Anda di halaman 1dari 22

Sindrom Syok Toksik

Pendahuluan
Sindrom syok toksik (Toxic Shock Syndrome,TSS) adalah kumpulan gejala yang bersifat akut, ditandai dengan demam tinggi, hipotensi, muntah, diare, radang membran mukosa difus non eksudatif, mialgia generalisata, pusing, ruam polimorf diikuti dengan deskuamasi dan kegagalan sistem organ multiple. 1 Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh James Todd (1978) pada tujuh anak yang berumur antara 8 sampai 17 tahun yang secara tiba-tiba timbul demam tinggi, pusing, serak,diare, muntah, eritroderma serta hipotensi yang dihubungkan dengan kegagalan ginjal yang akut, hepar yang abnormal.
1,2

TSS dilaporkan

berhubungan dengan tindakan pembedahan rinologi dan alat-alat medis, dan berhubungan dengan suatu eksotoksin berasal dari Staphylococcus aureus yang bersirkulasi dalam darah dan bersifat toksik. 3 Penyakit ini mulai popular pada tahun 1980 ketika banyak dilaporkan di media masa sebagai penyakit potensial yang fatal yang mengenai wanita sehat yang menggunakan tampon selama menstruasi. Sindrom ini sering dihubungkan dengan wanita sehat yang menstruasi dengan menggunakan tampon selama menstruasi dengan menggunakan tampon terutama dari absorben yang kuat.3,4 Meskipun pada awal ditemukannya kasus TSS tersebut melibatkan wanita yang menggunakan tampon selama masa menstruasinya, saat ini hanya kurang dari setengah kasus baru yang terkait dengan penggunaan tampon tersebut. TSS juga dapat muncul terkait dengan infeksi kulit, luka bakar, komplikasi paska pembedahan, bermacam-macam tipe dari infeksi Staphylococcus seperti empiema, sepsis, Vaskulitis, Osteomielitis, abses peritonsiler, abses subkutan, koloni staphylococcus

pada membran mukosa sering pula dihubungkan dengan TSS. TSS juga dapat terjadi pada anak-anak, wanita post menopause, dan juga laki-laki. 4 TSS disebabkan oleh TSS-Toksin 1 (TSS-T1) yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus terutama grup faga I. TSST-1 merupakan turunan dari protein yang dikenal sebagai superantigen. Superantigen seperti TSST-1 sangat berperan penting dalam pelepasan beberapa sitokin, yang nantinya dapat berperan dalam patogenesis TSS.3,4 Maksud dan tujuan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk lebih mengenal penyakit ini yang sudah meluas ke berbagai negara dan mempunyai manifestasi klinik pada kulit.

Epidemiologi
Sejak tahun 1960 sedikitnya 1700 kasus TSS baik yang disebabkan oleh karena menstruasi atau bukan telah dilaporkan di Amerika Serikat. Selain itu, ditemukan 150 kasus lagi yang dilaporkan terjadi di Kanada, Selandia Baru dan Eropa Barat, tetapi belum ada laporan dari Afrika, Asia, India, Meksiko atau Amerika Latin. 3 Pada awal tahun 1980 dilaporkan kasus TSS non menstrual yang dihubungkan dengan berbagai macam prosedur operasi misalnya pada rinoplasti, pemakaian tampon hidung dan kondisi kesehatan misalnya pneumonia, influenza dan infeksi. TSS dilaporkan terjadi menyusul setelah serangan influenza dan penyakit menyerupai influenza dengan angka mortalitas yang signifikan (43%). Pemakaian tampon juga dapat mengakibatkan TSS (20%-40%) pada populasi dewasa
3,4

Dilaporkan juga adanya kejadian TSS pasca tindakan bedah nasal yang diperkirakan sebanyak 16,5/100.000 kasus. Sebagian besar kasus yang dilaporkan tersebut berhubungan dengan pemasangan tampon hidung dan atau septal splint dan menunjukan gejala klinik TSS dalam waktu 48 jam perioperatif. 4

TSS biasanya terdapat pada Negara-negara indrustri dimana tampon sering digunakan. Insiden bervariasi, dimana kejadian tertinggi dialami pada wanita berusia 15-25 tahun dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. 3 Untuk TSS yang bukan karena menstruasi, terjadi peningkatan sebesar 4% pada tahun 1979 sampai 13% pada tahun 1981.4 Angka kekambuhan TSS berkisar antara 25-64% dari kasus yang terjadi, sedangkan kasus yang sampai fatal sekitar 2,6-13%. 1,3,4 Insidensi dari seluruh kasus TSS yang dilaporkan adalah sebesar 97% terjadi pada orang pada orang kulit putih dan 3% pada orang kulit hitam. Suatu hipotesis menyatakan bahwa distribusi ini terjadi oleh karena tampon kurang populer digunakan pada orang kulit non putih. 3 Oleh karena itu resiko timbulnya TSS rendah pada orang kulit bukan putih. Sebagian besar Staphylococcus aureus yang diisolasi dari kasus TSS yang terjadi adalah dari strain grup faga I yang bersifat non invasive, tidak melekat pada epitel vagina, dan menghasilkan sejumlah toksin ekstraseluler.1,2,3

