Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C BLOK VII

Kelompok Tutorial 2 Tutor : Indri Ramayanti, S.Si. M.Sc 1. Rini Anadhofani 2. Karina Puspita Sari 3. Ranty Amelya Seventina 4. M. Dienda Ade Nugraha 5. Taufiq Putra 6. Jaka Purnayudha 8. Ayu Septia Fatriani 9. Nevi Yulita Sari 10. Otchi Putri Wijaya ( 70 2009 008) ( 70 2009 011 ) ( 70 2009 014 ) ( 70 2009 018 ) ( 70 2009 022 ) ( 70 2009 026 ) ( 70 2009 040 ) ( 70 2009 045 ) ( 70 2009 047 )

7. Hj.Anggun Putri Oktaviani ( 70 2009 038 )

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


Jalan Jenderal Ahmad Yani Talang Banten Kampus-B 13 Ulu Telp. 0711-778078

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul Laporan Tutorial Kasus Skenario C Blok VII sebagai tugas kompetensi kelompok. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman. Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada : 1. Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan. 2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual. 3. Indri Ramayanti, S.Si. M.Sc selaku tutor kelompok 2 4. Teman-teman seperjuangan 5. Semua pihak yang membantu penulis. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin. Palembang, Juli 2010

Penulis

1.1. Data Tutorial


Laporan Tutorial 2 Skenario C Lupus Tutor Moderator Sekretaris meja Sekretaris Papan Waktu Rule tutorial : Indri Ramayanti, S.Si. M.Sc : M. Dienda Ade Nugraha : Nevi Yulita Sari : Ayu Septia Fatriani : Selasa, 6 Juli 2010dan Kamis, 8 Juli 2010 : 1. Ponsel dalam keadaan nonaktif atau diam 2. Tidak boleh membawa makanan dan minuman 3. Angkat tangan bila ingin mengajukan pendapat 4. Izin terlebih dahulu bila ingin keluar masuk ruangan

1.2. Skenario Kasus


Nona S, umur 17 tahun datang ke RS Muhammadiyah dengan keluhan utama perdarahan dari hidung (+) 2 kali 2 hari yang lalu. Riwayat perjalanan penyakit 2 minggu sebelum masuk ke RS timbul bintik-bintik merah di kaki dan tangan, panas ada sejak 1 minggu yang lalu. Satu tahun yang lalu penderita sering mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan kaki, nyeri hilang timbul, penderita juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul, rambut sering rontok, sariawan yang sering timbul dilangit-langit mulut tanpa sebab dan tidak nyeri, muka kemerahan terutama daerah pipi bila terkena matahari. Nona S telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada perubahan. Pemeriksaan fisik: Keadaan umum: sakit sedang, sensorium kompos mentis, HR: 100x/menit, reguler, RR: 24x/menit, temperatur: 38,5oC, TD: 130/80 mmHg. Keadaan spesifik: didapat ptikie di kaki dan tangan, stomatitis(+), kemerahan di pipi(malar rash), bengkak di sendi tangan dan kaki (+).

Laboratorium: Gambaran pansitopenia(Hb: 8,5 gr %, WBC: 2600/mm 3, trombosit: 40.000) Rt:7%, LED: 105 mm/hour, ureum: 36 mg/dl, kreatinin: 1,2 mg/dl, RF(+).

1.3. Seven Jump Steps


I. KLARIFIKASI ISTILAH 1. Ptikie : bintik-bintik merah kecil akibat keluarnya sejumlah kecil darah. 2. Pardarahan dari hidung / epitaksis : perdarahan dari hidung biasanya akibat pecahnya pembuluh darah kecil yang terletak di anterior septum nasal kartilaginosa. 3. Nyeri sendi / atralgia : suatu reaksi sakit disambungan ruas-ruas tangan. 4. Demam : suatu keadaan saat suhu badan melebihi 370C disebabkan oleh penyakit atau peradangan 5. Rambut rontok / alopecia : tidak adanya rambut pada daerah kulit yang biasanya ada. 6. 7. 8. Sariawan / stomatitis : radang generalisata mukosa mulut. Kompos mentis : dalam keadaan sadar penuh. Malar rash : erupsi kulit yang meliputi hidung dan daerah sekitarnya pada pipi yang berbentuk kupu-kupu. 9. Bengkak : pembangkakan salah satu dari tanda kardial peradangan. yang

10.

Ureum : hasil dari metabolisme urea didalam ginjal yang digunakan sebagai indikator untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal ( filtrasi, reabsorbsi, sekresi, eksresi, mengatur pH darah, keseimbangan asam basa, keseimbangan elektrolit, mengatur reaksi renin angiotensin, membantu pembentukan eriktropoetin, dan membantu degradasi prostaglandin).

11.

Kreatinin : hasil akhir metabolisme fospokreatin di dalam ginjal yang digunakan sebagai indikator untuk mengetahui fungsi ginjal.

