Anda di halaman 1dari 43

Kusmarwanti

MENGGARAP
LAHAN
DA’WAH
PELAJAR
DAFTAR ISI

REMAJA, PELAJAR, DAN SEKOLAH


Remaja, yang Muda dan bergelora
Remaja Kita Hari Ini
Mereka Adalah pelajar
Ortu, Masyarakat, dan Sekolah
Pendidikan Islam

LAHAN DA’WAH PELAJAR


Menjadi Prioritas
Menata Orientasi
Medan Da’wah pelajar
Pilar Kompetensi Pembinaan Pelajar
Da’wah Ammah dan Khashah
Pelaku Da’wah Pelajar

DA’WAH AMMAH

DA’WAH KHASH

PERNIK
Bergaul dengan Remaja
Da’wah Pelajar di Rimba Harakah
Membeningkan Hati Membangun Generasi (Penutup)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin.
Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas hidayah, taufiq,
karunia, dan kenikmatan-kenikmatan yang berlimpah, yang tiada sesuatu makhluk pun
mampu memberinya. Juga kenikmatan atas ketentraman hati dan balasan-balasan
kenikmatan pahala dan surga kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa
memperjuangkan dan meninggikan kalimat-Nya. Shalawat dan salam terhatur pada
junjungan mulia Rasulullah Muhammad Saw, keluarga, sahabat, dan pengikut-
pengikutnya yang setia pada kebenaran dan perjuangan Islam hingga akhir zaman.
Amin.
Pemuda memiliki potensi yang luar biasa sebagai penerus generasi yang akan
menghasung perbaikan di bumi Allah. Maka, tidak berlebihan jika Allah memberikan
penghargaan atas kehadirannya. Tidak berlebihan juga jika Rasulullah Saw senantiasa
menyeru para pemuda dan membina mereka dengan sungguh-sungguh hingga
terbangun sebuah generasi pemuda yang tangguh.
Allah Swt berfirman,
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.
Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan
Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS Al Kahfi 13)
Salah satu bagian dari pemuda yang menjadi harapan umat itu adalah para
pemuda yang saat ini tengah duduk di bangku sekolah. Mereka adalah para pelajar
yang memiliki berbagai karakteristik yang menonjol. Mereka dinamis, kreatif, agresif,
spontan, heroik, enerjik, militan, memiliki rasa ingin tahu, mudah meniru, memiliki
tingkat emosi yang labil, dan umumnya belum memiliki kematangan jiwa. Berbagai
kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya menjadi bagian dari objek dakwah yang
akan menggema suaranya, dan menjadi kekasih-kekasih Allah yang akan meninggikan
kalimat-Nya. Namun, kelebihan dan kekurangannya bisa saja menjelma menjadi hantu-
hantu dunia yang akan memprakarsai kerusakan, jika ia tidak tergarap dengan benar.
Berangkat dari kemungkinan-kemungkinan itulah dakwah pelajar menjadi
bagian lahan dakwah yang harus disentuh. Dakwah pelajar bukan lahan dakwah yang
pantas dinomorduakan karena kestrategisannya dalam pembinaan umat. Penggarapan
dakwah pelajar menjadi prioritas yang harus diperhatikan dalam agenda dakwah.
Kesuksesan penggarapan dakwah pelajar tidak pernah lepas dari penguasaan
berbagai hal yang diperlukan dan dijumpai dalam perjalanannya. Untuk memenuhi
kebutuhan itulah, saya mencoba mengungkap pengalaman lapangan selama saya
berkecimpung di dakwah pelajar selama ini. Dengan berbagai keterbatasan kemampuan
saya, akhirnya tersusunlah buku ini. Saya berharap buku ini bisa menjadi pegangan
untuk penggarapan lahan dakwah pelajar yang dapat diterapkan di berbagai sekolah
dengan berbagai kondisi yang ada.
Pengalaman menjadi bekal penyusunan buku ini. Karena itu, kekayaan
pengalaman akan menjadi kunci sempurnanya buku ini. Dan semoga ini bukan karya
terakhir dari dakwah pelajar. Ada banyak konsep yang harus digali dan terus digali
yang akan menjaga keaktualan perjalanan dakwah pelajar dan produktivitasnya.
Karena itu, masukan yang konstruktif sangat kami harapkan demi memperbesar nilai
kemanfaatan dan kebarakahan buku ini.
Pengalaman itu saya gali dengan bimbingan, dukungan, dan kebersamaan
teman-teman yang Insya Allah dimuliakan Allah Swt. Buah pikiran dari pengalaman itu
tidak hanya saya petik dengan kerja dan kepala saya sendiri. Untuk itu, ucapan
jazakumullahu khairan jaza saya berikan kepada saudara-saudara saya yang tak sengaja
banyak mengajari saya berdakwah pelajar. Mereka adalah Yus Yudhyantoro (entah
sekarang ada di mana), Mohammad Rosyidi, Yuliawanto, dan Toto Wardoyo. Juga
untuk dua sahabat saya yang ‘menyerah’ di tengah jalan, Setiya dan Shiddiq Ahmadi.
“Jazakumullah buat diskusi, masukannya yang seabrek, dan bantuan-bantuan referensinya.”
Juga untuk dua saudara saya yang saat ini tengah sibuk berbagi dengan si kecil,
Mbak Sri Suparni dan Mbak Estuning, “Insya Allah, merekalah buah hati yang mencintai
dan dicintai Allah.” Kenangan yang teramat manis juga saya sampaikan kepada teman-
teman sejawat yang sangat saya cintai, Rahmawati Retno Wulan, Evi Anna Meirahati,
Mbak Izzatushshalihah, Mbak Ning Suryani, Hajar Ratnaningtyas, dan Vera Kusuma
Dewi, “Kadang saya takut berpisah dengan kalian.”
Juga untuk adik-adik yang saat ini tengah berjuang, Siska, Ari P., Haryati, Wuri,
Hasmi, Dini, Luqman, Ananto, Nanang, Faris, dan semuanya yang tidak cukup saya
baris satu-satu di sini, “Ingat, jalan ini masih panjang. Selamat berjuang!”
Kesempurnaan hanya milik Allah. Kepada-Nya saya senantiasa mengharap
balasan yang tiada balasan yang lebih sempurna kecuali dengan balasan-Nya. Kepada-
Nya juga saya senantiasa mengharap ampunan atas kekhilafan dan kesalahan dalam
menyusun buku ini. Astaghfirullahal’adzim.
Wallahu alam bish shawab.

Yogyakarta, 5 Juli 2001


Kusmarwanti
TENTANG PENULIS
KUSMARWANTI, lahir 23 September 1977 di Sukoharjo (Solo). Pengalaman
menulis dimulainya sejak SMA dengan buletin Al-Khuwarizmi di SMAN 3 Padmanaba
Yogyakarta. Pernah bergabung sebagai staf pembinaan Balai Jurnalistik Islam (BJI)
Keluarga Alumni Jamaah Shalahuddin (Kajasha) dan redaktur majalah ‘Shaliha’
Yogyakarta. Saat ini ia bergabung bersama Forum Lingkar Pena (FLP) cabang
Yogyakarta. Alumnus Fakultas Sastra UGM yang saat ini tercatat sebagai guru di SLTP-
IT Abu Bakar Yogyakarta ini pernah mempublikasikan karya-karyanya antara lain di
Annida, Ummi, Sabili, Izzah, dan lain-lain. Sampai saat ini ia telah menerbitkan dua
buku, yaitu Catatan Seorang Ukhti (Asy Syaamil, 2001) dan Menyongsong Cahaya Allah,
Perjalanan Hidayah Maria Anastasia Nurul Ikhsani (Era Intermedia, 2001).
Berbekal pengalaman di da’wah pelajar yang dimulainya sejak ia aktif di
Kerohanian Islam di SMA-nya, saat ini ia meluncurkan karyanya yang ketiga Menggarap
Lahan Da’wah Pelajar. Selepas SMA, da’wah pelajar dijalaninya dengan bergabung
bersama Keluarga Muslim Alumni Padmanaba (KMAP) sebagai wadah alumni di SMA-
nya juga. Aktivis da’wah pelajar yang terlibat sebagai redaktur dalam bulletin pelajar
SMART dan buletin da’wah pelajar ILTIZAM ini ikut merintis terbentuknya wadah
da’wah pelajar yang bernama Sahabat Remaja Sebuah (SMART) di bawah Corps
Da’wah Masjid Syuhada (CDMS).
Satu,
REMAJA,
PELAJAR, DAN
SEKOLAH
Remaja, yang Muda dan Bergelora
Sejarah telah memberi kesimpulan yang sama kepada penghuni bumi, bahwa
remaja/pemuda selalu menjadi ujung tombak sebuah zaman. Di tangannya tergenggam
masa depan. Di tangannya pula jawaban sebuah peradaban akan bermula.
Rasulullah Saw sendiri telah membuktikannya. Di awal perjuangannya, para
pemudalah yang beringan tangan menerima risalahnya. Mereka orang yang pertama
kali menerima, sekaligus orang yang pertama kali memperjuangkannya. Tidak
berlebihan jika beliau berpesan, “Saya wasiatkan para pemuda kepadamu dengan baik, sebab
mereka berhati halus. Ketika Allah mengutus diriku untuk menyampaikan agama yang bijaksana
ini, maka kaum mudalah yang pertama-tama menyambut saya, sedang kaum tua
menentangnya.”
Perhatian Rasulullah Saw terhadap para pemuda tentu saja bukanlah isapan
jempol semata. Beliau memiliki analisa yang matang atas peran dan posisi strategis
dalam diri pemuda. Sebagaimana sejarah mencatat kisah pemuda Kahfi dalam Al
Qur’an. Lihat asbabunnuzul dan tafsir Kahfi.
Pun sejarah mencatat kisah Usamah yang dalam usia masih delapan belas tahun
telah memimpin sebuah peperangan, padahal di sekitar mereka ada Umar bin Khattab
dan Abu Bakar yang lebih senior. Keberanian dan kepemimimpinan yang dimiliki
Usamah tentu saja muncul melalui pembentukan dan pembinaan diri yang sungguh-
sungguh melalui tangan-tangan dan kerja keras orang-orang yang berkompeten dengan
pendidikannya, termasuk Rasulullah Saw.
Sejarah juga telah mencatat kebesaran seorang anak kecil yang datang bersama
rombongannya ke hadapan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Anak kecil itu ditunjuk
mewakili mereka meskipun banyak orang yang lebih tua di hadapan mereka. Hingga
sang khalifah berkata, “Tunggu sebentar anakku, hendaklah berbicara orang yang lebih tua
dari engkau.”
Si anak itu pun tersenyum dan berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya
orang itu diukur oleh dua hal yang kecil yang ada pada dirinya. Dua hal itu adalah lidahnya dan
hatinya. Maka kalau seseorang itu dikaruniai oleh Allah lisan yang tajam dan hati yang besar,
maka sungguh ia telah berarti dalam hidupnya. Wahai Amirul Mu’minin, sekiranya segala
sesuatu didahulukan atas dasar usia, maka di sana ada orang yang lebih tua dari engkau yang
lebih berhak memangku jabatan khilafah ini.”
Uqbah bin Nafi, seorang pemuda, pun ketika kaki kudanya telah sampai di
lautan Atlantik yang membentang, dengan lantang ia berseru, “Ya Allah, Tuhannya
Muhammad, seandainya bukan karena lautan, tentu kubuka benua itu untuk meninggikan
kalimat-Mu. Ya Allah, saksikanlah diriku!”
Itulah tekad yang membara dari seorang pemuda yang telah terbentuk aqidah,
pola pikir (fikrah), dan amaliyahnya dengan Islam. Tidak sia-sia mereka memiliki
semangat yang meluap karena mereka mampu menatanya dengan ketaatan kepada
Allah Swt.
Kebesaran sejarah pemuda itulah yang disimpulkan oleh ulama besar Hasan Al-
Bana bahwa sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam
setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda
adalah pengibar panji-panjinya.
Mereka adalah para remaja yang beruntung karena mereka pandai
memanfaatkan masa mudanya sebagaimana isyarat Rasulullah Saw dalam sabdanya,
“Raihlah lima perkara sebelum datangnya yang lima, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu,
sehatmu sebelum masa sakitmu, kayamu sebelum datangnya miskinmu, kesempatanmu sebelum
datangnya kemiskinanmu, dan hidupmu sebelum matimu.”
Masa remaja adalah masa memuncaknya potensi, baik potensi kekuatan fisik
maupun potensi akalnya. Masa remaja juga menjadi masa yang penuh idealisme.
Mengarahkan idealisme yang ada dalam benak remaja menjadi tugas penting bagi
orang-orang yang berkompeten terhadap perkembangannya. Hal ini didukung oleh
karakter remaja yang semangat berapi-api, emosional, pantang menyerah, dan kadang
tidak realistik. Adakalanya remaja mudah dimanfaatkan untuk penyebaran suatu isme
tertentu. Keberhasilan penanaman isme dan prinsip itulah yang akan diperjuangkan
oleh remaja.
Abdullah Nashih Ulwan mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang
penuh tantangan, yang dengan tantangan itulah mereka akan mencapai kedewasaan,
kematangan, dan kepribadian yang benar-benar tangguh. Hal ini terkait dengan cara
mereka memahami tantangan. Jika mereka memahami tantangan sekedar menjadikan
dirinya mencapai simbol status yang diperhitungkan di tengah kelompoknya, tanpa
disertai pemahaman tantangan yang sesuai dengan nilai syar’i. Akhirnya, mereka
menjadi remaja yang bersemangat tetapi bebas nilai. Berbeda dengan mereka yang
memahami tantangan dengan sesuatu yang bermakna bermanfaat bagi sekitar dan
sesama.
Masa remaja sebagai masa tantangan ini didukung oleh kecenderungan remaja
untuk memisahkan diri dari ketergantungan orang tua. Upaya ini dilakukan untuk
menemukan identitas dirinya. Remaja memiliki individualitas yang mantap untuk
menjadi dirinya sendiri dengan kebesaran yang mereka miliki. Kebesaran diri ini akan
terbentuk dengan bingkai prinsip yang dipegangnya.
Lebih lanjut, Abdullah Nashih Ulwan juga mengatakan bahwa gelora remaja
adalah romantisme perjuangan. Mereka selalu menunjukkan dirinya sebagai manusia
berarti yang dapat memikul tanggung jawab besar. Mereka berusaha memunculkan diri
sebagai manusia yang memiliki poweritas sehingga eksistensi jiwa mudanya benar-
benar memancar dan diperhitungkan oleh lingkungannya. Kembali, hal ini terkait
dengan pemahaman objek perjuangan itu, yaitu apa yang diperjuangkannya. Remaja
tidak segan-segan berusaha sekuat tenaga dan berkorban dengan segala yang
dimilikinya untuk memperjuangkan apa yang diingininya. Maka, naif sekali jika kita
membiarkan mereka memperjuangkan sesuatu yang tidak bermanfaat atau mungkin
malah sesuatu yang salah.
Pemuda memiliki kekuatan dan semangat. Kekuatan dan semangat
memungkinkan mereka menjadi basis operasional dalam perjalanan da’wah. Energi
yang melimpah dari semangat yang memancar dari dirinya mampu menghasung beban
da’wah yang senantiasa mengembang. Namun, perlu kita sadar, di balik kekuatan dan
semangatnya, pemuda memiliki kepolosan. Sifat inilah yang memungkinkan para
pemuda menjadi basis kaderisasi dalam da’wah. Mereka mudah dibentuk dengan
menanamkan nilai-nilai yang akan memotivasi dan mengarahkan gerakannya.
Dari semua uraian di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa tanggung
jawab orang-orang yang berkompeten terhadap perkembangannya harus dimaknai
dengan benar dan sungguh-sungguh. Tugas mereka adalah mengarahkan kepada jalan
yang benar. Ini menjadi bagian dari rekayasa peradaban. Rekayasa dini terhadap para
remaja ini menjadi bagian dari percepatan pembangunan generasi, yang berarti
mempercepat kemanfaatan potensi mereka untuk peradaban yang dibentuk. Satu hal
lagi, bahwa rekayasa pembangunan generasi ini juga harus dilakukan secara integratif
(?).
Pembinaan yang dilakukan Rasulullah Saw terhadap para sahabat yang masih
sangat muda ini pun bagian dari rekayasa pembangunan generasi secara dini dan
integratif. Ali bin Abi Thalib dibina sejak usia delapan tahun. Zubair bin Awwam
delapan tahun. Arqam bin Abi Arqam sebelas tahun, Ja’far bin Abi Thalib delapan
tahun, Shahih Ar Rumy sembilan belas tahun, Zaid bin Haritsah dua puluh tahun. Saad
bin Abi Waqqash tujuh belas tahun, Utsman bin Affan tujuh belas tahun, Usamah bin
Zaid bin Haritsah masih berusia belasan tahun ketika terpilih menjadi pemimpin
pasukan muslim yang dikirim ke wilayah perbatasan Arab-Romawi pada detik-detik
terakhir kehidupan Rasulullah Saw.
Rekayasa dini ini pun mendapatkan hasil yang tidak sia-sia. Dalam sejarah
berikutnya pun kita dapat melihat sosok-sosok yang tidak kalah hebat. Asy-Syahid
Abdullah Azzam telah terjun ke medan jihad sejak usia tujuh belas tahun. Dalam
usianya yang sangat muda ini, beliau juga telah ikut serta membina para mujahiddin.
Asy-Syahid Hasan Al-Bana dengan kematangan pribadinya telah menjadi penggerak
kebangkitan Islam dengan pendirian Jama’ah Ikhwanul muslimin pada usia yang masih
sangat muda, yaitu dua puluh dua tahun.
Subhanallah ....