Staphylococcus Aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, tidak bergerak ditemukan satu-satu, berpasangan, berantai pendek atau bergerombol, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan dinding selnya mengandung dua komponen utama yaitu peptidoglikan dan asam teikhoat. Metabolisme dapat dilakukan secara aerob dan anaerob. 5 S.aureus dapat menginfeksi seluruh jaringan tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi mulai dari infeksi minor di kulit hingga infeksi yang mengancam nyawa seperti bakteremia, endokarditis, hingga TSS 4,5 Bakteri ini bersifat cosmopolitan dimana 40-50% manusia adalah pembawa S.aureus dalam hidungnya,dan dapat pula ditemukan di baju, sprei, dan benda-benda lainnya sekitar manusia.

Kemampuan virunlensi yang dimiliki oleh S.aureus tidak hanya terletak pada protein endogen dan kapsulnya, namun juga oleh karena toksin-toksin eksogen yang dikeluarkannya (tabel 1) Faktor virulensi Toxic shock syndrome toxin 1 (TSS-T1); staphylococcal enterotoksin; toksin Mengaktivasi sel limfosit T and makrofag Fungsi

menyerupai enterotoksin staphylococcus

Sitolisin (-, -, -, -toxins); phenolsoluble modulin-like peptides;

Menginduksi apoptosis (pada konsentrasi yang rendah) dan melisiskan berbagai tipe sel, seperti eritrosit, limfosit, monosit, sel epitel, target bervariasi

leukosidins (PVL, LukD/E)

Lipase

Inaktivasi asam lemak

Hyaluronidase

Degradasi asam hyaluronat

Serine

protease;

cysteine

protease, Menginaktivasi

aktivitas

proteolitik

aureolysin

menginaktivasi peptide antimikroba

Staphylokinase

Mengaktivasi

Plasminogen;

menginaktivasi peptide antimikroba

Toksin Exfoliatif

Berfungsi

seperti

serine

protease;

mengaktivasi sel T

Protein

inhibitor

kemotaksis

pada Staphylococccus aureus

Inhibisi complemen

Staphylococcal superantigen-like protein Inhibisi complemen C5 dan IgA; inhibisi ; extracellular adherence protein migrasi neutrofil

PVL: PantonValentine leukocidin Tabel 1. Faktor virulensi Staphylococcus aureus virulence yang disekresikan.3 Penelitian yang sedang gencar dilakukan saat ini adalah untuk mendalami protein eksogen S.aureus seperti sitolisin dan superantigen pada tahap inisiasi dan progresi infeksi terhadap kerusakan jaringan langsung di membran mukosa dan kulit.
6,7

Banyak strain S. aureus yang mengeluarkan eksotoksin. Toksin-alfa bekerja pada membran sel dan menyebabkan nekrosis jaringan, dan defek leukosit pada manusia, dan menyebabkan agregasi trombosit dan spasme otot polos. Hemolisinbeta memecah sfingomielin, menyebabkan hemolisis sel darah merah dan hemolisingamma memecahkan membran dengan kerja seperti deterjen. Sedangkan untuk hemolisin-y tidak begitu banyak diketahui. 4,7 Strain Staphylococcus Aureus dapat dikenali dan diklasifikasikan dengan cara penggolongan strain pada kelompok faga tertentu yang sering mempunyai potensi pathogen yang serupa. Strain yang dihubungkan dengan kejadian TSS adalah strain faga grup I. 4 Leukosidin, toksin s.aureus ini dapat berkombinasi dengan fosfolipid membran sel fagosit,menyebabkan kenaikan permeabilitas, kebocoran protein, dan akhirnya kematian neutrofil danmakrofag. Sedangkan toksin pengelupas

(eksfoliative) tipe A dan B merupakan protein yang secara serologis berbeda dan

mengakibatkan komplikasi dermatologis lokal (misal : impetigo bullosa) atau menyeluruh (misal : sindrom kulit terbakar, erupsi skarlatiniform). Toksin eksfoliative A merupakan produk gen kromosom, sedangkan eksfoliative B merupakan produk gene plasmid. Strain tertentu dapat menghasilkan satu atau kedua toksin tersebut sehingga terjadi pemecahan desmosom dan mengubah matriks intraseluler pada stratum granulosum. Enterotoksin staphylococcus memiliki beberapa tipe yakni A, B, C1, C2, D, E dimana tipe A tau B biasanya terbentuk lebih dahulu dan mengakibatkan muntah, diare berat, dan pada beberapa kasus terjadi hipotensi. Sedangkan TSS-Toksin 1 (TSS-T1) dihasilkan oleh bakteri S. aureus terutama grup faga I. Toksin ini secara selektif dihasilkan pada lingkungan klinis yang terdiri dari pH yang netral, kadar pCO2 dan pCO2 aerob tinggi, dimana keadaan tersebut sering terjadi pada vagina dengan penggunaan tampon selama menstruasi. 2