II. IDENTIFIKASI MASALAH 1. Nona S, umur 17 tahun mempunyai keluhan utama perdarahan dari hidung (+) 2 kali 2 hari yang lalu. 2. Riwayat perjalanan penyakit 2 minggu sebelum masuk RS timbul bintikbintik merah di kaki dan tangan, panas sejak 1 minggu yang lalu. 3. Satu tahun yang lalu dia sering mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan kaki, nyeri hilang timbul penderita juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul, rambut sering rontok, sariawan yang sering timbul di langit-langit mulut tanpa sebab dan tidak nyeri, muka kemerahan terutama daerah pipi bila terkena matahari. 4. Nona S telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada perubahan. 5. Pemeriksaan fisik : Keadaan umum: - Sakit sedang - Sensorium kompos mentis - RR : 24x/menit - Temperatur : 38,5 o C

- HR : 100x/menit - Reguler 6. Laboratorium :

- TD :130/80 mmHg.

- Gambaran pansitopenia ( Hb: 8,5 gr %, WBC : 2600/mm3, trombosit : 40.000) - Rt : 7 % - LED : 105 mm/hour - Ureum : 36 mg/dl - Kreatinin : 1,2 mg/dl - RF (+)

III. ANALISIS MASALAH 1. a. Apa penyebab perdarahan di hidung? Jawaban : 1. 2. Karena trauma (bersin yang terlalu keras dipukul) Spontan berupa Infeksi akut(berlangsung singkat) atau kronis (berlangsung lama) pada hidung Penyakit kelainan pembuluh darah Gangguan pembekuan darah Penyakit jantung Gangguan hormone Tumor ganas dihidung

3.

Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan, trombositopenia merupakan penurunan kadar trombosit dalam darah (<150.000/mm3), penyebab trombositopenia pada SLE dapat dibagi menjadi 3 Yaitu; Kegagalan produksi yang disebabkan oleh pengobatan atau penyakitnya sendiri Distribusi abnormal, sperti di limpa Destruksi besar-besaran seperti pada sindrom antifosfolipid, anemia hemolitik mikroangiopatik atau trombositopenia yang diperantarai antibody.

b. Bagaimana mekanisme perdarahan di hidung? Jawaban : Akibat adanya Limfosit T yang menyerang antigennya sendiri dimana jaringan yang terkena akan dihancurkan oleh sel T di organisme tersebut. Ada 3 yaitu : 1. Reaksi autoimun Defosit globulin 2. Infeksi Vasokontriksi 3. Kelainan darah Mudah terjadi perdarahan dari ke tiga itu , menyebabkan pembuluh darah di mukosa nasalis mudah pecah Epistaksis c. Apa anatomi hidung? Jawaban : Ada 3 struktur penting dari anatomi hidung, yaitu : Dorsum nasi (batang hidung). Septum nasi. Kavum nasi.

Ada 2 bagian yang membangun dorsum nasi, yaitu : 1. Bagian kaudal dorsum nasi. 2. Bagian kranial dorsum nasi. Bagian kaudal dorsum nasi merupakan bagian lunak dari batang hidung yang tersusun oleh kartilago lateralis dan kartilago alaris. Jaringan ikat yang keras menghubungkan antara kulit dengan perikondrium pada kartilago alaris. Bagian kranial dorsum nasi merupakan bagian keras dari batang hidung yang tersusun oleh os nasalis kanan & kiri dan prosesus frontalis ossis maksila. Septum Nasi Fungsi septum nasi antara lain menopang dorsum nasi (batang hidung) dan membagi dua kavum nasi. Ada 2 bagian yang membangun septum nasi, yaitu : 1. Bagian anterior septum nasi. 2. Bagian posterior septum nasi. Bagian anterior septum nasi tersusun oleh tulang rawan yaitu kartilago quadrangularis. Bagian posterior septum nasi tersusun oleh lamina perpendikularis os ethmoidalis dan vomer. Kelainan septum nasi yang paling sering kita temukan adalah deviasi septi. Kavum Nasi Ada 6 batas kavum nasi, yaitu :

1. Batas medial kavum nasi yaitu septum nasi. 2. Batas lateral kavum nasi yaitu konka nasi superior, meatus nasi superior, konka nasi medius, meatus nasi medius, konka nasi inferior, dan meatus nasi inferior. 3. Batas anterior kavum nasi yaitu nares (introitus kavum nasi). 4. Batas posterior kavum nasi yaitu koane. 5. Batas superior kavum nasi yaitu lamina kribrosa. 6. Batas inferior kavum nasi yaitu palatum durum. Sinus Paranasalis Ada 2 golongan besar sinus paranasalis, yaitu :

Golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Golongan posterior sinus paranasalis, yaitu sinus ethmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.

