Anda di halaman 1dari 8

KANDIDIASIS VULVOVAGINALIS (THRUSH)

DEFINISI Infeksi jamur kandida pertama kali dilaporkan oleh Francois Valleix pada 1836. Infeksi ini mengenai mulut dan dikenal sebagai thrush. Kandidiasis merupakan penyakit jamur yang bersifat akut maupun subakut yang disebabkan oleh jamur kandida. Pada manusia, spesies Candida albicans ini umumnya menyerang mulut, vagina, kulit, kuku, dan paru-paru. Pada kondisi yang berat, jamur ini dapat menyebabkan septikemia, endokarditis, dan meningitis (Pramono, 2009). Infeksi yang disebabkan oleh Candida ini dapat bersifat superfisial atau dalam dengan perjalanan klinis yang akut, subakut maupun kronik, dengan manifestasi klinis yang luas. Candida dapat menyebabkan lesi pada mulut, vagina, kulit, kuku, paru-paru dan kadang-kadang menyebabkan septikemia, endokarditis, meningitis, pielonefritis, dan cystitis (Kwong-Chung et al., 1992:280). Kandidiasis mempunyai gambaran klinik dengan variasi yang sangat luas, tergantung pada organ tubuh yang terkena. Kelainan dapat berupa rangsangan setempat, reaksi alergi, granuloma, atau nekrosis, baik mengenai satu alat ataupun sistemik. Keluhan khas dari kandidiasis vaginalis adalah adanya discar vagina atau keputihan yang kadang-kadang disertai gatal atau iritasi vulva (Setiawati, 2006:5). Kandidiasis genitalis adalah sautu infeksi jamur pada vagina atau penis, biasanya dikenal sebagai thrush. Kandidiasis vulvovaginalis adalah infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita bawah (vagina dan vulva). Pada kondisi yang jarang, laki-laki juga dapat terkena infeksi sejenis, yang menyerang kepala penis dan disebut kandidiasis balanitis. Kandidiasis vaginalis merupakan salah satu bentuk infeksi pada vagina yang umum menyerang wanita dan dapat dijumpai di seluruh dunia. Pada wanita diperkirakan akan menderita kandidiasis vaginalis minimal sekali dalam hidupnya yaitu sekitar 75%, dimana 40-45% darinya akan mengalami infeksi berulang dua kali atau lebih (Ratna et al., 1991: 8-15). Penyakit Kandidiasis vulvovaginalis ini terjadi secara luas di Amerika Serikat, dengan jumlah kasus sebesar 13 juta setiap tahun. Kandidiasis vaginalis dapat diderita oleh semua wanita di seluruh dunia, terutama daerah beriklim tropis seperti Indonesia.

Diperkirakan lebih dari 75% wanita Indonesia akan mengalami sedikitnya 1 kali episode KVV, 40% mengalami dua atau lebih episode KVV dan kurang dari 5% lainnya akan mengalami infeksi berulang kali. Jamur Candida ini merupakan flora normal pada tubuh kita. Pada orang sehat terdapat 80% kolonisasi C. albicans di mulut, saluran pencernaan dan vagina. Infeksi jamur ini dapat terjadi karena menurunnya daya tahan tubuh seseorang, sehingga dapat merubah jamur ini yang pada awalnya sebagai flora normal tubuh menjadi jamur yang pathogen (infeksi) (Deanty, 2008). Adapun bentuk morfologi jamur, daerah infkesi dan penyebarannya sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Bentuk Morfologi Jamur, Daerah Infkesi dan Penyebarannya

PENYEBAB Sebagian besar kandidiasis vulvovaginalis disebabkan oleh jamur Candida albicans, sebagian kecil lainnya disebabkan oleh Candida glabrata, Saccharomyces cerevisiae, Trichosporon spp, Torulopsis glabrata serta spesies Candida lain yaitu Candida tropicalis, Candida stellatoidea, Candida pseudotropicalis, dan Candida krusei. Umumnya menyerang orang-orang yang imunnya lemah. Ada 7 spesies yang diketahui dapat menyebabkan infeksi. Spesies tersering yang menyebabkan KVV adalah Candida albicans (80-90%), C. glabrata (10%) dan