Patogenesis
Semenjak makin banyaknya laporan mengenai terjadinya TSS dengan menstruasi yang terinfeksi staphylococcus aureus, kemungkinan melalui cara penyebaran toksin staphylococcus dari hidung, kulit atau perineum ke vagina dengan tangan, tampon atau aplikator tampon. Lingkungan vagina dalam keadaan menstruasi terutama dengan adanya tampon menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri dan sehingga eksotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri dapat dengan mudah menyebar menembus mukosa vagina. Sekali eksotoksin masuk kedalam sirkulasi, akan terjadi berbagai reaksi. Pembahasan mengenai toksin penting yang diproduksi oleh S.aureus dikenal dengan istilah superantigen. Superantigens: Staphylococcal Enterotoxins & TSS Toxin-1 7,8,9

Superantigen adalah sekelompok eksotoksin yang diproduksi oleh S. aureus yang dapat menginduksi berbagai penyakit pada manusia, termasuk TSS. Lebih dari 20 superantigen berbeda telah diidentifikasikan, diantaranya enterotoksin

stafilococcus, protein menyerupai enterotoksin, dan TSS-T1. Superantigen tersebut mampu mengaktivasi sel limfosit T dan antigen-presenting Cells (APC), seperti makrofag atau sel dendritik, secara non spesifik dengan mengikat region V-beta pada reseptor sel T dan molekul MHC kelas II (lihat gambar 1). Sebagai hasil akhirnya, superantigen tersebut mampu mengaktivasi sel T 5-30% (bandingkan dengan antigen biasa yang hanya 0,001 %) yang kemudian menginduksi pelepasan sitokin dan kemokin secara massif dari sel T dan APC dan akhirnya memunculkan gejala yang dapat diamati pada pasien dengan TSS.

Gambar 1. Mekanisme aksi superantigen. Superantigen mengikat regio V-beta pada reseptor sel T dan molekul MHC kelas II yang kemudian menginduksi pelepasan sitokin dan kemokin secara massif.

Faktor yang menjadi predisposisi terjadinya infeksi S.aureus yang mengakibatkan TSS antara lain : influenza, stomatitis, tracheitis, penggunaan obat intravena, infeksi HIV, luka bakar, dermatitis kontak alergi, infeksi kandungan, post partum, infeksi pasca operasi, tampon hidung, diabetes mellitus Beberapa hal yang sering dihubungkan dengan peningkatan resiko menderita TSS antara lain adalah adanya infeksi vagina sebelumnya, adanya

penyakit yang sama, selama periode menstruasi sebelumnya, dan penggunaan jenis tampon, terutama jenis dari bahan penyerap yang kuat. Sifat biologis yang dimiliki oleh TSST-1 adalah sebagai berikut 8,9 1. Menimbulkan demam dengan cara

menginduksi hipotalamus secara langsung atau secara tidak langsung melalui interleukin1(IL-1) dan memproduksi Tumor Necrosis Factor (TNF) 2. Menimbulkan superantigenisasi dan stimulus berlebihan

terhadap limfosit T 3. 4. 5. 6. Merangsang produksi interferon Meningkatkan hipersensitifitas tipe lambat Menekan migrasi netrofil dan sekresi imunolgobulin Meningkatkan kerentanan penjamu terhadap endotoksin

Sebanyak 90% kasus TSS akibat menstruasi (TSS-AM) adalah disebabkan oleh strain S. aureus yang menghasilkan TSST-1, sedangkan pada kasus TSS non menstruasi (TSS-ANM), TSST-1 hanya ditemukan pada kurang dari separuh kasus. Enterotoksin B danC telah berhasil diidentifikasi dari bahan isolasi TSS-ANM dan memiliki struktur kimiawi yang hampir identik dengan yang terdapat pada TSST-1. Hal ini dapat menjelaskan kemiripan gambaran klinis TSS-AM dan TSS-ANM.