Ostia golongan anterior sinus paranasalis berada di meatus nasi medius. Ostia golongan posterior sinus paranasalis berada di meatus nasi superior. Pus dalam meatus nasi medius akan mengalir ke dalam vestibulum nasi. Pus dalam meatus nasi superior akan mengalir ke dalam faring.

d. Dampak perdarahan di hidung? Jawaban : Dapat terjadi syok dan anemi. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. 2. a. Apa penyebab timbulnya bintik-bintik merah di kaki dan tangan? Jawaban : Pada umumnya penyebab timbul bintik-bintik merah di kaki dan tangan adalah - Kelaianan darah - Reaksi Alergi - Infeksi - Reaksi autoimun Jadi, dalam scenario ini penyebab timbul bintik-bintik merah di kaki dan tangan kemungkinan adalah oleh kelaianan darah, infeksi, dan reaksi autoimun.

b. Apa mekanisme timbulnya bintik-bintik merah di kaki dan tangan? Jawaban : Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :. Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh,seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia. Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pemben tukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. dan antigen mengalir bersama darah, sampai Gabungan antibodi

tersangkut di pem buluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu. Sistem immune aktif antibody meningkat menyerang sel darah merah RBC pecah dan antybody dan antigen membentuk imunne kompleks pembuluh darahmengalami peradangan pembuluh darah pecah bintik-bintik pada tangan dan kaki

c. Apa penyebab panas pada skenario ini? Jawaban : Pada umumnya, panas terjadi karena - infeksi - imunisasi - menurunnya imunitas tubuh - dehidrasi - toksemia - keganasan - pemakaian obat obatan - faktor psikogenik

Jadi, dalam skenario ini penyebab demam yang dialami oleh Nona S adalah reaksi imun tubuh yang menganggap sel-sel tubuh sebagai benda asing. d. Bagaimana mekanisme demam pada skenario ini? Jawaban : Infeksi reaksi pirogen mikroorganisme endogen dan eksogen merangsang hipotalmus (termolegulator) pelepasan asam arakidonat sintesis PGE2 demam. 3. a. Apa penyebab dan mekanisme nyeri sendi (terutama pada jari tangan dan kaki)? Jawaban : * Penyebab : Arthitis * Mekanisme : Limfosit B sinovial produksi IgG abnormal produksi faktor rheumatoid pembentukan kompleks imun pada sinovial dan atau kartilago aktivasi komplemen jalur klasik dan alternatif respon inflamasi arthitis.

b. Mengapa nyeri sendi sering hilang timbul? Jawaban : * Terjadi peradangan sendi tidak aktifitas * Karena adanya fase tenang (tidak nyeri) dan fese aktif (nyeri) * Faktor lingkungan * faktor hormonal. c. Mengapa demam tersebut hilang timbul? Jawaban : Tergantung dengan sistem imunitas. Apabila seseorang yang menderita lupus dalam keadaan sehat atau baik maka demam tersebut akan menghilang dan apabila imunitasnya mulai maka demam tersebut akan muncul kembali. Faktor sinar UV juga dapat memacu timbulnya demam. d. Apa penyebab dan mekanisme rambut sering rontok pada kasus ini? Jawaban : Pada umumnya, penyebab rambut yang sering rontok adalah - Ketidaknormalan tyroid - Diet berlebihan - Ketidakseimbangan hormone - Gangguan emosional - Kelainan darah - Pemakaian produk rambut (kandungan kimia ) - Diabetes aktifitas

- Mengkonsumsi vitamin A yang banyak - autoimun Jadi, dalam skenario ini penyebab rambut yang sering rontok yang dialami oleh Nona S adalah kelainan autoimun. Mekanismenya: autoimun imun tubuh menyerang sel folikel-folikel rambut folikel rambut mengecil rontok/ kebotakan pertama, folikel rambut mengalami kegiatan pertumbuhan aktif dan istrhat secara siklus. Fase siklus kegiatan folikel rambut dikenal sebagai fase anagen, fase katagen, dan fase telogen. Apabila rambut dalam fase telogen terlepas lebih banyak dan normal. Keadaan ini disebut efluvium telogen. Hal ini terjadi dalam keadaan streess. Rambut dapat bergeser dari fase anagen menjadi fase telogen. Dalam masa ini terjadi perubahan pada siklus pertumbuhan rambut. Rambut akan terus terlepas/rontok untuk beberapa waktu dan scra perlahan-lahan akan diikuti oleh fase anagen. Rambut yang mengalami fase pendek dahulu sebelum menjadi panjang. Sehingga terjadi penipisan rambut sewaktu. Pada kebotakan terpola fase tetogen akan berlangsung lama dan terjadi penyusutan besar folikel. Pada setiap siklus, besar folikel fase anagen akan menyusut,sehingga rambut yang dihasilkan akan makin pendek, tipis dan kurang pigmentasi. Sehingga bisa menimbulkan kebotakan. Sistem imun aktifmemproduksi antibodi menyerang jaringan kulitfase telogen lebih awal(fase diam) e. Apa penyebab dan mekanisme sariawan pada kasus ini? Jawaban : Penyebab sariawan secara umum: 1. trauma 2. kurangnya vitamin C 3. alergi 4. infeksi 5. imunitas 6. faktor psikologi 7. reaksi autoimun