C.tropicalis (5-10%) (Deanty, 2008). Sekitar 85-90% sel ragi yang diisolasi dari vagina merupakan spesies Candida albicans. Sisanya adalah spesies non-albicans, dan yang terbanyak adalah Candida glabrata (Torulopsis glabrata). Vaginitis yang disebabkan oleh spesies non-albicans biasanya resisten terhadap terapi konvensional. Candida albicans adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval. Jumlahnya sekitar 80 spesies dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari semua spesies yang ditemukan pada manusia, Candida diri dengan albicans yang paling

pathogen. Candidaalbicans memperbanyak

membentuk

blastospora

(budding cell). Blastospora akan saling bersambung dan bertambah panjang sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa lebih virulen dan invasif daripada spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih besar sehingga lebih sulit difagositosis oleh makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar. Kolonisasi yeast pada vagina umumnya mulai terjadi mengikuti masa menstruasi pertama kali dimana kolonisasi yeast dibantu oleh estrogen dari mukosa vagina yang menghasilkan peningkatan glikogen dan ini akan meningkatkan glukosa pada mukosa vagina. Peningkatan glukosa akan meningkatkan baik pertumbuhan maupun perlekatan dari yeast pada sel epitel vagina (Sobel, 1993). Candida merupakan organisme yang biasa berada dalam vagina. Perubahan lingkungan tertentu menyebabkan candida berkembang pesat melebihi normal dan menyebabkan gangguan. Jamur ini secara normal hidup di dalam kulit atau usus. Dari sini jamur bisa menyebar ke alat kelamin. Candida biasanya tidak ditularkan melalui hubungan seksual. Kandidiasis genitalis lebih sering terjadi terutama karena meningkatnya pemakaian antibiotik, pil KB dan obat-obat lainnya yang menyebabkan perubahan suasana vagina sehingga memungkinkan pertumbuhan Candida. Kandidiasis lebih sering ditemukan pada wanita hamil atau wanita dalam siklus menstruasi dan pada penderita kencing manis. Selain itu, pemakaian obat (misalnya kortikosteroid atau kemoterapi untuk kanker) dan penyakit yang menekan sistem kekebalan (misalnya AIDS) juga mempermudah terjadinya penyakit ini. Senada dengan pendapat di atas, menurut Deanty (2008) terdapat bermacammacam faktor yang dapat membuat kondisi vagina menjadi lingkungan yang mudah untuk timbulnya infeksi jamur, antara lain:

1. Kehamilan 2. Diabetes Mellitus 3. Pemakaian antibiotika oral jangka panjang. 4. Faktor lain, misalnya pakaian dalam ketat, bahan pakaian dalam yang tidak menyerap keringat, menggunakan vaginal douche (cairan pembersih vagina) berlebihan, atau memakai pantyliners setiap hari.

GEJALA Gejala candidiasis mungkin bervariasi tergantung pada daerah yang

terkena/terpapar. Infeksi pada vagina atau vulva dapat menyebabkan rasa gatal yang parah, rasa terbakar, rasa sakit, dan iritasi, dan menimbulkan bercak keputih-putihan atau abu-abu keputih-putihan pada kulit/dinding vagina, sering dengan tampilan seperti curd/keju. Gejala juga hadir seperti yang ditimbulkan oleh bacterial vaginosis. Dalam sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Obstetrics and Gynecology (2002), hanya 33 persen perempuan yang benar-benar mengobati infeksi ragi, sedangkan sisanya hanya fokus mengobati bacterial vaginosis (Trichomonas vaginalis) atau infeksi campuran. Gejala infeksi pada laki-laki yaitu iritasi dengan kemaluan berwarna merah di dekat kepala penis atau pada kulup, gatal, atau sensasi rasa terbakar. Candidiasis pada penis dapat juga memiliki menimbulkan warna putih, meskipun jarang. Kandidiasis vaginalis dipengaruhi oleh siklus dan konsentrasi hormon didalam tubuh wanita. Penderita terbanyak diantara menarke dan menopause, terutama pada mereka yang hamil. Kira-kira 1/3 wanita hamil pada trimester ke-3 mengandung Candida didalam vaginanya. Gejala pada wanita hamil lebih berat daripada yang tidak hamil. Pada wanita yang tidak hamil gejala terasa bertambah pada waktu menjelang haid. Sesudah melahirkan infeksi Candida menurun dengan sangat sampai sebesar 9% yang naik lagi sesudahnya hingga 16% bila tidak diobati (Suprihartin, 1982: 1- 25). Kandidiasis vaginalis biasanya disertai kelainan pada vulva. Keluhan khas dari kandidiasis vaginalis adalah adanya discar vagina atau keputihan yang kadang-kadang disertai gatal atau iritasi vulva (Kuswadji, 1982: 89-90; Tantari & Soedarmadi, 1992:19). Rasa gatal semula hanya terasa pada malam hari, tetapi pada keadaan lebih lanjut dapat terasa terus menerus sehingga sangat mengganggu penderita (Suprihartin, 1982: 1- 25). Istilah discar vagina lebih tepat daripada keputihan (leucorrhoea) karena

