Anda di halaman 1dari 12

FARMAKOKINETIKA

Nasib obat sesudah diminum adalah didistribusikan ke seluruh tubuh oleh cairan tubuh (darah), tetapi kita tidak dapat mengetahui dengan pasti kemana dan berapa jumlahnya pada jaringan penerima distribusi. (1) Proses mulai dari masuknya obat ke dalam tubuh sampai dikeluarkan kembali disebut farmakokinetik. Termasuk dalam proses farmakokinetik ialah absorbsi, distribusi, biotransformasi/metabolisme dan ekskresi obat. Untuk menghasilkan efek, suatu obat harus terdapat dalam kadar yang tepat pada tempat obat itu bekerja. Untuk mencapai tempat kerja, suatu obat harus melewati berbagai membran sel tubuh.(2) Respons yang diinginkan dari suatu obat biasanya berkaitan dengan kadar obat pada tempat kerjanya sehingga tujuan terapi adalah mempertahankan kadar obat yang cukup pada tempat kerja obat tersebut. Dalam praktiknya, sangat sulit untuk mengukur kadar obat pada tempat kerja, dan akan lebih mudah mengukur kadar obat dalam plasma darah, dan menghubungkan kadar obat dalam plasma dengan respons yang diperoleh. Jadi, dapat dikatakan bahwa tujuan terapi dengan pemberian obat adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup dalam darah yang akan memberikan hasil pengobatan yang kita inginkan. (2,3) OBAT DARAH (PLASMA) TEMPAT KERJA EFEK

Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis yang sama dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang dapat menunjukkan gambaran kadar dalam darah yang berbeda-beda dengan intensitas respons yang berlainan pula. Kenyataan hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respons yang dihasilkan tidak banyak bervariasi dibanding dengan hubungan dosis dengan respons (3,4)

Dengan menganggap bahwa respons terhadapat obat begantung pada kadar obat dalam darah, kita mengenal 3 macam kadar obat, yaitu kadar efektif minimum, pada kadar dibawahnya tidak jelas adanya efek obat; kadar toksik, pada kadar ini, efek-efek toksik mulai timbul; dan kadar obat yang terletak diantara kadar efektif minimum dan kadar toksik yang dikenal sebagai jendela terapeutik (2)

Gambar 1. Skema hubungan absorpsi, distribusi, ikatan, biotransformasi, ekskresi dan konsentrasi pada tempat kerja obat

Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam batas-batas therapeutic window sehingga efek yang diinginkan didapat dan efek samping minimal. Harus diingat bahwa therapeutic window juga bervariasi secara individual (2)

Interaksi farmakokinetik terjadi apabila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain

yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antara obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisiokimia yang menyebabkan variasi sifatsifat farmakokinetiknya (5). Mekanisme farmakokinetik meliputi proses (5): 1. Absorpsi, yaitu bilamana obat yang diberikan melalui saluran cerna / per-oral terjadi interaksi langsung dalam saluran cerna, perubahan pH cairan saluran cerna, waktu transit dalam usus, prubahan flora usus, dan efek toksik pada saluran cerna. 2. Distribusi. Yang perlu diperhatikan sifat dari obat tersebut dapat berkompetisi misalnya, ikatan obat dengan protein plasma terutama ikatan yang kuat dan daya ikatan obat terhadap jaringan tubuh yang sama kuat. 3. Metabolisme menyangkut obat yang dapat dirangsang atau dihambat metabolismenya pada pemberian dua obat bersamaan. Misalnya salah satu obat tersebut dapat menginduksi (merangsang) enzim mikrosom hati obat lain, salah satu obat tersebut dapat mereduksi (menghambat) enzim mikrosom hati obat lain dan perubahan aliran darah ke hepar. 4. Ekskresi yaitu apabila obat tersebut dikeluarkan melalui empedu atau ginjal akan terjadi gangguan empedu meliputi hambatan dalam sekresi obat ke dalam empedu dan gangguan re-uptake obat tersebut dari saluran cerna ke dalam siklus hepatik atau terjadi gangguan pada ginjal yang meliputi gangguan aliran darah ke arah ginjal, kompetisi antar obat dan metabolik obat untuk sistem transport aktif yang sama dan perubahan pH urine.

