Anda di halaman 1dari 7

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT DALAM JAMU

I. TUJUAN Untuk mengidentifikasi kofein dalam sediaan jamu pegal linu serta melakukan evaluasinya. II. DASAR TEORI Kafein ialah senyawa alkaloid xantina berbentuk kristal dan berasa pahit yang bekerja sebagai obat perangsang psikoaktif dan diuretik ringan. Kafeina ditemukan oleh seorang kimiawan Jerman, Friedrich Ferdinand Runge, pada tahun 1819. Ia menciptakan istilah "kafein" untuk merujuk pada senyawa kimia pada kopi. Kafeina juga disebut guaranina ketika ditemukan pada guarana, mateina ketika ditemukan pada mate, dan teina ketika ditemukan pada teh. Semua istilah tersebut sama-sama merujuk pada senyawa kimia yang sama (Anonim, 2010) Kafein adalah golongan alkaloid xantin yang mempengaruhi kerja saraf, pernapasan, dan jantung, juga agak memperbanyak buang air kecil (efek diuretik). Struktur kafein mirip dengan adenosin, suatu zat yang dalam tubuh kita bekerja menenangkan aktivitas saraf. Meskipun strukturnya mirip, fungsinya ternyata berkebalikan: kafein malah merangsang aktivitas saraf yang efeknya meningkatkan hormon adrenalin (Anonim, 2007).

Gb.1. Struktur Kafein Kafein mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H10N4O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemeriannya berupa serbuk atau hablur bentuk jarum mengkilat biasanya menggumpal, putih, tidak berbau, rasa pahit. Kelarutannya agak sukar larut dalam air dan dalam etanol 95% P, mudah larut dalam kloroform P, sukar larut dalam eter P ( Anonim, 1995 ). Jamu pegel linu merupakan salah satu jenis jamu yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Jamu pegel linu ini diyakini dapat menghilangkan pegel linu, nyeri otot dan tulang, memperlancar peredaran darah, memperkuat daya tahan tubuh dan

menghilangkan sakit seluruh badan. Banyak industri obat tradisional maupun industri kecil obat tradisional yang mengembangkan jamu ini dengan ramuan-ramuan tertentu (Wahyuni, Arifah dan Sujono, 2004). Spektrofotometri adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit mendekati monokromatik yang diserap oleh zat. Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitten atau absorben suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang (Basset J., 1994). Pada spektrofotometri ultraviolet (UV) didasarkan pada interaksi sampel dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet memiliki panjang gelombang 190 nm-380 nm. Prinsip dasar spektrofotometri ultraviolet sampel harus jernih dan larut sempurna, tidak ada partikel koloid apalagi suspensi (Wahyuriyadi, 2009). Kromatografi Lapis Tipis adalah pemisahan campuran senyawa menggunakan fase diam dan fase gerak dengan alat lapis tipis. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan sebagai bercak atau pita. Setelah plat diletakan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), terjadi pemisahan selama perambatan kapiler (Stahl, 1985). KLT merupakan kromatografi serapan, tetapi dapat juga merupakan kromatografi partisi karena bahan penyerap telah dilapisi air oleh udara (Sujadi, 1988). Kromatografi merupakan metode pemisahan yang cepat, dan mudah dilakukan hanya membutuhkan penyerap dan jumlah cuplikan yang sangat sedikit dan dapat diperoleh pemisahan yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 2002). III. ALAT DAN BAHAN Alat : Bahan : Jamu pegal linu bentuk serbuk Rangkaian alat KLT Spektrofotometer Alat gelas Corong pisah

IV.