Pada sekenario ini penyebab sariawan yaitu karena reaksi autoimun. Mekanisme : Reaksi autoimun ulkus pada mukosa disekitar mulut kerusakan epitel-epitel disekitar mulut sariawan. f. Mengapa sariawan pada kasus ini tidak terasa nyeri? Jawaban : Karena yang diserang antibody hanya jaringan Mukosa, yang tidak ada saraf-saraf yang terganggu yang akan menimbulkan rasa nyeri pada sariawan. g. Apa penyebab dan mekanisme malar rash ? Jawaban : - Penyebabnya sinar ultraviolet (UV). - Mekanisme : Cahaya matahari (photosensitivity) memiliki sinar ultraviolet (UV), sinar UV merusak sel dari kulit (keratinosit) dan menyebabkan sel menjadi mati.Pada orang sehat tanpa lupus , sel yang mati ini akan dibuang dengan cepat dan inflamasi yang diinduksi oleh matahari akan menginduksi kerusakan kulit dengan cepat (sun burn), dimana pada pasien lupus, sel kulit lebih sensitif terhadap sunburn dan dengan adanya peningkatan kejadian yang menyebabkan kematian sel (apoptosis) yang tidak dibersihkan secara efisien akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan menyebabkan inflamasi. Selain itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul termasuk Ro yang secara normal tidak terpapar pada sel imun sehingga menyebabkan reaksi imun.Akibatnya orang yang menderita lupus akan mengalami ruam photosensitivity.

4. a. Mengapa setelah minum obat nyeri tidak ada perubahan ? Jawaban : Beberapa obat berhubungan dengan induksi LES. Mungkin kelompok obat ini mempunyai struktur obat yang dapat mengganggu respon imun pejamu. Bukan tidak mungkin bahwa obat tertentu atau metabolitnya dapat bersikap sebagai mediator yang berinterferensi dengan mekanisme homeostatis populasi limfosit. Beberapa obat tersebut antara lain alfa metildopa, klorpromazin, etosuksimid. b. Apa saja obat-obat nyeri ? Jawaban : - Aspirin. Untuk meringankan rasa sakit, terutama sakit kepala dan pusing, sakit gigi, dan nyeri otot serta menurunkan demam. - NSAID. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) seringkali digunakan untuk mengurangi radang, menurunkan demam dan mengurangi rasa sakit pada tulang dan sendi akibat lupus. - Arsinal. Untuk menghilangkan rasa nyeri (analgetik), anti piretik dan anti inflamasi, migrain, neuralgia, polineuritis, gangguan sirkulasi perifer, kelelahan dan gangguan kesuburan. -Asam Mefenamat. Dapat menghilangkan nyeri akut dan kronik, ringan sampai sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, dismenore primer, termasuk nyeri karena trauma, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri sehabis operasi, nyeri pada persalinan. - Aspilets. Untuk menurunkan demam, meringankan sakit kepala, sakit gigi dan nyeri otot.

5. a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik? Jawaban : sensorium kompos mentis = sadar HR: 100x/menit = normal RR: 24x/menit = tachipneu (normal 14-20x/menit) temperatur: 38,5oC = hipertermia (36,4-37,2oC) TD: 130/80 mmHg = hipertensi

b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik? Jawaban :

RR 24x/menit, cepat :
Kompleks imun mengendap di darah (hemolisis) dan kompleks imun mengendap di ginjal (gangguan eritropoetin) anemia Hb kemampuan mengikat O2 asidosis kompensasi tubuh pernapasan cepat (RR ).

Temperatur 38,5 oC, tinggi:


Antigen dan antibidi bergabung pengaktifan makrofag

mengaktivasi IL- 1 hipotalamus pengaruh prostaglandin


termoregulator suhu tubuh

Tekanan darah 130/80 mmHg, tinggi :

Pemakaian obat Kortikosteroid lesi vascular (sperti ateroma arteri renalis) vaskulitis renalis hipertensi

6. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari kelainan pemeriksaan laboratorium? Jawab : Gambaran pansitopenia : Hb: 8,5 gr % artinya tidak normal (pada anak normal : 11,5 16,5 gr/dl), mengalami anemia.

WBC : 2600/mm3 artinya tidak normal (pada anak normal : 5000 10.000/mm3), mengalami leukopenia.

Trombosit 40.000 artinya tidak normal (pada anak normal : 150.000 400.000/mm3), mengalami trombositopenia akibat dari reaksi autoimun terjadi reaksi imun kompleks sistemik trombosit mudah pecah dan rusak trombositopenia.

Rt : 7 % artinya tidak normal, (normal : 0,5-1,5 % tidak terdapat retikulosit). penyebab lisis pada eritrosit / anemia.

LED : 105mm/hour artinya tidak normal / terjadi peningkatan laju endap darah., (normal : 0 20 mm/hour) Ureum 36 mg/dl artinya tidak normal, (normal : 20-40 mg/dl) Kreatinin 1,2 mg/dl artinya normal, (normal 0,5-1,5 mg/dl) RF (+) artinya tidak normal, (normal : negatif), akibat komplikasi penyakit ini.

7. a. Bagaimana cara mendiagnosis kasus ini? Jawaban :

Dengan cara : - Anamnesis - Pemeriksaan fisik - Pemeriksaan laboratorium

b. Apa DD kasus ini?