Remaja Kita Hari Ini


Namun sayang, generasi sahabat dan para pendahulu yang hebat itu tidak
mudah kita temui pada zaman ini. Banyak hal terjadi dalam pergeseran-pergeseran
zaman yang membuat kita sulit mendapatkan gelora semangat yang luar biasa seperti
yang mereka miliki itu. Bukan saja untuk para remaja, tetapi juga untuk semua umat
Islam, termasuk diri kita.
Pergantian zaman telah memperlihatkan kepada kita bahwa ada sederet kondisi
yang sangat tidak kondusif untuk mengoptimalkan peran remaja sebagai basis
operasional dan basis kaderisasi. Kondisi yang tidak kondusif itu menjadi bagian dari
problematika umat yang harus segera ditangani.
Tantangan globalisasi muncul dengan menderasnya infiltrasi budaya asing
melalui berbagai media cetak dan elektronik yang sarat denga nilai-nilai perang
pemikiran (ghazwul fikri) dan demoralisasi. Remaja menjadi bagian dari sasaran ini.
Dengan kondisi psikologis dan perkembangannya, remaja menjadi objek pasar yang
paling besar.
Harian ibu kota baru-baru ini melaporkan bahwa program televisi MTV (Music
Television) telah mengalahkan popularitas soft drink Coca Cola di mata remaja. Siaran
televisi musik global yang dikelola jaringan Yahudi Internasional dengan membidik
segmen remaja ini telah memiliki kawasan-kawasan yang lebih spesifik seperti MTV
Amerika Latin, MTV Eropa, MTV Asia Tenggara, bahkan MTV Indonesia. Dari syair
lagu-lagunya, tampilan penyanyi dan penari latarnya yang erotis, sampai dengan iklan-
iklannya, program musik ini menawarkan nilai-nilai destruktif kepada remaja.
Anehnya, para remaja justru bangga dengan julukan generasi MTV.
Selain karena alasan suka musik, kebanggaan remaja atas julukan itu sebenarnya
menjadi wujud keinginan mereka untuk masuk dalam komunitas yang mereka
ciptakan. Para remaja sangat peduli terhadap lingkungan teman sebaya (peer group)
sehingga mereka akan mengikuti sesuatu yang dianggap trend saat itu. Mereka merasa
malu atau khawatir jika mendapat julukan kurang pergaulan (kuper) karena tidak bisa
mengikuti perkembangan dan arus trend itu.
Hal itulah agaknya yang melatarbelakangi meluapnya para penonton, yang pada
umumnya remaja, pada setiap pertunjukan artis musik yang tengah naik daun dan
dianggap trend oleh remaja. Histeria para remaja terjadi di kalangan mereka saat
berjumpa dengan para artis idola. Ironisnya, karena artis idola ini mereka tidak segan-
segan mempertaruhkan nyawanya. November 2000 silam pertunjukan Sheila On 7 di
Lampung merenggut lima nyawa remaja putri. Dan belum lama ini 18 Maret 2001
jumpa penggemar a1 di Mal gerai Disk Tarra, Mal Taman Anggrek Jakarta Barat
merenggut nyawa 4 remaja putri yang berusia 13, 15, 17, dan 20 tahun.
Selain musik, narkoba juga menjadi penyakit remaja yang merusak. Dalam Warta
Kota 24 Januari 2000 disebutkan bahwa di Jakarta, 60% dari 1 – 1,5 juta pecandu narkoba
adalah remaja di mana setiap harinya 1 orang tewas karena over dosis. Lebih khusus
lagi, dalam Kompas Cyber Media 10 Agustus 2000, Depdiknas DKI Jakarta melaporkan
kepada Menteri Pendidikan Nasional, Yahya Muhaimin, bahwa 1015 siswa di 166 SMU
di Jakarta selama tahun 1999/2000 telah terlibat tindak pidana narkoba.
Di Surabaya, empat puluh enam pelajar digaruk saat ajojing di diskotek Bandara.
Mereka baru saja pulang dari sekolah. Seragam sekolah dimasukkan ke dalam tas dan
mereka berganti baju tank top. Untuk melakukan ini mereka harus membolos pelajaran
terakhir. Tidak hanya disko, saat digerebek ditemukan ceceran obat terlarang/narkoba
dan gelas-gelas minuman keras bergeletakan di meja.
Seks pun menjadi lahan empuk untuk menggiurkan remaja. Melalui berbagai
media, seks diekspos sebagai daya tarik utama. Media cetak, baik yang
memproklamirkan dirinya sebagai majalah seks maupun majalah biasa saja,
memampang gambar-gambar dan bahasan-bahasan seks bebas yang bisa menggoda
para remaja. Seks pun bukan menjadi benda mahal karena ia bisa dinikmati di setiap
tempat, bahkan di jalan-jalan di warung penjaja majalah jalanan.
VCD menjadi pelengkap media seks ini. Dengan harga yang sangat murah, para
remaja bisa menikmati tontonan seks bebas. Internet pun begitu. Berbagai situs, baik
lokal maupun internasional, menjadi langganan tetap para remaja. Tanpa malu-malu
lagi mereka memberondong warnet-warnet sepulang sekolah masih dengan seragam
kebesarannya untuk menyaksikan adegan-adegan pemuas syahwat mereka.
Lalu, muncullah berbagai kasus yang melibatkan para remaja itu. Belum lama di
Bandung heboh dengan munculnya ‘dokter’ Fajrul yang menggarap tujuh anak
perempuan. Lelaki kecil 16 tahun itu mengaku meniru pelajaran seks yang dilihatnya di
VCD. Akhirnya, dengan dalih bermain dokter-dokteran, ia pun mencari korban.
Kasus seperti itu sebenarnya bukan yang pertama. Sebelumnya banyak
ditemukan kasus yang menjerat perilaku seks bebas. Seorang lelaki muda akhirnya
membunuh seorang gadis mahasiswi berjilbab yang melawannya saat ia mau
membuktikan kehebatan dirinya. Film import murahan dari Hongkong, Gigolo In
Murder, memberi pemahaman yang salah atas kehebatan seorang lelaki. Ia ingin hebat
seperti gigolo itu karena ia selalu berhasil mengajak kencan perempuan dan
membunuhnya.
Data penelitian pun berbicara tentang hal ini. Republika 16 September 2000
menulis bahwa Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Wonosobo
melaporkan 1/3 remaja putri telah hamil di luar nikah. Sementara itu, Kompas 3 Juli
2000 menulis bahwa PKBI cabang Jogjakarta melaporkan setiap bulan ada anak kost
yang hamil di luar nikah.
Kompas 9 Maret 2000 juga menulis hasil survei yang dilakukan Chandi Salmon
Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu. Dari survei itu ditemukan 42%
remaja menyatakan pernah berhubungan seks dan 52% di antaranya masih aktif
menjalaninya. Survei yang dilakukan di Rumah Gaul Blok M ini melibatkan 117 remaja
berusia sekitar 13-20 tahun.
Sementara itu, dari laporan UNICEF tentang situasi anak dunia tahun 2000
diketahui bahwa setiap menit ada 6 remaja tertular HIV/AIDS di dunia. Kompas Cyber
Media 13 Juli 2000 lebih lanjut mengatakan bahwa di Indonesia sedikitnya ada 1235
orang penderita HIV dan 611 atau sekitar 50%-nya adalah para remaja berusia 15-29
tahun.
Selain seks, tawuran juga menjadi bagian problematika remaja kita. Dengan
alasan yang sepele mereka mudah meluapkan amarah dan emosi. Kejantanan mereka
uji di tengah medan tawuran. Senjata tajam dan makian pun menjadi bagian dari
kehidupan remaja ini.
Frekuensi tawuran di DKI Jakarta tidak pernah turun. Kompas 11 Oktober 2000
menyebutkan bahwa dalam sehari terjadi berbagai peristiwa tawuran di Jakarta dengan
senjata tajam dengan korban tewas dan luka-luka berat. Sedikitnya 5 pelajar tewas
dalam tawuran selama tiga minggu pertama tahun ajran 1999/2000. Pada penelitian Dr.
Winarini Wildan Mansoer, dosen Fakultas Psikologi UI pada tahun 1997 tawuran
melibatkan 137 sekolah (10% SLTP), 247 titik rawan di jalanan, dan 11 titik rawan di
terminal.
Upaya kekerasan pada tingkat pelajar ternyata telah lebih seru terjadi di
Amerika. Penembakan yang dilakukan seorang siswa telah terjadi berulang kali.
Misalnya pada April 1999, dua siswa menembali 12 siswa dan seorang gurunya di SMU
Columbine di Litleton, Colorado, yang akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup
mereka. Lalu, sekitar Desember 1997, seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun
melakukan tindak kekerasan serupa. Siswa SMU Heath di West Paducah, Kentucky,
membunuh tiga orang siswa yang tengah menghadadiri misa. Dan terakhir SMU Pearl,
Mississippi, seorang siswa berusia 16 tahun tanpa ampun menikam ibunya di rumah.
Setelah itu ia melanjutkan aksinya ke sekolah itu. Di tempat itu ia membunuh dua siswa
termasuk mantan pacarnya.
Namun, bukan hanya masalah besar seperti ini sebenarnya yang menjadi sumber
problematika remaja. Penanaman nilai yang paling mendasar justru menjadi masalah
utama: materialisme, hedonisme, konsumerisme, sekularisme, dan mungkin
anarkhisme. Misi ideologis yang salah telah menjadi racun bagi para remaja sehingga
orientasi hidup menjadi kabur.
Data-data yang telah disebutkan di atas memang tidak bisa disamaratakan
untuk semua remaja. Bisa saja kita melegitimasi bahwa perbandingan remaja yang
terlibat dalam kasus itu dengan remaja yang tidak memiliki keterlibatan sama sekali,
masih terlalu kecil untuk mengatakan itu sebagai masalah. Toh, masih banyak para
remaja yang baik-baik saja. Toh, masih banyak para remaja yang berperan sebagai
pengamat saja. Toh, masih ada remaja yang khusyu di pojok-pojok masjid, meskipun
hanya segelintir saja.
Namun, upaya solutif tetap menjadi langkah yang paling baik. Peluang remaja
untuk terlibat di dalamnya pun ada dan itu bukan sesuatu yang mustahil. Apalagi jika
konsumsi perangsang itu terus mengalir. Kita boleh memprediksi, apa yang terjadi dua
tahun mendatang atau malah sepuluh tahun mendatang? Adakah banyak bisa
ditemukan remaja yang bersih dan bebas dari pencemaran demoralisasi itu? Kita yakin,
jawaban iya hanya dapat kita peroleh jika kita mampu memerankan diri dengan
memberi lingkungan yang kondusif untuk pendidikan mereka.

Mereka Adalah Pelajar


Ironisnya, di antara para remaja yang terdata dalam demoralisasi itu adalah para
pelajar yang tengah duduk di bangku sekolah, yang tengah dipersiapkan menjadi
generasi pengganti perbaikan. Berbagai upaya yang dilakukan sekolah sebagai tempat
tinggalnya, ternyata tidak cukup mempan menjawab problematika remaja ini. Padahal,
sebenarnya remaja sebagai pelajar memiliki peran yang sangat potensial. Mereka
memiliki potensi intelektualitas yang memadai dan lingkungan yang semestinya lebih
kondusif karena berbagai kontrol sekolah yang melingkupinya.
Kenapa demikian?