warnanya tidak selalu putih. Discar bisa banyak, berwarna putih keju tetapi paling lazim adalah sedikit dan cair (Kuswadji, 1982: 89-90; Tantari & Soedarmadi, 1992: 1-9). Kadang-kadang sangat sedikit tetapi iritasi vulva dan vagina sangat nyata. Bahkan kadang penderita merasa vulvanya kering. Nyeri dan panas, terutama selama dan sesudah senggama juga sering terjadi. Terdapat disuri eksterna apabila kencing menyiram vulva yang mengalami peradangan, jika disertai vulvitis (Kuswadji, 1982: 89-90; Tantari & Soedarmadi, 1992:1-9). Beberapa wanita dengan kandidiasis tidak menunjukkan tanda atau gejala, dan sama sekali tidak menyadarinya. Bila ada, gejala khasnya meliputi:

vulva terasa gatal, sakit dan iritasi kemerahan pada vagina dan vulva keputihan, seringkali kental seperti keju tapi biasanya tidak berbau rasa sakit atau tidak nyaman saat berhubungan seks atau saat buang air kecil.

Gejala khas penyakit ini meliputi (Syahlan, 1996): a) Mengenai mukosa vulva (labia minora) dan vagina. b) Bercak putih, kekuningan, heperemia, leukore seperti susu pecah, dan gatal hebat. c) Dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih.

Kandidiasis genitalis biasanya menyebabkan gatal atau iritasi pada vagina dan vulva dan bisa disertai pengeluaran sekret dari vagina. Iritasinya berat, tetapi sekretnya sedikit. Vulva tampak kemerahan dan bengkak. Kulitnya kasar dan pecah-pecah. Dinding vagina biasanya tertutup oleh bahan seperti keju yang berwarna putih, tapi bisa juga tampak normal. Gejala lain yang mungkin timbul antara lain: eritema; dapat timbul fisura; edema; duh tubuh vagina putih seperti susu mungkin bergumpal, tidak berbau dan terdapat lesi satelit. Pemeriksaan penunjang dengan sediaan apus dari duh tubuh vafina dengan pewarnaan garam ditemukan blastospora dan pseudohifa; sediaan basah dengan larutan KOH 10 % ditemukan pseudohifa dan atau blastospora (Idhawati, 2011).

DIAGNOSA DAN PATOFISIOLOGI Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap contoh bahan dari vagina. Bisa juga dibuat biakan dari bahan tersebut.

Menurut Nasrul (1998) patofisiologi penyakit ini adalah: a) Keputihan dengan rasa gatal yang hebat. b) Jika tidak diobati dapat menjalar ke uretra yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih. c) Juga bisa menjalar ke vagina proksimal (atas). Proses infeksi dimulai dengan perlekatan Candida albicans pada sel epitel vagina. Kemampuan melekat ini lebih baik pada Candida albicans daripada spesies Candida lainnya. Kemudian, Candida albicans mensekresikan enzim proteolitik yang

mengakibatkan kerusakan ikatan-ikatan protein sel pejamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu, Candida albicans juga mengeluarkan mikotoksin diantaranya gliotoksin yang mampu menghambat aktivitas fagositosis dan menekan sistem imun lokal. Terbentuknya kolonisasi Candida albicans memudahkan proses invasi tersebut

berlangsung sehingga menimbulkan gejala pada pejamu.

CARA PENULARAN Kandidiasis umumnya bukan disebabkan oleh penularan. Kebanyakan wanita mendapatkan kandidiasis di beberapa titik dalam hidup mereka, tetapi paling umum pada wanita di usia tiga puluhan dan empat puluhan, dan pada mereka yang sedang hamil. Tidak jelas mengapa beberapa wanita lebih rentan terhadap kandidiasis daripada yang lain. Diabetes dan kondisi medis yang menyebabkan masalah dengan sistem kekebalan tubuh meningkatkan kerentanan. Pemicu potensial lainnya termasuk:

mengenakan pakaian ketat yang mencegah ventilasi alami. minum antibiotik sekitar 30 persen wanita memiliki kandidiasis karena ini menggunakan produk yang mengiritasi vagina, seperti membasuh vagina dengan sabun (douching) atau mandi busa

mendapatkan kemoterapi. Ada sedikit bukti bahwa menggunakan pembalut atau tampon merupakan faktor risiko untuk mengembangkan kandidiasis.