Jawaban:

Gejala Sel LE Nyeri sendi Eritema Proteinuria Hipertensi Edema Fenomena ryenod Rambut rontok

LES + + + + + + +

skleroderma _ + + + + + +

Rheumatoid arthritis _ + _ _ _ _ +

polimyocytis _ + + _ _ _ +

Syndrome sjogren _ + + + + + _

c. Bagaimana penatalaksanaannya? Jawaban : Penatalaksanaan dari SLE dibagi dalam 5 golongan, yaitu 1. Konseling dan tindakan supportif 2. Pengobatan simtomatis 3. Kortikosteroid 4. Imunosupresif 5. Pengobatan komplikasi Jadi, pada scenario ini penatalaksanaan yang paling tepat adalah konseling dan tindakan suportif, pengobatan simtomatis, dan Kortikosteroid.

d. Bagaimana diagnosis kasus ini? Jawaban :

Adanya empat atau lebih dari 11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup untuk menegakkan diagnosis. Kriteria diagnosis untuk SLE diantaranya adalah : 1. ruam di daerah malar 2. ruam discoid 3. fotosensitivitas 4. ulkus pada mulut 5. arthritis : tidak erosive, pada dua atau lebih sendi-sendi perifer 6. serositis : pleuritis atau perikarditis 7. gangguan pada ginjal ; proteinuria persisten yang lebih dari 0,5 g/hari 8. gangguan neurulogik : kejang atau psikosis 9. gangguan hematologik : anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau trombositopenia 10. gangguan imunologik : sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti DNA 11. antibody antinuclear (ANA) 12. gambaran parasitopenia e. Bagaimana komplikasi pada kasus ini? Jawaban : Hipertensi Gangguan pertumbuhan Gangguan paru-paru kronik Abnormalitas mata Kerusakan ginjal permanen Gejala neuropsikiatri Kerusakan muskuloskeleta Gangguan fungsi gonad Gangguan kardiovaskular

f. Apa kompetensi dokter pada kasus ini?

Jawaban : Yaitu kompetensi dokter 3b yaitu mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya: pemeriksaan laboratoriium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan member terapi pendahuluan, serta merujuk ke dokter spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).Sebelum dilakukan rujuk ke dokter spesialis yang ahli di bidangnya, dokter perlu melakukan terapi pendahulu agar jiwa pasien bisa tertolong sebelum sampai ditangani dokter spesialis. 8. Pandangan Islam tentang perjalanan suatu penyakit? Jawaban : (HR. Imam Ahmad dan Hakim) Setiap penyakit pasti ada obatnya. Apabila obat telah menyentuh penyakit, niscaya penyakit itu dapat dirembukkan dengan izin Allah

IV. HIPOTESIS

Nona S, 17 tahun menderita Sistemik Lupus Eritematosus karena terjadi reaksi autoimun.

V. KERANGKA KONSEP Nona S, 17 tahun Keluhan utama

Nyeri sendi

Ptikiee

Epitaksis

Malar rash

Pemeriksaan Laboratorium

Gambaran pansitopenia

Diagnosis

Kelainan sistem imun

Diduga lupus

VI. LEARNING ISSUE No 1. Pokok Bahasan Autoimun What I know Pengertian What I dont know Penyebab, mekanisme I have to prove How will I learn - Text book - Internet 2. Hipersensitivi tas Pengertian Penyebab, mekanisme - Text book - Internet - Para ahli 3. Pemeriksaan Interpretasi Mekanisme, kadar normal 4. Anatomi nasal 5. Lupus Pengertian Diagnosis, dan tatalaksana, Mekanisme, Gejala, dan Penyebab Diagnosis, dan tatalaksana, Mekanisme, Gejala, dan Penyebab 6. Pandangan islam Ayat yang bersangkuta n dengan penyakit - Text book - Internet Kelainan Interpretasi - Text book - Internet - Text book - Internet - Text book - Internet
- Para ahli

VII. SINTESIS

Reaksi Hipersensitivitas

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat. 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen. 2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)

Seperti telah

diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder). Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). 1. Histamin Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular. Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit. 2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen). Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE. 3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi

hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil. Mediator yang terbentuk kemudian Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masingmasing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3). 1. Produk siklooksigenase Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2). Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit). Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui. 2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRSA yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi. Slow reacting substance of anaphylaxis Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4. Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor) Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE. Serotonin Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen. Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai

peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0 Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7). Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF. Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak

LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin). PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibodymediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah. Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit

Antigen target

Mekanisme

Manifestasi klinopatologi danHemolisis, anemia danPerdarahan

Anemia hemolitikProtein membran eritrositOpsonisasi autoimun Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik) Pemfigus vulgaris Protein epidermal Sindrom Goodpasture Demam akut pada hubunganAktivasi pada seldiperantarai (epidemal gangguan (antigen golongan darah Rh) fagositosis eritrosit Protein membran plateletOpsonisasi (gpIIb:integrin IIIa) fagositosis platelet

proteaseVesikel kulit (bula) antibodi, adhesi yangNefritis, perdarahan komplemenparu aktivasiArtritis, miokarditis

interseluler

cadherin) interseluler Protein non-kolagen padaInflamasi membran dasar glomerulusdiperantarai ginjal dan alveolus paru dan reseptor Fc reumatikAntigen dinding selInflamasi, streptokokus, bereaksi silang antigen miokardium Reseptor asetilkolin antibodimakrofag dengan Antibodi ikatan