BEBERAPA MODEL FARMAKOKINETIK Model Satu Kompartemen Model ini merupakan suatu model yang sangat sederhana dan manusia dipandang sebagai suatu ruangan berisi cairan homogen. Obat diberikan secara intravena yang selanjutnyaakan mengalami metabolisme ayau ekskresi keluar tubuh. Pada saat permulaan, konsentrasi obat adalah (2) C (O) = Q Vd Dengan Q Vd : jumlah obat : volume kompartemen tubuh

Untuk kebanyakan obat, kita menganggap bahwa kecepatan eliminasi oleh metabolisme dan ekskresi adalah proportional (berbanding lurus) dengan konsentrasi obat. Maka: Kecepatan eliminasi metabolisme = CLeks. C Kecepatan eliminasi ekskresi = CLexc. C Kecepatan eliminasi keseluruhan = CLs. C Dengan: Cls = bersihan sistemik = CLmet + CL eks Jadi, kecepatan eliminasi dari obat keluar tubuh setiap waktu adalah sama dengan jumlah kecepatan metabolisme dan kecepatan ekskresi obat.

Gambar 3. Skema Model Satu Kompartemen

Parameter yang penting diketahui yang bverhubungan dengan eliminasi obat adalah waktu-paruh eliminasi atau t1/2. Waktu paruh dapat didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu obat agar konsentrasinya menjadi saparuh (50%) dari konsentrasi semula. Efek obat akan lebih panjang bila mempunyai waktu paruh panjang. Sebaliknya, efek obat akan singkat bila mempunyai waktu paruh yang pendek. Waktu paruh ini dipengaruhi oleh konstanta kecepatan eliminasi (kel) dan volume distribusi (VD) dari obat yang bersangkutan (2).

Konsentrasi pada Keadaan Mantap Bila obat diberikan berulang-ulang menurut interval yang teratur, pada suatu saat konsentrasi obat dalam plasma tidak akan bertambah lagi karena pada saat ini kecepatan eliminasi obat akan sama dengan kecepatan obat yang masuk. Eliminasi obat akan meningkat kecepatannya dengan meningkatnya konsentrasi obat dalam plasma secara proporsional. Oleh karena itu, pada suatu saat, jumlah obat yang dieliminasikan mencapai jumlah yang sama dengan jumlah obat yang diberikan, dan keadaan ketika konsentrasi obat dalam plasma ini menetap disebut keadaan mantap (steady state). Jadi, pada keadaan mantap ini kecepatan rata-rata eliminasi sama dengan kecepatan rata-rata pemberian obat, misalnya pada penyuntikan obat berulang-ulang atau dengan pemberian obat secara infus (2,3,4) C( keadaan mantap) = Q T.CLS Dengan Q T CLs : dosis yang diberikan setiap T jam : interval waktu pemberian obat, dan : bersihan sistemik

Dalam praktiknya, keadaan mantap ini secara efektif dapat dicapai setelah suatu interval yang lamanya 3x waktu paruh obat. Keadaan mantap ini dapat juga dipercepat

dengan jalan memberikan dosis awal yang lebih besar. Misalnya, pada pemberian digoksin untuk payah jantung (digitalisasi) (2).