Gejala Kllinik 1,4,3


Serangan akut penyakit ini paling sering terjadi antara hari pertama sampai hari keenam pada TSS-AM sedangkan untuk TSS-ANM sekitar 2 hari setelah operasi dan pada infeksi jaringan lunak, infeksi oleh karena luka, infeksi oleh karena paska persalinan dan infeksi oleh karena abortus terjadi antara 1 hari sampai 8 minggu. Gejala TSS berupa panas tinggi, hipotensi, mialgia, muntah, diare yang banyak, radang membran mukosa, ruam makuler eritematous difus, juga dijumpai deskuamasi kulit. 3,4 Demam Demam timbulnya mendadak dan suhu 38,9 derajat C (102 derajat Fahrenheit) atau lebih. Demam ini timbul pada hari pertama serangan TSS. Kelainan Gastrointestinal Kelaian yang terjadi berupa mual, muntah, dan diare yang hebat. Abdomen lunak, suara isi usus hipoaktif. Kelainan berupa muntah terjadi pada 92% kasus sedangkan diare didapatkan pada 98% kasus Hipotensi Hipotensi ini disebabkan oleh kehilangan cairan yang tidak disadari dari gangguan gastrointestinal dan oleh third spacing dari protein serum yang menyebabkan kenaikan yang diperantarai oleh eksotoksin pada kapiler. Dalam 48 jam, hipotensi menjadi bermanifes dengan adanya gejala bingung, letargi, dan

mungkin sinkop (3). Hipotensi disebabkan oleh : Menurunnya tonus vasomotor menimbulkan penimbunan darah di perifer dan kemudian menyebabkan turunnya tekanan vena sentral dan tekanan kapiler paru.

Kebocoran cairan yang bersifat non hidrostatik ke dalam jaringan interstitium, menyebabkan turunnya volume intravaskuler dan udem secara menyeluruh, terutama di daerah kepala dan leher

Menurunnya fungsi jantung, termasuk berkurangnya pergerakan otot jantung dan berkurangnya fraksi kontraksi Berkurangnya cairan tubuh total akibat muntah, diare, dan demam. Kelainan pada kulit Kelainan kulit menunjukkan keadaan yang bervariasi, biasanya

gambarannya difus, tidak nyeri tekan, berupa makula eritemateus yang kadangkadang dikelirukan sebagai tanda-tanda dari demam. Gejala ini terjadi pada hari pertama sakit dan beberapa hari setelah makula eritemateus pudar, maka muncul dekskuamasi kulit superficial dari muka dan badan. Pada hari ke 7-10 kemudian diikuti oleh penebalan kulit yang lebih menonjol pada anggota badan. desku masi tersering terdapat pada telapak tangan dan kaki serta ujung-ujung jari. Petekie dan purpura timbul sebagai akibat dari trombositopenia sekunder dan terlihat paling lambat pada akhir minggu pertama. 3 Kelainan pada Membran Mukosa Perubahan pada membran mukosa bervariasi dari eritema sedang sampai lesi erosi yang berat. kelainan berupa konjungtivitis bilateral biasanya tidak purulen, tidak eksudatif, timbul adanya faringitis, vaginitis dengan pengeluaran discharge dengan bau yang tidak enak pada serviks. 3 Lidah terlihat adanya strawberry tongue pada 47% kasus. Kelainan pada otot Mialgia difus timbul pada hari pertama. Kekakuan leher merupakan menifestasi dari miositis akut. Kelainan pada otot ini terjadi hampir pada semua kasus (3).

Kelainan pada sendi Sering didapatkan adanya edema pada tangan dan sendi periartikuler. Arthralgia didapatkan pada 80% dari kasus. Sedangkan sinovitis poliartikuler yang akut terjadi kurang dari 25%. Kelainan pada saraf Beberapa penderita mengeluh adanya hiperestesi kutan pada waktu timbulnya ruam. Pada penyakit ini tidak didapatkan adanya kenaikan tekanan intra cranial seperti papil edema, dan reflek-reflek yang abnormal. Kelainan pada organ-organ dalam Biasanya didapatkan gangguan dari 2 atau lebih sistem organ. Paru-paru biasaya baik sedangkan pada pemeriksaan jantung terlihat adanya sinus takikardi tanpa adanya edema paru atau miokarditis (3). Sering terjadi adanyak pembesaran dari hepar, limpa dan limfonodi. Pada akhir minggu pertama dimana penyembuhan secara klinis mulai terjadi justru timbul gangguan pada hati otot dan fungsi ginjal. Kelainan lain Rambut dan kuku mungkin bisa timbul kelainan berupa lepasnya kuku atau rambut setelah 2 bulan. Disamping itu, didapatkan pula adanya pusing sekitar 72 % dari kasus. Beberapa penderita sering bingung, tidak tenang atau somnolen. Gejala koma dan serangan tetani jarang terterjadi.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Kelainan laboratorium yang paling sering ada pada TSS adalah progresif normositik non hemolitik anemia, lekositosis sedang dan piuria.