Miastenia gravis

menghambatKelemahan asetilkolin,paralisis

otot,

Penyakit Graves

Reseptor hormon TSH

modulasi reseptor Stimulasi reseptor TSHHipertiroidisme

diperantarai antibodi Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari selNetralisasi faktorEritropoesis parietal gaster intrinsik, penurunanabnormal, anemia absorpsi vitamin B12

Penyakit oleh kompleks imun Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme Manifestasi

Lupus

eritematosusDNA, nukleoprotein

Inflamasi

klinopatologi diperantaraiNefritis, vaskulitis,

sistemik Poliarteritis nodosa Antigen Glomreulonefirtis post-streptokokus Point of interest

komplemen dan reseptor Fc artritis permukaanInflamasi diperantaraiVaskulitis komplemen dan reseptor Fc selInflamasi diperantaraiNefritis komplemen dan reseptor Fc

virus hepatitis B Antigen dinding streptokokus

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II). Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.

Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV) Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T .

Penyakit yang diperantarai sel T Penyakit Diabetes (tipe I) Spesifitas sel TPenyakit manusia isletSpesifisitas padaContoh sel hewan TTikus transgenik sel TArtritis pada NOD,

patogenik melitusAntigen sel dekarboksilase

tergantung insulin(insulin,

belum ditegakkan

tikus BB, tikus

asam glutamat) Artritis reumatoid Antigen yang tidakSpesifisitas diketahui Ensefalomielitis alergi eksperimental

didan peran antibodidiinduksi oleh

sinovium sendi belum ditegakkan kolagen Protein mielinPostulat : sklerosisInduksi dasar, proteolipid proteinmultipel imunisasi

dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik TInduksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T

Penyakit inflamasiTidak usus peran intestinal

diketahui,Spesifisitas

sel

mikrobabelum ditegakkan

Pemeriksaan
Interpretasi pemeriksaan fisik: Mekanisme pemeriksaan fisik abnormal:

RR 24x/menit, cepat :
Kompleks imun mengendap di darah (hemolisis) dan kompleks imun mengendap di ginjal (gangguan eritropoetin) anemia Hb

kemampuan mengikat O2 asidosis kompensasi tubuh pernapasan cepat (RR ).

Temperatur 38,5 oC, tinggi:


Antigen dan antibidi bergabung pengaktifan makrofag

mengaktivasi IL- 1 hipotalamus pengaruh prostaglandin


termoregulator suhu tubuh

Tekanan darah 130/80 mmHg, tinggi :


Pemakaian obat Kortikosteroid lesi vascular (sperti ateroma arteri renalis) vaskulitis renalis hipertensi Interpretasi pemeriksaan laboratorium: Hb : 8,5 gr% = Tidak normal (normal : 11,5 16,5 gr/dl). WBC : 2600/mm3 = Tidak normal (normal : 4000 11.000/mm3) Trombosit : 40.000 = Tidak normal (normal : 150.000400.000/mm3) Rt : 7% = Tidak normal (normal : tidak terdapat retikulosit) LED : 105 mm/hour = Tidak normal (normal : 0 20 mm/hour) Ureum : 36 mg/dl = Normal ( 40) Kreatinin : 1,2 mg/dl = Normal (0,7 1,5 mg/dl) RF (+) = Tidak normal (normal : negative)

Anatomi hidung
Ada 3 struktur penting dari anatomi hidung, yaitu :

Dorsum nasi (batang hidung).Septum nasi.Kavum nasi.

. Ada 2 bagian yang membangun dorsum nasi, yaitu : 3. Bagian kaudal dorsum nasi. 4. Bagian kranial dorsum nasi. Bagian kaudal dorsum nasi merupakan bagian lunak dari batang hidung yang tersusun oleh kartilago lateralis dan kartilago alaris. Jaringan ikat yang keras menghubungkan antara kulit dengan perikondrium pada kartilago alaris. Bagian kranial dorsum nasi merupakan bagian keras dari batang hidung yang tersusun oleh os nasalis kanan & kiri dan prosesus frontalis ossis maksila. Septum Nasi Fungsi septum nasi antara lain menopang dorsum nasi (batang hidung) dan membagi dua kavum nasi. Ada 2 bagian yang membangun septum nasi, yaitu : 3. Bagian anterior septum nasi. 4. Bagian posterior septum nasi. Bagian anterior septum nasi tersusun oleh tulang rawan yaitu kartilago quadrangularis. Bagian posterior septum nasi tersusun oleh lamina perpendikularis os ethmoidalis dan vomer. Kelainan septum nasi yang paling sering kita temukan adalah deviasi septi. Kavum Nasi Ada 6 batas kavum nasi, yaitu :

7. Batas medial kavum nasi yaitu septum nasi. 8. Batas lateral kavum nasi yaitu konka nasi superior, meatus nasi superior, konka nasi medius, meatus nasi medius, konka nasi inferior, dan meatus nasi inferior. 9. Batas anterior kavum nasi yaitu nares (introitus kavum nasi). 10. Batas posterior kavum nasi yaitu koane. 11. Batas superior kavum nasi yaitu lamina kribrosa. 12. Batas inferior kavum nasi yaitu palatum durum. Sinus Paranasalis Ada 2 golongan besar sinus paranasalis, yaitu :

Golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Golongan posterior sinus paranasalis, yaitu sinus ethmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.