Orang Tua, Masyarakat, dan Sekolah


Setidaknya ada tiga elemen yang memegang kunci jawaban problematika remaja
ini. Ketiga elemen yang secara langsung berhubungan dengan proses pembentukan dan
pendidikan pelajar ini adalah orang tua, masyarakat, dan sekolah.
Orang tua menjadi pelaku pendidikan remaja yang memegang peran besar.
Orang tua menjadi pendidik, pemantau, dan pengarah sejak mereka kecil, bahkan sejak
mereka bayi. Hal ini menjadi realisasi kewajiban orang tua terhadap pendidikan anak-
anaknya.
Sebagaimana Allah Swt berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(QS. At Tahrim 6)
Rasulullah Saw juga mewasiatkan kewajiban ini dengan sabdanya, “Ajarkanlah
kebaikan kepada anak-anak kamu dan keluarga kamu, dan didiklah mereka.” (HR. Abdur
Razzaq dan Sa’id bin Manshur)
Perhatian para pendahulu atas kewajiban mendidik anak ini juga tampak nyata
dalam kehidupannya. Kesungguhan mereka dapat dilihat dari nasihat Abdul Malik bin
Marwan ketika menasihati seorang sahabatnya, “Ajarkanlah kebenaran kepada mereka
sebagaimana kamu mengajarkan Al Qur’an kepada mereka. Bawalah mereka kepada akhlaq yang
baik. Riwayatkanlah syi’ir kepada mereka sehingga mereka berani. Berilah mereka teman-teman
dari orang-orang yang mulia dan ahli ilmu. Jauhkanlah mereka dari orang-orang yang rendah
dan tercela, karena mereka itu orang-orang yang tidak baik budi pekertinya. Besarkanlah mereka
jika mereka berterus terang, dan celalah mereka jika mereka sembunyi-sembunyi. Pukullah
mereka jika mereka berdusta. Sesungguhnya dusta itu akan membawa kepada perbuatan dosa
dan dosa itu akan membawa kepada api neraka ....”
Orang tua harus memberikan identitas diri anaknya sejak kecil. Tiada identitas
yang paling sempurna kecuali identitas bahwa mereka adalah seorang muslim yang
harus patuh kepada Allah. Penanaman identitas ini menjadi bekal yang akan
dibawanya sampai kehidupannya berakhir, sehingga pada masa remaja mereka tidak
lagi mencari identitas lain, kalaupun masa remaja dikenal sebagai masa pencarian
identitas diri. Kalaupun mereka berada pada masa pencarian ini, bukanlah identitas
yang dikejarnya, tetapi potensi dan minatlah yang akan digalinya.
Namun, bukan berarti orang tua boleh mengabaikan perkembangan fisik dan
psikologis anak pada masa remaja itu. Orang tua justru menjadi pendamping anak saat
mereka menghadapi perubahan fisiknya, pergaulannya dengan sesama maupun lawan
jenisnya, kebebasan emosionalnya dan mengarahkan kepada stabilitas emosi yang
mantap, serta saat mereka menggali potensi dan kemampuan dirinya.
Orang tua juga berkewajiban memperkuat penguasaan diri anak saat remaja
dengan menanamkan nilai-nilai dien sebagai pedoman untuk menentukan sikap. Bekal
dien bagi seorang remaja akan menjadi bekal yang abadi, yang akan dibawanya seumur
hidupnya. Sebagaimana Abu bakar meninggalkan Allah dan Rasul-Nya kepada anak-
anaknya.
Semua peran yang dimainkan orang tua, seperti telah disebutkan di depan,
hanya akan bisa terlaksana dengan baik jika ada komunikasi yang lancar dengan anak.
Dengan pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang perkembangannya saat
remaja, orang tua akan memberi perlakuan dan sikap yang sesuai.
Selain orang tua, masyarakat pun menjadi bagian dari elemen yang bertanggung
jawab terhadap pendidikan remaja pelajar ini. Kontrol sosial masyarakat dipertegas
dengan memberikan pemantauan atas berbagai upaya demoralisasi itu. Kontrol sosial
ini dapat dibangun melalui kelompok-kelompok masyarakat maupun aparat birokrasi.
Tuntutan ketegasan terhadap aparat birokrasi ini pun harus senantiasa dibangun.
Kerjasama yang baik antara keduanya dalam menciptakan kontrol sosial ini akan
mewujudkan terciptanya lingkungan yang sehat untuk remaja pelajar.
Sekolah sebagai bagian dari pendidikan dan tempat hidupnya, memiliki peran
yang sangat besar dalam membentuk kepribadian remaja. Hal ini sangat signifikan
dengan posisi sekolah bagi pelajar.
Sekolah merupakan tempat hidup yang tetap bagi pelajar. Dari pagi sampai siang
selama enam hari dalam seminggu, mereka ada di sekolah. Hal ini berarti minimal 25%
waktunya dalam sehari mereka habiskan di sekolah, dan akan bertambah jika pelajar
aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Selain karena intensitas keberadaan pelajar tersebut, sekolah memegang peran
yang besar dalam pembentukan dan pendidikan pelajar karena posisinya sebagai
lembaga formal pendidikan. Di dalamnya terdapat proses pendidikan, proses belajar
mengajar. Proses pendidikan antara pengajar dengan pelajar dengan instrumen dan
sarana pendidikan yang memadai seharusnya mampu menjadi pendukung
keberhasilan perannya.
Namun sayang, tidak selamanya fenomena berbicara demikian. Peran sekolah
tidak semuanya bisa berjalan secara optimal. Sering kita jumpai para pengajar hanya
transfer ilmu kepada pelajar saja. Mereka sekedar menjalankan tugas menyampaikan
target materi. Ikatan yang erat antara pengajar dengan siswanya kadang tidak
terbentuk. Pantauan terhadap pembinaan dan perkembangannya pun menjadi
terbengkalai.
Tidak optimalnya peran pengajar ini kadang dilengkapi juga dengan masalah
rendahnya kualitas pengajar. Kreativitas pengajar tidak terbentuk. Pengurus Besar
Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Prof. Dr. Mohammad Surya mengatakan
bahwa kondisi ini terjadi sebagai akibat adanya suatu sistem yang tidak memberikan
posisi sentral kepada tenaga kependidikan. Tidak ada penghargaan yang wajar buat
pengajar. Melengkapi pendapat ini Direktur Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis, Eddy
Suwarni mengatakan bahwa masalah kesejahteraan memiliki kaitan erat dengan
rendahnya kualitas guru. Kemampuan finansial yang minim mengakibatkan guru
kurang bisa mengembangkan kreativitasnya. Kesejahteraan dan kemampuan finansial
ini menjadi bagian dari penghargaan itu.
Terlepas dari penghargaan sistem itu, rendahnya kualitas guru muncul juga
dikarenakan oleh pemahaman bahwa pengajar merupakan pusat sistem pendidikan.
Pengajar merupakan pelaku utama yang langsung berhubungan dengan pelajar.
Mereka memiliki tanggung jawab yang besar terhadap proses pendidikan pelajar. Oleh
karena itu, mereka tidak hanya dituntut pandai tetapi mereka juga harus memiliki
kualitas moral yang baik.
Proses pendidikan tidak hanya proses penyampaian materi. Namun, pendidikan
juga merupakan proses pembentukan sosok. Generasi yang diharapkan muncul untuk
memegang masa depan bukan saja generasi yang cemerlang otaknya, tetapi mereka
adalah generasi yang memiliki moral. Oleh karena itu, seorang pengajar juga
berkewajiban menanamkan nilai moral dan etika kepada pelajar. Bagi seorang muslim,
moral dan etika itulah yang akan membentuk pelajar memiliki kepribadian Islam yang
mantap.
Selain pengajar, dalam lingkup sekolah, kurikulum menjadi unsur pendidikan
yang tidak bisa diabaikan. Dalam sekolah menengah, porsi moral dan etika yang
terbingkai dalam pelajaran agama hanya mendapat bagian dua jam dalam seminggu,
meskipun bagian ini masih lumayan dibanding pada saat kuliah yang mungkin hanya
mendapat porsi empat SKS selama kuliah yang mungkin sampai 150-an SKS.
Hal ini masih didukung dengan sistem pendidikan kita yang masih berpijak
pada sekularisme (pemilahan agama dan keduniaan). Hal yang demikian sebenarnya
akan melahirkan problem ke tubuh umat Islam sendiri. Dalam moral, sistem
pendidikan itu tidak memberikan landasan yang kuat tentang baik dan buruknya atau
benar dan salahnya, berdasarkan ajaran Islam.
Menuntut pola pendidikan Islam memang tidak mungkin dalam kondisi kita
sekarang ini, apalagi dengan berbagai label sekolah yang berbeda. Ada madrasah,
muhammadiyah, sekolah umum, pesantren, dan sebagainya. Namun, perintisan tetap
menjadi bagian dari upaya islamisasi pendidikan yang bersumber pada penerapan
Islam sebagai pedoman hidup (minhajul hayah). Pengajar, kurikulum, dan perangkat
pendidikan lainnya tetap menjadi bagian dari medan da’wah yang harus disentuh.
Pengkondisian atas beberapa hal tersebut diharapkan dapat menciptakan suasana yang
kondusif untuk mendukung da’wah sehingga kasus-kasus yang berkaitan dengan
da’wah dan penerapan Islam, seperti kasus jilbab, dapat terselesaikan dengan baik.
Pendidikan Islam
Cari referensi, untuk memastikan bahwa pendidikan Islam tidak diperoleh si
sekolah sehingga mereka harus mendapatkannya di da’wah pelajar
(melengkapi)

Dua,
LAHAN
DA’WAH PELAJAR
Menjadi Prioritas
Sebagai suatu kewajiban bagi setiap muslim, da’wah tidak memandang status,
baik status pelakunya maupun status objek da’wahnya. Kewajiban da’wah ini harus
diemban oleh semua manusia dari berbagai kalangan –kalangan atas atau kalangan
bawah- dan dari berbagai profesi –akademik, kedokteran, tukang becak, seniman, dan
sebagainya.
Allah Swt selalu mengingatkan dengan firman-Nya,
“Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-
orang yang musyrik.” (QS. Yusuf 108)
Tanpa memandang status dan profesi, setiap muslim yang mengaku mengikuti
Allah dan Rasul-Nya, maka ia berkewajiban melewati jalan itu, yaitu jalan untuk
mengajak manusia dalam kebaikan dan kebenaran Allah.
Selain kepada pelakunya, da’wah juga tidak membeda-bedakan objek da’wah.
Rasulullah Saw berda’wah kepada para pembesar dan bangsawan Quraisy, rakyat
miskin, orang buta, orang tua, anak kecil, juga para pemuda. Semuanya mempunyai
hak yang sama untuk mendapatkan seruan da’wah.
Selain memenuhi hak setiap orang, Rasulullah Saw kadang memprioritaskan
objek da’wah karena beberapa potensi dan alasan strategis. Salah satu objek da’wah
yang dibidik Rasulullah Saw dalam da’wah karena kestrategisannya ini adalah para
remaja. Remaja memiliki banyak potensi yang akan berkembang dengan optimal jika
digarap dengan baik.
Hal ini bisa dilihat dari kesaksian Rasulullah Saw atas mereka dengan katanya,
“Saya wasiatkan para pemuda kepadamu dengan baik, sebab mereka berhati halus. Ketika Allah
mengutus diriku untuk menyampaikan agama yang bijaksana ini, maka kaum mudalah yang
pertama-tama menyambut saya, sedang kaum tua menentangnya.”
Dengan mengikuti tahap kematangannya, pada masa remaja ini kondisi fikriyah,
ruhiyah, dan jasadiyah lebih mudah terbentuk. Kesegaran otaknya lebih memudahkan
mereka memahami Islam, menyerap informasi da’wah, dan menanamkannya menjadi
keyakinan di dalam jiwa. Kebersihan hati dan kepolosannya memudahkan mereka
untuk menanamkan Allah di dalam hatinya. Kekuatan fisiknya memudahkan mereka
untuk mewujudkan sebuah perubahan dengan manuver dan aktivitas da’wahnya.
Begitu Rasulullah Saw telah menggarap lahan da’wah ini sehingga mereka
tampil sebagai pendukung risalah Islam dan penyebarannya. Pada masa ini, komunitas
para pemuda itu bisa ditemui di bangku sekolah. Merekalah para pelajar yang memiliki
potensi dan kesempatan untuk mengembangkan diri.
Masa sekolah, terutama sekolah menengah, adalah masa yang paling berkesan
bagi remaja. Di sekolah mereka melewatkan pematangan dan perkembangan dirinya
bersama teman-teman sebayanya (peer group). Mereka akan melewatkan masa suka
dukanya di sekolah, mendapatkan persahabatan yang tulus dengan kelompoknya, dan
menterjemahkan keinginan dirinya bersama kelompoknya itu. Karena itulah, masa
sekolah dapat menjadi masa yang sangat efektif untuk memulai pembinaan ini. Yaitu,
dengan membersamainya melalui aktivitas da’wah pelajar.