Anemia ini akan menetap sampai 1 bulan setelah serangan sakit terjadi (3). Leukositosis dan trombositopeni dan piuria serta metabolism yang abnormal bersifat sementara dan biasanya akan kembali normal lagi dalam hari kelima sakit. (3) Hipokalemi, hiponatremi dan asidosis metabolic sering ada mengikuti terjadinya muntah dan diare. Terjadi pula kenaikan waktu protrombin, kenaikan bolirubin serum, SGOT, kreatinin kinaser, ureum dan kreatinin. Terjadi abnormalitas pada hepar, otot, dan fungsi ginjal yang akan mencapai puncaknya pada akhir minggu pertama sakit dimana saat itu mulai terjadi penyembuhans ecara klinis. Pada kultur bakteri yang didapatkan dari vagina dan serviks didapatkan 74% diantaranya adalah staphylococcus aureus. (3) Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan gambaran acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau udem paru, dengan tanda soft tissue swelling pada lokasi infeksi. Sedangkan pada pemeriksaan elektrokardiogram bisa ditemukan : aritmia ventrikuler, bundle branch block. Pemeriksaan histopatologik Pada pemeriksaan dengan HE dari potongan yang eritematous dari lesi kulit menunjukkan adanya perubahan yang khas dari TSS. Pada epidermis agak hiperplastik dan spongiosis. Beberapa sel epidermis terlihat mengalami degenerasi balon dan edema. Gambaran yang paling menonjol adalah nekrosis dari keratinosit. Nekrosis keratinosis yang eosinofilik terlihat pada semua lapisan epidermis. Daerah nekrosis diserbu oleh sejumlah neutrofil dan eosinofil. (GAMBARNYA

GIMANA???) Papila dermis terlihat edem yang difus dan kapiler diserbu oleh infiltrasi sel radang dan ditutupi oleh thrombus yang baru terbentuk. Infiltrasi peradangan terdiri dari limfosit bercampur dengan histiosit, sel plasma dan pecahan inti. Dengan pemeriksaan mikroskop electron dapat terlihat bahwa sel endotel dari kapiler dan arteriole terjadi perubahan berupa pembesaran sel, hipertrofi badan golgi dan kenaikan reticulum endoplastik granuler dan ribosom serta sejumlah dense

body. Adanya permukaan lumen yang ireguler dan pelebaran lumen sitoplasme membentuk vakuola kecil. 3,4

Diagnosis
CDC membuat panduan diagnostik untuk TSS. Klasifikasinya adalah : Mungkin/probable TSS dan TSS terkonfirmasi.1,4 Termasuk dalam probable TSS adalah pada kasus yang memenuhi kriteria laboratorium dan dijumpai empat dari lima gejala klinis yang khas. Sedangkan yang termasuk TSS terkonfirmasi adalah pada kasus yang memenuhi kriteria laboratorium dan dijumpai semua lima gejala klinis (kecuali jika pasien meninggal sebelum muncul gejala deskuamasi) Kriteria Klinis 1. Demam Definisi Suhu badan lebih besar atau sama dengan 102.0F (38.9C)

2.

Ruam

kemerahan

Makula eritem difus

3.

Deskuamasi

12 minggu setelah onset sakit, terutama pada telapak tangan dan kaki

Tekanan darah sistolik 90 mmHg untuk dewasa atau <5th persentil 4. Hipotensi berdasarkan usia untuk anak berusia <16 tahun; penurunan tekanan darah orthostatik dengan nilai diastolik 15 mmHg dari posisi tidur ke posisi duduk, sinkop orthostatik satau pusing orthostatik

5.

Keterlibatan sistem organ (3 sistem organ)

Keluhan gastrointestinal

Muntah dan diare pada masa onset sakit

Otot

Mialgia berat atau kadar CPK minimal dua kali dari nilai ambang normal tertinggi.

Mukosa

hiperemi pada mukosa vagina, oropharyngeal atau konjungtiva

Kadar ureum atau kreatinin minimal dua kali batas atas normal. atau Renal sedimentasi urin dengan piuria (5 leukosit per lapangan pandang besar) tanpa disertai gejala infeksi saluran kemih.

Hepar

Total bilirubin, kadar enzim alanine aminotransferase atau kadar enzim aspartate aminotransferase minimal dua kali nilai batas atas normal

Hematologi

Platelets <100,000/mm3

SSP

Disorientasi atau gangguan kesadaran tanpa tanda maupun gejala neurologis saat demam dan hipotensi tidak muncul.

Laboratorium

Kultur

Jika didapatkan data, hasil negative pada darah, tenggorokan, dan kultur

cairan serebrospinal. Kultur darah mungkin positif untuk S.aureus

Titer

Jika didapatkan data lab, tidak terjadi peningkatan pada titer penyakit demam Rocky Mountain, leptospirosis ataupun campak.