Kloroform, eter, aseton, etil asetat, asam asetat Methanol, aquadest, etanol, ammonia

CARA KERJA Serbuk jamu dimasukkan dalam erlenmeyer 100ml, ditambah 50 ml air mendidih, dipanaskan di atas WB selama 30 menit sambil dikocok, diamkam beberapa menit dan saring. Filtrat dimasukkan dalam corong pisah, kemudian basakan dengan ammonia sampai pH 14 dan diekstraksi 3x dengan kloroform @ 20 ml. Kumpulkan ekstrak kloroform, diuapkan hingga tertinggal 5 ml. Identifikasi secara KLT Ekstrak dan standar ditotolkan secara terpisah dan dilakukan KLT : Fase diam Fase gerak Deteksi : silika gel GF 254 nm : aseton:kloroform:eter (40:35:25) : sinar UV 254 nm

Identifikasi secara spektrofotometri UV Bercak baku dan bercak sampel yang mempunyai harga Rf yang sam ditandai dan dikerok. Hasil kerokan dikocok secara terpisah dengan 5 ml etanol dan disaring. Kofein akan memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 273 nm. Sebagai blanko digunakan etanol. V. HASIL a) Hasil uji KLT Jarak elusi = 8 Jarak elusi standar = 6 Jarak elusi sampel = 7 Perhitungan : 1. Hrf standar = 6/8 * 100 = 75 2. Hrf sampel = 7/8 * 100 = 87,5 b) Hasil uji spektrofotometri

Diperoleh hasil absorbansi -0,0773

VI.

PEMBAHASAN

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengidentifikasi kofein dalam sediaan jamu pegal linu serta melakukan evaluasinya. Secara visual, jamu yang mengandung bahan kimia obat sulit dibedakan dengan jamu yang tidak mengandung bahan kimia obat. Bahan kimia obat yang dicampurkan pada jamu dosisnya tidak terukur dan karena pencampuran yang tidak homogen maka dosis bahan kimia obat pada setiap kemasan bisa berbeda. Hal ini bisa berbahaya karena memungkinkan konsumen mengkonsusmsi bahan kimia obat secara berlebihan. Pada praktikum ini digunakan sampel jamu COBRA jamu pegel linu yang diduga mengandung bahan kimia obat kofein. Penggunaan kofein yang berlebihan bisa menyebabkan pusing, insomnia, bahkan menyebabkan sakit jantung dan yang jelas terlihat adalah tukak lambung yang sering terjadi saat mengkonsumsi suatu bahan yang mengandung kofein. Adapun langkah langkah dalam melakukan percobaan ini antara lain langkah pertama yang dilakukan adalah mengambil satu dosis serbuk jamu yang akan diteliti. Kemudian larutan yang di dalamnya merupakan larutan standar kafein. Setelah itu larutan dimasukkan dalam erlenmeyer 100 ml dan ditambah dengan 50 ml air mendidih, dipanaskan di atas waterbath selama 30 menit dan disaring. Proses penambahan air panas bertujuan untuk melarutkan kafein yang diduga terkandung di dalam sampel jamu. Pemanasan di atas waterbath bertujuan untuk meningkatkan kelarutan kafein di dalam air sehingga saat disaring, bila di dalam jamu terkandung bahan kimia kafein, senyawa ini akan ikut terlarut di dalam air karena kofein larut dalam air (10-30 bagian). Filtrat yang didapat dibasakan dengan amoniak hingga didapatkan pH 14. Pada proses ini terbentuk base (senyawa yang tidak larut di dalam air yang bersifat basa) dari kofein yang menyebabkan kofein menjadi tidak larut air. Larutan yang didapat dilakukan 3 kali ekstraksi untuk masing-masing larutan A dan B dengan menggunakan pelarut kloroform sebanyak 20 ml. Ekstraksi tersebut bertujuan untuk mendapatkan senyawa