Menata Orientasi
Sebagaimana da’wah pada umumnya, da’wah pelajar berorientasi pada
terbentuknya sosok pelajar yang berkepribadian Islam yang terpancar dari akhlaqnya
yang bersih. Hal ini terwujud melalui pembentukan aqidah yang bersih juga.
Penekanan atas pengenalannya pada Allah dan Rasul-Nya serta Islam itu sendiri
diharapkan menjadi pedoman dalam setiap langkahnya. Ia bukan pelajar yang tidak
memiliki orientasi, tetapi ia menjadi pelajar yang mampu menjiwakan pengabdiannya
pada Allah dalam setiap aktivitasnya. Ia berakhlaq islami di dalam maupun di luar
kelas, bahkan di luar sekolah pun.
Dengan orientasi ini, da’wah pelajar mengharapkan terbentuknya sosok pelajar
yang mampu memberi contoh dengan amal nyata. Ia tidak akan terbentuk sebagai
seorang pelajar yang hanya mampu menguasai berbagai teori dari pelajaran-
pelajarannya di sekolah, tetapi ia juga mampu menerapkan dan memaknainya sebagai
sebuah kebesaran Allah. Tidak hanya berhenti sampai di sini, penerapan ilmu yang
diperolehnya selalu diberikannya untuk kemaslahatan umat dalam lingkup yang lebih
luas dan dalam jangka waktu yang lebih panjang sampai ia memasuki dunia baru di
luar sekolahnya.
Bukan hanya membentuk kepribadian, da’wah pelajar juga berorientasi pada
terbentuknya generasi pendukung nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, penekanan
atas nilai tanggung jawab terhadap umat selalu menjadi bagian pendidikannya. Da’wah
pelajar bukan hanya berorientasi pada pembentukan kepribadian, tetapi pada
penyiapan pelajar untuk menjadi pelaku da’wah di sekolahnya. Perubahan-perubahan
yang bergulir untuk islamisasi sekolah menjadi tanggung jawab yang dibebankan
untuknya. Dalam jangka panjang, objek da’wah ini akan dipersiapkan menjadi
pemegang estafet da’wah selanjutnya di masyarakat.
Sebagai pemegang estafet da’wah, para pelajar datang bukan tanpa modal atau
perbekalan. Kompetensi-kompetensi –imani, ilmiy, fanni jasadi, dan sya’bi- yang
ditekankan dalam da’wah pelajar menjadi ajang persiapan terbentuknya generasi yang
memiliki berbagai keahlian. Dengan bekal-bekal inilah, diharapkan lahir generasi da’i
yang memiliki berbagai kafaah (keahlian) yang memadai untuk mengelola da’wah
pelajar dan da’wah dalam lingkungan yang lebih luas pada tahap berikutnya.
Da’wah pelajar juga menjadi ajang yang tepat untuk menumbuhkan bakat
kepemimpinan dari objek da’wahnya. Pemberdayaan secara dini dalam da’wah bagi
objek pelajar akan menjadikannya sebagai sosok yang memiliki banyak pengalaman.
Mereka belajar dari pengalaman dan membaca zaman dengan pengalamannya serta
berbuat dengan pengalamannya.
Generasi produk da’wah pelajar yang seperti inilah yang mampu menghadapi
masa depan dengan berbagai tantangannya. Bagaimanapun, ia adalah aset yang sangat
berharga yang akan mengharumkan peradaban. Generasi yang demikian mampu
menjadi batu bata yang baik dalam bangunan peradaban Islam di masa mendatang.
Da’wah pelajar tidak hanya berorientasi pada terbentuknya individu pelajar yang
memiliki berbagai kelebihan dengan kualitas keislamannya. Dalam wilayah yang lebih
luas, da’wah pelajar juga berorientasi pada terbentuknya atmosfer kehidupan pelajar
yang islami baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat pelajar umumnya. Da’wah
pelajar diharapkan mampu mengubah kultur jahiliyah yang menjadi sentral masalah
para remaja. Sebut saja di sini free seks, narkoba, tawuran pelajar, VCD porno,
pergaulan bebas, dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan ini tidak dipungkiri
menjadi suatu masalah besar dalam sekolah. Melalui da’wah pelajar inilah, kultur
jahiliyah itu akan tereduksi menjadi kultur yang islami sehingga akan terbentuk
lingkungan yang nyaman, yang sangat mendukung optimalisasi potensi para pelajar.

Medan Da’wah Pelajar


Da’wah pelajar merupakan aktivitas da’wah yang melibatkan seluruh unsur
sekolah sebagai institusi yang melingkunginya, baik sebagai objek da’wahnya maupun
sebagai pelakunya. Seluruh unsur sekolah ini menjadi pendukung keberhasilan da’wah
pelajar. Oleh karena itu, keberhasilan da’wah ini juga tergantung dengan dukungan dan
peran aktif setiap unsur dan perangkat yang ada di sekolah.
Pelajar atau siswa merupakan pusat objek da’wah pelajar. Oleh karena itu, ruang
gerak da’wah pelajar lebih ditekankan pada proses pembinaan siswa ini. Selain sebagai
objek da’wah, siswa ini juga menjadi pelaku da’wah dalam lingkungan sekolah, yang
secara langsung berinteraksi dengan sekolahnya. Siswalah yang akan menjadi pelaku
utama Islamisasi sekolah melalui berbagai sarana, seperti ROHIS dan kegiatan
ekstrakurikuler yang lain.
Sebagai pusat objek da’wah, pendekatan terhadap pelajar pun harus menjadi
prioritas. Pengenalan terhadap medan da’wah yang berlabel siswa ini menentukan
keberhasilan pendekatannya. Secara umum, pelajar memiliki karakter psikologis yang
sama. Namun, lingkungan yang berbeda dari setiap sekolah akan membentuk kekhasan
dalam hal-hal tertentu. Kekhasan ini juga menjadi pertimbangan bagi para aktivis
da’wah pelajar untuk menentukan metode pendekatan dan program-program
da’wahnya.
Keberadaan siswa di sekolah tidak bisa dipisahkan dengan perangkat sekolah
yang lain, seperti kepala sekolah, guru, dan karyawan sekolah. Objek da’wah pun akan
meluas dalam perangkat-perangkat ini. Melalui berbagai pendekatan, perangkat-
perangkat sekolah ini juga diharap peran aktif dan dukungannya dalam aktivitas
da’wah pelajar ini. Bukan hanya sebagai pendukung, dalam jangka panjang, perangkat-
perangkat sekolah ini juga diharapkan berjalan bersama dalam aktivitas da’wah pelajar
di sekolah.
Guru dan kepala sekolah sebagai bagian dari medan da’wah pelajar memiliki
peran yang sangat besar dalam da’wah ini. Guru memiliki posisi sebagai pemimpin
dalam aktivitas belajar mengajar. Ia adalah orang yang mendidik, mengajar, dan
membimbing para siswanya karena ialah yang menguasai ilmu itu. Kedudukan guru
dalam hal ini akan menjadikannya sebagai sosok yang memiliki nilai plus di mata
siswa, apalagi jika ia memiliki kelebihan-kelebihan dan teladan yang baik. Dengan
demikian, suara arahan dari guru akan banyak didengar oleh siswa.
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan kebijakan
sekolah. Kepala sekolah sangat berpengaruh bagi keseluruhan aktivitas dan kultur
suatu sekolah. Dukungan dan respon positifnya menjadi kekuatan yang melicinkan
program-program da’wah di sekolah.
Oleh karena itu, pendekatan terhadap medan da’wah ini –guru dan kepala
sekolah- pun menjadi prioritas. Melalui berbagai silaturahmi dan pendekatan, para
aktivis da’wah pelajar berusaha mengkomunikasikan da’wah ini sehingga kelancaran
da’wah bisa terwujud.
Keberadaan siswa dan perangkat-perangkat sekolah itu pun tidak bisa
dilepaskan dari peraturan sekolah yang menjadi pegangan dan pedoman dalam
pelaksanaan sekolah. Da’wah pelajar berkompeten terhadap peraturan sekolah ini.
Sekolah yang telah terwarnai dengan nilai da’wah, tentu saja akan menetapkan suatu
aturan yang mendukung nilai da’wah itu. Sebut saja misalnya aturan pemakaian jilbab
bagi siswa putri. Sekolah yang terwarnai dengan nilai da’wah tidak akan mempersulit
pelaksanaan kewajiban ini. Ini pun selalu terkait dengan pendekatan terhadap orang-
orang yang berkompeten terhadap pembuat kebijakan atau peraturan di sekolah.
Sarana sekolah itu pun menjadi bagian dari keberhasilan da’wah pelajar. Sarana
sekolah dengan berbagai kelengkapan fasilitasnya akan menjadi penunjang pelaksanaan
program da’wah pelajar ini: masjid atau mushola yang memadai menjadi tempat yang
nyaman untuk aktitas da’wah, kelengkapan sound system, karpet atau tikar,
auditorium atau aula, halaman yang nyaman, dan sebagainya. Pendekatan terhadap
pihak-pihak yang berkompeten terhadap urusan ini pun harus diperhatikan. Selain
sebagai bagian dari objek da’wah, mereka juga akan menjadi mitra yang mendukung
berlangsungnya aktivitas da’wah pelajar.
Da’wah pelajar juga berkompeten terhadap kegiatan intra sekolah maupun
kegiatan ekstrakurikuler: OSIS, ROHIS, Pramuka, Palang Merah Remaja, Karya Ilmiah
Remaja, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di sekolah menjadi
sarana pelaksanaan da’wah pelajar yang berkompeten terhadap penggarapan
kemampuan imani, ilmiy, fanni, dan jasadi. Kalaupun selama ini ADS bergelut dengan
ROHIS, bukan berarti medan da’wah pada kegiatan intra dan ekstra itu hanya di
ROHIS. ROHIS menjadi perhatian utama karena wadah itulah yang secara langsung
berkompeten terhadap program pembinaan dan aktivitas da’wah sekolah ini. Dan perlu
diingat bahwa wadah kegiatan lain tidak boleh diabaikan. Islamisasi sekolah juga
menyentuh pada medan da’wah kegiatan intra dan ekstra sekolah ini.
Lembaga alumni pun tak kalah penting dalam kelangsungan da’wah sekolah.
Alumni sebagai pelaku da’wah pelajar harus memiliki wadah yang bisa diterima secara
formal oleh sekolah untuk melancarkan program-programnya. Keaktifan alumni
dengan lembaganya akan menjadi pintu yang baik untuk memasuki arena da’wah
pelajar ini. Kerjasama yang baik antara lembaga alumni dan lembaga da’wah sekolah
yang biasanya diampu oleh ROHIS harus terjalin dengan baik.
Di luar lingkungan sekolah, bimbingan belajar menjadi satu lingkungan baru
yang perlu digarap, apalagi dengan maraknya bimbingan belajar akhir-akhir ini. Siswa
perlu mendapat lingkungan belajar di luar sekolah yang dapat mendukung pembinaan
dirinya (tarbiyah). Bimbingan belajar yang lebih banyak berperan dalam kompetensi
ilmiy pun harus mendapat sentuhan da’wah. Bukan hanya bimbingan belajar, wadah
(wajihah) dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun Organisasi
Masyarakat (Ormas) yang bersegmen pelajar, yang mendukung perjalanan da’wah
pelajar, pun menjadi bagian dari medan da’wah ini.
Perangkat-perangkat dan segala sesuatu yang terdapat dalam medan da’wah
pelajar –seperti telah diuraikan di depan- adalah bagian aktivitas da’wah pelajar. Semua
perangkat saling terkait. Kepincangan satu perangkat akan berimbas pada aktivitas
da’wah pelajar secara global.
Untuk aktivitas yang berhubungan dengan sebuah sekolah, medan da’wah ini
dapat dilakukan oleh aktivis da’wah pelajar di sekolah masing-masing. Namun, tidak
semua upaya mewujudkan islamisasi medan da’wah ini dapat dilakukan secara infirodhi
(sendiri-sendiri) dalam sekolah lokal masing-masing.
Sebagai contoh adalah bimbingan belajar, LSM, dan Ormas yang bersegmen
pelajar. Wadah itu menjadi bagian dari medan da’wah yang harus dikerjakan bersama
(amal jama’I). Penggarapan medan da’wah ini menjadi melibatkan dukungan semua
aktivis da’wah pelajar. Dukungan yang diberikan aktivis da’wah pelajar menjadi kunci
keberhasilan penggarapan medan ini. Komunikasi antara keduanya harus terjalin
dengan baik. Kominukasi lembaga bimbingan belajar dan aktivis da’wah pelajar harus
dibangun dalam upaya pemantauan tarbiyah dan kompetensi akademik objeknya.
Begitupun komunikasi antara wadah-wadah lain dengan para aktivitas da’wah pelajar.
Dengan demikian, arahan dan perjalanan akan selalu beriringan untuk memenuhi
kebutuhan tarbiyah objek da’wah.
Keberhasilan da’wah pelajar dalam mengenal dan memahami medan da’wah
serta menggarap lahan-lahan tersebut menjadi bukti kedinamisan geraknya. Seperti itu
jugalah yang diharapkan dalam aktivitas da’wah pelajar. Da’wah pelajar berusaha
mengoptimalkan penggarapan sekolah dengan langkah-langkah dan tahapan yang rapi.
Penggarapan lahan da’wah pelajar bersifat sederhana sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pelaku dan objek da’wahnya. Da’wah pelajar ini juga mempertimbangkan
aspek sosio-psikologis siswa. Siswa memiliki kekhasan karakter yang harus digarap
sesuai dengan kekhasannya itu.
Kedinamisan dalam aktivitas da’wah pelajar juga dapat dilihat dari proses
kesinambungan dan pewarisan pelaku di dalamnya. Hal ini mengingat pelaku da’wah
pelajar pada umumnya adalah para alumni yang tidak terikat oleh sekolah. Keterlibatan
alumni dalam da’wah ini juga bukan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu,
regenerasi antarangkatan juga menjadi parameter keberhasilan da’wah pelajar.
Begitulah da’wah pelajar dengan berbagai peran elemen yang ada di dalamnya.

Pilar Kompetensi Pembinaan Pelajar


Islam yang dibawa dalam da’wah ini bersifat syumul (sempurna). Karena itu,
da’wah yang diserukan juga berorientasi pada kesyumulan Islam tersebut. Keahlian
yang diberikan kepada pelajar dalam da’wah ini bukan hanya keahlian yang bersifat
ruhani (agama) saja. Rasulullah Saw sebagai teladan dalam melaksanakan manhaj
da’wah telah memberikan banyak contoh. Beliau mengajarkan pengikutnya mengenal
dan mencintai Allah, tetapi beliau juga mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar, cara
memanah, strategi perang, cara memimpin, motivasi belajar, cara berobat, dan
mencintai sesama. Rasulullah Saw juga mengasah kepekaan terhadap lingkungannya.
Da’wah pelajar pun mengacu pada kelengkapan sasaran ini.
Da’wah pelajar menggunakan empat pilar kompetensi dalam pembinaan
(tarbiyah) objek da’wahnya. Empat pilar kompetensi ini dijelaskan sebagai berikut.