Tabel 2. Panduan CDC untuk diagnosis TSS

Oleh karena TSS kelainannya tidak hanya pada kulit saja, tetapi merupakan kelainan sistemik maka banyak sekali penyakit-penyakit yang bisa didiagnosis banding TSS, diantaranya : 2,3 Penyakit Kawasaki Demam scarlet staphylococcus Sindrom Steven Johnson Sindrom virus akut Leptospirosis Sistemik lupus eritematous Gastroenteritis Berikut ini akan kami bahas beberapa penyakit yang banyak dijumpai untuk diagnosis banding. 1. Penyakit Kawasaki 10

Penyakit ini biasanya menyerang pada bayi dan anak. Manifestasi klinis penyakit ini adalah demam, kelainan mata, kelainan kulit, edem dan eritem pada ekstremitas, kelainan pada rongga mulut, pembesaran kelenjar getah being leher. Penyebab penyakit ini belum diketahui, bisa didapatkan gejala : Demam biasanya lebih dari 40 derajat C

Didapatkan adanya celah transversal pada kuku yang disebut Beaus Line Pada lidah juga didapatkan adanya papul yang menonjol yang disebut strawberry tongue. Adanya eritem pada telapak tangan dan kaki yang berwarna merah cerah. Setelah adanya edem, warna kemerahan menjadi agak kebiruan. Deskuamasi pada ujung-ujung tangan dan kaki yang secara perlahan namun progresif mengenai seluruh jari-jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kaki dalam waktu sekitar 10 hari. Pembesran getah bening leher biasanya timbul bersama dengan demam, soliter,dan bilateral. 10 Pada pemmeriksaan laboratorium biasanya didapatkan trombosit leukosit dan LED normal. pada pemeriksan histopatologi, epidermis hampir tidak ada kelainan keculai edem interseluler setempat dan edem lapisan basal sel. Sedangkan pada dermis terdapat edem papiila dermis, perivaskular infiltrate sel mononuklear 2. Demam Scarlet Staphylococcus11

Juga didapatkan adanya demam. Pada lidah didapatkan kotor, dan ada juga white strawberry tongue yang dalam 4-5 hari kemudian menghilang sehingga memberikan gambaran Red strawberry tongue. Lesi kulit berupa kemerahan punctata yang mula-mula pada bagian badan atas kemudian generalisata. Lesi punctata ini memberikan perabaan seperti amplas. Didapatkan pula adanya deskuamasi pada tubuh keculai telapak tangan dan kaki, ujung-ujung jari, siku serta daerah lipatan. Jarang menyerang pada bayed an dewsa, biasanya pada anak pada kisaran usia 1-10 tahun. 3. Sindrom Steven Jonson 12

Pada pasien dengan sindrom steven Johson akan didapatkan gejala demam yang tinggi, timbulnya mendadak dengan diserta gejala prodrormal . lesi kulit berupa eritem dan lesi target, juga didapatkan adanya lesi pada membran mukosa bibirmata, juga mukosa genital . Lesi pada mata yang berat bisa terjadi ulserasi kornea, keratitis, uveitis dan panuveitis.

Penatalaksanaan
Berbagai material benda asing yang digunakan pasien seperti tampon, spons vagina, atau nasal tampon perlu segera dilepas. Tempat terjadinya infeksi (misalnya pada luka pembedahan) perlu dibersihkan. Pada penderita dengan hipotensi berat, dehidrasi dan penurunan kesadaran sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan segera diberikan cairan untuk mengatasi hipotensinya. Tujuan dari penatalaksanaan TSS adalah untuk menjaga fungsi system organ penting yang menunjang kehidupan.3 Penanganan yang dapat dilakukan diantaranya : 3,4,13 1. Pemberian O2 melalui nasal kanul akan menurunkan kecemasan dan mengatasi hipoksi jaringan. 2. Rehidrasi dan obat-obatan untuk mengontrol tekanan darah. Pilihan cairan yang diberikan bisa salin normal atau ringer laktat, namun bila sudah terjadi asidosis dan gangguan fungsi hepar sebaiknya dihindari penggunaan ringer laktat. 3. Pemberian antibiotik. Strain Staphylococcus aureus yang dihubungkan dengan TSS umumnya peka terhadap Penisilin ditambah dengan Beta laktamase seperti Nafcillin, Oxacillin, Methicillin, Cephalosporin, Cefazolin,

Gentamisin, Rifampisin dan Vankomycin. Strain ini paling banyak resisten terhadap Penisilin G dan Ampisilin. Nafcillin/Axacillin dosis 1-2 gr tiap 6 jam selama 7-10 hari. Vankomycin dosis 500 mg tiap 6 jam sedangkan Clindamycin dosis 600 mg tiap 6 jam. Obat-obat tersebut merupakan alternative untuk pasien yang alergi terhadap penisilin. 13 4. Koreksi hipoksia dan atau asidosis. Asidosis dan hipoksia harus segera ditangani sebab kedua hal tersebut paling cepat menyebabkan kematian 5. Dialisis bila terjadi gagal ginjal akut.

