan, F. dan I.N.N. Suryadiputra. 2008. Luaha Talu, A Unique LAGOON in Desa Teluk Belukar Laguna Unik di Desa Teluk Belukar Nias, Indonesia. Wetlands InternationalIP.

Lasmana, F.P.S. 2008. Jenis-jenis Kelelawar Penyerbuk dan Tumbuhan Kiropterofili di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung (Skripsi). Universitas Padjajaran Fakultas MIPA, xv + 107. Nawir, A.A., Murniati, dan L. Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dari Tiga dasawarsa? CIFOR, xlii + 283. Trisal, C.L., S. Wafar, N. Suryadiputra (dkk.). 2008. Post Tsunami Restoration of Coastal Ecosystem in Maldives: Restoration and Education Component. Draft Final Report July 2008, Wetlands International, 52.

Lahan Basah
1

S U

Isilah kotak-kotak di samping ini : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Daerah pantai Tanah liat Perubahan bentuk air menjadi es Sistem pengairan di Bali Hewan yang tidak bertulang belakang Penguapan Ilmu tentang air Titik-titik air yang turun dari awan Kura-kura laut Sistem pengairan Tempat bertemunya air sungai dan laut Saluran air kecil Perembesan air laut ke air tanah

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

M B E R D A Y A A I R

bang tri Jul-08

Anda mungkin juga menyukai