1. Kompetensi Imani (Kompetensi Iman)


Sebagaimana manhaj da’wah Rasulullah Saw, kompetensi imani menjadi dasar
tarbiyah objek da’wah. Pada perjalanan da’wah Rasulullah, fokus tarbiyah (At-Tarkiz at-
Tarbiyah) terlihat pada dua periode, yaitu Makkah dan Madinah. Periode Makkah
sebagai periode awal terfokus pada upaya penumbuhan ruhul aqidah. Ruhul aqidah
menjadi masalah yang sangat mendasar karena ia akan membentuk cara pandang dan
cara sikap seorang muslim dalam seluruh kehidupannya.
Penanaman aqidah dalam hal ini bukan saja pembahasan tentang sifat-sifat Allah
atau sekedar ulasan konsepsional tentang alam akhirat, alam qubur, para malaikat dan
sebagainya. Lebih dari itu, penanaman aqidah dalam proses tarbiyah akan
memunculkan perasaan yang luhur dan jiwa yang agung. Seperti Usamah kecil yang
memahami arti kewajiban jihad bukan sekedar mengetahui ilmunya, tetapi ia
memahami jihad dengan langsung turun ke medan perang dengan segala konsekuensi
yang akan dihadapinya.
Selanjutnya, fokus ibadah menyertai fokus aqidah. Seorang objek da’wah
diarahkan pada kecintaan melakukan ibadah dalam rangka ketaatan kepada Allah.
Tujuan ini ditempuh dengan latihan (tadribat) secara berjenjang/bertahap (taddaruj) dan
kontinue (dawam).
Begitupun dalam proses tarbiyah seorang objek da’wah ini. Dengan berpusat
pada objek pelajar, da’wah ini berkompeten terhadap pembentukan individu muslim
yang kuat. Da’wah ini berkompeten terhadap terbentuknya individu muslim yang
bersih aqidahnya dengan pengenalannya terhadap Allah, Rasul, dan Islam. Bersihnya
aqidah ini akan menjadi dasar terbentuknya kepribadian muslim yang utuh. Ia akan
lahir sebagai sosok muslim yang benar ibadahnya dengan bertumpu pada tuntunan
Rasulullah, teguh akhlaqnya sehingga mampu memunculkan perilaku yang terpuji,
terdidik akalnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kuat fisiknya, mandiri dan
mampu mengambil sikap, ikhlas berkorban untuk perbaikan diri sendiri dan orang lain,
sanggup memerangi hawa nafsu, disiplin dalam segala urusannya, dan mampu
memanfaatkan waktu untuk aktivitas yang bermanfaat.
Mewujudkan generasi dari objek da’wah yang berkualitas memerlukan kerja
keras dan usaha-usaha yang serius. Dengan memanfaatkan berbagai sarana --fasilitas
fisik sekolah, masjid mushola/sekitar sekolah, ruang kelas, iklim kebebasan beragama,
lembaga siswa, alumni-- da’wah pelajar mampu memterjemahkan arahan-arahan itu ke
dalam program yang terencana dan mempunyai kejelasan target. Program-program
yang bisa dilaksanakan untuk memenuhi kompetensi imani ini antara lain,
ceramah/tabligh, pesantren kilat, rihlah/tafakur alam, pengajian kelas, bazaar,
pameran, VCD rental, perlombaan, penerbitan, dakwah fardiyah, mentoring agama,
kursus membaca Alquran, perpustakaan, shalat Jum’at berjamaah, advokasi masalah
remaja, dan sebagainya.

2. Kompetensi Ilmiy (Kompetensi Ilmiyah)


Rasulullah Saw dalam sabdanya mengatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Allah Swt secara retoris juga berfirman,
“Katakanlah (hai Muhammad), samakah kedudukan orang yang berpengetahuan dengan orang
yang tidak berpengetahuan?” (QS. Az Zumar 9)
Islam memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada orang-orang yang
berilmu, apa pun ilmu yang dikuasainya. Dengan ilmu, manusia mencapai kesuksesan.
Dengan ilmu juga manusia mencapai keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Imam Syafi’i, semoga Allah Swt senantiasa merahmatinya, memberikan pelajaran
yang sangat berharga dengan semangatnya menuntut ilmu. Ketika ia mendapatkan
pertanyaan, “Bagaimana Anda menuntut ilmu?” Ia menjawab, “Saya mendengarkan
huruf demi huruf seakan-akan huruf-huruf itu belum saya temukan selama ini. Karena
itu, saya akan mengerahkan seluruh anggota tubuh saya untuk menyimaknya.”
Ketika sang penanya berkata, “Bagaimana minat Anda terhadap ilmu?” Ia
menjawab, “Minat saya laksana orang mengumpulkan makanan yang berambisi
menikmati kelezatannya secara sempurna.”
Selanjutnya, “Bagaimana cara Anda mencarinya?” Ia menjawab, “Saya
mencarinya bagaikan seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya yang di dunia
ini ia tidak memiliki apa pun selain dia.”
Da’wah pelajar pun berkompeten terhadap kemampuan ilmiah objek da’wahnya.
Hal ini didukung oleh posisi sekolah sebagai sarana pendidikan yang formal. Karena
itu, penggarapan wilayah akademik pun menjadi satu bagian pilar kompetensi da’wah
yang tidak boleh ditinggalkan.
Untuk memenuhi kebutuhan pilar ilmiah ini para aktivis da’wah pelajar
mempunyai kewajiban memberi motivasi, membimbing, mengarahkan, dan melatih
objek da’wahnya agar memiliki semangat, kemampuan, dan disiplin belajar yang tinggi.
Semangat (ghirah) meluap-luap pada kompetensi imani tanpa diimbangi dengan
semangat memperbaiki kualitas akademik, yang biasanya dimiliki objek da’wah pada
awal tarbiyah, harus dihindari. Konsep keilmuan dan penerapannya sebagai sebuah
sistem harus ditanamkan dengan baik sebagai bekal mereka dalam memanfaatkan
ilmunya.
Berbagai sarana dapat dimanfaatkan untuk penggarapan akademik ini, misalnya
dana, fasilitas dan sistem pendidikan, perpustakaan, bimbingan belajar swasta, alumni,
dan sebagainya. Berbagai sarana ini bisa didapatkan di dalam sekolah maupun di luar
sekolah. Beberapa program yang bisa dilaksanakan untuk penggarapan ini antara lain,
kelompok belajar dengan sesama objek da’wah, perpustakaan khusus, sistem kontrol
dari pelaku da’wah, try out, informasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dan sebagainya.

3. Kompetensi Fanni-Jasadi (Kompetensi Ketrampilan dan Jasadiyah)


Penerapan kompetensi ini tidak pernah lepas dari penerapan Islam yang syumul.
Islam mewajibkan profesional dalam setiap pekerjaan, apalagi pekerjaan yang bernilai
ibadah. Dalam hadits shahih disebutkan, “Sesungguhnya Allah mewajibkan profesional
dalam setiap pekerjaan.” Dalam hadits yang lain juga disebutkan, “Sesungguhnya Allah
menyukai seseorang dari kamu yang jika mengerjakan suatu pekerjaan, ditekuninya.”
Selain karena landasan syar’i tersebut di atas, kompetensi fanniyah menjadi
prioritas dalam aktivitas da’wah pelajar karena dalam jangka panjang, para objek
da’wah ini akan terbentuk menjadi generasi yang memiliki berbagai spseialisasi dan
keahlian. Spesialisasi dan keahlian ini didukung dengan tarbiyah sehingga mereka
mampu tercetak sebagai generasi pendukung da’wah yang syumul.
Kepintaran saja tidak cukup menjadikan mereka sebagai khalifah, salah satu
tugas manusia di dunia. Oleh karena itu, paduan tarbiyah dan spesialisasi dalam
bidang-bidang tertentu ini menjadi bagian penting dalam arahan pembentukan
generasi.
Kompetensi fanniyah menjadi bagian dari penunjang keprofesionalan aktivitas
ini. Mengarahkan objek pelajar dalam pengembangan skill (ketrampilan) secara optimal
sesuai dengan minat dan bakatnya, baik skill dasar maupun skill operasional. Skill
dasar yang harus dimiliki objek pelajar ini antara lain mega skill, yaitu confidence,
motivation, effort, responbility, initiative, pervererance, caring, teamwork, common sense,
problem solving. Skill operasionalnya antara lain meliputi dasar-dasar manajemen dan
keorganisasian, kepemimpinan, teknik komunikasi efektif, kemampuan bahasa asing,
komputer, dan sebagainya.
Spesialisasi atas kemampuan, bakat, dan minat objek pelajar ini juga harus
ditumbuhkan sejak dini. Melalui berbagai kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler
yang ada di sekolah, objek pelajar dapat memulai mengasah kemampuan, bakat, dan
minatnya.
Da’wah pelajar juga berkompeten terhadap kekuatan jasadiyah (kekuatan fisik)
objek da’wahnya. Sebagaimana Rasulullah Saw telah berpesan, “Orang-orang mu’min
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang-orang mu’min yang lemah.”
Dengan dasar inilah pembentukan kader yang memiliki fisik yang kuat (qowwiyul jism)
menjadi bagian yang harus diperhatikan para aktivis da’wahnya. Karena, hanya dengan
fisik yang kuatlah para kader ini dapat memikul tugas hidup dan da’wah.
Berbagai program yang bisa dijalankan untuk memenuhi kompetensi ini antara
lain pelatihan skill dengan berbagai sasaran, kursus bahasa asing dan komputer,
pelibatan kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler, kepanduan, olah raga, dan
sebagainya.

4. Kompetensi Sya’bi-Siyasi
Kompetensi fanniyah (ketrampilan) mempunyai kaitan yang erat dengan kafaah
ilmiy
? Kompetensi sya’bi-siyasi. Sarana : LSM, ormas, fasilitas dan kerjasama
antarlembaga alumni. Program : pembentukan ormas pelajar (oposisi moral ideologis),
kegiatan sosial, LSM (advokasi moral, edukasi, dan charity).
Dalam kompetensi imani semata. Da’wah pelajar juga memperhatikan keahlian-
keahlian lain yang mendukung terciptanya sistem hidup yang islami. Semangat dan
bekal-bekal untuk peningkatan akademik dalam kompetensi ilmiy pun menjadi bagian
dari orientasi da’wah pelajar ini. Demikian juga dengan bekal-bekal kepemimpinan dan
kemampuan managerial sebagai kompetensi fanni jasadi. Kepekaan sosial yang terasah
sebagai bekal terbentuknya sense of da’wah sebagai kompetensi sya’bi siyasi.
Bekal imani diperoleh melalui berbagai sarana penanaman nilai Islam sebagai
pedoman hidupnya. Bekal ini dimulai dengan penanaman aqidah yang bersih. Ia
mengenal Allah dan Rasul-Nya dengan benar sehingga ia mengetahui arti hidup yang
sebenarnya dan mengetahui apa-apa yang harus dikerjakan dan dijauhi dalam
kehidupan itu. Ia juga mengetahui kewajiban berbagi menebarkan kebenaran dengan
sesama melalui kewajiban amar ma’ruf nahi munkar Ia juga memiliki ilmu yang
memadai untuk melaksanakan kewajiban itu, terutama dalam lingkungan sekolah. Di
sinilah keahlian berda’wah (kafaah da’wiyah) itu mulai terbangun.
Tercapainya kualitas para pelajar muslim yang kuat di bidang akademis, life
skill, bahasa asing, kepemimpinan, manajemen dan lainnya sehingga mampu meraih
pendidikan tinggi yang berkualitas dan berdaya saing global.Bekal keilmuan bagi
pelajar diperoleh melalui berbagai memiliki ilmu yang memadai untuk afaah da’wiyah,
ilmiyah, fanniyah, dan sya’biyah yang memadai untuk mengelola da’wah pelajar
maupun da’wah dalam lingkungan yang lebih luas.
Pengantar
Da’wah Ammah dan Khashah

Istilah dakwah ammah dan dakwah khashah memang baru muncul pada masa-masa terakhir ini
(istilah kontemporer). Namun sebenarnya Rasulullah SAW (sebagai qudwah hasanah dalam segala
hal) telah memberikan isyarat dalam hal ini. (Baca lagi Manhaj Haraki~belum sempet)

Selain melakukan dakwah umum dengan mengundang dan mengumpulkan kaum Quraisy di bukit
Shafa, beliau SAW juga melakukan pembinaan kepada orang-orang pilihan di rumah Al Arqam bin
abi Al Arqam. Baik dakwah ammah maupun dakwah khashahah, keduanya dilakukan secara
proporsional yang satu sama lain saling mendukung. Hanya saja masing-masing memiliki orientasi,
metode, sasaran, yang berbeda.

Dakwah ammah lebih ditujukan untuk memperbaiki opini publik tentang Islam dan dakwahnya.
Sementara dakwah khashah lebih menekankan pada pembentukan kader-kader dakwah yang siap
menjadi pelaku dakwah pada setiap masanya. Sehingga sasaran dakwah ammah adalah seluruh lapisan
masyarakat, tanpa pemilihan. Sementara dakwah khashah diperuntukkan untuk objek dakwah yang
terpilih, yang siap menanggung amanah dakwah. Yang diharapkan setelah dakwah ammah adalah
masyarakat umum (publik) mempunyai pandangan yang benar tentang Islam.

Aspek Dakwah ‘ammah Dakwah khashah


Tujuan Membentuk opini publik yang positif Membentuk kader inti dakwah yang akan
tentang Islam dan aktifitas keislaman menjadi penggerak dakwah Islam
Objek Seluruh umat manusia tanpa pandang bulu Kaum muslimin yang siap menerima
Subjek Seluruh potensi umat Islam Para pembina
Sifat Umum Khusus

Sementara dakwah khashah ditujukan untuk membentuk kader-kader dakwah. Sehingga sasaran
dakwah khashahpun lebih mengedepankan objek yang terpilih. Yang siap melakukan pembinaan diri
dan siap berbuat untuk mendakwahkan Islam.

Bukan eksklusif
Logisnya kan begitu, sesuai orientasi masing-masing

…..
‘pabila kita dapat memahami
matahari menemani
ke dalam kehangatan indah sang rembulan
bersenandung menyinar membuka seisi dunia
tanpa lelah setia tanpa terpaksa

‘pabila kita dapat mengerti


sahabat adalah setia
dalam suka dan duka
kau kan dapat berbagi rasa untuknya
begitulah seharusnya jalani kehidupan
setia setia dan tanpa terpaksa

mengapa bintang bersinar


mengapa air mengalir
mengapa dunia berputar
lihat sgalanya lebih dekat
dan kau akan mengerti
Tiga,
DA’WAH AMMAH

Dakwah Ammah di Sekolah


Sebagaimana dakwah pada umumnya, di DS terdapat dakwah ‘ammah.
Dakwah ‘ammah dilakukan untuk membentuk citra islam dan dakwah
masyarakat sekolah. Baik guru kepala sekolah, karyawan sekolah, penjaga
sekolah, orang tua siswa, maupun siswa pada umumnya. Bahkan masyarakat
sekitar sekolah tersebut.