6.

Perawatan di ICU dengan pengawasan ketat : tekanan darah, pernafasan, fungsi ginjal dan elektrolit serum, monitoring jantung, terutama bila terjadi aritmia, monitoring gas darah, pemasangan kateter untuk monitoring produksi urin. Agonis adrenalin seperti epinefrin bisa dipertimbangkan untuk menaikkan tekanan perfusi organ vital. 4,13 Peranan glukokortikoid pada penanganan TSS masih diragukan. Steroid

menghambat aktivasi komplemen, kestabilan membran lisosom dan menghambat pembentukan prostaglandin. 4 Dengan pengobatan yang tepat, tensi penderita akan normal kembali dalam 24 jam. Mialgia, muntah, diare, pusing, hiperemi membran mukosa dan ruam umumnya membaik dalam 3-4 hari setelah pengobatan. Imonoglobulin Intravena (IVIG) untuk TSS Pemberian IVIG pada TSS adalah sebagai tambahan terapi antibiotik dan terapi suportif. IVIG dapat menetralisir berbagai toksin bakteri sekaligus memodulasi respon imun tubuh. IVIG terbukti memberikan perbaikan klinis secara signifikan pada pasien dengan TSS setelah beberapa jam pemberian.
14

Penelitian metanalisis

menunjukkan bahwa pemberian IVIG menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis dan syok septic, meskipun manfaatnya sebagai terapi tambahan masih diragukan. Selain itu, pemberian IVIG ini mahal dan belum banyak tersedia sehingga hanya diberikan pada kasus-kasus berat. 4,14 Saat ini masih diteliti beberapa pendekatan terapi untuk menginhibisi toksin dan superantigen.4,7 Sebagian besar infeksi S.aureus dimulai dari kulit atau permukaan membrane mukosa dengan inflamasi langsung atau efek sitotoksik dari eksotoksin, maka pengobatan yang diarahkan langsung terhadap toksin-toksin yang diproduksi S.aureus dapat mencegah perkembangan infeksi S.aureus dan TSS. Terapi antitoksin yang mencegah atau menetralisir produksi toksin dan superantigen serta efeknya terhadap sel tubuh masih dalam penelitian. 7

Gliserol Monolaurat 15 Gliserol monolaurat (GML) merupakan gliserol monoester turunan dari asam laurat yang biasanya digunakan pada industri makanan dan kosmetik sebagai emulsifier dan bahan pengawet. GML dikenal memiliki kemampuan untuk mengibhibisi pertumbuhan dan kolonisasi dari S.aureus, memblok induksi dari betalaktamase, dan menunda produksi eksoprotein S.aureus, seperti TSS-T1 dan alfatoksin melalui pengaruhnya terhadap transduksi sinyal di membran sel bakteri. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa GML memiliki efek imunomodulasi pada sel mamalia melalui stabilisasi membrane sel sehingga memproteksi sel-sel pada kulit dan mukosa pada hewan coba terhadap perubahan osmosis dan lisis sel. GML ini diperkirakan memiliki manfaat klinis untuk pemberian secara topical dalam mencegah ifeksi S.aureus dan TSS. Subunit Hemoglobin 4 Penelitian terdahulu yang mengukur TSS-T1 dan alfa-toksin (86) menunjukkan adanya karakteristik sifat inhibisi yang dimiliki oleh alfa-globin dan beta-globin. Keduanya mampu menghambat produksi eksotoksin S. aureus seperti superantigen, sitolisin, dan lipase, meskipun tidak memberikan efek terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus. (87). Struktur dari alfa-globin dan beta-globin yang bertanggungjawab terhadap mekanisme inhibisi toksin tersebut masih diteliti. Antagonis regio V-beta afinitas tinggi 16,17 Antagonis region V-beta afinitas tinggi yang memblok ikatan pada reseptor sel T memiliki potensi sebagai terapi untuk intoksikasi superantigen (88). Pada penelitian dengan kelinci, peptide antagonis tersebut memiliki efek protektif terhadap toksin 2000 kali lebih kuat dibandingkan IVIG. Efikasi pemberian peptide ini masih dalam penelitian.