Model Dua Kompartemen Pada model farmakokinetik ini, jaringan-jaringan tubuh disatukan menjadi satu kompartemen perifer sedangkan sirkulasi darah (plasma) merupakan suatu kompartemen yang disebut kompartemen sentral (2) Kedua kompartemen ini saling berhubungan, tetapi molekul-lolekul obat hanya dapat masuk dan keluar tubuh melalui kompartemen sentral (2) Pada gambar 4, model dua kompartemen ini sebenarnya merupakan modifikasi dari model satu kompartemen. Dengan modifikasi ini, bisa diterangkan kemungkinan terjadinya kejenuhan dari enzim-enzim metabolisme obat, dan ini menyebabkan degradasi obat yang tidak mengikat tanpa batas. Sering juga terjadi transfer obat antara kompartemen sentral dan kompartemen perifer yag relatif lebih cepat daripada kecepatan eliminasi obat, yaitu dengan terjadinya perpindahan yang cepat dari plasma ke jaringan-jaringan sehingga dengan cepat menurunkan konsentrasi obat dalam plasma. Peristiwa demikian ini sering disebut sebagai redistribusi (2). Pada beberapa keadaan ketika obat-obat diinaktifkan melalui penghancuran metabolik (misalnya etanol, fenitoin, salisilat, hidralizin), menghilangnya obat dari plasma darh tidak mengikuti pola eksponensial (kinetika order pertama) yang biasa, melainkan mengikuti kinetika order nol (kinetika penjenuhan). Pada zero-order kinetics, obat dikeluarkan dari tubuh dengan kecepatan konstan, tidak bergantung pada konsentrasi obat dalam plasma, sedangkan pada kinetika order pertama eliminasi obat bergantung apda kadar plasma, makin tinggi kadar obat dalam plasma; makin banyak obat ayng dieliminasikan per unit waktu. Jadi, apda kinetika penjenuhan hubungan antara dosis dan konsentrasi keadaan mantap dalam

plasma adalah curam dan sukar diramalkan karena tidak menuruti aturan proporsional yang berlaku pada kebanyakan obat. Keadaan ini terjasi pada obat-obat, seperti fenitoin, yang jika pada suatu saat enzim metabolisme sudah jenuh, penambahan dosis sedikit saja lebih tinggi dari biasanya, akan menyebabkan peningkatan konsentrasi plasama yang tinggi dan timbul gejala toksik. Jadi, kadar plasma fenitoin harus selalu dipantau untuk memperoleh efek terapi yang optimal (2).

Gambar 4. Skema Model Dua Kompartemen

FARMAKODINAMIK

Secara umum, farmakodinamik diartikan sebagai ilmu yang mempelajari efek-efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerja obat tersebut di dalam tubuh. Secara khusus, farmakodinamik mempelajari interaksi molekular antara obat dan unsur-unsur tubuh yang setelah melalui serentetan kejadian akan menghasilkan respons farmakologik. Sering juga mekanisme molekular kerja obat tidak diketahui maka untuk obat tersebut respons farmakologiknya dijelaskan dengan adanya perubahan proses-proses biokimia dan fisiologi (6).

Tujuan mengetahui dan memahami farmakodinamik ialah agar kita dapat memberikan dasar terapi yang rasional, atau mampu merancang bahan kimia baru yang lebih baik dan lebih unggul sebagai obat. Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam farmakodinamik adalah: (5,6) 1. Mekanisme kerja obat 2. Hubungan antara struktur dan aktivitas, dan 3. Hubungan antara dosis obat dengan respons

MEKANISME KERJA OBAT Efek-efek dari kebanyakan obat yang dihasilkan dari interaksi obat dengan komponen makromolekul fungsional dari mikroorganisme. Interaksi tersebut mengubah fungsi komponen selular sehingga terjadi perubahan-perubahan biokimia dan fisiologi yang bersifat khusus sebagai respons terhadap suatu obat (6). Pada permulaan abad ke-20, Ehrlich & Langley menyatakan bahwa suatu obat harus berinteraksi dengan suatu receptive substance (=reseptor) pada jaringan untuk menghasilkan efek pada jaringan tersebut (6). Clark (1937) menyatakan bahwa molekul obat berikatan dengan reseptor-reseptor dengan kecepatan yang proporsional dengan konsentrasi obat dalam larutan dan jumlah reseptor bebas. Berdasarkan penelitian di laboratorium, Clark berpendapat bahwa jumlah reseptor yang diikat obat menentukan besarnya respons jaringan terhadap obat. Bila 50% dari seluruh reseptor ditempati obat, terjadin respons yang besarnya 50% dari respons maksimal. Respons maksimal bisa dicapai bila seluruh reseptor diikat obat. Teori ini disebut occupancy dari Clark (6). Tahun 1956, Stephenson mengajukan suatu hipotesis yang dapat dipandang sebagai modifikasi Teori Clark, yaitu: (6).