Pelaku dakwah ammah


Semuanya dong

Sasaran
Semua, semakin luas semakin baik

Bentuk
Berbagai media dapat dipilih untuk melakukan syiar dakwah ammah
Dakwah ammah
Pengertian
Proses penyebaran fikrah Islamiyah dalam rangka menarik simpati, menumbuhkan cinta dan meraih
dukungan dari medan dakwah sekolah, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan da’wah khasshah.
Membentuk opini publik
Membentuk ikatan massa

Objek
Dakwah ammah ditujukan untuk seluruh objek dakwah sekolah.

Pelaku
Melibatkan banyak pihak

Metode

Kiat

Sarana

Pelaku
Guru
Siswa
Masyarakat, alumni

Bentuk Kegiatan

1. Ceramah Umum
2. Bulettin
3. Kajian Kelas
4. Kelomok Belajar
5. Majalah Dinding
6. Mentoring
7. Nasyid
8. Olah Raga
9. Pemutaran VCD Islam
10. Rihlah/rekreasi
11. Shalat Jum’at
12. Tahajjud Call
13. Try Out UMPTN
14. Shalat Dhuha
15. Shalat Dzuhur
16. Silaturrahmi
17. Kunjungan pondok pesantren
18.
19.
20.
Empat,
DA’WAH
KHASHAH

Perlunya dakwah khashah


Meskipun pada hakikatnya sifat dakwah adalah umum, terbuka dan
diserukan untuk semua manusia. Akan tetapi pada kondisi tertentu
diperlukan dakwah khashah. Sebagaimana yang dilakukan oleh baginda
Rasul SAW, dengan melakukan pembinaan secara khusus untuk
mendapatkan kader-kader dakwah. Tidak berbeda dengan itu, dakwah
sekolah juga menghajatkan keberlangsungan dakwah khashah.

Dengan dakwah khashah di sekolah kita mengharapkan terbentuknya kader


inti dakwah (qaidah harakiyah) yang dipersiapkan untuk menjadi penggerak
dalam berbagai kegiatan dakwah.

Siapa peserta dakwah khashah


Berbeda dengan dakwah ammah, peserta dakwah khashah di sekolah adalah
para siswa yang siap mengikutinya. Meski sebenarnya tidak ada pembatasan
secara khusus. Akan tetapi agar pelaksanaan dakwah khashah berjalan
secara optimal, maka dapat dilakukan pemilihan (ikhtiar) terhadap objek
dakwah.

Pertimbangan pertama bahwa dengan dakwah khashah diharapkan akan


memunculkan aktifis dakwah sekolah, sementara tidak semua siswa bersedia
untuk terlibat secara

Sedang pertimbangan lainnya adalah fakta bahwa ada banyak tipe manusia
(objek dakwah), dan tidak semuanya bersedia untuk terlibat jauh dalam
gerakan dakwah. Abbas Asisi dalam bukunya Athariq ila Al qulub
mengklasifikasikan objek dakwah dalam tiga tipe. Mereka yang berakhlaq
islami, berakhlaq Asasi dan berakhlaq jahili.

Tentu dakwah khashah akan memberikan prioritas pada para pelajar yang
memiliki akhlaq Islami.

Syarat
 ada kesiapan
 tidak ada paksaan
 potensi kader

Bentuk dakwah Khashah


Hal seperti ini juga dilakukan oleh baginda Rasul SAW. Karena orang-orang
yang dikader oleh beliau melalui aktifitas dakwah khashah memang orang-
orang terbaik di jamannya.
Bentuk
Dakwah khashah
Pengelola
Lima,
PERNIK-PERNIK
DA’WAH
PELAJAR
BERGAUL DENGAN PELAJAR

Salah satu tugas seorang da’I sebelum menjalankan kewajibannya adalah


mengenal objek da’wahnya. Oleh karena itu, keberhasilan da’wah seorang da’I juga
terkait dengan pengenalan karakter objek da’wahnya tersebut. Perlakuan dan
pendekatan yang dilakukan terhadap orang tua berbeda dengan anak-anak, begitu juga
berbeda dengan remaja. Lebih luas lagi, perlakuan dan pendekatan pun tidak hanya
terkait dengan masalah usia, tetapi juga sifat dan karakter dari setiap individu objek
da’wah tersebut.
Selain mempertimbangkan karakter, da’wah dalam objek da’wah ini juga
mempertimbangkan posisinya sebagai pelajar yang terikat oleh institusi sekolah. Pelajar
hanya menjadi bagian kecil dari medan da’wah pelajar yang lebih luas. Posisinya terikat
dengan peraturan/kebijakan sekolah, sarana-sarana sekolah, sehingga pelaksanaan
da’wah pelajar pun harus bergerak pada pusaran ikatan itu. Sehingga dapat dikatakan
bahwa da’wah pelajar pun harus menyesuaikan dengan peraturan/kebijakan sekolah
yang bersangkutan.

Model Pendekatan
Pengenalan karakter dan posisi pelajar tersebut akan menentukan model
pendekatan yang tepat untuk mereka. Dari pendekatan inilah komunikasi awal antara
da’I dan objek da’wahnya akan berlangsung.
Pelajar dengan kondisi fisik, mental, dan sosialnya yang masih labil, sangat
membutuhkan teman untuk sharing atau berbagi cerita. Pada umumnya, pelajar
memiliki kebiasaan cur-hat. Mereka akan memperoleh rasa aman dan tenang dengan
menceritakan masalah dan keadaan dirinya kepada orang yang dipercayanya, yang
mau mengerti dan menerimanya. Bahkan, terbawa oleh perasaan egoismenya, pelajar
sering mendominankan kepentingan untuk didengar daripada mendengar. Karakter ini
memungkinkan para pelaku da’wah pelajar memanfaatkan metode da’wah fardhiyyah
kepada objek da’wahnya.
Metode da’wah fardhiyyah ini menjadi dasar penerapan model pendekatan
untuk pelajar. Model pendekatan untuk pelajar sendiri secara sederhana dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu pendekatan potensi dan pendekatan problem.
Karakter yang khas dan unik pada pelajar dapat dilihat dari semangatnya yang
tinggi dan penuh gejolak serta segudang potensi yang dimilikinya. Semangat dan
potensi ini menjadi perpaduan yang unik bagi objek da’wah pelajar yang akan
berestafet menjadi penggerak da’wah dan pembangun peradaban di masa mendatang.
Potensi yang dimilikinya –akademik, olah raga, karya ilmiah, dan sebagainya- akan
optimal pengembangannya jika dilakukan dengan semangat yang tinggi itu sehingga
menjadi prestasi yang gemilang.
Berbagai potensi yang dimiliki pelajar tersebut memungkinkan para da’I
mengadakan pendekatan melalui sarana-sarana seperti kelompok belajar, klub-klub
olah raga, kelompok ilmiah remaja, Pramuka, OSIS, dan berbagai kegiatan
ekstrakurikuler lainnya. Bukan semata menjadi sarana pendekatan, berbagai potensi
tersebut menjadi harta yang mahal bagi tumbuhnya peradaban Islam.
Namun, di balik segudang potensi itu, pelajar sebagai bagian dari remaja juga
memiliki segudang problematika yang menuntut penyelesaian bijaksana. Problematika
pelajar ini bisa datang dari dirinya, keluarganya, ataupun lingkungannya. Problematika
pelajar pun menjadi bagian dari pendekatan ini, di samping pendekatan potensi.
Pendekatan problem ini mengedepankan penyelesaian permasalahan pelajar, misalnya
melalui lembaga konsultasi problem remaja.
Kedua pendekatan ini –potensi dan problem- memiliki beberpa keunggulan dan
kelemahan yang saling menutup. Pendekatan potensi akan memunculkan produk yang
memiliki keunggulan atau prestasi di bidang tertentu sesuai dengan potensi yang
dikembangkannya. Namun, kelalaian atas problematika pelajar pun menjadi masalah
baru dalam kelahiran produk tersebut. Problematika-problematika pelajar yang tidak
terungkap dan terpecahkan akan menjadi bom waktu yang akan menghambat
potensinya di masa mendatang.
Begitu juga, pembinaan dengan pendekatan problem pun memiliki keunggulan,
yaitu pada sisi jangkauan yang lebih luas dan kemampuan menterapi problematika
remaja. Namun, pada umumnya pendekatan yang hanya mengedepankan prolem akan
berhenti jika problem dimiliki pelajar tersebut telah terselesaikan. Seringkali
pengembangan potensi pada pelajar yang seperti ini terlalaikan.
Kedua pendekatan itu saling melengkapi. Oleh karena itu, kedua pendekatan ini
harus dilakukan secara serempak, seimbang, dan proporsional sesuai dengan kondisi
objeknya.

Membangun Kepercayaan
Membicarakan objek da’wah pelajar tidak bisa dilepaskan dari membicarakan
remaja. Karena, pelajar yang menjadi objek da’wah sekolah itu adalah para remaja
seperti para remaja yang lain. Hanya satu pembeda, remaja lain tidak selalu duduk di
bangku sekolah, sedangkan pelajar adalah para remaja yang tengah duduk di bangku
sekolah.
Dalam rentang perkembangan manusia, masa remaja dianggap sebagai masa
yang paling sulit, baik bagi remaja sendiri, orang tua, maupun lingkungannya.
Mengapa demikian? Jawaban pertama dan paling jelas adalah karena masa ini --
khususnya pada masa awal remaja-- adalah masa perubahan, baik perubahan fisik,
perubahan seksual, perubahan psikologis, maupun perubahan tuntutan peran.
Kesulitan bagi remaja muncul pada saat ia masih mencari jati diri. Bagi orang tua
dan lingkungan –termasuk para pelaku da’wah pelajar-, kesulitan muncul pada saat ia
harus memilih perlakuan yang tepat untuk mereka. Perlakuan yang salah pada remaja
akan melahirkan permasalahan baru yang akan berakhir pada remaja juga.
Pada masa perubahan ini, lingkungan harus sadar bahwa remaja telah
meninggalkan masa kanak-kanaknya. Perlakuan pada masa remaja ini pun harus
berubah. Teguran-teguran dan peringatan-peringatan yang diberikan bukan menjadi
sarana mendekte. Penambahan kadar nilai kepercayaan dan tanggung jawab lambat
laun harus diberikan kepada mereka. Inilah salah satu masalah yang muncul atas
perlakuan lingkungan terhadap remaja. Dalam kehidupan, ternyata kepercayaan ini
tidak selalu utuh diberikan kepada remaja.
Namun perlu diingat bahwa kepercayaan yang diberikan kepada remaja bukan
dalam rangka meraih peluang kebebasan. Pemberian kepercayaan pada remaja tentu
saja juga harus diikuti dengan kewajiban bertanggung jawab. Kepercayaan tanpa
tanggung jawab akan mudah disalahgunakan. Sebaliknya, tuntutan tanggung jawab
membuat remaja akan lebih hati-hati dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pemberian kepercayaan ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Sejarah
mencatat nama agung Usamah bin Zaid. Ia-lah seorang sahabat Rasulullah saw. yang
dalam usia yang relatif muda sudah terlibat dalam ajang jihad.
Suatu hari Rasulullah saw. hendak berangkat ke medan jihad. Usamah kecil –
saat itu usianya belum genap sepuluh tahun—datang kepada Rasulullah saw. dan
berkata, “Izinkan saya ikut bersamamu, ya Rasulullah!” Rasulullah saw. menolaknya
dan mengatakan bahwa ia belum mendapat kewajiban berjihad. Usamah kecewa sekali
dengan jawaban Rasulullah saw. itu. Ia pulang dan menangis, tetapi ia pantang
menyerah. Datanglah ia kembali kepada Rasulullah saw. untuk meminta izin ikut
dalam jihad itu. Rasulullah saw. kembali menolaknya. Ia pulang dan menangis sedih.
Ia masih tidak menyerah. Datanglah ia kepada Rasulullah saw. untuk ketiga
kalinya. Kali ini Rasulullah saw. mengizinkannya tetapi ia hanya diberi tugas
mengurusi para korban perang yang terluka. Berkembang hati Usamah mendengar izin
dari Rasulullah saw. itu. Bergegas ia pulang dan mempersiapkan bekal untuk mengikuti
Rasulullah saw. menuju medan jihad.
Inilah sebuah pelajaran kepercayaan yang sangat berharga dari Rasulullah.
Melihat kesungguhan di hati Usamah kecil, beliau tidak berat hati memberikan
kepercayaan kepadanya, meskipun dengan porsi yang ringan: merawat orang terluka.
Tugas yang diberikan Rasulullah saw. pun tugas yang terjangkau oleh kemampuannya.
Rasulullah saw. tidak memberikan tugas yang muluk-muluk. Tapi, itulah penghargaan
yang tepat buat Usamah.
Kepercayaan yang terlampau berat untuk remaja bukan langkah yang bijaksana,
meskipun menghambat kepercayaan untuk mereka juga bukan langkah yang tepat.
Kepercayaan kepada remaja harus dibangun dengan melihat kondisinya sehingga
proporsional dengan kemampuan dirinya. Dukungan dari lingkungan akan
memberikan rasa percaya diri kepada remaja. Sebaliknya, tidak adanya kepercayaan
pada remaja dapat mengakibatkan munculnya krisis identitas. Begitu juga, kepercayaan
yang diberikan akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan bagi remaja. Ia
memiliki gambaran yang utuh tentang dirinya. Ia mampu menangkap potensi dan
kekuatan yang dimilikinya, juga daya dukung dan penghalang kelemahan dirinya
sehingga ia mampu membawa diri dengan baik.
Kesempatan yang diberikan lingkungan juga akan mengoptimalkan kiprahnya di
masyarakat. Dengan kiprahnya itulah ia dapat membuktikan keberadaan dirinya di
lingkungannya. Maka, tidak bijaksana lingkungan menuntut perannya sementara
mereka tidak pernah diberi kesempatan berkiprah. Lingkungan yang lebih banyak
menuntut daripada mempercayai seperti ini akan membuat remaja mendapat beban
yang berat dan tidak membuatnya bergerak untuk memenuhi tuntutan itu.
Begitu juga dengan lingkungan yang lebih banyak mendekte daripada
mengarahkan. Remaja akan terhambat kreativitas akal dan amalnya. Dan akan lebih
parah kemudian jika terjadi kesalahan, ia akan mudah mengkambinghitamkan
lingkungan. Lingkungan yang mendektenyalah yang salah. Sebaliknya, remaja yang
diberi kepercayaan untuk mengolah dirinya maka ia pun akan lebih bebas
mencurahkan kreativitasnya. Ia akan lebih percaya diri. ia juga pandai merencanakan
langkah dan aktivitasnya. Ia tidak takut salah karena kesalahan-kesalahan yang telah ia
lakukan akan dijadikan pelajaran hidup yang sangat berharga.
Penelitian yang dilakukan C. Kagitcibasi –seorang psikolog kebangsaan Turki--
dapat sedikit membantu memahami kesalahan ini. Dalam penelitiannya yang
melibatkan 20.403 orang tua dari seluruh dunia, ternyata didapatkan hasil bahwa ibu-
ibu dari suku Jawa dan Sunda sangat mengharapkan anaknya mengikuti keinginannya
(Jawa 88%, Sunda 81%). Begitu juga dengan para bapak (Jawa 85%, Sunda 76%).
Berbeda dengan orang tua dari Korea, Singapura, dan Amerika (ibu Korea 62%, ibu
Singapura 60%, ibu Amerika 51% serta bapak Korea 68%, bapak Singapura 69%, bapak
Amerika 43%).
Terlepas dari baik tidaknya remaja dalam ketergantungan orang tuanya, karena
kita juga tidak bisa mengatakan remaja yang lepas dari ketergantungan orang tua akan
lebih baik dibanding remaja yang berada dalam ketergantungan pada orang tua, tetapi
sebuah hasil penelitian mengatakan bahwa remaja yang berprestasi tinggi justru
mendapat latihan untuk mandiri dan mengurus dirinya sejak kecil.
Meskipun penelitian itu menekankan pada perlakuan subjek orang tua, tetapi
tetaplah dapat menjadi gambaran bagi para aktivis da’wah pelajar. Apalagi pada posisi
aktivis da’wah pelajar sebagai murobbi yang harus mendidik objek da’wahnya. Hasil
didikannya sangat terkait erat dengan perlakuan dan cara mendidik yang diberikannya
kepada objek da’wah, para pelajar itu.
Tidak jauh berbeda juga dengan lingkungan yang lebih banyak menakut-nakuti
daripada memberi tantangan. Ketakutan-ketakutan yang ditanamkan dibenaknya akan
menjadi momok atau hantu sebelum ia melangkah. Kepesimisan-kepesimisan yang
ditanamkan di benaknya juga akan membuatnya ragu-ragu. Lain jika tantangan dengan
kepercayaan yang disodorkan pada mereka. Mereka akan tumbuh dengan optimisme
yang besar bahwa mereka mampu menjadi manusia dewasa yang mampu berkiprah di
lingkungannya.
Remaja juga cenderung menempatkan dirinya sesuai citra yang diberikan
lingkungannya. Bagaimana lingkungan memandang dirinya, itulah yang akan
membentuk dirinya. Citra “manja” pada remaja, akan membuat remaja menjadi manja.
Citra “seperti anak kecil” pada remaja juga akan membuat remaja bersikap seperti anak
kecil. Sebaliknya, kepercayaan bahwa “kamu bisa” pada remaja, Insya Allah juga akan
membuat remaja mewujudkan tuntutan itu.
Dalam da’wah pelajar, pemberian kepercayaan ini akan berpengaruh pada
kemandirian objek da’wahnya. Objek da’wah yang lebih sering ditakut-takuti, lebih
sering dimaklumi –meskipun salah- tanpa pembenaran letak kesalahannya, lebih sering
dituntun tanpa memberi kesempatan untuk bergerak sendiri, dan lebih sering didengar
tanpa memberi kesempatan untuk mendengar, akan cenderung manja. Kemandirian
mereka tidak terasah. Generasi pemberani dan pantang menyerah yang dicita-citakan
pun kandas. Ingat, bahwa membina objek da’wah ini bukan hanya dalam rangka
memperbaiki kepribadiannya (sahsiyah) saja. Lebih dari itu, membina objek da’wah juga
dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi pelaku da’wah yang kreatif, pemberani,
dan militan, dengan segala potensi dan kemampuannya.
Begitu. Para aktivis da’wah pelajar yang mempunyai kepercayaan pada
kemampuan dan kesungguhan membina objek da’wahnya akan menggerakkan objek
da’wahnya itu untuk mengolah dirinya dengan perilaku yang matang, mandiri, dan
bertanggung jawab. Insya Allah.
Allah swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mu’min, yang bersikap
kasar terhadap orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang-orang yang mencela. Itulah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al Maidah 54)
Wallahu alam bish-shawab.