PENCEGAHAN Berdasarkan hasil riset di RSUP dr Kariadi selama periode Januari sampai dengan November 2000 ditemukan 40 penderita Candidiasis Vaginalis yang bertempat tinggal di kota Semarang. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui faktor-faktor resiko penyakit Candidiasis Vaginalis pada penderita yang bertempat tinggal di Semarang dan berobat di RSUP dr Kariadi. Penelitian ini merupakan penelitian observational, dengan disain kasus kontrol. Kasus adalah penderita Caandidiasis Vaginalis, sedangkan kontrol adalah penderita penyakit menular seksual selain Candidiasis Vaginalis. Besar sampel adalah total populasi kasus yang berjumlah 40 penderita. Pemilihan kontrol denga matching kota asal kasus waktu dan tempat berobat, jumlah kontrol sama dengan jumlah kasus. Analisis data di lakukan dengan uji statistik X2, stratifikasi dan perhitungan besar resiko (odds ratio). Hasil analisis bivariat menunjukan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian Candidiasi Vaginalis adalah pemakaian alat kontrasepsi, keketatan celana, jenis bahan dari celana dalam dan higiene alat genitalia, sedangkan pemakaian anti biotika tidak berpengaruh terhadap kejadian penyakit Candidiasis vaginalis. Pemakaian alat kontrasepsi, keketatan celana, jenis bahan dari celana dalam dan higien alat genitalia merupakan faktor resiko penyakit Candidiasis vaginalis. Untuk itu di sarankan meningkatkan higien alat genitalia dengan selalu membersihkan alat genitalia secara teratur, tidak menggunakan anti septik/deodoran vagina, ganti celana dalam, pembalut wanita secara teratur, cebok dari arah depan ke belakang dan mencuci dengan sabun setelah buang air besar. Penggunaan celana dalam yang dapat menyerap keringat dan penggunaan celana yang lebih longgar.

DAFTAR PUSTAKA Deanty. 2008. Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV). (Online). (http://pddkroemsoedoko.blogspot.com/2008/05/kandidiasis-vulvovaginaliskvv.html, diakses 2 Desember 2012). Idhawati, C. 2011. Asuhan Kebidanan Gangguan Reproduksi Pada Ny. K Dengan Leukore Candidiasis Vulvovaginalis Di Ruang KIA Puskesmas Sawit I. Surakarta: Akbid Mambaul Ulum.

Kuswadji. 1987. Kandidosis. Dalam Adhi D (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI. Kwon-Chung, Benneth, K.J. & John, E.M.D. 1992. Medical Micology. Philadelphia: Lea and Febiger. Nasrul, E. 1998. Dasar Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Pramono, L.A. 2009. Efektivitas dan Keamanan Terapi Topikal Butoconazole Nitrat 2% pada Penatalaksanaan Kandidiasis Vulvovaginalis. Jurnal Medika Edisi No 07 Vol XXXV. Ratna, S.S., Laila, N, & Siti, D.W. 1991. Permasalahan Penatalaksanaan Kandidiasis Vulvovaginal. Kumpulan Makalah Symposium Vaginitis. Surakarta: PTP VII POGI. Setiawati, E. 2006. Uji Banding Efektivitas Bugenfil (Bougainvillea glabra Choicy.) 100% dan Ketokonazol 2 % Secara Invitro Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans pada Kandidiasis Vaginalis. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Sobel, J.D. 1993. Genital Candidiasis. In: Bodey GP (ed). Candidiasis pathogenesis, diagnosis and treatment. 2nd ed. New York : Raven Press. Syahlan, J.H. 1996. Kebidanan Komunitas. Jakarta: Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan. Suprihartin, S.D. 1982. Candida dan Kandidiasis Pada Manusia. Jakarta: FK UI. Tantari, S.H.W. & Soedarmadi. 1992. Diagnosis dan Penatalaksanaan Kandidiasis Vulvovaginal. Makalah Seminar dan Lokakarya Infeksi Jamur. Jakarta : FK UI.

Anda mungkin juga menyukai