1. Efek maksimum dari suatu agonis dapat dicapi walaupun hanya sebagian kecil reseptor yang diikat oleh obat 2. Besarnya respons tidak berbanding lurus dengan jumlah reseptor yang diikat 3. Obat-obat yang berbeda dapat memiliki kemampuan yang berbeda pula sehingga untuk menghasilkan intensitas efek yang sama diperlukan proporsi reseptor yang tidak sama.

RESEPTOR OBAT Secara umum, reseptor obat dapat diartikan setiap molekul target yang harus diikat oleh obat supaya obat tersebut dapat menghasilkan efeknya yang spesifik. Dengan demikian, reseptor obat dapat berupa ion channel (misalnya voltage-sensitive sodium channel sebagai reseptor obat anestetik lokal), enzim (misalnya enzim dihidrofolat reduktase sebagai reseptor untuk metotreksat), molekul pembawa (misalnya, carrier uptake noradrenalin sebagai reseptor untuk antidepresan trisiklik), dan lain-lainnya sehingga secara umum reseptor dapat diartikan sebagai tempat kerja obat (=site of action) (2,3,6) Pada contoh-contoh diatas, molekul obat berikatan dengan molekul protein tempat kerjanya itu dan melumpuhkan fungsi protein tersebut. Namun, keadaan ini berbeda dengan keadaan ketika adrenalin bekerja pada suatu reseptor di jantung. Jadi, reseptor tersebut hanya menghasilkan suatu efek apabila terjadi ikatan dengan adrenalin. Kejadian ini umumnya serupa dengan reseptor-reseptor untuk hormon-hormon dan neurotransmiter yang substansi tertentunya (agonis) dapat katakan mengaktifkan reseptor, dan substansi lainnya (antagonis) dapat berikatan dengan reseptor yang sama tanpa mengaktifkan reseptor. Perbedaan antara agonis dan antagonis hanya terdapat pada reseptor-reseptor yang berperan pada pengaturan faal tubuh, dan kita tidak dapat berbicara tentang agonis pada carrier noradrenalin, atau pada voltage-sensitive sodium channel, atau pada enzim dihidrofolat

reduktase. Di dalam farmakologi, sebaiknya pemakaian istilah reseptor dibatasi hanya untuk ligan (obat/molekul kecil) bisa berfungsi sebagai suatu agonis atau antagonis (6). Aktivitas suatu agonis merupakan hasil dari afinitas dan aktivitas intrinsik (efficacy). Afinitas adalah kemampuan untuk mengikat reseptor, sedangkan aktivitas intrinsik adalah kemampuan suatu obat untuk menimbulkan suatu efek. Suatu obat disebut agonis penuh (full agonist) bila obat tersebut dapat menimbulkan respons maksimal walaupun tidak semua reseptor diduduki sebab agonis penuh memiliki efficacy yang tinggi. Sebaliknya suatu antagonis tidak menimbulkan efek apa-apa karena efficacy antagonis adalah nol dan hanya mempunyai afinitas kepada reseptor saja. Suatu obat yang memiliki efficacy rendah dapat menghasilkan suatu respons yang kurang dari maksimal, walaupun hampir semua reseptor diikatnya. (6)

ASPEK MOLEKULAR KERJA OBAT Bila ditinjau dari aspek farmakologi molekular, dikenal paling sedikit ada empat target utama tempat kerja obat, yaitu: (1) reseptor, (2) kanal ion, (3) enzim, dan (4) molekul pembawa (6). 1. Reseptor Reseptor dapat dipandang sebagai suatu alat indra dari sistem komunikasi yang mengkoordinasi fungsi-fungsi sel tubuh, dan yang menjadi pembawa pesan kimiawi adalah hormon-hormon dan neurotransmitter. Berdasarkan sifat pertautan reseptor-efektor yang terjadi mulai dari aktivasi reseptor sampai terjasinya respons selular, dikenal 4 tipe reseptor: Reseptor untuk neurotransmiter cepat yang langsung berhubungan dengan suatu kanal ion, misalnya reseptor nikotinik asetilkolin, reseptor GABA-A, reseptor glutamat. (direct ligand-gated channel type)