HARAKAH DALAM DA’WAH PELAJAR


Aktivitas da’wah bukanlah aktivitas yang tanpa liku-liku. Berbagai masalah,
tantangan, dan rintangan adalah bagian dari liku-liku tersebut. Masalah, tantangan, dan
rintangan dari berbagai musuh Islam yang selalu berusaha menghambat da’wah Islam
adalah sunnatullah yang akan menjadi bagian dinamika da’wah. Sebagaimana Nabi
Muhammad Saw dan para sahabat juga menemui dalam perjalanannya, bahkan sejak
Nabi Adam.
Namun, kadang dinamika da’wah datang dari sesama para penggeraknya karena
perbedaan-perbedaan yang diterima dengan cara yang tidak bijaksana. Dinamika
da’wah yang demikian tak terkecuali terjadi dalam aktivitas da’wah pelajar. Dalam
bahasa lain, dinamika tersebut datang dari munculnya berbagai
fikrah/harakah/gerakan lain di sekolah.
Datangnya harakah lain dengan metode da’wah yang lain dalam da’wah pelajar
secara otomatis akan memunculkan sikap-sikap dari berbagai pihak, baik dari objek
da’wah maupun pelaku da’wahnya. Objek da’wah membuat sikap tersendiri sesuai
dengan metode da’wah yang diterimanya dari harakah lain tersebut. Terkadang sikap
itu berlanjut pada pertentangan yang tidak cukup baik (ahsan) antara sesama objek
da’wah. Didukung semangat, gejolak jiwanya untuk mempertahankan prinsip yang
dipegangnya, dan sikap yang kadang emosional, datangnya harakah lain menjadi
masalah tersendiri dalam aktivitas da’wah pelajar.
Sikap objek da’wah pun berimbas pada para pelaku da’wahnya, apalagi jika
permasalahan itu sampai pada pihak sekolah, yang membuat mereka mengelurkan
kebijakan-kebijakan baru yang akan menghambat manuver da’wahnya. Kecemasan atas
datangnya harakah lain dalam medan da’wahnya membuatnya bersikap reaksioner.
Apa pun akan dilakukan untuk memprotect objek da’wahnya. Militansinya tiba-tiba
melambung, diikuti tindakan-tindakan heroik yang tidak pernah ditunjukkan
sebelumnya. Haruskah begitu?

Memahami Perbedaan
Seorang aktivis da’wah pelajar yang bergerak di sekolah dituntut untuk
memahami kondisi objek da’wahnya, termasuk di dalamnya memahami berbagai
model pemikiran yang berkembang di sekitarnya. Selain itu, ia juga dituntut untuk
memahami latar belakang keragaman gerakan tersebut. Dengan pemahaman ini,
seorang aktivis da’wah pelajar diharapkan mampu bersikap bijak menghadapi objek
da’wahnya, seperti apa pun keadaannya.
Pemahaman terhadap gerakan dapat dimulai dari pemahaman latar belakang
munculnya berbagai gerakan tersebut. Beragamnya gerakan dalam rimba harakah
muncul setelah runtuhnya kekhilafahan sebagai sendi pengikat persatuan umat.
Keruntuhan ini menyebabkan tokoh-tokoh yang peduli dengan nasib umat berupaya
menghimpun diri untuk melakukan gerakan penyelamatan umat.
Perbedaan pensikapan dan cara pandang dalam menyelamatkan umat telah
melahirkan berbagai gerakan yang berbeda tersebut. Ada gerakan yang berbeda secara
substansial atau dalam masalah ‘ushul (akar/mendasar), yaitu masalah aqidah yang
menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah. Perbedaan seperti ini jelas tidak bisa ditolerir.
Ada pula gerakan yang berbeda dalam cara pandang dan prioritas amal.
Menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, perbedaan sebenarnya tidak menjadi masalah
sepanjang perbedaan itu hanya variasi yang akan mendukung kesuksesan pembinaan
umat, dan bukan perbedaan yang kontradiktif. Yang tidak diinginkan adalah ketika
perbedaan-perbedaan itu menimbulkan berbagai friksi di lapangan, bahkan
berbenturan satu dengan lainnya sehingga kontraproduktif bagi pembinaan umat.
Islam menghargai perbedaan pendapat. Perbedaan yang berdampak pada model
aktivitas da’wah juga dihargai oleh Islam. Namun, perlu diingat bahwa da’wah Islam
mengedepankan substansi perbaikan umat. Islam mengharamkan perpecahan yang
akan melemahkan kekuatannya karena perbedaan tersebut. Kewajiban persatuan
dengan pesan Allah “wa’tashiimu bihablillahi jami’a” tetap menjadi prioritas utama.
Dalam perbedaan tersebut, tekad yang satu harus selalu dijaga, yaitu
menyatukan seluruh perhatian, pikiran, dan potensi agar kerja da’wah lebih bermanfaat
dan menghasilkan sesuatu yang besar. Pekerjaan ini jauh lebih besar dari hanya sekedar
saling bertentangan dan saling menonjolkan perbedaan. Pemahaman yang seperti inilah
yang harus dipegang oleh para pelaku da’wah dan harus ditanamkan pada obek
da’wahnya.