Prognosis
Prognosis sangat dipengaruhi oleh lamanya syok, gangguan organ sekunder, kecepatan diagnosis dan intervensi medis yang tepat.Penyakit ini biasanya menimbulkan kematian yaitu sekitar 2,6 sampai 13%.
4

Sedangkan kekambuhan

terjadi pada sekitar 25 sampai 64 %. Wanita yang pada serangan pertama kali diberikan pengobatan antibiotik resisten terhadap B laktamase (seperti Cephalosporin dan penisilin resisten penisilinase) ternyata angka kekambuhannya lebih rendah dibandingkan dengan penderita yang tidak diberikan pengobatan dari golongan antibiotik tersebut. 13

Pencegahan
TSS-AM dapat dicegah dengan menghindari penggunaan tampon berdaya serap tinggi. Dianjurkan untuk mengganti tampon lebih sering untuk mengurangi resiko terjadinya pertumbuhan bakteri dan TSS. Hingga saat ini belum ada caksin atau imunoterapi yang disetujui oleh FDA untuk mencegah penyakit yang diakibatkan S. aureus.4,6

Ringkasan
Telah dibahas tinjauan kepustakaan mengenai sindrom syok toksik, yaitu suatu kumpulan kelainan sistemik yang disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus grup faga I. TSS terutama mengenai wanita yang mengalami menstruasi, namun juga bisa terjadi karena faktor predisposisi lainnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria klinik dan disokong oleh pemeriksaan laboratorium maupun penunjang lainnya. Penyakit ini bisa mengakibatkan kematian. Telah dibahas pula mengenai epidemiologi, patogenesis, diagnosis dan diagnosis banding, penatalaksanaan, serta prognosis dari TSS.

DAFTAR PUSTAKA

1. Center for Disease Control and Prevention (CDC). CDC case definition of staphylococcal toxic shock syndrome. [homepage on internet]. c1997 [cited 2013 Mar 28]. Available from : www.cdc.gov/ncphi/disss/nndss/print/toxic_shock_syndrome_current. html 2. Nelson, W.E. Infeksi Staphylococcus. Ilmu Kesehatan Anak, Bag 2, Bab 174 halm 917-24 EGC : Jakarta. 1995. 3. Rahardjo. Sutji, Pratiwi. Sindrom Syok Toksik. Cermin Dunia Kedokteran vol. 36 no. 5 halm 321-323. 2009 4. Ying-Chi Lin, Marnie L Peterson New Insights into the Prevention of Staphylococcal Infections and Toxic Shock Syndrome Expert Rev Clin Pharmacol. ;3(6):753-767. 2010. 5. Jawetz, Ernest , Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. Jakarta : EGC; 1996. 6. Bubeck Wardenburg J, Schneewind O. Vaccine protection against Staphylococcus aureus pneumonia. J. Exp. Med. 205(2), 287294. 2008. 7. Brosnahan AJ, Mantz MJ, Squier CA, Peterson ML, Schlievert PM. Cytolysins augment superantigen penetration of stratified mucosa. J. Immunol. 182(4), 2364 2373. 2009. 8. Schlievert PM, Case LC, Strandberg KL, Tripp TJ, Lin YC, Peterson ML. Vaginal Staphylococcus aureus superantigen profile shift from 1980 and 1981 to 2003, 2004, and 2005. J. Clin. Microbiol. 45(8), 27042707 (2007). 9. Bernal A, Proft T, Fraser JD, Posnett DN. Superantigens in human disease. J. Clin. Immunol. 19(3), 149157 (2009). 10. Holman RC, Belay ED, Christensen KY, Folkema AM, Steiner CA, Schonberger LB. Hospitalizations for Kawasaki syndrome among children in the United States, 1997-2007. PIDJournal 29: 483-488. 2010.

11. Sandrini J, Beucher AB, Kouatchet A, Lavigne C. Scarlet fever with multisystem organ failure and hypertrophic gastritis. Rev Med Interne J. May; 30(5):456-9. 2009. 12. Harr, T., French, L.E.Review: Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome, [homepage on internet]. c2010 [cited 2013 Mar 28]. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3018455/pdf/1750-1172-5-39.pdf 13. Antibiotics for Gram-positive bacterial infections: vancomycin, teicoplanin, quinupristin/dalfopristin, oxazolidinones, daptomycin, dalbavancin, and telavancin. Infect. Dis. Clin. North Am.23(4), 965982, ix (2009). 14. Hartung HP, Mouthon L, Ahmed R, Jordan S, Laupland KB, Jolles S. Clinical applications of intravenous immunoglobulins (IVIg) beyond immunodeficiencies and neurology. Clin. Exp. Immunol. 158(Suppl. 1), 2333 (2009). 15. Lin YC, Schlievert PM, Anderson MJ et al. Glycerol monolaurate and dodecylglycerol effects on Staphylococcus aureus and toxic shock syndrome toxin-1 in vitro and in vivo. PLoS ONE 4(10), e7499 (2009). 16. Buonpane RA, Churchill HR, Moza B et al. Neutralization of staphylococcal enterotoxin B by soluble, high-affinity receptor antagonists. Nat. Med. 13(6), 725729 (2007). 17. Yang X, Buonpane RA, Moza B et al. Neutralization of multiple staphylococcal superantigens by a single-chain protein consisting of affinity-matured, variable domain repeats. J. Infect. Dis. 198(3), 344348 (2008).

Anda mungkin juga menyukai