Ostia golongan anterior sinus paranasalis berada di meatus nasi medius. Ostia golongan posterior sinus paranasalis berada di meatus nasi superior. Pus dalam meatus nasi medius akan mengalir ke dalam vestibulum nasi. Pus dalam meatus nasi superior akan mengalir ke dalam faring.

Lupus
Pendahuluan Lupus Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen nuklear ( ANAs),

sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. Manifestasi klinisnya tergantung organ mana yang terkena. Dengan demikian tampilan klinis LES sangat bervariasi baik berat-ringannnya maupun gejala dan tandanya. Hal ini tentu saja menyulitkan dokter untuk mendiagnosis secara dini. Jika pasien terdiagnosis dalam keadaan sudah jelas semua tanda dan gejalanya timbul, biasanya penyakitnya sudah berat, penatalaksaannya lebih sulit, butuh obat-obatan yang lebih mahal dan prognosisnyapun lebih buruk. Prevalensi LES di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun akhir-akhir ini Lupus mendapat perhatian lebih karena temuan kasusnya meningkat dan tingginya angka kematian pasien yang dirawat di ruangan. Dari 3025 pasien baru reumatik di Poliklinik Reumatik RS Hasan Sadikin sepanjang 2003-2005, 6.4% diantaranya adalah pasien Lupus. Delapan dari 32 kasus Lupus yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam mengalami kematian baik yang terkait langsung Lupusnya seperti nefritis dan keterlibatan susunan saraf pusat maupun karena penyakit penyerta seperti infeksi dengan sepsis. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan diatas, maka sangat penting untuk mengenali dan memahami penyakit ini, sehingga dapat mendiagnosis dan menatalaksana nefritis lupus dengan baik dan benar, dengan demikian kita dapat mengurangi mortalitas pada pasien LES. Untuk itu kita perlu mengetahui mengenai LES itu sendiri dan dapat mendiagnosisnya. Epidemiologi LES Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. puncak insidensinya usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada populasi secara keseluruhan LES mengenai sekitar 1: 2000 orang, dan bervariasi dipengaruhi jenis kelamin, ras, etnis, dan status sosial ekonomi. Di Amerika Serikat prevalensi LES sekitar 15-50 per 100.000 orang, dengan prevalensi

tertinggi pada etnik African Americans. LES berkaitan erat dengan hubungan kekerabatan, frekuensinya lebih tinggi pada kerabat dekat pasien (seperti: kakak, adik, ibu). Penyakit ini terjadi pada kembar monozigot sekitar 25%-50% dan 5% pada kembar dizigot. Pada hubungan kekerabatan yang jauh, LES berkaitan dengan penyakit autoimmun lainnya seperti anemia hemolitik, tiroiditis, dan ITP. Namun LES dapat pula tidak terkait secara herediter. Prevalensi LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Insidensi LES dalam kurun waktu tahun 1971-1975 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta sebesar 15 kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Nasution & Kasjmir, 1995), kemudian meningkat menjadi 37,7 kasus per 10.000 penderita yang dirawat dalam kurun waktu 1988-1990. Insidensi LES di Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1983-1986 sebesar 10,1 kasus per 10.000 penderita yang dirawat. Insidensi LES di Medan dalam kurun waktu tahun 19841986 sebesar 1,4 kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Albar, 1996). Insidensi LES di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999 sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik (10,96%), dengan rasio wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah penderita LES yang berobat di poli rawat jalan ada 20 orang (62,5%), 17 wanita dan 3 pria. Jumlah penderita LES yang menjalani rawat inap ada 12 orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik yang dirawat di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita. Dimana dari 12 Orang yang dirawat, 10 orang karena flare up dan 2 karena infeksi (TB dan pneumonia). Dari 10 kasus flare up yang dirawat, 6 kasus nefritis lupus, 3 kasus CNS lupus, 1 kasus anemia hemolitik.