Reseptor untuk hormon-hormon dan neurotransmiter lambat, mekanisme transduksinya melibatkan suatu G-protein, misalnya reseptor muskarinik asetilkolin, reseptor adrenergik. Reseptor-reseptor tipe ini disebut sebagai Gprotein-coupled type. Reseptor untuk insulin dan faktor-faktor pertumbuhan, ayng secara langsung berhubungan dengan aktivasi tirosin kinase. Reseptor ini disebut tyrosine-kinaselinked type Reseptor-reseptor steroid yang terletak intraseluler yang disebut sebagai intraseluler steroid/thyroid type. 2. Kanal Ion Selain kanal ion bergerbang ligan yang membuka apabila reseptonya diduduki dan diaktifkan oleh suatu agonis, terdapat pulakanal ion lain yang merupakan target kerja obat. Terdapat banyak fungsi kanal ion dipengaruhi dan diatur oleh pengikatan obat langsung pada protein kanal ion. Interaksi obat dan ion channel yang paling sederhana dapat berupa bolkade kanal ion oleh molekul obat, misalnya blokade yang disebabkan oleh molekul obat anestetik lokal pada kanal natrium bergerbang voltese, atau blokade terhadap masuknya natrium ke dalam sel-sel tubuli ginjal oelh amilorida. 3. Enzim Sebagai Target Kerja Obat Terdapat banyak obat yang bekerja pada enzim-enzim untuk menghasilkan efeknya. Yang paling sering, molekul obat tersebut merupakan suatu analog substrat yang bertindak sebagai suatu inhibitor kompetitif dari enzim tersebut (misalnya neostigmin bekerja pada asetilkolinesterase), tetapi terdapat pula obat-obat yang menghambat enzim secara nonkompetitif (misalnya aspirin, menghambat enzim siklooksigenase secara irreversible). Adapula interaksi lain dengan molekul obat berlaku sebagai suatu

substrat palsu dan mengalami trasnformasi enzimatik membentuk suatu produk abnormal. 4. Molekul Pembawa Untuk transpor ion-ion dan molekul senyawa organik supaya dapat melewati membran sel, umumnya diperlukan suatu protein pembawa. Hal ini disebabkan oleh seringnya molekul dan ion tersebut bersifat terlalu polar dan kurang larut dalam lipid. Terdapat banyak pembawa, seperti pembawa untuk transpor glukosa dan asam amino ke dalam sel, untuk transpor ion-ion dan molekul-molekul organik oleh tubuli ginjal untuk transpor Na dan ion kalsium keluar sel, dan untuk ambilan neurotransmiter prekursor atau ambilan neurotransmiter itu sendiri ke dalam ujung saraf.

DAFTAR PUSTAKA 1. Sjuib F. FARMAKOKINETIKA DAN BIOFARMASI SEBAGAI JEMBATAN ANTARA DOKTER DAN APOTEKER. Departemen Farmasi ITB 2. Tanzil S. Farmakokinetika. Kumpulan kuliah Farmakologi. Staf Pengajar Departemen Farmakologi F UNSRI. EGC 3. Foster, RW and Cox B. 1985. Basic Pharmacology, 1st edition, London: Butterworths. 4. Goodman & Gilman. 1985. The Pharmacological Basis ofTherapeutics, 7th Edition, New York: Macmillan Publishing Company. 5. Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. 6. Sutomo Tanzil. Farmakodinamik. Kumpulan kuliah Farmakologi. Staf Pengajar Departemen Farmakologi F UNSRI. EGC

Anda mungkin juga menyukai