Sikap Yang Bijak


Dampak adanya perbedaan berbagai gerakan itu sangat terasa di lapangan
da’wah, terlebih jika tidak disertai sikap yang bijak. Dalam da’wah pelajar, dampak
tidak hanya tampak dari sikap reaksioner para aktivis da’wah pelajar, tetapi dampak ini
juga tampak pada sikap emosional para pelajar yang menjadi objek da’wahnya. Tanpa
disertai pemahaman, para pelajar tidak segan-segan memunculkan pertentangan secara
vulgar. Bila salah satu pihak dari gerakan tersebut cukup dominan di organisasi
kegiatan siswa –Rohis misalnya- yang lain akan menjadi oposan yang tidak segan-segan
melakukan boikot, secara individual ataupun kelompok.
Bentuk lain dari dampak itu adalah munculnya klaim-klaim yang dilakukan
untuk memojokkan pihak lain. Hal ini pernah terjadi di sebuah sekolah. Satu pihak
gerakan yang kebetulan dominan di Rohis mengundang orang-orang yang dianggap
berbeda dengan mereka, mengatasnamakan undangan Rohis, surat berkop resmi, dan
menuliskan satu agenda ‘konsultasi’, kemudian secara terang-terangan menyidang dan
menghakimi ide-ide dan pemikiran dari gerakan yang berbeda. Inikah bentuk
konsultasi karena perbedaan itu?
Sikap-sikap emosional dan tidak bijak para objek da’wah yang seperti ini tentu
saja tidak diharapkan oleh para aktivis da’wah pelajar. Dampak sikap itu sangat bisa
jadi akan merembet ke pihak sekolah. Keresahan pihak sekolah pun akan berpulang ke
aktivis da’wah pelajar yang bergerak membina siswa-siswanya. Beruntung jika pihak
sekolah mampu membedakan satu model dengan model yang lain. Bila ternyata tidak
dan pihak sekolah menyamaratakan para pelakunya, maka tak pelak kita pun akan
mendapat getahnya. Dampak jangka panjang tentu saja hilangnya akses hubungan baik
dengan pihak sekolah. Kita dan siapa pun mendapat larangan untuk ikut cawe-cawe
dalam aktivitas dakwah di sekolahnya.
Boleh jadi, kekhawatiran yang terakhir itulah yang membuat para ADS bersikap
reaktif. Sebagian berprinsip, lebih baik mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dengan
memprotect objek da’wahnya secara ketat terhadap gejala-gejala invasi gerakan lain.
Ada beberapa hal yang akan membantu para ADS bersikap bijak menghadapi
masalah ini. Pertama, pemahaman atas hakikat da’wah. Da’wah dilakukan dalam
rangka membangun umat dan mengajak mereka ke jalan Islam. Allah Swt-lah satu-
satunya orientasi da’wah, bukan karena gerakan juga bukan karena kelompok. Jika
pemahaman yang demikian dibangun oleh setiap penggerak da’wah maka perpecahan
akan bisa teratasi karena mereka selalu berorientasi meninggikan kalimat Allah dalam
setiap geraknya.
Kedua, pemahaman tentang keberagaman. Berbeda adalah sesuatu yang biasa
bagi manusia. Sungguh bijak perkataan Syaikh Hasan Al Bana, “Kita bekerja sama
dalam hal-hal yang kita sepakati, dan bertoleransi dalam hal-hal yang berbeda.”
Namun, perbedaan yang secara tegas dan qoth’i menyimpang dari Al Qur’an dan
sunnah tetap tidak bisa ditolerir. Sikap yang bijak tetap menjadi pegangan. Mengatur
sikap sehingga tidak akan terjadi sikap menghilangkan kemungkaran dengan
kemungkaran yang lebih besar dan mafsadat yang lebih dahsyat. Seorang aktivis da’wah
pelajar harus mengambil tindakan dengan penuh pertimbangan dan kebijakan.
Ketiga, konsistensi aktivis da’wah pelajar terhadap manhaj dan tujuan-tujuan
da’wah pelajar. Mereka harus menghindarkan diri dari penyimpangan-penyimpangan
langkah yang telah terumuskan dan selalu berpegang pada tahapan-tahapan
dakwahnya. Perhitungan terhadap semua kemungkinan dan langkah antisipasi perlu
dirumuskan. Tindakan preventif dan kuratif yang muncul karena adanya suatu kasus
dalam da’wah pelajar diambil bukan karena sikap reaksioner saja, tetapi didasarkan
pada pertimbangan yang matang.
Keempat, membangun komunikasi dan hubungan baik dengan pihak sekolah.
Para aktivis da’wah pelajar datang ke sekolah secara resmi, bukan dengan kucing-
kucingan, seperti kata pepatah datang tampak muka pulang tampak punggung.
Klarifikasi dan jelaskan dengan baik jika terjadi permasalahan yang seperti ini.
Kelima, memupuk ikatan hati dengan objek da’wah pelajar. Ikatan hati ini
menumbuhkan komunikasi yang baik sehingga para aktivis da’wah pelajar bisa
melakukan klarifikasi dan mampu menjelaskan duduk permasalahan dengan baik.
Pihak sekolah pun akan lebih dapat diharapkan bersikap objektif. Para siswa pun tidak
akan lari begitu saja ketika mendengar isu-isu miring yang berhembus tentang aktivis
da’wah pelajar. Tidak ada hambatan bagi mereka untuk melakukan klasrifikasi.
Ketsiqohan siswa adalah sesuatu yang sangat berharga bagi para aktivis da’wah pelajar.
Kesungguhan aktivis da’wah pelajar di dalam medan da’wah tanpa harus
menunggu terjadinya kasus-kasus adalah langkah preventif yang paling baik. Heroisme
aktivis da’wah pelajar dibangun tidak hanya dalam rangka mengantisipasi
permasalahan perbedaan, tetapi heroisme adalah tuntutan dakwah yang harus
dibangun sejak awal. Jadi, haruskah reaktif?
Wallahu alam bish shawab.
MEMBENINGKAN HATI
MEMBANGUN GENERASI
Aktivitas da’wah adalah aktivitas yang mulia. Seorang da’i berjalan karena Allah, maka
dengan Allah jugalah keberhasilan dan kegagalan menyertainya.
Perjalanan itu tidak hanya berlangsung sesaat dalam tempo waktu terbatas. Namun,
perjalanan itu adalah perjalanan panjang yang hanya akan berakhir pada saat hembusan nafas
kita tidak bertiup lagi. Hal ini sejalan dengan pesan Abbas As Sisi dalam bukunya At Thariq ila
al Quluub. Beliau mengingatkan bahwa perputaran waktu adalah bagian dari pengobatan dan
pembentukan (al waqtu juz’un minal ‘ilaaj wat takwiin). Maka, tidak semestinya seorang
muslim menunda-nunda waktu untuk memenuhi tujuan ini: mengobati dan membentuk
manusia. Sedetik kelengahan seorang muslim terhadap tugas ini berarti kerugian yang besar
karena tercecer seorang hamba Allah dari nilai hidayah. Merugilah manusia yang diam dan tidak
tergeser hatinya sedikit pun untuk berpartisipasi dalam perbaikan sementara kemaksiatan
merajalela di sekitarnya. Meruginya manusia bukan saja karena jauhnya manusia lain dari nilai
hidayah, tetapi juga karena ia mendapat dosa dari Allah sebab kelalaiannya dari perintah amar
ma’ruf nahi munkar.
Rasulullah Saw sebagai panutan kita pun senantiasa mentauladankan tugas
mengobati dan membentuk manusia ini. Dalam setiap langkah beliau menebar hikmah. Dalam
setiap pertemuan juga beliau senantiasa mengajak pada kebenaran Allah. Dan dalam setiap
perjumpaan beliau senantiasa menebar aroma keteduhan. Dari mana keteduhan itu akan
tertangkap jika bukan dari keteduhan hati beliau. Inilah kunci keberhasilan dakwah beliau, tentu
juga semua itu juga tak lepas dari keuletan dan kesabaran serta azzam kuat yang beliau
tanamkan di dalam hati.
Bagaimana kita mengambil pelajaran dari keberhasilan beliau?
Sasaran pengobatan dan pembentukan umat adalah hati umat tersebut. Hati
hanya bisa dihadapi dengan hati. Hati yang dihadapi dengan musuhnya –yaitu nafsu—pasti
akan lari. Maka, seorang da’i pun harus menghadapi objek dakwahnya (mad’u) dengan hati:
dengan keikhlasan, kesucian, dan ketulusannya. Seorang da’i yang tidak memfungsikan dan
menyertakan hati dalam mengajak manusia kepada kebaikan sudah pasti akan menemui
kegagalan.
Allah Swt berfirman,
“Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu berlaku keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauh
dari sekelilingmu.” (QS Ali Imran 159)
Inilah proyek muhasabah bagi da’i, pun bagi da’i dalam da’wah pelajar. Da’wah
itu dari hati, maka bicarakan ia dengan hati, niscaya komunikasi itu akan berlangsung.
Kekasaran sikap maupun ucapan seorang da’i yang bermula dari kekerasan hati akan membuat si
objek da’wah lari. Bukan kewibawaan dan kharisma yang ia dapat tetapi caci dan maki dari objek
dak’ah tersebut.
Seperti sabda Rasulullah Saw,
“Agama ini adalah kokoh kuat, maka bimbinglah orang lain ke dalamnya dengan
lembut, karena sesungguhnya kuda yang terus menerus dicambuk, maka ia tidak akan
sampai pada tujuannya dan ia sendiri akan mati.”
Syaikh Mustafa Masyhur juga berpesan agar bersikap lembut dan berakhlaq
mulia, penyabar, serta dapat menahan diri (tidak emosional). Segala kesulitan di jalan
dakwah serta perhitungannya langsung diserahkan kepada Allah. Sikap lembut, akhlaq
mulia, penyabar, serta dapat menahan diri (tidak emosional) hanya dimiliki oleh
hamba-hamba Allah yang hatinya bersih. Allah-lah yang menggerakkan hati mereka
untuk senantiasa tunduk dan tawadhu’. Dan inilah jiwa-jiwa para da’i.
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Siapa
saja yang terhalang untuk bersikap lemah lembut, berarti ia terhalang untuk berbuat berbagai
macam kebaikan. “ (HR Muslim)
Dan tiada pernah seorang da’i menuai hasil da’wah itu jika ia masih saja bertahan dengan
kekerasan hatinya. Keterpautan hatinya dengan Allah maupun objek da’wah menghalangi
nikmat hidayah Allah yang semestinya bisa dirasakan oleh semua manusia yang haus dan
dahaga dengan kesejukan dan kenikmatan Islam. Maka, bolehlah kita bertanya pada hati jika
keberhasilan dakwah itu belum juga mampu kita raih.

Katakan Dengan Cinta


Cinta adalah satu hal yang fitri bagi setiap makhluk Allah. Jika binatang saja
membutuhkan dan senantiasa bernaung dalam kecintaan dengan sesamanya, apalagi manusia
yang disempurnakan dengan hati. Bukan hanya dalam muamalah, bertemunya seorang da’i
dengan seorang mad’u (objek da’wah) dalam mentransfer kebaikan pun selalu membutuhkan
cinta. Maka, katakan dengan cinta niscaya da’wah yang engkau sampaikan menjadi lebih
bermakna.
Kecintaan yang tulus dari hati akan tampak secara dzahir dalam bentuk ekspresi wajah
yang cerah, sikap simpatik, dan respon yang positif terhadap mad’u. Wajah cerah senantiasa
dimiliki Rasulullah Saw dan beliau sangat mewasiatkan para pengikutnya untuk berhias
dengannya. Wajah yang cerah terasa menyejukkan dan menarik untuk menikmatinya. Mad’u
akan mendekat dan senang bersahabat dengan da’i yang demikian.
Sebaliknya, seorang da’i yang selalu memasang wajah sangar dan menjual mahal
senyumnya akan dijauhi mad’u. Bermula dari tidak adanya ketertarikan terhadap da’i ini,
seorang mad’u akan menjauh dan menghindar dari Islam –nilai-nilai yang akan ditawarkan da’i-
-.
Dari Abu Dzar ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali
kamu meremehkan kebaikan meskipun itu berupa keceriaan wajah tatkala bertemu
saudaramu.” (HR Muslim)
Ketulusan cinta seorang da’i juga akan memunculkan sikap yang simpatik. Seorang
mad’u akan terkesan dengan akhlaqnya yang mulia, sinar ketawadhuannya, binar matanya,
kelemahlembutannya, kesabarannya, dan ketenangannya. Dari sinilah mad’u mulai menebar
benih cinta untuk si da’i.
Selain itu, cinta tulus seorang da’i pada mad’u akan membuatnya bersabar terhadap
gangguan yang diberikan mad’u. Da’i bisa menghilangkan rasa dendam dan bencinya jika sang
mad’u menyakiti hatinya. Ia mudah membuka hati dan berlapang dada memaafkan kesalahan
mad’unya. Ia juga akan membalas kejahatan dengan kebaikan. Seperti Rasulullah SAW tak
pernah menaruh dendam terhadap seorang kafir yang senantiasa mengencingi beliau sehingga si
kafir tunduk dan luruh hatinya untuk menerima apa yang dibawa Rasulullah SAW.
Respon yang positif terhadap mad’u juga akan terbangun dengan adanya kekuatan cinta
ini. Seorang da’i akan lebih bijaksana menghadapi kesalahan-kesalahan mad’unya. Umar bin
Khattab ra memberi teladan yang sangat mulia. Saat itu beliau menanyakan seseorang dan beliau
mendapat jawaban bahwa seseorang tersebut berada di luar kota bersama para pemabuk. Lalu,
Umar pun mengirim surat, “Sungguh saya memanjatkan puji syukur ke hadirat-Mu, ya Allah
yang tiada ilah melainkan Dia, Dzat Yang Maha Pengampun dosa, Dzat Maha Penerima
Taubat dan Dzat yang Maha Dahsyat siksaan-Nya.” Seseorang itu berulang kali membaca surat
tersebut sambil menangis dan akhirnya bertaubat.
Sentuhan kata-katanya mengembalikan orang tersebut untuk mengingat Allah.
Kebijaksanaan Umar terlihat dari tanggapannya yang lembut ini ketika mendengar seseorang itu
bersama para pemabuk. Beliau tidak marah, mencaci, dan memvonisnya karena kesalahan-
kesalahnanya. Sebaliknya, Umar malah mengambil kertas dan memberi pesan yang sangat
menggugah. Umar tidak memvonis kesalahan-kesalahan itu seperti seorang hakim memvonis
dakwaannya.
Seorang da’i mestinya berusaha mempelajari latar belakang kesalahan mad’u, dan yang
penting adalah menghargai setiap peningkatan mad’u meskipun itu kecil. Seorang mad’u yang
sering dicaci sebagai orang yang tidak pernah mempunyai peningkatan akan membuatnya putus
asa. Penghargaan yang tulus dari da’i akan memberi semangat tersendiri buatnya.
Begitu posisi hati dan arti cinta bagi seorang da’i untuk memikat mad’unya. Seorang da’i
senantiasa menyematkan rasa cinta dalam setiap interaksinya terhadap mad’u demi memenuhi
tugas mengobati dan membentuknya menjadi hamba yang dicintai-Nya karena ia senantiasa
tulus mencintai-Nya.
Pahala yang berlipat ganda dari Allah akan dipersembahkan Allah untuk para da’i yang
seperti ini. Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang saja lantaran dakwahnya, -kata
Rasulullah SAW- nilainya lebih baik daripada humurrun na’am (onta merah), dalam riwayat
yang lain, lebih baik daripada dunia seisinya, dalam riwayat yang lain, lebih baik dari terbitnya
matahari. Masya Allah.
Wallahu alam bish shawab.

Mengasah Hati
Hati merupakan perangkat dak’ah. Salah satu faktor internal (dahiliy) kegagalan
dakwah adalah jauhnya hati sang dai dari Allah. Hati yang kesat, kotor, hitam, sakit,
jauh dari Allah tidak akan bersinar. Maka, bagaimana mungkin sang dai mampu
menyinarkan Islam sedang hatinya padam dari sinar tersebut? Sebagaimana Rasulullah
SAW memberi isyarat dengan hidup dan mati, maka bagaimana mungkin yang mati
akan menghidupkan sedang yang hidup saja belum tentu mampu menghidupkan.
Rasulullah SAW bersabda,
“Perumpamaan orang yang selalu berdzikir (mengingat) Allah dengan orang-
orang yang tidak mengingat-Nya adalah seperti yang hidup dan yang mati. (HR
Bukhari)
Maka, mengasah hati menjadi kewajiban bagi seorang dai, yaitu dengan
tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa). Tazkiyatunnafs ini merupakan asas dasar
pembentukan kader (rijal) yang dalam geraknya senantiasa berorientasi meraih ridha
Allah. Dan Allah memberi pelajaran tentang ini dengan turunnya surat Al Muzammil
pada awal periode Mekkah. Hal ini memberi isyarat persiapan tarbiyah ruhiyah bagi
generasi muslim setelah pengokohan aqidah. Dan seperti itu juga Nabi SAW dan para
pengikutnya menanamkan kekuatan dakwah pada kedekatannya pada Allah SWT.
Itulah salah satu rahasia keberhasilan dakwah beliau.
Interaksi jiwa dan perasaan yang kuat kepada Allah akan memunculkan
kepekaan mad’u terhadap sosok dai. Wajah yang bersinar dan keteduhan akan
memancar karena kekuatan cinta-Nya pada Allah sehingga membuat mad’u jatuh cinta
dan ingin berdekatan terus dengan sang dai. Ia akan mencari sang dai yang bisa
meneduhkan dan melembutkan hatinya. Dan ia akan mengejar sang dai yang akan
meruntuhkan kesombongannya karena sang dai selalu mengajaknya berlari mengejar
Allah yang Maha Besar.
Seperti kata Hasan Al Bana, “Dari seorang mujahid, Anda dapat membaca pada
raut wajah dan kilauan matanya, dan mendengar dari gerakan lidahnya semua yang
bergelora di dalam hatinya, kesengsaraan yang ada di dalam hati, semua tujuannya
benar dan bersungguh-sungguh pelaksanaannya, cita-citanya tinggi dan sasarannya
jauh untuk memenuhi jiwanya.”
Bagaimana mad’u tidak luluh jika wajah dan mata sang dai selalu bercerita
tentang cintanya kepada Allah dan kerendahannya di depan Sang Penguasa?
Bagaimana mad’u tidak luluh jika gerakan lidah sang da’i selalu bertutur tentang
kebenaran. Tiada yang dapat menandingi kharisma seorang dai yang seperti ini, kecuali
orang-orang yang thaat dan takut kepada Allah.
Wallaahu alam bish shawab.

Anda mungkin juga menyukai