Patogenesis dan Etiologi LES Patogenesis LES Memahami patogenesis LES sangat penting agar dapat menentukan terapi yang paling efektif. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks imun, dan depositnya dijaringan menimbulkan kerusakan. Tabel 1. Autoantibodi yang berkaitan dengan penyakit autoimun 13,14,21 Spesifisitas Epitop ds-DNA Keterangan Berhubungan dengan bentuk lupus yang berat, seperti nefritis lupus tipe glomerulonefritis dan paru. proliferatif difus, dan lupus dengan target organ jantung

Smith Berhubungan dengan nefritis lupus tipe membranopati RNP Berhubungan SS-A (Anti-Ro) dengan Raynauds

phenomenon dan indikasi keterlibatan pulmo dan muskuloskeletal

Lupus kutaneus, sicca complex, dan sindroma lupus neonatal

SS-B (Anti-La) Apabila ada maka meningkatkan resiko lupus neonatal Phospholipid Predisposisi fetal loss, trombus, dan Centromere trombositopenia

Didapatkan pada LES tanpa sindroma CREST SCL-70 (topoisomerase) hanya ada Raynauds phenomenon

Mengindikasikan perubahan ke arah scleroderma Etiologi LES Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara self dan nonself . Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain

faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain. 1. Genetik Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi antiRo/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLADR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP. 2. Defisiensi komplemen Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement

receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama. 3. Hormon Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit. 4. Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II. Obat-obatan Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.

6. Stres

Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B. Diagnosis LES Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium, berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis. Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit lainnya. Tabel 2. Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik No. 1. Kriteria Malar rash/ Ruam pada wajah Eritema muka, biasanya 2. Lupus diskoid Definisi yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit menyerupai tidak kupu-kupu, plika mengenai

nasolabialis Ruam berbentuk bulatan menimbul diatas lapisan pemukaan kulit dengan disertai terkelupas

penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin berbentuk jaringan 3. Fotosensitif parut. Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis

4. 5.

Ulserasi oral atau nasofaring Artritis

atau pemeriksaan fisik. Biasanya tidak terasa

nyeri,

didapatkan dari pemeriksaan fisik Artritis non erosif mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi sinovial. a) Pleuritis adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura b) Perikarditis dari EKG atau didapatkannya perikardium bunyi atau ada gesekan efusi

6.

Serositis

7.

Kelainan ginjal

perikardium a) proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+ b) Celular cast dapat berupa sel eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran. a) Kejang spontan bukan karena obat-obatatn metabolisme ketoasidosis atau seperti dan gangguan uremia, gangguan

8.

Kelainan neurologis

keseimbangan elektrolit. b) Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme ketoasidosis 9. Kelainan hematologik seperti dan uremia, gangguan dengan dari

keseimbangan elektrolit. a) Anemia hemolitik retikulositosis b) Leukopenia

kurang

4000/mm3 pada 2/ lebih pengukuran

c)

Limfopenia

kurang

dari

1500/mm3 pada 2/ lebih pengukuran d) Trombositopenia kurang dari 100.000/mm3 yang 10. Kelainan immunologi dapat trombositopenia a) Anti-DNA: tanpa obat-obatan menimbulkan titer abnormal

antibodi terhadap native DNA b) Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos c) Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan pada (1) Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi antikardiolipin atau, (2) Antikoagulan lupus

positif dengan menggunakan metode standar atau (3) Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi imobilisasi oelh uji Treponema

pallidum atau uji fluorosensi 11. Antibodi Antinuclear Titer cara absorpsi antibodi treponema ANA abnormal diperiksa lain yang setara, yang

dengan metode imunoflurosensi atau dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat

Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria. Untuk kepentingan studi klinis, seseorang dikatakan LES apabila didapatkan 4 atau lebih dari 11 kriteria, baik secara serial maupun berkelanjutan selama interval atau observasi. Untuk mempermudah kita dalam mengingat kriteria diagnosis LES dari ACR dibuat singkatan DOPAMIN RASH yaitu: D iscoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder, Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder. Penatalaksanaan LES Non Farmakologis 1. Edukasi Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil. 2. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai

lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan. 3. Istirahat Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi. 4. Tabir surya Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam. 5. Monitor ketat Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi. Farmakologis Terapi Imunomodulator 1. Siklofosfamid Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam

pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis. Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan. Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

2. Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut.

Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan. 3. Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman. 4. Leflunomide (Arava) Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari. 5. Methotrexate

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan. 6. Siklosporin Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman. Agen Biologis 1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B. 2. Anti CD 20

Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan hematologi. 3. LJP 394 LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol. 4. Anti B lymphocyte stimulator Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS. terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan

5. Sitokin inhibitor Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE. 6. Anti malaria Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak

efektif. Hidroksiklotokuin (200400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan. Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada janin. Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin. Hormon Seks Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis. Kortikosteroid Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan

sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut. Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari. Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)

NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu. Plasmaferesis Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).

Immunoglobulin Intravena Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.

Pandangan islam tenteng penyakit


(HR. Imam Ahmad dan Hakim) Setiap penyakit pasti ada obatnya. Apabila obat telah menyentuh penyakit, niscaya penyakit itu dapat dirembukkan dengan izin Allah

Daftar Pustaka
Kamus Kedokteran Dorland Eds 29. 2002. Jakarta : EGC Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Robins Vol 2 Eds 7. Jakarta : EGC Guyton, AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Eds 11 . Jakarta : EGC

Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Volume 1. Jakarta : EGC Sudoyo, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I dan III edisi V. Jakarta : FK UI Baratawidjajab, KG. Imunologi Dasar. Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004.

Anda mungkin juga menyukai