kimia dalam satu sampel menggunakan cairan penyari yang sesuai. Kofein yang sudah terbentuk base akan terlarut ke dalam kloroform, maka fase yang diambil adalah kloroform. Hasil ekstraksi kemudian diuapkan sampai didapat hasil ekstrak kental ( 5 ml) kemudian dimasukkan ke dalam flakon sebagai sampel untuk uji KLT (kromatografi lapis tipis). Ekstrak yang diambil adalah ekstrak kental. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang memiliki intensitas hasil yang lebih jelas dibandingkan tanpa dilakukan pemekatan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan evaluasi uji yang pertama secara KLT ( Kromatografi Lapis Tipis ). Pelaksanaan KLT relatif lebih mudah, peralatannya lebih sederhana, banyak digunakan untuk tujuan analisis dan KLT lebih fleksibel dalam pemilihan fase gerak. Pada uji KLT ini digunakan fase diam silika GF254 dengan jumlah sampel masingmasing 2 totolan. Tahap pertama dilakukan elusi plat KLT dengan fase gerak aseton:kloroform:eter (40:35:25), dengan jarak elusi 8 cm. Pemilihan fase gerak ini pada dasarnya ditujukan untuk dapat mengelusi bahan kimia obat (kofein) secara sempurna, dalam artian terjadi pemisahan yang signifikan sehingga kita dapat membandingkan secara jelas antara sampel dan standar untuk dapat mengambil keputusan dalam sampel jamu mengandung kofein atau tidak. Kofein bersifat non polar, maka digunakan fase gerak yang bersifat non polar yang diharapkan hasil kofein yang diduga terkandung di dalam sampel jamu dapat terbawa oleh fase gerak. Plat dilihat di bawah sinar UV 254nm, terlihat adanya bercak pada spot A dan B. Bercak tersebut memiliki HRf masing-masing 75 yang berwarna ungu pada standar, dan 87,5 berwarna kuning pada sampel. Pada spot standar dan sampel tidak terlihat adanya bercak ketika dilihat pada sinar tampak. Kemudian plat dilihat pada sinar UV 254 terlihat bercak dari keduanya. Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak meredam. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator flouresensi yang terdapat pada lempeng. Flouresensi yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi kemudian ke keadaan semula sambil melepas energi. Bercak yang meredam disebabkan pada bercak tersebut terkandung senyawa yang memiliki gugus auksokrom dan

kromiofor yang mampu menyerap UV sehingga lempeng yang berapa di bawah bercak tidak cukup energi untuk melakukan eksitasi dan emisi. Hasil elusi menunjukkan bahwa hanya terdapat satu bercak yang dimiliki oleh sampel jamu. Dengan hasil tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada sampel jamu yang diperiksa tidak mengandung kofein. Stuktur kafein mengandung gugus kromofor dan gugus ausokrom, dimana gugus bkromofor adalah suatu gugus ikatan rangkap yang terkonjugasi yang saling berselangseling. Sedangkan gugus ausokrom adalah suatu gugus yang melekat pada gugus kromofor yang menyebabkan kafein dapat menampakkan warna. Kedua uji pada spektrofotometri, didapatkan hasil absorbansi sebesar -0,0773, hal ini memperkuat dugaan bahwa jamu tidak mengandung kafein. KESIMPULAN Didapatkan HRf masing-masing 75 yang berwarna ungu pada standar, dan 87,5 yang berwarna kuning pada sampel jamu. Didapatkan hasil absorbansi dari spektrofotometri sebesar -0,0773. Jamu dengan merk COBRA tidak mengandung kafein.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. 2010. Kafein. http://org.wikipedia/wiki/Kafein. Basset, J., 1994, Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Organik. Jakarta : EGC. Sastrohamidjojo. 2002. Kromatografi. Jogjakarta: Penerbit Liberty. Wahyuni, Arifah dan Sujono. 2004. Studi Aktivitas Daya Analgetik Jamu Pegel Linu dalam Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 5, No. 1, 2004: 21 32. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta Wahyuriyadi, 2009, Macam Spektrofotometri dan Perbedaannya, http://wahyuriyadi.blogspot.com/2009/07/macam-spektrofotometri-danperbedaannya.html

Anda mungkin juga menyukai